Kusta

66
REFERAT ETIOPATOGENESIS PENYAKIT KUSTA dan PENATALAKSANAAN PEMBIMBING : Letkol. CKM Dr. Dian Andriani R. D, Sp.KK DISUSUN OLEH : Ita Septarita 09.202.212.39 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN JAKARTA SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN 1

Transcript of Kusta

Page 1: Kusta

REFERAT

ETIOPATOGENESIS PENYAKIT KUSTA dan

PENATALAKSANAAN

PEMBIMBING :

Letkol. CKM Dr. Dian Andriani R. D, Sp.KK

DISUSUN OLEH :

Ita Septarita

09.202.212.39

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN

JAKARTA

SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

RS TK. II MOH. RIDWAN MEURAKSA

PERIODE 14 MEI – 16 JUNI 2012

1

Page 2: Kusta

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI……………………………………………………………... i

BAB I PENDAHULUAN.…………………………………………... 1

BAB II KUSTA………………………………………………………. 3

A. Definisi kusta………………………………………………………... 3

B. Epidemiologi kusta………………………………………………… 3

C. Etiologi kusta……………………………………………………… 6

D. Patogenesis kusta……………………………………………………..7

E. Sumber penularan…………………………………………………….9

F. Penularan kusta…………………………………………………… 9

G. Faktor risiko………………………………………………..................10

H. Klasifikasi kusta ………………………………………………… 12

I. Tanda-gejala……………………………………………………… 12

J. Diagnosis kusta……………………………………………………….18

K. Reaksi kusta…………………………………………………………. 22

L. Penatalaksanaan kusta……………………………………………….. 25

M. Pencegahan cacat……………………………………………………..38

DAFTAR PUSTAKA.………………………………………………….... 40

2

Page 3: Kusta

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit kusta masih menjadi masalah kesehatan, di dunia, khususnya di

negara-negara sedang berkembang. Masalah yang dihadapi penderita bukan

hanya dari medis saja, tetapi juga menimbulkan beban pskologis, juga

menimbulkan beban sosial dan ekonomi.1

Kusta adalah penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium

leprae yang bersifat intraseluler obligat. Penyebaran penyakit kusta dari suatu

tempat ke tempat lain sampai tersebar diseluruh dunia dapat disebabkan oleh

perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut. Distribusi penyakit ini di

tiap-tiap negara maupun dalam negara berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh

keadaan sosial ekonomi, lingkungan, kepadatan penduduk, varian genetik yang

berhubungan dengan kerentanan dan perubahan imunitas, pengetahuan dan

perilaku mayarakat.2

Jumlah penderita kusta di dunia pada tahun 2007 diperkirakan 2-3 juta orang

lebih, 80% di antaranya berasal dari daerah tropis.3 Pada tahun 2007, Indonesia

masih menempati urutan ke tiga setelah India dan Brazil dalam hal penyumbang

jumlah penderita kusta di dunia.3 Walaupun secara nasional Indonesia telah

mencapai eliminasi kusta sejak Juni 2000. Artinya, secara nasional angka

prevalensi kusta di Indonesia lebih kecil dari 1 per 10.000 penduduk.3 Namun

untuk tingkat provinsi dan kabupaten sampai akhir tahun 2007 masih ada 14

provinsi dan 155 kabupaten yang angka prevalensinya di atas 1 per 10.000

penduduk. Ke-14 provinsi tersebut antara lain Nangroe Aceh Darussalam, DKI

Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi

Tenggara, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Gorontalo dan Papua.3,5

Faktor utama penyebabnya adalah cara hidup yang tidak sehat dan

kurangnya perhatian terhadap kesehatan lingkungan.3,6 Dampak sosial terhadap

penyakit kusta ini sedemikian besarnya, sehingga menimbulkan keresahan yang

sangat mendalam. Tidak hanya pada penderita sendiri, tetapi pada keluarganya,

3

Page 4: Kusta

masyarakat dan negara. Hal ini yang mendasari konsep perilaku penerimaan

penderita terhadap penyakitnya, dimana untuk kondisi ini penderita masih banyak

menganggap bahwa penyakit kusta merupakan penyakit yang tidak dapat diobati,

penyakit keturunan, guna-guna, kutukan Tuhan, najis dan menyebabkan

kecacatan. Akibat anggapan yang salah ini penderita kusta merasa putus asa

sehingga tidak tekun untuk berobat.6

Upaya untuk memberantas penyakit ini telah dilakukan, namun hasilnya

belum memuaskan. Melalui deklarasi Hanoi tahun 1994, WHO mencanangkan

target eliminasi global kusta, yaitu menurunkan prevalensi kurang dari 1 per

10.000 penduduk pada tahun 2000.1 Sebagai tindak lanjut atas program WHO,

maka Indonesia menargetkan eliminasi penyakit kusta atau lepra pada 2010

dengan menekan angka kasus penyakit kusta di bawah angka 1 per 10.000

penduduk.1 Upaya eliminasi kusta dilakukan melalui penemuan penderita secara

dini, pengobatan penderita, penyuluhan, peningkatan keterampilan petugas dan

rehabilitasi kusta, tetapi upaya tersebut belum maksimal hal tersebut dikarenakan

program pemberantasan yang belum merata, pengobatan tidak teratur dan perilaku

serta kepercayaan yang salah sehingga pengobatan kepada pasien menjadi

terlambat.1,6

4

Page 5: Kusta

BAB II

KUSTA

A. Definisi Kusta

Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India

kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum masehi yang berarti kumpulan

gejala-gejala kulit secara umum.7 Penyakit kusta disebut juga dengan lepra

yang dalam kitab injil, terjemahan dari bahasa Hebrew zaraath, yang

sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya.7 Selain lepra, kusta

juga dikenal dengan nama Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang

menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874.2

Ternyata bahwa pelbagai deskripsi mengenai penyakit ini sangat kabur,

apabila dibandingkan dengan kusta yang kita kenal sekarang. Pengertian kusta

saat ini adalah penyakit infeksi kronik yang penyebabnya adalah

Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat yang menyerang saraf

perifer, kemudian kulit, mukosa saluran pernafasan bagian atas, lalu ke organ

lain kecuali susunan saraf pusat.2

B. Epidemiologi Kusta

Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian

menyebar keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk yang disebabkan

karena perang, penjajahan, perdagangan antar benua dan pulau-pulau.

Masuknya kusta ke pulau-pulau Malanesia termasuk Indonesia, diperkirakan

pada abad ke IV-V yang diduga dibawa oleh orang-orang India dan China

yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan berdagang.7

Distribusi penyakit di tiap-tiap negara maupun dalam negara sendiri

berbeda-beda. Demikian pula penyakit kusta menurun atau menghilang pada

suatu negara sampai saat ini belum jelas benar, kemungkinan karena adanya

faktor kesempatan berpaparan dengan penderita kusta dan predisposisi

genetik.7

5

Page 6: Kusta

Pada tahun 2002 ada 17 negara yang melaporkan penemuan lebih dari

1000 kasus baru dan selama tahun 2005 juga melaporkan 1000 atau lebih

kasus baru dan mempunyai kontribusi 94% dari keseluruhan kasus baru yang

terjadi di dunia. Dimana jumlah penderita kusta kasus baru yang dilaporkan di

dunia pada tahun 2005 diperkirakan sekitar 296.499, dari jumlah tersebut

paling banyak terdapat di regional Asia Tenggara (201.635) diikuti Afrika

(42.814), Amerika (41.780) dan sisanya berada di regional lain di dunia.7, 8

Tabel 1

Penemuan penderita kusta kasus baru di 17 negara pada tahun 2002-2005. 8

No. Negara

Jumlah Kasus Baru Yang ditemukan

2002 2003 2004 2005

1 Angola 4.727 2.933 2.109 1.877

2 Banglades 9.844 8.712 8.242 7.882

3 Brazil 38.365 49.206 49.384 38.410

4 Cina 1.646 1.404 1.499 1.658

5 Kongo 5.037 7.165 11.781 10.737

6 Mesir 1.318 1.412 1.216 1.134

7 Etiopia 4.632 5.193 4.787 4.698

8 India 473.658 367.143 260.063 16.1457

9 Indonesia 16.229 15.913 16.572 19.695

10 Madagaskar 5.482 5.104 3.710 2.709

11 Mozambik 5.830 5.907 4.266 5.371

12 Myanmar 7.368 3.808 3.748 3.571

13 Nepal 13.380 8.046 6.958 6.150

14 Nigeria 5.078 4.799 5.276 5.024

15 Filipina 2.479 2.397 2.254 3.130

16 Sri Langka 2.214 1.925 1.995 1.924

17 Tanzania 6.497 5.279 5.190 4.237

Total 599.945 495.074 389.027 279.664

6

Page 7: Kusta

Total Global 620.638 514.718 407.791 296.499

Di Indonesia, peningkatan kasus terjadi pada tahun 2005 sebesar 19.695

kasus dimana pada tahun 2004 hanya terdapat 16.572 kasus. Sepanjang tahun

2007 penderita baru yang ditemukan sebanyak 17.726 penderita dengan

perincian pausibasilar (PB) sebanyak 3.643 penderita dan multibasilar (MB)

sebanyak 14.726 penderita, dengan angka penemuan penderita baru New Case

Detection Rate (NCDR) sebesar 7,84/100.000 penduduk (0,78/10.000

penduduk). Seiring dengan peningkatan NCDR, angka prevalensi penderita

kusta juga mengalami peningkatan. Hingga akhir Desember 2007, jumlah

penderita kusta terdaftar sebanyak 23.652 penderita yang terdiri dari 20.313

penderita MB dan 3.339 penderita PB, dengan angka prevalensi kusta sebesar

1,05.12 Peningkatan penemuan penderita baru serta peningkatan angka

prevalensi kasus dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2

Penemuan penderita kusta pada tahun 2000-2007 di Indonesia.7

Tahun Jumlah Penderita PB MB NCDR (per 100.000

penduduk)

2000 14.697 3.430 11.267 7.22

2001 14.722 3.408 11.314 7.21

2002 16.229 3.853 12.376 7.76

2003 15.913 3.690 12.223 7.53

2004 16.572 3.615 12.957 7.80

2005 19.695 4.056 15.639 8.99

2006 18.300 3.550 14.750 8.27

2007 17.726 3.643 14.081 7.84

Pada tahun 2007, Indonesia masih menempati urutan ke tiga setelah

India dan Brazil dalam hal penyumbang jumlah penderita kusta di dunia.3

Walaupun secara nasional Indonesia telah mencapai eliminasi kusta sejak

7

Page 8: Kusta

Juni 2000. Artinya, secara nasional angka prevalensi kusta di Indonesia lebih

kecil dari 1 per 10.000 penduduk.3 Namun untuk tingkat provinsi dan

kabupaten sampai akhir tahun 2007 masih ada 14 provinsi dan 155 kabupaten

yang angka prevalensinya di atas 1 per 10.000 penduduk. Ke-14 provinsi

tersebut antara lain Nangroe Aceh Darussalam, DKI Jakarta, Jawa Barat,

Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa

Tenggara Timur, Maluku, Gorontalo dan Papua.3,5

C. Etiologi Kusta

Penyakit kusta disebabkan oleh kuman yang dimakan sebagai

Mycrobacterium leprae yang ditemukan oleh G. Armanuer Hansen pada tahun

1874 di Norwegia.2

Mycrobacterium leprae adalah kuman aerob, tidak membentuk spora,

berbentuk batang, berukuran panjang 3-8 µm dan lebar 0,2-0,5 µm, biasanya

berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama

jaringan bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan. Kuman

ini mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (Schwann cell) dan sel dari

sistem retikuloendotelial. Kuman ini juga dapat menyebabkan infeksi

sistemik pada binatang armadilo.2

Masa belah diri kuman kusta memerlukan waktu yang sangat lama

dibandingkan dengan kuman lain, yaitu 12-21 hari. Oleh karena itu masa tunas

menjadi lama yaitu 2-5 tahun.2, 7 Mycrobacterium leprae tidak mudah diwarnai

namun jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol

oleh karena itu dinamakan sebagai basil “tahan asam”.2

Belum ditemukannya medium artifisial, mempersulit dalam mempelajari

sifat-sifat Micobacterium leprae. Sebagai sumber infeksi hanyalah manusia,

meskipun masih dipikirkan adanya kemungkinan di luar manusia. Penderita

yang mengandung Mycobacterium leprae sampai 103 basil per gram jaringan,

penularannya tiga sampai sepuluh kali lebih besar dibandingkan dengan

penderita yang hanya mengandung 107 basil per gram jaringan.2

8

Page 9: Kusta

Mycobacterium leprae dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar

keringat dan air susu ibu, jarang terdapat dalam urin. Sputum dapat banyak

mengandung Mycobacterium leprae yang berasal dari saluran pernafasan

bagian atas. Di luar tubuh manusia (dalam kondisi tropis) kuman kusta dari

sekret nasal dapat bertahan sampai 9 hari.2, 7

D. Patogenesis Kusta

Pada tahun 1960, Shepard berhasil menginokulasikan M. Leprae pada

kaki mencit dan berkembang biak di sekitar tempat suntikan. Dari berbagai

macam spesimen, bentuk lesi maupun negara asal penderita, ternyata tidak ada

perbedaan spesies. Agar dapat tumbuh diperlukan jumlah minimum M. leprae

yang disuntikan dan kalau melampaui jumlah maksimal tidak berarti

meningkatkan perkembangbiakan.2

Inokulasi pada mencit yang telah diambil timusnya dengan diikuti

radiasi (900 r), sehingga kehilangan respon imun selulernya, akan

menghasilkan granuloma penuh basil terutama di bagian tubuh yang relatif

dingin, yaitu hidung, cuping telinga, kaki dan ekor. Basil tersebut selanjuttnya

dapat diinokulasikan lagi, berarti memenuhi salah satu postulat Koch,

meskipun belum sepenuhnya dapat dipenuhi.2

Sebenarnya M. Leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang

rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu

memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya.2

Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak

lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang menggugah timbulnya

reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau

progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit

imunologik. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya

daripada intensitas infeksinya.2

Meskipun cara masuk M.leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui

dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering

ialah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan

9

Page 10: Kusta

melalui mukosa nasal. Pengaruh M.leprae terhadap kulit bergantung pada

faktor imunitas seseorang, kemampuan hidup M.leprae pada suhu tubuh yang

rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulen dan

nontoksik.9

M. leprae merupakan parasit obligat intraseluler yang terutama terdapat

pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel

Schwann di jaringan syaraf. Bila kuman M.leprae masuk ke dalam tubuh,

maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag (berasal dari sel monosit

darah, sel mononuklear, histiosit) untuk memfagositnya.9

Gambar 1: Patogenesis Lepra.2

Keterangan:

TT: Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil

Ti: Tuberkuloid indefinite

BT: Borderline tuberculoid

BB: Mid Borderline bentuk yang labil

BL: Borderline lepromatous

Li: Lepromatosa indefinite

LL: Lepromatosa polar, bentuk yang stabil

Tipe I (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe

tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100% yang merupakan bentuk yang

10

Page 11: Kusta

stabil. Begitu pula tipe LL yang merupakan tipe lepromatosa polar, yakni

lepromatosa 100%. Sedangkan tipe Ti dan Li disebut tipe borderline atau

campuran. BB adalah tipe campuran yang terdiri atas 50% tuberkuloid dan

50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloid, sedangkan BL dan Li

lebih banyak lepromatosa. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil, yang

berarti dapat bebas beralih tipe baik kea rah TT atau kea rah LL.2

Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas seluler dengan

demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman

dapat bermultiplikasi dengan bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan.9

Pada kusta tipe TT, kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi,

sehingga makrofag sanggup menghancurkan kumannya. Sayangnya setelah

semua kuman difagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang

tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia

langhans. Bila infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebihan

dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan syaraf dan jaringan

disekitarnya.9

Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M.leprae. Di

samping itu sel Schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit

fungsinya sebagai fagositosis. Jadi bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam

sel Schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas

regenerasi syaraf berkurang dan terjadi kerusakan syaraf yang progresif.9

E. Sumber Penularan

Sampai saat ini hanya manusia satu-satunya yang dianggap sebagai

sumber penularan. Meskipun kuman kusta dapat hidup dalam simpanse dan

kaki tikus yang tidak mempunyai thymus.2, 11

F. Penularan Kusta

Cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih belum diketahui

pasti, hanya berdasarkan anggapan klasik, yaitu:

1. Melalui inhalasi. Sebab M. leprae masih dapat hidup dalam 2–7 x 24 jam

dalam droplet.2, 12

11

Page 12: Kusta

2. Kontak langsung antar kulit yang lama dan berulang-ulang, serta

terdapatnya lesi baik mikoskopis maupun makroskopis.2

Menurut Cocrane (1959), terlalu sedikit orang yang tertular penyakit

kusta secara kontak langsung antar kulit dengan kasus-kasus lepra terbuka.

Menurut Ress (1975), penularan dan perkembangan penyakit kusta hanya

tergantung dari dua hal yakni jumlah atau keganasan Mycobakterium leprae

dan daya tahan tubuh penderita.2

Kusta bukan merupakan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di

kulit, folikel rambut, kelenjar keringat dan air susu ibu, jarang didapat dalam

urin. Sputum dapat banyak mengandung M. leprae yang berasal dari traktus

respiratorius atas. Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi

pertama.2

G. Faktor Risiko Kusta

Terdapat banyak faktor yang mendasari perjalanan penyakit kusta, hal

ini berhubungan dengan pejamu, agen penyakit dan lingkungan. Menurut Ress

(1975), faktor-faktor yang berperan dalam penularan adalah :

1. Usia

Data umur pada saat timbulnya penyakit mungkin tidak

menggambarkan resiko spesifik umur. Karena pada penyakit kronik

seperti kusta, kejadian penyakit sering terkait pada umur saat diketemukan

dari pada saat timbulnya penyakit.7

Penyakit ini dapat menyerang semua umur, tetapi anak-anak lebih

rentan dari pada dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak di bawah umur

14 tahun didapatkan ±13%, tetapi anak di bawah 1 tahun sangat jarang.2, 7

Saat ini usaha pencatatan penderita di bawah usia 1 tahun penting

dilakukan untuk mencari kemungkinan ada tidaknya kusta kongenital.

Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur antara 25-35 tahun.2

2. Jenis kelamin

Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan. Namun pada

perempuan kejadiannya relatif lebih rendah. Hal ini mungkin terjadi

12

Page 13: Kusta

karena laki-laki lebih banyak terpapar dengan faktor resiko sebagai gaya

hidupnya yang mempunyai mobilitas yang lebih tinggi dibandingkan

perempuan.2

Pola distribusi penderita kusta di kota Ternate Utara tahun 2006 yang

ditinjau dari jenis kelamin dari total sampel 83 penderita terdapat pada

kelompok laki-laki sebanyak 52 orang (62,7%) dan kelompok perempuan

31 orang (37,3%).7

3. Etnik dan suku

Bangsa Asia dan Afrika lebih banyak terkena penyakit kusta, hal ini

dapat disebabkan karena faktor predisposisi genetik yang berbeda.2, 16 Di

Myanmar kejadian kusta lebih sering terjadi pada etnik Burma

dibandingkan etnik India. Di Malaysia kejadian kusta lebih banyak terjadi

pada etnik China dibandingkan etnik Melayu atau India. Sementara di

Indonesia, etnik Madura dan Bugis lebih banyak menderita kusta

dibandingkan etnik Jawa ataupun Melayu.7

4. Sosial Ekonomi

Faktor sosial ekonomi sangat berperan pada kejadian kusta. Dengan

adanya peningkatan ekonomi, maka kejadian kusta sangat cepat menurun

bahkan hilang.2 Umumnya negara-negara endemis kusta adalah negara

dengan tingkat sosial ekonomi rendah, seperti Asia, Afrika dan Amerika

latin.7

Faktor sosial ekonomi ini dapat dilihat dari pendidikan, pekerjaan,

penghasilan rata-rata keluarga dan tingkat kepadatan rumah. Dimana dapat

diasumsikan secara umum bahwa seseorang yang mempunyai pendidikan

tinggi mempunyai pekerjaan dengan penghasilan yang cukup tinggi lebih

berorientasi pada tindakan preventif, tahu lebih banyak tentang masalah

kesehatan dan memiliki status kesehatan yang baik.7

H. Klasifikasi Kusta

Tabel 3

Zona spektrum kusta menurut berbagai klasifikasi.2

13

Page 14: Kusta

Klasifikasi Zona Spektrum Kusta

Ridley & Jopling TT BT BB BL LL

Madrid Tuberkuloid Borderline Lepromatosa

WHO Pausibasilar (PB) Multibasilar (MB)

Puskesmas PB MB

Multibasilar berarti mengandung banyak basil yaitu tipe LL, BL dan BB.

Sedangkan pausibasilar berarti mengandung sedikit basil, yakni tipe TT, BT

dan I. menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasilar dan

pausibasilar. Yang termasuk dalam multibasilar adalah tipe LL, BL dan BB

pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+

sedangkan pausibasilar adalah tipe I, TT dan BT dengan IB kurang dari 2+.2

Untuk kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan.

Yang dimaksud dengan kusta tipe pausibasilar (PB) adalah kusta dengan BTA

negatif pada pemeriksaan kerokan kulit, yaitu tipe I, TT dan BT menurut

klasifikasi Ridley-Jopling. Bila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA positif,

maka akan dimasukkan ke dalam kusta multibasilar (MB). Sedangkan kusta

tipe MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL dan LL.2

I. Tanda-Gejala Kusta

Bila M. leprae masuk ke dalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala

klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung

pada sistem imunitas seluler (SIS) penderita. SIS baik akan tampak gambaran

klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran

lepromatosa.2

Tabel 4

Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta Pausibasiler (PB). 2

Sifat Tuberkuloid (TT) Borderline Indeterminate

14

Page 15: Kusta

Tuberkuloid (BT) (I)

Lesi:

- Bentuk Bercak (makula)

saja; bercak dibatasi

infiltrate

Bercak dibatasi

infiltrat; infiltrat saja

Hanya infiltrat

- Jumlah Satu, dapat beberapa Beberapa atau satu

dengan satelit

Satu atau

beberapa

- Distribusi Asimetris Masih asimetris Variasi

- Permukaan Kering bersisik Kering bersisik Halus, agak

berkilat

- Batas Jelas Jelas Dapat jelas

atau dapat

tidak jelas

- Kehilangan

rasa pada

bercak

Jelas Jelas Tidak ada

sampai tidak

jelas

BTA:

Lesi kulit Hampir selalu

negative

Negatif atau 1+ Biasanya

negatif

Tes Lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif

lemah atau

negatif

Tabel 5

Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta Multibasilar (MB).2

Sifat Lepromatosa Borderline Mid Borderline

15

Page 16: Kusta

(LL) Lepromatosa (BL) (BB)

Lesi:

- Bentuk Bercak, infiltrat

difus, papul,

nodus

Bercak, plakat, papul Plakat, Dome

shapped

(kubah),

punched out

(lesi seperti

donat)

- Jumlah Tidak terhitung

dan tidak ada

kulit yang sehat

Sukar dihitung dan

masih ada kulit yang

sehat

Dapat dihitung

dan kulit sehat

jelas ada

- Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris

- Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar,

agak berkilat

- Batas Tidak jelas Tidak jelas Agak jelas

- Anestesia Biasanya tidak

jelas

Tidak jelas Lebih jelas

BTA:

- Lesi kulit Banyak (terdapat

globus)

Banyak Agak banyak

- Sekret

hidung

Banyak (terdapat

globus)

Biasanya negative Negatif

Tes Lepromin Negatif Negatif Biasanya

negative

Tabel 6

Bagan diagnosis klinis menurut WHO (1995)

16

Page 17: Kusta

PB MB

1. Lesi kulit

(makula datar, papul

yang meninggi,

nodus)

- 1-5 lesi

- Hipopigmentasi/

eritema

- Distribusi tidak

simetris

- Hilangnya sensasi

yang jelas

- > 5 lesi

- Distribusi lebih

simetris

- Hilangnya sensasi

kurang jelas

2. Kerusakan syaraf

(menyebabkan

hilangnya sensasi/

kelemahan otot yang

dipersarafi oleh saraf

yang terkena).

- Hanya satu cabang

syaraf

- Banyak cabang

syaraf

Selain kelainan pada kulit, kusta juga menyerang saraf perifer. Pada

syaraf perifer harus diperhatikan pembesaran, konsistensi dan nyeri atau

tidak. Hanya beberapa syaraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa, yaitu

N. fasialis, N. aurikularis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus, N.

poplitea lateralis dan N. tibialis posterior. Pada tipe yang mengarah ke

lepromatosa, kelainan saraf biasanya bilateral dan menyeluruh, sedangkan

bagi tipe tuberkuloid, kelainan saraf lebih terlokalisasi mengikuti tempat

lesinya.2

Gejala-gejala kerusakan syaraf:

1. N. ulnaris

- Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis.

- Clawing kelingking dan jari manis.

- Atrofi hipotenar dan otot interseus serta kedua otot lumbrikalis

medial.2

2. N. medianus

17

Page 18: Kusta

- Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk dan jari

tengah.

- Tidak mampu aduksi ibu jari.

- Clawling ibu jari, telunjuk dan jari tengah.

- Ibu jari kontraktur.

- Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.2

3. N. radialis

- Anestesia dorsum manus serta ujung proksimal jari telunjuk.

- Tangan gantung (wrist drop)

- Tidak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan.2

4. N. poplitea lateralis

- Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis.

- Kaki gantung (foot drop)

- Kelemahan otot peroneus.2

5. N. tibialis posterior

- Anestesia telapak kaki.

- Claw toes

- Paralisis otot intristik kaki dan kolaps arkus pedis.2

6. N. fasialis

- Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus.

- Cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan

ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir.2

7. N. trigeminus

- Anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.2

Kusta tipe netral murni memiliki tanda dan gejala seperti tidak ada dan

tidak pernah ada lesi kulit, ada satu atau lebih pembesaran saraf, ada anestesia

dan atau paralisis, serta atrofi otot pada daerah yang dipersarafinya,

bakterioskopi negatif, tes mitsuda umumnya positif. Untuk menentukan

biasanya tipe tuberkuloid, borderline atau nonspesifik harus dilakukan

pemeriksaan secara histopatologik.2

18

Page 19: Kusta

Kerusakan mata pada kusta juga dapat primer dan sekunder. Primer

mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak

jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya saraf fasialis yang

dapat membuat paralisis saraf orbikularis palpebrarum sebagian atau

seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya menyebabkan

kerusakan bagian-bagian mata yang lainnya. Secara sendiri-sendiri atau

bergabung akhirnya dapat menyebabkan kebutaan.2

Infiltasi pada granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas

kelenjar keringat, kelenjar palit dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit

kering dan alopesia. Pada tipe lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat

gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada

tubulus seminiferus testis.2

Kusta histoid merupakan varian lesi pada tipe lepromatosa yang pertama

ditemukan oleh WADE pada thun 1963. Secara klinis berbentuk nodus

berbatas tegas atau dapat juga berbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi.

Umumnya timbul sebagai kasus relapse sensitive atau relaps resistant.2

Relaps sensitive terjadi bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan

pengobatan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Dapat terjadi oleh

karena kuman yang dorman aktif kembali atau pengobatan yang telah

diselesaikan tidak adekuat, baik dosis dan lama pemberiannya. Disebut juga

sebagai resisten sekunder. Relaps resistents terjadi bila penyakit kambuh

setelah menyelesaikan pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan,

tetapi tidak diobati dengan obat yang sama karena kuman telah resisten

terhadap obat MDT. Disebut juga sebagai resisten primer.2

Kusta dikenal dengan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti karena

dapat terjadi ulserasi, mutilasi dan deformitas atau cacat tubuh. Deformitas

pada kusta menurut patofisiologisnya, dapat dibagi dalam deformitas primer

dan sekunder.2

Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang

terbentuk sebagai reaksi terhadap M. leprae yang mendesak dan merusak

jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-

19

Page 20: Kusta

tulang jari dan wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan

saraf. Umumnya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena

kerusakan saraf.2

J. Diagnosis Kusta

Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis

dan histopatologis. Di antara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang

terpenting dan paling sederhana. Hasil bakterioskopis memerlukan waktu

paling sedikit 15-30 menit, sedangkan histopatologik memerlukan waktu 10-

15 hari. Penentuan tipe kusta ini perlu dilakukan untuk menetapkan terapi

yang sesuai.2

Antara diagnosis secara klinis dan secara histopatologik ada

kemungkinan terdapat persamaan maupun perbedaan tipe. Perlu diingat bahwa

diagnosis klinis seseorang harus didasarkan hasil pemeriksaan kelainan

seluruh tubuh saja, sebab ada kemungkinan diagnosis klinis di wajah berbeda

dengan tubuh, lengan, tungkai dan sebagainya. Bahkan pada satu lesi

(kelainan kulit) pun dapat berbeda tipenya.2

Dasar diagnosis histopatologik tergantung pada beberapa dan dari

tempat mana biopsinya diambil. Dalam bentuk diagnosis klinis, dimulai

dengan inspeksi, palpasi lalu dilakukan pemeriksaan menggunakan alat

sederhana seperti jarum, kapas, tabung reaksi masing-masing dengan air panas

dan air dingin, pensil tinta dan sebagainya.2

Jika pada pemeriksaan inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya

anestesia sangat banyak membantu penentuan diagnosis, meskipun tidak

selalu jelas. Hal ini dengan mudah dapat dilakukan dengan menggunakan

jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba dan jika masih belum jelas

pula dengan kedua cara tersebut baru dilakukan pengujian terhadap rasa suhu,

yaitu panas dan dingin dengan menggunakan 2 tabung reaksi.2

Perhatikan ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan

dapat pula tidak, yang dapat dipertegas dengan menggunakan pensil tinta

(tanda gunawan). Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi kearah kulit

20

Page 21: Kusta

normal. Dapat pula diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi, yang kadang-

kadang dapat membantu, tetapi bagi penderita yang memiliki kulit berambut

sedikit sangat sukar menentukannya.2

Pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis kusta adalah:

1. Pemeriksaan Bakterioskopik

Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu

menegakkan diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari

kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang

diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam, antara lain ziehl

neelsen. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita bukan berarti

orang tesebut tidak mengandung basil M. leprae.2

Tentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil,

setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan diambil.

Mengenai jumlah lesi juga ditentukan oleh tujuannya, yaitu untuk riset

atau rutin. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya

minimal 4-6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi

lain yang paling aktif yaitu daerah yang eritematousa dan paling iritatif.

Setiap tempat pengambilan harus dicatat, guna pengambilan di tempat

yang sama pada pengamatan pengobatan untuk dibandingkan hasilnya.2

Cara pengambilan bahan dengan menggunakan skalpel steril. Setelah

lesi didesinfeksi kemudian dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk agar

menjadi iskemik, sehingga kerokan jaringan mengandung sedikit mungkin

darah yang akan mengganggu gambaran sediaan. Lakukan irisan yang

dibuat sampai dermis, melampaui subepidermal clear zone agar mencapai

jaringan yang diharapkan banyak mengandung sel Virchow (sel lepra)

yang di dalamnya mengandung basil M. leprae. Kerokan jaringan

dioleskan ke gelas alas, difiksasi di atas api kemudian lakukan pewarnaan

ziehl neelsen.2

Sediaan mukosa hidung diperoleh dengan cara apusan hidung,

terbaik dilakukan pada pagi hari yang ditampung pada sehelai plastik.

21

Page 22: Kusta

Perhatikan sifat duh tubuh (discharge) tersebut, apakah cair, serosa,

mukoid, purulen, mukopurulen, ada darah atau tidak. Sediaan dapat dibuat

langsung atau plastik tersebut dilipat dan dikirim ke labolatorium.2

Cara lain mengambil bahan kerokan mukosa hidung dengan alat

semacam skalpel kecil tumpul atau bahan olesan dengan kapas lidi.

Sebaiknya diambil dari daerah septum nasi. Sediaan dari mukosa hidung

jarang dilakukan karena kemungkinan adanya M. atipik dan M. leprae

tidak pernah positif bila pada kulit negatif.2

M. leprae tergolong basil tahan asam (BTA) yang akan tampak

merah pada sediaan. Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang

terputus (fragmented), dan butiran (granular). Bentuk solid adalah basil

hidup, sedangkan fragmented dan granular merupakan bentuk mati. Secara

teori penting untuk membedakan antara bentuk solid dengan non solid,

sebab bentuk yang hidup lebih berbahaya karena dapat berkembang biak

dan dapat menularkan ke orang lain. Dalam praktek susah sekali

menentukan solid dan non solid karena dipengaruhi oleh berbagai macam

faktor.2

Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan non solid pada sebuah

sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai

6+ menurut RIDLEY. Dinyatakan 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapang

pandang (LP), 1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP, 2+ bila 1-10 BTA dalam

10 LP, 3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP, 4+ bila 11-100 BTA rata-

rata dalam 1 LP, 5+ bila 101-1.000 BTA rata-rata dalam 1 LP, dan 6+ bila

>100 BTA rata-rata dalam 1 LP. IB seseorang adalah IB rata-rata semua

lesi yang dibuat sediaan.2

Indeks morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid dibandingkan

dengan jumlah solid dan non solid.2

Rumus :

Jumlah solid

X 100% = …

Jumlah solid + non solid

22

Page 23: Kusta

Syarat perhitungan:

- Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA

- IB 1+ tidak perlu dibuat IM-nya, karena untuk mendapat 100 BTA

harus mencari dalam 1000-10.000 lapangan

- Mulai dari IB 3+ harus dihitung IM-nya, sebab dengan IB 3+

maksimum harus dicari dalam 100 lapangan.

2. Pemeriksaan Histopatologik

Granuloma adalah akumulasi makrofag atau derivat-derivatnya.

Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan

saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan bersifat non

solid. Pada tipe lepromatosa terdapat zona sunyi subepidermal

(subepidermal clear zone), yaitu suatu daerah langsung di bawah

epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati sel Virchow dengan

banyak basil. Pada tipe borderline, terdapat campuran unsur-unsur

tersebut.2

Tabel 7

Karakteristik histologis berbagai tipe kusta menurut Ridley-Jopling.2

Tipe

TT BT BB BL LL

TT Ti BT BB BL Li LL

Reaksi lepromin 3+ 2+ 1+ - - - -

Stabilitas imunologik ++ + ± - ± + ++

Reaksi borderline - ± + ++ + ± -

Eritema nodusum

leprosum

- - - - - + +

Basil dalam hidung - - - - + ++ ++

Basil dalam

granuloma

0 0-1+ 1-3+ 3-4+ 4-5+ 5-6+ 5-6+

Sel epiteloid + + + + - - -

Sel datia langhans +++ ++ + + - - -

Globi - - - - - + +

23

Page 24: Kusta

Sel busa (sel Virchow) - - - - + ++ +++

Limfosit +++ +++ ++ + + +/± ±

Infiltrasi zona sub

epidermal

+ + +/- - - - --

Kerusakan saraf ++ +++ ++ + ± + -

3. Pemeriksaan Serologik

Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi

pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang

terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti

phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD.

Sedangkan antibodi tidak spesifik antara lain antibodi anti-

lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman M.

tuberculosis.2

Kegunaan pemeriksaan serologik ini adalah dapat membantu

diagnosis kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik

tidak jelas. Disamping itu dapat membantu menentukan kusta subklinis

karena tidak didapati lesi kulit, misalnya pada narakontak serumah.2

Macam-macam pemeriksaan serologik kusta adalah uji MLPA

(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA (Enzyme Linked

Immunosorbent Assay) dan uji ML dipstick (Mycobacterium Leprae

Dipstick).2

K. Reaksi Kusta

Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan

penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Patofisiologinya masih belum

diketahui. Klasifikasi reaksi kusta ada dua, yaitu eritema nodusum leprosum

(E.N.L) dan reaksi reversal atau reaksi upgrading.2

24

Page 25: Kusta

E.N.L terutama timbul pada tipe lepromatosa polar (LL) dan dapat pula

pada borderline lepromatosa (BL), yang berarti makin tinggi tingkat

multibasilarnya makin besar kemungkinan timbulnya E.N.L.2

Secara imunopatologis, E.N.L termasuk respons imun humoral, berupa

fenomena kompleks imun akibat reaksi antara antigen M. leprae ditambah

antibodi (IgM, IgG) ditambah komplemen sehingga membentuk kompleks

imun. Tampaknya reaksi ini analog dengan reaksi fenomena unik, tidak dapat

disamakan begitu saja dengan penyakit lain. Dengan terbentuknya kompleks

imun ini, maka E.N.L termasuk di dalam golongan penyakit kompleks imun

oleh karena salah satu protein M. leprae bersifat antigenik sehingga antibodi

dapat terbentuk.2

Kadar immunoglobulin penderita kusta lepromatosa lebih tinggi

dibandingkan tipe tuberkuloid. Hal ini terjadi oleh karena pada tipe

lepromatosa jumlah basil jauh lebih banyak daripada tipe tuberkuloid.2

E.N.L. lebih banyak terjadi pada tahun kedua pengobatan, hal ini dapat

terjadi karena pada pengobatan banyak basil lepra yang mati dan hancur,

berarti banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi serta

mengaktifkan sistem komplemen. Kompleks imun tersebut terus beredar

dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat melibatkan berbagai sistem organ.2

Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema dan nyeri

dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain

dapat menimbulkan gejala seperti iridoksiklitis, neuritis akut, limfadenitis,

arthritis, orkitis dan nefritis yang akut dengan adanya proteinuria. E.N.L.

dapat disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat.2

E.N.L. tidak menyebabkan terjadi perubahan tipe kusta, sedangkan

reaksi reversal dapat menyebabkan terjadi perubahan tipe karena reaksi

reversal terjadi pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT, Ti), sehingga dapat

disebut reaksi borderline.2

Pemegang peranan utama dalam hal ini adalah SIS, yaitu terjadi

peningkatan mendadak SIS. Meskipun faktor pencetusnya belum diketahui

pasti, diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi hipersensitivitas tipe

25

Page 26: Kusta

lambat. Reaksi peradangan terjadi pada tempat-tempat basil M. leprae berada,

yaitu pada saraf dan kulit, umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama.

Neuritis akut dapat menyebabkan kerusaan saraf secara mendadak, oleh

karena itu memerlukan pengobatan segera yang memadai.2

Tipe lepra yang termasuk borderline ini dapat bergerak bebas kea rah TT

dan LL dengan mengikuti naik turunnya SIS, sebab setiap perubahan tipe

selalu disertai perubahan SIS pula. Begitu pula reaksi reversal, terjadi

perpindahan tipe kea rah TT dengan disertai peningkatan SIS, hanya bedanya

dengan cara mendadak dan cepat.2

Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi

yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang

relatif singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menajdi eritema, lesi eritema

menjadi makin eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin

infiltrat dan lesi lama menjadi bertambah luas. Adanya gejala neuritis akut

perlu diperhatikan karena sangat menentukan pemberian pengobatan

kortikosteroid. Tanpa gejala neuritis akut pemberian kortikosteroid adalah

fakultatif.2

Fenomena Lucio

Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi

pada kusta tipe lepromatosa non nodular difus. Kusta tipe ini terutama

ditemukan di Meksiko dan Amerika tengah, namun dapat juga dijumpai di

negeri lain dengan prevalensi rendah.2

Gambaran klinis dapat berupa plak atau infiltrat difus, berwarna merah

muda, bentuk tidak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstemitas,

kemudian meluas meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih

eritematous, disertai purpura dan bula kemudian dengan cepat terjadi nekrosis

serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk

jaringan parut.2

Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal ismemik

dengan nekrosis pembuluh darah superfisial, edema dan proliferasi endotelial

26

Page 27: Kusta

pembuluh darah lebih dalam. Didapatkan banyak basil M. leprae di endotelial

kapiler. Walaupun tidak ditemukan infiltrat polimorfonuklear seperti pada

E.N.L., namun dengan imunoflouresensi tampak deposit immunoglobulin dan

komplemen di dalam dinding pembuluh darah. Titer kompleks imun yang

beredar dan krioglobulin sangat tinggi pada semua penderita.2

L. Penatalaksanaan Kusta

Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah memutus rantai

penularan untuk menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyemuhkan

penderita dan mencegah timbulnya cacat. Untuk mencapai tujuan tersebut

sampai sekarang strategi pokok yang dilakukan masih didasarkan atas deteksi

dini dan pengobatan penderita yang tampaknya masih merupakan dua hal

penting.9

Dilihat dari sejarahnya, pengobatan kusta telah melalui beberapa fase

perkembangan yaitu era pre sulfon sampai ditemukannya obat-obat baru yang

bersifat mikrobakterisidal yang lebih efektif. Meskipun obat-obat baru yang

ditemukan tampaknya member harapan yang lebih cerah, namun karena masih

dalam evaluasi uji klinis maka regimen multi drugs treatment (MDT) masih

dianjurkan dalam program pemberantasan kustadi seluruh dunia termasuk

Indonesia.9

Program Multi Drugs Treatment (MDT)

Program MDT dimulai pada tahun 1981, yaitu ketika kelompok studi

kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta

dengan regimen kombinasi yang selanjutnya dikenal sebagai regimen MDT-

WHO. Regimen ini terdiri atas kombinasi obat-obatan diamino difenil sulfon

(DDS), rifampisin dan klofazimin. Selain untuk mengatasi resistensi DDS

yang semakin meningkat, penggunaan MDT dimaksudkan juga untuk

mengurangi ketidaktaatan penderita dan menurunkan angka putus obat (drop

out rate) yang cukup tinggi pada masa monoterapi DDS. Disamping itu

27

Page 28: Kusta

duharapkan juga MDT dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam

jaringan.9

1. Diaminodifenil sulfon (DDS)

Obat ini bersifat bakteriostatik dengan menghambat enzim

dihidrofolat sintetase. Jadi tidak seperti pada kuman lain, DDS bekerja

sebagai anti metabolit PABA. Resistensi terhadap DDS timbul sebagai

akibat kandungan enzim sintetase yang terlalu tinggi pada kuman kusta.9

Dosis DDS yang digunakan sebagai MDT adalah 50-100 mg/hari

diberikan sebagai dosis tunggal untuk dewasa atau 2 mg/kgBB dosis

tunggal untuk anak-anak.9

Indeks morfologi kuman penderita LL yang diobati dengan DDS

biasanya menjadi nol setelah 5-6 bulan. Obat ini sangat murah, efektif dan

relatif aman.9

Efek samping yang mungkin timbul adalah nyeri kepala, erupsi obat,

anemia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropati perifer, nekrolisis

epidermal toksik, hepatitis, hipoalbuminemia dan methemoglobinemia.

Namun efek samping tersebut jarang dijumpai pada dosis lazim.2

Resistensi terhadap DDS dapat primer maupun sekunder. Resistensi

sekunder terjadi oleh karena monoterapi DDS, dosis terlalu rendah, minum

obat tidak teratur dan pengobatan yang terlalu lama setelah 4-24 tahun.

Resistensi hanya terjadi pada kusta multibasilar tetapi tidak pada kusta

pausibasilar, hal ini disebabkan karena SIS penderita PB lebih tinggi dan

pengobatan relatif singkat.2

Resistensi primer terjadi bila orang ditulari oleh M. leprae yang telah

resisten dan manifestasinya dapat dalam beberapa tipe (TT, BT, BB, BL,

LL) tergantung pada SIS penderita. Derajat resistensi yang rendah masih

dapat diobati dengan dosis DDS yang lebih tinggi, sedangkan pada derajat

resistensi yan tinggi DDS tidak dapat dipakai lagi.2

Pengertian relaps atau kambuh pada kusta ada 2 kemungkinan, yaitu

relaps sensitif (persisten) dan relaps resisten. Pada relaps sensitif secara

klinis, bakterioskopik dan histopatologik dapat dinyatakan penyakit tiba-

28

Page 29: Kusta

tiba aktif kembali dengan timbulnya lesi baru dan bakterioskopik positif

kembali. Tapi setelah dibuktikan dengan pengobatan dan inokulasi pada

mencit, ternyata M. leprae masih sensitif terhadap DDS.2

Pada relaps resistens dengan gejala klinis, baterioskopik dan

histopatologik yang khas, dapat dibuktikan dengan percobaan pengobatan

dan inokulasi pada mencit, bahwa M. leprae resisten terhadap DDS.2

2. Rifampisin

Rifampisin merupakan obat yang paling ampuh saat ini untuk kusta

dan brsifat bakterisidal kuat pada dosis lazim. Rifampisin bekerja

menghambat enzim polimerase RNA yang berikatan secara ireversibel.

Dosis tunggal 600 mg/hari atau 5-15 mg/kgBB mampu membunuh

kuman kira-kira 99,9% dalam waktu beberapa hari. Pemberian seminggu

sekali dengan dosis tinggi (900-1200 mg) dapat menimbulkan gejala yang

disebut flu like syndrome. Pemberian dosis 600 mg atau 1200 mg sebulan

sekali ditoleransi dengan baik.9

Rifampisin tidak boleh diberikan sebagai monoterapi, karena

memperberat kemungkinan terjadinya resistensi, tetapi pada pengobatan

kombinasi selalu diikutkan.2

Pemberian rifampisin tidak boleh diberikan setiap minggu atau tiap 2

minggu mengingat efek sampingnya. Efek samping yang harus

diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu

like syndrome dan erupsi kulit.2

3. Klofazimin (Lamprene)

Obat ini merupakan turunan zat warna iminofenazin dan mempunyai

efek bakteriostatik setara dengan DDS. Bekerjanya diduga melalui

gangguan metabolisme radikal oksigen.9

Dosis sebagai anti kusta ialah 50 mg setiap hari atau 100 mg 3 kali

seminggu atau 3x100 mg setiap bulan. Pada anak-anak dapat diberikan 1

mg/kgBB setiap hari.9

29

Page 30: Kusta

Obat ini juga bersifat sebagai anti inflamasi sehingga dapat dipakai

pada penanggulangan E.N.L. dengan dosis lebih tinggi yaitu 200-300

mg/hari, namun awitan kerja baru timbul setelah 2-3 minggu.2

Kekurangan obat ini adalah harganya mahal, di samping itu

menyebabkan pigmentasi kulit yang yang sering merupakan masalah pada

ketaatan berobat penderita.9

Efek sampingnya ialah warna kecoklatan pada kulit dan warna

kekuningan pada sclera, sehingga mirip seperti ikterus. Efek samping

hanya terjadi dalam dosis tinggi, berupa nyeri abdomen, mual, muntah,

diare, penurunan nafsu makan. Selain itu dapat terjadi penurunan berat

badan. Perubahan warna tersebut akan mulai menghilang setelah 3 bulan

obat dihentikan.2

4. Etionamid dan Protionamid

Kedua obat ini merupakan obat anti tuberkulosis dan hanya sedikit

dipakai pada pengobatan kusta. Dahulu dipakai sebagai pengganti

klofazimin, pada kasus-kasus yang keberatan karena pigmentasinya. Obat

ini bekerja bakteriostatik, tetapi cepat menimbulkan resistensi, lebih

toksik, harganya mahal serta hepatotoksik, oleh karenanya sekarang tidak

dianjurkan lagi pada regimen pengobatan kusta.9

Dosis diberikan 5-10 mg/kgBB setiap hari. Distribusi protinamid

dalam jaringan tidak merata, sehingga kadar hambat minimalnya sukar

ditentukan.2

Obat Kusta Baru

Dalam penatalaksanaan program MDT-WHO ada beberapa masalah

yang timbul yaitu adanya persister, resistensi rifampisin, dan lamanya

pengobatan terutama untuk kusta MB. Untuk penderita kusta PB, rejimen

MDT-PB juga masih menimbulkan beberapa masalah, antara lain masih

menetapnya lesi kulit setelah 6 bulan pengobatan dan late reversal reaction

(LRR) yang timbul setelah selesai pengobatan MDT.9

30

Page 31: Kusta

Selain itu dengan tidak dianjurkannya etionamid atau protionamid

sebagai pengganti klofazimin pada regimen MDT-WHO, maka praktis tidak

ada alternatif lain untuk rejimen tersebut.9

Jika seorang penderita kusta MB tidak mau menggunakan klofazimin

karena efek pewarnaan kulitnya,maka praktis ia tidak mendapat MDT penuh.

Hal ini akan membahayakan, jika seorang penderita mempunyai resistensi

ganda yaitu terhadap DDS dan rifampisin bersama-sama. Grosset dkk

melaporkan bahwa 90% galur resisten rifampisin juga menunjukkan resistensi

terhadap DDS. Pengobatan penderita dengan resistensi ganda ini semakin

sulit.9

Oleh karena itu diperlukan obat-obat baru dengan mekanisme

bakterisidal yang berbeda dengan obat-obat dalam regimen MDT-WHO saat

ini. Idealnya obat-obat kusta baru harus memenuhi syarat antara lain bersifat

bakterisidal kuat terhadap M. leprae, tidak antagonis dengan obat yang sudah

ada, aman dan akseptibilitas penderita baik, dapat diberikan per oral dan

sebaiknya diberikan tidak lebih dari sekali sehari. Diantara yang sudah

terbukti efektif adalah ofloksasin, minosiklin dan klaritromisin.9

1. Ofloksasin

Ofloksasin merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif

terhadap M. leprae in vitro dibandingkan dengan siprofloksasin dan

pefloksasin. Kerjanya melalui hambatan terhadap enzim girase DNA

mikobakterium.9

WHO saat ini sedang melakukan uji klinis untuk mengetahui daya

guna 2 rejimen ofloksasin dibandingkan standar. Satu rejimen terdiri atas

ofloksasin dengan dosis 400 mg/hari diberikan bersama rifampisin 600

mg/hari selama 1 bulan, baik untuk kusta PB dan MB. Regimen lain untuk

kusta MB terdiri atas kombinasi MDT-WHO ditambah ofloksasin 400

mg/hari selama 1 bulan pertama.9

Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna

lainnya, berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri

31

Page 32: Kusta

kepala dan halusinasi. Pengguanaan pada anak, remaja, wanita hamil dan

menyusui harus hati-hati karena kuinolon dapat menyebabkan artropati.2

2. Minosiklin

Di antara turunan tetrasiklin, minosiklin merupakan satu-satunya

yang aktif terhadap M. leprae. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh sifat

lipofiliknya sehingga menyebabkan ia mampu menembus dinding sel M.

leprae dibandingkan dengan turunan lain. Minosiklin bekerja menghambat

sintesis protein melalui mekanisme yang berbeda dengan obat anti kusta

yang lain.9

Pada uji di telapak kaki tikus, konsentrasi hambatan minimum

(KHM) minosiklin menunjukkan kira-kira 0,2 g/ml, jauh lebih rendah

daripada konsentrasi minosiklin di jaringan dan serum penderita yang

diobati dengan dosis lazim. Bahkan pemberian minosiklin secara

intermitten pada tikus dapat menghambat multiplikasi kuman kusta. Hal

ini disebabkan karena minosiklin mempunyai waktu paruh yang panjang

(sampai 13 jam pada manusia). Selain itu minosiklin dapat menembus

kulit dan jaringan kulit dan jaringan syaraf yang mengandung banyak M.

leprae.9

Uji klinis pada penderita kusta lepromatosa menunjukkan bahwa

pemberian minosiklin 100 mg/ hari menunjukkan perbaikan klinis nyata

setelah pemberian selama 2 bulan. Perubahan indeks morfologi

menunjukkan 99% kuman kusta mati pada hari ke-28 dan 99,9% pada hari

ke-56 pengobatan.9

Efek sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak,

hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa. Berbagai tanda gejala saluran

cerna dan susunan saraf pusat. Oleh karena itu tidak dianjurkan untuk

anak-anak atau selama kehamilan.2

32

Page 33: Kusta

3. Klaritromisin

Dibandingkan obat lain golongan makrolid (eritromisin dan

roksitromisin), klaritromisin mempunyai aktivitas bakterisidal setara

dengan ofloksasin dan minosiklin pada mencit.9

Obat ini juga bekerja dengan menghambat sintesis protein melalui

mekanisme yang lain dari minosiklin. Penderita kusta MB yang diobati

dengan klaritromisin 500 mg per hari menunjukkan respons klinis dan

bakterioskopik sama dengan pemberian ofloksasin dan minosiklin.9

Walaupun ada sinergisme antara minosiklin dengan klaritromisin,

tetapi kombinasi keduanya ternyata tidak lebih baik daripada pemberian

sendiri-sendiri, kemungkinan karena masing-masing memiliki kemampuan

yang sudah terlalu kuat.9

Eritromisin walaupun in vitro menunjukkan aktivitasnya terhadap M.

leprae, tetapi karena waktu paruhnya sangat pendek, tidak dipakai pada

pengobatan kusta. Roksitromisin, walaupun aktif terhadap M.leprae tetapi

karena farmakokinetiknya jelek ternyata tidak dapat menghambat

perkembangan M. leprae pada telapak kaki tikus.9

Efek sampingnya adalah mual, muntah dan diare yang terbukti sering

ditemukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000 mg.2

Dengan adanya obat-obat baru tersebut, telah ditetapkan rejimen baru

yang disebut ROM yaitu kombinasi antara rifampisin 600 mg, ofloksasin 400

mg dan minosiklin 100 mg. rejimen ini diberikan sekali dosis tunggal pada

kusta PB lesi tunggal. Di samping itu saat ini sedang dilakukan uji klinis

penggunaan rejimen ROM sebulan sekali. Untuk kusta PB diberikan rejimen

ROM 3 dan 6 dosis, sedang untuk kusta MB diberikan 12-24 kali.9

Skema Rejimen MDT-WHO

Karena fasilitas pemeriksan bakterioskopik tidak selalu tersedia dan

hasilnya seringkali meragukan, klasifikasi penderita dilakukan berdasarkan

gambaran klinisnya. Kriteria ini berbeda dari program ke program, tetapi pada

33

Page 34: Kusta

umumnya berdasarkan jumlah lesi, terutama lesi kulit dan jumlah syaraf yang

terkena.9

Berdasarkan klasifikasi WHO (1997) untuk kepentingan pengobatan,

penderita kusta dibagi menjadi 3 grup, yaitu pausibasilar dengan lesi tunggal,

pausibasilar dengan lesi 2-5 buah dan penderita multibasilar dengan lesi lebih

dari 5 buah. Oleh sebab itu skema rejimen MDT-WHO menjadi sebagai

berikut:9

1. Rejimen PB dengan lesi kulit 2-5 buah, terdiri atas rifampisin 600 mg

sebulan sekali, di bawah pengawasan, ditambah dengan DDS 100 mg/hari

(1-2 mg/kgBB) swakelola selama 6 bulan.

2. Rejimen MB dengan lesi kulit lebih dari 5 buah, terdiri atas kombinasi

rifampisin 600 mg sebulan sekali di bawah pengawasan, DDS 100 mg/hari

swakelola ditambah klofazimin 300 mg sebulan sekali diawasi dan 50

mg/hari swakelola. Lama pengobatan 1 tahun.

3. Rejimen PB dengan lesi tunggal, terdiri atas rifampisin 600 mg ditambah

dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal.

Dosis tersebut merupakan dosis dewasa, untuk anak-anak disesuaikan

dengan berat badan.9

Tabel 8.

Obat dan Dosis Rejimen MDT-PB. 9

DSS Rifampisin

Dewasa 100 mg/hari 600 mg/ bulan, diawasi

Anak-anak 10-14 tahun* 50 mg/hari 450 mg/bulan, diawasi

* Sesuaikan dosis bagi anak-anak yang lebih kecil dari 10 tahun. Misalnya

DDS 25 mg/hari dan rifampisin 300 mg/bulan (diawasi).

34

Page 35: Kusta

Tabel 9.

Obat dan Dosis Rejimen MDT-MB.9

DDS Rifampisin Klofazimin

Dewasa 100 mg/hari 600 mg/bulan,

diawasi

50 mg/hari dan

300 mg/bulan

diawasi

Anak-anak 10-14

tahun*

50 mg/hari 450 mg/bulan,

diawasi

50 mg selang

sehari dan 150

mg/bulan diawasi

* Sesuaikan dosis bagi anak-anak yang lebih kecil dari 10 tahun. Misalnya

DDS 25 mg/hari dan rifampisin 300 mg/bulan (diawasi), klofazimin 50 mg 2

kali seminggu dan klofazimin 100 mg/bulan (diawasi).

Tabel 10.

Obat dan Dosis Rejimen MDT-PB Lesi Tunggal (Dosis tunggal dan

dimakan bersamaan).9

Rifampisin Ofloksasin Minosiklin

Dewasa 500 mg 400 mg 100 mg

Anak-anak 5-

14 tahun*

300 mg 200 mg 50 mg

* Tidak direkomendasikan pada wanita hamil atau anak-anak lebih kecil dari 5

tahun.

Oleh karena klofazimin menimbulkan efek samping yang kurang

disenangi yaitu kecoklatan kulit, maka dapat diganti dengan etionamid/

protionamid dengan dosis 250-375 mg/hari swakelola. Namun hal ini tidak

dianjurkan oleh Komite Ahli Kusta WHO karena baik etionamid dan

protionamid lebih toksik.9

35

Page 36: Kusta

Saat ini sedang dilakukan uji klinis penggunaan rejimen ROM sebulan

sekali. Untuk kusta PB diberikan rejimen ROM 3 dan 6 dosis sedangkan untuk

kusta MB diberikan 12 dan 24 dosis.9

Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Treatment

(RFT). Setelah RFT, dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara

klinis dan bakteioskopik minimal setiap tahun selama minimal 5 tahun. Kalau

bakterioskopik tetap negatif dan klinis tidak ada keaktifan baru, maka

dinyatakan bebas dari pengamatan atau disebut Release From Control (RFC).2

Pengobatan Kusta dengan Situasi Khusus

Kalau MDT-WHO tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alasan,

WHO Expert Committee pada tahun 1997 mempunyai rejimen untuk situasi

khusus.9

1. Penderita yang tidak dapat memakan rifampisin

Penyebabnya mungkin alergi, ada penyait penyerta seperti hepatitis

kronis atau resisten terhadap obat ini.

Tabel 11.

Rejimen Untuk Penderita yang Tidak Dapat Makan Rifampisin.9

Lama pengobatan Jenis Obat Dosis

6 bulan Klofazimin

Ofloksasin

Minosiklin

50 mg/hari

400 mg/hari

100 mg/hari

Diikuti dengan 18

bulan

Klofazimin dengan

ofloksasin atau

minosiklin

50 mg/hari

400 mg/hari

100 mg/hari

Pada tahun 1994, WHO Study Group on Chemotherapyof Leprosy

menyatakan bahwa klaritromisin 500 mg dapat menggantikan ofloksasin

atau minosiklin pada rejimen di atas, selama 6 bulan pertama pengobatan.9

36

Page 37: Kusta

2. Penderita yang menolak klofazimin

Biasanya penderita menolak obat ini karena adanya pewarnaan kulit.

Untuk itu klofazimin pada MDT-WHO MB dapat diganti dengan

ofloksasin 400 mg/hari selama 12 bulan atau minosiklin 100 mg/hari

selama 12 bulan.9

Pada tahun 1997 WHO Study Group of Leprosy merekomendasikan

juga rejimen MDT-MB alternatif selama 24 bulan.

- Rifampisin 600 mg sekali sebulan selama 24 bulan.

- Ofloksasin 400 mg sekali sebulan selama 24 bulan.

- Minosiklin 100 mg sekali sebulan selama 24 bulan.9

3. Penderita yang tidak dapat memakan DDS

Bila DDS menyebabkan terjadinya efek samping berat pada

penderita PB maupun MB, obat ini harus segera dihentikan. Tidak ada

modifikasi lain untuk penderita MB,sedangkan penderita PB dipakai

sebagai pengganti DDS selama 6 bulan dengan cara:9

Tabel 12.

Rejimen untuk Penderita yang Tidak Dapat Makan DDS.9

Rifampisin Klofazimin

Dewasa 600 mg/ bulan, diawasi 50 mg/ hari dan 300

mg/bulan, diawasi

Anak-anak 10-14

tahun

450 mg/bulan, diawasi 50 mg selang hari dan

150 mg/bulan, diawasi

Pengobatan Kusta Selama Kehamilan dan Menyusui

Kusta sering eksaserbasi pada saat hamil, oleh sebab itu obat MDT harus

tetap diberikan. WHO menyatakan obat MDT standar aman dipakai selama

kehamilan dan menyusui, bagi ibu dan bayinya sehingga tidak perlu

mengubah dosis. Obat dapat melalui air susu ibu dalam jumlah kecil, tetapi

tidak ada laporan efek samping obat pada bayinya kecuali pewarnaan kulit

37

Page 38: Kusta

akibat klofazimin. Obat dosis tunggal bagi bercak tunggal ditunggu

pemakaiannya sampai bayi lahir.9

Pengobatan Kusta pada Penderita yang Menderita Tuberkulosis (TB)

Saat yang Sama

Bila pada saat yang sama penderita kusta juga menderita TB aktif,

pengobatan harus ditujukan pada kedua penyakit. Beri obat anti TB yang

emmadai sebagai tambahan terhadap MDT. Rifampisin biasa diberikan pada

kedua penyakit ini dan harus diberikan sesuai dosis untuk TB.9

Pengobatan Kusta pada Penderita yang Disertai Infeksi HIV pada Saat

yang Sama

Manajemen pengobatan penderita kusta yang disertai infeksi HIV sama

dengan manajemen untuk penderita non-kusta.9

Situasi Khusus Lainnya

Setelah menyelesaikan rejimen MDT, mungkin terjadi reaksi kusta tipe 1

atau tipe 2 atau neuritis. Penderita ini diobati dengan prednisone dengan cara

pemberian yang sama seperti reaksi saat masih dalam MDT.9

Ada kemungkinan kecil penderita ini terkena relaps karena diketahui

kortikosteroid mempercepat multiplikasi kuman dorman yang akan

menyebabkan reaktivasi diseminata. Oleh sebab itu direkomendasikan

pemeberian klofazimin 50 mg./hari sebagai profilaksis bila pemberian steroid

diperkirakan lebih dari 4 bulan. Klofazimin diteruskan sampai pemberian

steroid dihentikan.9

Pengobatan E.N.L.

Obat yang sering dipakai adalah tablet kortikosteroid. Dosisnya

tergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednison 15-30 mg sehari,

kadang-kadang lebih. Makin berat reaksinya makin tinggi dosisnya. Sesuai

dengan perbaikan reaksi, dosisnya diturunkan secara bertahap sampai berhenti

38

Page 39: Kusta

sama sekali. Ada kemungkinan timbul ketergantungan terhadap

kortikosteroid, E.N.L. akan timbul kalau obat tersebut dihentikan atau

diturunkan pada dosis tertentu sehingga penderita ini harus mendapatkan

kortikosteroid terus-menerus.2

Klofazimin juga dipakai untuk pengobatan reaksi E.N.L. tetapi dengan

dosis yang lebih tinggi. Juga bergantung pada berat ringannya reaksi, dosis

antara 200-300 mg sehari. Khasiatnya klofazimin lebih lambat daripada

kortikosteroid, dan dosis diturunkan secara bertahap sesuai dengan perbaikan

E.N.L. Efek sampingnya adalah kulit menjadi berwarna merah kecoklatan

yang bersifat reversibel. Selama penanggulangan E.N.L. ini, obat-obat

antikusta yang sedang diberikan diteruskan tanpa dikurangi dosisnya.2

Pengobatan Reaksi Reversal

Pengobatan reaksi reversal harus diperhatikan apakah disertai dengan

neuritis atau tidak. Sebab jika tanpa neuritis akut, tidak diperlukan pengobatan

tambahan. Jika terdapat neuritis akut maka pengobatan pilihan pertama adalah

kortikosteroid yang dosisnya disesuaikan dengan berat ringannya neuritis.

Dosis prednison 40-60 mg sehari, kemudian diturunkan perlahan-lahan.

Pengobatan harus secepatnya dan dengan dosis yang adekuat untuk

mengurangi terjadinya kerusakan saraf secara mendadak. Jarang terjadi

ketergantungan terhadap kortikosteroid.2

Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik

dan sedativa kalau diperlukan dapat diberikan. Klofazimin untuk reaksi

reversal kurang efektif, oleh karena itu jarang atau tidak pernah dipakai.2

Rehabilitasi

Usaha rehabilitasi medis antara lain dengan jalan operasi dan fisioterapi.

Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke asal, tetapi fungsinya dan

secara kosmetik dapat diperbaiki.2

Cara lain ialah secara kekaryaan, yaitu memberi lapangan pekerjaan

yang sesuai dengan cacat tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat

39

Page 40: Kusta

meningkatkan rasa percaya diri, selain itu dapat juga dilakukan terapi

psikologik.2

M. Pencegahan Cacat

Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT

mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf. Selain itu,

penderita dengan reaksi kusta, terutama reaksi reversal, lesi kulit multipel dan

dengan saraf yang membesar atau nyeri juga memiliki risiko tersebut.2

Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of

disabilities (POD) adalah dengan melakukan diagnosis dini kusta dan

pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan

mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf serta

memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin. Bila terdapat

gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana misalnya memakai

sepatu untuk melindungi kaki yang telah terkena, memakai sarung tangan bila

bekerja dengan benda yang tajam atau panas dan memakai kacamata untuk

melindungi matanya. Selain itu diajarkan pula cara perawatan kulit sehari-hari.

Hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka atau ulkus.

Setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat dan diminyaki agar tidak kering

dan pecah.2, 13

Tabel 13

Klasifikasi Cacat. 2

Cacat pada tangan dan kaki

Tingkat 0 Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau

deformitas yang terlihat.

Tingkat 1 Ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas

yang terlihat.

Tingkat 2 Terdapat kerusakan atau deformitas.

Cacat pada mata

40

Page 41: Kusta

Tingkat 0 Tidak ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada

gangguan penglihatan.

Tingkat 1 Tidak ada gangguan penglihatan akibat kusta; tidak ada

gangguan mata yang berat pada penglihatan. Visus 6/60

atau lebih baik (dapat menghitung jari pada jarak 6 meter.

Tingkat 2 Gangguan penglihatan berat (visus kurang dari 6/60; tidak

dapat menghitujng jari pad ajarak 6 meter)

DAFTAR PUSTAKA

41

Page 42: Kusta

1. Handayani, Sarwo. Eliminasi penyakit kusta pada tahun 2000. Cermin Dunia Kedokteran. 2004:117;10-12.

2. Adhi D, Mochtar H, Siti A. Ilmu penyakit kulit kelamin edisi kelima. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;2007.

3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan tahun 2007. Jakarta: Direktorat Jenderal PP & PL Departemen Kesehatan RI;2008.

4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hambatan pencapaian eliminasi kusta. Jakarta: Direktorat Jenderal PP & PL Departemen Kesehatan RI;2004.

5. [Update: 26 September 2009, cited: 9 November jam 20.15 WIB]. Available from: http://www.pdpersi.co.id/14_provinsi_rawan_kusta

6. M. Zulkifli. Penyakit kusta dan masalah yang ditimbulkan. Sumatera Utara: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.USU Digital Library;2003.

7. Robiatul A. Gambaran faktor-faktor yang berhubungan dengan tipe kusta di Puskesmas Sawangan Depok tahun 2002-2007. [S1 Skripsi]. Depok: FKM UI; 2007.

8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan tahun 2005. Jakarta: Direktorat Jenderal PP & PL Departemen Kesehatan RI;2006.

9. Daili E., Menaldi S., Ismiarto S., Nilasari H. Kusta edisi kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI:2003.

10. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Buku pedoman nasional pemberantasan penyakit kusta. Jakarta: Direktorat Jendral PP & PL Departemen Kesehatan RI;2005.

11. Amiruddin Dali M. Penyakit kusta di Indonesia, masalah dan penanggulangannya. 2005;Suplemen:26(3):22-29.

12. Sai Sohar. Pengaruh intensifikasi program kusta pada pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat serta kasus Baru dengan kecacatan di Kecamatan Loceret Nganjuk Propinsi Jawa timur. [S2 Tesis]. Depok: FKM UI;2001.

42

Page 43: Kusta

13. Louhennapessi A. Tinjauan terhadap penyakit kusta dan pemberantasannya di Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI. Jakarta;2000.

43