kusta

72
BAB I PENDAHULUAN Kusta berasal dari bahasa India, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen. Penyakit ini adalah suatu penyakit infeksi kronis yang disebabkan Mycobacterium Leprae, mikroorganisme yang mempunyai predileksi pada kulit dan syaraf. 1 Karakteristik penyakit ini secara klinis terdiri atas tiga tanda kardinal yaitu lesi kulit hipopigmentasi atau eritematosa yang disertai hilangnya sensasi sensoris atau anestesi, penebalan syaraf perifer dan BTA positif pada apusan kulit atau material biopsi. 1 M. Leprae menginfeksi sel schwan dari saraf perifer sehingga menyebabkan kerusakan saraf dan menyebabkan disabilitas. M. Leprae pada Negara yang endemis setelah implementasi multidrug therapy, kasus baru yang dideteksi masih tinggi menunjukan adanya transmisi yang aktif. Kerentanan terhadap mycobacterium dan gejala klinis bergantung kepada respon imun penderita. Penderita dengan respon imun yang baik menunjukan gejala ke arah tipe tuberkuloid, sementara penderita

Transcript of kusta

Page 1: kusta

BAB I

PENDAHULUAN

Kusta berasal dari bahasa India, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-gejala

kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama

yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874

sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen. Penyakit ini adalah suatu penyakit

infeksi kronis yang disebabkan Mycobacterium Leprae, mikroorganisme yang

mempunyai predileksi pada kulit dan syaraf.1

Karakteristik penyakit ini secara klinis terdiri atas tiga tanda kardinal yaitu lesi

kulit hipopigmentasi atau eritematosa yang disertai hilangnya sensasi sensoris atau

anestesi, penebalan syaraf perifer dan BTA positif pada apusan kulit atau material

biopsi.1

M. Leprae menginfeksi sel schwan dari saraf perifer sehingga menyebabkan

kerusakan saraf dan menyebabkan disabilitas. M. Leprae pada Negara yang endemis

setelah implementasi multidrug therapy, kasus baru yang dideteksi masih tinggi menunjukan adanya

transmisi yang aktif. Kerentanan terhadap mycobacterium dan gejala klinis bergantung kepada

respon imun penderita. Penderita dengan respon imun yang baik menunjukan gejala ke arah tipe

tuberkuloid, sementara penderita dengan sistem imun yang buruk menunjukan ke arah tipe

lepromatosa.2

Page 2: kusta

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kusta

2.1.1. Definisi

Kusta adalah penyakit infeksi yang kronik, penyebabnya ialah Mycobacterium

Leprae yang intraselular obligat. Syaraf perifer sebagai afinitis pertama, lalu kulit dan

mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali

susunan syaraf pusat.1,3

Lepra adalah penyakit menular kronik yang berkembang lambat,dise

babkan oleh Mycobacterium Leprae dan di tandai dengan pembentukan lesi granulomatosa

atau neurotropik pada kulit, selaput lendir, saraf, tulang, dan organ dalam.1

Manifestasinya berupa gejala-gejala klinis dengan spektrum luas, yang terdiri

dari dua tipe utama, dengan jenis lepromatous pada ujung spektrum dan

tuberkuloid di ujung yang lain, diantara dua tipe ini terdapat tipe borderline, dengan

dua sub tipe, borderline tuberkuloid dan borderline lepromatous.1,2

2.1.2. Epidemiologi

Penyakit kusta dari suatu Benua ke tempat lain sampai tersebar ke seluruh

dunia tampaknya disebabkan oleh perpindahan orang yang telah terkena penyakit

tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau Melanesia termasuk Indonesia diperkirakan

terbawa oleh orang-orang Cina.1,4

Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenitas kuman

penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik

yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan-perubahan imunitas, dan

kemungkinan-kemungkinan adanya Reservoir diluar manusia.1

Frekuensi tertinggi pada kelompok umur antara 25-35 tahun. Faktor sosial

ekonomi kiranya memegang peranan, makin rendah sosial ekonominya makin subur

penyakit kusta. Sebaliknya, faktor sosial ekonomi tinggi membantu penyembuhan.

Sehubungan dengan iklim, ternyata penyakit ini kebanyakan terdapat di daerah tropis

dan subtropis yang panas dan lembab. Ada variasi reaksi terhadap infeksi

Mycobacterium Leprae yang mengakibatkan variasi gambaran klinis (spektrum dan

lain-lain) di berbagai suku bangsa, rupanya disebabkan oleh faktor genetik yang

Page 3: kusta

berbeda. Kusta terdapat dimana-mana, terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin,

daerah trpopis dan subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonominya rendah.4

Pada tahun 1991 World Health Assembly membuat resolusi tentang eliminasi

kusta sebagai masalah kesehatan masyarakat pada tahun 2000 dengan menurunkan

prevalensi kusta menjadi di bawah 1 kasus per 10.000 penduduk. Di Indonesia hal ini

dikenal sebagai Eliminasi Kusta tahun 2000. Jumlah kasus kusta di seluruh dunia

selama 12 tahun terakhir ini telah menurun 85% di sebagian besar Negara Wilayah

yang endemis. Kasus yang terdaftar pada permulaan tahun 1997 kurang lebih 890.000

penderita. Walaupun penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di

55 Negara atau Wilayah, 91% dari jumlah kasus berbeda di 16 Negara, dan 82%-nya

di 5 Negara (Brazil, India, Indonesia, Myanmar dan Nigeria). Di Indonesia jumlah

kasus kusta yang tercatat pada akhir Maret 1997 adalah 31.699 orang, distribusi juga

tidak merata, yang tertinggi antara lain di Jawa Timur, Jawa Barat dan Sulawesi

Selatan. Prevalensi di Indonesia per 10.000 penduduk adalah 1.57.5,6

Menurut Ress (1975) dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan

perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni jumlah atau

keganasan Mycobacterium leprae dan daya tahan tubuh penderita.6

Disamping itu faktor-faktor yang berperan dalam penularan ini adalah : 6

1. Usia

2. Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa

3. Jenis kelamin : Laki-laki lebih banyak dijangkiti

4. Ras

5. Bangsa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti

6. Kesadaran sosial

7. Umumnya Negara-negara endemis kusta adalah Negara dengan tingkat

sosial ekonomi rendah.

Page 4: kusta

2.1.3. Etiologi

Kuman penyebab adalah Mycobacterium Leprae yang ditemukan oleh G.A

Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dibiakan di

media artifisial. M. Leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 µm x 0,5 µm, tahan

asam dan alkohol.8

,Gambar 2.1.3.1. Mycobacterium Leprae pada pewarnaan Zhiel-Neelsen

Meskipun cara masuk M. Leprae ke dalam tubuh masih belum

diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa

yang tersering adalah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu

dingin. Penularan me la lu i kon t ak l angsung an t a r ku l i t yang e r a t dan

l ama merupakan anggapan klasik. Anggapan kedua ialah secara inhalasi dan

melalui mukosa nasal, sebab M. Leprae mas ih dapa t h idup bebe rapa ha r i

da l am d rop l e t . Penga ruh  M. Leprae terhadap kulit bergantung pada faktor

imunitas seseorang. Bila basil M. Leprae masuk ke dalam tubuh seseorang, dapat

timbul gejala klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe

klinis bergantung kepada s i s t em imun i t a s s e lu l e r (S IS ) pende r i t a .

S IS yang ba ik akan t ampak  g a m b a r a n k l i n i s k e a r a h

t u b e r k u l o i d , s e b a l i k n y a S I S r e n d a h m e m b e r i k a n gambaran

lepromatosa. 10,11

Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah

ada yang mempunyai nama lain sel Kupffer di hati, sel alveolar di paru ,

sel glia dari o t ak , dan yang da r i ku l i t d i s ebu t h i s t i o s i t . Sa l ah s a tu

t ugas makro fag ada l ah melakukan fagositosis. Kalau ada kuman masuk,

akibatnya akan bergantung pada S IS . Apab i l a S IS -nya t i ngg i , mak ro fag

akan mampu memfagos i t  M. Leprae. 10,11

Page 5: kusta

Datangnya h i s t i o s i t ke t empa t kuman d i s ebabkan ka rena

p rose s imuno log ik  dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya

berlebihan dan tidak ada lagi yang harus di fagosit, makrofag akan berubah

bentuk menjadi sel epiteliod yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang

disebut tuberkel . Apabila SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat

menghancurkan M. Leprae y ang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan

tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel busa

dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan. Sebagai proteksi awal sebelum

bakteri masuk ke dalam kulit, terutama kompartemen imunologik bakteri

tersebut harus melewati beberapa sawar, salah satunya adalah berbagai

mekanisme non-spesifik seperti sistem fagositosis yang diperankan terutama

oleh sel makrofag. Bakteri yang ditangkap akan melalui beberapa proses yang

bertujuan untuk mengeliminasi bakteri, sehingga pada 95%individu yang

terinfeksi oleh M. Leprae tidak menimbulkan gejala klinis atau minimal

hanya subklinis saja. 10,11

Setelah berbagai sawar nonspesifik tersebut gagal,maka barulah

akan bekerja mekanisme imunitas spesifik, melalui aktivasi sel-sel

imunokompeten oleh stimulasi antigen M. Leprae. Pada kusta tipe LL terjadi

kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan demikian makrofag tidak

mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat  bermultiplikasi dengan

bebas yang kemudian dapat merusak jaringan. Kelainan kulit yang terjadi lebih

ekstensif. Lesi kulit terdiri dari nodus yang infiltratis dan  plak. Kelainan

saraf dapat simetris. Pada kus t a t i pe TT kemampuan fungs i s i s t em

imun i t a s s e lu l a r t i ngg i , sehingga makrofag sanggup menghancurkan

kuman. Sayangnya setelah semua kuman difagositosis, makrofag akan

berubah menjadi sel epiteloid yang tidak  bergerak aktif dan kadang-kadang

bersatu membentuk sel datia Langhans. Bila infeksi ini tidak segera diatasi akan

terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan

saraf dan jaringan sekitarnya. Tipe ini biasanya menyerang kulit dan saraf

perifer. Jumlah lesi kulit terbatas dengan kulit kering dan hipoanestesia.

Kelainan saraf biasanya asimetris. 10,11

Page 6: kusta

Gambar 2.1.3.2. Prinsip mekanisme imun spesifik dan nonspesifik

Gambar 2.1.3.3. Imunitas selular dan humoral pada respon imun spesifik

Sel Schwann (SS) merupakan target utama untuk infeksi oleh

M.leprae s eh ingga menyebabkan cede ra pada s a r a f , demie l i na s i ,

dan ak iba tnya , c aca t . Pengikatan  M. Leprae ke SS menyebabkan demielinasi

dan hilangnya konduktansi aksonal. Telah ditunjukkan bahwa  M. Leprae dapat

menyerang SS melalui ikatan spesifik protein laminin dari 21 kDa PGL-1. PGL-

1, sebuah glycoconjugate khas u t a m a p a d a p e r m u k a a n  M.leprae

m e n g i k a t l a m i n i n - 2 , y a n g m e n j e l a s k a n kecenderungan bakteri

untuk saraf perifer. Identifikasi M.leprae- SC reseptor  yang

d i t a rge t , ya i t u dys t rog lycan (DG) , menun jukkan pe ran mo leku l i n i

da l am degenerasi saraf awal . Mycobacterium Leprae induced demyelination adalah

hasil dari ligasi bakteri langsung ke reseptor neuregulin, erbB2 dan Erk1 /

2 aktivasi,dan sinyal MAP kinase berikutnya dan proliferasi. 8,10,11

Page 7: kusta

Gambar 2.1.3.4. Mekanisme delayed hypersensitivity yang diduga berkaitan dengan

adanya lesi pada kulit sebagai reaksi lepromin.

2.1.4. Gejala klinis

Gejala dan keluhan penyakit bergantung pada : 1, 5, 9

1. multiplikasi dan diseminasi kuman M. Leprae

2. respons imun penderita terhadap kuman M. Leprae

3. komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer 

Manifestasi klinis dari kusta sangat beragam, namun terutama mengenai kulit,

saraf,dan membran mukosa. Pasien dengan penyakit ini dapat dikelompokkan lagi

menjadi 'kusta tuberkuloid (paucibacillary),  kusta lepromatosa (penyakit

Hansen multibasiler), atau kusta multibasiler (borderline leprosy). Penilaian untuk

tanda-tanda fisik terdapat pada 3 area umum yaitu lesi kutaneus, neuropati, dan mata. 9

Untuk lesi kutaneus, menilai jumlah dan distribusi lesi pada kulit. Makula

hipopigmentasi dengan tepian yang menonjol sering merupakan lesi kutaneus yang pertama kali

muncul. Sering juga berupa plak. Lesi mungkin atau tidak mungkin

menjadihipoesthetik. Lesi pada bokong sering sebagai indikasi tipe borderline.Tanda-

tanda umum dari neuropati lepra: 5,6

1.  Neuropati sensoris jauh lebih umum dibandingkan neuropati motorik, tapi

neuropati motorik murni dapat juga muncul.

2. Mononeuropati dan multiplex mononeuritis dapat timbul, dengan saraf ulna

dan peroneal yang lebih sering terlibat.

Page 8: kusta

3.  Neuropati perifer simetris dapat juga timbul. Gejala dari neuropati lepra

biasanya termasuk berikut

Anestesia, tidak nyeri, patch kulit yang tidak gatal,: pasien dengan lesi

kulit yang menutupi cabang saraf perifer mempunyai resiko tinggi untuk

berkembangnya kerusakan motoris dan sensoris.

Deformitas yang disebabkan kelemahan dari otot-otot yang diinervasi oleh saraf

perifer yang terpengaruh (claw hand atau drop foot menyusul

kelemahan otot).

Gejala sensoris yang berkurang untuk melengkapi hilangnya sensasi,

parestesia dalam distribusi saraf-saraf yang terpengaruh, nyeri

neuralgia saat saraf memendek atau diregangkan.

Lepuh yang timbul spontan dan ulkus tropik sebagai konsekuensi dari

hilangnya sensoris.

Deformitas pada kusta, sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi dalam

deformitas primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh

granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan

merusak jaringan disekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-

tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf,

umumnya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf.

Gejala-gejala kerusakan saraf : 9,10

1.  N. ulnaris: anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis,

clawing  kelingking dan jari manis, atrofi hipotenar dan otot interoseus serta

kedua otot lumbrikalis medial.

2. N. medianus: anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan

jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari,clawing ibu jari, telunjuk, dan jari

tengah, ibu jari kontraktur, atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.

3. N. radialis: anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk,

tangan gantung (wrist drop), tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan

tangan.

4. N. poplitea lateralis: anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis,

kakigantung (foot drop), kelemahan otot peroneus.

5. N. tibialis posterior: anestesia telapak kaki, claw toes, paralisis otot intristik

kaki dan kolaps arkus pedis.

Page 9: kusta

6.  N. fasialis: lagoftalmus ( cabang temporal dan zigomatik), kehilangan

ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir (cabang bukal, mandibular

dan servikal).

7. N. trigeminus: anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata ditemukan

di klinik sehari-hari, dengan gejala khas berupa kehilangan sistem sensorik

maupun kelemahan motorik.

Karakter dan distribusi terjadinya gejala tersebut tergantung dari tipe

neuropatinya. Gejala yang terlihat pada suatu reaksi meliputi: 9,10

1. Reaksi reversal ± onset yang mendadak dari kulit yang kemerahan dan

munculnya lesi-lesi kulit yang baru.

2. Reaksi ENL ± nodul pada kulit yang multiple, demam, nyeri sendi, nyeri otot,

dan mata merah.

3. Nyeri neuritik yang hebat dan perubahan yang cepat dari kerusakan saraf

perifer yang menghasilkan claw hand atau drop foot.

Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan

alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya.

Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis

N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus

yang selanjutnya,menyebabkan kerusakan bagian ± bagian mata lainnya. Secara

sendirian atau bersama-sama akan menyebabkan kebutaan.11

2.1.4. Patogenesis

Timbulnya penyakit kusta pada seseorang tidak mudah sehingga tidak perlu

ditakuti. Hal ini bergantung pada beberapa faktor, antara lain sumber penularan,

kuman kusta, daya tahan tubuh, sosial ekonomi, dan iklim. Sumber penularan adalah

kuman kusta utuh (solid) yang berasal dari pasien kusta tipe MB (Multi Basiler) yang

belum diobati atau tidak teratur berobat.8

Bila seseorang terinfeksi Mycobacterium Leprae, sebagian besar (95%) akan

sembuh sendiri dan 5% akan menjadi indeterminate. Dari 5% interminate, 30%

bermanifestasi klinis menjadi determinate dan 70% sembuh.8

Setelah Mycobacterium Leprae masuk kedalam tubuh, perkembangan

penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respon tubuh setelah masa

Page 10: kusta

tunas di lampaui tergantung pada table10 imunitas selular (cellular mediated immune)

pasien. Kalau table10 imunitas selular tinggi, penyakit berkembang table10u

Tuberkuloid dan bila rendah berkembang kearah Lepromatosa.7,8,13

2.1.5. Klasifikasi 1,11,13

Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah table10um Determinate pada

penyakit kusta yang terdiri atas berbagai tipe atau bentuk, yaitu:

TT : Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil

T I : Tuberkuloid Indefinite

BT : Borderlines Tuberculoid

BB: Mid Borderline

BL : Borderline Lepramatous

L I : Lepromatosa Indefinite

LL: Lepramatosa polar, bentuk yang stabil

Tabel 2.1.5.1. Klasifikasi Morbus Hansen

Tipe I (Indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe

Tuberkuloid Polar, yakni Tuberkuloid 100%, merupakan tipe yang stabil jadi berarti

tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe Lepromatosa Polar, yakni

Lepromatosa 100%, juga merupakan tipe yang stabil yang tidak mungkin berubah

lagi. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti

campuran antara Tuberkuloid dan Lepromatosa. BB adalah tipe campuran yang terdiri

atas 50 % Tuberkuloid Lepromatosa. BB dan Ti lebih banyak Tuberkuloidnya,

sedangkan BL dan Li lebih banyak Lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah

tipe yang labil, berarti dapat bebas beralih tipe, baik ke arah TT maupun ke arah LL.

Multibasiler berarti mengandung banyak basil yaitu tipe LL, BL, dan BB. Sedangkan

Pausibasiler berarti mengandung sedikit basil, yakni tipe TT, BT dan I. 7,12

Page 11: kusta

Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi Multibasiler dan

Pausibasiler. Yang termasuk dalam Multibasiler adalah tipe LL, BL, dan BB pada

klasifikasi Ridley-Jopling dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+, sedangkan

Pausibasiler adalah tipe I, TT dan BT dengan IB kurang dari 2+.7,12

Tipe PB Tipe MB

1. Lesi Kulit (macula datar,

Papul yang meninggi,

Nodul)

1-5 lesi, hipopigmentasi/

eritema, distribusi tidak

simetris, hilanya sensasi

yang jelas.

Lesi >5, distribusi lebih

simetris, hilanya sensasi

tidak jelas

2. Kerusakan cabang saraf

(menyebabkan saraf kehilangan

sensasi/kelemahan otot yang

dipersarafi oleh sraf yang

terkena)

Hanya satu cabang saraf. Banyak cabang saraf.

Tabel 2.1.5.2 Gambaran Klinis menurut WHO

Untuk kepentingan program pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi

perubahan. Yang dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada

pemeriksaan kerokan kulit, yaitu tipe-tipe I, TT dan BT menurut klasifikasi Ridley &

Jopling. Bila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA positif, maka akan dimasukkan ke

dalam kusta MB. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL dan

LL atau apapun. 10

2.1.6. Diagnosis

Page 12: kusta

Diagnosis dari lepra pada umumnya berdasarkan pada gejala klinis dan gejala.

Lesi kulit dapat bersifat tunggal atau multiple yang biasanya dengan pigmentasi lebih

sedikit dibandingkan kulit normal yang mengelilingi. Kadang lesi tampak kemerahan

atau berwarna tembaga. Beberapa variasi lesi kulit mungkin terlihat, tapi umumnya

berupa makula (datar), papula (menonjol), atau nodul. Kehilangan sensasi merupakan

tipikal dari lepra. Lesi pada kulit mungkin menunjukkan kehilangan sensasi pada

pinprick atau sentuhan halus. Saraf yang menebal, terutama cabang saraf perifer

merupakan ciri-ciri lepra. Saraf yang menebal biasanya disertai oleh tanda-tanda lain

sebagai hasil dari kerusakan saraf. Ini dapat mengakibatkan berkurangnya sensasi

pada kulit dan kelemahan otot-otot yang dipersarafi oleh saraf yang terserang. Pada

ketidakhadiran tanda-tanda tadi, hanya penebalan saraf, tanpa berkurangnya sensori

dan atau kelemahan otot menjadi tanda yang kurang reliable bagi lepra. Smear pada

kulit dengan hasil positif, pada proporsi kecil dari kasus-kasus, bentuk batang, basil

lepra tercat merah, dimana merupakan diagnostik dari penyakit, dapat terlihat pada

sediaan yang diambil dari kulit yang terinfeksi saat diperiksa dibawah mikroskop

sesudah mengalami pengecatan yang tepat. Seseorang yang menunjukkan kelainan

kulit atau dengan symptom yang mengarah kepada kerusakan saraf, dimana pada

dirinya tanda kardinal tidak didapatkan atau diragukan sebaiknya disebut ‘’suspek

kasus’’. Individu dengan hal tersebut sebaiknya diberitahu tentang fakta-fakta dasar

dari lepra dan disarankan untuk kembali ke pusat kesehatan jika gejala tetap ada

selama lebih dari enam bulan atau jika ditemukan gejala makin memburuk. Suspek

kasus dapat dikirim ke klinik rujukan dengan fasilitas yang lebih baik untuk

diagnosis. 7,8

Ada 3 tanda kardinal, yang kalau salah satunya ada sudah cukup untuk

menetapkan diagnosis dari penyakit kusta yakni:9

1 . L e s i k u l i t y a n g a n e s t e s i

2 . P e n e b a l a n s a r a f p e r i f e r

3. Ditemukannya M. leprae sebagai bakteriologis positif.

Klasifikasi berdasarkan pada sistem klinis yang bertujuan pada pengobatan

terdiri dari penggunaan jumlah dari lesi pada kulit dan saraf yang terlibat sebagai

dasar untuk mengkelompokan pasien lepra kedalam multibasiler lepra(MB) dan

pausibasiler lepra(PB).1,2

Page 13: kusta

Adapun klasifikasi yang banyak dipakai pada bidang penelitian adalah

klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta

menjadi 5 tipe yaitu Tipe tuberculoid- tuberculoid (TT), Tipe borderline tuberculoid

(BT), Tipe borderline- borderline(BB), Tipe borderline lepromatous (BL) dan Tipe

lepromatous-lepromatous (LL) berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis,

histopatologis, dan imunologis. Sekarang klasifikasi ini juga secara luas dipakai di

klinik dan untuk pemberantasan. 1,14

Untuk program pengobatan, WHO membaginya atas kelompok Pausibasiler

(PB) dan kelompok multibasiler (MB).Pada tuberkuloid leprosy, tipe lesinya adalah

adanya makula yang hipopigmentasi, anestesi,dengan pinggir yang agak tinggi dan

bervariasi ukurannya dari mm sampai lesi besar yangmenutupi seluruh tubuh. Warna

lesinya adalah eritema atau ungu pada pinggirnya danhipopigmentasi di tengah.

Distribusi lesinya adalah dimana saja termasuk wajah. Keterlibatansaraf yaitu dapat

terjadinya penebalan saraf pada pinggir lesi dan sering terjadi pembesaran saraf

perifer pada nervus Ulnaris.1, 4,6

N. ulnaris - anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari

manis

- clawing kelingking dan jari manis

- atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot

lumbrikalis medial

N. medianus - anestesia pada ujung jari anterior ibu jari, telunjuk, dan

jari tengah

- tidak masuk aduksi ibu jari

- clawing ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah

- ibu jari kiontraktur

- atrofi otot tenar dan lumbrikalis lateral

N. radialis - anestesia dorsum manus serta ujung proksimal jari

telunjuk

- tangan gantung (wrist drop)

- tidak mampu ekstensi jari-jari dan pergelangan tangan

Page 14: kusta

N. poplitea lateralis - anestesia tungkai bawah, bagian lateral, dan dorsum

pedis

- kaki gantung (foot drop)

- kelemahan otot peroneus

N. tibialis posterior - anestesia telapak kaki

- claw toes

- paralisis otot intrinsic kaki dan kolaps arkus pedis

N. fasialis - cabang zigomatik dan temporal menyebabkan

lagoftalmus

- cabang bucal, mandibular, dan servikal menyebabkan

kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan

bibir

N.trigeminus - anestesia kulit wajah, kornea, dan konjungtiva mata

Tabel 2.1.6.1. kerusakan syaraf akibat lepra

Pemeriksaan Fisik Pada Lepra

o Tuberculoid Leprosy (TT, BT)

Pada TT, imunitas masih baik ,dapat sembuh spontan dan masih mampu

me loka l i s i r s eh ingga d idapa tkan gamba ran ba t a s yang t ega s .

Mengena i ku l i t maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa,

dapat berupa makula atau plak,dan pada bagian tengah dapat ditemukan

lesi yang regresi atau central clearing.

P e r m u k a a n l e s i d a p a t b e r s i s i k , d e n g a n t e p i y a n g

m e n i n g g i . D a p a t d i s e r t a i  penebalan saraf tepi yang biasanya teraba.

Kuman BTA negatif merupakan tanda terdapatnya respon imun yang

adekuat terhadap kuman kusta. Pada BT, tidak  dapat sembuh spontan, Lesi

menyerupai tipe TT namun dapat disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat

satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi,kekeringan kulit atau

skuama tidak sejelas TT. Gangguan saraf tidak berat dan asimetris.1,7,9

Page 15: kusta

Gambar 2.1.6.2. Lesi tuberculoid leprosy, soliter, anestetic, anular

Gambar 2.1.6.3. Lesi kulit pada Tuberculoid leprosy

Gambar 2.1.6.4.Boderline tuberculoid leprosy, gambaran anular inkomplit dengan

papul satelit

Page 16: kusta

o Boderline Leprosy

Pada tipe BB borderline, merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut

juga bentuk dimorfik. Lesi kulit berbentuk antara tuberculoid  dan lepromatous.

Terdiri dari makula infiltratif, mengkilap, batas lesi kurang tegas, jumlah banyak

melebihi tipe BT dan cenderung simetris. Lesi bervariasi, dapat perbentuk  punch

out yang khas. Pada tipe ini terjadi anestesia dan berkurangnya keringat.9

Gambar 2.1.6.5. Lesi kulit pada boderline BB leprosy

Page 17: kusta

o Lepromatous Leprosy

Tipe BL, secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit drngan

cep a t men yeb a r ke s e lu ruh badan .Mak u la l eb ih be rva r i a s i

ben tukny a . Distribusi lesi hampir seimetris.Lesi infiltrat, dan plak

seperti punched out.Tanda-tanda kerusakan saraf berupa berkurangnya

sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan hilangnya rambut lebih cepat

mu ncu l . Pen eba l an s a r a f t ep i t e r a ba pada t empa t p r e d i l eks i .

T ip e LL ,  jumlah lesi sangat banyak, nodul mencapai ukuran 2 cm,

simetris, permukaan halus, lebih eritematous, berkilap, berbatas tidak tegas

dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Ditemukan juga

lesi Dematofibroma-like multipel, batas tegas, nodul eritem. D i s t r i bus i l e s i

khas pada wa j ah , mengena i dah i , pe l i p i s , dagu , cup ing t e l i n g a .

P a d a s t a d i u m l a n j u t t a m p a k p e n e b a l a n k u l i t y a n g

p r o g r e s i f   m e m b e n t u k f a c i e s l e o n i n e . K e r u s a k a n s a r a f

m e n y e b a b k a n stocking and glove anesthesia.1,7,9

Gambar 2.1.6.6. Lesi kulit pada lepromatous leprosy

Pada reaksi lepra tipe 1, terjadi inflamasi akut pada lesi kulit, terdapat edema

dan nyeri, bisa ulserasi. Edema paling berat terjadi di wajah, tangan, dan

kaki. Pada reaksi lepra tipe 2, terdapat nodul yang nyeri dan berwarna merah, bisa

abses atau ulserasi. Paling sering timbul di wajah dan ekstremitas bagian ekstensor.

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan:

1) ekstremitas: neuropati sensoris,ulserasi telapak kaki, infeksi sekunder, ulnar

and peroneal palsies , sendi Charcot.

2 ) h idung : konges t i k ron ik , ep i s t aks i s , de s t ruks i ka r t i l ago dengan

de fo rmi t a s saddle-nose.

Page 18: kusta

3) mata: kelumpuhan nervus kranialis, lagoftalmus, insensitivitas

k o r n e a . P a d a L L , d a p a t t e r j a d i u v e i t i s , g l a u k o m a ,

p e m b e n t u k a n k a t a r a k . Ke rusakan ko rnea dapa t t e r j ad i s ekunde r

t e rhadap trichiasis dan neu ropa t i sensoris, infeksi sekunder, dan paralisis otot.

4) testis: terjadi hipogonadisme pada pasien LL.

5) amiloidosis sekunder karena gangguan hepar/ ginjal.

Sifat LL BL BB

Lesi

Bentuk

Jumlah

Distribusi

Permukaan

Batas

Anestesia

-

Makula, infiltrat

difus, papul, nodul,

tidak terhitung.

Praktis tidak ada

kulit sehat

Simetris

Halus berkilat

Tidak jelas

Biasanya tak jelas

Makula, plakat,

papul

Sukar dihitung,

masih ada kulit

sehat

Hampir simetris

Halus berkilat

Agak jelas

Tak jelas

Plakat, dome

shaped, punched

out

Dapat dihitung,

kulit sehat jelas ada

Asimetris

Agak kasar/berkilat

Agak jelas

Lebih jelas

BTA

Lesi kulit

Sekret hidung

Banyak (ada

globus)

Banyak (ada

globus)

Banyak

Biasanya negative

Ada banyak

Negatif

Tes lepromin Negatif Negatif Biasanya negatif

Table 2.1.6.7. Gambaran klinis, bakteriologik, imunologik kusta multibasiler (MB)

Page 19: kusta

Tabel 2.1.6.8. Gambaran klinis, bakteriologik, imunologik kusta pausibasiler (PB)

2.1.7. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Bakterioskopik

Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan

diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit

atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan

terhadap basil tahan asam, antara lain dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen. Jumlah

tempat yang diambil untuk pemeriksaan ruitn sebaiknya minimal 4-6 tempat, yaitu kedua

cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif (yang paling eritematosa

dan infiltratif).

M. leprae tergolong basil tahan asam (BTA) akan tampak merah pada

sediaan. Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan

butiran (granular). Bentuk solid adalah basil hidup, sedangkan fragmented dan

granular merupakan bentuk mati. Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan

Page 20: kusta

nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri (IB) dengan nilai

dari 0 sampai 6+ menurut Ridley.

0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP).

1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP,

2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP,

3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP,

4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP,

5+ bila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP,

6+ bila >1000 BTA rata-rata dalam 1 LP.

Pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan minyak

emersi pada pembesaran lensa obyektif 100x. IB seseorang adalah IB rata-rata

semua lesi yang dibuat sediaan.

2. Imaging Studies

1. Foto thorak 

2. Foto rontgen untuk mendeteksi keterlibatan tulang

3. MRI atau CT dari sendi neurophatik saat diperlukan

4. Ultrasonography dan Doppler ultrasonography

3. Tes lainnya 

a. Tes Imunologi Lepromin test

Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis

lepra, tapi tidak untuk diagnosis, berguna untuk menunjukkan sistem imun

penderita terhadap M.leprae. 0,1 ml lepromin, dipersiapkan dari extraks basil

organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca pada setelah 48 jam / 2 hari

(Reaksi Fernandez), atau 3-4minggu (Reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif,

bila terdapat indurasi dan erytema, yang menunjukkan kalau penderita bereaksi

terhadap M. leprae yaitu respon imun tipe lambat, ini seperti Mantoux test (PPD)

pada M. tuberculosis.Sedangkan Reaksi Mitsuda bernilai :14

0 : Papul berdiameter 3 mm atau kurang

+1 : Papul berdiameter 4-6 mm

+2 : Papul berdiameter 7-10 mm

+3 : Papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul dengan ulserasi.

Page 21: kusta

Reaksi Mitsuda berkorelasi baik dengan respon imun penderita yang

bernilai prognosis. Klasifikasi histologi pada biopsi jaringan dari reaksi mitsuda

memiliki kemungkinan klinis lebih baik daripada histologi dari lesi kulit lepra itu sendiri. 

b.Tes serologi

Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada

tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat

bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1

(PGL-1) dan antibodi antiprotein16 kD serta 35 kD. Sedangkan antibodi yang

tidak spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga

dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis. Macam-macam pemeriksaan serologik

kusta ialah: 9

Uji MLPA (M. leprae Particle Aglutination)

Uji ELISA

ML dipstick (M. leprae dipstick)

4. Pemeriksaan Histopatologik

Gambaran histopatologik bagi tipe Tuberkuloid adalah tuberkel dan

kerusakan saraf yang lebih nyata tidak ada basil atau hanya sedikit dan Nonsolid.

Bagi Lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone),

ialah suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik,

ada sel Virchow (sel lepra) dengan banyak basil. Bagi tip borderline, terdapat

campuran unsur-unsur tersebut. 12

2.1.8. Pengobatan

Sejak tahun 1951 pengobatan tuberkulosis dengan obat kombinasi

ditujukan untuk mencegah kemungkinan resistensi obat, sedangkan multi drug

treatment (MDT) untuk kusta baru dimlai pada tahun 1971. Adanya MDT ini adalah

sebagai usaha untuk , mencegah dan mengobati resistensi, memerpendek masa

pengobatan dan mempercepat pemutusan mata rantai penularan. Untuk

menyusun kombinasi obat perlu diperhatikan antara lain: efek teraptik obat, efek

samping obat, harga obat dan kemungkinan penerapannya.11,12

Page 22: kusta

DDS

Dosis DDS ialah 1-2mg/kg berat badan setiap hari. Efek samping yang

mungkin timbul antara lain nyeri kepala, Erupsi obat, Anemia Hemolitik, Leukopenia,

Insomnia, Neuropatia Perifer, sindrom DDS, Nekrolisis Epidermal Toksik, Hepatitis,

Hipoalbuminemia, dan Methmoglobinemia.1

Rifampisin

Rifampisin adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi dengan

DDS dengan dosisi 10mg/kg berat badan; diberikan setiap hari atau setiap bulan.

Rifampisin tidak boleh diberikan sebagai monoterapi, oleh karena memperbesar

kemungkinan terjadinya resistensi, tetapi pada pengobatan kombinasi selalu

ditakutkan, tidak boleh diberikan setiap minggu atau setiap 2 minggu mengingat efek

sampingnya. Efek samping yang harus diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik,

gejala gastrointestinal, flu-like syndrom dan erupsi kulit.9

Klofazimin (lamprene)

Obat ini mulai dipakai sebagai obat kusta pada tahun 1962 oleh Brown dan

Hoogerzeil. Dosis sebagai antikusta ialah 50 mg setiap hari, satau 100 mg selang hari,

atau 3 x 100 mg setiap minggu. Juga bersifat anti-inflamasi sehingga dapat dipakai

pada penanggulangan E.N.L. dengan dosis lebih tinggi. Resistensi pertama pada satu

kasus dibuktikan pada tahun 1982 (Kosasih,2003). Efek sampingnya ialah warna

kecoklatan pada kulit, dan warna kekuningan pada sklera, sehingga mirip ikterus. Hal

tersebut disebabkan karena Klofazimin ialah zat warna dan tertimbun ditempat

tersebut. Obat ini menyebabkan pigmentasi kulit yang sering merupakan masalah

dalam ketaatan berobat penderita. Efek sampingnya hanya terjadi dalam dosis tinggi,

berupa gangguan gastrointestinal (Nyeri Abdomen, Nausea, Diare, Anoreksi, dan

Vomitus). Selain itu dapat terjadi penurunan berat badan. Dapat juga tertimbun dihati.

Perubahan warna tersebut akan menghilang setelah obat dihentikan. 11

Page 23: kusta

Protionamid/etionamid

Dosisnya 5-10mg/kg berat badan setiap hari, untuk Indonesia obat ini tidak

atau jarang dipakai.1

Obat alternatif

Ofloksasin

Ofloksasin merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap

Mycobacterium Leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg. Dosis tunggal

yang diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman Mycobacterium Leprae hidup

sebesar 99.99%. 1

Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna lainnya,

berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk Insomnia, nyeri kepala, Dizziness,

Nercousness dan halusinasi. Walaupun demikian hal ini jarang ditemukan dan

biasanya tidak membutuhkan penghentian pemakaian obat. 10

Minosiklin

Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi

daripada klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis stsandar harian

100mg. efek sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang

mengenai kulit dan membran mukosa, berbagai simtom saluran cerna dan susunan

saraf pusat, termasuk dizziness dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak dianjurkan

untuk anak-anak atau selama kehamilan. 10

Klaritromisin

Merupakan kelompok antibiotika makrolid dan mempunyai aktivitas

bakterisidal terhadap Mycobacterium Leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita

kusta lepromatosa dosis harian 500mg membunuh 99.9% dalam 56 hari. Efek

sampingnya adalah Nausea, Vomitus dan diare yang terbukti sering ditemukan bila

obat ini diberikan dengan dosis 2000mg. 10

Page 24: kusta

Rifampisin ofloxacin Minocyclin

Dewasa

(50-70 kg)

600 mg 400 mg 100 mg

Anak

(5-14 tahun)

300 mg 200 mg 50 mg

Tabel 2.1.8.1. Regimen pengobatan kusta dengan lesi tunggal (ROM) menurut WHO/Depkes

RI

PB dengan lesi 2-5. Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-9) bulan.

Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (release from treatment) yaitu berhenti

minum obat.

Tabel 2.1.8.2. Regimen MDT pada kusta PB

MB (BB, BL, LL) dengan lesi > 5 .Lama pengobatan 12 dosis ini bisa

diselesaikan selama 12-18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini,

dinyatakan RFT/Realease From Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa

pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif untuk tipe PB selama 2 tahun dan tipe

MB selama 5 tahun.

Page 25: kusta

Rifampisin Dapson Lampren

Dewasa 600 mg/bulan

diminum di depan

petugas kesehatan

100 mg/hari

diminum di rumah

300 mg/bulan

Anak-anak (10-14

tahun)

450 mg/bulan

diminum di depan

petugas

50 mg/hari

diminum di rumah

150 mg/bulan

diminum di depan

petugas kesehatan

dilanjutkan dengan

50 mg selang sehari

diminum di rumah

Tabel 2.1.8.3. Regimen MDT pada MB

Tabel 2.1.8.4. Regimen MDT Rekomendasi pengobatan lepra

Page 26: kusta

Jika su sunan MDT t i dak dapa t d i l aksanakan ka rena be rbaga i

a l a san , WHO Expert Committee pada tahun 1998 mempunyai rejimen untuk

situasi khusus. Penderita MByang resisten dengan rifampisin biasanya akan

resisten dengan DDS sehingga hanya bisamendapatkan klofazimin. Dalam

hal ini , rejimen pengobatan menjadi klofazimin 50 mg, ofloksasin 400 mg,

minosiklin 100 mg setiap hari selama 6 bulan dan lagi selama 8 bulan.

Pengobatan reaksi kusta

1 ) P e n g o b a t a n E N L

Obat yang sering dipakai adalah tablet kortikosteroid, yaitu prednisone dengan dosis

15-30 mg/ hari. Dosis dapat dinaikkan sesuai dengan berat penyakit

dan pada penyakit yang ringan sebaiknya tidak diberikan kortikosteroid. Apabila

terdapat perbaikan, dosis kortikosteroid diturunkan secara tapering off.

Selain itu dapat diberikan analgetik-antipiretik dan sedative, dan jika perlu

dirawat inap. T h a l i d o m i d e m e r u p a k a n o b a t p i l i h a n

p e r t a m a , n a m u n m e m p u n y a i e f e k   t e r a t o g e n i k . P a d a s a a t

i n i , o b a t i n i s u d a h t i d a k d i p r o d u k s i d a n d i d a p a t

d i I n d o n e s i a . K l o f a z i m i n d e n g a n d o s i s 2 0 0 - 3 0 0 m g / h a r i

d a p a t d i p a k a i u n t u k    pengobatan ENL. Klofazimin dapat dipakai untuk lepas

dari ketergantungankortikosteroid.i i )Pengoba t an r eaks i r eve r sa lKa l au ada

neu r i t i s aku t , oba t p i l i han pe r t ama ada l ah ko r t i kos t e ro id ,

yang dosisnya disesuaikan dengan berat ringan neuritis.

Biasanya diberikan prednisone40-60 mg per hari dan kemudian diturunkan perlahan-

lahan. Anggota gerak yangterkena neuritis akut harus direhatkan . Analgetik

dan sedative kalau diperlukandapat diberikan . Klofazimin untuk reaksi reversal

kurang efektif, oleh karena itu jarang atau tidak pernah dipakai, begitu juga talidomid

tidak efektif terhadapreaksi reversal.B i l a r e aks i t i dak d i t angan i dengan

cepa t dan t epa t maka dapa t t imbu l kecaca t an  berupa kelumpuhan yang

permanen seperti claw hand, drop foot, claw toes, dan kontraktur.

Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan pengobatan “Prinsip

pengobatan ReaksiKusta “ yaitu immobilisasi / istirahat, pemberian analgesik dan

sedatif, pemberian obat-obatanti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak

diubah.Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian

analgetik dan obat-obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine

Page 27: kusta

150 mg 3×1 selama 3-5 hari, danMDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang

tidak diubah.Reaks i be r a t , immob i l i s a s i , r awa t i nap d i r umah sak i t ,

pembe r i an ana lge s ik dan sedative, MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis

tidak diubah, pemberian obat-obat antir e a k s i d a n p e m b e r i a n o b a t - o b a t

k o r t i k o s t e r o i d m i s a l n y a p r e d n i s o n . O b a t - o b a t a n t i reaksi,Aspirin

dengan dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4 – 6x/hari ) , Klorokuin dengan dosis3 x

150 mg/hari, Antimon yaitu stibophen (8,5 mg antimon per ml ) yang

diberikan 2-3 mlsecara selang-seling dan dosis total tidak melebihi 30 ml. Antimon

jarang dipakai oleh karenatoks ik .

Tha l i domide j uga j a r ang d ipaka i , t e ru t ama pada wan i t a

( t e r a togen ik ) .Dos i s 400 mg/hari kemudian diturunkan sampai mencapai 50

mg/hari.Pembe r i an Kor t i kos t e ro id ,d imu la i dengan dos i s t i ngg i a t au

s edang .D igunakan  prednison atau prednisolon. Gunakan sebagai dosis tunggal

pada pagi hari lebih baik walaupun dapat juga diberikan dosis berbagi. Dosis

diturunkan perlahan-lahan (tapering off ).

Gambar 2.1.8.5. Regimen MDT

Pencegahan cacat

Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of disabilities

(POD)adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta dan pengobatan MDT yang

cepat dan tepat.Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta

yang disertai gangguan saraf s e r a t memula i pengoba t an kus t a dengan

ko r t i kos t e ro id s e sege ra mungk in . B i l a t e rdapa t gangguan sensibilitas,

Page 28: kusta

penderita diberi petunjuk sederhana, misalnya memakai sepatu untuk melindngi kaki

yang telah terkena , memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda yangtajam

atau panas, dan memakai kacamata untuk melindnginya. Perawatan kulit

sehari-hari juga diajar. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka

atau ulkus. Setelahitu tangan dan kaki direndam, disikat dan diminyaki agar tidak

kering dan pecah.W H O E x p e r t C o m m i t t e e o n L e p r o s y d a l a m

l a p o r a n y a n g d i m u a t d a l a m W H O Technical Report Series No.607

(1997) telah membuat klasifikasi cacat bagi penderita kusta.9,10

Tabel 2.1.8.6. Regimen MDT Klasifikasi cacat

2.1.9. Komplikasi

Di dunia, lepra mungkin penyebab tersering kerusakan pada

organ tangan.Trauma dan infeksi kronik sekunder dapat menyebabkan

hilangnya jari jemari ataupun ekstremitas bagian distal. Juga sering terjadi

kebutaan. Hilangnya hidung dapat terjadipada kasus LL.12

2.1.10. Prognosis

Page 29: kusta

Dengan adanya obat-obat kombinasi, pengobatan mejadi lebih

sederhana danlebih singkat, serta prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah ada

kontraktur dan ulkuskronik, prognosis menjadi kurang baik.13

Page 30: kusta

BAB III

ILUSTRASI KASUS

I. Identitas

Nama : An. G

Usia : 14 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Ciseke RT 02/ RW 02 Jatimulya

Agama : Islam

Pekerjaan : Pelajar SMP

Suku : Sunda

II. Anamnesis

Data didapat dari autoanamnesis dan alloanamnesis pada tanggal 13 Juli 2013

Keluhan Utama

Bercak putih yang terasa baal dilengan kanan atas sejak 4 tahun yang

lalu.

Keluhan Tambahan

Tangan dan kaki terasa kram dan kesemutan.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan bercak putih yang terasa baal

dilengan kanan atas sejak 4 tahun yang lalu. Awalnya bercak putih tersebut

timbul di lengan kanan atas berukuran kecil seperti bekas tersundut rokok.

Bercak tersebut tidak gatal, tidak nyeri, tidak terasa panas atau terbakar,

dan tidak terasa baal atau tebal. Namun bercak semakin lama semakin

melebar. Kira-kira 1 bulan sebelum berobat ke Puskesmas bercak sudah

berukuran sebesar telur bebek. Pasien kini mengeluh rasa baal pada

bercak yang timbul sebelumnya . Menurut pengakuan pasien, bercak

tersebut tidak terasa apabila pasien mencubit bercak tersebut, bercak

tersebut juga tidak memberikan rasa ketika pasien meletakan air hangat di

bercak tersebut. Bercak tidak menjalar ke bagian tubuh yang lain. Pasien

Page 31: kusta

akhirnya dibawa oleh Ayahnya untuk berobat ke Puskesmas karena

keluhan tersebut.

Keluhan nyeri sendi, rambut atau alis rontok, kelemahan anggota

gerak, luka sukar sembuh, dan mata sulit menutup disangkal. Pasien

mengatakan belum pernah kontak dengan orang yang memiliki keluhan

bercak serupa. Namun Ayah pasien mengatakan saat pasien berusia 6

tahun pasien memang sering bermain dengan tetangga yang mengalami

kusta di kampung halaman Ayahnya. Pasien kusta tersebut sudah

mengalami kecacatan atas penyakitnya dan sedang menjalani pengobatan.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien baru pertama kali mengalami keluhan seperti ini. Riwayat

alergi disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat keluhan serupa dalam keluarga disangkal. Riwayat alergi

disangkal.

Riwayat Sosial

Pasien adalah seorang Pelajar SMP. Pasien rutin mandi 2x/hari

menggunakan sabun mandi. Pasien juga rajin menjaga kebersihan

badannya.

Page 32: kusta

III. Pemeriksaan Fisik

KU/Kes : Tampak sakit ringan /CM

TTV : TD : 110/70 mmHg

HR : 72x/menit, reguler, isi cukup

RR : 20x/menit, abdominotorakal

T : 36,8ºC

BB/TB : 35 kg / 135 cm , IMT: 19,2 (normal)

Kepala : normosefal, rambut hitam, tidak mudah dicabut, distribusi

merata

Mata : sklera ikterik -/-, konjungtiva anemis -/-, RCL +/+, RCTL +/+

Telinga : normotia, liang telinga lapang, serumen +/+

Hidung : defomitas (-), sekret (-), cavum nasi lapang

Tenggorok : faring tidak hiperemis, tonsil Ti/Ti, uluva ditengah

Gigi : karies gigi (-)

87654321 12345678

87654321 12345678

Leher : perbesaran KGB (-), deviasi trakea (-), perbesaran tiroid (-)

Thorax : Jantung: I : IC terlihat di ICS V 1 jari medial MCL

P : IC teraba di ICS V 1 jari medial MCL

P : batas jantung normal

A : SI/II reg, murmur (-), gallop (-)

Paru : I : simetris saat statis dan dinamis

P : vokal fremitus simetris

P : sonor di kedua lapang paru

A: suara nafas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-

Abdomen : I : buncit (-), massa (-)

P : supel, turgor baik, nyeri tekan (-),hepatomegali (-),

ballotement (-)

P : timpani, shifting dullness (-)

A: bising usus (+) normal

Page 33: kusta

Ekstremitas : akral hangat, edema -/-, sianosis -/-, CRT < 2 11

Status Morbus Hansen

Kepala : alopesia (-)

Alis mata : madarosis -/-

Mata : lagoftalmus -/-

Wajah : scar (-)

Telinga : infiltrat cuping telinga -/-, anestesi : raba halus (-), nyeri (-),

panas (-), dingin (-)

Hidung : saddle nose (-)

Badan :

Pada regio brachialis dextra terdapat makula hipopigmentasi berukuran

plakat, asimetris. Anestesi : raba (+), nyeri (+), panas (+), dingin (+)

Ekstremitas :

o Regio manus dex/sin :

Atrofi M. Tenar -/-

Atrofi M. Hipotenar -/-

Kontraktur -/-

Ulkus -/-

Anestesi -/-

Parese -/-

Wrist drop -/-

Mutilasi -/-

Tes kekuatan otot : baik

o Regio pedis dex/sin

Atrofi -/-

Parese -/-

Foot drop -/-

Tes kekuatan otot : baik

Page 34: kusta

Status Neurologis

N. Auricularis Magnus

o Penebalan -/-

o Nyeri -/-

o Konsistensi tidak teraba

N. Ulnaris

o Penebalan -/-

o Nyeri -/-

o Konsistensi tidak teraba

N. Peroneus Lateralis

o Penebalan -/-

o Nyeri -/-

o Konsistensi tidak teraba

IV. Pemeriksaan Penunjang

Tes Gunawan : (+)

V. Resume

Anamnesis

Tn. E ( 14 th ) datang dengan keluhan bercak putih yang terasa baal di

lengan kanan atas sejak 4 tahun yang lalu. Awalnya bercak seperti tersudut

rokok di lengan kiri atas. Lalu bercak melebar. 1 bulan yang lalu bercak

berukuran seperti telur bebek dan disertai rasa baal sehingga pasien berobat

ke Puskesmas. Riwayat kontak dengan pasien kusta diakui oleh Ayah pasien.

Status MH

o Kepala : Alopesia (-)

o Alis mata : Madarosis -/-

o Mata : Lagoftalmus -/-

o Wajah : scar (-)

Page 35: kusta

o Telinga : Infiltrat (-), anestesi (-)

o Hidung : Saddle nose (-)

Badan : Pada regio brachialis dextra terdapat makula hipopigmentasi

berukuran plakat. Anestesi : raba (+), nyeri (+), panas (+), dingin (+)

St. Neurologis

o N. Auricularis Magnus

Penebalan -/-

Nyeri -/-

Konsistensi tidak teraba

o N. Ulnaris

Penebalan -/-

Nyeri -/-

Konsistensi tidak teraba

o N. Peroneus Lateralis

Penebalan -/-

Nyeri -/-

Konsistensi tidak teraba

PP

o Tes Gunawan : (+)

VI. Diagnosis Kerja : Morbus Hansen tipe PB

Diagnosis Banding : - pitiriasis versikolor

Page 36: kusta

VII. Penatalaksanaan

Umum :

o Edukasi bahwa pengobatan penyakit ini akan berlangsung lama, tetapi

pasien tidak boleh putus obat

o Edukasi bahwa penyakit ini menyerang saraf tepi sehingga pasien dapat

merasa baal. Oleh karena itu, pasien harus menghindari trauma pada kaki

dengan cara memakai sepatu bila berpergian, rutin memeriksa memar atau

luka pada kaki, memakai sarung tangan untuk bekerja dengan benda tajam

dan merawat kaki supaya tidak kering.

Khusus :

Hari I : R/ Rifampisin tab 450 mg No. II

S1 dd tab II

R/ DDS tab 100 mg No. I

S1 dd tab I

Hari II-XXX : R/ DDS tab 100 mg No. XXIX

S1 dd tab I

Page 37: kusta

VIII. Anjuran

Pemeriksaan BTA lesi dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen

Kontrol 1 bulan lagi

IX. Prognosis

Ad vitam : ad bonam

Ad functionam : ad bonam

Ad sanatioram : dubia ad bonam

Page 38: kusta

BAB IV

ANALISIS KASUS

Pada pasien ini ditegakkan diagnosis Morbus Hansen tipe PB berdasarkan pada :

II. Dasar diagnosis

1. Identitas pasien

Kusta merupakan penyakit yang banyak menyerang orang dengan keadaan

sosial ekonomi rendah. Semakin rendah sosial ekonominya, maka semakin

parah penyakitnya. Pasien merupakan seorang laki – laki berusia 14 tahun

yang merupakan seorang pelajar SMP. Dari anamnesis didapatkan bahwa

Ayah pasien adalah seorang Petani, Ibu pasien adalah seorang Pedagang.

Penghasilan keduanya per bulan terkadang tidak cukup untuk kebutuhan

hidup pasien dan keluarga sehari – hari. Pasien juga sebenarnya sudah

mengalami bercak yang terasa baal di tubuh pasien sejak 2 tahun yang lalu.

Namun pasien tidak berobat karena merasa bercak tersebut bukanlah penyakit

yang parah. Hal ini berkaitan dengan tingkat pendidikan keluarga pasien.

Apabila tingkat pendidikan keluarga pasien baik, maka seharusnya

keluarganya akan memeriksakan dirinya lebih awal. Pasien mengalami kusta

tipe PausiBasilar. Kusta tipe PB masih lebih ringan dibandingkan MB

(multibasillar).

2. Anamnesis

- Bercak putih yang terasa baal.

- Bercak awalnya kecil lalu meluas.

- Anestesi yang terasa pertama kali adalah terhadap suhu (air panas), lalu

baru terjadi anestesi terhadap raba.

- Lesi tidak gatal

- Lesi terdapat di lengan atas kanan.

Page 39: kusta

- Perjalanan penyakit tahunan.

- Terdapat kram dan kesemutan.

- Belum pernah mengalami penyakit seperti ini sebelumnya.

- Riwayat kontak dengan pasien kusta 4 tahun yang lalu.

Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik yang disebabkan oleh

Mycobacterium leprae. Perjalanan penyakit ini tahunan. Kusta disebut the greatest

imitator karena secara klinis, kusta memberikan gambaran lesi yang bermacam –

macam. Kelainan kulit pada penyakit kusta bisa berupa makula, bercak, infiltrat,

atau nodus. Warna yang tampak pada lesi kusta juga bisa bermacam – macam. Lesi

bisa berwarna hiperpigmentasi, eritematosa, atau hipopigmentasi. Pada pasien

dengan warna kulit hitam maka kemungkinan lesinya adalah hipopigmentasi,

sementara pasien dengan warna kulit lebih terang mungkin memiliki lesi yang

eritematosa atau hiperpigmentasi. Perjalanan penyakit bersifat kronik. Tanpa

pemberian terapi, maka lesi akan meluas dan bertambah banyak. Lesi kusta tidak

menimbulkan rasa gatal ataupun nyeri. Pada pasien didapatkan adanya lesi berupa

bercak eritematosa. Bercak awalnya seperti tersundut rokok. Pasien tidak

mengobati keluhan ini. 1 bulan yang lalu bercak tersebut terlihat melebar luas dan

makin terasa baal.

Mycobacterium leprae memiliki afinitas pertama pada saraf tepi, lalu ke

kulit, mukosa traktur respiratorius, dan organ lain. Afinitasnya terhadap saraf tepi

menyebabkan gangguan sensorik, motorik, dan otonom. Gangguan sensorik yang

pertama kali terkena adalah sensorik suhu, kemuadian gangguan sensorik raba

halus, nyeri, dan yang terakhir tekan. Pada pasien didapatkan adanya baal pada

bercak. Baal pada awalnya dirasakan terhadap air panas. 2 tahun yang lalu pasien

baru merasakan baal terhadap perabaan. Selain itu, pasien juga mengeluh sering

kram dan kesemutan. Kram dan kesemutan merupakan salah satu gejala adanya

gangguan impuls pada saraf tepi. Gangguan impuls pada saraf tepi tersebut

mungkin dikarenakan adanya inflamasi pada saraf tepi akibat infeksi M. leprae.

Menurut WHO kusta dibagi menjadi 2 tipe, yaitu : Pausibasilar dan

multibasilar. Apabila terdapat > 5 lesi, lesi cenderung simetris maka termasuk tipe

multibasilar. Pada pasien ini didapatkan lesi hanya satu di lengan kanan atas maka

diklasifikasikan sebagai tipe pausibasilar.

3. Pada Pemeriksaan fisik

Page 40: kusta

Status Morbus Hansen didapatkan :

Pada regio brachialis dextra terdapat makula hipopigmentasi berukuran plakat,

asimetris. Anestesi : raba (+), nyeri (+), panas (+), dingin (+)

Kelainan kulit pada penyakit kusta bisa berupa macula, bercak,

infiltrate, atau nodus. Warna yang tampak pada lesi kusta juga bisa bermacam –

macam. Lesi bisa berwarna hiperpigmentasi, eritematosa, atau hipopigmentasi.

Lesi dapat berbatas tegas atau difus. Lesi dapat meninggi seluruhnya, atau datar

seluruhnya, atau meninggi dipinggir dan datar di bagian tengah. Lesi dapat

mengalami anestesi terhadap rabam nyeri dan suhu. Anestesi biasanya terjadi

pada ekstremitas daripada wajah dan lebih parah pada bagian tengah lesi daripada

pinggirnya.

4. Status Neurologis

Pada pemeriksaan neurologis tidak didapatkan penebalan saraf tepi,

namun didapatkan gangguan fungsi saraf. Saraf tepi merupakan afinitas pertama

M.leprae. basil tahan asam masuk ke dalam tubuh melalui kontak langsung atau

melalui traktus respiratorius. Setelah masuk basil akan menuju saraf tepi dan

menginfeksi sel Schwann. Basil bermultiplikasi dan terjadilah respon inflamasi.

Tanda-tanda inflamasi adalah adanya rubor, kalor, tumor, dolor, dan function

laesa. Selain itu didapatkan juga fucntio laesa yaitu gangguuan fungsi saraf tepi

berupa anestesi, paralisis, dan gangguan otonom

5. Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan penunjang didapatkan tes Gunawan (+). Tes

Gunawan adalah tes yang digunakan untuk melihat ada atau tidaknya gangguan

saraf otonom. Tes ini dilakukan dengan cara menggoreskan pensil tinta dari

bagian tengah lesi ke bagian kulit yang sehat. Tes positif apabila didapatkan

goresan pada kulit yang sehat lebih tebal dibandingkan dengan tengah lesi. Pada

pasien seharusnya dilakukan pemeriksaan pewarnaan BTA dengan menggunakan

Ziehl Nielsen sebagai pembantu penegakan diagnosis definitif dengan

menemukan basil tahan asam. Pasien tidak diperiksa pewarnaan BTA karena

keterbatasan sarana Puskesmas.

Page 41: kusta

Penegakan diagnosis Morbus Hansen dapat dilakukan apabila menemui

paling tidak satu dari tiga tanda cardinal MH, yaitu

Bercak eritematosa/ hipopigmentasi/ hiperpigmentasi disertai gangguan sensorik

(anestesi)

Perbesaran saraf tepi disertai gangguan sensorik atau motorik pada daerah yang

dipersarafi saraf tersebut

Ditemukannya basil tahan asam pada pewarnaan Ziehl Neelsen dari sampel lesi.

Pada kasus ini ditemukan 2 tanda cardinal, yaitu adanya bercak eritematosa

dengan anestesi, serta perbesaran saraf tepi disertai gangguan sensorik pada daerah

yang dipersarafinya.

Penegakan diagnosis MH tipe multibasilar dilakuakn berdasarkan criteria

WHO, yaitu :

Pada pasien ini didapatkan adanya Pada regio brachialis dextra terdapat

makula hipopigmentasi berukuran plakat, asimetris. Anestesi : raba (+),

nyeri (+), panas (+), dingin (+) .Oleh karena itu, pasien ini menderita

Morbus Hansen tipe pausibasilar.

Page 42: kusta

III.Dasar Diagnosis Banding

A. Pitiriasis Versikolor

Morbus Hansen tipe MB Pitiriasis Versikolor

Epidemiologi Dapat terjadi pada semua

umur dengan pucak insidensi

25 – 35 tahun

Pria dan wanita sama banyak

Dapat terjadi pada semua

usia

Pria dan wanita sama

banyak

Umunya terjadi di daerah

tropis

Faktor

predisposisi

Kondisi social ekonomi

rendah

Endogen : defisiensi imun

Eksogen : suhu,

kelembapan udara,

keringat

Tanda klinis Bercak eritematosa/

hipopigmentasi/

hiperpigmentasi disertai

gangguan sensorik

(anestesi)

Perbesaran saraf tepi

disertai gangguan sensorik

atau motorik pada daerah

yang dipersarafi saraf

tersebut

Bercak tidak terasa gatal

atu nyeri

Gatal ringan

Bercak eritematosa/

hipopigmentasi/

hiperpigmentasi

Effloresensi Bercak eritematosa /

hipopigmentasi/

hiperpigmentasi, batas tegas /

difus, ukuran plakat, multiple,

Bercak eritematosa/

hipopigmentasi/

hiperpigmentasi, batas

tegas/difus, multiple,

Page 43: kusta

disertai infiltrat ukuran lentikular – plakat.

Predileksi Umumnya di tempat – tempat

bersuhu dingin, seperti cuping

telinga, hidung, namun pada

dasarnya bisa timbul dimana

saja.

Badan, ketiak, lipat paha,

lengan, tungkai atas, leher,

muka, dan kulit kepala

Pemeriksaan

penunjang

Ziehl Nielsen : ditemukan

BTA

Lampu wood : flouresensi

kuning keemasan

KOH 20% : hifa pendek,

spora bulat berkelompok

IV. Dasar penatalaksanaan

B. Umum

Memberi penjelasan pada pasien bahwa pengobatan penyakit ini akan

berlangsung lama, tapi pasien tidak boleh berhenti minum obat sampai

dinyatakan sembuh oleh dokter. pengobatan kusta menggunakan Multi

Drugs Treatment (MDT), yaitu dengan mengombinasikan beberapa

rejimen. Pengobatan dengan cara ini dimaksudkan untuk mencegah dan

mengobati resitensi, memperpendek masa pengobatan, dan mempercepat

pemutusan mata rantai penularan. Pengobatan untuk tipe pausibasilar

diberikan 24 dosis dalam 24 – 36 bulan. Selama pengobatan dilakukan

pemeriksaan klinis tiap bulan dan pemeriksaan bakterioskopik minimal

tiap 3 bulan. Setelah pasien dinyatakan sembuh (Release From

Treatment/RFT), maka pasien tetap harus kontrol namun tanpa diberi obat

dan pemeriksaan bakterioskopik tiap tahun selama 5 tahun. Bila

bakterioskopik negatif dan tidak ada tanda keatifan baru maka pasien baru

dinyatakan Release From Control (RFC). Apabila pasien tidak minum

obat maka besar kemungkinan lesi akan semakin parah. Bila pasien tidak

minum obat sesuai ketentuan, kemungkinan pasien akan mengalami

resistensi terhadap MDT. Pasien yang tidak mendapat obat MDT

mempunyai resiko tinggi terjadninya kerusakan saraf permanen dan

kecacatan.

Page 44: kusta

Memberi penjelasan pada pasien bahwa penyakit ini menyerang saraf tepi

yang dapat membuat pasien merasa baal. Oleh karena itu pasien harus

menghindari trauma dengan cara memakai sepatu bila bepergian, rutin

memeriksa apakah ada memar/luka pd kaki, memakai sarung tangan jika

bekerja dengan benda tajam, dan merawat tangan dan kaki supaya tidak

kering. pasien kusta memiliki resiko kerusakan saraf. Kerusakan saraf

berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas, dan kekuatan otot. Hilangnya

sensibilitas adalah kelainan yang pertama kali muncul. Hilangnya

sensibilitas mengakibatkan pasien tidak menyadari bila terdapat ulkus pada

tubuhnya. Sehingga besar kemungkinan ulkus tersebut dapat terinfeksi dan

menyebabkan kecacatan.

C. Khusus

• Sistemik :

R/ Rifampisin tab 300 mg No. II

S 1dd tab II

R/ DDS tab 100 mg No. XXX

S 1dd tab I

Pasien diberikan Rifampisin 300 mg/ bulan yang diminum di

depan pengawas. Rifampisin diberikan sebanyak 24 dosis. Dosis Rifampisin

adalah 10 mg/kgBB. Menurut Pedoman Pengobatan Kusta WHO dosis

Rifampisin bagi dewasa dan anak diatas 15 tahun adalah 600 mg/bulan.

Rifampisin merupakan antibiotik semisintetik yang mempunyai efek

bakterisid terhadap mikobakteri dan organisme gram positif. Pada dosis tinggi,

rifampisin juga efektif terhadap organisme gram negatif. Mekanisme kerja

Rifampisin dengan menghambat sintesa RNA dari mikobakterium. Rifampisin

tidak boleh diberikan sebagai monoterapi karena dapat memperbesar resiko

terjadinya resistensi. Efek samping Rifampisin adalah hepatotoksik, gejala

gastrointestinal, flulike syndrome, dan erupsi kulit sehingga lebih aman bila

diberikan satu bulan sekali.

Diaminodifenilsulfon (DDS) diberikan pada pasien 100 mg/hari.

Menurut Pedoman Pengobatan Kusta dari WHO dosis DDS untuk orang

Page 45: kusta

dewasa dan anak diatas 15 tahun adalah 100 mg/hari. DDS merupakan salah

satu golongan Sulfa yang bekerja dengan cara menghambat pertumbuhan

mikobakteri dan menurunkan inflamasi. Efek samping DDS adalah nyeri

kepala, erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropati perifer,

NET.

V. Dasar prognosis

Ad vitam : bonam

Karena penyakit ini tidak mengancam hidup

Ad functionam : ad bonam

Pada pasien ini sudah terjadi kehilangan sensasi sensorik. Kerusakan pada

neuron sifatnya permanen sehingga kelainan sensorik tidak dapat

dikembalikan lagi fungsinya.

Ad sanationam : dubia ad bonam

Karena pasien menjalani pengobatan teratur dan kini keadaan pasien jauh

lebih membaik daripada sebelumnya.

Page 46: kusta

BAB V

KESIMPULAN

Akses terhadap informasi, diagnosis dan pengobatan dengan terapi multidrug

(MDT)t e t ap men j ad i e l emen pen t i ng da l am s t r a t eg i un tuk

menge l im inas i penyak i t i n i s ebaga i masalah kesehatan masyarakat, yang

didefinisikan sebagai mencapai suatu prevalensi kurangdari 1 kasus kusta per 10.000

penduduk. MDT pengobatan telah disediakan oleh WHO secaragratis kepada semua

pasien di seluruh dunia sejak tahun 1995, serta menyediakan obat yangsederhana

namun sangat efektif untuk semua jenis penyakit kustaWalaupun kusta adalah

penyakit tradisional negara-negara berkembang, mobilitasmasyarakat saat ini

membuatnya lebih mudah untuk mengimpor M. leprae ke negara-negaramaju. Dengan

pelaksanaan MDT, kusta sekarang jauh lebih mudah untuk dikontrol. Deteksidini

dan pengobatan penyakit, reaksi, dan kekambuhan merupakan kunci untuk

mencegahkecacatan dan memungkinkan pasien untuk menjalani kehidupan yang

relatif normal.

Page 47: kusta

DAFTAR PUSTAKA

1. A. Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe Daili, Sri Linuwih Menaldi.

Kusta. Dalam: Djuanda, Adhi dkk (ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.

Edisi 5 Cetakan Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007; 73-88.

2. Djuanda, Adhi dkk. Kusta. Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah, dan Siti Aisah.

IlmuPenyakit Kulit dan Kelamin edisi kelima. Jakarta : Fakultas Kedokteran

UniversitasIndonesia. 2007; 73-88.

3. Amiruddin, M Dali. Marwali Harahap. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta :

PenerbitHipokrates 2000; 260-271.

4. Dorland, W.A Newman. Kamus Kedokteran Dorland edisi kedua puluh

sembilan.Jakarta: EGC. 2002; 1195

5. Huges, Richard. Epidemiology Of peripheral Neuropathy. Current Opinion

in Neurology: October 1995 - Volume 8 - Issue 5 - ppg 335-338. As seen as source

at

:http://journals.lww.com/co-neurology/Citation/1995/10000/Epidemiology_of

_peripheral_neuropathy.1.aspx.Cited on March 4th, 2011.

6. Murray, Rose Ann dkk. Mycobacterium leprae inhibits Dendritic Cell

Activation andMaturation. Available at : www.jimmunol.org . Cited on March

19th, 2011.

7. World Health Organization. WHO Expert Committe on Leprosy Six Report.

WorldHealth Organization, Geneva. 1988

8. Martodihardjo S, Susanto RS. Reaksi Kusta dan Penanganannya. In: Sjamsoe-

DailiES, Menaldi SI, Ismanto SR, Nilasari Hanny, editors. Kusta. 2nd ed.

Balai PenerbitFKUI Jakarta;2003.p.75-82.

9. Mansjoer, Arif dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aeusculapius

FKUI.2000; 74-75

10. Fitzpatrick. Thomas B dkk. Leprosy in Color Atlas and Synopsys of

ClinicalDermatology. 7th ed. Singapore : McGraw Hill. 2008; 1794

Page 48: kusta

11. Sudigdo, Adi. Imunologi Penyakit Kusta dalam Imunodermatologi Bagi

Pemula. 2000. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. h 62-67.

12. Smith D.S.  Leprosy  http://emedicine.medscape.com/article/220455-overview#a0104, 6 Juli 2011.

13. Prakash Chaitra dan Bhat R.M. Leprosy: An overview of

pathophysiology.http://www.hindawi.com/journals/ipid/2012/181089/. 25 Juli

2012.

14. Desimone E.M et al . Leprosy : An new look at old

diseasehttp://legacy.uspharmacist.com/index.asp?

show=article&page=8_1649.htm. 15Disember 2005.

Page 49: kusta

LAMPIRAN

Page 50: kusta