Referat KUSTA

27
BAB I PENDAHULUAN Kusta merupakan penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Penyebaran penyakit ini dari suatu tempat ke tempat lain dapat disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut. 1 Dewasa ini penyakit kusta itu sendiri masih menjadi masalah kesehatan di dunia, khususnya di negara-negara yang sedang berkembang. Masalah yang dihadapi penderita bukan hanya dari medis saja, tetapi juga menimbulkan beban psikologis, sosial dan ekonomi. 2 Sebuah penelitian menyatakan bahwa jumlah penderita kusta di dunia pada tahun 2007 diperkirakan 2-3 juta orang lebih, 80% di antaranya berasal dari daerah tropis. Pada tahun yang sama Indonesia masih menempati urutan ke tiga setelah India dan Brazil dalam hal penyumbang jumlah penderita kusta di dunia. Walaupun secara nasional Indonesia telah mencapai eliminasi kusta sejak Juni 2000. Artinya, secara nasional angka prevalensi kusta di Indonesia lebih kecil dari 1 per 10.000 penduduk. Namun untuk tingkat provinsi dan kabupaten sampai akhir tahun 2007 masih ada 14 provinsi dan 155 kabupaten yang angka prevalensinya di atas 1 per 10.000 penduduk. Ke-14 provinsi tersebut antara lain Nangroe Aceh Darussalam, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Gorontalo dan Papua. 3 1

Transcript of Referat KUSTA

Page 1: Referat KUSTA

BAB I

PENDAHULUAN

Kusta merupakan penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium

leprae yang bersifat intraseluler obligat. Penyebaran penyakit ini dari suatu tempat

ke tempat lain dapat disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit

tersebut. 1

Dewasa ini penyakit kusta itu sendiri masih menjadi masalah kesehatan di dunia,

khususnya di negara-negara yang sedang berkembang. Masalah yang dihadapi penderita

bukan hanya dari medis saja, tetapi juga menimbulkan beban psikologis, sosial dan

ekonomi. 2

Sebuah penelitian menyatakan bahwa jumlah penderita kusta di dunia pada tahun

2007 diperkirakan 2-3 juta orang lebih, 80% di antaranya berasal dari daerah tropis. Pada

tahun yang sama Indonesia masih menempati urutan ke tiga setelah India dan Brazil dalam

hal penyumbang jumlah penderita kusta di dunia. Walaupun secara nasional Indonesia

telah mencapai eliminasi kusta sejak Juni 2000. Artinya, secara nasional angka prevalensi

kusta di Indonesia lebih kecil dari 1 per 10.000 penduduk. Namun untuk tingkat provinsi dan

kabupaten sampai akhir tahun 2007 masih ada 14 provinsi dan 155 kabupaten yang angka

prevalensinya di atas 1 per 10.000 penduduk. Ke-14 provinsi tersebut antara lain Nangroe

Aceh Darussalam, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi

Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Gorontalo dan Papua.3

Pada penderita kusta itu sendiri dapat mengalami suatu kondisi yang lebih dikenal

dengan reaksi kusta. Istilah reaksi kusta digunakan untuk menggambarkan berbagai

gejala dan tanda radang akut pada lesi dalam perjalanan penyakit yang kronis. Reaksi ini

menyebabkan gangguan dalam keseimbangan sistem imunologi. Meningkatnya insidensi

penyakit kusta dan kondisi reaksi kusta ini menyebabkan penulis tertarik mengangkat hal

tersebut dalam tulisan ini. 4

1

Page 2: Referat KUSTA

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Kusta adalah penyakit infeksi granulomatous kronik yang disebabkan oleh

Mycobacterium leprae, terutama mengenai kulit, sistem saraf perifer, namun dapat

juga terjadi sistem pernapasan bagian atas, mata, kelenjar getah bening dan testis dan

sendi-sendi. 1,5

Kusta itu sendiri dalam perjalannnya bisa menimbulkan suatu kondisi yang disebut

dengan reaksi kusta. Reaksi kusta adalah suatu episode dalam perjalanan kronis penyakit

kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan (cellular response) atau reaksi antigen

antibody (humoral response) dengan akibat merugikan penderita, terutama jika

mengenai saraf tepi karena menyebabkan gangguan fungsi (cacat). Reaksi ini dapat

terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau setelah pengobatan.

Reaksi kusta dapat dibagi menjadi dua yaitu reaksi tipe I atau reaksi reversal yang

disebabkan karena meningkatnya kekebalan seluler secara cepat dan reaksi tipe II atau

reaksi erythema nodosum leprosum (ENL) yang merupakan reaksi humoral yang

ditandai dengan timbulnya nodul kemerahan,neuritis,gangguan saraf dan lainnya. Reaksi

ini terutama terjadi pada tipe lepromatosa (LL) dan borderline lepromatosa (BL). 4

2. Epidemiologi

Sebuah penelitian menyatakan bahwa jumlah penderita kusta di dunia pada tahun

2007 diperkirakan 2-3 juta orang lebih, 80% di antaranya berasal dari daerah tropis.

Pada tahun yang sama Indonesia masih menempati urutan ke tiga setelah India dan

Brazil dalam hal penyumbang jumlah penderita kusta di dunia. Walaupun secara

nasional Indonesia telah mencapai eliminasi kusta sejak Juni 2000. Artinya, secara

nasional angka prevalensi kusta di Indonesia lebih kecil dari 1 per 10.000 penduduk.

Namun untuk tingkat provinsi dan kabupaten sampai akhir tahun 2007 masih ada 14

provinsi dan 155 kabupaten yang angka prevalensinya di atas 1 per 10.000 penduduk.

Ke-14 provinsi tersebut antara lain Nangroe Aceh Darussalam, DKI Jakarta, Jawa

Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa

Tenggara Timur, Maluku, Gorontalo dan Papua.3

Penelitian yang lain yang dilakukan di daerah Brebes, Jawa Tengah diperoleh

sampel sebanyak 106 penderita. 53 orang sebagai control dan 53 orang adalah

2

Page 3: Referat KUSTA

penderita kusta. Responden yang mengalami reaksi kusta tipe I sebanyak 24,5 %

dan tipe II sebanyak 75,5%. Dari 53 penderita yang mengalami reaksi kusta, sebanyak

94,3 % penderita mengalami reaksi kusta berat dan 5,7 % mengalami reaksi kusta ringan.

Berdasarkan status pengobatan MDT, sebanyak 5,7 % penderita belum mendapat

pengobatan, sedang dalam pengobatan sebanyak 52,8 % dan sesudah pengobatan

sebanyak 41,5 %. 4

3. Etiologi

Meskipun gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis maupun faktor pencetus

reaksi kusta sudah diketahui dengan jelas, namun penyebab pasti belum diketahui.

Kemungkinan reaksi ini menggambarkan episode hipersensitivitas akut terhadap

antigen basil yang menimbulkan gangguan keseimbangan imunitas yang telah ada.

Faktor pencetus yang dapat menyebabkan timbulnya hal tersebut ialah infeksi,

stress mental dan fisik, kehamilan , vaksinasi, faktor hormonal dan nutrisi. 4,6,7

4. Klasifikasi

Pengklasifikasian reaksi kusta yang paling banyak dipakai dewasa ini adalah1 :

1. Reaksi kusta tipe 1 disebabkan oleh hipersensitivitas selular (reaksi reversal

upgrading)

2. Reaksi kusta tipe 2 disebabkan oleh hipersensitivitas humoral (ENL/eritema

nodusum leprosum), dan

3. Fenomena lucio atau reaksi kusta tipe 3, sebenarnya merupakan bentuk yang lebih

berat.

Dari segi imunologis terdapat perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan

tipe 2 yaitu pada reaksi tipe yang memegang peranan adalah imunitas seluler

(SIS), sedangkan pada reaksi tipe 2 yang memegang peranan adalah imunitas humoral.

a. Reaksi Tipe I

Menurut Jopling reaksi kusta tipe I merupakan delayed hypersensitivity

reaction seperti halnya reaksi hipersensitivitas tipe IV. Antigen yang berasal dari

kuman yang telah mati (breaking down leprosy bacilli) akan bereaksi 3 dengan

limfosit T disertai perubahan sistem imun seluler yang cepat. Jadi pada dasarnya

reaksi tipe I terjadi akibat perubahan keseimbangan antar imunitas dan basil.

Dengan demikian sebagai hasil reaksi tersebut dapat terjadi upgrading/reversal,

3

Page 4: Referat KUSTA

apabila menuju kearah bentuk lepromatosa (terjadi penurunan sistem imun

seluler).

Pada kenyataannya reaksi tipe I ini diartikan dengan reaksi reversal oleh

karena paling sering dijumpai terutama pada kasus-kasus yang mendapatkan

pengobatan, sedangkan down grading reaction lebih jarang dijumpai oleh karena

berjalan lebih lambat dan umumnya dijumpai pada kasus-kasus yang tidak

mendapat pengobatan.

Meskipun secara teoritis reaksi tipe I ini dapat terjadi pada semua

bentuk kusta yang subpolar, tetapi pada bentuk BB jauh lebih sering terjadi

daripada bentuk yang lain sehingga disebut reaksi borderline.ertambah aktif dan

atau timbul lesi baru dalam waktu yang relative singkat. Adanya lesi

hipopigmentasi menjadi eritema, lesi macula menjadi infiltrate, lesi luas.

Gambar 1 : Reaksi Tipe 1

b. Reaksi Tipe II

Reaksi tipe 2 terjadi reaksi hipersensitivitas tipe III karena adanya reaksi

kompleks antigen-antibodi yang melibatkan komplemen. Terjadi lebih banyak pada

tipe lepromatus juga tampak pada BL. Reaksi tipe 2 sering disebut sebagai

Erithema Nodosum Leprosum (ENL) dengan gambaran lesi lebih eritematus,

mengkilap, sedikit tampak nodul atau plakat, ukuran macam-macam, pada umumnya

kecil, terdistribusi bilateral dan simetris, terutama di daerah tungkai bawah, wajah,

4

Page 5: Referat KUSTA

lengan dan paha, serta dapat pula muncul di hampir seluruh bagian tubuh

kecuali daerah kepala yang berambut, aksila, lipatan paha dan daerah perineum.

Selain itu didapatkan nyeri, pustulasi dan ulserasi juga disertai gejala sistematik

seperti demam dan malaise. Perlu juga memperhatikan keterlibatan organ lain seperti

saraf, mata, ginjal, sendi, testis dan limfe.

Gambar 2 : Reaksi Kusta Tipe 2

Gambar 3. Sebelum reaksi Ketika reaksi

5

Page 6: Referat KUSTA

Gambar 4 : Contoh – contoh reaksi ENL

6

Page 7: Referat KUSTA

Tabel 1. Perbedaan Reaksi Kusta Tipe 1 dan Tipe 2

No Gejala / Tanda Tipe 1 Tipe2

1. Kondisi umum Baik atau demam ringan Buruk, disertai malaise

dan febris

2. Peradangan di kulit Bercak kulit lama menjadi

lebih meradang (merah),

dapat timbul bercak baru.

Timbul nodul

kemerahan, lunak dan

nyeri tekan. Biasanya

pada lengan dan

tungkai. Nodul dapat

pecah (ulserasi)

3. Waktu terjadi Awal pengobatan MDT Biasanya setelah

pengobatan yang lama,

umumnya lebih dari 6

bulan

4. Tipe Kusta Dapat tipe PB dan MB Hanya terjadi pada MB

5. Saraf Sering terjadi, umumnya

berupa nyeri tekan saraf

dan/atau gangguan fungsi

saraf

Dapat terjadi

6. Peradangan pada

organ lain

Hampir tidak ada Terjadi pada mata,

KGB, sendi, ginjal,

testis, dll

Tabel 2. Perbedaan Reaksi Kusta Ringan dan Berat Tipe 1 dan Tipe 2

7

Page 8: Referat KUSTA

No Gejala /

Tanda

Tipe 1 Tipe 2

Ringan Berat Ringan Berat

1. Kulit Bercak :

merah, tebal,

panas, nyeri

Bercak :

merah, tebal

panas, nyeri

yang bertambah

parah sampai

pecah

Nodul :

Merah, panas,

nyeri

Nodul : merah,

panas,nyeri yang

bertambah parah

sampai pecah

2. Saraf Tepi Nyeri pada

perabaan (-)

Nyeri pada

perabaan (+)

Nyeri pada

perabaan (-)

Nyeri pada

perabaan (+)

3. Keadaan

Umum

Demam (-) Demam (+) Demam (+) Demam (+)

4. Gangguan

pada organ

lain

- - - +

Terjadi

peradangan

pada:

Mata :

Iridocyclitis

Testis:Epididim

oorchitis

Ginjal : Nefritis

Kelenjar limpa:

Limfadenitis

Gangguan pada

tulang, hidung

dan tenggorokan

* Bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf, dikategorikan sebagai

reaksi berat

c. Fenomena Lucio

8

Page 9: Referat KUSTA

Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi

pada kusta tipe lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak atau

infiltrate difus, berwarna merah muda, bentuk tidah teratur dan terasa nyeri. Lesi

terutama di ekstermitas, kemudian meluas keseluruh tubuh. Lesi yang berat

tampak lebih eritematous disertai purpur, bula kemudian dengan cepat terjadi

nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya

terbentuk jaringan parut.

Gambaran histopatologi menunjukan nekrosis epidermal iskemik dengan

nekrosis pembuluh darah superficial, edema, dan proliferasi endothelial pembuluh

darah lebih dalam. Didapatkan basil M.Leprae di endotel kapiler. Walaupun tidak

ditemukan infiltrate polimorfonuklear seperti pada ENL namun dengan

imunofluorensi tampak deposit imonoglobulin dan komplemen didalam dinding

pembuluh darah. Titer kompleks imun yang beredar dan krigobulin sangat tinggi

pada semua penderita.

Gambar 5 : Fenomena Lucio

5. Patofisiologi ENL

9

Page 10: Referat KUSTA

Mekanisme imunopatologi ENL masih kurang jelas. ENL diduga merupakan

manifestasi pengendapan kompleks antigen antibodi pada pembuluh darah.4 Perlu

ditegaskan bahwa pada ENL tidak terjadi perubahan tipe. Lain halnya dengan reaksi

reversal yang hanya dapat terjadi pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT, Ti) sehingga

dapat disebut reaksi borderline. Diperkirakan reaksi pada ENL ada hubungannya dengan

reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi peradangan terjadi pada tempat-tempat basil

lepra berada, yaitu pada saraf dan kulit, umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan

pertama.1

Pada pengobatan, banyak basil kusta yang mati dan hancur, yang berarti banyak

pula antigen yang dilepaskan. Adanya faktor pencetus seperti infeksi virus, stress,

vaksinasi dan kehamilan menyebabkan terjadinya infiltrasi sel T helper 2 yang

menghasilkan berbagai sitokin yaitu IL-4 yang menginduksi sel B menjadi sel plasma

yang kemudian memproduksi antibodi. Konsentrasi antigen dan presipitasi antibodi

tersebut akan bereaksi dan membentuk kompleks imun yang terus beredar dalam

sirkulasi darah yang akhirnya dapat diendapkan dalam berbagai organ atau jaringan yang

kemudian mengaktifkan sistem komplemen.8,9

Secara ringkasnya fenomena ini berupa kompleks imun akibat reaksi antara

antigen M.leprae + antibody ( IgM, IgG ) + komplemen kompleks imun. Komplemen

akan bergabung dengan kompleks imun dan akhirnya akan membentuk endapan

kompleks imun dan menghasilkan polimorfonuklear leukotaktik factor. Itulah sebabnya

penimbunan kompleks imun pada pembuluh darah dan lesi merupakan karakteristik

reaksi ENL.1,5

Fagositosis kompleks imun oleh neutrofil yang terakumulasi menimbulkan

pelepasan atau produksi sejumlah substansi proinflamasi tambahan, termasuk

proataglandin, peptida vasodilator, dan substansi kemotaksis,serta enzim lisosom yang

mampu mencerna membran basalis, kolagen, elastin, dan kartilago yang menyebabkan

inflamasi dan nekrosis jaringan.1

Terdapat juga penelitian yang mempelajari peranan tumor nekrosis faktor alfa

(TNF-a) pada patogenesiss ENL. Penderita LL yang menunjukkan reaksi ENL setelah

terapi MDT juga menunjukkan kadar TNF-a yang tinggi. Data ini menunjukkan eratnya

hubungan antara TNF-a dengan patogenesis ENL.7

Faktor nekrosis tumor ini bisa menimbulkan kerusakan langsung pada sel dan

jaringan, mengaktifkan makrofag, memacu makrofag memproduksi IL-1 dan IL-6 dan

memacu sel hepar menghasilkan protein reaktif C (PRC). Peninggian konsenterasi TNF-

10

Page 11: Referat KUSTA

a dan PRC dalam serum penderita ENL yang berkorelasi positif sekitar 95% apabila

dibandingkan dengan penderita kusta lepromatosa non reaksi.5

6. Gejala Klinis

Gejala dan keluhan penyakit bergantung pada: multiplikasi dan diseminasi kuman

M. Leprae, respons imun penderita terhadap kuman M. Leprae dan komplikasi yang

diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer. 10

Manifestasi klinis dari kusta sangat beragam, namun terutama mengenai kulit,

saraf, dan membran mukosa. Pasien dengan penyakit ini dapat dikelompokkan lagi

menjadi 'kusta tuberkuloid (Inggris: paucibacillary), kusta lepromatosa (penyakit Hansen

multibasiler), atau kusta multibasiler (borderline leprosy). 11

Penilaian untuk tanda-tanda fisik terdapat pada 3 area umum: lesi kutaneus,

neuropathi, dan mata. Untuk lesi kutaneus, menilai jumlah dan distribusi lesi pada kulit.

Makula hipopigmentasi dengan tepian yang menonjol sering merupakan lesi kutaneus

yang pertama kali muncul. Sering juga berupa plak. Lesi mungkin atau tidak mungkin

menjadi hipoesthetik. Lesi pada pantat sering sebagai indikasi tipe borderline.

Tanda-tanda umum dari neuropati lepra : 1) neuropati sensoris jauh lebih umum

dibandingkan neuropathy motorik, tapi neuropati motorik murni dapat juga muncul. 2)

mononeuropati dan multiplex mononeuritis dapat timbul, dengan saraf ulna dan peroneal

yang lebih sering terlibat dan 3) neuropati perifer simetris dapat juga timbul

Gejala dari neuropati lepra biasanya termasuk berikut: a) anesthesia, tidak nyeri,

patch kulit yang tidak gatal, pasien dengan lesi kulit yang menutupi cabang saraf perifer

mempunyai resiko tinggi untuk berkembangnya kerusakan motoris dan sensoris.

b) deformitas yang disebabkan kelemahan dan mensia-siakan dari otot-otot yang

diinervasi oleh saraf perifer yang terpengaruh (claw hand atau drop foot menyusul

kelemahan otot), c) gejala sensoris yang berkurang untuk melengkapi hilangnya sensasi,

paresthesia dalam distribusi saraf-saraf yang terpengaruh, nyeri neuralgia saat saraf

memendek atau diregangkan dan d) lepuh yang timbul spontan dan ulcus tropik sebagai

konsekuensi dari hilangnya sensoris

Gejala yang terlihat pada suatu reaksi

• reaksi reversal – onset yang mendadak dari kulit yang kemerahan dan munculnya

lesi-lesi kulit yang baru

• reaksi ENL – nodul pada kulit yang multiple, demam, nyeri sendi, nyeri otot, dan

mata merah.Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema,dan

11

Page 12: Referat KUSTA

nyeri dengan tempat predileksi di lengan dantungkai. Bila mengenai organ lain

dapat menimbulkangejala seperti iridosiklitis, neuritis akut,limfadenitis,arthritis,or

kitis, dan nefritis yang akut dengan adanya proteinuria.Ia juga dapat disertai gejala

konstitusi dari ringan sampai berat yang dapat diterangkan secara imunologik

pula.

Nyeri neuritik yang hebat dan perubahan yang cepat dari kerusakan saraf perifer yang

menghasilkan claw hand atau drop foot.

Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan

alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder

disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbitkularis

palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya,

menyebabkan kerusakan bagian – bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama – sama

akan menyebabkan kebutaan10.

7. Pemeriksaan Penunjang

Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada reaksi kusta

antara lain :10

a. Pemeriksaan laboratorium, seperti :

1. Hitung sel darah lengkap

2. Glukosa darah, BUN, creatinine, liver function tests

3. HIV status, terutama nonresponder

4. Kerokan kulit dan atau mukosa hidung untuk AFB

5. Keluarga dan atau screening kontak untuk bukti terjangkit

b. Pemeriksaaan bakterioskopik

Pada pemeriksaan bakterioskopik di ambil sediaan dari kerokan jaringan kulit atau

usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan BTA ZIEHL NEELSON.

12

Page 13: Referat KUSTA

Gambar 6 : Kuman solid

c. Imaging Studies

1. Foto thorak

2. Foto rontgen untuk mendeteksi keterlibatan tulang

3. MRI atau CT dari sendi neurophatik saat diperlukan

4. Magnetic resonance (MR) neurography pada kondisi khusus

5. Ultrasonography dan Doppler ultrasonography

Tes Yang Lain

1) Tes Imunologi

a. Lepromin test

b. Respon imun seluler melawan M leprae juga dapat dipelajari dengan

lymphocyte transformation test dan lymphocyte migration inhibition test

(LMIT). Tes berdasar pada deteksi antibody M lepra atau antigen.

c. Tes serologi

d. Estimasi dari komponen spesifik M leprae pada jaringan

2) DNA Recombinant dan polymerase chain reaction (PCR)

3) Penyelidikan tentang abnormalitas konduksi saraf termasuk sebagai berikut:

konduksi yang melambat secara segmental terlihat pada tempat-tempat

terperangkap (segmen siku dari saraf ulnaris), latensi distal memanjang,

berkurangnya (sensorik atau motorik) velositas konduksi saraf

berkurangnya amplitude dari evoked motor responses (compound muscle

action potentials [CMAPs] atau hilangnya amplitodo rendah dari potensial

sensoris.

Saraf-saraf yang paling sering terlibat didalamnya adalah saraf ulnaris,

peroneal, median, dan saraf-saraf tibial.

Sedangkan pemeriksaan penunjang pada ENL dapat berupa pemeriksaan laboratorium

dan pemeriksaan histopatologi. 6,8,12

1. Pada pemeriksaan laboratorium, dilakukan pemeriksaan protein dan sel darah

merah dalam urine yang dapat menunjukkan terjadinya glomerulonefritis akut.

Pada pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop, dapat terlihat kompleks imun

pada glomerulus ginjal. Pada pemerksaan hematologi dapat ditemukan

leukositosis PMN, trombositosis, peninggian LED, anemia normositik normokrom

dan peninggian kadar gammaglobulin

13

Page 14: Referat KUSTA

2. Pemerikaan histologi, ENL akan menunjukkan inflamasi akut berupa lapisan

infiltrat pada inflamasi granulomatosa yang kronik dari BL dan LL. Selain itu,

akan tampak peningkatan vaskularisasi dengan dilatasi kapiler pada dermis bagian

atas dan pada dermis bagian bawah terdapat infiltrasi lekosit polimorfonuklear

yang lokalisasinya disekeliling pembuluh darah dan menyerang dinding pembuluh

darah. Terdapat pembengkakan dan edema endothelium vena, arteriole dan arteri-

artei kecil pada lasi ENL. Fragmen basil sedikit dan, terdapat disekitar pembuluh

darah. Kerusakan dinding vaskuler ini mengakibatkan ekstravasasi eritrosit.

7. Penatalaksanaan

Prinsip dalam penatalaksanaan reaksi kusta : 6

1. Mengontrol neurtis akut dalam rangka pencegahan anastesi, paralisis dan

kontraktur

2. Menghentikan kerusakan pada mata dan mencegah kebutaan.

Lebih jauh beberapa kepustakaan menyatakan bahwa penatalaksanaan reaksi kusta

itu sendiri berbeda tergantung manifestasi dan berat ringannya penyakit. 13

a . Reaksi ringan

Pada reaksi ENL ringan dapat diberikan analgesik / antipiretik seperti Aspirin

atau Asetaminofen.

b. Reaksi berat

Berikut adalah pedoman WHO untuk pengelolaan reaksi eritema nodosum

leprosum (ENL) berat.

Prinsip umum:

1. Reaksi ENL berat sering berulang dan kronis serta dapat bervariasi dalam

manifestasinya.

2. Manajemen ENL berat yang terbaik dilakukan oleh dokter di pusat rujukan.

3. Dosis dan durasi obat anti reaksi yang digunakan dapat disesuaikan oleh dokter

sesuai dengan kebutuhan pasien individu

Manajemen dengan kortikosteroid:

1. Jika masih dalam pengobatan anti lepra, lanjutkan pemberian MDT.

2. Gunakan analgesik dengan dosis adekuat untuk mengatasi demam dan nyeri.

3. Gunakan prednisolon dengan dosis per hari tidak melebihi 1mg/KgBB dengan

total durasi pemberian 12 minggu.

14

Page 15: Referat KUSTA

Manajemen dengan klofazimin dan kortikosteroid:

Adapun pemberiannya adalah untuk indikasinya pada kasus ENL berat yang

tidak berespon dengan pengobatan kortikosteroid atau dimana risiko toksisitas dengan

kortikosteroid yang tinggi.

1. Jika masih dalam pengobatan anti lepra, lanjutkan pemberian MDT.

2. Gunakan analgesik dengan dosis adekuat untuk mengatasi demam dan nyeri.

3. Gunakan prednisolon dengan dosis per hari tidak melebihi 1mg/KgBB.

4. Mulai pemberian klofazimin 100mg 3xsehari selama maksimum 12 minggu.

5. Teruskan terapi standar prednisolon. Dilanjutkan dengan pemberian klofazimin

seperti di bawah ini.

Manajemen dengan klofazimin saja:

Indikasinya pada kasus ENL berat dimana terdapat kontraindikasi penggunaan

kortikosteroid.

1. Jika masih dalam pengobatan anti lepra, lanjutkan pemberian MDT.

2. Gunakan analgesik dengan dosis adekuat untuk mengatasi demam dan nyeri.

3. Mulai pemberian klofazimin 100mg 3xsehari selama maksimum 12 minggu.

4. Kurangi dosis klofazimin sampai 100mg 2xsehari selama 12 minggu dan

kemudian 100mg 1 x sehari selama 12-24 minggu.

Obat lain yang berguna dalam pengobatan reaksi ENL adalah pentoxifylline

saja atau dalam kombinasi dengan klofazimin / prednisolone. Karena alasan efek

samping teratogenik, WHO tidak menganjurkan penggunaan thalidomide untuk

manajemen reaksi ENL pada kusta.

8. Monitoring dan Evaluasi Pengobatan

Adapun hal lain yang juga penting adalah dilakukan monitoring dan evaluasi pengobatan

pada penderita, berupa: 1, 4,8

1. Setiap petugas harus memonitor tanggal pengambilan obat

2. Apabila penderita terlambat mengambil obat paling lama dalam 1 bulan harus

dilakukan pelacakan

3. RFT dapat dinyatakan setelah dosis dipenuhi tanpa diperlukan pemeriksaan

laboratorium. Setelah RFT penderita dikeluarkan dari form monitoring penderita

15

Page 16: Referat KUSTA

4. Masa pengamatan : pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif

a. Tipe PB selama 2 tahun

b. Tipe MB selama 5 tahun tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium

5. Penderita PB yang telah mendapatkan pengobatan 6 dosis (blister) dalam waktu

6-9 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium

6. Penderita MB yang telah mendapat pengobatan MDT 12 dosis (blister) dalam waktu

12-18 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium

7. Defaulter

Jika seorang penderita PB tidak mengambil obatnya lebih dari 3 bulan maka

dinyatakan sebagai Defaulter PB

Jika seorang penderita MB tidak mengambil obatnya lebih dari 6 bulan maka

dinyatakan sebagai Defaulter MB.

Tindakan bagi penderita defaulter :

a. Dikeluarkan dari monitoring dan register

b. Bila kemudian datang lagi maka harus dilakukan pemeriksaan klinis ulang,

pengobatan menyesuaikan dengan gejala klinis yang didapat

8. Relaps/ Kambuh

Dinyatakan kambuh setelah dinyatakan RFT timbul lesi baru pada kulit maka untuk

menyatakan relaps harus dikonfirmasikan ke dokter kusta yang memiliki

kemampuan klinis dalam mendiagnosis relaps. Untuk relaps MB jika ternyata pada

pemeriksaan ulang BTA setelah RFT terjadi peningkatan Indeks Bakteriologi 2 atau

lebih disbanding saat diagnosis maka penderita dinyatakan Relaps. Rujuan dalam

kasus relaps memungkinkan karena kasus relaps bukan termasuk kedaruratan. Bila

hasil relaps telah dikonfirmasikan maka penderita diobati sesuai hasil pemeriksaan

pada saat itu

9. Indikasi pengeluaran penderita dari register adalah : RFT, meninggal, pindah, salah

diagnosis, ganti klasifikasi, default

10. Pada keadaan khusus dapat diberikan sekaligus beberapa blister disertai dengan

pesan penyuluhan lengkap dengan efek samping dan indikasi untuk kembali ke

pelayanan kesehatan

16

Page 17: Referat KUSTA

17

Page 18: Referat KUSTA

BAB III

KESIMPULAN

Reaksi kusta hampir selalu terjadi pada penderita kusta baik sebelum pengobatan,

sedang dalam pengobatan dan sesudah pengobatan. Reaksi kusta ini dibagi menjadi 2, yaitu :

reaksi tipe I atau reaksi reversal dan reaksi tipe II atau reaksi ENL dengan manifestasi klinis

yang jelas.

Reaksi kusta ini sangat sering ditemukan namun etiologinya masih belum jelas.

Beberapa kepustakaan menyebutkan adanya faktor pencetus diduga berkaitan dengan angka

kejadian reaksi ini, seperti : setelah pengobatan antikusta yang intensif, stress fisik

/ psikis, imunisasi, kehamilan, persalinan, menstruasi, infeksi, trauma, dan lain-lain.

Penatalaksaan dan terapi yang tepat adalah hal utama untuk reaksi kusta ini, di

samping itu monitoring dan evaluasi pengobatan jua menjadi hal penting lainnya demi

penanganan yang adekuat dan tepat guna.

18