lahan aat

20
TINJAUAN PUSTAKA Air Asam Tambang Air asam tambang atau acid mine drainage (AMD) merupakan cairan (air limpasan) yang terbentuk akibat oksidasi mineral-mineral sulfida yang menghasilkan asam sulfat. Mineral sulfida tersebut di antaranya pirit dan markasit (FeS 2 ), kalkopirit (CuFeS 2 ), dan arsenopirit (FeAsS) (Skousen et al., 1998). Di lokasi pertambangan batu bara mineral sulfida yang umum dijumpai adalah pirit dan markasit (FeS 2 ). Mineral ini ketersediaannya cukup signifikan di dalam lapisan batu bara, overburden, dan interburden. Sehingga, pirit merupakan penghasil air asam tambang utama di lokasi pertambangan batu bara (Salomons, 1995, ICARD, 1997, dalam Nguyen, 2008). Watzlaf et al. (2004) menyatakan bahwa oksidasi pirit (FeS 2 ) akan membentuk ion ferro (Fe 2+ ), sulfat, dan beberapa proton pembentuk keasaman, sehingga kondisi lingkungan menjadi asam. Stumm dan Morgan (1981) menguraikan reaksi oksidasi pirit (FeS 2 ) dalam reaksi berikut: FeS 2(s) + 3,5 O 2 + H 2 O Fe +2 + 2 SO 4 -2 + 2H + (1) Fe +2 + 0,25 O 2 + H + Fe +3 + 0,5 H 2 O (2) FeS 2(s) +14 Fe +3 + 8 H 2 O 15 Fe +2 +2 SO 4 -2 + 16 H + (3) Fe +3 + 3 H 2 O 2 Fe(OH) 3(s) + 3 H + (4) Pada reaksi (1) pirit (FeS 2 ) dioksidasi membentuk besi ferro (Fe 2+ ), sulfat (SO 4 2- ) dan beberapa proton penyebab kemasaman (H + ), sehingga lingkungan menjadi lebih masam. Menurut Higgins dan Hard (2003) pada pH air yang cukup masam bakteri-bakteri acidophilic yang merupakan pengoksidasi besi dan sulfat yang dapat mempercepat proses oksidasi pirit akan tumbuh pesat (reaksi 1). Thiobacillus ferrooxidans merupakan salah satu contoh dari bakteri tersebut. Bakteri pengoksidasi besi seperti Thiobacillus ferrooxidan mempercepat proses oksidasi pirit melalui dua mekanisme, yaitu: oksidasi langsung melalui persamaan reaksi (1), dan secara tidak langsung, di mana terlebih dahulu Fe 2+ dioksidasi menjadi Fe 3+ (reaksi 2) yang akan mengoksidasi pirit secara abiotik (reaksi 3). Selanjutnya, reaksi (4) akan berlangsung jika pH air mencapai > 2,8.

description

kekritisan lahan akibat aat

Transcript of lahan aat

Page 1: lahan aat

TINJAUAN PUSTAKA

Air Asam Tambang

Air asam tambang atau acid mine drainage (AMD) merupakan cairan (air

limpasan) yang terbentuk akibat oksidasi mineral-mineral sulfida yang

menghasilkan asam sulfat. Mineral sulfida tersebut di antaranya pirit dan markasit

(FeS2), kalkopirit (CuFeS2), dan arsenopirit (FeAsS) (Skousen et al., 1998). Di

lokasi pertambangan batu bara mineral sulfida yang umum dijumpai adalah pirit

dan markasit (FeS2). Mineral ini ketersediaannya cukup signifikan di dalam

lapisan batu bara, overburden, dan interburden. Sehingga, pirit merupakan

penghasil air asam tambang utama di lokasi pertambangan batu bara (Salomons,

1995, ICARD, 1997, dalam Nguyen, 2008).

Watzlaf et al. (2004) menyatakan bahwa oksidasi pirit (FeS2) akan

membentuk ion ferro (Fe2+), sulfat, dan beberapa proton pembentuk keasaman,

sehingga kondisi lingkungan menjadi asam. Stumm dan Morgan (1981)

menguraikan reaksi oksidasi pirit (FeS2) dalam reaksi berikut:

FeS2(s)+ 3,5 O2 + H2O → Fe+2 + 2 SO4-2 + 2H+ (1)

Fe+2 + 0,25 O2 + H+ → Fe+3 + 0,5 H2O (2)

FeS2(s)+14 Fe+3 + 8 H2O → 15 Fe+2 +2 SO4-2 + 16 H+ (3)

Fe+3 + 3 H2O ↔ 2 Fe(OH)3(s) + 3 H+ (4)

Pada reaksi (1) pirit (FeS2) dioksidasi membentuk besi ferro (Fe2+), sulfat

(SO42-) dan beberapa proton penyebab kemasaman (H+), sehingga lingkungan

menjadi lebih masam. Menurut Higgins dan Hard (2003) pada pH air yang cukup

masam bakteri-bakteri acidophilic yang merupakan pengoksidasi besi dan sulfat

yang dapat mempercepat proses oksidasi pirit akan tumbuh pesat (reaksi 1).

Thiobacillus ferrooxidans merupakan salah satu contoh dari bakteri tersebut.

Bakteri pengoksidasi besi seperti Thiobacillus ferrooxidan mempercepat

proses oksidasi pirit melalui dua mekanisme, yaitu: oksidasi langsung melalui

persamaan reaksi (1), dan secara tidak langsung, di mana terlebih dahulu Fe2+

dioksidasi menjadi Fe3+ (reaksi 2) yang akan mengoksidasi pirit secara abiotik

(reaksi 3). Selanjutnya, reaksi (4) akan berlangsung jika pH air mencapai > 2,8.

Page 2: lahan aat

6

Dalam reaksi ini, Fe3+ akan dihidrolisis dan membentuk endapan besi hidroksida

(Fe(OH)3) yang disebut ‘yellow boy’ (Watzlaf et al., 2004).

Selain besi (Fe) Watzlaf et al. (2004) menyebutkan bahwa mineral lain

yang dapat menyumbangkan kemasaman pada AAT adalah mineral-mineral yang

mengandung alumunium (Al). Alumunium ini dapat terhidrolisis dan

menghasilkan H+ melalui reaksi berikut:

Al 3+ + 3H2O → Al(OH)3 + 3H+ (5)

Air yang terkontaminasi dengan AAT biasanya mengandung logam dalam

konsentrasi yang tinggi yang dapat meracuni organisme perairan. Nilai pH air

yang rendah (2,0 – 4,5) merupakan tingkatan beracun bagi beberapa kehidupan

perairan (Kimmel, 1983, Hill, 1974, dalam Jenning et al., 2008).

Pengelolaan Air Asam Tambang

Air asam tambang dari kegiatan penambangan batu bara dan mineral

merupakan masalah yang pelik dan memakan banyak biaya dalam penanganannya

(US-EPA, 1994). Penambangan batu bara menyebabkan terjadinya oksidasi pirit

dan mineral sulfida lainnya menghasilkan air asam tambang dengan kandungan

besi, mangan, dan alumunium dalam konsentrasi tinggi (Watzlaf et al., 2004).

Pengelolaan air asam tambang pada intinya bertujuan untuk meningkatkan pH

dan menghilangkan logam terlarut (Skousen et al., 1998).

Pengelolaan AAT dapat dilakukan secara abiotik dan biotik (Gambar 1)

pada sistem aktif dan pasif. Dasar pertimbangan penggunaan metode ini adalah

jenis AAT yang akan dikelola (Johnson dan Hallberg, 2005).

Metode yang paling banyak digunakan dalam pengelolaan AAT adalah

dengan abiotik sistem aktif atau banyak dikenal dengan ‘active treatment’ yang

dilakukan dengan penambahan bahan kimia penetral. Metode ini sangat efektif

untuk pengelolaan AAT dengan kandungan logam berat tinggi (Coulton et al.,

2003). Namun, kelemahan pengelolaan secara aktif ini adalah memerlukan biaya

yang tinggi dan menghasilkan sludge sebagai hasil sampingannya. Sludge ini akan

mengandung polutan-polutan termasuk logam berat sesuai dengan komposisi yang

ada pada AAT yang dikelola (Johnson dan Hallberg, 2005).

Page 3: lahan aat

7

Sejak 30 tahun yang lalu, konsep pengelolaan AAT dengan metode

passive treatment telah dikembangkan dari mulai skala percobaan sampai kepada

aplikasinya di lapang pada ratusan tempat di seluruh dunia (Younger, 2000). Hasil

akhir dari passive treatment adalah meningkatkan proses ameliorasi secara alami,

sehingga teknik ini harus dilakukan dalam suatu sistem dan bukan secara

langsung pada badan air (seperti sungai dan danau).

Rawa Buatan

Rawa adalah suatu daerah yang terendam oleh air permukaan atau air

tanah dalam suatu periode tertentu yang memungkinkan terjadinya kondisi jenuh

air pada tanah tersebut. Karakteristik dan fungsi rawa dapat dibedakan dari posisi

dalam suatu bentang lahan, iklim, hidrologi, vegetasi, dan tanahnya (Reddy dan

DeLaune, 2008).

Rawa buatan adalah suatu sistem yang dibangun dan dirancang

menyerupai rawa alami untuk keperluan pengolahan air tercemar. Proses

pengolahan air tercemar pada rawa buatan merupakan suatu proses alamiah yang

melibatkan tumbuhan air, sedimen, dan mikroorganisme, dengan matahari sebagai

sumber energi (Vymazal , 2008).

REMEDIASI AAT

Abiotic

Sistem aktif

Biotic

Sistem pasif

Rawa Buatan Aerobik

Reaktor/ Rawa buatan kompos Permeable reactive barriers Biorektor ‘packet bed iron-oxidation’

Bioreaktor ‘off-line sulfidogenic’

Sistem pasif ; seperti anoxic

Sistem aktif ; aerasi dan penambahan kapur

Gambar 1 Strategi pengelolaan AAT secara abiotik dan biotik (Johnson dan Hallberg, 2005)

Page 4: lahan aat

8

Pembangunan rawa buatan di sekitar tambang bertujuan untuk

menampung limpahan air hujan yang menghanyutkan tanah-tanah galian beserta

senyawa logam-belerang (seperti pirit) yang dapat berpotensi menjadi asam

tambang. Bila tanah dan batuan di sekitarnya tidak dapat menetralisir asam, maka

asam-asam beserta dengan toksistas logam (bila ada) dapat dinetralisir di rawa

buatan tersebut (Khiatuddin, 2003).

Novotny dan Olem (1994) menguraikan proses-proses yang terjadi di

dalam rawa buatan secara lengkap yang meliputi proses fisik, fisika-kimia, dan

biokimia. Proses-proses fisik terdiri dari sedimentasi, filtrasi padatan tersuspensi

oleh sedimen dan tumbuhan air, serta pemanasan dan volatilisasi. Proses fisika-

kimia terdiri dari proses adsorpsi bahan pencemar oleh tumbuhan air, sedimen,

dan substrat organik. Proses biokimia terdiri dari proses penguraian zat tercemar

oleh bakteri yang menempel pada permukaan substrat/sedimen, perakaran

tumbuhan, dan serasah (bahan organik).

Keberhasilan rawa buatan dalam menghasilkan kualitas air yang bagus

tergantung dari sifat kimia air yang dikelola, kapasitas mengalirkan air, dan desain

dari rawa buatan (Hedin et al., 1994). Sistem pengelolaan limbah dipengaruhi

oleh konstruksi rawa buatan. Secara umum, konstruksi rawa buatan untuk

pengelolaan AAT dapat dikelompokkan menjadi rawa buatan aerobik dan

anaerobik (Gambar 2).

Bahan Organik

Batu Gamping

Substrat (tanah)

Rawa Buatan Aerobik Rawa Buatan Anaerobik (Aliran Permukaan)

Air Air Air Air

: Perpindahan polutan secara difusi

Keterangan :

±15 cm } { ±15 cm

{ 15-30 cm

{ 30-60 cm

Gambar 2 Skema penampang melintang rawa buatan aerobik dan anaerobik (aliran permukaan) (modifikasi dari Skousen et al., 1998)

Air limbah

Air limbah

Page 5: lahan aat

9

Rawa buatan aerobik merupakan rawa yang ditanami dengan Typha sp.

atau jenis tanaman lain pada kedalaman kurang 30 cm, sedangkan pada rawa

buatan anaerobik, tanaman-tanaman tersebut ditanam pada kedalaman lebih dari

30 cm. Selain itu, pada rawa buatan aerobik sedimen (substrat) terdiri dari tanah

dan liat, sementara pada rawa buatan anaerobik, substrat terdiri dari campuran

tanah dan berbagai macam bahan organik seperti gambut, kompos, serbuk gergaji,

kotoran ternak, jerami dan sebagainya yang dicampur dengan batu gamping

(Skousen et al., 1998).

Sistem lahan basah anaerobik menggunakan komposisi reaktif material

berupa kompos, serasah daun, dan serbuk gergaji, yang ditambahkan lumpur aktif

yang akan menstimulasi pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat untuk

meningkatkan alkalinitas dan menyisihkan logam dalam bentuk endapan sulfida

(Benner et al., 1997 dalam Henny, 2009).

Tumbuhan Rawa

Tumbuhan air pada lahan basah mempunyai beberapa fungsi atau manfaat

penting, seperti (1) konsolidasi substrat: akar tanaman memegang substrat

bersama-sama dan meningkatkan waktu tinggal air dalam wetland; (2) stimulasi

proses jasad renik: tanaman menyediakan tapak untuk menempelnya mikroba,

mengeluarkan oksigen dari akarnya, dan menyediakan sumber bahan organik

untuk mikroba heterotrof; (3) habitat satwa liar: tanaman memasok pakan dan

perlindungan bagi hewan; (4) estetika: wetland dengan pertanamannya lebih enak

dipandang mata; (5) akumulasi logam (Skousen et al., 1998).

Keberadaan tumbuhan dengan sistem perakarannya mampu menyokong

pertumbuhan mikroba dalam sistem yang juga akan mendegradasi senyawa-

senyawa logam berat (Kadlec dan Knight, 1996 dalam Henny, 2009). Dalam

sistem rawa buatan untuk pengelolaan AAT secara aerobik tanaman Typha sp. dan

Phragmites sp. lebih banyak digunakan, namun peran langsung dari kedua

tanaman ini dalam memperbaiki kualitas air masih dipertanyakan (Johnson dan

Hallberg, 2005). Tumbuhan rawa mempunyai kemampuan untuk menyerap > 0,5

% berat kering dari kadar unsur alami tersebut dalam jaringan (Zayed et al., 1998

dalam Yang dan Ye, 2009).

Page 6: lahan aat

10

Reduksi dan Potensial Redoks

Reduksi adalah perolehan elektron, sedangkan oksidasi adalah kehilangan

elektron. Reaksi oksidasi biasanya berkaitan erat dengan kondisi tanah

berdrainase baik. Di lain pihak, reduksi berhubungan dengan kondisi drainase

buruk atau apabila terdapat air berlebih. Proses reduksi yang umumnya berlaku

pada kondisi anaerob menghasilkan reduksi beberapa unsur hara. Akibat reduksi

ini, besi direduksi menjadi Fe2+ dan mangan menjadi Mn2+ (Tan, 1992).

Reduksi dapat terjadi jika ada bahan organik, tidak ada pasokan oksigen,

dan adanya mikroorganisme anaerob dalam lingkungan yang sesuai untuk

pertumbuhannya (Wang dan Hagan, 1981). Intensitas reduksi tergantung kepada

jumlah bahan organik yang mudah terurai dan suhu tanah. Semakin tinggi

kandungan bahan organik, semakin tinggi intensitas reduksinya. Potensial redoks

merupakan parameter yang berguna untuk mengukur intensitas reduksi pada tanah

dan mengidentifikasi reaksi utama yang terjadi (Sanchez, 1976). Potensial redoks

mempengaruhi: 1) konsentrasi oksigen, 2) pH, 3) ketersediaan P dan Si, 4)

konsentrasi Fe2+, Mn2+, Cu+, dan SO42- secara langsung, 5) pembentukan asam-

asam organik, sulfida organik, dan hidrogen sulfida (De Datta, 1981).

Potensial redoks secara kuantitatif mengukur kecenderungan untuk

mengoksidasi atau mereduksi bahan-bahan yang rentan (Faulkner dan Patrick,

1992). Potensial redoks (Eh) diukur sebagai perbedaan potensial antara elektrode

platina dan standar elektrode hidrogen yang dinyatakan dalam satuan miliVolt

(mV). Redoks potensial juga dapat dinyatakan dalam pe (-log aktivitas elektron)

yang nilainya setara dengan mol/l. Namun, dalam literatur ilmu tanah, Eh lebih

banyak digunakan dalam menyatakan hubungan redoks (Lindsay, 1979).

Reduksi Sulfat

Pada sistem rawa alami, belerang atau sulfur (S) sangat berperan dalam

proses biogeokimia yang meliputi reduksi sulfat, pembentukkan pirit, siklus

logam, dan emisi gas (Reddy dan DeLaune, 2008). Reduksi sulfat adalah proses

mikrobiologi di mana sulfat direduksi menjadi sulfida. Oleh karena itu, reduksi

sulfat tidak lepas dari peranan bakteri pereduksi sulfat (Widdel, 1988 dalam

Drury, 2006).

Page 7: lahan aat

11

Bakteri pereduksi sulfat dicirikan oleh respirasi anaerobik dengan

menggunakan sulfat sebagai pusat penerima elektron. Greben et al. (2005)

menggambarkan bahwa reduksi sulfat dapat terjadi melalui proses berikut :

2C2H5OH + SO42- → 2CH3COOH + S2- + 2H2O (6)

Reduksi sulfat merupakan penyebab utama dalam netralisasi pH dan

pengurangan sulfat dan logam beracun (Machemer dan Wilderman, 1992,

McIntire et al., 1990, dalam Drury, 2006). Bakteri pereduksi sulfat menghasilkan

kira-kira 2 mol alkalinitas per satu mol sulfat yang direduksi, jumlah mol yang

dihasilkan akan sangat beragam tergantung kepada struktur donor elektron.

Produksi alkalinitas dapat dilihat pada contoh reaksi (7) di mana asetat sebagai

donor elektron.

2CH3COO- + SO42- + H+ ---→ H2S + 2HCO3

- (7)

Satu mol sulfida akan dihasilkan dari satu mol sulfat pada proses reduksi sulfat,

sulfida ini akan mengendapkan logam berat dengan membentuk logam sulfida

dengan kelarutan rendah.

M2+ + H2S → MS↓ + 2H+ (8)

Pada konsentrasi sulfat 500 – 1.500 mg/l, reduksi sulfat dapat berjalan

sangat cepat. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh: (i) sulfida yang dihasilkan

dari reduksi sulfat lebih toksik terhadap bakteri metanogenik yang merupakan

kompetitor utama bagi bakteri pereduksi sulfat dalam menggunakan donor

elektron, (ii) peningkatan konsentrasi sulfida menyebabkan terjadinya

peningkatan ‘thermodynamic driving force’ reduksi sulfat yang diakibatkan oleh

menurunnya potensial redoks (Greben et al., 2005).

Stabilitas Besi dalam Larutan

Stabilitas besi dalam larutan merupakan fungsi dari pH dan potensial

redoks (Eh) hal ini dapat dilihat pada Gambar 3. Potensial redoks dan pH

digunakan untuk menetapkan hubungan stabilitas antara mineral-mineral oksida

besi dan hidroksida besi. Ferri (Fe3+) dalam kondisi tereduksi akan menghasilkan

ferro (Fe2+), hal ini terjadi pada potensial redoks kurang dari 770 mV (Lindsay,

1979).

Page 8: lahan aat

12

Besi ferri (Fe3+) berada dalam kondisi teroksidasi dan membentuk

Fe(OH)3, sedangkan besi ferro (Fe2+) berada dalam kondisi tereduksi dan

membentuk FeCO3 dan Fe(OH)2. Besi mengendap pada kisaran pH 4,0 - 12,0

dalam bentuk Fe(OH)3, FeCO3, dan Fe(OH)2 (Evangelou, 1998). Menurut

Brinkman (1978), Fe2+ tidak semua tinggal dalam larutan, melainkan

menggantikan kation-kation yang dapat dipertukarkan, yang sebagian tercuci

yakni ion monovalen dan divalen.

Pada sistem rawa dengan kandungan bahan organik tinggi, memungkinkan

terjadi pembentukan kompleks antara logam terlarut dengan bahan organik

terlarut (dissolved organic matter) yang banyak ditemukan pada kondisi redoks

yang rendah. Kompleks yang terbentuk antara Fe2+ dengan bahan organik terlarut

dapat membawa Fe2+ tetap terlarut selama beberapa hari walaupun pada kondisi

aerobik (Reddy dan DeLaune, 2008).

Gambar 3 Stabilitas besi dalam bentuk terlarut dan padatan yang merupakan fungsi dari pH dan Eh pada tekanan udara 1 atm dan suhu 25oC (Elder, 1985 dalam Brooke, 2011).

Page 9: lahan aat

13

Stabilitas Mangan dalam Larutan

Seperti halnya besi, stabilitas mangan pada larutan juga merupakan fungsi

dari pH dan potensial redoks (Eh), hal ini dijelaskan pada Gambar 4. Pada kondisi

anaerob, mangan bervalensi tinggi (Mn4+ dan Mn3+) tereduksi menjadi Mn2+.

Reduksi Mn4+ mendahului Fe3+, karena Mn4+ lebih mudah larut daripada Fe3+

(Ponnamperuma, 1965).

Pada kondisi tereduksi Mn2+ akan membentuk MnCO3 dan Mn(OH)2,

MnCO3 sangat stabil pada kisaran pH 7,5 - 11,2. Selain itu, pengendapan mangan

dipengaruhi oleh konsentrasi Fe. Hal ini dikarenakan besi ferro (Fe2+) dapat

bereaksi dengan mangan oksida (MnO2) yang tidak larut, mengikuti reaksi di

bawah ini:

MnO2 + 4H+ + 2Fe2+ —→ Mn2+ + 2Fe3+ +2H2O (9)

Fe3+ + 3H2O —→ Fe(OH)3 + 3H+ (10)

Reaksi di atas menunjukkan Fe2+ terlarut dapat mereduksi mangan oksida ke

dalam bentuk Mn2+ yang larut (Stumm dan Morgan, 1981).

O2 H2O

MnO2

Mn2O3

Mn3O4

MnCO3 Mn(OH)2 H2 H2O

Mn2+

1200

800

400

0

-400

2 4 6 8 10 12

pH

Pot

ensi

al R

edok

s (m

V)

Gambar 4 Diagram Eh – pH untuk pasangan redoks Mn(IV) dan Mn(II)

Page 10: lahan aat

14

Konsentrasi mangan terlarut dalam air berada pada kisaran 10 – 10.000

µg/l. Konsentrasi mangan pada badan-badan air jarang yang melebihi 10.000 µg/l,

dan biasanya kurang dari 200 µg/l. Pada tanah mangan berada pada konsentrasi

kurang dari 1 mg/kg sampai 4000 mg/kg (per berat kering tanah), dengan

konsentrasi rata-rata 300 – 600 mg/kg (Howe et al., 2005).

Peran Bahan Organik dalam Remediasi Air Asam Tambang

Kapasitas sedimen dalam menjerap dan mengikat bahan kontaminan

tergantung kepada: kandungan bahan organik, kandungan besi dan mangan,

kandungan karbonat sebagai buffer pH seperti halnya mineral liat. Pada sistem

rawa, mobilisasi logam dipengaruhi oleh mekanisme faktor percepatan dan

hambatan. Faktor percepatan meliputi pengaruh dari pH yang rendah dan

perubahan kondisi redoks, kompleks organik dan anorganik, dan transformasi

yang dimediasi oleh mikroorganisme. Degradasi bahan organik dalam sedimen

dapat juga menjadi “kekuatan pendorong” untuk mempercepat interaksi antara

sedimen dan logam (Calmano et al., 1990, Förstner, 1995, Salomons dan Brils,

2004, dalam Nguyen, 2008).

Pada kondisi tergenang, kenaikan nilai pH dapat disebabkan oleh beberapa

faktor, yaitu: (i) adanya pelepasan ion-ion hidroksil yang akan mengikat ion H+,

dengan demikian ion kemasamam akan berkurang; dan (ii) pemberian bahan

organik, yang mempunyai peran sebagai kapasitas penyangga (buffering capacity)

sehingga dapat meningkatkan atau menurunkan pH lingkungannya (Stevenson,

1982).

Faktor pembatas biologis dalam pengelolaan air asam tambang adalah

tingkat dekomposisi bahan organik, yang digunakan sebagai sumber karbon

(Waybrant et al., 1998 dalam Johnson dan Halberg, 2005). Kandungan protein,

karbohidrat, dan lemak pada bahan organik memiliki korelasi positif terhadap

kapasitas bahan tersebut sebagai donor elektron dalam proses reduksi sulfat,

sedangkan kandungan lignin berkorelasi negatif (Coetser et al., 2006).

Page 11: lahan aat

15

Bakteri pereduksi sulfat biasanya mengandalkan senyawa karbon

sederhana sebagai asam organik atau alkohol untuk menyediakan donor elektron

pada reduksi sulfat, walaupun sebagian dapat menggunakan hidrogen (Gambar 5)

(Logan et al., 2005).

metanogenesis

Cellulolysis

Selulosa

Collobiose

Glukosa

Laktat

Asetat

H2 CO2

CO2 CH4

CO2

Cellobiohydrolysis

Reduksi Sulfat

Fermentasi

H2S

SO42-

M2-

MS(s)

Gambar 5 Proses mikrobiologi yang mengakibatkan reduksi sulfat dalam sebuah substrat karbon organik (Logan et al., 2005).

Page 12: lahan aat

16

Metode Penelitian

Survei Pendahuluan

Kegiatan survei dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum lokasi

penelitian. Informasi yang dikumpulkan pada tahap ini adalah karakteristik air

asam tambang, ketersediaan lahan untuk konstruksi rawa buatan, bahan-bahan in

situ yang dapat digunakan dalam pembuatan rawa buatan, dan jenis tanaman yang

tersedia di sekitar lokasi penelitian.

Rancangan rawa buatan

Rancangan rawa buatan dibuat berdasarkan hasil survei pendahuluan.

Rawa buatan dirancang menyerupai kolam-kolam yang saling menyambung yang

terdiri dari dua organic wall dan tiga kolam pertumbuhan yang batasi dengan

tanggul (Gambar 6).

a. Organic wall

Organic wall merupakan tumpukan bahan organik segar yang ditempatkan

pada parit dengan kedalaman ± 0,6 meter dan lebar 1 meter, dengan panjang

disesuaikan dengan lokasi. Organic wall berfungsi sebagai area yang dapat

mempercepat kondisi reduktif pada rawa buatan.

b. Kolam Pertumbuhan

Kolam pertumbuhan (KP) merupakan area yang ditanami dengan tanaman

rawa. Kolam pertumbuhan dibuat dalam ukuran yang berbeda. Perbedaan

ukuran merupakan penyesuaian terhadap bentuk lokasi yang ada dan fungsi

kolam. Kolam pertama ditanami dengan Ekor Kucing (Typha sp.), kolam

kedua ditanami dengan Darendeng (Cyperus sp.), dan pada kolam terakhir

ditumbuhkan Eceng Gondok (Eichornia crassipes).

c. Tanggul

Setiap komponen rawa buatan dibatasi oleh tanggul berupa tumbukan material

overburden yang disusun dengan lebar permukaan 1 meter. Untuk

memperkecil kemiringan tanggul dan bahaya longsoran material, tanggul

dibuat bertingkat dengan lebar teras (bench) 0,5 meter (Gambar 7).

Page 13: lahan aat

17

Organic wall dan kolam dihubungkan dengan pipa paralon PVC

berdiameter 4 inchi (±10 sentimeter) yang dipasang di bawah tanggul (Gambar 7).

Pipa juga dipasang pada pintu air di inlet, sedangkan di outlet saluran berupa parit

tidak dipasangi pipa.

3 m 0,2 m

1 m

0,5 m 1 m

1 m

1 m

1 m

1 m

1 m

3 m

0.5 m

Gambar 7 Penampang melintang konstruksi tanggul, parit dan kolam

Parit Kolam Tanggul

Pintu Air (overflow)

Sekat kolam

Gambar 6 Layout konstruksi rawa buatan di lokasi penelitian

22 m

8 m

8 m

Sediment pond

2 m KP 1

4m 23 m

28 m

7m

7 m

Organic Wall

Hutan

Tanggul

Keterangan :

Settling pond

KP 2

Pipa

Inlet

Outlet

KP 3

Area Genangan AAT

Area Genangan

AAT

Page 14: lahan aat

18

Konstruksi Rawa Buatan

Proses pembangunan rawa buatan terdiri atas beberapa tahap kegiatan

yang dilakukan secara berurutan, yaitu:

a. Penimbunan Area Genangan

Penimbunan dilakukan terhadap area genangan untuk memperoleh lahan yang

kering, sebagai dasar bagi konstruksi rawa buatan. Kegiatan penimbunan

sepenuhnya dilakukan dengan menggunakan excavator PC 200. Bahan

timbunan berupa material overburden (OB) yang tidak berpotensi

menghasilkan kemasaman atau Non Acid Formation (NAF). Penimbunan

dilakukan dengan mengeruk lumpur dari area genangan sampai diperoleh

dasar keras. Lumpur ditranslokasi ke tempat penampungan sementara yang

lokasinya tidak jauh dari lokasi konstruksi. Material OB dimasukkan ke dalam

rawa sambil dimampatkan. Hal ini dilakukan setahap demi setahap sampai

diperoleh luasan area timbunan yang diinginkan.

b. Perhitungan Elevasi

Perhitungan elevasi dilakukan untuk menentukan titik inlet dan outlet. Titik

outlet rawa buatan yang harus dibuat lebih tinggi atau minimal sejajar dengan

daerah sekitarnya. Berdasarkan perhitungan diperoleh beda tinggi antara inlet

dan outlet yang digunakan untuk menetapkan letak dan ketinggian masing-

masing pintu air di setiap komponen rawa buatan.

c. Konstruksi Komponen Rawa

Konstruksi bangunan rawa diawali dengan pembuatan tanggul pembatas

antara area yang sudah ditimbun dengan area genangan AAT untuk mencegah

adanya aliran air ke dalam area yang sudah ditimbun. Konstruksi komponen

rawa buatan diawali dengan pembuatan parit satu untuk penempatan organic

wall satu, komponen ini merupakan yang paling dekat dengan titik inlet.

Pembuatan parit untuk penempatan organic wall dilakukan dengan menggali

permukaan timbunan sampai kedalaman 0,6 meter. Material hasil penggalian

digunakan untuk pembuatan tanggul pembatas. Konstruksi kolam

pertumbuhan juga dibuat dengan menggali sampai kedalaman 0,5 meter

(untuk kolam pertumbuhan satu), 0,2 meter untuk kolam pertumbuhan dua,

dan 0,5 meter untuk kolam pertumbuhan tiga.

Page 15: lahan aat

19

d. Pengisian Komponen Rawa

Pada tahap ini dilakukan pengisian rawa dengan material pengisi, yang terdiri

dari: batu gamping, lumpur AAT, bahan organik segar dan bahan organik

yang sudah dikeringkan. Pengisian komponen rawa dilakukan setelah

konstruksi masing-masing komponen selesai. Komposisi bahan pengisi untuk

masing-masing komponen rawa buatan dapat dilihat pada Gambar 8.

e. Perapihan Konstruksi Rawa

Pada tahap ini dilakukan perapihan terhadap tanggul, meliputi pemeriksaan

kondisi tanggul dan perbaikan terhadap tanggul yang berpotensi rusak. Upaya

pencegahan kerusakan tanggul terutama pada tanggul terluar dilakukan

dengan pemasangan siring atau pelapisan tanggul terluar dengan

menggunakan kayu ulin (Eusideroxylon zwageri). Pada tahap ini juga

dilakukan pemasangan pipa PVC berdiameter 4 inchi sebagai penghubung

antar komponen termasuk pada pintu masuk dari titik inlet ke rawa buatan.

Pipa dilengkapi dengan pintu air sederhana sehingga sewaktu-waktu dapat

ditutup dan dibuka.

Batu kapur (CaCO3)

Bahan organik segar Bahan organik kering Lumpur endapan settling pond

Kolam Pertumbuhan satu

Kolam Pertumbuhan dua

Organic Wall satu

Organic Wall dua

Lumpur endapan AAT

10cm 50 cm

20cm

20cm 50cm

30cm 60cm

20cm

30cm 30cm 10cm

10cm 40cm

Permukaan air Pipa

Keterangan :

Gambar 8 Komposisi bahan pengisi pada komponen rawa buatan

Kolam Pertumbuhan

tiga

Page 16: lahan aat

20

Inkubasi Anaerob

Inkubasi dilakukan dengan menggenangi seluruh area rawa buatan dalam

sistem tertutup. Inkubasi dilakukan dua kali yaitu dengan air hujan dan AAT.

Penggenangan dengan air hujan dilakukan untuk meratakan permukaan substrat

padat sebelum penanaman. Sedangkan inkubasi berikutnya dilakukan setelah rawa

buatan lengkap, di mana kolam pertumbuhan telah selesai ditanami. Inkubasi ini

dilakukan sampai diperoleh kondisi rawa buatan yang reduktif di bawah cekaman

AAT.

Selama proses inkubasi dilakukan pemantauan terhadap nilai potensial

redoks (Eh), pH dan konsentrasi sulfat yang terlarut dalam air. Potensial redoks

merupakan parameter utama untuk mengukur intensitas reduksi, dan

mengidentifikasi reaksi utama yang terjadi (Sanchez 1976). Inkubasi anaerob

dilakukan sampai rawa buatan dinyatakan dalam keadaan tereduksi. Mengacu

kepada Patrick dan Mahapatra (1968), nilai Eh untuk keadaan tereduksi adalah

kurang dari +100 mV. Pada kondisi tereduksi, pH air genangan akan stabil pada

nilai 6 sampai 7.

Penanaman

Penanaman dilakukan setelah rawa buatan diinkubasi dengan air hujan

selama beberapa hari. Kolam pertumbuhan pertama ditanami dengan tumbuhan

ekor kucing (Typha sp.) dengan jarak tanam 75 sentimeter x 75 sentimeter, kolam

pertumbuhan dua ditanami dengan Darendeng (Cyperus sp.) dengan jarak tanam

30 sentimeter x 30 sentimeter, dan pada kolam pertumbuhan tiga ditumbuhkan

Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) yang disebar langsung di atas kolam.

Pengoperasian Sistem Rawa Secara Kontinyu

Pengoperasian secara kontinyu dilakukan setelah tahap inkubasi anaerob

dengan AAT selesai. Sebelum pengoperasian, air genangan dari dalam rawa

buatan dialirkan melalui titik outlet. Pengoperasian dilakukan dengan mengalirkan

AAT masuk ke sistem rawa melalui titik inlet dan keluar dari titik outlet. Debit

AAT dikontrol melalui pintu air di inlet. Monitoring kualitas air dilakukan dua

hari sekali pada titik-titik pengamatan yang telah ditentukan (Gambar 9).

Page 17: lahan aat

21

Pengambilan contoh dan Pengukuran

Contoh yang diambil dan dilakukan pengukuran meliputi contoh: material

overburden, air, substrat padat, dan tanaman. Masing-masing contoh yang telah

diambil kemudian dianalisis di laboratorium, metode pengukuran contoh dapat

dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Metode pengukuran contoh

Jenis Contoh Parameter Analisis Metode Pengukuran

Overburden Potensi kemasaman NAG-test

Air pH dan Eh Elektroda

Sulfat terlarut Turbidimetri

Fe dan Mn terlarut AAS

Substrat padat pH Elektroda

Sulfat Turbidimetri

Fe dan Mn terlarut AAS

Tanaman Produktivitas Berat biomassa ubinan

Total Sulfur Turbidimetri

Fe dan Mn Total AAS

a. Contoh Material Overburden

Pengambilan contoh dilakukan terhadap material overburden (OB) pada

disposal yang menjadi penyebab timbulnya AAT di lokasi penelitian dan

material OB yang digunakan untuk penimbunan area genangan. Contoh OB

dari disposal diambil secara komposit dengan dua kali ulangan pada disposal

yang paling dekat dengan lokasi penelitian, sementara contoh OB untuk

penimbunan diambil secara komposit pada tumpukan material yang telah

ditranslokasi dari pit tambang aktif ke lokasi penelitian. Analisis dilakukan

terhadap potensi OB dalam memproduksi asam secara kuantitatif yang

ditetapkan dengan uji net acid generation (NAG-test). Prosedur analisis dapat

dilihat pada Lampiran 1.

Page 18: lahan aat

22

b. Contoh Air

Pengambilan contoh air dilakukan pada saat rawa buatan diinkubasi dengan

AAT dan pada tahap pengoperasian sistem rawa secara kontinyu.

Pengamatan karakteristik air pada tahap inkubasi dilakukan setiap hari

selama 10 hari. Awal inkubasi dihitung pada 2 minggu setelah penanaman.

Pengamatan pada tahap pengoperasian rawa secara kontinyu dilakukan dua

hari sekali selama 3 minggu yang dihitung dari satu hari setelah inkubasi

selesai. Gambar 9 menggambarkan posisi titik pengambilan contoh air pada

setiap komponen rawa buatan. Contoh air diambil pada kedalaman ± 10

centimeter yang dilakukan secara komposit dari tepi dan tengah. Contoh air

dikemas pada botol sample ± 600 ml, kemudian disimpan dalam lemari

pendingin dengan suhu ± 4oC sampai contoh dianalisis. Penetapan pH dan Eh

air dilakukan langsung di lapang (on site) dengan menggunakan pH dan Eh

meter. Analisa kadar sulfat terlarut dilakukan dengan metode turbidimetri,

yang diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang

435 nm. Penetapan kadar besi dan mangan dilakukan dengan menggunakan

AAS.

c. Contoh Substrat Padat

Contoh substrat padat diambil sebelum inkubasi dan sesudah pengoperasian

rawa buatan secara kontinyu. Contoh sedimen diambil sebelum inkubasi dan

sesudah pengoperasian secara kontinyu. Pengambilan contoh sedimen pada

parit dilakukan dengan komposit. Contoh sedimen di kolam, diambil dari

daerah perakaran tanaman yang dijadikan contoh (Gambar 9). Contoh

diambil sebanyak ± 1 kilogram dan dikemas tertutup pada plastik sample.

Sifat substrat padat yang dianalisis yaitu: pH, total sulfur (sebagai sulfat), dan

konsentrasi besi dan mangan terlarut. Penetapan pH substrat dilakukan

terhadap pH aktual (pH H2O) yang diukur dengan pH meter. Penetapan total

sulfur dilakukan terhadap ekstraktan contoh menggunakan KH2PO4 (500 ppm

P), pengukuran total sulfur dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer

pada panjang gelombang 420 nm. Penetapan konsentrasi besi dan mangan

dilakukan terhadap ekstraktan contoh dengan pelarut HCl 0,05 N yang diukur

dengan AAS.

Page 19: lahan aat

23

Gambar 9 Lokasi pengambilan contoh air, substrat, dan tanaman

Lokasi Pengambilan Contoh Air : Inlet : kode titik contoh air sebelum masuk

ke rawa buatan 1: kode titik contoh pada organic wall satu 2 : kode titik contoh pada kolam

pertumbuhan satu 3 : kode titik contoh pada organic wall dua 4 : kode titik contoh pada kolam

pertumbuhan dua 5 : kode titik contoh pada kolam

pertumbuhan tiga Outlet : kode titik contoh air setelah masuk

ke rawa buatan a : posisi titik pada komponen rawa buatan

yang lebih dekat ke inlet b : posisi titik pada komponen rawa buatan

yang lebih dekat ke outlet

Lokasi Pengambilan Contoh Substrat : OW1: kode titik contoh pada organic wall satu KP1 : kode titik contoh pada kolam

pertumbuhan satu OW2 : kode titik contoh pada organic wall dua KP2 : kode titik contoh pada kolam

pertumbuhan dua 1, 2, 3, 4 : ulangan pengambilan contoh

substrat

T2

T1

T4

T3

E1

Inlet

Outlet

1a 1b

2a

2b

3a

3b

4a 4b

5

C1

C2

C4

C3

OW1-3

KP1-1

KP1-2

E2

= Lokasi Pengambilan Contoh Air

= Lokasi Pengambilan Contoh Tanaman = Lokasi Pengambilan Contoh Substrat

Keterangan :

Lokasi Pengambilan Contoh Tanaman : T : kode contoh tanaman Typha sp C : kode contoh tanaman Cyperus sp E : kode contoh tanaman Echornia

crassipes 1, 2, 3, 4 : ulangan pengambilan contoh

tanaman

OW1-2 OW1-1

KP1-4

KP1-3

OW2-1

OW2-2

OW2-3

KP2-2

KP2-1

KP2-3

KP2-4

Page 20: lahan aat

24

d. Contoh Tanaman

Pengambilan contoh tanaman dilakukan setelah tahap pengoperasian secara

kontinyu selesai. Pada saat itu, tanaman berumur 42 hari. Pemanenan

tanaman dilakukan dengan cara ubinan. Ukuran plot ubinan 1,5 meter x 1,5

meter untuk tanaman Typha sp. sedangkan untuk Cyperus sp. plot ubinan

berukuran 0,6 meter x 0,6 meter. Pengukuran berat tanaman dilakukan

terhadap tanaman yang diambil per ubinan yang akan dikonversi ke dalam

produktivitas tanaman (ton/ha). Penetapan total sulfur dilakukan terhadap

ekstraktan contoh tanaman yang diperoleh dari pengabuan basah, pengukuran

dilakukan dengan Spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm.

Penetapan konsentrasi besi dan mangan dilakukan terhadap ekstraktan contoh

tanaman yang diperoleh dari pengabuan kering dengan pelarut HCl 0,1 N,

pengukuran dilakukan dengan AAS.

Analisis dan Penyajian Data

Data hasil pengukuran baik yang dilakukan di lapang maupun di

laboratorium disajikan dalam bentuk grafik dan tabel untuk melihat trend data

dari titik inlet sampai outlet pada setiap parameter yang dianalisis. Analisis data

juga dilakukan terhadap hasil pengukuran konsentrasi besi, mangan, dan sulfat

pada air untuk mengetahui persentase pengurangan atau efisiensi reduksi (R) dari

kadar unsur-unsur tersebut setelah dikelola dalam sistem rawa buatan.

Keterangan : R (Removal) = Efesiensi Reduksi (%) [Me]water in = Konsentrasi bahan polutan pada inlet [Me]water out = Konsentrasi bahan polutan pada outlet

X 100% [Me]water in – [Me]water out [Me]water in

R (%) =