KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

75
HASIL PENELITIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STATUS GIZI PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS SUKORAME DAN PUSKESMAS KOTA WILAYAH SELATAN KOTA KEDIRI Pembimbing: dr. Gita Sekar Prihatini, MPd.Ked dr. Djaka Handaya, MPH dr. Adi Surija dr. Siti Maslamah Oleh: DOKTER MUDA J-21 KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

description

gg

Transcript of KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

Page 1: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

HASIL PENELITIAN

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STATUS GIZI

PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS SUKORAME DAN

PUSKESMAS KOTA WILAYAH SELATAN KOTA KEDIRI

Pembimbing:

dr. Gita Sekar Prihatini, MPd.Ked

dr. Djaka Handaya, MPH

dr. Adi Surija

dr. Siti Maslamah

Oleh:

DOKTER MUDA J-21

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

FAKULTAS KEDOKTERAN

2015

Page 2: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

BAB 1

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, dengan rahmat dan hidayah-Nya

Sehingga kami telah dapat menyelesaikan tugas penelitian dengan judul “Faktor-

Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Pasien Tuberkulosis Paru di Puskemas

Sukorame dan Puskesmas Kota Wilayah Selatan Kota Kediri”. Penelitian ini

disusun untuk memenuhi salah satu syarat kepaniteraan klinik di bagian Ilmu

Kesehatan Masyarakat di Puskesmas Kota Wilayah Selatan Kota Kediri.

Penelitian ini bertujuan memberikan pengalaman bagi dokter muda untuk

memiliki sikap kreatif dan keingintahuan untuk meneliti masalah-masalah

kesehatan yang ada di masyarakat. Diharapkan dapat menjadi bekal di masyarakat

menjadi seorang dokter. Keberhasilan dalam menyelesaikan penelitian ini tidak

lepas dari bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, kami ucapkan terimakasih

kepada:

1. dr Gita Sekar Prihanti, MPd.Ked, selaku pembimbing ilmu kedokteran

komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang.

2. dr. Djaka Handaya, MPH, selaku pembimbing ilmu kedokteran

komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang.

3. dr. Adi Surija, selaku Kepala Puskesmas Kota Wilayah Selatan Kota

Kediri dan pembimbing Dokter Muda dalam melakukan kegiatan ini.

4. dr. Siti Maslamah, selaku pembimbing di Puskesmas Kota Wilayah

Selatan Kota Kediri.

Page 3: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

5. Staff Dinas Kesehatan Kota Kediri yang telah memberikan izin

Kepaniteraan Klinik di Puskesmas Kediri.

6. Seluruh Staff Puskesmas Kota Wilayah Selatan Kota Kediri, yang

telah memberikan pengarahan dan pengetahuan tentang program-

program di Puskesmas Kota Wilayah Selatan Kota Kediri.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada penelitian ini.

Untuk itu, kami harapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga penelitian

ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

Kediri, Agustus 2015

Penyusun

Page 4: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis Paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium

tuberculosis, yaitu kuman aerob yang mudah mati dan didapat terutama di paru

atau berbagai organ tubuh lainnya yang mempunyai tekanan parsial O2 yang

tinggi (Depkes, 2007). TB Paru adalah penyakit sosial dengan implikasi medis.

Penyakit ini sering terjadi pada populasi yang kurang beruntung seperti: miskin,

tidak memiliki tempat tinggal, kekurangan gizi, buruknya sanitasi dan

kepadatan penduduk (Suparman, 2011). Gejala utama penderita TB Paru adalah

batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala

tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas,

nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari

tanpa kegiatan fisik, d a n demam meriang lebih dari satu bulan (Depkes,

2007).

Di Indonesia, TB Paru masih menjadi salah satu penyakit yang menimbulkan

masalah kesehatan di masyarakat. Penderita TB Paru di Indonesia merupakan

urutan ke-3 terbanyak di dunia setelah India d a n Cina dengan jumlah pasien,

sekitar 10% dari total jumlah pasien TB Paru di dunia. Diperkirakan pada tahun

2004, ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insiden kasus TB

Paru BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk (Depkes, 2007).

Berdasarkan data Surkesnas (Survei Kesehatan Nasional) tahun 2013, prevalensi

penyakit TB Paru berdasarkan pemeriksaan smear sputum pada populasi usia

lebih dari 15 tahun adalah 340 per 200.000 penduduk pada tahun 2013. Di

Page 5: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

Provinsi Jawa Timur memiliki kasus TB terbanyak kedua setelah Provinsi

Jawa Barat (Kemenkes, 2011). Jumlah kasus baru TB di Kota Kediri pada

tahun 2012 berjumlah 531 kasus (Dinkes, 2013). Sedangkan jumlah penderita

TB di wilayah kerja Puskesmas Sukorame mengalami penurunan dari tahun

2013 yang berjumlah 40 menjadi 36 penderita pada tahun 2014 (Puskesmas

Sukorame, 2015).

Menurut Binongko (2012) dalam Maksalmina (2013), salah satu faktor yang

mempengaruhi penyakit TB Paru adalah status gizi. Status gizi adalah salah satu

faktor terpenting dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi. Pada keadaan gizi

yang buruk, maka reaksi kekebalan tubuh akan melemah sehingga kemampuan

dalam mempertahankan diri terhadap infeksi menjadi menurun.

Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi dan

lain-lain, akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan

terhadap penyakit termasuk TB Paru. Keadaan ini merupakan faktor penting yang

berpengaruh di negara miskin maupun berkembang, baik pada orang dewasa

maupun anak-anak (Manalu,2010). Orang dengan TB Paru aktif sering

kekurangan gizi dan mengalami defisiensi makronutrien serta penurunan berat

badan dan penurunan nafsu makan (WHO, 2012). Beberapa hasil penelitian yang

berkaitan dengan masalah TB Paru dan malnutrisi telah dilakukan antara lain:

pemberian diit Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP) dan obat TB pada penderita

TB yang di rawat di rumah sakit akan menghasilkan perbaikan secara klinis

berupa peningkatan berat badan (Binongko, 2012).

Adapun faktor-faktor lain yang mempengaruhi status gizi pasien TB Paru adalah

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), lama pengobatan, tingkat pendapatan, dan

Page 6: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

tingkat pendidikan. Berdasarkan hasil penelitian Pertiwi (2012), sebagian besar

para penderita TB Paru mempunyai kebiasaan atau perilaku yang tidak sehat,

seperti membuang dahak di sembarangan tempat dan tidak menutup mulut saat

batuk. Hasil penelitian Jayanti (2011) juga menunjukkan bahwa PHBS dalam

lingkungan keluarga berkorelasi positif dengan status gizi. Pengaruh lama

pengobatan juga terdapat pada penelitian Soemirat (2000), yaitu 15% pasien TB

memiliki status gizi buruk pada saat awal diagnosis dan setelah menjalani

pengobatan intensif selama dua bulan jumlah pasien yang mengalami gizi buruk

turun menjadi 8%. Menurut Soemirat (2000), faktor lain yang mempengaruhi

status gizi seseorang adalah tingkat pendapatan. Pendapatan per kapita pasien TB

Paru menjadi salah faktor yang berhubungan dengan status gizi pada pasien TB

Paru (Patiung, 2014). Tingkat pendidikan juga mempunyai hubungan yang

eksponensial dengan tingkat kesehatan. Semakin tinggi pendidikan semakin

mudah menerima konsep hidup sehat secara mandiri, kreatif, dan

berkesinambungan (Kartikasari, 2011).

Berdasarkan data di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian

mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi pasien Tuberkulosis Paru

di Puskesmas Sukorame dan Puskesmas Kota Wilayah Selatan Kota Kediri.

1.2 Rumusan Masalah

Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi pasien Tuberkulosis

Paru di Puskesmas Sukorame dan Puskesmas Kota Wilayah Selatan Kota Kediri

Page 7: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi pasien

Tuberkulosis Paru di Puskesmas Sukorame dan Puskesmas Kota Wilayah

Selatan Kota Kediri.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mendiskripsikan asupan energi, asupan makronutrien (karbohidrat dan

protein), lama pengobatan, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, perilaku

hidup bersih dan sehat (kebiasaan merokok, menutup mulut ketika batuk,

dan membuang ludah), serta status gizi pasien Tuberkulosis Paru di

Puskesmas Sukorame dan Puskesmas Kota Wilayah Selatan Kota Kediri.

2. Menganalisis hubungan asupan energi dan asupan makronutrien

(karbohidrat dan protein) dengan status gizi pasien Tuberkulosis Paru di

Puskesmas Sukorame dan Puskesmas Kota Wilayah Selatan Kota Kediri.

2. Menganalisis hubungan lama pengobatan dengan status gizi pasien

Tuberkulosis Paru di Puskesmas Sukorame dan Puskesmas Kota Wilayah

Selatan Kota Kediri.

3. Menganalisis hubungan tingkat pendidikan dengan status gizi pasien

Tuberkulosis Paru di Puskesmas Sukorame dan Puskesmas Kota Wilayah

Selatan Kota Kediri.

4. Menganalisis hubungan tingkat pendapatan dengan status gizi pasien

Tuberkulosis Paru di Puskesmas Sukorame dan Puskesmas Kota Wilayah

Selatan Kota Kediri.

Page 8: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

5. Menganalisis hubungan perilaku hidup bersih dan sehat (kebiasaan

merokok, menutup mulut ketika batuk, dan membuang ludah) dengan status

gizi pasien Tuberkulosis Paru di Puskesmas Sukorame dan Puskesmas Kota

Wilayah Selatan Kota Kediri.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Akademik

Penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang upaya

mencegah penularan dan penanganan penyakit TB Paru, serta dapat menjadi

tambahan referensi bagi peneliti lain dalam melakukan penelitian yang sejenis.

1.4.2 Manfaat Instansi

Puskesmas Sukorame, Puskesmas Kota Wilayah Selatan, dan Dinas Kesehatan

Kota Kediri mendapat tambahan informasi dan sebagai bahan masukan bagi

perencanaan program serta kebijakan dalam penanggulangan dan penanganan

Tuberkulosis Paru.

1.4.3 Manfaat Bagi Masyarakat

Memberikan informasi kepada masyarakat tentang perilaku yang baik untuk

mencegah penularan TB Paru.

Page 9: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis

2.1.1 Pengertian Tuberkulosis

Tuberkulosis yang dulunya disingkat menjadi TBC karena berasal dari

kata tuberkulosis, namun saat ini lazim disingkat dengan TB saja. Tuberkulosis

adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium

tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga

mengenai organ tubuh lainnya seperti kulit, ginjal, usus, tulang, selaput otak, dan

lain-lain. Semua jenis tuberkulosis ini sama-sama disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis dan obatnya pun pada dasarnya sama. Namun

Tuberkulosis paling sering ditemui terjadi di paru. Hal ini terjadi karena penularan

penyakit ini terutama terjadi melalui udara (Aditama, 1994)

2.1.2 Kuman Tuberkulosis

Kuman ini mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada

pewarnaan. Oleh karenanya disebut pula Basil Tahan Asam (BTA). Kuman ini

berbentuk batang, kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi

dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam

jaringan tubuh, kuman ini dapat dormant (tertidur lama) selama beberapa tahun

(Depkes RI, 2002 )

Mycobacterium tuberculosis mendapat energi dari oksidasi berbagai senyawa

karbon sederhana. Kenaikan tekanan CO2 memperbesar pertumbuhan. Ativitas

biokomia tidak khas dan laju pertumbuhan lebih lambat dari pada kebanyakan.

Page 10: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

Waktu penggadaan basil tuberkel adalah 12 jam atau lebih. Bentuk saprofit

cenderung tumbuh lebih cepat, berpoliferasi dengan baik pada suhu 22°C,

menghasilkan lebih banyak pigmen, dan kurang tahan asam dari pada bentuk

pathogen (E.Jawetz,dkk,1982)

2.1.3 Gejala-Gejala Tuberkulosis

Gejala klinis pasien TB adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih .

Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk

darah, sesak napas, badan lemas, nafsu makan menurun, malaise, keringat

malam hari tanpa kegiatan fisik, dan demam meriang lebih satu bulan

(Depkes,2006)

Gejala-gejala tersebut di atas dijumpai pula pada penyakit paru selain

tuberkulosis. Oleh sebab itu setiap orang yang datang ke unit pelayanan kesehatan

dengan gejala terebut di atas, harus dianggap sebagai seorang suspek Tuberkulosis

atau tersangka penderita TB dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara

mikroskopis langsung.

2.1.4 Mekanisme Terjadinya Penyakit TB Paru

Mekanisme penularan TB Paru dimulai dengan penderita TB Paru BTA (+)

mengeluarkan dahak berupa droplet nuklei ke lingkungan udara sebagai

aerosol (partikel yang sangat kecil sekali) yang mengandung kuman TB Paru.

Parikel aerosol ini terhirup melalui saluran pernafasan mulai dari hidung menuju

ke paru-paru tepatnya ke alveoli paru. Pada alveoli paru kuman TB Paru

mengalami pertumbuhan dan perkembangbiakan yang akan mengakibatkan

terjadinya destruksi paru. Bagian paru yang telah dirusak atau dihancurkan ini

akan berupa jaringan/sel-sel mati yang oleh karenanya akan diupayakan oleh paru

Page 11: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

untuk dikeluarkan dengan reflek batuk. Oleh karena itu pada umumnya batuk

karena TB adalah produktif, artinya berdahak. Dahaknya dengan demikian

menjadi khas, yaitu mengandung zat-zat kekuning-kuningan berbentuk butir-

butir/gumpalan dengan banyak basil TB di dalamnnya. (Danusantoso, 2001)

Kadang-kadang proses destruksi paru dapat berjalan dengan sempurna

sampai sebagian paru berubah menjadi sebuah lubang (kavitas) yang dapat

bervariasi besarnya dari kecil (1-3 cm) sampai besar (>3 cm) dan besar sekali

yang pada foto rontgen paru kelihatan seperti flek pada paru.

Respon lain yang dapat terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan. Dalam

proses ini bahan cair akan dibuang ke bronkus dan menimbulkan suatu

rongga. Bahan tuberkel yang dikeluarkan dari dinding rongga akan masuk ke

dalam percabangan trakea bronchial. Proses ini mungkin akan terulang

kembali dibagian lain dari paru-paru dan menjadi tempat peradangan aktif.

Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah.

Organisme yang melewati kelenjar getah bening dalam jumlah kecil akan

mencapai aliran darah yang kadang-kadang dapat menimbulkan lesi pada

berbagai organ. Jenis penyebaran ini dikenal dengan nama penyebaran

limphohematogen, yang biasanya sembuh sendiri. Jenis penyebaran hematogen

yang lain adalah fenomena akut yang biasanya menyebabkan Tuberkulosis

Milier. Ini terjadi apabila focus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga

banyak organisme masuk ke dalam sistem vaskuler dan tersebar ke organ-organ

tubuh.

Page 12: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

2.1.5 Sumber dan Cara Penularan

Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif, yang dapat menularkan

kepada orang yang berada di sekelilingnya, terutama kontak erat. Penderita

menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet) pada saat

penderita itu batuk atau bersin. Kuman yang disebarkan lewat droplet bisa

bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang lain dapat

terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Kuman TB

yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, dapat menyebar ke

bagian tubuh lain melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran

nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya.

Seorang penderita mempunyai daya penularan yang ditentukan oleh

banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif

hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Jika hasil

pemeriksaan dahak negatif, maka penderita tersebut tidak menular. Banyak

dijumpai pada penderita awam dengan kebiasaan meludah sembarangan. Ludah

yang didalamnya terdapat kuman tuberkulosa akan menyebar melalui media

udara. Peristiwa ini sangat potensial menimbulkan terinfeksinya orang lain yang

ada di sekitar sehingga menjadi penderita baru. Perilaku yang baik seperti

kepatuhan untuk kebiasaan menjemur perlengkapan tidur seminggu sekali dan

kepatuhan untuk berobat akan menuntun penderita ke arah pencegahan

penularan (Depkes,2000).

Resiko penularan dengan arti sebesar 1%, berarti setiap tahun diantara 1000

penduduk, 10 (sepuluh) orang terinfeksi. Dapat diperkirakan bahwa pada daerah

faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita TBC

Page 13: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya karena gizi buruk atau

HIV/AIDS ( Depkes, 2000)

Menurut WHO, riwayat terjadinya Tuberkulosis terbagi menjadi dua

bagian, yaitu: (Depkes, 2000)

a. Infeksi Primer

Pada saat orang pertama kali terpapar dengan kuman Tuberkulosis (TB) maka

itu dinamakan infeksi primer. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya,

sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilierbronkus, dan terus berjalan

sehingga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TB

berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru, yang

menyebabkan peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa

kuman TB ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai

kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks

primer adalah sekitar 4–6 minggu.

Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi dari

banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas

seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan

perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan

menetap sebagai kuman persisten atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya

tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam

beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita TB. Masa inkubasi

untuk penyakit ini sekitar 6 bulan.

Page 14: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

b. Post Primary Tuberculosis

Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau

tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun,

misalnya akibat infeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari

tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya

kapitas atau efusi pleura. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas system daya

tahan tubuh seluler (cellular imunity), sehingga bila terjadi infeksi oportunistik,

seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan

bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka

jumlah penderita TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di

masyarakat akan meningkat pula.

2.1.6 Kontak Erat

Kontak yang relatif erat antara penderita TB Paru BTA (+) dengan orang-

orang sehat yang ada disekitarnya akan mempercepat adanya penularan, sehingga

hal ini menjadi factor risiko terjadinya TB Paru yang penting, terutama jika

sumber ini tidak diobati. Penderita TB Paru yang tidak diobati, menurut

pernyataan WHO 50% akan meninggal setelah lima tahun, 25% akan sembuh

dengan sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi, 25% akan menjadi penderita

kronik sebagai carier (Depkes, 2000).

Banyak dari beberapa penelitian menyebutkan bahwa kontak diinfeksi oleh

kasus indeks sebelum kasus itu didiagnosa dan diobati (Feigin dan Cherry, 1992).

Sedangkan menurut Schlessberg (1983) dalam Sularso (1994), berpendapat

bahwa ada beberapa factor yang mempengaruhi terjadinya infeksi pada orang

yang pernah kontak dengan penderita TB Paru, yakni:

Page 15: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

a. Diketahuinya reaksi tes kulit positif pada penderita TB Paru sebelum kontak

dengan orang sehat akan mengurangi resiko keterpajanan.

b. Infeksi akan terjadi lebih besar jika hubungan kontak dengan penderita TB Paru

meningkat.

c. Infeksi akan mungkin terjadi karena adanya hubungan yang erat antara

penderita dengan kontak

2.1.7 Penemuan Penderita TB

1. Penemuan penderita tuberkulosis pada orang dewasa.

Penemuan penderita TB dilakukan secara pasif (pasif promotif case finding), yaitu

menjaring tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang dating ke Unit

Pelayanan Kesehatan (UPK). Penemuan secara pasif didukung dengan

penyuluhan secara aktif oleh petugas kesehatan maupun oleh masyarakat untuk

meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita. Selain itu semua kontak

penderita TB Paru BTA positif dengan gejala yang sama, harus diperiksa

dahaknya.

2. Penemuan penderita tuberkulosis pada anak

Penemuan penderita tuberkulosis pada anak merupakan hal yang sulit, sebagian

besar diagnosis tuberkulosis anak didasarkan atas gambaran klinis, gambaran

radiologis dan uji tuberkulin.

2.2 Klasifikasi Penyakit TB berdasarkan Hasil Dahak Mikroskopis

Menurut Depkes RI, 2005, Klasifikasi penyakit TB dibagi dalam :

A. Tuberkulosis paru BTA Positif

1. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA Positif.

Page 16: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

2. Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada

menunjukan gambaran tuberkulosis

3. Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif

4. Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen

dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasil BTA negatif dan tidak ada

perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT

B. Tuberkulosis paru BTA negatif

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB Paru BTA positif. Kriteria

diagnosis TB Paru BTA negatif harus meliputi :

1. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif

2. Foto toraks abnormal menunjukan gambaran tuberkulosis

3. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT

4. Ditentukan( (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

2.2.1 Tipe Penderita

Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada

beberapa tipe penderita yaitu :

1. Kasus baru, adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau

sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 hari).

2. Kambuh (relaps), adalah tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapatkan

pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,

kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.

3. Pindah (Transfe in), adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di

suatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita

pindah tersebut harus membawa surat rujukan/pindah

Page 17: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

4. Kasus berobat setelah lalai (pengobatan setelah default/drop out), adalah

penderita yang kembali berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif

setelah berobat (drop out) 2 bulan atau lebih.

5. Gagal, adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali

menjadi positif pada akhir bulan ke 5 atau lebih, atau penderita BTA negatif

rontgen positif yang menjadi BTA positif setelah menyelesaikan pengobatan

ulang dengan kategori 2.

2.2.2 Prognosis TB Paru

Pasien yang tidak diobati, setelah 5 tahun akan (Depkes, 2005) :

1. 50% meninggal

2. 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi

3. 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular.

2.2.3 Pelayanan Kesehatan

Perawatan di rumah sakit bukanlah suatu keharusan bagi penderita TB Paru

untuk sembuh dari penyakitnya, kecuali terdapat komplikasi. Waktu pengobatan

relatif akan berjalan lama yaitu sekurang-kurangnya 6 bulan dan bisa sembuh

dengan kepatuhan menjalankan nasihat dokter atau petugas kesehatan terlatih dan

teratur meminum obat sesuai petunjuk. Tempat pelayanan dapat berupa balai

pengobatan, Puskesmas, dan Rumah Sakit yang memberikan pelayanan dengan

tujuan a). membuat penderita sembuh, b) mencegah kematian kepada

penderita, c) agar tidak kambuh, dan d) untuk menurunkan resiko penularan

(Depkes, 2000).

Upaya pelayanan untuk mencegah timbulnya penyakit Tuberkulosis dapat

dilakukan pada usia dini yaitu dengan pemberian imunisasi pasa anak usia mulai 0

Page 18: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

bulan atau anak usia 6 tahun dan efek imunitasnya hanya berlangsung 6 tahun

atau kurang. Anak yang sejak usia 1 bulan mendapat suntikan imunisasi BCG

dapat meninggikan daya tahan tubuh terhadap kuman tuberkulosis yang virulen

(Depkes,2000). Strategi DOTS merupakan upaya penanggulangan TB Paru saat

ini. Program ini belum dapat menjangkau seluruh puskesmas, rumah sakit

pemerintah ataupun swasta dan unit pelayanan kesehatan lainnya.

2.3. Faktor Resiko Terjadinya Tuberkulosis

Faktor resiko yaitu semua variabel yang berperan timbulnya kejadian

penyakit. Pada dasarnya berbagai faktor resiko TB saling berkaitan satu sama

lain. Faktor resiko dapat dikelompokan dalam 2 kelompok yaitu faktor

kependudukan dan faktor resiko lingkungan. Faktor kependudukan terdiri dari

faktor karakteristik individu dan faktor sosial ekonomi sedangkan faktor resiko

lingkungan terdiri dari faktor fisik rumah dan faktor ketinggian wilayah

2.3.1 Faktor Karakteristik Responden

a. Umur

Tuberkulosis dapat menyebabkan kematian pada kelompok anak-anak dan

pada usia remaja. Kejadian infeksi Tuberkulosis pada anak usia dibawah 5 tahun

mempunyai risiko 5 kali dibandingkan anak usia 5-14 tahun. Infeksi dapat

dilawan dengan pertahanan tubuh dengan tujuan mencegah perkembangan

organisme kuman. Peristiwa ini tergantung dengan umur orang yang terinfeksi

dengan status nutrisinya dan keberadaan infeksi lain. Pertahanan tubuh sangat

lemah pada awal kelahiran dan akan meningkat secara perlahan-lahan pada usia

10 tahun pertama masa hidupnya (Crofton, 1992).

Page 19: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

Berdasarkan hasil penelitian di Singapura tahun 1987 menyatakan bahwa

sebanyak 31,1% penderita Tuberkulosis Paru berada pada usia 60 tahun atau

lebih dan 19,17% berada pada usia antara 40-59 tahun. Sedangkan hasil penelitian

di Brunei Darussalam tahun 1985 sebanyak 23,85% penderita TB berusia 60

tahun atau lebih dan 73,85% penderita berusia antara 15-69 tahun (Aditama,

1990). Penderita TB, 75% merupakan kelompok usia produktif antara usia

15-50 tahun (Depkes, 2000)

b. Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil penelitian di Singapura menyatakan bahwa sekitar 70%

penderita TB adalah laki-laki. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian di Brunei

Darussalam tahun 1985 sebanyak 72,11% penderita TB Paru adalah perempuan

dan 27,98 % penderita TB Paru adalah laki-laki (Aditama,1990). Pada

Negara maju angka kematian akibat Tuberkulosis pada kelompok umur 15-44

tahun tenyata lebih tinggi pada perempuan ketimbng laki-laki. Dipihak lain,

kemungkinan mendapat penularan ternyata lebih besar pada laki-laki dan

perempuan, bahkan mungkin perempuan lebih sering. Sementara itu dinegara

berkembang diperkirakan penderita TB laki-laki sama banyaknya dengan

perempuan, kendati data belumlah memadai (Aditama,2000)

c. Status Gizi

Status gizi perorangan akan juga berpengaruh dalam kejadian Tuberkulosis.

Upaya untuk menjaga, melindungi dan meningkatkan kesehatan dengan asupan

gizi yang memadai akan sangat bermakna agar dapat terhindar dari penularan TB

dan mempercepat kesembuhannya. Namun demikian untuk hal ini akan

Page 20: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

dipengaruhi juga dengan kemampuan secara ekonomi dari masing-masing

keluarga dan individu masing-masing (h t tp://www.gizikesehatan.com) .

d. Kondisi Sosial Ekonomi

WHO (2003) menyebutkan 90% penderita TB di dunia menyerang kelompok

sosial ekonomi lemah/miskin. Kondisi sosial ekonomi itu sendiri mungkin

tidak hanya berhubungan erat secara langsung, namun dapat merupakan penyebab

tidak langsung seperti adanya kondisi gizi buruk serta perumahan yang tidak

sehat dan akses terhadap pelayanan kesehatan juga menurun kemampuannya.

Menurut perhitungan rata-rata penderita TB kehilangan 3-4 bulan waktu kerja

dalam setahun. Secara total mencapai 30% dari pendapatan rumah tangga

(Achmadi, 2005)

2.3.2 Faktor Kuman Penyebab

Kuman penyebab tuberculosis paru adalah Mycobacterium tuberculosis.

Kuman berbentuk batang dan mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam

dan pewarnaan. Sehingga disebut sebagai basil tahan asam (BTA). Dalam

jaringan kuman dapat tertidur lama (dorman) selama beberapa tahun dan tumbuh

secara optimal pada suhu sekitar 37°C, sesuai dengan suhu tubuh manusia.

2.3.3 Faktor Lingkungan Fisik Rumah

Lingkungan yang kurang baik sebagai salah satu reservoir atau tempat yang

baik dalam menularkan penyakit menular seperti penyakit Tuberkulosis.Faktor

lingkungan erat kaitannya dalam penularan penyakit seperti lingkungan fisik,

biologi, ekonomi, social dan budaya (Soemirat, 2000).

Page 21: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

Suatu permukiman/perumahan sangat berhubungan dengan kondisi ekonomi,

sosial, tradisi/kebiasaan, suku, geografi dan kondisi lokal. Selain itu lingkungan

perumahan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat menentukan kulitas

lingkungan perumahan tersebut, antara lain fasilitas kesehatan, perlengkapan,

peralatan yang dapat menunjang terselenggaranya kesehatan fisik, kesehatan

mental, kesehatan sosial bagi individu dan keluarganya.

2.3.4 Perilaku

Perilaku penderita merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabakan

timbulnya masalah penyebaran Tuberkulosis. Seorang penderita rata-rata dapat

menulari 2-3 orang anggota keluaganya. Namun demikian pengetahuan dan

perilaku penderita dalam mencegah agar anggota keluarga tidak tertular

berpengaruh besar dalam upaya kesembuhan dan pencegahan penyakit

Tuberkulosis (Sukana, 1999). Perilaku manusia sangat berpengaruh dalam

menularkan penyakit menular terutama perilaku yang tidak positif, sehingga

lingkungan dapat berubah sedemikian rupa menjadi tempat yang ideal sebagai

tempat penularan penyakit. Perilaku penderita TB Paru BTA positif yang tidur

bersama-sama dalam satu tempat tidur/kamar dengan istri, suami, anak, dan

anggota keluarga lainnya dapat menularkan penyakit TB Paru sebanyak 68%

(Suhrjo, et al.1993).

Selama sakitnya, penderita Tuberkulosis dengan sputum BTA positif bisa

menularkan berpuluh-puluh orang sampai beratus-ratus oaring tetapi bisa juga

hanya 1-2 orang saja atau nihil. Untuk mempertahankan keadaan seimbang atau

agar prevalensi tetap sama, seorang penderita Tuberkulosis dengan sputum BTA

positif hanya perlu menulari 20 orang sehat, yang kemudian diantaranya satu

Page 22: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

orang akan menjadi pengganti sebagai sumber penularan baru setelah lama

menjadi sembuh/mati (Peetosutan,1996 ).

2.3.5 Kemiskinan

Penderita TB yang hidup di daerah urban dengan lingkungan sosial ekonomi

yang rendah/miskin mempunyai masalah dengan keuangan karena kehilangan

pekerjaan, pendapatan, dan mengeluarkan biaya transport untuk pengobatannya.

Tidak dapat bekerja karena penyakitnya sehingga tidak mempunyai penghasilan.

Sehingga TB memicu terjadinya kemiskinan atau sebaliknya kemiskinan

merupakan faktor yang berkontribusi untuk terjadinya TB Paru ( Karyadi, Elvina,

2001).

2.4 Tinjauan Umum Tentang Pola Konsumsi

Pola konsumsi atau disebut juga dengan pola makan adalah berbagai

informasi yang menggambarkan mengenai macam dan jumlah bahan makanan

yang dimakan tiap hari oleh satu orang yang merupakan ciri khas untuk suatu

kelompok masyarakat. Sedangkan yang dimaksud dengan kebiasaan makan

adalah tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi

kebutuhannya akan makan yang meliputi sikap, kepercayaan, dan pemilihan

makanan. Sikap orang terhadap makanan dapat bersifat positif atau negatif. Sifat

positif atau negatif terhadap makanan bersumber pada nilai-nilai affectif yang

berasal dari lingkungan (alam, budaya, sosial, ekonomi) dimana manusia atau

kelompok manusia itu berada.

Page 23: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

Kebiasaan makan dalam kelompok memberikan dampak pada distribusi

makanan antar anggota hampir selalu didasarkan pada status hubungan antar

anggota, bukan atas dasar-dasar pertimbangan-pertimbangan gizi. Pendidikan

gizi merupakan salah satu unsur penting dalam meningkatkan status gizi

masyarakat untuk jangka panjang. Melalui sosialisasi dan penyampaian pesan

gizi yang praktis akan membentuk suatu kesimbangan bangsa antara gaya

hidup dengan pola konsumsi masyarakat. Pengembangan pedoman gizi

seimbang adalah salah satu strategi dalam pencapaian perubahan pola konsumsi

makanan yang ada di masyarakat dengan tujuan akhir yaitu tercapainya status

gizi masyarakat yang baik.

Pedoman umum gizi seimbang (PUGS) adalah pedoman dasar tentang gizi

seimbang yang disusun sebagai penuntun pada perilaku konsumsi makanan di

masyarakat secara baik dan benar. PUGS digambarkan dalam logo berbentuk

kerucut. Dalam logo tersebut, bahan makanan dikelompokkan berdasarkan tiga

fungsi utama zat gizi, yaitu (Almatsier, 2006) :

1. Sumber energi atau tenaga, yaitu padi-padia atau serealia seperti beras,

jagung, dan gandum ; sagu; umbi-umbian seperti ubi, singkong dan talas; serta

hasil olahannya seperti tepung-tepungan, mie, roti, macaroni, havermout, dan

bihun.

2. Sumber protein, yaitu sumber protein hewani, seperti daging, ayam, telur,

susu, dan keju; serta sumber protein nabati seperti kacang-kacangan berupa

kacang kedelai, kacang tanah, kacang hijau, kacang merah, dan kacang tolo;

serta hasil olahanya seperti tempe, tahu, susu kedelai, dan oncom.

Page 24: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

3. Sumber zat pengatur berupa sayuran dan buah. Sayuran diutamakan yang

warna hijau dan kuning jingga, seperti bayam, daun singkong, daun katuk,

kangkung, wortel, dan tomat; serta sayur kacang-kacangan, seperti kacang

panjang, buncis, dan kecipir. Buah-buahan yang diutamakan yang berwarna

kuning jingga, kaya serat dan berasa asam, seperti papaya, mangga, nenas,

nagka masak, jambu biji, apel, sirsak, dan jeruk.

Angka Kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG) atau Recomended

Dietary Allowances (RDA) adalah tingkat konsumsi zat-zat gizi esensial yang

dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi hampir semua orang sehat di

suatu negara (Almatsier, 2009). Tujuannya adalah untuk acuan perencanaan

makanan dan menilai tingkat konsumsi makanan individu/masyarakat

(Azwar, 2002). AKG untuk Indonesia didasarkan atas patokan berat badan untuk

masing- masing kelompok umur, gender, dan aktivitas fisik yang ditetapkan

secara berkala melalui survey penduduk. AKG digunakan sebagai standar untuk

mencapai status gizi optimal bagi penduduk dalam hal penyediaan pangan

secara nasional dan regional serta penilaian kecukupan.

Untuk mengatahui kebiasaan atau pola konsumsi dari individu atau

perorangan, maka dapat digunakan metode food recall 24 jam (Supariasa,

2002). Prinsip dari metode recall 24 jam, dilakukan dengan mencatat jenis dan

jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Dalam

metode ini, responden disuruh menceritakan semua yang dimakan dan diminum

selama 24 jam yang lalu (kemarin). Biasanya dimulai sejak ia bangun pagi

kemarin sampai dia istirahat tidur malam harinya, atau dapat juga dimulai dari

waktu saat dilakukan wawancara mundur ke belakang sampai 24 jam penuh.

Page 25: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

Wawancara dilakukan oleh petugas yang sudah terlatih dengan menggunakan

kuesioner terstrukur. Hal penting yang perlu diketahui adalah bahwa dengan

recall 24 jam data yang diperoleh cenderung lebih bersifat kualitatif. Oleh

karena itu, untuk mendapatkan data kuantitatif, maka jumlah konsumsi makanan

individu ditanyakan secara teliti dengan menggunakan alat ukuran URT (sendok,

piring, gelas, dan lain-lain) atau ukuran lainnya yang biasa dipergunakan sehari-

hari. karena itu, recall 24 jam sebaiknya dilakukan berulang-ulang dan harinya

tidak berturut-turut. Kelebihan metode ini adalah, karena yang menyiapkan

model makanan dan mencatat adalah pewawancara, responden tidak dituntut

harus melek huruf. Hal yang mungkin menjadi sumber kesalahan, antara lain, (1)

orang tidak dapat mengingat dengan tepat, (2) makanan yang disantap kemarin

mungkin bukan makanan yang biasa disantap, (3) orang tidak sering melaporkan

makanan yang dapat memalukan, misalnya petai, atau alkohol, di samping

terlalu berlebihan dalam menyebutkan makanan yang mereka ketahui sebagai

makanan sehat, dan (4) wawasan pangan pewawancara tidak luas. Keberhasilan

menjaring informasi dengan cara ini bergantung pada daya ingat responden,

kemampuan responden dalam memperkirakan ukuran makanan yang telah

disantap (Arisman, 2007).

2.5 Tinjauan Umum Tentang Penilaian Status Gizi

Status gizi adalah keadaan kesehatan fisik seseorang atau sekelompok orang

yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari ukuran-ukuran gizi

tertentu (Supariasa, 2002). Gizi yang kurang menurunkan kekebalan tubuh pada

seseorang, sehingga akan mudah terjadi penyakit. Kekurangan protein dan kalori

serta zat besi, dapat meningkatkan resiko TB Paru. Daya tahan tubuh akan

Page 26: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

berfungsi dengan berfungsi dengan baik apabila pemenuhan gizi dan

makanan tercukupi dengan baik. Dalam hal ini perlu diperhatikan adalah

kualitas konsumsi makanan yang ditentukan oleh komposisi jenis pangan.

Keadaan nutrisi yang buruk dapat menurunkan resistensi terhadap tuberkulosis

baik pada penderita dewasa maupun anak-anak (Depkes, 2007).

Keadaan tubuh sangat dipengaruhi oleh komsumsi, penyerapan, dan

penggunaan makanan, oleh sebab itu susunan makanan yang memenuhi

kebutuhan gizi tubuh umumnya dapat menciptakan status gizi yang memuaskan,

hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya di Tanzania yaitu dari 499 pasien

TB diberikan asupanzat gizi (zink dan vitamin A) telah mengalami

peningkatan berat badan 0,8 Kg (Nyayogsa Range dkk, 2002).

2.8.1 Penilaian Status Gizi

Ada tiga cara yang dapat digunakan untuk menilai status gizi yitu survei

konsumsi pangan, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.

1. Survei Konsumsi

Konsumsi pangan adalah indikator pola pangan yang baik, dan tidak mengukur

status gizi dengan cara yang tepat dan ;angsung. Akan tetapi, suatu studi

komsumsi lebih sering digunakan hanya sebagai salah satu teknik untuk

menunjukkan tingkat keadaan gizi dari dipakai sebagai salah satu pengukur.

2. Pemeriksaan Fisik

Penilaian antropometri yang meliputi pengukuran tinggi badan, berat badan,

tebal lipatan kulit dan lingkar lengan merupakan teknik yang berharga untuk

digunakan sehubungan dengan pemeriksaan fisik guna menyaring individu

Page 27: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

untuk penilaian tersebut. Cara ini sangat mudah dilakukan sehingga biasanya

dicantumkan dalam semua macam penilaian.

3. Pemeriksaan Laboratorium

Cara pemeriksaan yang digunakan dalam penilaian status gizi, mempunyai

kemampuan untuk memberikan cara yang lebih tepat dan obyektif untuk menilai

status gizi. Teknik laboratorium yang paling sering digunakan adalah teknik

yang mengukur kandungan berbagai zat gizi dalam darah dan air seni.

Ada beberapa cara yang digunakan dalam pengukuran status gizi seseorang

terutama dalam menentukan berat badan ideal, salah satunya menggunakan

Indeks Massa Tubuh (IMT). Pengukuran antropometri yang paling mudah dan

paling sering dihubungkan dengan komposisi tubuh adalah Indek Massa Tubuh

(IMT). Perhitungan ini digunakan komposisi pada mereka dengan golongan usia

18 tahun atau lebih.

IMT = BB dalam kg / TB (dalam m2)

Tabel 2.1 Klasifikasi IMT Orang Dewasa Menurut WHO (2000)

Tabel 2.2 Batas Ambang IMT di Indonesia

Page 28: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

2.6 Hubungan Kebutuhan Gizi Dengan Tuberkulosis

Pada orang terinfeksi kuman Mycobacterium tuberculosis terjadi

gangguan sistem kekebalan pada tubuh. Gangguan sistem kekebalan tubuh pada

kondisi yang parah akan menyebabkan penurunan status gizi yang dapat

disebabkan oleh karena kurangnya asupan makanan yang disebabkan oleh

anoreksia, malabsorpsi, dan meningkatnya penggunaan zat gizi dalam tubuh.

Status gizi yang menurun sering dijumpai pada pasien Tuberkulosis termasuk

kehilangan lean body mass yang ditandai dengan penurunan berat badan.

Penyakit Tuberkulosis biasanya berhubungan dengan rendahnya kadar

mikronutrient serum seperti Zinc, Vitamin A, Vitamin C, Vitamin D, Vitamin E

(Kemenkes, 2014).

2.6.1 Kurang Energi Dan Zat Gizi Makro

Kurang energi dan zat gizi makro (protein dan karbohidrat) merupakan faktor

risiko berkembangnya Tuberkulosis Laten menjadi Tuberkulosis Aktif yang

berkaitan dengan sistem imunitas tubuh dan status gizi, serta mempermudah

terjadinya infeksi Tuberkulosis Primer/baru. Beberapa tanda dan gejala utama

antara lain kelaparan, anemia, hilangnya protein dan jaringan otot serta lemak

tubuh. Anoreksia, kaheksia dan tubuh yang lemah dapat meningkatkan risiko

Tuberkulosis dan sebaliknya Tuberkulosis dapat memperburuk status gizi. Pada

pasien dengan TB-HIV sering disertai diare yang dapat menyebabkan

kehilangan zat gizi makro dan mikro. Kurang energi dan protein akan

menurunkan imunitas sehingga dapat merusak efektivitas protektif vaksin BCG

(Kemenkes, 2014).

2.6.2 Kurang Zat Gizi Mikro

Page 29: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

Kekurangan energi dan zat gizi makro menyebabkan defisiensi Zinc, vitamin

A, vitamin C, vitamin D, dan Fe, serta mengakibatkan kerusakan imunitas sel

yang sangat kritis untuk melawan Tuberkulosis. Zat gizi mikro tersebut juga

sangat penting pada pencegahan resistensi OAT.

Pada pasien Tuberkulosis umumnya ditemukan gejala anemia, namun

pemberian Fe tidak dianjurkan. Beberapa penelitian melaporkan bahwa

pemberian Fe dapat menyebabkan multiplikasi kuman Tuberkulosis, sehingga

memperberat penyakit (Kemenkes, 2014).

2.7 Hubungan Lama Pengobatan Dengan Status Gizi Pasien Tuberkulosis Paru

Pengobatan Tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan)

dan fase lanjutan (4-7 bulan). Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa

ada hubungan antara lama sakit dengan ketidakpatuhan berobat pada penderita TB

Paru. Dimana juga terdapat hubungan antara ketidakpatuhan berobat dengan status

gizi pasien TB Paru. Penelitian pada pasien TB dengan usia ≥18tahun

menunjukkan 15% pasien TB memiliki status gizi buruk pada saat awal diagnosis

dan setelah menjalani pengobatan intensif selama dua bulan jumlah pasien yang

mengalami gizi buruk turun menjadi 8%. Penelitian yang dilakukan pada anak

berusia kurang dari lima tahun menunjukkan bahwa keberhasilan pengobatan

merupakan salah satu faktor yang mendukung terhadap peningkatan status gizi

(Soemirat, 2000).

2.8 Hubungan Status Sosial Eknomi Dengan Status Gizi Pasien Tuberkulosis Paru

WHO (2003) menyebutkan 90% penderita TB di dunia menyerang kelompok

sosial ekonomi lemah/miskin. Kondisi sosial ekonomi itu sendiri mungkin

tidak hanya berhubungan erat secara langsung, namun dapat merupakan penyebab

Page 30: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

tidak langsung seperti adanya kondisi gizi buruk serta perumahan yang tidak

sehat dan akses terhadap pelayanan kesehatan juga menurun kemampuannya.

Menurut Soemirat (2000), faktor lain yang mempengaruhi status gizi

seseorang adalah tingkat pendapatan. Pendapatan per kapita pasien TB Paru

menjadi salah faktor yang berhubungan dengan status gizi pada pasien TB Paru

(Patiung, 2014). Pendapatan keluarga dipengaruhi oleh jenis pekerjaan seseorang

yang akan mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-hari diantaranya

konsumsi makanan, pemeliharaan kesehatan selain itu juga akan mempengaruhi

terhadap kepemilikan rumah (Rohman, 2012) Tingkat pendidikan juga

mempunyai hubungan yang eksponensial dengan tingkat kesehatan. Semakin

tinggi pendidikan semakin mudah menerima konsep hidup sehat secara mandiri,

kreatif, dan berkesinambungan (Kartikasari, 2011). Latar belakang pendidikan

seseorang berhubungan dengan tingkat pengetahuan, jika tingkat pengetahuan gizi

seseorang baik maka diharapkan asuapan makan baik sehingga status gizinya juga

menjadi baik (Kartikasari, 2011).

2.9 Hubungan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Dengan Status Gizi Pasien

Tuberkulosis Paru

Faktor yang berpengaruh dalam penyebaran TB Paru dari kegagalan dalam

pengobatan secara tuntas adalah perilaku masyarakat sehingga setiap tahun selalu

ada kasus baru yang tercatat (Tobing, 2009). Menurut Suptriasa (2002), salah satu

yang mempengaruhi kesehatan adalah perilaku hidup bersih dan sehat, sehingga

jika seseorang memiliki perilaku hidup yang tidak sehat maka dapat terkena

penyakit infeksi dan terjadi penurunan status gizi. Berdasarkan hasil penelitian

Pertiwi (2012), sebagian besar para penderita TB Paru mempunyai kebiasaan atau

Page 31: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

perilaku yang tidak sehat, seperti kebiasaan merokok, membuang dahak di

sembarangan tempat, dan tidak menutup mulut saat batuk. Hasil penelitian

Jayanti (2011) juga menunjukkan bahwa perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)

dalam lingkungan keluarga berkorelasi positif dengan status gizi.

BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual

POLA KONSUMSI: - ASUPAN ENERGI- ASUPAN KARBOHIDRAT - ASUPAN PROTEIN

STATUS GIZI PASIEN TB PARU

FAKTOR EKONOMI: TINGKAT

PENDAPATAN

PERILAKU:- KEBIASAAN MEROKOK- KEBIASAAN MELUDAH- MENUTUP MULUT KETIKA BATUK

KARAKTERISTIK RESPONDEN:

- PENDIDIKAN- LAMA PENGOBATAN

Keterangan:

Menyebabkan

Diteliti

Gambar 3.1 Kerangka Konseptual

Page 32: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

Status gizi adalah keadaan kesehatan fisik seseorang atau sekelompok orang

yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari ukuran-ukuran gizi

tertentu (Supariasa, 2002). Gizi yang kurang menurunkan kekebalan tubuh pada

seseorang, sehingga akan mudah terjadi penyakit. Pada orang terinfeksi kuman

Mycobacterium tuberculosis terjadi gangguan sistem kekebalan pada tubuh.

Gangguan sistem kekebalan tubuh pada kondisi yang parah akan menyebabkan

penurunan status gizi yang dapat disebabkan oleh karena kurangnya asupan

makanan yang disebabkan oleh anoreksia, malabsorpsi, dan meningkatnya

penggunaan zat gizi dalam tubuh.

Kurang energi dan zat gizi makro (protein dan karbohidrat) merupakan faktor

risiko berkembangnya Tuberkulosis Laten menjadi Tuberkulosis Aktif yang

berkaitan dengan sistem imunitas tubuh dan status gizi, serta mempermudah

terjadinya infeksi Tuberkulosis Primer/baru.

Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ada hubungan antara lama

sakit dengan ketidakpatuhan berobat pada penderita TB Paru. Dimana juga

terdapat hubungan antara ketidakpatuhan berobat dengan status gizi pasien TB

Paru.

Menurut Soemirat (2000), faktor lain yang mempengaruhi status gizi

seseorang adalah tingkat pendapatan. Pendapatan per kapita pasien TB Paru

menjadi salah faktor yang berhubungan dengan status gizi pada pasien TB Paru

(Patiung, 2014). Tingkat pendidikan juga mempunyai hubungan yang

Page 33: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

eksponensial dengan tingkat kesehatan. Semakin tinggi pendidikan semakin

mudah menerima konsep hidup sehat secara mandiri, kreatif, dan

berkesinambungan (Kartikasari, 2011).

Menurut Suptriasa (2002), salah satu yang mempengaruhi kesehatan adalah

perilaku hidup bersih dan sehat, sehingga jika seseorang memiliki perilaku hidup

yang tidak sehat maka dapat terkena penyakit infeksi dan terjadi penurunan status

gizi. Berdasarkan hasil penelitian Pertiwi (2012), sebagian besar para penderita

TB Paru mempunyai kebiasaan atau perilaku yang tidak sehat, seperti kebiasaan

merokok, membuang dahak di sembarangan tempat, dan tidak menutup mulut

saat batuk. Hasil penelitian Jayanti (2011) juga menunjukkan bahwa perilaku

hidup bersih dan sehat (PHBS) dalam lingkungan keluarga berkorelasi positif

dengan status gizi.

3.2 Hipotesis Penelitian

3.2.1 Hipotesis Mayor

Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi pasien TB Paru di Puskesmas

Sukorame dan Puskesmas Kota Wilayah Selatan Kota Kediri diantaranya: asupan

energi, asupan makronutrien (karbohidrat dan protein), lama pengobatan, tingkat

pendidikan, tingkat pendapatan, perilaku hidup bersih dan sehat (kebiasaan

merokok, menutup mulut ketika batuk, dan membuang ludah).

3.2.2 Hipotesis Minor

1. Terdapat hubungan antara asupan energi dan makronutrien (karbohidrat dan

protein) dengan status gizi pasien Tuberkulosis Paru di Puskesmas Sukorame dan

Puskesmas Kota Wilayah Selatan Kota Kediri.

Page 34: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

2. Terdapat hubungan antara lama pengobatan dengan status gizi pasien

Tuberkulosis Paru di Puskesmas Sukorame dan Puskesmas Kota Wilayah Selatan

Kota Kediri.

3. Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan status gizi pasien

Tuberkulosis Paru di Puskesmas Sukorame dan Puskesmas Kota Wilayah Selatan

Kota Kediri.

4. Terdapat hubungan antara tingkat pendapatan dengan status gizi pasien

Tuberkulosis Paru di Puskesmas Sukorame dan Puskesmas Kota Wilayah Selatan

Kota Kediri.

5. Terdapat hubungan antara perilaku hidup bersih dan sehat (kebiasaan merokok,

menutup mulut ketika batuk, dan membuang ludah) dengan status gizi pasien

Tuberkulosis Paru di Puskesmas Sukorame dan Puskesmas Kota Wilayah Selatan

Kota Kediri.

Page 35: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik observasional dengan rancangan

penelitian kasus kontrol (case control study), merupakan penelitian epidemiologi

analitik observasional yang berusaha melihat ke belakang, artinya pengumpulan

data dimulai dari efek atau akibat yang telah terjadi (kasus), kemudian dari efek

tersebut ditelusuri ke belakang tentang penyebabnya atau variabel yang

mempengaruhi akibat tersebut (kontrol) (Albiner, 2010).

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Sukorame dan Puskesmas

Kota Wilayah Selatan Kota Kediri. Penelitian ini berlangsung pada tanggal 20

Agustus sampai dengan 27 Agustus 2015.

4.3 Populasi dan Sampel

4.3.1 Populasi Kasus

Semua orang sakit berusia ≥15 tahun yang berkunjung ke Puskesmas

Sukorame dan Puskesmas Kota Wilayah Selatan Kota Kediri dengan diagnosis

TB Paru (+) yang tercatat dalam catatan rekam medis dan berobat di Puskesmas

Sukorame dan Puskesmas Kota Wilayah Selatan Kota Kediri, yang berdomisili di

Page 36: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

Kota Kediri, dan berobat pada bulan Januari - Agustus 2015, yaitu sejumlah 28

orang.

4.3.1 Populasi Kontrol

Semua orang berusia ≥15 tahun yang berkunjung ke Puskesmas Sukorame dan

Puskesmas Kota Wilayah Selatan Kota Kediri dengan diagnosis TB Paru (-) yang

tercatat dalam catatan rekam medis dan berobat di Puskesmas Sukorame dan

Puskesmas Kota Wilayah Selatan Kota Kediri, yang berdomisili di Kota Kediri,

dan berobat pada bulan Januari-Agustus 2015, yaitu sejumlah 28 orang.

4.3.2 Karakteristik Sampel Penelitian

4.3.2.1 Sampel Kasus

1. Kriteria Inklusi

- Semua orang sakit berusia ≥15 tahun yang berkunjung ke Puskesmas

Sukorame dan Puskesmas Kota Wilayah Selatan Kota Kediri dengan

gejala klinis TB Paru (+), pemeriksaan BTA (+), dan Rontgen (+) yang

tercatat dalam catatan rekam medis dan berobat di Puskesmas Sukorame

dan Puskesmas Kota Wilayah Selatan Kota Kediri, yang berdomisili di

Kota Kediri , dan berobat pada bulan Januari - Agustus 2015, yaitu

sejumlah 28 orang

- Bersedia mengisi kuesioner

2. Kriteria Eksklusi

- Penderita berusia <15 tahun

Page 37: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

- Penderita tidak tinggal di alamat yang sesuai dengan yang tertulis pada

data Puskesmas Sukorame dan Puskesmas Kota Wilayah Selatan Kota

Kediri

- Penderita Tidak ada di tempat selama penelitian berlangsung

- Penderita menolak mengikuti penelitian

4.3.2.2 Sampel Kontrol

1. Kriteria Inklusi

- Semua orang sakit berusia ≥15 tahun yang berkunjung ke Puskesmas

Sukorame dan Puskesmas Kota Wilayah Selatan Kota Kediri dengan

gejala klinis TB Paru (-), pemeriksaan BTA (-), dan Rontgen (-) yang

tercatat dalam catatan rekam medis dan berobat di Puskesmas Sukorame

dan Puskesmas Kota Wilayah Selatan Kota Kediri, yang berdomisili di

Kota Kediri, dan berobat pada bulan Januari sampai Agustus 15, yaitu

sejumlah 28 orang

- Bersedia mengisi kuesioner

2. Kriteria Eksklusi

- Penderita berusia tahun <15 tahun.

- Penderita tidak tinggal di alamat yang sesuai dengan yang tertulis pada

data Puskesmas Sukorame dan Puskesmas Kota Wilayah Selatan Kota

Kediri

- Penderita Tidak ada di tempat selama penelitian berlangsung

- Penderita menolak mengikuti penelitian

4.3.3 Teknik Pengambilan Sampel

Page 38: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan total sampling

yaitu teknik pengambilan sampel dimana jumlah sampel sama dengan populasi

(Soekidjo, 2002:85). Alasan mengambil total sampling karena menurut Soekidjo

(2002) jumlah populasi yang kurang dari 100, sehingga seluruh populasi dijadikan

sampel penelitian semuanya

4.4 Variabel Penelitian

4.4.1 Variabel Bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah asupan energi, asupan

makronutrien (karbohidrat dan protein), lama pengobatan, tingkat pendidikan,

tingkat pendapatan, status pekerjaan, serta perilaku hidup bersih dan sehat

(kebiasaan merokok, menutup mulut ketika batuk, dan membuang ludah).

4.4.2 Variabel Terikat

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah status gizi pasien Tuberkulosa Paru.

4.5 Definisi Operasional

Tabel 4.1 Definisi OperasionalNo.

VariabelDefinisi

OperasionalCara

PengukuranSkala Kategori

1 Pendidikan Tingkat pendidikan formal terakhir yang diselesaikan.

Kuisioner Ordinal 0. Rendah (SD dan SMP)

1. Tinggi (SMA ke atas)

2. Tingkat pendapatan

Rata-rata jumlah pendapatan keluarga yang diperoleh tiap bulan

Kuesioner Ordinal 0. Pendapatan rendah (<Rp.1.500.000/bulan)

1. Pendapatan tinggi (≥Rp.1.500.000/ bulan)

3. Status Gizi Keadaan penderita dengan melihat indeks masa tubuh

Kuesioner Ordinal 0. Kurang jika IMT < 18,5

1. cukup jika IMT≥18,5

Page 39: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

4. Lama Pengobatan

Lama pasien menjalani pengobatan TB

Rekam medis Ordinal 0. <6 bulan1. ≥6 bulan

5. Asupan energi

Asupan energi yang diperoleh dengan metode food recall 3x24 jam terakhir dan hasilnya dinyatakan dalam % terhadap AKG

Form Food Recall 3x24 jam

Ordinal 0. Kurang <80% AKG

1. Baik ≥80% AKG

4. Asupan gizi makronutrient

Asupan protein dan karbohidrat yang diperoleh dengan metode food recall 3x24 jam terakhir dan hasilnya dinyatakan dalam % terhadap AKG.

Form Food Recall 3x24 jam

Ordinal 0. Kurang <80% AKG

1. Baik ≥80% AKG

5 Perilaku merokok

Kebiasaan merokok (Kegiatan responden dalam menghisap rokok yang dilakukan setiap hari dalam kurun waktu setahun)

Kuesioner Nominal 0. Merokok1. Tidak merokok

6. Perilaku membuang dahak

Kebiasaan membuang dahak yang dilakukan responden

Kuesioner Nominal 0. Buruk,membuang ludah selain wadah tertutup dan desinfektan

1. Baik, membuang ludah pada wadah tertutup dengan desinfektan

7 Perilaku menutup mulut ketika batuk

Kebiasaan menutup mulut ketika batuk

Kuesioner Nominal 0. Buruk, tidak menutup mulut ketika batuk

1. Baik, menutup mulut ketika batuk

Page 40: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

4.6 Tahapan Penelitian

Tahapan penelitian ini adalah peneliti mengumpulkan data dari laporan

penemuan pasien TB Paru mengenai jumlah kasus TB Paru di wilayah kerja

Puskesmas Sukorame dan Puskesmas Kota Wilayah Selatan Kota Kediri pada

periode Januari – Agustus 2015. Peneliti selanjutnya melakukan persiapan

mengenai perizinan penelitian ke Dinas Kesehatan Kota Kediri, Puskesmas

Sukorame dan Puskesmas Kota Wilayah Selatan Kota Kediri. Metode

pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan pengambilan data primer

melalui pengukuran antropometri (tinggi badan dan berat badan), kuesioner, dan

form food recall 3x24 jam yang telah disiapkan dan data sekunder berupa catatan

rekam medis yang ada di Puskesmas Sukorame dan Puskesmas Kota Wilayah

Selatan Kota Kediri (periode Januari-Agustus 2015). Responden diberitahukan

mengenai tujuan dari penelitian ini sebelum dilakukan pengambilan data dan

responden menyatakan kesediannya dengan mengisi lembar inform consent.

Setelah data terkumpul, selanjutnya dilakukan pengolahan data untuk selanjutnya

dilakukan analisis data dan pembahasan.

4.7 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan pengambilan

data primer melalui pengukuran antropometri (tinggi badan dan berat badan),

kuesioner, dan form food recall 3x24 jam yang telah disiapkan dan data sekunder

berupa catatan rekam medis yang ada di Puskesmas Sukorame dan Puskesmas

Kota Wilayah Selatan Kota Kediri (periode Januari-Agustus 2015).

4.8 Pengolahan Data

Page 41: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

1. Editing

Memeriksa kembali semua data yang telah dikumpulkan dengan tujuan

mengecek apakah hasilnya sudah sesuai dengan rencana atau tujuan yang

hendak dicapai.

2. Scoring

Peneliti melakukan pemberian skor pada tiap-tiap item jawaban.

3. Coding

Merupakan kegiatan pengubahan data lebih ringkas dengan menggunakan

kode yang dirumuskan untuk mempermudah dalam melakukan tabulasi dan

analisis data. Metode ini mengkonversikan data yang dikumpulkan selama

penelitian ke dalam simbol yang cocok untuk keperluan analisis terhadap

pertanyaan dan jawaban yang dianjurkan, sehingga dalam pengelolaan data

ini peneliti melakukan pemberian kode berupa angka untuk dimasukkan

pada tabel kerja untuk mempermudah pembacaan. Kemudian dari skor yang

didapatkan dapat dimasukkan ke dalam kategori yang sudah ditentukan.

4. Entry

Setelah semua kuisioner terisi penuh dan dilakukan pengkodean, maka

langkah selanjutnya adalah memproses data agar dapat dianalisis.

Pemrosesan data dilakukan dengan cara memasukkan data dari kuisioner ke

program komputer.

5. Tabulating

Setelah entry data kemudian data tersebut dikelompokkan dan ditabulasikan

sehingga diperoleh frekuensi dari masing-masing variabel.

Page 42: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

4.9 Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian adalah:

a. Analisis Univariat

Analisis univariat digunakan untuk menjabarkan secara deskriptif frekuensi

dan proporsi masing-masing variabel yang diteliti, baik variabel bebas maupun

variabel terikat.

b. Analisis Bivariat

Dilakukan untuk menganalisis hubungan antara asupan gizi, asupan

makronutrien (karbohidrat dan protein), lama pengobatan, tingkat pendidikan,

tingkat pendapatan, status pekerjaan, perilaku hidup sehat dengan status gizi

pasien TB Paru di Puskesmas Sukorame dan Puskesmas Kota Wilayah Selatan

Kota Kediri, dengan menggunakan uji Chi square dengan tabel kontingensi 2×2,

pada tingkat kepercayaan 95% (α= 0,05), dengan rumus sebagai berikut :

Keterangan :

= nilai chi-kuadrat

Oij = nilai hasil observasi

Eij = nilai harapan

Dasar pengambilan keputusan penelitian hipotesis (Budiarto, 2002):

Page 43: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

1) H0 diterima jika ≤ atau p value ≥ (α = 0,05)

2) H0 ditolak jika > atau p value < (α = 0,05 )

c. Analisis Multivariat

Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui variabel bebas dengan

variabel terikat yang mempunyai kemaknaan statistik pada analisis bivariat,

melalui analisis regresi logistik berganda untuk mencari faktor risiko yang paling

dominan pada beberapa variabel yang dilakukan secara bersama-sama terhadap

status gizi pasien TB Paru (Budiarto, 2002).

Page 44: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, U.F., 2005, Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah, PT. Kompas Media

Nusantara, Jakarta.

Aditama, T.Y., 2005, Tuberkulosis dan Kemiskinan, Majalah Kedokteran

Indonesia Vol. 55, No.2, Jakarta.

Aditama, T.Y., 2000, Tuberkulosis, Diagnosis, Terapi dan Masalahnya,

Laboratorium Mikrobakteriologi RSUP Persahabatan/ WHO Colaborating

Center For Tuberculosis, edisi.III, Jakarta.

Aditama, T.Y., 1994, Tuberkulosis paru, masalah dan Penanggulangan, UI-Press,

Jakarta.

Almatsier, 2006, Penuntun Diet Edisi Baru. Jakarta: PT. Gramedia.

Anderson, Sylvia, 1984, Patofisiologi, Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit,

EGC, Jakarta.

Azwar, Asrul, 1990, Pengantar Ilmu Kesling, Edisi Kelima, Mutiara Sumber

Widya, Jakarta.

Bachtiar, H.A., Achmadi, H.K. & Hartiyanti, Y., 2000, Metodologi Penelitian

Kesahatan Masyarakat UI, Depok

Bahar, Asril, 1993, TB Paru, Ilmu Penyakit Dalam II, hal. 715-719. Gaya Baru,

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta.

Basuki, Bastaman, 2000, Aplikasi Metode Kasus-Kontrol. Bagian Ilmu

Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Page 45: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

Dahlan, Ahmad, 2001, Faktor-Faktor Risiko Lingkungan yang Berhubungan

Dengan Kejadian Penyakit TB Paru BTA Positif (Sudi Kasus Kontrol) Di

Kota Jambi, Program studi Ilmu kesehatan Masyarakat, Program Pasca

Sarjana. Universitas Indonesia, Jakarta

Departemen Kesehatan RI, 2002, Prosedur kerja surveilans, faktor resiko

penyakit menular dalam intensifikasi pemberantasan penyakit Menular

Terpadu Berbasis Wabah, Jakarta.

Departemen Kesehatan RI, 2002, Pedoman Pemberantasan Penyakit Saluran

Pernapasan Akut untuk Penanggulangan Pneumonia pada Balita,

Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan

Lingkungan, Jakarta.

Departemen kesehatan RI, 2002, Pedoman Nasional Penanggulangan

Tuberkulosis Paru, Cetakan ke-1, Depkes RI,Jakarta.

Departemen Kesehatan RI, 1999, SK Mentri Kesehatan No.

829/Menkes/SK/IIV/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan,

Depkes RI, Jakarta.

Departemen Kesehatan RI, 1999, Pedoman Penanggulangan TB, Cetakan ke-4,

Jakarta.

Fx, Agus Budiyono , 2001, Faktor-Faktor Risiko Lingkungan yang Berhubungan

Dengan Kejadian Penyakit TB Paru BTA Positif (Sudi Kasus Kontrol) Di

Kota Tasikmalaya Jawa Barat, Program studi Ilmu kesehatan Masyarakat,

Program Pasca Sarjana. Universitas Indonesia, Jakarta.

Ganguly, NK et al, 2002, Tuberkulosis and Proverty. ICMR Bulletin, March

2002, Vol.32, 6 pages, New Delhi.

Page 46: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

Hastono, S.P., 2007, Analisa Data Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat

UI , Jakarta.

Hermain, 2002, Faktor-Faktor Risiko Lingkungan yang Berhubungan Dengan

Kejadian Penyakit TB Paru BTA Positif (Sudi Kasus Kontrol) Di Kota

Jambi, Program studi Ilmu kesehatan Masyarakat, Program Pasca Sarjana.

Universitas Indonesia, Jakarta.

Jawets, Melnick & Adelberg’s, 2005, Mikrobiologi Kedokteran, Salemba Medika,

Jakarta.

Jaya, 2000, Studi Kasus Kontrol Faktor Risiko Lingkungan terhadap Kejadian TB

Paru BTA (+) di Kabupaten Aceh Barat. Program Pasca Sarjana, Program

Stusi Ilmu Kesehatan Masyarakat Administrasi Dan Kebijakan Kesehatan,

Universitas Indonesia, Jakarta.

Jaryadi, 2001, Tuberculosis in Indonersia: Nutition, Immune, Response and Social

Aspect, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Bagian Pulmunologi,

Jakarta.

Kartikasari, 2011, Hubungan Pendidikan dan Pekerjaan Ibu dengan Status Gizi

Ibuh Hamil di Puskesmas Genuk Semarang. Fakultas Ilmu Kesehatan

Masyarakat, Semarang.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2014, Pedoman Pelayanan Gizi pada

Pasien Tuberkulosis, Jakarta.

Kusnoputranto, Dewi Susana, 2000, Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta.

Lemeshow, S.,1997, Besar Sampel Dalam Penelitian Kesehatan, Gajah Mada,

University Press, Yogyakarta.

Page 47: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

Mukono, H.,2000, Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan, AirLangga University,

Surabaya.

Notoatmodjo, Soekidjo, 2003, Promosi Kesehatan, Teori dan Aplikasinya, Rineka

Cipta, Jakarta.

Notoatmodjo, et al, 2001, Pendidikan, Promosi dan Perilaku Kesehatan, Program

Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Kekhususan PKIP, UI, Jakarta.

Notoatmodjo, Soekidjo, 1997, Pengantar Pendidikan Kesehatan Dan Ilmu

Perilakau, Andi Yogyakarta, Yogyakarta.

Peetosutan, Erwin, 1996, Rasional Pemeriksaan Bakteriologis Sputum Dalam

Penanggulangan Masalah Tuberkulosa, Majalah Kesehtan Masyarakat

Indonesia Tahun XXIV nomor 1, Jakarta.

Praktiknya, A.W., 2000, Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kedokteran Dan

Kesehatan. Cetakan Ke 3, Rajawali , Jakarta.

Samik, A., Wahab, Dasar Biologis & Klinis Penayaki Infeksi, Edisi Ke 4, Gajah

Mada Universiti Press, Jogjakarta.

Sarwono, Solita, 1993, Sosiologi Kesehatan, Fakultas Kesehatan, Gajah Mada

Press

Soedarto, 1990, Penyakit-Penyakit Infeksi Di Indonesia, Cetakan Pertama, Widya

Medika, Jakarta.

Soemirat, 2000, Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian TB Paru di

Wilayah Puskesmas Grobogan, Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat

Universitas Muhammadiyah Semarang.

Supariasa, 2002, Bachyar & Ibnu, Penilaian Status Gizi. Jakarta : Penerbit

Buku Kedokteran.

Page 48: KTI.bab 1 - 4 Dan Daftar Pustaka

Suharjo, et al 1993, Pengaruh Sikap dan Perilaku Penderita Dalam Penularan TB

Paru Di Lingkungan Keluarga, Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia,

tahun XXI, Nomor 3, Jakarta.

Tobing, 2009, Pengaruh Perilaku Penderita TB Paru dan Kondisi Rumah

Terhadap Pencegahan Potensi Penularan TB Paru Pada Keluarga di

Kabupaten Tapanuli. Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara,

Medan.