Kusta Eks Summary1

12
Ringkasan Laporan Penelitian Kusta, Komnas HAM, 2011 1 Ringkasan Laporan Penelitian Pemenuhan dan Perlindungan Hak Penderita, Orang yang Pernah Mengalami Kusta, dan Anggota Keluarganya 1 Komnas HAM, 2011 I. Latar Belakang Pada Hari Kusta Sedunia ke-58 tahun 2011, Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih mencanangkan Tahun Pencegahan Cacat 2011. Salah satu sasaran program ini adalah deteksi dini dan penanganan kusta secara benar oleh petugas kesehatan. Program ini juga berupaya untuk meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap kusta. Tujuan besar program adalah mencegah terjadinya kecacatan akibat kusta. 2 Program deteksi dini kusta perlu terus dilakukan meskipun sejak Juni 2000 Indonesia mencapai eliminasi kusta. 3 Indikator angka penemuan penderita baru/Case Detection Rate (CDR) selama lima tahun terakhir kurang dari 10 dan cenderung menurun (lihat grafik 1). 4 Tetapi penemuan penderita baru masih tinggi. Ada 11 propinsi masih endemik tinggi (angka penemuan kasus baru/Case Detection Rate (CDR) CDR≥10 per 100.000 penduduk). Indonesia masih menjadi salah satu negara penyumbang jumlah penderita kusta terbanyak di dunia. Tiap tahun ditemukan sekitar 15 ribu penderita baru. Pada 2010 ditemukan 15.667 penderita baru. 5 Keberhasilan pencegahan cacat dimulai dari bagaimana kusta bisa terdeteksi seawal mungkin. Bila terlambat hingga terjadi kecacatan, apalagi karena kusta, stigma akan melekat pada diri penderita atau orang yang pernah mengalami kusta. Mereka diskriminasi di lingkungan masyarakat sendiri. Tidak hanya dari masyarakat awam, diskriminasi kadang kala dilakukan oleh pemuka masyarakat, bahkan oleh petugas kesehatan. Di Indonesia, sebagaimana juga terjadi di berbagai negara lain, kelompok penderita kusta, orang yang pernah mengalami kusta dan juga keluarganya sering kali mengalami diskriminasi oleh keluarga, masyarakat sekeliling, media, maupun oleh negara. Diskriminasi kusta terjadi berlapis-lapis. Ketika seorang diketahui sakit kusta, bahkan ketika dinyatakan sembuh maka lingkungan akan menjatuhkan diskriminasi terhadapnya. Keluarga juga mengalami demikian. Dalam banyak kasus masyarakat 1 Disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian, 30 November 2011 di Komnas HAM. 2 www.depkes.go.id, “Menkes Canangkan Tahun Pencegahan Cacat Akibat Kusta”, diakses pada 15 Maret 2011. 3 Kasubdit Kusta Kementerian Kesehatan, 2011, Analisa Situasi Program Pemberantasan Penyakit Kusta, Jakarta. 4 Kementerian Kesehatan, 2010, Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2009, Jakarta. 5 Op.cit. Grafik 1: Perkembangan CDR Kusta di Indonesia Sumber: Kasubdit Kusta Kementerian Kesehatan, 2011.

Transcript of Kusta Eks Summary1

Page 1: Kusta Eks Summary1

Ringkasan Laporan Penelitian Kusta, Komnas HAM, 2011 1

Ringkasan Laporan

Penelitian Pemenuhan dan Perlindungan Hak Penderita, Orang yang Pernah Mengalami Kusta, dan Anggota Keluarganya1

Komnas HAM, 2011

I. Latar Belakang

Pada Hari Kusta Sedunia ke-58 tahun 2011, Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih mencanangkan Tahun Pencegahan Cacat 2011. Salah satu sasaran program ini adalah deteksi dini dan penanganan kusta secara benar oleh petugas kesehatan. Program ini juga berupaya untuk meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap kusta. Tujuan besar program adalah mencegah terjadinya kecacatan akibat kusta.2

Program deteksi dini kusta perlu terus dilakukan meskipun sejak Juni 2000 Indonesia mencapai eliminasi kusta.3 Indikator angka penemuan penderita baru/Case Detection Rate (CDR) selama lima tahun terakhir kurang dari 10 dan cenderung menurun (lihat grafik 1). 4 Tetapi penemuan penderita baru masih tinggi. Ada 11 propinsi masih endemik tinggi (angka penemuan kasus baru/Case Detection Rate (CDR) CDR≥10 per 100.000 penduduk). Indonesia masih menjadi salah satu negara penyumbang jumlah penderita kusta terbanyak di dunia. Tiap tahun ditemukan sekitar 15 ribu penderita baru. Pada 2010 ditemukan 15.667 penderita baru.5

Keberhasilan pencegahan cacat dimulai dari bagaimana kusta bisa terdeteksi seawal mungkin. Bila terlambat hingga terjadi kecacatan, apalagi karena kusta, stigma akan melekat pada diri penderita atau orang yang pernah mengalami kusta. Mereka diskriminasi di lingkungan masyarakat sendiri. Tidak hanya dari masyarakat awam, diskriminasi kadang kala dilakukan oleh pemuka masyarakat, bahkan oleh petugas kesehatan.

Di Indonesia, sebagaimana juga terjadi di berbagai negara lain, kelompok penderita kusta, orang yang pernah mengalami kusta dan juga keluarganya sering kali mengalami diskriminasi oleh keluarga, masyarakat sekeliling, media, maupun oleh negara.

Diskriminasi kusta terjadi berlapis-lapis. Ketika seorang diketahui sakit kusta, bahkan ketika dinyatakan sembuh maka lingkungan akan menjatuhkan diskriminasi terhadapnya. Keluarga juga mengalami demikian. Dalam banyak kasus masyarakat

1 Disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian, 30 November 2011 di Komnas HAM. 2 www.depkes.go.id, “Menkes Canangkan Tahun Pencegahan Cacat Akibat Kusta”, diakses pada 15 Maret 2011. 3 Kasubdit Kusta Kementerian Kesehatan, 2011, Analisa Situasi Program Pemberantasan Penyakit Kusta, Jakarta. 4 Kementerian Kesehatan, 2010, Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2009, Jakarta. 5 Op.cit.

Grafik 1: Perkembangan CDR Kusta di Indonesia

Sumber: Kasubdit Kusta Kementerian Kesehatan, 2011.

Page 2: Kusta Eks Summary1

Ringkasan Laporan Penelitian Kusta, Komnas HAM, 2011 2

mengasingkan mereka. Giliran berikutnya diskriminasi terjadi pada layanan umum, pengucilan oleh masyarakat sekeliling, negara dan juga media.

Mereka mengalami mulai dari pelecehan, stigmatisasi, pembedaan perlakuan di hadapan hukum, pengusiran, penyerangan, dan perendahan martabat sebagai manusia. Mereka juga mengalami kekerasan emosional, kekerasan ekonomi, kekerasan fisik, penelantaran maupun bentuk lain yang merupakan kombinasi dari sejumlah kekerasan.

Tindakan dan serangan yang ditujukan kepada kelompok penderita kusta, orang yang pernah mengalami kusta dan juga keluarganya akibat persepsi salah mengenai penyakit kusta. Sejumlah orang yang menganggap kusta sebagai dosa atau kutukan Tuhan. Mereka dianggap layak tersingkir dari dunia kemanusiaan dan perlu diasingkan. Ada pula yang berpendapat mereka adalah kelompok orang yang berisiko yang diasosiasikan sebagai kelompok yang membahayakan atau meresahkan masyarakat.6

Hingga kini kelompok penderita kusta, orang yang pernah mengalami kusta dan juga keluarganya sama sekali belum masuk dalam kelompok sasaran yang perlu mendapat perhatian khusus Pemerintah Indonesia. Sebetulnya, bila dilihat lebih lanjut mereka bisa masuk dalam jajaran kelompok rentan (vurnalable groups) sebagaimana kelompok orang dengan keterbatasan, kaum perempuan, anak, lanjut usia, dan pekerja migran.

Kusta di Indonesia adalah gambaran bagaimana sekelompok warga negara terisolasi dari kehidupan bermasyarakat. Mereka adalah warga negara yang sama kedudukannya dengan warga negara lainnya, begitupun dalam hal penikmatan hak-hak sebagai warga negara.

Dalam hal layanan kesehatan, dalam beberapa kasus penderita dan orang yang pernah mengalami kusta tidak dapat menikmati layanan kesehatan baik karena penolakan langsung atau karena alasan lain. Padahal di sisi lain eliminasi ditetapkan oleh Kementrian Kesehatan sebagai program utama.

Anggapan yang salah terhadap penderita, orang yang pernah mengalami kusta, dan anggota keluarganya menyebabkan masyarakat terlambat datang berobat sehingga seringkali ketika ke Puskesmas sudah timbul kecacatan.

Hak atas pekerja dan pekerjaan bagi penderita dan orang yang pernah mengalami kusta juga masih belum terjamin sepenuhnya. Sebagai ilustrasi, para penderita dan orang yang pernah mengalami kusta merasa kesulitan untuk menjual barang dagangannya karena stigma negatif dari masyarakat sekitar. Sementara itu, mereka yang bekerja di sektor formal harus mengalami PHK secara sepihak atau terpaksa mengundurkan diri karena rasa rendah diri.

Dalam keterbatasan, penderita dan orang yang pernah mengalami kusta berjuang untuk dapat bertahan hidup. Pada umumnya mereka bekerja di sektor-sektor informal seperti juru parkir, pengemis, dan pengamen. Keterbatasan pendidikan dan ekonomi turut menjadi faktor penghambat bagi mereka untuk dapat meraih pekerjaan yang lebih baik.

6 Contoh legalisasi pendapat ini adalah Pasal 41 Perda DKI Jakarta No. 8/2007 tentang Ketertiban Umum. Setiap orang yang mengidap penyakit yang meresahkan masyarakat tidak diperkenankan berada di jalan, jalur hijau, taman, dan tempat-tempat umum lainnya. Penjelasan Pasal ini menyebutkan penyakit yang meresahkan masyarakat antara lain kusta/lepra, psikotik (gangguan jiwa).

Page 3: Kusta Eks Summary1

Ringkasan Laporan Penelitian Kusta, Komnas HAM, 2011 3

Dalam soal hak politik, khususnya dalam pemilihan umum mereka tidak memperoleh bantuan sebagaimana mestinya. Padahal kondisi fisik mereka seringkali tidak memungkinkan untuk dapat melakukan hak pilihnya tanpa bantuan. Faktor malu dan penyingkiran dari masyarakat juga menjadi alasan mereka tidak mau memberikan hak suaranya.

Dalam hal berekspresi penderita kusta juga masih mengalami hambatan. Di beberapa wilayah, ditemukan kasus pengusiran terhadap penderita dan orang yang pernah mengalami kusta pada saat akan menggunakan ruang publik.

Permasalahan penyakit kusta ini bila dikaji secara mendalam merupakan permasalahan yang sangat kompleks. Masalah yang dihadapinya bukan hanya dari sisi medis, tetapi juga adanya masalah diskriminasi dari lingkungan sekitar dan rasa rendah diri/minder/tidak percaya diri pada benak para penderita, orang yang pernah mengalami kusta, dan anggota keluarganya dalam pemenuhan dan penikmatan hak asasinya.

II. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana perlindungan dan pemenuhan hak pendidikan, hak kesehatan, hak pekerja dan pekerjaan, hak atas kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berserikat, dan hak pendidikan penderita, orang yang pernah mengalami kusta, dan keluarganya.

III. Tujuan

Penelitian ini akan menggambarkan bentuk pemenuhan dan perlindungan penderita, orang yang pernah mengalami kusta, dan anggota keluarganya. Penelitian akan membatasi pada : i) pendidikan; ii) kesehatan iii) hak atas pekerja dan pekerjaan; dan iv) kebebasan berpendapat, berkumpul dan berserikat, dan v) hak pendidikan.

IV. Metode

Sifat penelitian adalah deskriptif-analitis melalui pendekatan pendekatan kualitatif. Penelitian ini bermaksud untuk mengungkapkan secara menyeluruh dan apa adanya melalui pengumpulan data.7 Penelitian kualitatif merupakan penelitian bersifat interpretatif terhadap data yang terkumpul.8

Penelitian ini menggunakan dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder. Data primer berupa hasil wawancara dan diskusi kelompok terfokus dengan para informan dan hasil survey terhadap responden.

Pemilihan daerah didasarkan pada dua kategori yaitu propinsi endemik tinggi dan propinsi endemik rendah. Untuk endemik tinggi diambil Propinsi Jawa Timur (CDR 12,42) dan Sulawesi Selatan (CDR 13,68) (Kemenkes, 2010). Untuk endemik rendah diambil Banten (CDR 4,12) dan Jawa Tengah (CDR 4,57). Untuk Propinsi Jawa Timur diambil Kabupaten Sampang, Propinsi Sulawesi Selatan diambil Kabupaten Bone. Untuk

7 Safi’i, 2005, hlm. 38. 8 Creswell, 2002, hlm. 136-138.

Page 4: Kusta Eks Summary1

Ringkasan Laporan Penelitian Kusta, Komnas HAM, 2011 4

Propinsi Banten diambil Kota Tangerang, untuk Propinsi Jawa Tengah diambil Kabupaten Brebes.

Responden dalam penelitian ini adalah i) penderita kusta atau orang yang pernah mengalami kusta, dan ii) keluarga. Responden penderita dan orang yang pernah mengalami kusta berjumlah 150 orang, masing-masing 75 orang di propinsi endemik tinggi dan endemik rendah. Responden anggota keluarga berjumlah 80 responden, masing-masing 40 responden dari propinsi endemik tinggi dan endemik rendah. Responden yang dipilih berusia diatas 17 tahun atau telah menikah (mempunyai hak pilih). Simple random sampling adalah cara yang dipakai untuk memilih responden.

Informan terpilih dalam penelitian ini adalah mereka yang mengetahui secara mendalam isu dalam penelitian ini. Mereka terdiri dari latar belakang pemerintah, masyarakat, penderita, orang yang pernah mengalam kusta, dan kelaurganya, serta lembaga swadaya masyarakat.

V. Temuan dan Analisis

A. Hak atas Pendidikan

Permasalahan pendidikan di Indonesia sangat terkait dengan keterbatasan akses terhadap pelayanan pendidikan dasar. Hal itu dapat dilihat dari latar belakang pendidikan terakhir penderita/orang yang pernah mengalami kusta yang mampu menamatkan pendidikan dasar (SMP atau sederajat) hanya 11% di daerah endemik tinggi dan 24% di daerah endemik rendah.

Responden anggota keluarga sedikit lebih baik. Mereka ada yang tamat diploma atau sarjana. Meski demikian sebagian besar atau 63% responden daerah endemik tinggi dan 65% responden daerah endemik rendah tidak tamat SMP/sederajat. Jawaban tersebut sebagian besar berasal dari istri, ibu, ayah, kakak, mertua, dan anggota lain para responden yang tinggal dalam satu rumah. Untuk responden anak dan adik dari penderita/orang yang pernah mengalami kusta cenderung lulus SMP s.d. sarjana.

Dari 75 responden penderita/orang yang pernah mengalami kusta di daerah endemik tinggi, hanya ada 4% responden (semuanya berasal dari Kabupaten Sampang) mengaku sedang mengikuti proses belajar di sekolah formal saat ini. Sebaliknya, dari 75 responden di daerah endemik rendah hanya 2,67% yang berstatus pelajar (semuanya responden dari Kota Tangerang).

Dari hasil temuan lapangan terungkap bahwa sebagian besar responden penderita/orang yang pernah mengalami kusta beralasan bahwa penyebab mereka tidak melanjutkan pendidikannya terjadi sebelum terkena kusta (biaya, bekerja atau laiinya seperti ketiadaan guru, akses yang jauh, perang kemerdekaan, menikah, pendidikan pesantren). Hanya 13% responden di daerah endemik tinggi dan 16% responden di daerah endemik rendah yang terganggu karena kesehatan. Mereka kesulitan berjalan atau memegang alat tulis. Alasan lain karena malu. Mereka dicap menderita penyakit kutukan, turunan, guna-guna, dosa, makanan, dan sebagainya. Cap buruk semacam ini menjadi alasan mereka tidak sekolah, ditambah dengan kecacatan mereka.

B. Hak Pekerja dan Pekerjaan

Hak pekerja dan pekerjaan berbeda. Hak pekerja muncul karena status sebagai pekerja pada sebuah kegiatan usaha. Hak atas pekerjaan adalah bagaimana mendapat kesempatan berusaha dan menjangkau sumber-sumber ekonomi.

Page 5: Kusta Eks Summary1

Ringkasan Laporan Penelitian Kusta, Komnas HAM, 2011 5

Mata Pencaharian

Mata pencaharian penderita/orang yang pernah mengalami kusta cukup beragam. Di wilayah endemik tinggi yang berwirausaha mencapai 45%, lebih tinggi dibandingkan wilayah endemik rendah, 33%.

Wirausaha yang digeluti meliputi pertanian, peternakan, dan perdagangan. Diantara mereka yang bergerak di bidang pertanian merupakan petani pemilik lahan. Disamping itu, ada pula yang bekerja sebagai wirausahawan di bidang pengolahan bahan pangan, transportasi (angkutan umum), penggalian pasir dan ada pula yang berdagang telur, buah-buahan, ikan, barang kelontong. Ditemukan pula mereka yang bekerja sebagai tukang becak, pengemis, dan buruh kontrak/harian lepas (buruh tani, petugas kebersihan, kuli angkut, tukang gali, tukang tebang pohon).

Di wilayah endemik tinggi ditemukan mereka yang berkerja sebagai guru, petugas Puskesmas, supir, Pegawai Negeri Sipil (PNS), TNI/Polri. Ada pula penderita/orang yang pernah menderita kusta yang menyatakan bahwa saat ini atau sebelumnya bekerja sebagai buruh kontrak/harian lepas (buruh tani, pembantu rumah tangga, buruh pabrik konveksi, kuli pasir, kuli angkut di pasar, buruh bangunan, buruh nelayan, buruh cuci mobil/motor, buruh batu merah dan penjaga toko).

Mereka mengaku jarang mendapat kesempatan mengikuti pelatihan-pelatihan kerja dan ketrampilan dari pemerintah. Padahal jika hal itu dilakukan tidak tertutup kemungkinan ada diantara mereka menjadi mandiri. Kalaupun ada pelatihan, pelatihan itu dilakukan oleh oleh perorangan (mandor) maupun perusahaan.

Responden umumnya mendapat modal yang bersumber dari perorangan termasuk keluarganya. Mereka sulit mendapatkan bantuan modal apalagi dari bank. Mereka bukan golongan bankable.

Bantuan pemasaran dari pemerintah juga masih kurang. Mereka sering kali menyerah pada tawaran ijon atau tengkulak meski merugikan. Hasil kerja mereka dinilai sangat murah. Contoh harga batu merah buatan mereka rata-rata berada di bawah harga pasar dengan alasan tidak rata dan bergelombang.

Tidak Bekerja

Responden penderita orang yang pernah mengalami kusta yang tidak bekerja selama 3 bulan terakhir di wilayah endemik tinggi sebesar 45 %, lebih banyak dibanding di daerah endemik rendah, 36%.

Di daerah endemik tinggi alasan yang paling sering disampaikan adalah mengundurkan diri, 20%. Alasan lainnya 63%. Alasan lain antara lain harus mengurus anak/adik/keluarga, menikah, sakit karena kusta maupun sakit lainnya seperti penglihatan kabur, kencing manis, tidak kuat lagi bekerja, lelah (hilang tenaga) akibat reaksi pengobatan, harus berobat, tidak betah, dan merasa sudah tua.

Di wilayah endemik rendah 13% penderita/orang yang pernah menderita kusta mengaku mengundurkan diri dari pekerjaan sebelumnya, 25% karena alasan pensiun dan 62,5% karena alasan lain yaitu menikah, tidak betah, ingin fokus mengurus keluarga, reaksi pengobatan, dan faktor usia.

Baik di wilayah endemik tinggi maupun endemik rendah, penderita/orang yang pernah mengalami kusta yang tidak bekerja selama dapat bertahan hidup dengan cara menggantungkan diri kepada keluarganya maupun dari sisa tabungan yang dimiliki.

Page 6: Kusta Eks Summary1

Ringkasan Laporan Penelitian Kusta, Komnas HAM, 2011 6

Pendapatan

Sebesar 79% responden penderita/orang yang pernah mengalami kusta di daerah endemik tinggi menjawab bahwa upah atau pendapatan yang mereka peroleh sama dengan mereka yang tidak menderita kusta. Hal ini dijelaskan oleh responden yang bekerja antara lain sebagai PNS, pegawai bank, petugas kebersihan, dan buruh tani. Responden yang mengaku mendapat upah lebih rendah mengaku karena alasan kurang bertenaga dan kurang terampil karena cacat jari.

Di wilayah endemik rendah, sebagian besar responden yaitu 85% tidak mengalami perbedaan upah/penghasilan. Sementara itu sebesar 15% responden mengaku bahwa ia mengalami perbedaan upah/penghasilan. Dari hasil wawancara dengan para responden penderita/orang yang pernah mengalami kusta beserta anggota keluarga, umumnya mereka menerima pendapatan yang sama dengan orang lain (tidak terkena kusta). Ada diantara mereka yang mengaku mengalami pembedaan upah saat bekerja sebagai buruh tani, upah yang diterima lebih sedikit atau tidak sama dengan buruh tani lainnya (< Rp.12.500/hari). Ketika ditanyakan lebih lanjut, mereka tidak mengetahui alasan mengapa terjadi perbedaan upah.

Alasan Mengundurkan Diri

Di wilayah endemik tinggi, sebagian besar dari mereka yaitu 66,6% mengundurkan diri karena alasan kesehatan dan reaksi saat pengobatan berjalan. Sementara itu, sebesar 33,33% responden mengaku malu dan takut menulari teman atau rekan kerjanya sehingga mereka mengundurkan diri dari pekerjaannya.

Di wilayah endemik rendah, responden mengaku mundur dari pekerjaan karena menikah dan mengurus keluarganya. Mereka sudah mengundurkan diri dan menikah sebelum terkena penyakit kusta. Responden yang ditemui sakit kusta setelah menikah.

Alasan Tidak Berusaha

Di wilayah endemik tinggi, responden penderita/orang yang pernah menderita kusta mengaku tidak tidak menjalankan usaha bermacam alasan. Alasan kesehatan (kusta atau penyakit lainnya) yaitu sebesar 62,5%, kecacatan karena kusta sebesar 12,5%, alasan-alasan lainnya seperti usia dan tidak ada pesanan sebesar 25%.

Tidak jauh berbeda dengan daerah endemik tinggi, 60 persen responden menjawab kesehatan menjadi alasan mengapa responden tidak menjalankan usaha. Reaksi pengobatan kusta dan sakit lain seperti diabetes dan TBC adalah satu alasan yang disampaikan. Alasan berikutnya adalah kecacatan yaitu sebesar 20%. Sementara itu sebesar 20% responden memiliki alasan-alasan lain.

Lapangan Kerja

Secara umum, baik di daerah endemik tinggi maupun endemik rendah, responden penderita/orang yang pernah mengalami kusta merasa bahwa lapangan pekerjaan yang disediakan pemerintah belum mencukupi. Responden yang menjawab lapangan kerja tidak mencukupi sebesar 73%, tidak jauh beda dengan respoden di endemik rendah, 76%.

C. Hak atas Kesehatan

Pelayanan Penyakit Kusta Terdekat

Page 7: Kusta Eks Summary1

Ringkasan Laporan Penelitian Kusta, Komnas HAM, 2011 7

Sebagian besar responden di wilayah endemik tinggi dan endemik rendah menjawab bahwa Puskesmas terdekat dapat melayani pasien kusta. Responden penderita atau orang pernah mengalami kusta yang menjawab bahwa Puskesmas termasuk Puskesmas Pembantu (Pustu) terdekat tidak dapat melayani pasien adalah 4% di endemik tinggi, dan 17,3 persen di endemik rendah.

Di daerah endemik rendah, responden yang memerlukan perawatan kusta terpaksa dirujuk ke tempat lain seperti RSK maupun Puskesmas lain karena ketiadaan fasilitas dan jasa pelayanan kusta di Puskesmas terdekat.

Layanan Kesehatan yang Menolak Pasien

Pelayanan kesehatan tidak seharusnya menolak pasien yang akan berobat. Di wilayah endemik tinggi, 13% responden penderita/orang yang pernah mengalami kusta mengaku pernah ditolak layanan kesehatan, lebih sedikit dibanding daerah endemik rendah, 32%. Ketika ditanya kembali fasilitas kesehatan yang pernah menolak di daerah endemik rendah adalah puskesmas (70%), dokter praktik pribadi (20%) dan (Rumah Sakit Kusta (10%). Sementara itu, dari responden di daerah endemik tinggi yang menjawab pernah mengalami penolakan di daerah endemik rendah, Puskesmas (58%), RS Pemerintah (17%), poliklinik (12%), RS Swasta (8%), lainnya (4%).

Bagi anggota keluarga di wilayah endemik tinggi, 95% responden mengaku tidak mengalami penolakan saat berobat ke layanan kesehatan. Sementara itu di daerah endemik rendah semua responden menjawab bahwa mereka tidak pernah ditolak waktu berobat ke layanan kesehatan.

Penolakan terhadap responden disebabkan karena mereka harus dirawat lebih intensif lagi sehubungan dengan penyakit kustanya sudah cukup parah. Mereka dirujuk ke rumah sakit yang khusus menangani kusta. Dalam beberapa kasus ditemukan pula kasus penolakan yang dilakukan oleh dokter (praktek pribadi), poliklinik, rumah sakit swasta dan rumah sakit pemerintah. Penolakan tersebut disebabkan karena mereka tidak memiliki obat-obatan untuk menyembuhkan penyakit kusta dan pada akhirnya, mereka merujuk pasien ke Puskesmas terdekat.

Layanan Kesehtan yang Paling Sering Dimanfaatkan

Di wilayah endemik tinggi, responden penderita/orang yang pernah mengalami kusta mengaku paling sering mendapat pelayanan kesehatan di Puskesmas (92%). Sementara di daerah endemik rendah fasilitas yang paling sering dimanfaatkan penderita kusta adalah RSK (48%), Puskesmas (44%), RS Pemerintah (3%), lainnya (5%).

Kepuasan layanan

Tingkat kepuasan layanan kesehatan cukup tinggi, endemik tinggi 95%, endemik rendah 85%). Responden telah memiliki kedekatan tersendiri dengan penanggung jawab kusta di Puskesmas. Mereka terbiasa pula berkonsultasi melalui telepon seluler. Beberapa penanggung jawab kusta mengingatkan pasien jadwal periksa. Bila tidak datang, maka kadang penaggung jawab kusta mendatangi pasien sekaligus mengantar obat kusta. Responden yang sudah sembuh juga menyatakan kepuasannya dengan pelayanan kesehatan yang selama ini diberikan.

Sebagian responden di wilayah endemik tinggi merasa tidak puas tidak puas karena reaksi yang timbul akibat meminum MDT. Sementara itu di wilayah endemik rendah responden tidak puas karena perawat jarang melakukan kontrol terhadap pasien.

Page 8: Kusta Eks Summary1

Ringkasan Laporan Penelitian Kusta, Komnas HAM, 2011 8

Perhatian perawat kurang. Pasien merasa perawat terkesan takut dengan penderita kusta. Harga obat selain obat kusta juga dikeluhkan pasien.

Bagi mereka dianggap terlalu mahal. Beberapa responden mengeluhkan pula reaksi obat. Setelah meminum obat kusta kulit menjadi hitam. Butuh waktu lama untuk sembuh dari kusta.

Obat

Obat-obatan kusta dapat diperoleh secara cuma-cuma. Di daerah endemik tinggi dan rendah sebagian besar responden mengaku bebas dari biaya pembelian obat kusta. Namun, ditemui juga kasus responden yang harus mengeluarkan biaya untuk pembelian vitamin.

Di wilayah endemik tinggi terdapat kasus dimana responden membayar antara Rp. 20.000-Rp. 40.000 ke penanggung jawab kusta di Puskesmas. Di wilayah endemik rendah, ditemukan responden penderita yang menyatakan harus menebus obat dari kisaran Rp. 32.000 s.d Rp. 150.000 untuk sekali beli, lebih mahal daripada di daerah endemik tinggi.

Fisioterapi

Hanya sekitar separuh dari responden, baik di daerah endemik tinggi maupuhn endemik rendah yang menerima fisioterapi. Di daerah endemik tinggi, 54,6 % menerima bimbingan fisioterapi, lebih banyak bila dibandingkan daerah endemik rendah, 50,67%.

D. Hak untuk Memilih dan Dipilih

Responden penderita, orang yang pernah mengalami kusta, dan anggota keluarganya di daerah endemik rendah lebih banyak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) dibandingkan dengan responden di endemik tinggi.

Responden di daerah endemik tinggi sebesar 90,67% mengaku terdaftar dalam hajatan Pemilu/pemilihan perangkat masyarakat, sedikit lebih rendah dibandingkan di daerah endemik rendah, 92%. Hal yang sama pula terjadi pada 80 responden anggota keluarga dimana sekitar 5% responden di daerah endemik rendah yang lebih banyak terdaftar dalam DPT dibandingkan dengan responden di daerah endemik tinggi sebesar 92,5%.

Tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu di derah endemik tinggi lebih rendah (92%) dibandingkan daerah endemik rendah (95%). Sebagian kecil mengaku belum pernah melaksanakan hak pilih sama sekali baik itu Pemilu Presiden, Wakil Presiden, anggota DPR/DPD/DPRD, maupun ketika pemilihan Bupati/Waikota, Kepala Desa dan Ketua RT/RW. Mereka mengaku malas datang ke pemilihan karena menganggap tidak bermanfaat, alasan di luar kota, sibuk melaksanakan kegiatan, dan malu/minder karena kusta.

Dari 69 responden penderita/orang yang pernah mengalami kusta di daerah endemik tinggi yang pernah menggunakan hak pilihnya, hanya ada sekitar 9% responden yang mengaku pernah mengalami hambatan dalam pemberian suara di TPS. Sementara itu dari 71 responden penderita/orang yang pernah mengalami kusta di daerah endemik rendah hanya 5% yang mengaku terhambat ketika melakukan pemberian suara.

Page 9: Kusta Eks Summary1

Ringkasan Laporan Penelitian Kusta, Komnas HAM, 2011 9

Dari hasil temuan lapangan terungkap bahwa hanya 4% responden penderita/orang yang pernah mengalami kusta di daerah endemik tinggi yang pernah menduduki jabatan pemerintahan, seperti ketua Rukun Tetangga (RT), lebih banyak dibandingkan daerah endemik rendah (3%).

Sementara itu, di daerah endemik rendah hanya ada 3% responden anggota keluarga yang pernah menduduki jabatan politik atau pemerintahan, jauh lebih rendah dibanding daerah endemik tinggi, 10%.

Partisipasi responden penderita dan orang yang pernah mengalami kusta menduduki jabatan tertentu di pemerintahan karena memang tidak memiliki keinginan mencalonkan diri. Latar belakang kesehatan dan faktor kecacatan kusta menjadi alasannya (endemik tinggi 8%, endemik rendah 10%). Sementara itu untuk responden anggota keluarga baik itu di daerah endemik tinggi maupun daerah endemik rendah menyatakan bahwa alasan mereka tidak ingin mencalonkan diri bukan karena anggota keluarga dari penderita/orang ang pernah mengalami kusta, tetapi karena tidak ada dana.

E. Hak atas Kebebasan Mengeluarkan Pendapat

Baik di daerah endemik rendah maupun endemik tinggi, lebih 50% responden penderita dan orang yang pernah mengalami kusta mengaku tidak mengalami hambatan dalam berkomunikasi. Bila kita bandingkan responden di daerah endemik tinggi lebih banyak (68%) mengaku tidak mengalami masalah dalam berkomunikasi dibandingkan dengan daerah endemik rendah (59%).

Tidak jauh berbeda dengan responden penderita atau orang yang pernah mengalami kusta, responden dari kelompok keluarga tidak mengalami hambatan dalam berkomunikasi. Baik di daerah endemik tinggi maupun daerah endemik rendah, sebagian besar (lebih dari 50%) tidak mengalami hambatan ketika berkomunikasi.

Bila kita bandingkan responden di daerah endemik rendah lebih banyak mengaku mengalami masalah dalam berkomunikasi. Kondisi ini sama dengan pengakuan responden penderita dan orang yang pernah mengalami kusta. Jadi secara umum, responden di daerah endemik rendah lebih banyak mengalami masalah komunikasi dibandingkan dengan responden di daerah endemik tinggi.

Kementrian kesehatan menetapkan menetapkan strategi yang berbeda antara daerah endemik tinggi dan endemik rendah. Strategi program pengendalian penyakit kusta di daerah endemik tinggi dibutuhkan akselerasi kegiatan dengan perencanaan pelayanan kesehatan terpadu, penyuluhan yang intensif. Strategi penting lainnya adalah adanya program bagi penemuan penderita secara aktif. Perlu pula tersedia petugas pananggung jawab program khusus dan pengembangan kemitraan yang intensif. 9

Isu kusta menjadi masalah yang terbiasa didengar masyarakat di daerah endemik tinggi. Masyarakat terbiasa hidup berdampingan dengan penderita dan orang yang pernah mengalami kusta. Oleh karena itu, masyarakat di daerah endemik tinggi lebih bisa dan terbiasa hidup dengan penderita dan orang yang pernah mengalami kusta. Ketakutan dan stigma terhadap kusta di daerah endemik tinggi menjadi tidak sebesar masyarakat di daerah endemik rendah.

9 Buku Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta, Departeman Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendallian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2007, hlm. 15

Page 10: Kusta Eks Summary1

Ringkasan Laporan Penelitian Kusta, Komnas HAM, 2011 10

Secara umum terdapat fakta menarik bahwa sebagian besar responden khususnya penderita kusta lebih suka berdiam diri di rumah. Mereka jarang bergaul dengan masyarakat dan tetangga. Salah satu hambatan yang dihadapi oleh penderita dan yang pernah mengalami kusta adalah hambatan psikologis yang menyebabkan rasa rendah diri, tertutup, dan kurang percaya diri.

F. Hak Berkumpul

Sebagian besar responden baik penderita dan orang yang pernah mengalami maupun keluarga mengaku tidak pernah mengalami pengusiran dari tempat umum. Di daerah endemik tinggi prosentasi responden penderita dan orang yang pernah mengalami kusta yang mengaku mengalami pengusiran sebanyak 3%, lebih tinggi dibandingkan di daerah endemik rendah yaitu sebesar 1 persen.

Hambatan terjadi karena penolakan keberadaan penderitan atau orang yang pernah mengalami kusta. Dalam pergaulan memang tidak begitu kentara. Tapi saat makan bersama masyarakat masih muncul rasa jijik meskipun makanannya bukan berasal dari atau dibuat penderita kusta. Lebih banyak berdiam di rumah atau mengucilkan diri sendiri akhirnya menjadi tindakan yang paling banyak dilakukan oleh penderita kusta.

Sementara itu prosentasi responden anggota keluarga yang mengaku mengalami pengusiran adalah sebesar 3% di daerah endemik tinggi, lebih rendah di dibandingkan dengan daerah endemik rendah yaitu sebesar 8%.

Untuk responden kelurga, seluruh responden di daerah endemik rendah mengaku tidak mengalami hambatan ketika berkumpul dengan penderita/orang yang pernah mengalami Kusta, lebih baik dibandingkan dengan daerah endemik tinggi. Responden di daerah endemik tinggi sebesar 11% mengaku mengalami hambatan ketika berkumpul dengan penderita atau orang yang pernah mengalami kusta.

G. Hak Berserikat

Responden penderita dan orang yang pernah mengalami kusta tidak biasa bergabung dalam organisasi yang bergerak pada isu kusta, baik di daerah endemik tinggi dan endemik rendah. Hanya kalau kita bandingkan responden yang mengaku bergabung dengan dalam organisasi kusta lebih tinggi (33 persen) bila dibandingkan dengan daerah endemik rendah (5 persen).

Kengganan penderita dan orang yang pernah mengalami kusta bergabung dalam organisasi kusta bisa jadi karena mereka yang sudah sembuh tidak ingin diketahui bahwa dirinya adalah kusta. Mengingat penderita kusta masih mendapat diskrininasi. Dengan diketahuinya identitas ini akan menyulitkan kesempatan berusaha dan bekerja serta menikmati hak-hal lainnya..

Padahal bila kita cermati, bagi sebagian kecil orang, ikut bersosialisasi dalam wadah organisasi kusta dirasa amat berguna bagi kesembuhan/mengembalikan mentalnya, tidak jarang mereka pun menemukan jodohnya di sana. 10

10 Hanya sedikit responden yang bergabung di organisasi kusta. Beberap organisasi yang bergerak di masalah kusta adalah YTLI (Yayasan Transformasi Lepra Indonesia), Permata (Perhimpunan Mandiri Kusta) Gerakan Perduli Disabilitas Lepra, dan Yayasan Solidaritas Kusta

Page 11: Kusta Eks Summary1

Ringkasan Laporan Penelitian Kusta, Komnas HAM, 2011 11

Sementara dalam kegiatan di organisasi kemasyarakatan responden penderita atau orang yang pernah mengalami kusta di derah endemik rendah lebih banyak mengaku bergabung dalam organisasi kemasyarakatan (lebih 51 persen), lebih tinggi dibandingkan di daerah endemik tinggi (37 persen). Organisasi kemasyarakatan yang diikuti biasanya dalam bentuk paguyuban/perkumpulan, seperti kematian, majelis taklim, dan arisan.

VI. Simpulan

A. Hak atas Kesehatan

(i) Tingkat pendidikan dasar (tamat SMP/sederajat) pendidikan penderita atau orang yang pernah mengalami kusta di daerah endemik rendah lebih baik (24%) daripada di daerah endemik tinggi (11%). Alasan kesehatan menjadi salah satunya. Alasan lainnya adalah ketiadaan guru, jarak, perang kemerdekaan, menikah, melanjutkan pendidikan pesantren;

(ii) Responden anggota keluarga sedikit lebih baik. Mereka ada yang tamat diploma atau sarjana. Meski demikian sebagian besar atau 63% responden daerah endemik tinggi dan 65% responden daerah endemik rendah tidak tamat SMP/sederajat.

B. Hak Pekerja dan Pekerjaan

(i) Mata pencaharian penderita/orang yang pernah mengalami kusta cukup beragam. Namun, umumnya mereka menjadi wirausahawan 45% (endemik tinggi), 33% (endemik rendah);

(ii) Responden penderita/orang yang pernah mengalami kusta menganggur di daerah endemik tinggi sebesar 45,3%, lebih banyak dibanding di daerah endemik rendah, 36%. Mereka menganggur setelah mengundurkan diri dari pekerjaan sebelumnya. Alasan lainnya karena harus mengurus anak/adik/keluarga, menikah, sakit karena kusta maupun sakit lainnya seperti penglihatan kabur, kencing manis, tidak kuat lagi bekerja, lelah (hilang tenaga) akibat reaksi pengobatan, harus berobat, tidak betah, dan merasa sudah tua.

(iii) Sebesar 79% responden penderita/orang yang pernah mengalami kusta di daerah endemik tinggi menjawab bahwa upah atau pendapatan yang mereka peroleh sama dengan mereka yang tidak menderita kusta. Sementara di wilayah endemik rendah sebesar 85%.

(iv) baik di daerah endemik tinggi maupun endemik rendah, responden penderita/orang yang pernah mengalami kusta merasa bahwa lapangan pekerjaan yang disediakan pemerintah belum mencukupi. Responden yang menjawab lapangan kerja tidak mencukupi sebesar 73%, tidak jauh beda dengan respoden di endemik rendah, 76%.

C. Hak atas Kesehatan

(i) Di wilayah endemik tinggi, 13% responden penderita/orang yang pernah mengalami kusta mengaku pernah ditolak layanan kesehatan, lebih sedikit dibanding daerah endemik rendah, 32%. Fasilitas kesehatan yang pernah

Page 12: Kusta Eks Summary1

Ringkasan Laporan Penelitian Kusta, Komnas HAM, 2011 12

menolak di daerah endemik rendah adalah puskesmas (70%), dokter praktik pribadi (20%) dan (Rumah Sakit Kusta (10%). Sementara itu, dari responden di daerah endemik tinggi yang menjawab pernah mengalami penolakan di daerah endemik rendah, Puskesmas (58%), RS Pemerintah (17%), poliklinik (12%), RS Swasta (8%), lainnya (4%).

(ii) Anggota keluarga di wilayah endemik tinggi, 95% responden mengaku tidak mengalami penolakan saat berobat ke layanan kesehatan. Sementara itu di daerah endemik rendah semua responden menjawab bahwa mereka tidak pernah ditolak waktu berobat ke layanan kesehatan.

(iii) Sebagian besar responden menyatakan puas dengan layanan kesehatan. Ada sebagian responden kecewa karena harus menebus obat tambahan dan reaksi obat kusta.

D. Hak untuk Memilih dan Dipilih

(i) Sebagian besar responden mengaku terdaftar dalam DPT;

(ii) Tingkat partisipasi politik responden juga sangat tinggi, lebih dari 90% responden di kedua kategori wilayan memberikan hak suaranya. Sebagian besar dari mereka tidak mengalami hambatan ketika memberikan suara di tempat pemungutan suara.

E. Hak atas Kebebasan Mengeluarkan Pendapat

Secara umum, responden di daerah endemik rendah lebih banyak mengalami masalah komunikasi dibandingkan dengan responden di daerah endemik tinggi.

F. Hak Berkumpul

(i) Sebagian besar responden baik penderita dan orang yang pernah mengalami maupun keluarga mengaku tidak pernah mengalami pengusiran dari tempat umum;

(ii) Untuk responden kelurga, seluruh responden di darah endemik rendah mengaku tidak mengalami hambatan ketika berkumpul dengan penderita/orang yang pernah mengalami Kusta, lebih baik dibandingkan dengan daerah endemik tinggi, 89%.

G. Hak Berserikat

(i) Responden penderita dan orang yang pernah mengalami kusta tidak biasa bergabung dalam organisasi yang bergerak pada isu kusta, baik di daerah endemik tinggi dan endemik rendah.

(ii) Dalam kegiatan di organisasi kemasyarakatan responden penderita atau orang yang pernah mengalami kusta di derah endemik rendah lebih banyak mengaku bergabung dalam organisasi kemasyarakatan (lebih 51%), lebih tinggi dibandingkan di daerah endemik tinggi (37%).

***