tugas kusta

33
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit kusta atau lepra disebut juga Morbus Hansen adalah sebuah penyakit infeksi menular kronis yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium leprae. Mycobacterium leprae yang secara primer menyerang saraf tepi dan secara sekunder menyerang kulit serta organ-organ lain (WHO, 2003). Kusta memiliki dua macam tipe gejala klinis yaitu pausibasilar (PB) dan multibasilar (MB) (WHO, 1998). Kusta tipe PB adalah tipe kusta yang tidak menular dan disebut juga sebagai kusta kering. Sedangkan kusta tipe MB atau kusta basah adalah kusta yang sangat mudah menular (1). Penyakit kusta masih menjadi permasalahan yang dihadapi oleh sebagian besar masyarakat dunia terutama di Negara berkembang, dan Indonesia merupakan penyumbang penyakit kusta setelah India dan Brazil . Penyakit kusta merupakan penyakit menular yang dapat menimbulkan berbagai masalah yang sangat kompleks dan luas, dimana masalah yang ditimbulkan bukan hanya dilihat dari segi medis saja, tetapi bisa meluas sampai kepada masalah 1

Transcript of tugas kusta

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit kusta atau lepra disebut juga Morbus Hansen adalah sebuah penyakit

infeksi menular kronis yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium leprae.

Mycobacterium leprae yang secara primer menyerang saraf tepi dan secara sekunder

menyerang kulit serta organ-organ lain (WHO, 2003). Kusta memiliki dua macam tipe

gejala klinis yaitu pausibasilar (PB) dan multibasilar (MB) (WHO, 1998). Kusta tipe PB

adalah tipe kusta yang tidak menular dan disebut juga sebagai kusta kering. Sedangkan

kusta tipe MB atau kusta basah adalah kusta yang sangat mudah menular (1).

Penyakit kusta masih menjadi permasalahan yang dihadapi oleh sebagian besar

masyarakat dunia terutama di Negara berkembang, dan Indonesia merupakan

penyumbang penyakit kusta setelah India dan Brazil . Penyakit kusta merupakan

penyakit menular yang dapat menimbulkan berbagai masalah yang sangat

kompleks dan luas, dimana masalah yang ditimbulkan bukan hanya dilihat dari

segi medis saja, tetapi bisa meluas sampai kepada masalah ekonomi, sosial

budaya, keamanan, dan ketahanan sosial serta masalah psikologis. Penyakit kusta

juga menimbulkan dampak atau masalah baik pada penderita sendiri, keluarga,

dan masyarakat serta pada negara (1,7).

Pada tahun 2006, The International Federations of Anti Leprosy

Associations (ILEP) dan WHO mengeluarkan strategi global untuk menurunkan

beban penyakit dan kesinambungan program pemberantasan penyakit kusta (tahun

2006 – 2010). Sejak pertengahan tahun 2006 strategi tersebut dipakai dalam

kebijakan pemberantasan penyakit kusta di Indonesia (2).

1

Menurut WHO diperkirakan jumlah penderita kusta baru di dunia pada

tahun 2005 (di luar regional Eropa) adalah sekitar 296.499 orang. Dari jumlah

tersebut terbanyak terdapat di regional Asia Tenggara : 201.635 kasus, CDR :

12,17 / 10.000), diikuti regional Afrika : 42.814 kasus (CDR 5,92 / 10.000),

regional Amerika : 47.780 kasus (CDR 4,98 / 10.000) dan sisanya berada pada

regional lain di dunia. Pada awal tahun 2006, di dunia terdapat 219.826 kasus

dengan perincian regional Asia Tenggara 133.422 kasus (PR 0,81 / 10.000 ),

regional Afrika : 40.830 kasus (PR 0,56 / 10.000) dan regional Amerika 32.904

kasus (PR 0,39 / 10.000), sedangkan sisanya berada di regional lainnya (2).

B. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk :

a. Menggambarkan prevalensi kusta pada poli kulit kelamin RSUD Ulin

Banjarmasin berdasarkan usia dan jenis kelamin.

b. Menggambarkan insidensi penyakit kusta di poli kulit kelamin RSUD Ulin

Banjarmasin berdasarkan usia dan jenis kelamin.

c. Membandingkan angka kejadian penyakit kusta di poli kulit kelamin RSUD

Ulin Banjarmasin dengan RS lain berdasarkan usia dan jenis kelamin.

C. Manfaat Penulisan

Makalah ini diharapkan berguna untuk memberikan sumbangan bagi ilmu

pengetahuan terutama yang berkaitan dengan kejadian penyakit kusta di

Indonesia.

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. SINONIM

Kusta dikenal dengan nama lepra, leprosy, Morbus Hansen’s, hanseniasis

dan elephantiasis grecorum (3).

B. DEFINISI

Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kushtha berarti

kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus

Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard

Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus

Hansen. Penyakit Hansen adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang disebabkan

oleh bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe penyakit

granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas; dan lesi

pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta

dapat sangat progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota

gerak, dan mata (3) .

Kusta merupakan penyakit menahun yang menyerang syaraf tepi, kulit dan

organ tubuh manusia yang dalam jangka panjang mengakibatkan sebagian

anggota tubuh penderita tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Meskipun

infeksius, tetapi derajat infektivitasnya rendah. Waktu inkubasinya panjang,

mungkin beberapa tahun, dan tampaknya kebanyakan pasien mendapatkan infeksi

sewaktu masa knak-kanak. Tanda-tanda seseorang menderita penyakit kusta

3

antara lain, kulit mengalami bercak putih, merah, ada bagian tubuh tidak

berkeringat, rasa kesemutan pada anggota badan atau bagian raut muka, dan mati

rasa karena kerusakan syaraf tepi (3).

C. ETIOLOGI

Mycobacterium leprae diklasifikasikan secara terpisah dari kuman

mycobacterium yang lain karena kegagalan untuk melakukan biakan pada media

kultur artifisial. Bakteri ini ditemukan oleh G.A Hansen1 pada tahun 1874 di

Norwegia. Mycobacterium leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 um x 0,5

um, tahan asam dan alkohol, serta positif-gram. Pertumbuhan yang terbatas pada

biakan telapak kaki tikus dan pertumbuhan yang lebih tersebar pada tikus yang

imunosupresif dan sembilan jenis armadillo yang turut membantu dalam analisis

biokimia dan genetika bakteri yang adekuat serta percobaan produksi vaksin-

vaksin. Mycobacterium leprae hidup pada suhu 30-33 0C dan membelah setiap

12-13 hari. Mycobacterium leprae terdiri dari 4 antigen sebanding dengan BCG,

tetapi phenolic glycolipid yang terdapat di dalam kapsul secara biologis bersifat

unik dan menjadi antigen yang spesifik terhadap Mycobacterium leprae (3,4).

Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian

menyebar keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk ini disebabkan karena

perang, penjajahan, perdagangan antar benua dan pulau-pulau. Berdasarkan

pemeriksaan kerangka-kerangka manusia di Skandinavia diketahui bahwa

penderita kusta ini dirawat di Leprosaria secara isolasi ketat. Penyakit ini masuk

ke Indonesia diperkirakan pada abad ke IV-V yang diduga dibawa oleh orang-

1

4

orang India yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan

berdagang.Pada pertengahan tahun 2000 jumlah penderita kusta terdaftar di

Indonesia sebanyak 20.742 orang. Jumlah penderita kusta terdaftar ini membuat

Indonesia menjadi salah satu Negara di dunia yang dapat mencapai eliminasi

kusta sesuai target yang ditetapkan oleh WHO yaitu tahun 2000 (5).

D. EPIDEMIOLOGI

Epidemiologi penyakit kusta digambarkan menurut waktu, umur dan jenis

kelamin sebagai berikut:

a. Distribusi menurut waktu

pada tahun 2006, penderita kusta di dunia diperkirakan sejumlah 259.017.

penderita kusta tersebar di seluruh dunia, terbanyak di daerah tropic dan subtropik

terutam di benua afrika, Asia, dan Amerika Latin

Pada tahun 2008, secara global terdapat 248.983 kasus kusta di seluruh dunia

dengan India dan Brazil sebagai penyumbang tertinggi dengan jumlah penderita

masing-masing 134.184 dan 38.914 kasus. Indonesia merupakan Negara ketiga di

dunia sebagai Negara dengan kasus baru kusta paling banyak. Pada tahun

2009,tercatat 17.260 kasus baru kusta di Indonesia dan jumlah kasus terdaftar

sebanyak 21.026 orang dengan angka prevalensi 0,91 per 10.000 penduduk.

b. Distribusi menurut umur

Kusta dapat terjadi pada hampir semua kelompok umur terutama pada usia muda

dan produktif. Angka kejadian kusta meningkat sesuai umur dengan puncak pada

umur 20-30 tahun kemudian menurun pada umur di atasnya. Di Indonesia,

5

penderita kusta anak-anak di bawah 14 tahun sebesar 10% tetapi anak di bawah 1

tahun jarang ditemukan.

c. Distribusi menurut jenis kelamin

Penyakit kusta dapat mengenai laki-laki maupun perempuan. Insiden maupun

prevalensi pada laki-laki lebih banyak daripada wanita. Menurut laporan WHO,

insiden pada wanita lebih banyak pada wanita yang bekerja di luar rumah. Di

Indonesia insiden pada laki-laki lebih tinggi pada usia 15-19 tahun.

E. CARA PENULARAN

Meskipun cara penularannya yang pasti belum diketahui dengan jelas

penularan di dalam rumah tangga dan kontak/hubungan dekat dalam waktu yang

lama tampaknya sangat berperan dalam penularan. Berjuta-juta basil dikeluarkan

melalui lendir hidung pada penderita kusta tipe lepromatosa yang tidak diobati,

dan basil terbukti dapat hidup selama 7 hari pada lendir hidung yang kering.

Ulkus kulit pada penderita kusta lepromatusa dapat menjadi sumber penyebar

basil. Organisme kemungkinann masuk melalui saluran pernafasan atas dan juga

melalui kulit yang terluka. Pada kasus anak-anak dibawah umur satu tahun,

penularannya diduga melalui plasenta. Masa tunas sangat bervariasi aara 40 hari

hingga 40 tahun, umumnya antara 3-5 tahun (3,4).

Dua pintu keluar dari M. leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah

kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus lepromatosa

menunjukkan adanya sejumlah organisme di dermis kulit. Bagaimanapun masih

belum dapat dibuktikan bahwa organisme tersebut dapat berpindah ke permukaan

6

kulit. Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukanya bakteri tahan asam di epitel

deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan bahwa mereka tidak menemukan

bakteri tahan asam di epidermis. Dalam penelitian terbaru, Job et al menemukan

adanya sejumlah M. leprae yang besar di lapisan keratin superfisial kulit di

penderita kusta lepromatosa. Hal ini membentuk sebuah pendugaan bahwa

organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar keringat. Pentingnya mukosa

hidung telah dikemukakan oleh Schäffer pada 1898. Jumlah dari bakteri dari lesi

mukosa hidung di kusta lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000 hingga

10.000.000 bakteri. Pedley melaporkan bahwa sebagian besar pasien lepromatosa

memperlihatkan adanya bakteri di sekret hidung mereka. Davey dan Rees

mengindikasi bahwa sekret hidung dari pasien lepromatosa dapat memproduksi

10.000.000 organisme per hari.

Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda

tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita,

yakni selaput lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan

penyakit kusta adalah (3):

a. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang

sudah mengering, diluar masih dapat hidup 2–7 x 24 jam.

b. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15

tahun, keduanya harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis, dan

adanya kontak yang lama dan berulang-ulang.

Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe multi basiler

(MB) kepada orang lain dengan cara penularan langsung. Penularan yang pasti

7

belum diketahui, tapi sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta

dapat ditularkan melalui saluran pernapasan dan kulit. Timbulnya penyakit kusta

bagi seseorang tidak mudah dan tidak perlu ditakuti tergantung dari beberapa

faktor antara lain :

a. Faktor sumber penularan

Adalah penderita kusta tipe MB. Penderita Multi Basiler ini pun tidak akan

menularkan kusta apabila berobat teratur.

b. Faktor kuman kusta

Kuman kusta dapat hidup di luar tubuh manusia antara 1-9 hari tergantung

pada suhu dan cuaca dan diketahui kuman kusta yang utuh yang dapat

menimbulkan penularan.

c. Faktor daya tahan tubuh

Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta. Dari hasil penelitian

menunjukkan gambar sebagai berikut dari 100 orang yang terpapar, 95 orang

tidak menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa obat, 2 orang menjadi sakit, hal

ini belum lagi memperhitungkan pengaruh pengobatan. Tidak semua orang yang

terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita kusta, dan diduga faktor genetika juga

ikut berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok penyakit

kusta di keluarga tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta

yang berbeda pada setiap individu. Faktor ketidakcukupan gizi juga diduga

merupakan faktor penyebab.

8

F. PATOGENESIS

Meskipun cara masuk M.leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui

dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa tersering ialah

melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui

mukosa nasal. Pengaruh M. leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas

seseorang, kemampuan hidup M.leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu

regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulen dan nontoksis (4).

M.leprae merupakan parasit obligat intraseluler yang terutama terdapat

pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel

Schwan di jaringan saraf. Bila kuman M.leprae masuk ke dalam tubuh, maka

tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag (berasal dari sel monosit darah, sel

mononuklear, histiosit) untuk memfagositnya (5).

Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan

demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat

bermultiplikasi dengan bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan.Pada kusta

tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, sehingga makrofag

sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya setelah semua kuman di fagositosis,

makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan

kadang-kadang bersatu membentuk sel datia langhans. Bila infeksi ini tidak segera

di atasi akan terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid akan menimbulkan

kerusakan saraf dan jaringan disekitarnya (5).

Sel Schwan merupakan sel target untuk pertumbuhan M.lepare, disamping

itu sel Schwan berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya

9

sebagai fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalm sel Schwan,

kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas regenerasi saraf

berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif (5).

Kelangsungan dan tipe penyakit kusta sangat tergantung pada kemampuan

tubuh untuk membentuk “cell mediated“ kekebalan secara efektif. Tes lepromin

adalah prosedur penyuntikan M. Leprae yang telah mati kedalam kulit; ada

tidaknya indurasi dalam 28 hari setelah penyuntikan disebut dengan reaksi

Mitsuda. Reaksi Mitsuda negatif pada kusta jenis lepromatosa dan positif pada

kusta tipe tuberkuloid, pada orang dewasa normal. Karena tes ini hanya

mempunyai nilai diagnosis yang terbatas dan sebagai pertanda adanya imunitas.

Komite Ahli Kusta di WHO menganjurkan agar penggunaan tes lepromin terbatas

hanya untuk tujuan penelitian. Angka hasil tes yang positif akan meningkat

seiring dengan bertambahnya usia. Sebagai tambahan tingginya prevalensi

transformasi limfosit yang spesifik terhadap M. leprae dan terbentuknya antibodi

spesifik terhadap M. leprae diantara orang yang kontak dengan penderita kusta

menandakan bahwa penularan sudah sering terjadi walaupun hanya sebagian kecil

saja dari mereka yang menunjukan gejala klinis penyakit kusta. Pola klinis

penyakit ini ditentukan oleh respons imunitas yang diperantarai sel (cell-mediated

imunity) host terhadap organisme. Bila respons imunitasnya baik, maka timbul

lepra tuberkuloid, dimana kulit dan saraf-saraf perifer terkena. Lesi kulit

berbentuk tunggal. Atau hanya beberapa, dan berbatas tegas. Bentuknya berupa

makula atau plak dengan hipopigmentasi pada kulit yang gelap. Terdapat anestesi

pada lesi, hilangnya keringat, dan berkurangnya jumlah rambut. Penebalan

10

cabang-cabang saraf kulit dapat diraba pada daerah lesi tersebut, dan saraf perifer

yang besar juga dapat diraba. Tes lepromin positif kuat. Gambaran histologis

berupa granuloma tuberkoloid yang jelas, dan tidak ditemukan adanya basil pada

pewarnaan Ziehl-Nielsen yang dimodifikasi. Bila respons imunitas selulernya

rendah, maka multiplikasi kuman menjadi tak terkendali dan timbul bentuk

lepralepromatosa. Kuman menyebar tidak hanya pada kulit, tetapi juga mukosa

saluran respirasi, mata, testis, dan tulang. Lesi kulit berbentuk multipel dan

nodular. Tes lepromin negatif. Pada pemeriksaan histologi berupa granuloma

yang difus pada dermis, dan ditemukan basil dalam jumlah yang banyak (3).

G. KLASIFIKASI DAN GEJALA KLINIS KUSTA

1. Tipe tuberkoloid (TT)

Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau

beberapa, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah

dapat ditemukan lesi yang regresi atau cemntral healing. Permukaan lesi dapat

bersisik dengan tepi yang meninggi bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis

atau tinea sirsnata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba,

kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Adanya infiltrasi tuberkuloid dan tidak

adanya kuman merupakan tanda terdapatnya respons imun pejamu yang adekuat

terhadap kuman kusta (6).

2. Tipe borderline tubercoloid (BT)

Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plak yang

sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi

gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe

11

tuberkuloid. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid, dan biasanya

asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.

3. Tipe mid borderline (BB)

Tipe ini merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe dalam

spektrum penyakit kusta. Disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan bentuk ini

jarang dijumpai. Lesi dapat berbentuk makula infiltratif. Permukaan lesi dapat

berkilap, batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi tipe BT dan

cenderung simetris. Leso sangat bervariasi, baik dalam ukuran, bentuk, ataupun

distribusinya. Bisa didapatkan lesi punched out yang merupakan ciri khas tipe ini.

4. Tipe borderline lepromatosa

Secara klasik lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam jumlah

sedikit dan dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih jekas dan

lebih bervariasi bentuknya. Walaupun masih kecil, papul dan nodus lebih tegas

dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodus tampaknya

melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah tampak normal dengan pinggir

dalam infiltrat lebih jelas dibandingkan dengan pinggir luarnya, dan beberapa plak

tampak seperti punched-out. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya

sensasi, hipipigmentasi, berkurangnya keringat dan hilangnya rambut lebih cepat

muncul dibandingkan dengan tipe LL. Penebalan saraf dapat teraba pada tempat

predileksi.

5. Tipe lepromatosa (LL)

12

Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematosa,

berkilap, berbatas tidak tegas dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan

anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di wajah mengenai dahi, pelipis, dagu,

cuping telinga. Sedang dibadan mengenai bagian badan yang dingin, lengan,

punggung tangan, dan permukaan ekstensor tungkai bawah. Pada stadium lanjut

tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, garis muka

menjadi kasar dan cekung membentuk fasies leonina yang dapat disertai

madarosis, iritis dan keratis. Lebih lanjut lagi dapat terjadi deformitas pada

hidung. Dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis yang selanjutnya dapat

menjadi atrofi testis. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala stocking dan

glove anaesthesia. Bila penyakit ini menjadi progresif, muncul makula dan papul

baru, sedangkan lesi lama menjadi plakat dan nodus. Pada stadium lanjut serabut-

serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan

anestesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.

Salah satu tipe penyakit kusta yang tidak termasuk dalam klasifikasi Ridley

dan jopling, tetapi diterima secara luas oleh para ahli kusta yaitu tipe

indeterminate (I). lesi biasanya berupa makula hipopigmentasi dengan sedikit

sisik dan kulit di sekitarnya normal. Lokasi biasanya di bagian ekstensor

ekstremitas, bokong atau muka, kadang-kadang dapat ditemukan makula hipestesi

atau sedikit penebalan saraf. Diagnosis tipe ini hanya dapat ditegakkan, bila

dengan pemeriksaan histopatologik.

13

Selain klasifikasi lain yaitu menurut WHO, yaitu tipe pausibasiler dan

multibasiler. Untuk perbedaan masing-masing tipe dapat dilihat pada tabel berikut

(6) :

Tabel 1. perbedaan tipe PB dan MB menurut klasifikasi WHO

PB MB

1. Lesi kulit (makula yang

datar, papul yang

meninggi,infiltrat, plak

eritem, nodus)

2. Kerusakan

saraf(menyebabkan

hilangnya

senasasi/kelemahan otot

yang dipersarafi oleh

saraf yang terkena)

Ø 1-5 lesi

Ø Hipopigmentasi/eritema

Ø Distribusi tidak simetris

Ø Hilangnya sensasi yang

jelas

Ø Hanya satu cabang saraf

Ø > 5 lesi

Ø Distribusi lebih simetris

Ø Hilangnya sensasi kurang

jelas

Ø Banyak cabang saraf

** Semua pasien dengan BTA positif, apapun klasifikasi klinisnya diobati dengan

MDT-MB

14

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

No Nama Penderita

Usia Jenis kelamin

Kasus Keterangan

Lama Baru

1 Tn. M 28 th L √ Leprosy unspesifik

2 Tn. Sy 49 th L √ Leprosy unspesifik

3 Tn. G 67 th L √ Leprosy unspesifik

4 An.Azd 11 th L √ Leprosy unspesifik

5 Tn. Az 18 th L √ Leprosy unspesifik

6 Ny.M 45 th P √ Leprosy unspesifik

7 Tn.Y 30 th L √ Leprosy unspesifik

8 Ny.H 27 th P √ Leprosy unspesifik

9 Ny.Ns 33 th P √ Leprosy unspesifik

10 Tn.Af 60 th L √ Leprosy unspesifik

11 Ny.S 29 th P √ Leprosy unspesifik

12 Tn.H 27 th P √ Leprosy unspesifik

13 Ny.Mr 56 th P √ Leprosy unspesifik

14 Tn.Md 33 th L √ Leprosy unspesifik

15 Ny.As 22 th P √ Leprosy unspesifik

16 Ny.Sa 46 th P √ Leprosy unspesifik

17 Tn.Ma 50 th L √ Leprosy unspesifik

18 Tn. Tr 25 th L √ Leprosy unspesifik

15

19 Tn. I 19 th L √ Leprosy unspesifik

20 Ny.Hi 62 th P √ Leprosy unspesifik

21 Tn.Sh 51 th L √ Leprosy unspesifik

22 Tn. Ars 44 th L √ Leprosy unspesifik

23 Tn. Hm 47 th L √ Leprosy unspesifik

24 Tn. Sb 57 th L √ Leprosy unspesifik

25 Ny. Mas 47 th P √ Leprosy unspesifik

26 Tn. Ru 30 th L √ Leprosy unspesifik

27 Tn. Ar 50 th L √ Leprosy unspesifik

28 Tn. Ju 32 th L √ Leprosy unspesifik

29 An. Pu 9 th P √ Leprosy unspesifik

30 Tn. Aw 27 th L √ Leprosy unspesifik

31 Ny. F 43 th P √ Leprosy unspesifik

Dari data yang didapatkan dari poli kulit kelamin RSUD Ulin Banjarmasin

pada tahun 2012 diperoleh hasil 31 orang yang menderita kusta dari total 3650

pasien yang berobat ke poli kulit kelamin. Data ini diambil secara retrospekstif

yaitu dengan melihat data dari rekam medic di Poli Kulit Kelamin RSUD Ulin

Banjarmasin.

Dari data di atas berarti prevalensi kusta pada poli kulit kelamin RSUD

Ulin Banjarmasin adalah sekitar 0,84%. Dari 31 orang yang menderita kusta ada

24 orang (0,65%) yang merupakan kasus baru sedangkan kasus lama ada 7 orang.

Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak kasus baru penyakit kusta yang terjadi

di daerah Kalimantan Selatan, khususnya Banjarmasin.

16

Pada tahun 2002, di Indonesia, jumlah penderita kusta yang terdaftar

19.805 orang. Masih terdapat di 10 propinsi memiliki penderita kusta terbanyak

diantara propinsi lainnya yaitu Jawa Timur 4.856 orang, Jawa Barat 1.721 orang,

Jawa Tengah 2.334 orang, Sulawesi Selatan 1.779 orang, Papua 1.190 orang,

Nanggroe Aceh Darusalam 736 orang, Daerah Kota Istimewa Jakarta 1.721 orang,

Sulawesi Utara 404 orang, Maluku Utara 550 orang dan Kalimantan Selatan 473

orang, Maluku 522, Sulawesi Utara 404 orang. Sedangkan pada tahun 2007,

ditemukan 19.695 kasus baru yang terjadi di Indonesia (1).

Berdasarkan usia, penderita kusta yang dating ke poli kulit kelamin RSUD

Ulin Banjarmasin terdapat 25 orang (80,65%) yang berusia ≤50 tahun dan 6 orang

(19,35%) yang berusia di atas 50 tahun. Usia ≤50 tahun merupakan usia yang

resiko tinggi untuk menderita kusta sedangkan usia >50 tahun merupakan usia

resiko rendah menderita penyakit kusta. Dari data penderita kusta di atas juga

dapat dilihat bahwa penderita kusta yang berusia anak-anak lebih sedikit

disbanding dewasa, dimana penderita kusta yang berusia ≤18 tahun hanya

sebanyak 3 orang dan yang berusia >18 tahun ada 28 orang.

Penyakit kusta memang jarang sekali ditemukan pada bayi. Angka

kejadian penyakit kusta meningkat sesuai umur dengan puncak kejadian pada

umur 10-20 tahun. Penyakit kusta dapat mengenai semua umur dan terbanyak

terjadi pada umur 15-29 tahun. Serangan pertama kali pada usia di atas 70 tahun

sangat jarang terjadi. Di Brasilia terdapat peninggian prevalensi pada usia muda,

sedangkan pada penduduk imigran prevalensi meningkat di usia lanjut. Menurut

Depkes RI (2006) kebanyakan penelitian melaporkan bahwa distribusi penyakit

17

kusta menurut umur berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan

insiden karena pada saat timbulnya penyakit sangat sulit diketahui (11) .

Sedangkan berdasarkan jenis kelamin terdapat 19 orang yang berjenis

kelamin laki-laki, dimana pada kasus lama ada 6 orang dan kasus baru 13 orang,

sedangkan yang berjenis kelamin perempuan ada 12 orang yaitu kasus lama 1

orang dan kasus baru 11 orang. Hasil ini menunjukkan laki-laki lebih banyak

disbanding perempuan dengan perbandingan sekitar 1,5:1.

Kejadian penyakit kusta pada laki-laki lebih banyak terjadi dari pada

wanita, kecuali di Afrika, wanita lebih banyak terkena penyakit kusta dari pada

laki-laki. Menurut Louhennpessy dalam Buletin Penelitian Kesehatan (2007)

bahwa perbandingan penyakit kusta pada penderita laki-laki dan perempuan

adalah 2,3 : 1,0, artinya penderita kusta pada laki-laki 2,3 kali lebih banyak

dibandingkan penderita kusta pada perempuan. Menurut Noor dalam Buletin

Penelitian Kesehatan (2007) penderita pria lebih tinggi dari wanita dengan

perbandingannya sekitar 2 : 1 (10).

Jika dibandingkan hasil penderita kusta yang ada di poli kulit kelamin

RSUD ulin dengan rumah sakit lain yaitu salah satunya rumah sakit Lauleng Kota

Parepare, kejadian kusta di RSUD Ulin masih lebih rendah, dimana pada rumah

sakit Lauleng Parepare ada 37 oang penderita kusta. Hasil penelitian di RS

Lauleng Parepare menunjukkan bahwa dari 37 penderita, bahwa jumlah penderita

yang mengalami penyakit Kusta dengan beresiko tinggi pada umur <50 tahun

sebanyak 24 orang (65%) sementara untuk kelompok beresiko rendah umur

kurang >50 tahun sebanyak 13 orang (35%), penderita Penyakit Kusta didapatkan

18

pada jenis kelamin laki-laki sebanyak 27 orang (73%), sementara untuk jenis

kelamin perempuan didapatkan sebanyak 10 orang (27%). Sedangkan pada

penelitian Penderita Kusta Anak baru DI DIVISI KUSTA URJ. KESEHATAN

KULIT DAN KELAMINRSU. Dr. SOETOMO SURABAYA PERIODE 2009 –

2011 didapatkan hasil angka kesakitan penderita kusta baru anak tahun 2009-2011

adalah 5,5%, kelompok umur terbanyak adalah usia 10-14 tahun dengan jumlah

penderita laki-laki lebih banyak(8,9).

Dari hasil penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa insidensi

penyakit kusta di Indonesia masih cukup tinggi. Berdasarkan usia kusta memang

jarang terjadi pada bayi, namun tetap bisa terjadi pada semua umur. Sedangkan

berdasarkan jenis kelamin, laki-laki lebih banyak diandingkan perempuan.

19

BAB IV

PENUTUP

Simpulan dari makalah ini adalah

a. Insidensi kusta di Poli Kulit Kelamin RSUD Ulin Banjarmasin adalah

sekitar 0,65% dari semua orang yang dating berobat ke Poli Kulit Kelamin

RSUD Ulin Banjarmasin.

b. Kejadian kusta pada usia ≤50 tahun lebih banyak dibandingkan usia >50

tahun yaitu sekitar 80,65% untuk usia ≤50 tahun dan 19,35% pada usia

>50 tahun.

c. Kejadian kusta di Poli Kulit Kelamin RSUD Ulin Banjarmasin lebih

banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan.

d. Dibandingkan dengan rumah sakit lain yaitu RS Lauleng Parepare dan RS

Soetomo kejadian kusta di RSUD Ulin Banjarmasin masih lebih rendah.

20

DAFTAR PUSTAKA

1.Ditjen PPM & PL Dep. Kes. RI, Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, Cetakan XVIII, Jakarta, 2006 ; 4-138.

2.Beijing 15th International Leprosy Congress, Working Toward a Word Without Leprosy, 1998 ; 1-8.

3.Djuanda, Adhi. KUSTA, Diagnosis dan Penatalaksanaan. Jakarta: FKUI,1997.

4. Kosasih A, Made Wisnu I, Emmy S.J, Linuwih S. M, Kusta, dalam : Juanda, Adhi, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi IV, FKUI, Jakarta,2005;73-88.

5. Ditjen PPM & PL Dep.Kes. RI, Modul Epidemiologi Penyakit Kusta dan Program Pemberantasan Penyakit Kusta, Jakarta, 2001 ; 1-10.

6.Amirudin M. D, Kusta, dalam : Harahap, M, Ilmu Penyakit Kulit, cetakan I,2000; 260-4.

7.Bustan M.N, Pengantar Epidemiologi, Rhineka Cipta, Jakarta, 1997; 4-7.

8.Agusni,Indropo. Penderita Kusta Anak baru DI DIVISI KUSTA URJ. KESEHATAN KULIT DAN KELAMINRSU. Dr. SOETOMO SURABAYA PERIODE 2009 – 2011. Seminar : Penelitian retrospektif di RSUD Dr. Soetomo Surabaya, 2012.

9.Syarifudin. Gambaran Kejadian Penderita Penyakit Kusta Di Rumah Sakit Lauleng Parepare. Politeknik Kesehatan Makasar; vol II No.3:2013.

10. Pascale Allotay, Margaret Gyapong, The gender agenda in the control of tropical diseases : A review of current evidence, social, economic and behaviour reseach, special topics no.4, 1997; 17-8.

11. Bakker M.I, Hatta M, Kwenang A, Mosseveld P.V, Risk Factors For Developing Leprosy – a populations based cohort study in Indonesia, Leprosy Review (2006) 77; 48 – 52.

21