Lampiran 1: Metode Penelitian -...

41
477 Lampiran 1: Metode Penelitian Mendamaikan Pusat dan Satelit Meneliti Bali di luar Bali dalam penelitian ini mengenai identitas kebalian pada kasus komunitas Bali Nusa di Balinuraga tidak dapat dilepaskan dari hubungan Bali di luar Bali sebagai sebuah negara satelit dan Bali sebagai negara pusat. Seperti yang dikemukakan Geertz (1959) bahwa masyarakat Bali memiliki keterikatan yang kuat dengan tanah kelahirannya, di mana terikat dengan sistem sosial di dalamnya 272 . Ikatan ini menjadi gravitasi lintasan orbit negara pusat dan satelit yang menjadikan hubungannya bersifat mengikat. Oleh karena itu, penelitian ini tidak hanya terpumpun pada Balinuraga sebagai sebuah satelit, tetapi juga turut mengkaji Bali dan Nusa Penida secara umum. Bagaimana pun, Balinuraga sebagai satelit tidak dapat dilepaskan dan selalu berhubungan dengan pusatnya, termasuk ikatan sejarah di dalamnya. Dalam penelitian ini, dua hal yang perlu dilakukan untuk “mendamaikan pusat” agar dapat mengkaji satelit (Balinuraga) secara komprehensif adalah melakukan penelitian lapangan di Bali dan Nusa Penida, dan penelitian kepustakaan (dengan berbagai keterbatasan), khususnya kesejarahan dan hasil-hasil penelitian para peneliti Bali. Narasi Singkat Proses Penelitian Berawal dari Sebuah Ketertarikan Berawal dari sebuah ketertarikan. Ini merupakan landasan utama yang mendorong penelitian Kampung Bali atau komunitas Bali Hindu yang ada di Lampung. Bermula di tahun 1997 ketika untuk pertama kali mengunjungi Bali sebagai seorang wisatawan domestik. Saat itu penulis masih duduk di bangku SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) kelas dua. Rasa kagum dan ketertarikan mendalam atas (kebudayaan) Bali 272 Dalam kasus transmigrasi orang Bali ke Parigi (Sulawesi Tengah), Davis (1976: 19) menyebutkan secara implisit kuatnya ikatan orang Bali terhadap tanah leluhurnya dengan menyebutkan bahwa “sebagian besar orang Bali meninggal dunia hanya beberapa kilometer dari tempat mereka lahir”.

Transcript of Lampiran 1: Metode Penelitian -...

Page 1: Lampiran 1: Metode Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/10/D_902008001... · tamasya ke Bali, bersama seorang sopir – yang kebetulan seorang

477

Lampiran 1: Metode Penelitian

Mendamaikan Pusat dan Satelit

Meneliti Bali di luar Bali – dalam penelitian ini mengenai identitas

kebalian pada kasus komunitas Bali Nusa di Balinuraga – tidak dapat

dilepaskan dari hubungan Bali di luar Bali sebagai sebuah negara satelit

dan Bali sebagai negara pusat. Seperti yang dikemukakan Geertz (1959)

bahwa masyarakat Bali memiliki keterikatan yang kuat dengan tanah

kelahirannya, di mana terikat dengan sistem sosial di dalamnya272

. Ikatan

ini menjadi gravitasi lintasan orbit negara pusat dan satelit yang

menjadikan hubungannya bersifat mengikat. Oleh karena itu, penelitian ini

tidak hanya terpumpun pada Balinuraga sebagai sebuah satelit, tetapi juga

turut mengkaji Bali dan Nusa Penida secara umum. Bagaimana pun,

Balinuraga sebagai satelit tidak dapat dilepaskan dan selalu berhubungan

dengan pusatnya, termasuk ikatan sejarah di dalamnya. Dalam penelitian

ini, dua hal yang perlu dilakukan untuk “mendamaikan pusat” agar dapat

mengkaji satelit (Balinuraga) secara komprehensif adalah melakukan

penelitian lapangan di Bali dan Nusa Penida, dan penelitian kepustakaan

(dengan berbagai keterbatasan), khususnya kesejarahan dan hasil-hasil

penelitian para peneliti Bali.

Narasi Singkat Proses Penelitian

Berawal dari Sebuah Ketertarikan

Berawal dari sebuah ketertarikan. Ini merupakan landasan utama

yang mendorong penelitian Kampung Bali atau komunitas Bali Hindu

yang ada di Lampung. Bermula di tahun 1997 ketika untuk pertama kali

mengunjungi Bali sebagai seorang wisatawan domestik. Saat itu penulis

masih duduk di bangku SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) kelas

dua. Rasa kagum dan ketertarikan mendalam atas (kebudayaan) Bali

272

Dalam kasus transmigrasi orang Bali ke Parigi (Sulawesi Tengah), Davis

(1976: 19) menyebutkan secara implisit kuatnya ikatan orang Bali terhadap tanah

leluhurnya dengan menyebutkan bahwa “sebagian besar orang Bali meninggal

dunia hanya beberapa kilometer dari tempat mereka lahir”.

Page 2: Lampiran 1: Metode Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/10/D_902008001... · tamasya ke Bali, bersama seorang sopir – yang kebetulan seorang

478

semakin menguat setelah melihat langsung dan mengunjungi Bali dengan

keindahan alam dan keeksotisan budayanya melalui atraksi-atraksi

kesenian yang dipentaskan bagi wisatawan – meskipun apa yang dilihat

dan disaksikan sebenarnya hanya sebagian kecil dari kebalian itu sendiri,

namun bagi seorang anak SLTP yang belum genap dua tahun melepaskan

diri dari bangku Sekolah Dasar (SD), ini merupakan sebuah pengalaman

sulit dilupakan. Bagaimana tidak? Dari apa yang dibaca penulis di bangku

SD dan SLTP dalam sebuah buku teks sejarah – setelah di bangku

pendidikan tinggi baru menyadari bahwa sebagian (besar) buku teks

sejarah tersebut, karena diandili oleh Pemerintah Orde Baru yang

merupakan rezim berkuasa di saat penulis duduk di bangku SD dan SLTP,

banyak terdapat pengaburan fakta sejarah, dan tampaknya semua sejarah

itu berjalan dengan mulus dan baik-baik saja (datar, kaku, dan statis) –

bahwa Bali menjadi sebuah wilayah Hindu atau sisa (-sisa) atau warisan

Kerajaan Hindu Jawa, kini (1997) dapat dilihat dan disaksikan sendiri

eksistensinya sebagai sebuah paradise. Ya, Bali merupakan sebuah pulau

dengan kebudayaan (dan masyarakatnya) yang sangat mengagumkan:

sebuah penilaian dari seorang kelas dua SLTP. Berselang dua bulan dari

tamasya ke Bali, bersama seorang sopir – yang kebetulan seorang Bali

Hindu di Lampung – mengunjungi kampungnya (biasa disebut Kampung

Bali) di wilayah Lampung Selatan. Sebuah ketakjuban bagi seorang remaja

bercelana pendek warna biru tua ketika melihat, ternyata, “ada Bali di

Lampung”. Apa yang telah dilihat dan disaksikan di Bali, ternyata ada dan

tidak jauh berbeda dengan Bali yang ada di Lampung. Masih kuat ingatan

atas Bali yang belum lama dikunjungi (dan masih ada keinginan untuk

kembali bertamasya ke sana), kini melihat Bali di Lampung yang identik

dengan Bali di Bali. Ketika itu penulis berseloroh (selorohan anak SLTP),

sebenarnya, jika hanya ingin melihat Bali, maka di Kampung Bali (di

Lampung) itu sudah cukup.

Berangkat dari pengalaman tersebut, sejak saat itu, penulis selalu

dihantui kapankah bisa menilik lebih jauh (dan menulisnya) tentang

kebalian “Orang Bali di Lampung”. Apakah ada kesempatan bagi penulis

untuk meneliti dan menulisnya jika duduk di bangku perguruan tinggi?

Tentu, kesempatan itu belum penulis dapatkan ketika duduk di strata satu,

karena jurusan yang dipilih adalah ekonomi manajemen – tentunya,

Page 3: Lampiran 1: Metode Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/10/D_902008001... · tamasya ke Bali, bersama seorang sopir – yang kebetulan seorang

479

memiliki keterkaitan yang relatif jauh dan menjadi naif jika dipaksakan

dengan penelitian mengenai orang Bali yang kental dengan studi etnografis

dihubungkan dengan manajemen. Kesempatan tersebut akhirnya baru

didapatkan setelah penulis melanjutkan ke jenjang strata dua. Ketika itu

penulis mendapatkan kesempatan – dengan dukungan beberapa staf

pengajar Magister Studi Pembangunan, khususnya TEN yang pernah

menjadi penguji penulis di strata satu dan KUT selaku pembimbing utama

(saat ini KUT dan TEN menjadi promotor dan ko-promotor penulis) –

untuk meneliti orang Bali di Lampung. Meskipun kesempatan tersebut

telah dimanfaatkan dengan cukup baik, sebenarnya penulis sama sekali

belum merasakan kepuasan batin, karena lokasi penelitian Kampung Bali

berada di wilayah Lampung Tengah. Mengapa? Pandangan pertama yang

menyebabkan “cinta lokasi” atas Kampung Bali di Lampung Selatan masih

melekat kuat dan tidak dapat dilepaskan dari pikiran penulis. Di samping

itu, apa yang telah penulis teliti dan tulis di jenjang strata dua tersebut

masih banyak kekurangan. Belum ada pengalaman yang mumpuni untuk

melakukan penelitian lapangan – sesuatu yang belum didapatkan di

jenjang strata satu. Tekad untuk meneliti dan menulis tentang orang Bali di

Lampung memantapkan penulis untuk tetap mencoba hal baru di bidang

penelitian lapangan, meskipun lokasi penelitian masih belum sesuai

dengan keinginan (karena ada di Lampung Tengah, bukan Lampung

Selatan) dan pengetahuan yang masih sangat minim mengenai Bali. Atas

dasar hasil penelitian dan tulisan di jenjang strata dua tersebut, penulis

masih berkeinginan untuk menebus berbagai kekurangan atas penelitian

dan tulisan sebelumnya. Kepuasan belum didapatkan, dan selalu

dihinggapi berbagai pertanyaan di benak penulis, bagaimana

menjadikannya lebih baik – meskipun kesempurnaan dalam sebuah

penelitian dan tulisan relatif mustahil untuk diraih untuk seorang peneliti

amatiran seperti penulis. Kesempatan kedua akhirnya didapatkan ketika

penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi ke jenjang strata

tiga – sebuah kesempatan tak-tertuga karena diizinkan oleh orang tua

sebagai pemberi dana untuk melanjutkan studi ke jenjang strata tiga.

Melalui kesempatan kedua ini, penulis berusaha untuk mewujudkan agar

bisa meneliti Kampung Bali di Lampung Selatan, sekaligus menutupi

berbagai kelemahan pada penelitian dan tulisan sebelumnya – meskipun

Page 4: Lampiran 1: Metode Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/10/D_902008001... · tamasya ke Bali, bersama seorang sopir – yang kebetulan seorang

480

rasa puas belum tercapai dan rasa penasaran tetap ada (dan cenderung

semakin besar).

Menuju Lokasi Penelitian

Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian Kampung Bali

di Lampung Selatan relatif lebih sulit, yaitu: Bagaimana, seperti apa,

melalui apa dan siapa, kapan waktu yang tepat, agar penulis bisa mencapai

dan masuk ke lokasi penelitian? Permasalahan utamanya adalah bagaimana

mendapatkan akses dan informasi agar penulis bisa masuk ke lokasi

penelitian dan menemukan informan kunci yang mumpuni. Ini menjadi

ketakutan yang selalu mengganggu: Bisakah masuk ke sana, jika tidak,

kapan lagi waktu yang tepat menghilangkan sebagian kecil dari rasa

penasaran ini? Jika pada penelitian sebelumnya sudah memiliki akses yang

tepat untuk masuk ke salah satu Kampung Bali di Lampung Tengah, maka

pada penelitian ini penulis belum memiliki akses tersebut. Tekad sudah

bulat, penulis harus bisa masuk ke sana, ini adalah kesempatan terakhir

untuk menuntaskan keingintahuan yang menghantui sejak tahun 1997.

Pintu masuk itu mulai sedikit terbuka di tahun 2007 (sepuluh tahun

sejak 1997), ketika penulis berjumpa secara tidak sengaja seorang kakak

kelas di bangku SMU (Sekolah Menengah Umum). Kebetulan, tempat

tinggalnya tidak jauh dari lokasi penelitian yang akan menjadi lokasi

penelitian. Bermula pada sebuah basa-basi, akhirnya kakak kelas tersebut –

yang merupakan Jawa-Lampung pemeluk Nasrani – memberikan akses

untuk masuk ke lokasi penelitian, dan mau menyediakan waktu bagi

penulis agar bisa bertemu dengan seseorang sesepuh Bali melalui ayahnya

yang seorang PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang nantinya bisa

menghubungkan penulis dengan sesepuh Bali lainnya di lokasi penelitian

tertuju.

Tri semester pertama tahun 2008 penulis berhasil menemui

seorang sesepuh Bali di Lampung Selatan yang bisa menghubungkan

penulis dengan sesepuh Bali yang ada di lokasi penelitian. Ketika itu,

sebenarnya, penulis masih ragu dan belum bisa memutuskan apakah akan

melanjutkan ke strata tiga, tetapi, pencarian ini tidak serta-merta

dikarenakan untuk penelitian lanjutan, melainkan pemuasan rasa penasaran

di waktu yang lalu akan Kampung Bali di Lampung Selatan – dan memang

Page 5: Lampiran 1: Metode Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/10/D_902008001... · tamasya ke Bali, bersama seorang sopir – yang kebetulan seorang

481

pada akhirnya, menjadi sangat berguna setelah memutuskan untuk

melanjutkan studi ke jenjang strata tiga dengan melanjutkan penelitian

sebelumnya.

Terbukanya Relasi

Tidak ada keistimewaan khusus ketika mencari dan mendapatkan

akses ke lokasi penelitian. Butuh waktu dan kesabaran agar jaringan

informasi dan relasi itu benar-benar terpintal dengan rapi. Penulis hanya

seorang mahasiswa biasa “non-job”, tidak mewakili satu institusi tertentu –

kecuali universitas tempat penulis berstudi, yang identitas ke-Kristen-

nannya sengaja penulis sembunyikan karena hal-hal yang sangat

fundamental dan etis terkait objek penelitian.

Satu pernyataan penulis yang membuat mereka (para penghubung

informan kunci dan informan kunci) heran adalah bahwa penulis sangat

tertarik dengan Orang Bali di Lampung. Bagaimana tidak mengherankan

bagi mereka. Bagaimana mungkin, seorang (anak muda) Tionghua

mempunyai ketertarikan meneliti Orang Bali di Lampung – sebuah

keheranan yang penulis dapatkan pada penelitian sebelumnya. Bukankah

orang Tionghua di Lampung lebih banyak berdagang, cenderung eksklusif

dengan sesama Tionghuanya (sebagian memiliki relasi sosial yang baik

dengan sesama non-Tionghua, sebagian lainnya tidak). Bukankah – seperti

pada umumnya anak muda Tionghua di perkotaan Lampung – lebih

menyibukkan diri dengan materi (mengumpulkan kekayaan), bukan

mencari data seperti yang dilakukan penulis. Keironisan ini yang

menyebabkan mereka menjadi lebih terbuka – dan cukup senang – bahwa

ada orang lain di luar komunitasnya – terutama seorang muda Tionghua –

mau mengkaji Orang Bali di Lampung, bukan mencari perlindungan mistik

atau pun hal-hal yang bersifat klenik penunjang bisnis.

Kesederhanaan

Pertama kali ke lokasi penelitian, penulis menggunakan mobil

pribadi, karena berbagai macam pertimbangan. Kedua kali dan seterusnya,

penulis menggunakan angkutan umum (bis antar kota dalam propinsi dan

ojek sepeda motor) untuk ke lokasi penelitian. Tidak ada laptop atau pun

perekam suara yang disertakan, kecuali sebuah kamera sederhana dan

Page 6: Lampiran 1: Metode Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/10/D_902008001... · tamasya ke Bali, bersama seorang sopir – yang kebetulan seorang

482

seperangkat catatan saku kecil (sebuah catatan saku dan pena). Laptop atau

perekam suara – berdasarkan pertimbangan dan pengalaman penulis –

sedikit banyak akan menimbulkan kecanggungan yang cukup

mengkhawatirkan saat melakukan wawancara. Kesederhanaan dalam

penampilan273

, khususnya busana dan penggunaan alat elektronik, sangat

menunjang agar lebih dekat dengan mereka, dan mereka lebih mudah

untuk mendekatkan diri, karena tidak ada gap teknologi yang (dapat)

dianggap sebagai sebuah gap sosial dan ekonomi.

Membangun Kepercayaan

Sebagai seorang asing, tentunya pertama kali tidak ada tawaran

menginap atau pun menawarkan diri untuk menginap di lokasi penelitian.

Penulis datang sebagai seorang peneliti dan orang asing yang tidak

memiliki sebuah otoritas atau wewenang – bukan seorang pejabat, anak

penjabat, menantu orang penting dari Orang Bali yang memiliki

kedudukan penting, dan lain-lain, seandainya pun ada, tapi kenyataannya

tidak ada, penulis pasti akan menyembunyikan identitas otoritas tersebut –

yang memaksa mereka untuk mengizinkan menginap ketika datang

pertama kali, dan ini bukan sesuatu yang diharapkan dan memang tidak

terjadi. Relasi atau hubungan yang dekat tidak tercipta secara instan, harus

ada sebuah proses yang berkesinambungan dalam proses komunikasi

sampai akhirnya hubungan yang dekat itu benar-benar terbentuk secara

alamiah. Ini sesuatu yang penting bagi peneliti dalam melakukan penelitian

lapangan – jika bisa, hubungan itu sebaiknya dimulai dari nol, mulai dari

saling mengamati dan membaca situasi-kondisi antara penulis dengan

objek penelitian (penjajagan), begitu juga sebaliknya, sampai ada kesaling-

mengertian dan ketulusan di antara kedua-belah pihak: informasi yang

diberikan “apa adanya” bukan “ada apa-apanya”.

273

Kaus lama (usang) dan celana pendek, sandal jepit, sebuah telepon seluler jadul

(jaman dulu atau keluaran lama), dan ransel usang menjadi teman penampilan

penulis di lokasi penelitian. Dengan penampilan seperti itu dan tujuan yang cukup

nyeleneh bagi mereka (meneliti Orang Bali di Lampung) karena penulis seorang

Tionghua, mereka (sambil bercanda) menyebut penulis sebagai “Cina Edan” (bisa

diartikan sinting, stress, kere, atau setengah waras seperti seorang vietkong dalam

Perang Vietnam, karena bukannya berdagang tapi meneliti).

Page 7: Lampiran 1: Metode Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/10/D_902008001... · tamasya ke Bali, bersama seorang sopir – yang kebetulan seorang

483

Bagaimana pun, objek penelitian adalah sesuatu yang hidup, harus

diperlakuan dengan manusiawi, bukan untuk dieksploitasi hanya untuk

kebutuhan data semata. Hubungan komunikasi selalu dibina. Setidaknya

setelah empat sampai lima kali kunjungan ke lokasi penelitian, rasa curiga

dan saling mengawasi sudah mencair. Tawaran meningap sudah diberikan.

Ini bukan berarti pada kunjungan kedua sampai keempat belum ada

tawaran menginap, namun, jika jeli, tawaran menginap ada yang sekedar

basa-basi, tapi ada juga yang rela hati. Tawaran yang rela hati itu ada

setelah rasa kepercayaan itu muncul – sebuah kepercayaan yang tidak

mungkin muncul hanya satu sampai tiga kali kunjungan.

Rasa kepercayaan itu semakin menguat setelah masuk ke dalam

aktivitas mereka. Seperti mengikuti dengan seksama dan terlibat dalam

beberapa upacara penting yang mereka lakukan. Dalam beberapa

kesempatan pada upacara tertentu dapat disaksikan kondisi trans dari

beberapa peserta upacara. Sebuah pengalaman yang menegangkan ketika

pertama kali melihat adegan tersebut.

Untuk penelitian kualitatif, rasa kepercayaan ini mejadi sangat

penting, terutama untuk mendapatkan informasi atau fakta yang

sesungguhnya – khususnya hal-hal yang bersifat tidak-mengenakkan,

seperti konflik atau pertentangan yang ada di internal komunitas mereka.

Tanpa ada rasa kepercayaan, bisa saja, informasi yang

disampaikan hanya yang baik-baik saja, cenderung datar, statis, seolah-

olah komunitas ini haromis (damai), tidak ada gesekan-gesekan kecil atau

besar di dalamnya. Realitas ini yang sebenarnya harus ditangkap dan

dicermati (ditafsirkan).

Ketika rasa kepercayaan ini muncul dan tumbuh, penulis tidak lagi

dianggap sebagai orang asing, tetapi sudah dianggap seperti orang dalam

atau keluarga besar dalam komunitas tersebut – dengan tetap secara hati-

hati mencermati dan menjaga posisi independen penulis sebagai peneliti

berkaca pada realitas yang ada dalam relasi hangat antar kelompok di

dalam komunitas ini: tidak mencampuri permasalahan internal mereka,

atau lebih tepatnya, tetap menjadi pendengar dan pengamat yang baik dan

kritis.

Penting pula untuk menjaga dan membina rasa kepercayaan

tersebut dengan saling mengerti dan memahami karakter masyarakat yang

Page 8: Lampiran 1: Metode Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/10/D_902008001... · tamasya ke Bali, bersama seorang sopir – yang kebetulan seorang

484

ada di lokasi penelitian. Ini menjadi sangat penting agar jangan sampai ada

kesalahan kecil – karena tidak mengetahui karakteristik mereka – dapat

menyinggung perasaan mereka yang berdampak pada runtuhnya rasa

kepercayaan itu. Karakter tersebut ada yang bersifat relatif baik dan buruk

– tergantung dari sudut pandang melihatnya – jika ini sudah diketahui dan

dapat dikelola dengan baik, maka rasa percaya itu semakin kuat, bahwa

penulis (mungkin) sedikit-banyak sudah tahu adat istiadat atau kebiasaan

mereka, dan bersikap terbuka. Misalnya, tetap bersikap biasa-biasa saja

atau cuek – seperti tidak terjadi apa-apa – jika melihat mereka

(diantaranya) bermain kartu atau melihat babi yang berkeliaran bebas di

jalan atau pekarangan rumah. Hal penting lainnya adalah jika bisa

mengetahui asal asul klan atau leluhur mereka, sejarahnya, atau pun

mengetahui (secara garis besar filosofi, bukan secara detail seperti

permasalahan teknis dan prosedural) hakikat dari beberapa upacara atau

ritual penting yang biasa mereka selenggarakan, dan mampu

menjelaskannya secara singkat– bukan sok mengajari atau sok tahu –

berdasarkan informasi yang didapatkan dari berbagai sumber tertulis.

Tanpa Sponsor

Proses pengumpulan data – mulai dari tahap awal mencari akses

masuk ke lokasi penelitian sampai akhirnya diterima di dalam komunitas

tersebut – dilakukan sendiri. Penulis tidak melibatkan asisten peneliti, atau

orang lain untuk menemani selama proses penelitian (pengumpulan data)

di lokasi penelitian, serta menggunakan nama besar dari satu otoritas

tertentu. Termasuk dana penelitian.

Biaya penelitian ini mengandalkan penyisihan (tabungan yang

jumlahnya relatif kecil) uang saku. Jika jumlahnya sudah cukup, maka

penelitian dilakukan. Penelitian ini tidak ada sponsor dari pihak atau

lembaga manapun, kecuali mengandalkan bantuan dana dari orang tua.

Toh, penulis pun memang sangat tertarik dan menikmati proses penelitian

ini – sebuah impian yang baru bisa terrealisasi setelah duduk di bangku

pendidikan tinggi agar bisa meneliti orang Bali di Lampung. Jadi, tidak

menjadi masalah jika harus berhemat untuk mengumpulkan uang

penelitian agar bisa ke lokasi penelitian dan membeli sejumlah buku.

Page 9: Lampiran 1: Metode Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/10/D_902008001... · tamasya ke Bali, bersama seorang sopir – yang kebetulan seorang

485

Untuk penelitian singkat di Pulau Nusa Penida, Bali, penulis

mendapatkan bantuan dari beberapa teman sejawat, yang sedikit-banyak

mengetahui akses ke daerah ini dan mau meluangkan waktu, tenaga, dan

dana bagi penulis.

Pengumpulan Data Lapangan

Setidaknya ada dua proses utama dalam proses pengumpulan data

lapangan, yaitu observasi dan wawancara mendalam. Proses ini selalu

dilakukan dengan seksama, hati-hati, dan kritis. Jangan sampai terlena

dengan fatamorgana dalam sebuah “teks” yang ada di lokasi penelitian.

Beberapa kali kunjungan awal, penulis lebih banyak melakukan observasi.

Tujuan pentingnya adalah membaca situasi – termasuk yang tidak kalah

penting adalah melihat reaksi dari objek penelitian: apakah mereka benar-

benar sudah menerima penulis dengan kerelaan hati untuk melakukan

proses penelitian (dan pengambilan data).

Wawancara mendalam baru benar-benar tereealisasi secara

maksimal setelah rasa kepercayaan itu muncul – dengan demikian, tidak

ada informasi yang ditutup-tutupi atau dirahasiakan, kecuali hal-hal

tertentu yang secara etis harus penulis jaga. Saat wawancara mendalam,

tidak ada alat perekam atau menyibukkan diri dengan dokumentasi –

keduanya benar-benar sangat mengganggu jika dilakukan saat wawancara

mendalam. – dan pencatatan dilakukan di malam hari. Informan menjadi

merasa tidak nyaman. “Secangkir kopi dan sebatang rokok” justru jauh

lebih menjadikan mereka lebih merasa nyaman bercerita dan berdiskusi

serius, daripada alat perekam, laptop, telepon seluler, atau pun kamera

digital. Seperti apa mereka merasa nyaman dalam bercerita dan berdiskusi:

ini yang penulis ikuti.

Setiap kali melakukan wawancara mendalam, penulis selalu

mencermati situasi dan kondisi para informan. Hal yang paling mudah

adalah dengan mencermati mimik muka. Jika mimik mukanya cerah, maka

ini adalah waktu yang tepat untuk melakukan wawancara mendalam –

tentunya, dengan menyertakan “secangkir kopi dan sebatang rokok”. Jika

mimik mukanya sedang gelap, maka penulis tidak memaksakan diri untuk

melakukan wawancara mendalam. Kesabaran sangat diperlukan jika

menghadapi situasi seperti ini.

Page 10: Lampiran 1: Metode Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/10/D_902008001... · tamasya ke Bali, bersama seorang sopir – yang kebetulan seorang

486

Cross-check data atau triangulasi harus tetap dilakukan. Tidak

semua informasi yang diberikan benar-benar akurat, atau terkadang, bisa

saja berdasarkan atau bernuansakan perspektif pribadi (jika suasana

informan sedang emosional). Proses ini harus dilakukan dengan hati-hati

agar tidak menimbulkan kesalahpahaman. Cara sederhananya adalah

dengan menggunakan mimik anak kecil yang polos, seperti tidak tahu apa-

apa, tetapi tetap dengan menggunakan cara yang elegan: sama sekali tidak

merugikan antar pihak.

Setiap kali selesai penelitian, hal yang selalu dilakukan adalah

mempelajari lagi data atau pun informasi yang sudah didapatkan.

Tujuannya adalah untuk mempertajam pertanyaan penelitian berikutnya,

data atau pun informasi yang terlewat atau belum didapatkan. Sepertinya

mustahil dalam satu waktu penelitian semua data atau pun informasi

berhasil diraih dan sesuai dengan transkip wawancara yang sudah disusun

dengan apik. Agar ketajaman tersebut tercapai, penulis mencermati kasus-

kasus riil yang ada, pelajari dengan seksama, dan kritisi. Melalui ini

(kasus-kasus di lapangan) realitas dapat ditangkap capture – seperti sebuah

kamera menangkap sebuah gambar atau objek bidikan, kemudian hasil

cetakannya bisa diinterpretasi oleh si pembidik. Di samping itu, penulis

juga melakukan perbandingan atau pun menambah ketajaman pertanyaan

penelitian dengan hasil penelitian orang lain yang dinilai penad.

Rangkaian proses ini terus-menerus penulis lakukan sampai benar-

benar merasa puas dan cukup – butuh waktu yang lama dan kesabaran,

terkadang lelah dan frustasi, sampai-sampai melewatkan beberapa agenda

dari program studi. Rangkaian proses yang panjang ini yang menjadikan

penulis menjadi benar-benar sendiri dan mengurung diri – dengan berbagai

konsekuensi yang tidak mengenakkan atas sikap ini, seperti dinilai

sombong oleh rekan-rekan sejawat, atau dinilai tidak melakukan apa-apa

atau no-progress.

Penelitian Singkat di Nusa Penida, Bali

Untuk melengkapi penelitian mengenai identitas Bali Lampung,

penulis melakukan penelitian singkat di Pulau Nusa Penida, Bali. Ini

menjadi sangat penad dikarenakan peneliti harus mengetahui tempat asal

(tanah leluhur) objek penelitian yang berasal dari Nusa Penida perihal

Page 11: Lampiran 1: Metode Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/10/D_902008001... · tamasya ke Bali, bersama seorang sopir – yang kebetulan seorang

487

identitas kebalian mereka. Penelitian ini sifatnya sebagai pelengkap yang

memperkaya penelitian mengenai identitas kebalian Bali Lampung.

Melaluinya melakukan cross-check bisa dilakukan atas data dan informasi

yang telah terkumpul dari lokasi penelitian di Lampung mengenai Nusa

Penida, Bali.

Etika

Hal lain yang perlu disampaikan – meskipun terkadang sering

diabaikan – adalah pengambilan gambar dan video. Setiap kali akan

mengambil gambar dari sebuah objek atau kegiatan dan merekamnya

dalam sebuah video, penulis mengusahakan terlebih dahulu meminta izin

dari pihak bersangkutan. Meskipun mayoritas mengizinkan, namun ada

juga yang tidak mengizinkan – biasanya merasa tidak nyaman jika difoto

atau direkam aktivitasnya. Jika tidak diizinkan, maka penulis sama sekali

tidak melakukan pengambilan gambar atau video, meskipun teknologi dari

kamera yang digunakan memungkinkan untuk melakukan pengambilan

secara diam-diam. Terkadang, penulis sengaja diundang untuk

mengabadikan beberapa kegiatan penting dan diberi kebebasan untuk

mengambil gambar dan video. Kemudian, semua foto atau pun video yang

berhasil diperoleh diserahkan soft-file-nya kepada komunitas ini. Biasanya

sesaat sebelum meninggalkan lokasi penelitian, penulis menyempatkan

waktu untuk menggandakan file-file tersebut pada satu atau dua komputer

yang ada di dalam komunitas ini. Jika di antara mereka ada yang ingin

melihat, mencetak foto, atau menonton video rekaman, maka mereka bisa

mendapatkannya di komputer tersebut. Oleh karena itu, setiap foto yang

disertakan dalam disertasi ini turut dimiliki oleh mereka. Salah satu tujuan

utamanya adalah agar masyarakat di komunitas ini percaya dan tidak

curiga atas aktivitas pengambilan gambar dan video yang penulis lakukan,

dan mereka bisa turut menikmati hasilnya.

Penutup

Pada akhirnya proses penelitian ini, termasuk membaca dan

merenung, harus diakhiri pada satu titik tertentu. Jika tidak, maka tidak ada

tulisan yang berhasil (selesai) ditulis. Jika terus digali, maka data pun tidak

akan ada habisnya. Dia akan selalu ada, terus ad dan selalu ada, selama si

Page 12: Lampiran 1: Metode Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/10/D_902008001... · tamasya ke Bali, bersama seorang sopir – yang kebetulan seorang

488

objek penelitian masih hidup. Perlu ketegasan dan kerelaan hati untuk

memutuskan berhenti pada titik tersebut. Rangkaian proses penelitian ini

(metode penelitian) dikembangkan dan digunakan berdasarkan gaya (style)

personal penulis sebagai peneliti amatir yang dalam prosesnya dilakukan

banyak penyesuaian terhadap objek yang diteliti. Walaubagaimana pun

sebuah metode penelitian tidak bisa dibakukan sebaku-bakunya dalam

bentuk teknis yang sangat kaku dan berlaku universal untuk setiap lokasi

dan objek penelitian – setiap objek dan peneliti memiliki karakteristik unik

tersendiri yang tidak bisa diabaikan, dan terkadang tidak sesuai dengan

buku-buku teks metode penelitian – kecuali hal-hal teknis yang bersifat

umum.

Gambar 71. Penulis di Pura Kawitan

(Sumber: Yulianto, 2008)

Page 13: Lampiran 1: Metode Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/10/D_902008001... · tamasya ke Bali, bersama seorang sopir – yang kebetulan seorang

489

Gambar 72. Berbusana Adat Sesaat Selesai Mengikuti Upacara Galungan

2009

(Sumber: Yulianto, 2009)

Gambar 73. Penulis Bersama Salah Satu Keluarga Tokoh Balinuraga saat

Hari Raya Galungan 2009

(Sumber: Yulianto, 2009)

Page 14: Lampiran 1: Metode Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/10/D_902008001... · tamasya ke Bali, bersama seorang sopir – yang kebetulan seorang

490

Page 15: Lampiran 1: Metode Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/10/D_902008001... · tamasya ke Bali, bersama seorang sopir – yang kebetulan seorang

491

Lampiran 2: Bagan Silsilah Warga

Keturunan Mpu Withadarma

(Sumber: Soebandi 2003)

Mpu

Withadarma

Mpu Bhajrastawwa

(Mpu Wuradharmma) Mpu Dwijendra

(Mpu Rajakretha)

Mpu Lampita Bukbuksah

Brahmawisesa

Mpu

Gnijay

a

Mpu

Sumer

u

Mpu

Ghana

Mpu

Kutura

n

Mpu

Bradah

Mpu Ketek

(1)

Mpu Kanada

(2)

Mpu

Wirayadnya (3)

Mpu

Withadarmma

(4)

Mpu

Ragarunting (5)

Mpu Prateka

(6)

Mpu Dangka

(7)

Mpu Kamareka

Leluhur Pasek

Kayu Selem

dan

Keluarganya

Bhatari

Dewi

Manik

Geni

Diah Ratna

Manggali Menikah

dengan Mpu Bhula

Putra Mpu Bradah

Mpu

Saguna

Mpu

Gandrin

g

Ki Lurah KaPandéan (Leluhur Wong

Bang Pandé Wesi)

*

Page 16: Lampiran 1: Metode Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/10/D_902008001... · tamasya ke Bali, bersama seorang sopir – yang kebetulan seorang

492

Keterangan:

* : Menikah

1-7 : Sang Sapta Rsi (leluhur Warga Pasek)

anak dari Mpu Gnijaya

Brahmawisesa : leluhur Warga Pandé

Mpu Withadarma : Leluhur Warga Pasek dan Pandé. Sebutan

lain Mpu Withadarma dalam Babad Pandé

adalah Danghyang Bajra Satwa (ring

Keling)

Page 17: Lampiran 1: Metode Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/10/D_902008001... · tamasya ke Bali, bersama seorang sopir – yang kebetulan seorang

493

Silsilah Leluhur Pandé di Bali

(Sumber: Ramayadi 2000)

Brahma

Rare Sakti

Mpu

Gnijaya

(Leluhur

Pasek)

Bubuksah Mpu Brahma

Wisesa

Mpu

Semeru

Mpu

Ga-

na

Mpu

Kutu-

ran

Mpu

Bharadah Gagakaking

Dang Hyang

Tanuhun

Dang Hyang

Dwijendra Rajkrta

Dang Hyang Bajra

Satwa

Mpu S‟wa

Saguna

Mpu Jaya Saguna

(ring Tumapel)

Mpu Lurah

KePandéan

Bang Lurah KePandéan Tusan

Kyayi Tusan Kyayi

Tatasan

Ki Pandé

Tatasan

Kyayi Putih Dahi

Kyayi Pandé

Grondong

Ki

Pandé

Anom

Ki

Pandé

Bang

Ki

Pandé

Sesana

Ki Pandé

Bungbun

gan

Ki Pandé

Taman

Ayun

Ki Pandé

Satwa Wangke

Maong

Ni

Pandé

Mpu Gandring Mpu Brahma Kaja

Diah Kencana

Wati

Arya Pandé

Wulung

Arya Pandé

Wulung

Brahmana

Dwala

Ki Capung

Mas

Pandé

Kamas-

an

Pandé

Wana

Pandé

Ton-

jok

Arya

Danu

Arya

Suradnya

Page 18: Lampiran 1: Metode Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/10/D_902008001... · tamasya ke Bali, bersama seorang sopir – yang kebetulan seorang

494

Keterangan:

Kotak bergaris hitam tebal adalah garis silsilah leluhur Warga

Pandé.

Page 19: Lampiran 1: Metode Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/10/D_902008001... · tamasya ke Bali, bersama seorang sopir – yang kebetulan seorang

495

Lampiran 3: Lampung

Membahas mengenai masyarakat Bali Hindu di Lampung menjadi

tidak lengkap jika tidak disertakan (terlebih dahulu) gambaran umum

mengenai Lampung itu sendiri. Karenanya, dalam sub-bab ini – untuk

memberikan gambaran umum Lampung – penulis memberikan uraian

singkat mengenai sejarah Lampung (dari masa ke masa) dan masyarakat

Lampung dengan bersumberkan data sekunder274

. Gambaran umum

mengenai Lampung akan menjadi antara untuk membahas komunitas

masyarakat Bali Hindu di Lampung (kasus masyarakat Bali Hindu Nusa

Penida di Desa Balinuraga).

274 Ada pun yang menjadi acuan dalam uraian singkat (gambaran umum)

mengenai Lampung sebagai berikut:

Hadikusuma, Hilman. (1978), Sejarah dan Adat Istiadat Lampung, Tanjung

Karang: F.H. Unila.

Probonegoro, KRT. A.A. (1940), Lampung Tanah Lan Tijangipun, Jakarta:

Balai Pustaka.

Sayuti, Husin. (1978), Sejarah Daerah Lampung, Teluk Betung: Universitas

Lampung.

Sayuti, Husin. (1978), Sejarah Daerah Lampung (Bagian Ketiga), Teluk

Betung: Universitas Lampung.

Sejarah Sosial Daerah Lampung Kotamadya Bandar Lampung, Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek

Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1984.

Soebing, Abdullah A. (1983), Kedatuan di Bukit Keratuan di Muara: Catatan

ringkas tentang Lampung Sebuway, Bandar Lampung: Buway Subing.

Soepangat. (1978), Sejarah Daerah Lampung, Teluk Betung: Universitas

Lampung.

Soepangat. (1979), Sejarah Daerah Lampung (Bagian Pertama), Teluk Betung:

Universitas Lampung.

Team Penelitian Fakultas Keguruan Universitas Lampung, Bunga Rampai Adat

Budaya, No. 2 tahun 11.

Team Penelitian Fakultas Keguruan Universitas Lampung, Penyusunan Sejarah

dan Kebudayaan Lampung Historiografi Daerah Lampung, Tanjung Karang:

Proyek Peningkatan / Pengembangan Perguruan Tinggi Unila, 1915/1916.

Page 20: Lampiran 1: Metode Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/10/D_902008001... · tamasya ke Bali, bersama seorang sopir – yang kebetulan seorang

496

Sejarah Singkat Lampung

Lampung sebagai salah satu wilayah di Nusantara memiliki masa-

masa yang kurang lebih sama dengan wilayah lainnya: masa pra-kolonial,

kolonial, dan pasca-kolonial. Pemilahan sejarah singkat Lampung

menggunakan pengelompokan tiga masa tersebut lebih ditujukan untuk

mempermudah pembahasan. Terdapat tiga masa yang telah dilalui

Lampung dalam perkembangan sejarahnya, yaitu (1) masa pra-kolonial

atau masa kerajaan-kerajaan; (2) masa kolonial atau masa Pemerintahan

Kolonial Hindia Belanda; (3) dan terakhir, masa pasca-kolonial atau masa

Pemerintahan Republik Indonesia.

Lampung Masa Kerajaan-Kerajaan

Kerajaan pertama di Lampung – kemudian dikenal sebagai asal

mula wilayah / nama Lampung – yang termuat dalam catatan sejarah

adalah Kerajaan Tulang Bawang – yang kini merupakan wilayah dari

Kabupaten Tulang Bawang. Catatan sejarah ini ditulis oleh seorang

pengelana asal Negeri Tiongkok yang bernama Fa-Hien (atau biasa disebut

dengan nama “I Tsing”) pada pertengahan abad ke-IV masehi, yaitu pada

masa kekuasaan Dinasti Han. Ketika itu Fa-Hien sedang mengadakan

perjalanannya menyusuri pedalaman Sumatera dan singgah di sana untuk

beberapa waktu lamanya – setelah sebelumnya mengunjungai Kerajaan

Sriwijaya. Dalam perjalanan tersebut Fa-Hien mencatat bahwa kerajaan

makmur penghasil lada hitam tersebut bernama To-Lang P‟o-Hwang

(Bahasa Hokkian: salah satu bahasa Tiongkok yang digunakan suku

Hokkian) – disebut “Tulang Bawang”. Kata “To” berarti “orang” (person)

dan Lang P‟o-Hwang berarti “Lampung” (nama wilayah / daerah).

Berdasarkan catatan sejarah pada pertengahan abad ke-IV inilah, nama

Lampung atau wilayah Lampung dikenal. Atau dengan kata lain, wilayah

Lampung sudah mulai dikenal dalam interaksinya dengan kerajaan di luar

Sumatera. Kerajaan Tulang Bawang merupakan kerajaan Hindu sebelum

pengaruh Budhisme masuk di kerajaan ini di bawah pengaruh kekuasaan

Kerajaan Sriwijaya. Pusat kerajaan Tulang Bawang diperkirakan berada di

sekitar daerah Manggala atau Sungai Tulang Bawang sampai daerah Pagar

Dewa. Pada masa itu, daerah Manggala atau Sungai Tulang Bawang

dikenal sebagai pelabuhan besar yang menghubungkan wilayah Lampung

Page 21: Lampiran 1: Metode Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/10/D_902008001... · tamasya ke Bali, bersama seorang sopir – yang kebetulan seorang

497

atau Sumatera bagian Selatan dengan daerah luar pulau. Hal ini tidak

terlepas dari hasil alam daerah ini yang terkenal, lada hitam, yang menjadi

salah satu komoditi ekspor utama. Oleh karena itu, tidak mengherankan

jika daerah – berdasarkan catatan Fa-Hien – merupakan daerah yang

makmur, dan pada masa-masa berikutnya menjadi daerah strategis untuk

dikuasai oleh kerajaan-kerajaan lain yang lebih kuat, seperti Majapahit,

Sriwijaya, dan Banten.

Kerajaan tetangga yang memiliki pengaruh cukup kuat di masa itu

adalah Kerajaan Sriwijaya (kini berada di Provinsi Sumatera Selatan, dan

ibukota kerajaannya diperkiraan berada di sekitar Sungai Musi, atau

sekarang dikenal dengan Palembang, ibukota provinsi Sumatera

Selatan275

). Kerajaan ini berdiri di penghujung abad ke-VII atau sekitar

tahun 675 Masehi, dan dikenal sebagai pusat studi penganut Budhisme

yang mempunyai hubungan yang erat dengan daerah Budhisme (sebuah

kompleks atau pemukiman biarawan atau biksu-biksu Budha) di Nalanda,

Bihar – yang pada masanya menjadi pusat studi agama Budha di India.

Kerajaan Sriwijaya dikenal sebagai kerajaan maritim, dan sebuah kerajaan

Budha aliran Mahayana. Masa emas atau puncak kejayaan kerajaan ini

diperkirakan pada kurun waktu 860 – 1000 Masehi. Di masa-masa ini,

Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat perdagangan dengan India, di mana

selama beberapa abad perdagangan di Selat Malaka dan kepulauan di

sebelah Timur hampir seluruhnya dimonopoli atau dikuasai oleh Kerajaan

(Dinasti) Tiongkok yang berkuasa. Hal ini menyebabkan Kerajaan Tulang

Bawang (wilayah Lampung) pada masa-masa itu berada di bawah

kekuasaan dan pengaruh dari Kerajaan Sriwijaya. Peninggalan sejarah

berupa Prasasti Palas Pasemah dan Prasasti Batu Bedil di daerah

Tanggamus merupakan bukti peninggalan dari Kerajaan Sriwijaya pada

abad ke-VIII. Ini membuktikan pada masa itu Kerajaan Sriwijaya sudah

berpengaruh atau memiliki kekuasaan di Lampung. Potensi alam Lampung

yang menjadi salah satu ketertarikan Kerajaan Sriwijaya untuk menguasai

wilayah Lampung, selain penghasil lada hitam, adalah emas dan damar. Di

bidang sosial, budaya dan keagamaan pada masa kekuasaan Sriwijaya,

275

Pada tahun 1027 Kerajaan Sriwijaya diserang mendadak oleh Dinasti Chola

India Selatan. Akibatnya ibukota kerajaan dipindahkan ke Jambi.

Page 22: Lampiran 1: Metode Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/10/D_902008001... · tamasya ke Bali, bersama seorang sopir – yang kebetulan seorang

498

masyarakat Lampung didominasi oleh pengaruh Hindu-Budha. Peradaban

Hindu berasal dari Kerajaan Tulang Bawang sebelum berada di pengaruh

Kerajaan Sriwijaya, sedangkan peradaban Budha mulai berpengaruh

setelah Sriwijaya menguasai Tulang Bawang.

Pasca kejatuhan Kerajaan Sriwijaya sekitar tahun 1024 – 1025,

wilayah Lampung lambat laun mulai dikuasai oleh kerajaan-kerajaan yang

berasal dari Pulau Jawa. Upaya menghancurkan Kerajaan Sriwijaya oleh

kerajaan tetangga dari Pulau Jawa dimulai pada masa kekuasaan Raja

Airlangga (Erlangga) yang berpusat di Jawa Timur sekitar tahun 1006

masehi. Namun, serangan mendadak yang menghancurkan kekuasan

Sriwijaya adalah serangan mendadak oleh Dinasti Chola di Sumatera

dalam kurun waktu 1023-1068 masehi. Saat itu Airlangga berkoalasi

dengan Dharmawangsa setelah menikahi putrinya untuk menyerang

Sriwijaya. Kevakuman kekuasaan pusat (Sriwijaya) karena kejatuhannya,

menyebabkan Lampung mendapatkan pengaruh lebih besar dari kerajaan

tetangga di Pulau Jawa (sebelum kebangkitan dan kejayaan kerajaan Islam

di Jawa). Pengaruh dari kerajaan Jawa atas wilayah Lampung mencapai

puncak pada masa Kerajaan Majapahit, khususnya dikepemimpinan Patih

Gajah Mada (1331-1364) yang berambisi menyatukan wilayah Nusantara.

Wilayah Lampung di masa berkuasanya Kerajaan Majapahit (berdiri tahun

1293 oleh Wijaya dan jatuh tahun 1527 setelah dikalahkan Kerajaan Islam

Demak) merupakan bagian dari wilayah kekuasaannya. Pada tahun 1365

masehi wilayah Lampung sudah secara administratif sudah tercatat sebagai

bagian dari wilayah kekuasaan Majapahit, yaitu dengan menjadikan

Lampung sebagai wilayah simpanan (reserved area) bagi kekuasaan

(raja/pangeran) yang ingin membangun dan memapankan kekuasaan baru.

Pencatatan ini dilakukan oleh Prapanca di dalam kitab Negarakertagama.

Bukti sejarah berkuasanya Majapahit di wilayah Lampung adalah melalui

arca di daerah Pugungraharjo yang diperkirakan didatangkan dari Jawa

Timur, pusat Kerajaan Majapahit. Arca tersebut mirip dengan

Prajnyaparamita yang merupakan lambang permaisuri Kerajaan Majapahit.

Penamaan daerah-daerah di Lampung seperti Belambangan Umpu, Jabung,

Kuripan, Canggu dan lain-lain, yang merupakan nama-nama daerah di

Jawa Timur dari Kerajaan Majapahit, masih dapat dijumpai sampai

Page 23: Lampiran 1: Metode Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/10/D_902008001... · tamasya ke Bali, bersama seorang sopir – yang kebetulan seorang

499

sekarang di wilayah Lampung, menjadi salah satu bukti bahwa Majapahit

pernah berkuasa di Lampung.

Kehancuran Kerajaan Majapahit setelah ditaklukan Kesultanan

Demak pada tahun 1527 menjadi titik tolak masuknya pengaruh peradaban

Islam dari Kerajaan Islam Banten. Berdasarkan Piagam Bojong diketahui

bahwa Lampung mulai dikuasai Kesultanan Banten sekitar tahun 1500

sampai 1800 masehi. Keinginan Banten untuk menguasai Lampung

disebabkan karena Lampung merupakan penghasil lada hitam. Sebuah

komoditas perdagangan yang memiliki nilai tinggi dalam perdagangan

internasional pada masa itu. Untuk mendapatkan lada hitam, VOC

(Vereenigde Oost-Indische Compagnie) yang baru memulai

perdagangannya di Nusantara pada tahun 1400, membelinya dari Banten

dengan harga yang lebih tinggi. Setelah VOC mengetahui bahwa Banten

membeli lada hitam dari Lampung dengan harga yang lebih murah, VOC

berambisi mengambil alih monopoli perdagangan lada hitam yang dikuasai

oleh Banten. Keinginan VOC untuk menguasai perdagangan di wilayah

Lampung baru terealisasi di tahun 1682. Ketika itu Sultan Haji, anak dari

Sultan Agung Tirtayasa, berhasil mengambil alih kekuasaan ayahnya

dengan bantuan dari pihak VOC pada tanggal 7 April 1682. Sebagai

imbalannya, berdasarkan surat perjanjian tanggal 27 Agustus 1682, Sultan

Haji menyerahkan wilayah Lampung kepada VOC perihal pengawasan

perdagangan rempah-rempah dan hak monopolinya. Namun, hak monopoli

tersebut tidak memberikan keuntungan yang signifikan bagi VOC dari

penjualan lada hitam. Salah satu faktor utama penyebab kegagalan VOC

ternyata disebabkan wilayah Lampung selama masa itu belum seutuhnya

berada di bawah kekuasaan Kesultanan Banten. Penguasa-penguasa lokal

di wilayah Lampung – “Adipati” – letaknya terpencar-pencar di desa-desa

atau kota, di mana kedudukan mereka secara hirarkis tidak berada di

bawah penguasaan Jenang atau Gubernur. Wakil-wakil Kesultanan Banten

atau disebut Jenang pada dasarnya hanya bertanggungjawab dalam urusan

perdagangan (lada hitam). Dengan kata lain, sebenarnya kekuasaan Banten

atas Lampung terletak pada garis pantai di sekitar Selat Sunda, di mana

melalui penguasaan garis pantai ini Banten dapat menguasai monopoli arus

keluar masuk hasil bumi dari Lampung, khususnya lada yang menjadi

komoditi ekspor bernilai tinggi. Kemudian, penguasaan VOC atas wilayah

Page 24: Lampiran 1: Metode Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/10/D_902008001... · tamasya ke Bali, bersama seorang sopir – yang kebetulan seorang

500

Lampung tidak diakui oleh penguasa-penguasa lokal yang masih loyal

terhadap Sultan Agung Tirtayasa dan masih menganggapnya sebagai raja

dari Kesultanan Banten.

Di bawah kekuasaan Banten, wilayah Lampung tidak hanya

menjadi daerah penghasil rempah-rempah bagi perdagangan Kesultanan

Banten, tapi turut pula menyebarkan pengaruh Islam kepada masyarakat

Lampung. Ketika Banten memasuki wilayah Lampung, masyarakatnya

masih merupakan penganut Hindu-Budha yang berasal dari kerajaan

Hindu-Budha sebelumnya. Di masa kekuasaannya, Kesultanan Banten

berhasil dalam menyebarkan agama Islam ke masyarakat Lampung.

Meskipun penyebaran agama Islam ke wilayah Lampung diperkirakan

telah dilakukan sebelum kedatangan Banten, yakni dari Sumatera Barat

(Minangkabau dan Aceh).

Lampung di Masa Kolonial

Bankrutnya VOC di penghujung tahun 1799 menjadi awal

berkuasanya Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda di wilayah Nusantara.

Masa kolonial di Indonesia dimulai sejak bankrutnya VOC dan diambil

alih kekuasaannya oleh pihak Kerajaan Belanda pada tahun 1800 (tanggal

1 Januari) sampai pada bulan Maret tahun 1942 ketika Pemerintahan

Kolonial Belanda menyerah tanpa syarat pada Pasukan Matahari Terbit,

Jepang.

Sebelum kebangkrutannya VOC di tahun 1668 membangun

kembali pelabuhan yang ada di Manggala – sebuah pelabuhan tua yang

sudah ada sejak masa Kerajaan Tulang Bawang. Pelabuhan ini cukup

penting bagi VOC karena melalui pelabuhan ini pintu perdagangan

rempah-rempah, khususnya lada hitam, menjadi lebih terbuka antara

Lampung dan daerah tetangga. Baru setelah tahun 1751 VOC berhasil

menguasai penuh kawasan pelabuhan ini. Setelah VOC bangkrut, dan

kekuasaannya diambil alih Pemerintah Kolonial, di bawah Gubernur

Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811) secara formal pada

tanggal 22 November 1808 mengambil alih wilayah Lampung langsung di

bawah Gubernur Jenderal Belanda (H.W. Daendels). Setelah sebelumnya

di tahun 1807 Belanda memproklamirkan bahwa kepulauan Nusantara

menjadi bagian dari Kerajaan Belanda.

Page 25: Lampiran 1: Metode Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/10/D_902008001... · tamasya ke Bali, bersama seorang sopir – yang kebetulan seorang

501

Kekuasaan Pemerintah Kolonial di masa awal kekuasaannya di

Lampung tidak bertahan lama, karena pada tahun 1811-1816 Pemerintahan

Kolonial Inggris menguasai wilayah kekuasaan Pemerintah Kolonial

Belanda. Di masa kepemimpinan Thomas Stamford Raffles, wilayah

Lampung tidak diserahkan ke Belanda, karena Inggris menilai bahwa

wilayah Lampung bukan termasuk wilayah kekuasaan Belanda. Karena itu,

di masa kekuasaan Raffles, Lampung dikembalikan pengaturannya di

bawah Keresidenan Banten.

Setelah Inggris meninggalkan wilayah kekuasaan Belanda di

Nusantara, Belanda kemudian mengambil alih kekuasaan atas wilayah

Lampung. Namun, penguasaan Belanda yang kedua atas Lampung tidak

berjalan mulus. Belanda harus menghadapi perlawanan dari Raden Intan ,

yang sebelumnya memiliki hubungan dekat dengan Pemerintah Kolonial.

Perlawanan Raden Intan berakhir pada tahun 1825 ketika ia wafat.

Perlawanan kemudian dilanjutkan kembali oleh putranya, Raden Imba

Kusuma. Sebelumnya, di tahun 1825 Belanda pernah melakukan

penangkapan terhadap Raden Intan, tapi usaha tersebut gagal total karena

utusan Belanda Leliever dan pasukannya berhasil dibunuh oleh Raden

Intan. Saat itu Belanda tidak dapat berbuat apa-apa karena masih harus

menghadapi Perang Jawa (Perang Diponegoro: 1825-1830). Setelah

Perang Jawa usai, Belanda berhasil mengatasi perlawanan putra Raden

Intan, Raden Imba Kusuma, pada tahun 1834. Raden Imba Kusuma

berhasil mengungsi ke daerah Lingga, namun di dalam pelariannya ia

berhasil ditangkap oleh penduduk setempat dan menyerahkannya kepada

Belanda untuk kemudian dibuang ke Pulau Timor. Meskipun Raden Imba

Kusuma telah berhasil dikalahkan, namun perlawanan terhadap Belanda di

wilayah Lampung belum sepenuhnya berhasil, karena putra Raden Imba

Kusuma, Raden Intan II, tetap melakukan perlawanan. Perlawanan ini

akhirnya berhasil setelah sepasukan tentara-tentara Belanda didatangkan

dari Batavia untuk menumpas Raden Intan II. Kekalahan Raden Intan II

diawali dengan keberhasilan Belanda menguasai Benteng Bendulu dan

kemudian menjadikannya sebagai basis tentara Belanda guna menyerang

benteng-benteng lainnya. Baru kemudian, pada tanggal 5 Oktober 1856,

Raden Intan II berhasil ditaklukkan dengan menjebaknya untuk

menghadiri sebuah pertemuan yang direkayasa Belanda. Pihak Belanda

Page 26: Lampiran 1: Metode Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/10/D_902008001... · tamasya ke Bali, bersama seorang sopir – yang kebetulan seorang

502

setidaknya membutuhkan 39 tahun untuk menghentikan perlawanan Raden

Intan berserta putra dan cucunya, yaitu sejak tahun 1817 ketika Belanda

mulai menguasai kembali Lampung setelah Inggris meninggalkan wilayah

Belanda sampai tahun 1856 saat Raden Intan II berhasil dikalahkan

Belanda.

Pasca terbunuhnya Raden Intan II, Belanda memiliki otoritas

penuh terhadap wilayah Lampung. Otomatis perdagangan hasil bumi,

khususnya rempah-rempah lada hitam, dikuasai penuh Belanda. Belanda

pun mulai melakukan ekspansi ke tanaman-tanaman lain yang memiliki

nilai jual ekspor yang tinggi, seperti kopi, karet, dan pisang manila.

Pelabuhan-pelabuhan pun mulai dimatangkan fungsinya oleh Belanda,

seperti Pelabunan Manggala dan Pelabuhan di Teluk Lampung. Namun,

usaha Pemerintah Kolonial Belanda dari tahun 1956-1983 mengalami

kegagalan yang tragis. Kali ini penyebabnya bukan disebabkan perlawanan

lokal, tapi disebabkan oleh meletusnya Gunung Krakatau tahun 1983.

Letusan Gunung Krakatau yang dahsyat dan disertai dengan tsunami

menghancurkan infrastruktur-infrastruktur penting yang menunjang

perdagangan hasil bumi Belanda. Pelabuhan penting seperti di Teluk

Lampung hancur lebur akibat terjengangan tsunami, begitu pula pelabuhan

di Manggala. Hancurnya pelabuhan penting di wilayah Lampung, juga

terjadi pada pelabuhan-pelabuhan di daerah Banten. Otomatis pasca

letusan Gunung Krakatau perdangangan kedua daerah ini terhenti total.

Letusan ini turut pula memakan korban jiwa puluhan ribu jiwa, dan

menghancurkan perkebunan-perkebunan rakyat dan pemerintah kolonial.

Pemerintah Kolonial Belanda tidak menyerah untuk menjadikan

Lampung sebagai wilayah penghasil hasil bumi andalan pasca letusan

Gunung Krakatau tahun 1883. Di tahun 1890 untuk pertama kalinya modal

asing masuk ke Lampung setelah dilakukan persiapan di tahun 1889

dengan dibukanya perkebunan di Way Lima. Tahun 1891 pelabuhan di

Teluk Lampung (Teluk Betung) mulai dioperasikan kembali setelah

kehancurannya di tahun 1883. Kemudian tahun 1893 dibuka perkebunan

modern di daerah Way Ratai dan tahun 1899 di Sungai Langka. Lokasi

perkebunan ini letaknya tidak jauh dari Pelabuhan Teluk Betung, karena

alasan ekonomis dan kedekatan jarak dengan Pulau Jawa. Usaha Belanda

untuk membangun perkebunan di wilayah sekitar Teluk Betung dan

Page 27: Lampiran 1: Metode Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/10/D_902008001... · tamasya ke Bali, bersama seorang sopir – yang kebetulan seorang

503

membuka pintu masuk bagi modal asing cukup tepat. Tanah Lampung

yang sebelumnya terkenal subur, menjadi semakin subur pasca letusan

Gunung Krakatau karena adanya endapan dari abu vulkanis. Hal ini

menjadi salah satu faktor mengapa pemerintah kolonial memberanikan diri

membuka perkebunan di sekitar wilayah Teluk Lampung – di samping

dekat dengan pelabuhan dan lokasinya yang strategis dekat dengan Pulau

Jawa. Kemudian, pada tahun 1913 jalur kereta api dari Teluk Betung

menuju Palembang dibangun oleh pemerintah guna pendistribusian hasil

perkebunan tersebut.

Dengan dibukanya perkebunan-perkebunan baru maka

konsekuensi yang timbul adalah faktor tenaga kerja. Jumlah tenaga kerja

dari penduduk lokal tidak dapat memenuhi kebutuhan tenaga kerja untuk

membuka dan mengerjakan perkebunan-perkebunan baru. Salah satu

sumber tenaga kerja yang jumlahnya tersedia cukup banyak dan

mempunyai keahlian di bidang pertanian terdapat di Pulau Jawa. Di sisi

lain, salah satu faktor yang menyebabkan kesejahteraan penduduk di Pulau

Jawa menurun disebabkan karena mulai tingginya jumlah penduduk –

selain efek dari sistem tanam paksa. Dengan kata lain, wilayah Lampung

mengalami defisit tenaga kerja, sedangkan di Jawa mengalami surplus

tenaga kerja. Kebijakan politik etis yang mulai dideklarasikan pada tahun

1901 oleh Ratu Belanda membuka kesempatan dan peluang untuk

mengatasi kekurangan tenaga kerja di wilayah Lampung untuk menggarap

perkebunan-perkebunan baru. Salah satu programnya adalah kolonisasi

atau transmigrasi, yaitu program pemindahan penduduk dari tempat yang

padat huniannya ke tempat yang tingkat huniannya jarang. Tujuan umum

dari pihak pemerintah kolonial adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

penduduk setempat dan pendatang – meskipun pada masa-masa awal

program ini dilaksanakan tujuan tersebut belum seutuhnya tercapai, karena

transmigrasi ke Lampung sebenarnya lebih pada kebutuhan tenaga kerja

untuk kepentingan bisnis perkebunan pemerintah kolonial.

Akhirnya permasalahan defisit tenaga kerja ini dapat teratasi di

tahun 1905, yaitu ketika program transmigrasi berhasil teralisasikan.

Sebanyak 155 KK (Kepala Keluarga) berhasil ditransmigrasikan ke

Lampung dari Kedu, Jawa Tengah. Para transmigran ini ditempatkan di

daerah Gedong Tataan di bawah komando H.G. Heyting yang menjadi

Page 28: Lampiran 1: Metode Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/10/D_902008001... · tamasya ke Bali, bersama seorang sopir – yang kebetulan seorang

504

asisten Residen Kedu. Transmigran pertama ini merupakan orang-orang

pilihan, yaitu petani-petani terampil yang sehat dan kuat. Program

transmigrasi pertama ini terbilang mahal. Pemerintah menyediakan semua

biaya perjalanan, biaya hidup (uang makan), serta alat-alat kerja dan

kebutuhan hidup hidup. Secara ekonomi program transmigrasi pertama ini

merugikan pihak perusahaan-perusahaan Eropa, karena keinginan mereka

untuk mendapatkan tenaga kerja murah tidak tercapai – meskipun tenaga

kerja murah yang didapatkan berasal dari Jawa yang surplus tenaga kerja.

Program transmigrasi pertama ini menjadi cikal-bakal masuknya para

pendatang, khususnya dari Pulau Jawa (dan berikutnya dari Bali di tahun

1953), untuk mencari penghidupan lebih baik di Lampung. Depresi

ekonomi dunia awal tahun 1930-an, pasca Perang Dunia I, telah

berdampak pada perkebunan-perbebunan perusahaan Eropa di Lampung.

Para pekerja terpaksa mengalami pemutusan hubungan kerja. Hal ini

memaksa pemerintah kolonial untuk membuka daerah koloni baru di

daerah Lampung Tengah pada tahun 1935. Kedatangan transmigran ini

jumlahnya menjadi lebih banyak daripada sebelumnya, terlebih setelah di

tahun yang sama (1935), Pelabuhan Panjang di daerah Teluk Betung telah

dibuka. Akibatnya di tahun 1941 jumlah pendatang di Lampung,

khususnya Lampung Tengah, lebih banyak daripada penduduk asli. Di

tahun 1922 jumlah pendatang dari Jawa sebanyak 5.500 jiwa, delapan

tahun kemudian tahun 1930 jumlahnya mencapai 33.000 jiwa, dan di akhir

tahun 1941 telah mencapai 173.959 jiwa yang tersebar di berbagai proyek

kolonisasi di Lampung. Pada masa kolonial ini, wilayah Lampung

merupakan keresidenan dari Provinsi Sumatera. Di masa ini, Pulau

Sumatera hanya terdiri dari satu provinsi saja, dan Lampung merupakan

salah satu keresidenannya.

Lampung Masa Pasca-Kolonial

Di masa pendudukan Jepang yang relatif singkat tidak terlalu

banyak perubahan yang terjadi di wilayah Lampung, kecuali penghapusan

sistem atau susunan marga-marga teritorial yang berdasarkan keturunan

Page 29: Lampiran 1: Metode Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/10/D_902008001... · tamasya ke Bali, bersama seorang sopir – yang kebetulan seorang

505

kerabat276

. Pergerakan kemerdekaan pada masa pendudukan Jepang lebih

terfokus di Pulau Jawa. Aktivis pergerakan asal Lampung pun lebih

condong untuk bergabung dengan basis pejuang kemerdekaan (revolusi) di

Jawa.

Di awal kemerdekaan, Lampung masih berada di bawah Provinsi

Sumatera dengan residennya Mr. Abbas. Kedudukan Lampung adalah

sebagai keresidenan (kabupaten) bagian dari Provinsi Sumatera.

Selanjutnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948 Provinsi

Sumatera Selatan terbentuk dengan Perpu Nomor 3 tanggal 14 Agustus

1950. Tanggal 12 September 1952 Lampung berada di bawah Provinsi

Sumatera Selatan dengan kedudukannya sebagai Kabupaten Lampung

Selatan. Kedudukan Lampung sebagai Kabupaten Lampung Selatan

didasarkan atas Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948, selanjutnya

Undang-Undang Darurat Nomor 4 tahun 1956 dan Undang-Undang

Nomor 1 tahun 1957. Status Lampung berubah dari keresidenan menjadi

provinsi dan terpisah dari Provinsi Sumatera Selatan pada tanggal 18

Maret 1964 berdasarkan Undang-Undang nomor 14 tahun 1964. Provinsi

Lampung dengan wilayah seluas 35.376,50 km2 dipimpin oleh gubernur

pertamanya Kusno Danupoyo yang menjabat selama dua tahun dari 1964-

1966. Bila dilihat dari sejarah keterbentukannya, maka Kabupaten

Lampung Selatan sebenarnya sudah ada sebelum Provinsi Lampung

terbentuk – lebih tua daripada Provinsi Lampung. Setelah Provinsi

Lampung terbentuk, Kabupaten Lampung Selatan tetap ada dan menjadi

bagian dari Provinsi Lampung. Dengan kata lain, Kabupaten Lampung

Selatan merupakan pionir terbentuknya Provinsi Lampung dari kabupaten

(residen) menjadi provinsi.

276

Marga-marga yang dikenal dalam masyarakat Lampung sebelum kekuasan

Pemerintah Kolonial Belanda adalah bersifat geneologis-teritorial. Di masa

pemerintahan kolonial Belanda (1928), sistem ini diubah menjadi marga-marga

teritorial-genealogis melalui penetapan batas-batas daerah masing-masing marga.

Page 30: Lampiran 1: Metode Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/10/D_902008001... · tamasya ke Bali, bersama seorang sopir – yang kebetulan seorang

506

Peta 6. Wilayah Administrasi Provinsi Lampung

(Sumber: geospasial.bnpb.go.id/2009/05/12...lampung)

Kehidupan sosial dan ekonomi Lampung pada masa pemerintahan

Republik Indonesia sebenarnya hanya melanjutkan apa yang sudah ada di

masa kolonial. Lampung tetap menjadi daerah perkebunan dan pertanian

beserta industrinya. Lampung masih tetap menjadi daerah tujuan

transmigrasi dari pemerintah pusat sampai program transmigrasi umum ini

dihentikan pada tahun 1980. Akibat dari program transmigrasi sejak masa

kolonial sampai pasca kolonial membawa dampak pada pertumbuhan

jumlah penduduk Lampung. Sampai komposisi masyarakat Lampung kini

lebih didominasi oleh pendatang dari Jawa yang sudah lahir dan turun

temurun di Lampung. Konsekuensi logis lainnya ketika Lampung menjadi

daerah tujuan transmigrasi adalah Lampung menjadi daerah dengan

komposisi masyarakatnya yang majemuk. Para pendatang dari kalangan

transmigran di dominasi keluarga transmigran Jawa, dan kemudian

transmigran Bali. Di samping itu masih masih terdapat pendatang lain dari

Sumatera Selatan, Minangkabau, Sumatera Utara, Aceh, Jawa Barat,

Tionghua, dan pendatang dari wilayah lain yang jumlahnya lebih kecil

seperti dari wilayah timur Indonesia. Para pendatang yang datang ke

Page 31: Lampiran 1: Metode Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/10/D_902008001... · tamasya ke Bali, bersama seorang sopir – yang kebetulan seorang

507

Lampung tetap membawa kebudayaan dan kepercayaannya (agama) di

tempat asal, sebagian sudah terjadi percampuran budaya melalui

pernikahan, menjadikan Lampung semakin plural. Penduduk asli Lampung

sebagian tetap bertahan dengan kebudayaan leluhurnya, sedangkan yang

lain sudah membaur dengan pendatang. Pada dasarnya penduduk asli

Lampung terbuka terhadap para pendatang. Ini dapat dilihat dari perjalanan

sejarah masyarakat ini mulai dari pengaruh kerajaan Hindu, kerajaan

Budha, kemudian percampuran Hindu-Budha, sampai terakhir di masa pra-

kolonial mendapatkan pengaruh yang luas dari Kerajaan Islam. Lalu,

kebudayaan modern (modernisasi) yang dipelopori oleh pemerintah

kolonial dan dilanjutkan oleh pemerintah republik.

Gambaran Singkat Masyarakat Lampung

Masyarakat Lampung diklasifikasikan menjadi dua kelompok

masyarakat – berdasarkan kesukuan dan etnisitas – yaitu masyarakat

Lampung Pepadun dan Saibatin. Semboyan Provinsi Lampung (terdapat

pada logo Provinsi Lampung) yang berbunyi “Sang Bumi Ruwa Jurai”

merupakan arti dari dua kelompok masyarakat Lampung, yaitu satu bumi

Lampung atau satu wilayah Lampung – “Sang Bumi” – yang di dalamnya

didiami oleh dua kelompok masyarakat atau suku – “Ruwa Jurai” – yaitu

Pepadun dan Saibatin. Masyarakat Lampung Pepadun biasa disebut atau

dikenal sebagai masyarakat pedalaman atau daratan. Mereka yang masuk

dalam kategori masyarakat Lampung Pepadun adalah Masyarakat Abung

(daerah Abung), Masyarakat Tulang Bawang (daerah Tulang Bawang),

Masyarakat Pubian Telu Suku (daerah Pubian), dan masyarakat Sungkay-

Way Kanan (daerah Way Kanan). Berbeda dengan masyarakat Pepadun,

masyarakat Lampung Saibatin biasa disebut atau dikenal sebagai

masyarakat pesisir, karena berdomisili di pesisir pantai timur, selatan dan

barat Lampung. Masyarakat Saibatin ini terdiri dari Paksi Pak Sekala Brak

(Lampung Barat), Keratuan Melinting (Lampung Timur), Keratuan Darah

Putih (Lampung Selatan), Keratuan Semangka (Tanggamus), Keratuan

Komering (Provinsi Sumatera Selatan), dan Cikoneng Pak Pekon (Provinsi

Banten).

Page 32: Lampiran 1: Metode Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/10/D_902008001... · tamasya ke Bali, bersama seorang sopir – yang kebetulan seorang

508

Gambar 74. Logo Provinsi Lampung

Berdasarkan sejarah atau asal-usul leluhurnya, masyarakat

Lampung (ulun Lampung (Bahasa Lampung): orang Lampung) berasal

dari Sekala Brak yang terletak di kaki Gunung Pesagi, Lampung Barat. I

Tsing (Fa-Hien), pengelana asal Tiongkok, pernah singgah ke daerah ini

setelah mengunjungi Kerajaan Sriwijaya, di mana ia menyebutkan daerah

ini “To-Lang P‟o-Hwang” atau “To-Langpohwang”. Arti lain (serupa) kata

ini, selain yang sudah disebutkan di bagian sebelumnya, adalah orang (To)

atas (Langpohwang). Kata “atas” yang dimaksudkan adalah lokasi Sekala

Brak yang terletak di dataran tinggi Sekala Brak, di mana merupakan

daerah (puncak) tertinggi di tanah (daerah) Lampung. Kemudian, kata

“Langpohwang” ini berkembang menjadi (cikal-bakal) nama atau sebutan

kata “Lampung” yang menunjukkan tempat (wilayah) Lampung. Pada

mulanya negeri Sekala Brak ini merupakan penganut dinamisme yang

berasal dari pengaruh ajaran Hindu Bairawa. Lambat laun pengaruh Hindu

mulai hilang setelah mendapat pengaruh Islam dari empat orang penyiar

agama Islam yang berasal dari Pagaruyung, Sumatera Barat. Pengaruh

Islam semakin berkembang pesat dalam masyarakat Lampung terutama

setelah Banten menguasai Lampung.

Masyarakat Lampung memiliki landasan atau falsafah hidup

menjadi akar dari nilai-nilai budayanya seperti yang termuat dalam kitab

Kuntara Raja (Khaja277

) Niti. Kelima falsafah hidup tersebut adalah:

277

Khaja = Raja. “Khaja” adalah ucapan dalam dialek Lampung. Huruf “r”

dibaca “kh”

Page 33: Lampiran 1: Metode Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/10/D_902008001... · tamasya ke Bali, bersama seorang sopir – yang kebetulan seorang

509

1. Piil-Pusanggiri (Piil-Pasenggiri): perilaku bermoral

berlandaskan agama, sikap hidup, dan harga diri. Arti: malu

melakukan perbuatan dan pekerjaan yang hina berdasarkan

agama, dan memiliki harga tinggi (bermartabat).

2. Juluk-Adok (Berjuluk-Beadek): berkepribadian, bernama,

bergelar, dan saling menghormati serta menghargai. Arti:

memiliki kepribadian yang sesuai dengan gelar adat yang

disandang.

3. Nemui-Nyimah: terbuka tangan, murah hati, dan ramah pada

sesama. Arti: saling mengunjungi kerabat, saudara, dan teman

guna membangun silahturahmi, serta ramah menerima tamu.

4. Nengah-Nyampur (Nengah-Nyappur): hidup bermasyarakat

(bersosialisasi dengan masyarakat), dan membuka diri dalam

pergaulan. Arti: berpartisipasi aktif dalam hidup (pergaulan)

bermasyarakat dan tidak individualistis.

5. Sakai-Sambayan: gotong royong dan tolong menolong. Arti:

gotong royong dan saling membantu dengan sesama anggota

masyarakat lain.

Selain kelima falsafah hidup tersebut, masyarakat Lampung juga memiliki

tujuh pedoman hidup yang menjadi pegangan hidup mereka, yaitu:

1. Berani menghadapi tantangan: mak nyekhai ki mak kakhai,

mak nyedokh ki mak badokh.

2. Berpendirian teguh (tidak ikut arus): khatong banjikh mak

kisikh, khatong bakhak mak kikhak.

3. Tekun meraih cita-cita (tidak mudah putus asa): asal mak lesa

tilah ya pegai, asal mak jekha tilah ya kelai.

4. Memahami (menerima) perbedaan pendapat (kehendak): pak

huma pak sapu, pak jelma pak semapu, sepuluh pandai

sebelas ngulih-ulih, sepuluh tawai sebelas milih-pilih.

5. Hasil yang diperoleh ditentukan berdasarkan kerja keras yang

telah dilakukan: wat pandah wat padah, khepa ulah khiya

ulih.

Page 34: Lampiran 1: Metode Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/10/D_902008001... · tamasya ke Bali, bersama seorang sopir – yang kebetulan seorang

510

6. Mengutamakan persatuan dan kekompakan: dang langkang

dang nyapang, makhi pekon mak khanggang, dan pungah

dan lucah, makhi pekon mak belah.

7. Arif dan bijaksana memecahkan masalah: wayni dang

khubok, iwani dapok.

Keterbukaan masyarakat Lampung dalam menerima pendatang sebenarnya

tidak dapat dilepaskan dari pengaruh falsafah dan pegangan hidup mereka.

Meskipun, keterbukaan masyarakat Lampung terhadap para pendatang

pada akhirnya mengecilkan pengaruh mereka di pentas percaturan politik

lokal, khususnya di masa Orde Baru. Saat ini jumlah mereka menjadi

minoritas di tanah kelahirannya sendiri, dan harus berjuang

mempertahankan identitas dan kebudayaannya yang mulai ditinggalkan

oleh generasi muda. Dalam beberapa kasus kecil, terjadi gesekan antara

masyarakat Lampung (penduduk lokal) dengan pendatang karena

tergesernya peran mereka secara ekonomi oleh pendatang yang lebih

agresif dalam melakukan aktifitas perekonomian.

Di bidang kebahasaan dan kesusastraan, masyarakat Lampung

memiliki bahasa dan aksaranya sendiri, yaitu Bahasa dan Akasara

Lampung. Bahasa Lampung merupakan bahasa yang digunakan oleh Ulun

Lampung di Propinsi Lampung, wilayah selatan Sumatera Selatan

(perbatasan Propinsi Lampung dan Sumatera Selatan), dan pantai barat

Banten. Bila diklasifikasikan, Bahasa Lampung terdiri dari dua sub-dialek,

yaitu Dialek Belalau atau Dialek Api (“A”) dan Dialek Abung atau Dialek

Nyow (“Nyo”). Untuk Dialek Api banyak digunakan oleh masyarakat

Lampung Saibatin dan beberapa masyarakat Lampung Pepadun,

sedangkan Dialek Nyow digunakan oleh masyarakat Lampung Pepadun278

.

Aksara Lampung sendiri – biasa disebut Had Lampung – merupakan

bentuk tulisan yang memiliki hubungan dengan aksara Pallawa dari India

278

Masyarakat Lampung Saibatin yang menggunakan Dialek Api adalah Sekala

Brak, Melinting Maringgai, Darah Putih Rajabasa, Balau Teluk Betung, Semangka

Kota Agung, Pesisir Krui, Ranau, Komering dan Daya; sedangkan masyarakat

Lampung Pepadun yang menggunakan Dialek Api adalah Way Kanan, Sungkai,

dan Pubian. Penggunaan Dialek Nyow oleh masyarakat Lampung Pepadun

terdapat pada masyarakat (ulun) Abung dan Tulang Bawang.

Page 35: Lampiran 1: Metode Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/10/D_902008001... · tamasya ke Bali, bersama seorang sopir – yang kebetulan seorang

511

Selatan dan Huruf Arab. Aksara Lampung terdiri dari huruf induk, anak

huruf, anak huruf ganda dan konsonan, lambing, angka dan tanda baca.

Istilah yang sering digunakan untuk menyebut Aksara Lampung adalah

“Ka-Ga-Nga” yang merupakan tiga huruf induk yang pertama berdasarkan

urutannya. Huruf induk berjumlah 20 buah, dan pembacaannya dari kiri ke

kanan (sama seperti pembacaan dalam Bahasa Indonesia). Seiring dengan

perkembangan zaman penggunaan Bahasa Lampung di kalangan

masyarakat Lampung yang majemuk semakin tertinggal – meskipun upaya

pelestarian Bahasa Lampung (bahasa dan aksara) telah dilakukan dibangku

pendidikan SD dan SLTP sebagai mata pelajaran wajib dalam kurikulum

muatan lokal. Masyarakat Lampung lebih memilih menggunakan Bahasa

Indonesia sebagai bahasa percakapan sehari-hari dalam interaksi dengan

kelompok masyarakat lain. Dalam masyarakat Lampung sendiri terdapat

beberapa bahasa yang digunakan di dalam komunitas etniknya, yaitu

Bahasa Lampung, Sunda, Batak, Jawa, Bali, Melayu, Mandarin (Hokkian

dan Khek), dan lain-lain. Dalam kasus penggunaan bahasa di Lampung,

Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang netral, karena melalui Bahasa

Indonesia interaksi dan komunikasi antara etnik dapat berjalan dengan

lancar.

Di bidang kesenian masyarakat Lampung memiliki kesenian yang

beragam, khususnya yang terkenal adalah seni tari dan kain tenun yang

biasa disebut kain “Tapis” Lampung. Jenis tarian yang sering diperagakan

di antaranya adalah Takarot Kataki atau Lalayang Kasiwan – biasa

digunakan saat upacara kerajaan – dan Tari Tanggai. Ciri khas dari tarian

ini adalah penarinya yang merupakan gadis-gadis Lampung (Muli

Meghanai). Kain Tapis sendiri dalam perkembangannya dulu merupakan

kain memiliki nilai-nilai sakral dan keagungan yang hanya digunakan oleh

kalangan bangsawan dalam upacara-upacara adat tertentu. Saat ini Kain

Tapis sudah dapat digunakan dan dimiliki oleh khalayak dan sudah

diproduksi dalam jumlah besar sehingga tidak sulit untuk

mendapatkannya. Seperti kain batik, Tapis pun dijadikan sebagai salah

satu suvenir atau kenang-kenangan bagi turis yang berwisata ke Lampung.

Page 36: Lampiran 1: Metode Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/10/D_902008001... · tamasya ke Bali, bersama seorang sopir – yang kebetulan seorang

512

Page 37: Lampiran 1: Metode Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/10/D_902008001... · tamasya ke Bali, bersama seorang sopir – yang kebetulan seorang

513

Lampiran 4: Kronologis Sejarah Singkat279

400 Sebelum Masehi : Kerajaan Hindu Tarumanegara dan Kutai

berdiri di Jawa Barat dan Kalimantan Timur.

Sebelum 929 Masehi : Pusat politik (pemerintahan) Jawa pindah ke

Jawa Timur.

914 – 1080 : Pertama kali Kerajaan Hindu di Bali.

1331 – 1364 : Gajah Mada menjadi Perdana Menteri (Patih)

Kerajaan Majapahit.

1343 : Kerajaan Majapahit menguasai Bali.

1478 : Demak menjadi kerajaan Islam pertama di

Jawa.

1527 : Kesultanan Demak mengalahkan Majapahit.

1585 : Kapal Portugis terdampar di Bali, dekat

Tanjung Bukit, Jimbaran.

1597 : Cornelis de Houtman (Belanda) dicatat

sebagai orang Eropa pertama yang pertama

kali menemukan Bali.

1602 : VOC berdiri (dalam Belanda: Vereenigde

Oost-Indische Compagnie; dalam Inggris:

Duct East Indies Company).

1619 : Batavia, ibukota pemerintaha Hindia Belanda,

didirikan oleh Gubernur Jenderal J. P. Coen.

1778 : Bataviaasch Genootschap van Kunsten en

Wetenschappen (Batavian Society of the Arts

and Sciences) didirikan.

1799 : VOC (Duct East Indies Company) bangkrut.

1 Januari 1800 : VOC gagal menjalankan kewajibannya; aset

dan kekayaan VOC diambil-alih oleh

Pemerintah Belanda.

1803 – 1837 : Perang Paderi berkecamuk di Sumatera

1808 – 1811 : Herman Willem Daendels (dikenal sebagai

Napoleon Kecil dari Belanda, wakil kerajaan

Belanda di bawah Perancis di bawah Raja

Belanda Lodewijk Napoleon yang masih

279

Dirangkum dari berbagai sumber.

Page 38: Lampiran 1: Metode Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/10/D_902008001... · tamasya ke Bali, bersama seorang sopir – yang kebetulan seorang

514

saudara Napoleon Bondaparte) memimpin

Hindia Belanda.

1811 : Inggris mengambil-alih Jawa.

1811 – 1817 : Inggris menguasai Jawa dengan dipimpin

pejabat sementara Thomas Stamford Raffles.

Pada masa ini perdagangan budak resmi

dihapuskan – Bali mendominasi perdagangan

budak masa itu di Nusantara.

1815 : Gunung Tambora meletus.

1825 – 1830 : Perang Jawa.

1830 : cultuurstelsel atau cultivation system atau

sistem tanam paksa diperkenalkan.

1846 : Ekspedisi militer Belanda pertama ke Bali

1848 : Ekspedisi militer Belanda kedua ke Bali.

1849 : Ekspedisi militer Belanda ketiga ke Bali;

Buleleng dan Jembrana takluk, dijajah di

bawah pemerintahan tidak langsung.

1864 : Misionaris pertama datang ke Buleleng.

1873 – 1904 : Perang Aceh.

1882 : Jembrana dan Buleleng dijajah di bawah

pemerintahan langsung.

1883 : Gunung Krakatau meletus.

1891 : Misionaris Katolik mendapatkan izin resmi

dari pemerintah kolonial; dan di masa ini –

penghujung abad ke-19 – pemerintah kolonial

secara resmi melarang kegiatan misionaris di

Bali.

1896 : Karangasem dijajah di bawah pemerintahan

tidak langsung.

1901 : Gianyar dijajah di bawah pemerintahan tidak

langsung.

1901 : Dimulainya Politik Etis (dalam Inggris:

Ethical Policy, atau dalam Belanda: ethische

politiek).

1902 : Kebijakan transmigrasi dimulai (perencanaan

dan persiapan).

1905 : Pertama kali transmigran Jawa berhasil

dipindahkan ke Lampung, Sumatera.

Page 39: Lampiran 1: Metode Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/10/D_902008001... · tamasya ke Bali, bersama seorang sopir – yang kebetulan seorang

515

1906 : Badung takluk, dijajah di bawah pemerintahan

langsung.

1906 : Tabanan takluk, dijajah di bawah

pemerintahan langsung.

1908 : Klungkung takluk, dijajah di bawah

pemerintahan langsung.

1909 : Bangli dijajah di bawah pemerintahan tidak

langsung.

1917 : Gempa bumi di Bali menghancurkan pura-

pura dan desa-desa.

1917 : Bangli dan Gianyar dijajah di bawah

pemerintahan langsung.

1920 : Baliseering Tahap I.

1920 : Kebijakan Baliseering atau Balinisasi

(pemulihan tradisi Bali) dimulai, dan

permulaan (pemicu) kembalinya “perlawanan”

– debat publik panas – ke permukaan

golongan Sudra Wangsa dan klan-klan (warga

/ soroh) – seperti pasek, Pandé, dan sesungguh

– yang dicampakkan ke Sudra Wangsa

terhadap legitimasi Triwangsa yang didukung

pemerintah kolonial, Surya Kanta (Sudra

Wangsa) vs Bali Adnyana (Triwangsa).

1921 : Karangasem dijajah di bawah pemerintahan

langsung.

1922 : Peraturan pajak tanah baru di Bali.

1929 : para mantan raja dianugerahi gelar dan hak

istimewa kerajaa.

1929-1930 : Resesi (depresi) ekonomi dunia dimulai pasca

Perang Dunia I.

1935 : Baliseering Tahap II.

1935 : Transmigrasi lokal pertama di Bali masa

kolonial dari Nusa Pendia dan Bali Selatan ke

Jembrana, Bali Utara.

1938 : Pemulihan zelfbestuur (status otonomi khusus

bagi negara atau kerajaan / raja / bangsawan

puri) di Bali.

18 Februari 1942 : Jepang menduduki Bali.

Page 40: Lampiran 1: Metode Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/10/D_902008001... · tamasya ke Bali, bersama seorang sopir – yang kebetulan seorang

516

1953 : Pertama kali orang Bali bertransmigrasi ke

Belitang, Sumatera, dengan sponsor

pemerintah dari departemen transmigrasi.

14 Agustus 1958 : Bali berstatus provinsi.

1960 : Undang-undang perombakan penguasaan

tanah (land reform) nasional ditetapkan.

1962 – 1965 : Hiperinflasi di Bali.

17 Maret 1963 : Letusan pertama Gunung Agung.

16 Mei 1963 : Letusan kedua Gunung Agung.

Juli – Agustus 1963 : Transmigrasi orang Bali ke Sumatera akibat

letusan Gunung Agung; transmigrasi sponsor

pemerintah dari KoOGA (Komando Operasi

Gunung Agung) dan transmigrasi swakarsa.

1 Oktober 1965 : Kudeta Untung (Gerakan 30 September) dan

kudeta balasan Suharto.

7 Desember 1965 : Pasukan RPKAD dan Brawijaya mendarat di

Bali dari Jawa, pembantaian dimulai.

Pasca 1965 : Pasca peristiwa berdarah di penghujung 1965

dan berkuasanya Suharto (Orde Baru),

transmigrasi orang Bali ke Lampung kembali

dilanjutkan, umumnya transmigrasi swakarsa.

Page 41: Lampiran 1: Metode Penelitian - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/729/10/D_902008001... · tamasya ke Bali, bersama seorang sopir – yang kebetulan seorang

Membali di Lampung memberikan sebuah gambaran bagaimana sebuah

masyarakat dengan ikatan sosial yang kuat berhasil melestarikan identitas

kulturalnya setelah bertransmigrasi melalui sebuah proses pembentukan identitas

yang dinamis antara negara pusat dan negara satelit. Berasal dari Pulau Nusa

Penida (Bali) yang tandus dan kering, kelompok transmigran Bali Nusa berhasil

mendirikan sebuah benteng identitas kebaliannya di Lampung. Inilah yang

dipentaskan komunitas Bali Nusa di Desa Balinuraga. Nama Balinuraga adalah

saripati perjuangan transmigran Bali Nusa untuk menjadikan “Bali masih ada”.

Mereka telah menjadi Bali yang berbeda dibandingkan Bali di Nusa Penida atau

pun Bali di Bali. Mereka tidak hanya mendapatkan legitimasi atas identitas

kulturalnya dari negara pusat, tetapi juga, sebagai negara satelit yang otonom,

menjadi konstrukor atas identitasnya sendiri dengan membentuk identitas

resistensi dan proyek di dalam benteng identitasnya yang tertutup. Pergulatan

eksistensial Bali (yang) masih ada itulah yang memberi makna dari arti “Membali

di Lampung” yang menjadi judul disertasi ini.

Bagaimana Balinuraga membentuk dan melestarikan identitas

kebaliannya menjadi sebuah refleksi atas identitas keindonesiaan. Di satu sisi,

komunitas Balinuraga dengan ikatan sosial yang kuat dengan tanah leluhurnya

harus mempertahankan dan melestarikan idenitasnya dengan mendirikan benteng

(identitas) tertutup, namun di sisi lain, benteng tertutup kontradiktif dengan

semangat kebhineka-tunggal-ikaan. Membali di Lampung adalah situasi dilematis

menjadi Indonesia, khususnya bagi masyarakat yang memiliki ikatan sosial yang

kuat dengan tanah leluhurnya. Membali di Lampung berarti menguatkan identitas

primordial yang menjadi identitas atau jadi diri yang membanggakan bagi

empunya identitas, sedangkan meng-Indonesia mensyaratkan “pelemahan”

identitas primordial (kesukuan) agar bisa menjadi sebuah bangsa yang satu:

Bangsa Indonesia. Permasalahannya adalah bagaimana semangat Balinuraga ini

bisa mengobarkan spirit Indonesianuraga dengan jiwa bhineka tunggal ika.

Yulianto. Lahir 31 Juli 1983 di Teluk Betung,

Bandar Lampung. Menyelesaikan studi strata

satu di Fakultas Ekonomi Universitas Kristen

Satya Wacana (UKSW) tahun 2005, strata dua di

Program Pasca Sarjana Magister Studi

Pembangunan UKSW tahun 2008, dan strata tiga

di Program Pasca Sarjana Doktor Studi

Pembangunan UKSW tahun 2011.