Referat Kusta (Print)

45
DAFTAR ISI BAB 1 - Pendahuluan 2 BAB 2 - 2. 1 Definisi 3 - 2.2 Epidemiologi 3-4 - 2.3 Etiologi 4 - 2.4 Patogenesis 5-8 - 2.5 Klasifikasi 8-10 - 2.6 Dasar diagnosis 2.6.1 Gejala Klinis 10-13 2.6.2 Pemeriksaan Fisik 13-18 2.6.2 Pemeriksaan Penunjang 18-20 - 2.7 Reaksi Kusta 20-21 - 2.8 Pengobatan 21-28 - 2.9 Prognosis 28 BAB 3 - Kesimpulan 29 BAB 4 - Daftar Pustaka 30 1

Transcript of Referat Kusta (Print)

Page 1: Referat Kusta (Print)

DAFTAR ISI

BAB 1

- Pendahuluan 2

BAB 2

- 2. 1 Definisi 3

- 2.2 Epidemiologi 3-4

- 2.3 Etiologi 4

- 2.4 Patogenesis 5-8

- 2.5 Klasifikasi 8-10

- 2.6 Dasar diagnosis

2.6.1 Gejala Klinis 10-13

2.6.2 Pemeriksaan Fisik 13-18

2.6.2 Pemeriksaan Penunjang 18-20

- 2.7 Reaksi Kusta 20-21

- 2.8 Pengobatan 21-28

- 2.9 Prognosis 28

BAB 3

- Kesimpulan 29

BAB 4

- Daftar Pustaka 30

1

Page 2: Referat Kusta (Print)

BAB 1

Pendahuluan

Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India

kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Kata Lepra disebut dalam kitab

Injil, terjemahan dari bahasa Hebrew zaraath, yang sebenarnya mencakup

beberapa penyakit kulit lainnya. Ternyata terdapat pelbagai deskripsi mengenai

penyakit ini sangat kabur, apabila dibanding dengan kusta yang kita kenal

sekarang.

Kata kusta juga dikenal dengan Lepra atau Morbus Hansen. Penyakit ini

adalah suatu penyakit infeksi kronis yang disebabkan Mycobacterium Leprae,

mikroorganisma yang mempunyai predileksi pada kulit dan saraf. Karekteristik

penyakit ini secara klinis terdiri atas tiga tanda cardinal ; lesi kulit hipopigmentasi

ata eritematosa yang disertai hilangya sensasi sensoris/ anestesia, penebalan saraf

perifer dan BTA positif pada apusan kulit atau material biopsy.

M. Leprae menginfeksi sel Schwann dari saraf perifer sehingga

menyebabkan kerusakan saraf dan menyebabkan disabilitas. Walaupun terdapat

penurunan prevalensi infeksi M. Leprae pada negara yang endemis setelah

implementasi multidrug therapy , kasus baru yang dideteksi masih tinggi ,

menunjukkan adanya transmisi yang aktif.

Kerentanan terhadap mycobakterium dan gejala klinis bergantung kepada

respon immune penderita . Penderita dengan respon imun yang baik menunjukkan

gejala kea rah tipe tuberkuloid sementara penderita dengan sistem imun yang

buruk menunjukkan gejala kearah lepromatosa.

2

Page 3: Referat Kusta (Print)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi(1)

Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah

Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai

afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian

dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.

2.2 Epidemiologi (1)

Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai

tersebar ke seluruh dunia tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang

terinfeksi penyakit tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau Melanesia termasuk

Indonesia diperkirakan terbawa oleh orang-orang cina. Distribusi penyakit ini

tiap-tiap negara maupun dalam negara sendiri ternyata berbeda-beda.

Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman

penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik

yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan imunitas, dan kemungkinan

adanya reservoir diluar manusia . Belum ditemukan medium artifisial ,

mempersulit dalam mempelajari sifat-sifat M. Leprae . Sebagai sumber infeksi

hanyalah manusia meskipun masih dipikirkan adanya kemungkinan di luar

manusia. Penderita yang mengandng M. Leprae sampai 103 per gram jaringan,

penularannya tiga sampai sepulh kali lebih besar dibanding dengan penderita yang

mengandung 107 basil per gram jaringan.

Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di folikel

rambut, kelenjar keringat, air susu dan jarang di dapat di dalam urin. Sputum

dapat mengandung banyak M.leprae yang berasal dari mukosa traktus

respiratorius bagian atas. Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi

pertama. Dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada orang

dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak dibawah umur 14 tahun didapatkan

13% tetapi anak dibawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi terdapat

pada kelompok umur anatar 25-35 tahun.

3

Page 4: Referat Kusta (Print)

Kusta terdapat dimana-mana terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin ,

daerah tropis dan subtropics, serta masyarakat yang sosiol ekonominya rendah.

Makin rendah sosial ekonomi makin berat penyakitnya, sebaliknya faktor sosial

ekonomi tinggi sangat membantu penyembuhan. Ada variasi reaksi terhadap

infeksi M. Leprae yang mengakibatkan varian gambaran klinis (spektrum dan

lain-lain) di pelbagai suku bangsa. Hal ini diduga disebabkan oleh faktor genetik

yang berbeda.

Jumlah kasus kusta di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah

menurun 85% di sebagian besar negara atau wilayah endemis. Kasus yang

terdaftar pada permulaan tahun 1997 kurang lebih 890.000 penderita. Walaupun

penyakit ini masih merupakan problem kesehatan masyarakat di 55 negara atau

wilayah, 91% dari jumlah kasus berada di 16 negara , dan 82% nya di 5 negara

yaitu Brazil, India , Indonesia , Myanmar dan Nigeria. Jumlah kasus kusta di

seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah menurun tajam di sebagian besar

negara atau wilayah endemis. Kasus yang terdaftar pada permulaan tahun 2009

tercatat 213.036 penderita yang berasal dari 121 negara, sedangkan jumlah kasus

baru tahun 2008 baru tercatat 249.0007.Di Indonesia,distribusi tidak merata, yang

tertinggi antara lain di Pulau Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Prevalensi pada

tahun 2008 per 10.000 penduduk adalah 0,73.

2.3 Etiologi(1)(4)

Kuman penyebab adalah Myocobacterium leprae yang ditemukan oleh

G.A HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga

dibiakkan dalam media artifisial . M. Leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-

8Um x 0.5 Um, tahan asam dan alkohol serta Gram-positif.

Gambar :Mycobacterium Leprae pada pewarnaan Ziehl-Neelsen4

Page 5: Referat Kusta (Print)

2.4 Patogenesis(1)(2)(3)

Meskipun cara masuk M. Leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui

dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering

adalah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin. Penularan

melalui kontak langsung antar kulit yang erat dan lama merupakan anggapan

klasik. Anggapan kedua ialah secara inhalasi dan melalui mukosa nasal, sebab M.

Leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. Pengaruh M. Leprae

terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang.

Bila basil M. Leprae masuk ke dalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala

klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung

kepada sistem imunitas seluler (SIS) penderita. SIS yang baik akan tampak

gambaran klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan

gambaran lepromatosa.

Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada

yang mempunyai nama lain sel Kupffer di hati, sel alveolar di paru , sel glia dari

otak, dan yang dari kulit disebut histiosit. Salah satu tugas makrofag adalah

melakukan fagositosis. Kalau ada kuman masuk, akibatnya akan bergantung pada

SIS. Apabila SIS-nya tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M. Leprae.

Datangnya histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses imunologik

dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi

yang harus di fagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteliod yang

berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel . Apabila SIS rendah

atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. Leprae yang sudah ada

didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow

atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.

Sebagai proteksi awal sebelum bakteri masuk ke dalam kulit, terutama

kompartemen imunologik bakteri tersebut harus melewati beberapa sawar, salah

satunya adalah berbagai mekanisme non-spesifik seperti sistem fagositosis yang

diperankan terutama oleh sel makrofag. Bakteri yang ditangkap oleh akan melalui

beberapa proses yang bertujuan untuk mengeliminasi bakteri, sehingga pada 95%

individu yang terinfeksi oleh M. Leprae tidak menimbulkan gejala klinis atau

minimal hanya subklinis saja. Setelah berbagai sawar nonspesifik tersebut gagal,

5

Page 6: Referat Kusta (Print)

maka barulah akan bekerja mekanisme imunitas spesifik, melalui aktivasi sel-sel

imunokompeten oleh stimulasi antigan M. Leprae.

Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan

demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat

bermultiplikasi dengan bebas yang kemudian dapat merusak jaringan. Kelainan

kulit yang terjadi lebih ekstensif. Lesi kulit terdiri dari nodus yang infiltratis dan

plak. Kelainan saraf dapat simetris.

Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi,

sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya setelah semua

kuman difagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak

bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia Langhans. Bila

infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid

akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitarnya. Tipe ini biasanya

menyerang kulit dan saraf perifer. Jumlah lesi kulit terbatas dengan kulit kering

dan hipoanestesia. Kelainan saraf biasanya asimetris.

Gambar : Prinsip mekanisme imunitas non spesifik dan spesifik

6

Page 7: Referat Kusta (Print)

Gambar : Imunitas selular dan humoral pada respon imun spesifik

Sel Schwann(SS) merupakan target utama untuk infeksi oleh M. leprae

sehingga menyebabkan cedera pada saraf, demielinasi, dan akibatnya, cacat.

Pengikatan M. leprae ke SS menyebabkan demielinasi dan hilangnya konduktansi

aksonal. Telah ditunjukkan bahwa M. leprae dapat menyerang SS melalui ikatan

spesifik protein laminin dari 21 kDa PGL-1. PGL-1, sebuah glycoconjugate khas

utama pada permukaan M.leprae., mengikat laminin-2, yang menjelaskan

kecenderungan bakteri untuk saraf perifer . Identifikasi M. leprae- SC reseptor

yang ditaget,iaitu dystroglycan (DG), menunjukkan peran molekul ini dalam

degenerasi saraf awal . Mycobacterium leprae induced demyelination adalah hasil

dari ligasi bakteri langsung ke reseptor neuregulin, erbB2 dan Erk1 / 2 aktivasi,

dan sinyal MAP kinase berikutnya dan proliferasi.

Gambar : Mekanisme delayed type hypersensitivity yang diduga berkaitan

dengan adanya lesi pada kulit sebagai reaksi terhadap lepromin

7

Page 8: Referat Kusta (Print)

2.5 Klasifikasi(1)(3)(5)

Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate pada

penyakit lepra yang terdiri atas berbagai tipe, yaitu:

TT: tuberkuloid polar, bentuk yang stabil

Ti: tuberkuloid indefinite

BT: borderline tuberculoid

BB: mid borderline bentuk yang labil

BL: borderline lepromatous

Li: lepromatosa indefinite

LL: lepromatosa polar, bentuk yang stabil

Tipe 1 (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe

tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang stabil. Jadi tidak mungkin

berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa

100%. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran,

berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran

50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya,

sedang BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah

tipe yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT maupun LL.Zona

spektrum kusta menurut berbagai klasifikasi dapat dilihat dibawah.

Tabel : Zona spektrum kusta menurut macam klasifikasi

Menurut WHO (1981), lepra dibagi menjadi multibasilar (MB) dan

pausibasilar (PB). Yang termasuk multibasilar adalah tipe LL,BL dan BB pada

klasifikasi Ridley-Jopling dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+, sedangkan

pausibasilar adalah tipe I, TT dan BT dengan IB kurang dari 2+.

8

Klasifikasi Zona Spektrum Kusta

Ridley & Jopling TT BT BB BL LL

Madrid Tuberkuloid Borderline Lepromatosa

WHO Pausibasilar (PB) Multibasilar (MB)

Puskesmas PB MB

Page 9: Referat Kusta (Print)

Untuk kepentingan pengobatan, pada tahun 1987 telah terjadi perubahan .

Yang dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negetif pada

pemeriksaan kerokan kulit, yaitu tipe I, BT dan TT menurut klasifikasi Ridley-

Jopling. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL dan LL

atau apapun klasifikasi klinisnya degan BTA positif , harus diobati dengan

rejimen MDT-MB.

Kusta dapat diklasifikasikan berdasarkan manifestasi klinis dan hasil kulit

hapusan. Dalam klasifikasi berdasarkan apusan kulit, pasien menunjukkan apusan

negatif yang dikelompokkan sebagai paucibacillary kusta (PB), sementara mereka

yang menunjukkan apusan positif di situs manapun dikelompokkan sebagai

memiliki kusta multibasiler (MB).Namun, dalam praktiknya, sebagian besar

program menggunakan kriteria klinis untuk mengklasifikasikan dan menentukan

rejimen pengobatan yang tepat untuk setiap pasien, terutama mengingat tidak-

tersediaan layanan apusan kulit. Sistem klasifikasi klinis untuk tujuan pengobatan

meliputi penggunaan jumlah lesi kulit dan saraf yang terlibat sebagai dasar untuk

pengelompokan pasien kusta multibasiler ke (MB) dan paucibacillary (PB) kusta.

PB MB

Lesi kulit ( makula

datar, papul yang

meninggi, nodus)

- 1-5 lesi

- Hipopigmentasi/

eritema

- Distribusi yang tidak

simetris

- Hilangnya sensasi

yang jelas

- >5 lesi

- Distribusi yang

simetris

- Hilangnya

sensasi kurang

jelas

Kerusakan saraf

( menyebabkan

hilangnya

sensasi/kelemahan otot

yang dipersarafi oleh

saraf yang terkena)

- Hanya satu cabang

saraf

- Banyak cabang

saraf

Bagan diagnosis klinis menurut WHO (1995)9

Page 10: Referat Kusta (Print)

2.6 Dasar Diagnosis(1)(6)

2.6.1 Gejala Klinis

Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya

berbentuk makula saja, infiltrat saja , atau keduanya. Kalau secara inspeksi mirip

penyakit lain, ada tidaknya anestesia sangat membantu penentuan diagnosis,

meskipun tidak selalu jelas. Hal ini mudah dilakukan dengan menggunakan jarum

terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba dan kalau masih belum jelas dengan

kedua cara tersebut barulah pengujian terhadapa rasa suhu, yaitu panas dan dingin

dengan menggunakan 2 tabung reaksi. Dehidrasi diperhatikan di daerah lesi yang

dapat jelas dan dapat pula tidak, dipertegas dengan menggunakan pensil tinta

(tanda Gunawan). Cara mengoresnya mulai dari tengah lesi kearah kulit normal.

Diperhatikan juga ada atau tidak alopesia di daerah lesi.

Pada pemeriksaan saraf perifer diperhatikan apakah ada pembesaran,

konsistensi, dan nyeri atau tidak. Hanya beberapa saraf superficial yang dapat dan

perlu diperiksa yaitu, N. Fasialis, N. Arikulus magnus, N. Ulnaris, N. Medianus,

N. Radialis, N. Tibialis posterior dan N Poplitea lateralis. Bagi tipe lepromataso,

kelainan saraf biasanya bilateral dan menyeluruh sedangkan bagi tipe

tuberkuloid , kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikut tempat lesinya.

Deformitas pada kusta , dibagi menjadi deformitas primer dan sekunder.

Deformitas primer sebagai akibat langsung granuloma yang terbentuk sebagai

reaksi terhadap M. Leprae , yang mendesak dan merusak jaringan sekitarnya,

yaitu kulit, mukosa respiratorius bagian atas, tulang-tulang jari dan wajah.

Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umunya deformitas

diakibatkan keduanya, tetapi terutama kerana keruskaan saraf.

Gejala kerusakan saraf:

N. ulnaris - anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari

manis

- clawing kelingking dan jari manis

- atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot

10

Page 11: Referat Kusta (Print)

lumbrikalis medial

N. medianus - anestesia pada ujung jari anterior ibu jari, telunjuk dan

jari tengah

- tidak masuk aduksi ibu jari

- clawing ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah

- ibu jari kontraktur

- atrofi otot tenar dan otot lumbrikalis lateral

N. radialis - anestesia dorsum manus serta ujung proksimal jari

telunjuk

- tangan gantung (wrist drop)

- tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan

N. poplitea lateralis - anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis

- kaki gantung (foot drop)

- kelemahan otot peroneus

N. tibialis posterior - anestesia telapak kaki

- claw toes

- paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis

N. Fasialis - cabang zigomatik dan temporal menyebabkan

lagoftalmus

- cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan

kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan

bibir

N. Trigeminus - anestesia kulit wajah, kornea dan konjugtiva mata

Kerusakan mata pada kusta dapat juga primer dan sekunder. Primer

mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak

jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya nervus fasialis yang

dapat membuat paralisis N. Orbikularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya,

mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian-

bagian mata lainnya. Secarra sendiri-sendiri atau bergabung akhirnya dapat

menyebabkan kebutaan.

Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri ata kelenjar

keringat, kelenjar palit dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan

11

Page 12: Referat Kusta (Print)

alopesia. Pada tipe lepromatosa dapat timbul ginekomestia akibat gangguan

keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus

seminiferus testis.

Pada kusta, didapatkan 3 tanda kardinal, dimana jika salah satunya ada,

sudah cukup untuk menetapkan diagnosis dari penyakit kusta, yakni :

a) Lesi kulit yang anestesi ,

b) Penebalan saraf perifer,

c) Ditemukannya M. Leprae sebagai bakteriologis positif.

Masa inkubasinya 40 hari– 40 tahun (rata-rata 3 – 5 tahun). Onset

terjadinya perlahan-lahan dan tidak ada rasa nyeri. Pertama kali mengenai sistem

saraf perifer dengan parestesi dan baal yang persisten atau rekuren tanpa terlihat

adanya gejala klinis. Pada stadium ini mungkin terdapat erupsi kulit berupa

makula dan bula yang bersifat sementara. Keterlibatan sistem saraf menyebabkan

kelemahan otot, atrofi otot, nyeri neuritik yang berat, dan kontraktur tangan dan

kaki. Gejala prodromal yang dapat timbul kadang tidak dikenali sampai lesi erupsi

ke kutan terjadi. 90% psien biasanya mengalami keluhan pada pertama kalinya

adalah rasa baal, hilangnya sensori suhu sehingga tidak dapat membedakan panas

dengan dingin. Selanjutnya, sensasi raba dan nyeri, terutama dialami pada tangan

dan kaki, sehingga dapat terjadi kompliksi ulkus atau terbakar pada ekstremitas

yang baal tersebut. Bagian tubuh lain yang dapat terkena kusta adalah daerah yang

dingin, yaitu daerah mata, testis, dagu, cuping hidung, daun telinga, dan lutut.

Perubahan saraf tepi yang terjadi dapat berupa (1) pembesaran saraf tepi yang

asimetris pada daun telinga, ulnar, tibia posterior, radial kutaneus, (2) Kerusakan

sensorik pada lesi kulit (3) Kelumpuhan nervus trunkus tanpa tanda inflamasi

berupa neuropati, kerusakan sensorik dan motorik, serta kontraktur (4) kerusakan

sensorik dengan pola Stocking-glove (4) Acral distal symmethric anesthesia

(hilangnya sensasi panas dan dingin, serta nyeri dan raba).

Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya

berbentuk makula saja, infiltrate saja, atau keduanya. Kalau secara inspeksi mirip

penyakit lain, ada tidaknya anestesi sangat membantu penentuan diagnosis,

meskipun tidak selalu jelas

12

Page 13: Referat Kusta (Print)

2.6.2 Pemeriksaan fisik

1. Tuberculoid Leprosy (TT, BT)

Pada TT, imunitas masih baik,dapat sembuh spontan dan masih mampu

melokalisir sehingga didapatkan gambaran batas yang tegas. Mengenai kulit

maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula atau plak,

dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central clearing.

Permukaan lesi dapat bersisik, dengan tepi yang meninggi. Dapat disertai

penebalan saraf tepi yang biasanya teraba. Kuman BTA negatif merupakan tanda

terdapatnya respon imun yang adekuat terhadap kuman kusta. Pada BT, tidak

dapat sembuh spontan, Lesi menyerupai tipe TT namun dapat disertai lesi satelit

di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi,

kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas TT. Gangguan saraf tidak berat dan

asimetris.

Gambar : Lesi Tuberculoid leprosy, soliter, anesthetic, annular

13

Page 14: Referat Kusta (Print)

Gambar :Lesi Kulit pada Tuberculoid Leprosy

Gambar :Borderline Tuberculoid Leprosy, gambaran anular inkomplit

dengan papul satelit

2. Borderline Leprosy

Pada tipe BB borderline,merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga

bentuk dimorfik. Lesi kulit berbentuk antara tuberculoid dan lepromatous. Terdiri

dari macula infiltratif, mengkilap, batas lesi kurang tegas, jumlah banyak melebihi

tipe BT dan cenderung simetris. Lesi bervariasi, dapat perbentuk punch out yang

khas.. Pada tipe ini terjadi anestesia dan berkurangnya keringat.

Gambar : Lesi Kulit pada Borderline

BB Leprosy14

Page 15: Referat Kusta (Print)

3. Lepromatous Leprosy

Tipe BL, secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit drngan

cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih bervariasi bentuknya.

Distribusi lesi hampir seimetris. Lesi innfiltrat, dan plak seperti punched

out. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi,

hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan hilangnya rambut lebih cepat

muncul. Penebalan saraf tepi teraba pada tempat predileksi. Tipe LL,

jumlah lesi sangat banyak, nodul mencapai ukuran 2 cm, simetris,

permukaan halus, lebih eritematous, berkilap, berbatas tidak tegas dan

pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Ditemukan

juga lesi Dematofibroma-like multipel, batas tegas, nodul eritem.

Distribusi lesi khas pada wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping

telinga. Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif

membentuk facies leonine. Kerusakan saraf menyebabkan gejalan stocking

and glove anesthesia.

Gambar Lesi Kulit pada Lepromatous Leprosy

Pada reaksi lepra tipe 1, terjadi inflamasi akut pada lesi kulit, terdapat edema dan

nyeri, bisa ulserasi. Edema paling berat terjadi di wajah, tangan, dan kaki. Pada

reaksi lepra tipe 2, terdapat nodul yang nyeri dan berwarna merah, bisa abses atau

ulserasi. Paling sering timbul di wajah dan ekstremitas bagian ekstensor.

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan 1) ekstremitas: neuropati sensoris,

ulserasi telapak kaki, infeksi sekunder, ulnar and peroneal palsies, sendi Charcot, 15

Page 16: Referat Kusta (Print)

2) hidung: kongesti kronik, epistaksis, destruksi kartilago dengan deformitas

saddle-nose, 3) mata: kelumpuhan nervus kranialis, lagoftalmus, insensitivitas

kornea. Pada LL, dapat terjadi uveitis, glaucoma, pembentukan katarak.

Kerusakan kornea dapat terjadi sekunder terhadap trichiasis dan neuropati

sensoris, infeksi sekunder, dan paralisis otot, 4) testis: terjadi hipogonadisme pada

pasien LL, 5) amiloidosis sekunder karena gangguan hepar/ ginjal.

16

Page 17: Referat Kusta (Print)

Tabel : Gambaran klinis, Baakteriologik, Imunologik Kusta Multibasile (MB)

SIFAT LL BL BB

Lesi

Bentuk

Jumlah

Distribusi

Permukaan

Batas

Anestesia

Makula, Infiltrat

Difus, Papul, Nodul

Tidak terhitung,

praktis tidak ada

kulit sehat

Simetris

Halus Berkilat

Tidak Jelas

Biasanya Tak Jelas

Makula, Plakat,

Papul

Sukar dihitung,

masih ada kulit

sehat

Hampir simetris

Halus Berkilat

Agak Jelas

Tak Jelas

Plakat, Dome

Shaped (Kubah),

Punched Out

Dapat dihitung,

kulit sehat jelas ada

Asimetris

Agak Kasar/berkilat

Agak Jelas

Lebih Jelas

BTA

Lesi kulit

Sekret hidung

Banyak (ada globus)

Banyak (ada globus)

Banyak

Biasanya Negatif

Agak Banyak

Negatif

Tes

Lepromin

Negatif Negatif Biasanya negatif

Tabel Gambaran klinis, Baakteriologik, Imunologik Kusta Pausibasiler (PB)

SIFAT TT BT I

Lesi

Bentuk

Jumlah

Distribusi

Permukaan

Makula saja, makula

dibatasi infiltrat

Satu, dapat beberapa

asimetris

kering bersisik

Makula dibatasi

infiltrat

Beberapa, atau

satu dengan satelit

Masih asimetris

Kering bersisik

Hanya makula

Satu atau beberapa

variasi

halus agak berkilat

Page 18: Referat Kusta (Print)

Batas

Anestesia

Jelas

Biasanya Tak Jelas

Jelas

Tak Jelas

jelas/tidak

tidak ada sampai

tidak jelas

BTA

Lesi kulit

Sekret hidung

Negatif

Banyak (ada globus)

Negatif/positif 1

Biasanya Negatif

Biasanya negatif

Negatif

Tes

Lepromin

Positif kuat (3+) Positif lemah Positi lemah sampai

negatif

2.6.3 Pemeriksaan penunjang

a)Pemeriksaaan bakterioskopik

Sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang

diwarnai dengan pewarnaan BTA Ziehl Neelsen. Pertama – tama harus ditentukan lesi di

kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah

tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal

4 – 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling aktif

berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa

menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena atas dasar pengalaman tempat

tersebut diharapkan mengandung basil paling banyak.

M.Leprae tergolong BTA, akan tampak merah pada sediaan. Dibedakan bentuk

batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan butiran(granular). Bentuk solid adalah

basil hidup, sedangkan fragmented dan granular merupakan bentuk mati.

Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan

dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA

dalam 100 lapangan pandang (LP).

1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP

2+Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP

3+Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP

4+Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP

5+Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP

6+Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP

Page 19: Referat Kusta (Print)

Pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan minyak emersi pada

pembesaran lensa obyektif 100x. IB seseorang adalah IB rata-rata semua lesi yang dibuat

sediaan.

Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid dan

non solid.

IM= Jumlah solidx 100 %/ Jumlah solid + Non solid

Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+ tidak

perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000 sampai

10.000 lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan.

Ada pendapat , bahwa jika jumlah BTA kurang dari 100, dapat pula dihitung IM-nya

tetapi tidak dinyatakan dalam %, tetap dalam pecahan yang tidak boleh diperbesar atau

diperkecil.

b) Pemeriksaan histopatologi,

Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang

lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdapat kelim

sunyi subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah langsung di bawah

epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel Virchow dengan banyak basil.

Pada tipe borderline terdapat campuran unsur- unsur tersebut. Sel Virchow adalah histiosit

yang dijadikan M. Leprae sebagai tempat berkembangbiak dan sebagai alat pengangkut

penyebarluasan.

c) Pemeriksaan serologik

Didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh

M.leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. Leprae , yaitu

19antibody anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan 19antibodi antiprotein 16kD serta 35 kD.

Sedangkan antibody tidak spesifik antara lain antibody anti-lipoarabinomanan (LAM), yang

juga dihasilkan kuman M. Tuberkulosis.Pemeriksaan serologik kusta adalah MLPA

(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA dan ML dipstick, PCR.

Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak untuk

diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap M. Leprae.

0,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal.

Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari (reaksi Fernandez) atau 3 – 4 minggu (reaksi

Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritemayang menunjukkan

Page 20: Referat Kusta (Print)

kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae, yaitu respon imun tipe lambat ini seperti

mantoux test (PPD) pada tuberkolosis.

2.7 Reaksi Kusta(1)

Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang

sebenarnya sangat kronik. Reaksi imun dapat menguntungkan, tetapi dapat pula merugikan

yang disebut reaksi imun patologik, dan reaksi kusta ini tergolong di dalamnya.

Eritema nodusum leprosum (E.N.L)

ENL timbul terutama pada tipe lepromatosa polar dan BL. Secara imunopatologis,

ENL termasuk respons imun humoral, berupa fenomena kompleks imun akibat reaksi antara

antigen M. Leprae + antibody (IgM, IgG) + komplemen kompleks imun. Hal ini terjadi

karena, pada tipe lepromatosa, jumlah basil jauh lebih banyak daripada tipe tuberkuloid .

ENL lebih banyak terjadi pada tahun kedua pengobatan karena banyak basil lepra yang mati

dan hancur, berarti banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibody,

mengaktifkan sistem komplemen. Kompleks imun tersebut terus beredar dalam sirkulasi

darah yang akhirnya dapat melibatkan berbagai organ.

Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema dan nyeri dengan

tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat menyebabkan gejala

seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, arthritis , orkitis dan nefritis akut dengan

adanya proteinuria . ENL dapat disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat .

Reaksi reversal atau reaksi upgrading

Reaksi ini dapat terjadi pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT,Ti) sehingga disebut

juga sebagai reaksi borderline. Yang memegang peran utama dalam terjadi hal ini adalah SIS.

Reaksi peradangan terjadi pada tempat-tempat basil M.leprae berada, yaitu pada saraf dan

kulit, umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama. Neuritis akut dapat menyebabkan

kerusakan saraf secara mendadak, oleh karena itu memerlukan pengobatan segera yang

memadai. Pada reaksi reversal, dapat terjadi perpindahan 20egativ arah TT dengan disertai

peningkatan SIS, hanya bedanya dengan cara mendadak dan cepat.

Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada

bertambah aktif atau timbul lesi baru dalam waktu relative singkat. Artinya lesi

Page 21: Referat Kusta (Print)

hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi lebih eritemotosa, lesi makula menjadi

21egative21e, lesi 21egative21e menjadi lebih 21egative21e dan lesi lama bertambah luas.

Adanya gejala neuritis akut penting diperhatikan, karena sangat menentukan pemberian

pengobatan kortikosteroid.

2.8 Pengobatan(1)(3)(5)(6)

Sejak tahun 1951 pengobatan tuberkulosis dengan obat kombinasi ditujukan untuk

mencegah kemungkinan resistensi obat, sedangkan multi drug treatment (MDT) untuk kusta

baru dimlai pada tahun 1971. Adanya MDT ini adalah sebagai usaha untuk , mencegah dan

mengobati resistensi, memerpendek masa pengobatan dan mempercepat pemutusan mata

rantai penularan. Untuk menyusun kombinasi obat perl diperhatikan antara lain: efek teraptik

obat, efek samping obat, harga obat dan kemungkinan penerapannya.

i) DDS atau Dapsone

Pengertian MDT pada saat ini ialah DDS sebagai obat dasar ditambah dengan obat-

obat lain. Dosis DDS ialah 1-2mg/kg berat badan setiap hari. Dapson, diamino difenil sulfon

bersifat bakteriostatik yaitu mengahalangi atau menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson

merupakan antagonis kompetitif dari para-aminobezoic acid (PABA) dan mencegah

penggunaan PABA untuk sintesis folat oleh bakteri. Efek samping dari dapson adalah anemia

hemolitik,leucopenia,insomnia, neuropatia perifer, sindrom DDS, nekrolisis epidermal toksik,

hepatitis, hipoalbuminemia, methemoglobinemia, skin rash, anoreksia, nausea, muntah, sakit

kepala, dan vertigo.

ii) Lamprene atau Clofazimin

Merupakan bakteriostatik dan dapat menekan reaksi kusta. Clofazimin bekerja dengan

menghambat siklus sel dan transpor dari NA/K ATPase.Dosis sebagai antikusta ialah 50mg

setiap hari atau 100mg selang sehari , atau 3x100mg setiap minggu. Bersifat antiinflamasi

dan dapat dipakai untuk pengobatan ENL dengan dosis 200-300mg/hari, namun awitan kerja

timbul seteah 2-3 minggu. Efek sampingnya adalah warna kecoklatan pada kulit dan warna

kekuningan pada sklera sehingga mirip ikterus. Hal ini disebabkan zat warna klofazimin yang

dideposit terutama pada sel system retikuloendotelial, mukosa dan kulit. Efek samping hanya

terjadi pada dosis tinggi berupa gangguan gastrointestinal yaitu nyeri abdomen, nausea, diare,

anokresia dan vomitus. Perubahan warna mulai menghilang setelah 3 bulan obat dihentikan.

Page 22: Referat Kusta (Print)

iii) Rifampicin

Rifampicin bersifat bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja dengan

cara menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan berikatan pada

subunit beta. Dosisnya ialah 10mg/kg berat badan; diberikan setiap hari atau setiap bulan.

Efek sampingnya adalah hepatotoksik,nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome

dan erupsi kulit.

iv) Ofloksasin

Merupakan turunan flurokuinolon yang paling aktif terhadap Mycobacterium Leprae

in vitro. Dosis optimal harian adalah 400mg. Dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis

akan membunuh kuman Myocobacterium leprae hidup sebesar 99.99%. Efek sampingnya

adalah mual, diare dan gangguan saluran cerna lainnya, berbagai gangguan susunan saraf

pusat termasuk imsonia, nyeri kepala , dizziness, nervousness dan halusinasi. Penggunaan

pada anak, remaja, wanita hamil dan menyusui harus hati-hati, karena pada hewan muda

kuinolon menyebabkan artropati.

v) Minosiklin

Termasuk kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi dari klaritromisin,

tetapi lebih rendah dari rifampisin. Dosis standar harian 100mg. Efek sampingnya adalah

pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan

membrane mukosa, berbagai simtom saluran cerna dan susunan saraf pusat termasuk

dizziness dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak dianjurkan untuk anak-anak atau selama

kehamilan.

vi) Klaritromisin

Merupakan kelompok antibiotic makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal

terhadap Mycobacterium Leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta lepromatosa,

dosis harian 500mg dapat membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99.9%

dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, voitus dan diare yang terbukti sering

ditemukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000mg.

Kombinasi obat ini diberikan 2 tahun sampai 3 tahun dengan syarat bakterioskopis

harus negetif. Apabila bakterioskopis masih positif, pengobatan dilanjutkan sampai

bakterioskopis negetif. Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan secara klinis setiap bulan

dan secara bakterioskopis minimal setiap 3 bulan .

Page 23: Referat Kusta (Print)

Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Treatment (RFT). Setelah

RFT dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dan bakterioskopis

minimal setiap tahun selama 5 tahun. Kalau bakterioskopis tetap 23egative dan klinis tidak

ada keaktifan baru, maka dinyatakan Release From Control (RFC).

Berdasarkan klasifikasi WHO (1997) untuk kepentingan pengobatan, penderita kusta

dibagi menjadi 3 grup, yaitu pausibasilar dengan lesi tunggal, pausibasilar dengan lesi 2-5

buah , dan penderita multibasilar dengan lesi lebih dari 5 buah. Sebagai standar pengobatan,

WHO Expert Committee pada tahun 1998 telah memperpendek masa pengobatan untuk

kasus MB menjadi 12 dosis dalam 12-18 bulan, sedangkan pengobatan untuk kasus PB

dengan lesi kulit 2-5 buah tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan. Bagi kasus PB dengan lesi tunggal

pengobatan adalah rifampisin 600 mg ditambah dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin

100 mg (ROM) dosis tunggal.

Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh

WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan menjadi:

1. Pausi Basiler (PB)

2. Multi Basiler (MB)

Dengan memakai regimen pengobatan MDT/= Multi Drug Treatment. Kegunaan MDT untuk

mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat, mengatasi ketidakteraturan penderita

dalam berobat, menurunkan angka putus obat pada pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat

mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.

Regimen Pengobatan Kusta tersebut (WHO/DEPKES RI).PB dengan lesi tunggal

diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin). Pemberian obat sekali saja langsung

RFT/=Release From Treatment. Obat diminum di depan petugas. Anak-anak Ibu hamil tidak

di berikan ROM. Bila obat ROM belum tersedia di Puskesmas diobati dengan regimen

pengobatan PB lesi (2-5).Bila lesi tunggal dgn pembesaran saraf diberikan: regimen

pengobatan PB lesi (2-5).

Tabel : Regimen pengobatan kusta dengan lesi tunggal (ROM) menurut

WHO/DEPKES RI

Rifampicin Ofloxacin Minocyclin

Dewasa 600 mg 400 mg 100 mg

Page 24: Referat Kusta (Print)

(50-70 kg)

Anak

(5-14 th)

300 mg 200 mg 50 mg

PB dengan lesi 2 – 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-9)

bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu berhenti

minum obat.

Tabel : Regimen MDT pada kusta Pausibasiler (PB)

Rifampicin Dapson

Dewasa 600 mg/bulan

Diminum di depan

petugas kesehatan

100 mg/hr diminum di

rumah

Anak-anak

(10-14 th)

450 mg/bulan

Diminum di depan

petugas kesehatan

50 mg/hari diminum di

rumah

MB (BB, BL, LL) dengan lesi > 5 .Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan

selama 12-18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan RFT/=Realease

From Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan secara

pasif untuktipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun

Tabel :Regimen MDT pada kusta Multibasiler (MB)

Rifampicin Dapson Lamprene

Page 25: Referat Kusta (Print)

Dewasa 600 mg/bulan

diminum di depan

petugas kesehatan

100 mg/hari diminum

di rumah

300 mg/bulan

diminum di depan

petugas kesehatan

dilanjutkan dgn 50

mg/hari diminum di

rumah

Anak-anak

(10-14 th)

450 mg/bulan

diminum di depan

petugas

50 mg/hari diminum

di rumah

150 mg/bulan

diminum di depan

petugas kesehatan

dilanjutkan dg 50 mg

selang sehari

diminum di rumah

Kalau susunan MDT tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alas an, WHO

Expert Committee pada tahun 1998 mempunyai rejimen untuk situasi khusus. Penderita MB

yang resisten dengan rifampisin biasanya akan resisten dengan DDS sehingga hanya bisa

mendapatkan klofazimin. Dalam hal ini , rejimen pengobatan menjadi klofazimin 50 mg,

ofloksasin 400 mg, minosiklin 100 mg setiap hari selama 6 bulan dan lagi selama 8 bulan.

Pengobatan reaksi kusta.

Page 26: Referat Kusta (Print)

i) Pengobatan ENL

Obat yang sering dipakai adalah tablet kortikosteroid, yaitu prednisone dengan

dosis 15-30 mg/ hari. Dosis dapat dinaikkan sesuai dengan berat penyakit dan

pada penyakit yang ringan sebaiknya tidak diberikan kortikosteroid. Apabila

terdapat perbaikan, dosis kortikosteroid diturunkan secara tapering off. Selain itu

dapat diberikan analgesic-antipiretik dan sedative, dan jika perlu dirawat inap.

Thalidomide merupakan obat pilihan pertama, namun mempunyai efek

teratogenik. Pada saat ini , obat ini sudah tidak diproduksi dan didapat di

Indonesia. Klofazimin dengan dosis 200-300mg/ hari dapat dipakai untuk

pengobatan ENL. Klofazimin dapat dipakai untuk lepas dari ketergantungan

kortikosteroid.

ii) Pengobatan reaksi reversal

Kalau ada neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid, yang

dosisnya disesuaikan dengan berat ringan neuritis. Biasanya diberikan prednisone

40-60 mg per hari dan kemudian diturunkan perlahan-lahan. Anggota gerak yang

terkena neuritis akut harus direhatkan . Analgetik dan sedative kalau diperlukan

dapat diberikan . Klofazimin untuk reaksi reversal kurang efektif, oleh karena itu

jarang atau tidak pernah dipakai, begitu juga talidomid tidak efektif terhadap

reaksi reversal.

Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka dapat timbul kecacatan

berupa kelumpuhan yang permanen seperticlaw hand , drop foot , claw toes , dan kontraktur.

Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan pengobatan “Prinsip pengobatan Reaksi

Kusta “ yaitu immobilisasi / istirahat, pemberian analgesik dan sedatif, pemberian obat-obat

anti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.

Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan obat-

obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 3×1 selama 3-5 hari, dan

MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.

Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik dan

sedative, MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian obat-obat anti

reaksi dan pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya prednison.Obat-obat anti

reaksi,Aspirin dengan dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4 – 6x/hari ) , Klorokuin dengan dosis

3 x 150 mg/hari, Antimon yaitu stibophen (8,5 mg antimon per ml ) yang diberikan 2-3 ml

secara selang-seling dan dosis total tidak melebihi 30 ml. Antimon jarang dipakai oleh karena

Page 27: Referat Kusta (Print)

toksik. Thalidomide juga jarang dipakai,terutama padawanita (teratogenik ).Dosis 400

mg/hari kemudian diturunkan sampai mencapai 50 mg/hari.

Pemberian Kortikosteroid,dimulai dengan dosis tinggi atau sedang.Digunakan

prednison atau prednisolon.Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari lebih baik

walaupun dapat juga diberikan dosis berbagi. Dosis diturunkan perlahan-lahan (tapering off)

setelah terjadi respon maksimal.

Gambar : Regimen MDT

Pencegahan cacat

Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of disabilities (POD)

adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta dan pengobatan MDT yang cepat dan tepat.

Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf

serat memulai pengobatan kusta dengan kortikosteroid sesegera mungkin. Bila terdapat

gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana, misalnya memakai sepatu untuk

melindngi kaki yang telah terkena , memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda yang

tajam atau panas, dan memakai kacamata untuk melindnginya. Perawatan kulit sehari-hari

juga diajar. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka atau ulkus. Setelah

itu tangan dan kaki direndam, disikat dan diminyaki agar tidak kering dan pecah.

WHO Expert Committee on Leprosy dalam laporan yang dimuat dalam WHO Technical

Report Series No.607 (1997) telah membuat klasifikasi cacat bagi penderita kusta.

Page 28: Referat Kusta (Print)

Cacat pada kaki dan tangan

Tingkat 0 Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada deformitas atau kecacatan

yang terlihat.

Tingkat 1 Ada gangguan sensibilitas, tanpa kecacatan ata deformitas yang

terlihat.

Tingkat 2 Terdapat kerusakan atau deformitas

Cacat pada mata

Tingkat 0 Tidak ada gangguan pada mata akibat kusta, tidak ada gangguan

penglihatan

Tingkat 1 Ada gangguan pada mata akibat kusta, tidak ada gangguan yang berat

pada penglihatan. Visus 6/60 atau lebih baik (dapat menghitung jari

pada jarak 6 meter)

Tingkat 2 Gangguan penglihatan berat (visus kurang dari 6/60; tidak dapat

menghitung jari pada jarak 6 meter)

Tabel : Klasifikasi Cacat

2.9 Prognosis(7)

Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium penyakit. Kesembuhan bergantung

pula pada kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Terkadang asien dapat mengalami

kelumpuhan bahkan kematian, serta kualitas hidup pasien menurun.

Page 29: Referat Kusta (Print)

BAB 3

KESIMPULAN

Akses terhadap informasi, diagnosis dan pengobatan dengan terapi multidrug (MDT)

tetap menjadi elemen penting dalam strategi untuk mengeliminasi penyakit ini sebagai

masalah kesehatan masyarakat, yang didefinisikan sebagai mencapai suatu prevalensi kurang

dari 1 kasus kusta per 10.000 penduduk. MDT pengobatan telah disediakan oleh WHO secara

gratis kepada semua pasien di seluruh dunia sejak tahun 1995, serta menyediakan obat yang

sederhana namun sangat efektif untuk semua jenis penyakit kusta

Walaupun kusta adalah penyakit tradisional negara-negara berkembang, mobilitas

masyarakat saat ini membuatnya lebih mudah untuk mengimpor M. leprae ke negara-negara

maju. Dengan pelaksanaan MDT, kusta sekarang jauh lebih mudah untuk dikontrol. Deteksi

dini dan pengobatan penyakit, reaksi, dan kekambuhan merupakan kunci untuk mencegah

kecacatan dan memungkinkan pasien untuk menjalani kehidupan yang relatif normal.

BAB 4

DAFTAR PUSTAKA

Page 30: Referat Kusta (Print)

1. A. Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe-Daili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta.

Dalam: Djuanda, Adhi dkk. (ed.). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 5 Cetakan

Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2007; 73-88

2. Sudigdo, Adi. Imunologi Penyakit Kusta dalam Imunodermatologi Bagi Pemula.

2000. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. h 62-67

3. Smith D.S. Leprosy http://emedicine.medscape.com/article/220455-overview#a0104,

6 Juli 2011.

4. Prakash Chaitra dan Bhat R.M. Leprosy: An overview of pathophysiology.

http://www.hindawi.com/journals/ipid/2012/181089/. 25 Juli 2012.

5. WHO. Leprosy elimination : classification of leprosy.

http://www.who.int/lep/classification/en/index.html. Akses pada oktober 20, 2012.

6. Desimone E.M et al . Leprosy : An new look at old disease

http://legacy.uspharmacist.com/index.asp?show=article&page=8_1649.htm. 15

Disember 2005.

7. Wolff Klaus, Doldsmith, Stevern, Barbara. Fitzpatrick’s Dermatology in General

Medicine 7th ed. USA : McGraw Hill 2008. P 17889-1796