Kontroversi Hukum Rajam Di Indonesia
-
Upload
jamil-ihsan -
Category
Documents
-
view
326 -
download
2
Transcript of Kontroversi Hukum Rajam Di Indonesia
Kontroversi Hukuman Rajam di Indonesia Tugas Esai Mata Pelajaran Bahasa Indonesia
Membahas mengenai ketimpangan hukum yang terjadi di
NKRI dalam hal aplikasi hukuman rajam.
Jamil IhsanKelas XII IA 3
SMAN PLUS PROVINSI RIAU
Halaman 2 dari 9
Kontroversi Hukuman Rajam
di Indonesia Hukuman rajam adalah hukuman mati dengan cara dilempari batu. Cara
menghukum seperti ini tidak dilakukan kecuali dalam kasus yang sangat tercela dan
hanya bila penerima hukuman benar-benar terbukti dengan teramat meyakinkan
melakukan sebuah larangan yang berat.
Hukuman rajam sebenarnya sudah ada sejak para nabi dan rasul di masa lalu
sebelum era umat nabi Muhammad SAW. Hukuman seperti itu berlaku secara resmi
di dalam syariat Yahudi dan Nasrani (ahli kitab). Dan tidak dikutuk umat terdahulu
kecuali karena mereka meninggalkan hukum dan syariat yang telah Allah tetapkan.
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya petunjuk dan
cahaya, yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-
nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-
pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan
mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada
manusia, takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan
harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”
(QS. Al-Maidah: 44)
Allah SWT kemudian menghapus berbagai macam syariat yang pernah
diturunkan-Nya kepada sekian banyak kelompok umat kemudian diganti dengan satu
syariat saja, yaitu yang diturunkan kepada umat Muhammad SAW. Namun ternyata
Allah SWT masih memberlakukan hukuman rajam. Walaupun dengan pendekatan
yang jauh lebih moderat dan manusiawi.
Secara nalar akidah, dengan tetap diberlakukannya hukuman rajam oleh Allah
pada syariat umat Muhammad SAW, kita bisa meyakini bahwa bentuk hukuman
seperti ini memang dalam kasus-kasus tertentu masih diperlukan. Meski umat
manusia di abad 21 ini seringkali menginginkan dihapuskannya hukuman mati,
Halaman 3 dari 9
namun ternyata hukuman mati itu masih diperlukan, bahkan di beberapa negara
yang maju, masih berlaku dan tetap terjadi sampai sekarang.
Singapura yang sering dijadikan kiblat kemodernan di Asia Tenggara, hari ini
masih saja menghukum mati orang-orang yang dianggap melakukan pelanggaran
berat. Demikian juga Amerika Serikat yang sekarang mengangkat dirinya sebagai
polisi dunia dan simbol HAM, masih tetap memberlakukan hukuman mati. Maka
kalau Allah SWT memberlakukan hukuman rajam kepada umat Islam, tentu sangat
bisa diterima logika. Jangankan untuk abad ke-7 saat diberlakukan di dalam Al-
Quran, bahkan negara-negara modern pada abad 21 sekarang ini masih
memberlakukan hukuman mati.
Dan tentu sangat logis bila umat Islam dengan latar belakang kepatuhan dan
ketundukan kepada originalitas agamanya, pada hari ini masih memberlakukan
hukuman rajam buat pemeluk agamanya. Tidak ada cela dan cacat dalam
pelaksanaan hukuman seperti itu, apalagi kalau dibandingkan dengan tragedi
pembantaian massal yang dilakukan oleh negara maju terhadap dunia ketiga, maka
pelaksanaan hukuman rajam buat pelanggar kesalahan berat menjadi tidak ada
artinya.
Jika kita bandingkan dengan angka-angka pembantaian rakyat Vietnam,
Afghanistan, Kamboja, Bosnia, Shabra Shatila dan belahan muka bumi lainnya.
Sungguh apa yang dilakukan oleh super power dunia itu jauh lebih kejam dan sadis
ketimbang hukuman rajam, yang hanya menyangkut satu orang saja. Itupun
pelanggar susila berat, yaitu orang yang berzina dimana dia pernah menikah
sebelumnya.
Dalil tentang Kewajiban Merajam Pezina
Para ulama sepakat menyatakan bahwa pelaku zina muhshan (pelakunya
sudah pernah menikah sah sebelumnya) dihukum dengan hukuman rajam, yaitu
dilempari dengan batu hingga mati. Dalilnya adalah hadits Rasulullah SAW secara
umum yaitu:
“Dari Masruq dari Abdillah ra. berakta bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidak halal darah seorang
muslim kecuali karena salah satu dari tiga hal: orang yang berzina, orang yang membunuh dan orang
yang murtad dan keluar dari jamaah."
(HR Bukhari, Muslim, At-Tirmizy, An-Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad, Ad-Darimy)
Halaman 4 dari 9
Selain itu, sesungguhnya hukuman rajam ini pun pernah diperintahkan di
dalam Al-Quran, namun lafadznya dihapus tapi perintahnya tetap berlaku. Adalah
khalifah Umar bin Al-Khattab yang menyatakan bahwa dahulu ada ayat Al-Quran
yang pernah diturunkan dan isinya adalah:
الشيخ والشيخة إذا زنيا فارجموهما البتة
“Orang yang sudah menikah laki-laki dan perempuan bila mereka berzina, maka
rajamlah...”
Namun lafadznya kemudian dinasakh (dihapus), tetapi hukumnya tetap berlaku
hingga hari kamat. Sehingga bisa kita katakan bahwa syariat rajam itu dilandasi
bukan hanya dengan dalil sunnah, melainkan dengan dalil Al-Quran juga.
Zina adalah Kejahatan Berat dan Sangat Berbahaya
Berbeda dengan pandangan para penganut hedonisme dan pelaku pola hidup
permisif sekarang ini, dimana mereka beranggapan bahwa zina merupakan
kebutuhan biologis biasa, sehingga boleh-boleh saja dilakukan asal tidak ketahuan,
Allah, Tuhan Yang Menciptakan manusia, justru menegaskan bahwa zina adalah
kejahatan tingkat tinggi dan sangat berat ancamannya. Sehingga hukumannya pun
harus dibunuh, yaitu bagi mereka yang pernah menikah sebelumnya, atau dicambuk
100 kali bagi mereka yang belum pernah menikah sebelumnya.
Dan hak untuk mengatakan suatu tindakan itu adalah kejahatan adalah hak
prerogratif Sang Maha Pencipta. Bukan hak para seniman, atau ahli hukum, atau
pun manusia lainnya. Hak itu adalah hak Tuhan sepenuhnya. Persis sebagaimana
ketika Tuhan melarang Adam dan Hawa mendekati pohon khuldi. Pelanggaran atas
larangan itu berakibat fatal sehingga Adam as. dikeluarkan ke bumi.
Maka meski 6 milyar manusia mengatakan bahwa zina itu bukan pelanggaran
berat, tetapi Tuhan Sang Maha Pencipta justru mengatakan sebaliknya. Bahwa zina
adalah sebuah kekejian yang nyata, terkutuk dan terlaknat. Pelakunya berhak untuk
dihukum seberat-beratnya, yaitu dengan cara dirajam. Berarti diakhiri ajalnya dan
harus segera bertemu kembali kepada Pencipta-Nya, untuk mempertanggung-
jawabkan perbuatannya.
Halaman 5 dari 9
Semua itu adalah isi kitab suci buat semua umat manusia, baik Zabur, Taurat,
Injil maupun Al-Quran. Semua kitab suci yang turun dari langit sepakat bulat
mengatakan bahwa zina adalah kejahatan tingkat tinggi dan pelakunya wajib
dihukum mati (rajam).
Rajam dalam Syariat Islam
Rajam adalah hukuman mati dengan cara dilempar dengan batu. Karena
beratnya hukuman ini, maka dalam syariat yang Allah turunkan untuk umat
Muhammad SAW, sebelum dilakukan dibutuhkan syarat dan proses yang cukup
pelik. Syarat itu adalah terpenuhinya kriteria ihshah (muhshan) yang terdiri dari
rincian sebagai berikut:
1. Islam
2. Baligh
3. Akil
4. Merdeka
5. Iffah
6. Tazwij (sudah pernah menikah)
Maksudnya adalah orang yang pernah bersetubuh dengan wanita yang halal dari
nikah yang sahih. Meski ketika bersetubuh itu tidak sampai mengeluarkan mani. Ini
adalah yang maksud dengan ihshan oleh Asy-Syafi`iyah. Bila salah satu syarat di
atas tidak terpenuhi, maka pelaku zina itu bukan muhshan sehingga hukumannya
bukan rajam.
Penetapan Vonis Zina
Dalam syariat Islam, pelaksanaan rajam bisa dilakukan namun harus ada
ketetapan hukum yang sah dan pasti dari sebuah mahkamah syariah atau
pengadilan syariat. Dan semua itu harus melalui proses hukum yang sesuai pula
dengan ketentuan dari langit yaitu syariat Islam. Allah telah menetapkan bahwa
hukuman zina hanya bisa dijatuhkan hanya melalui salah satu dari dua cara:
a. Ikrar (Pengakuan dari Pelaku)
Pengakuan sering disebut dengan `sayyidul adillah`, yaitu petunjuk yang
paling utama. Karena pelaku langsung mengakui dan berikrar di muka hakim
bahwa dirinya telah berzina, maka tidak perlu adanya saksi-saksi.
Halaman 6 dari 9
Di zaman Rasulullah SAW, hampir semua kasus perzinahan diputuskan
berdasarkan pengakuan para pelaku langsung. Seperti yang dilakukan kepada
Maiz dan wanita Ghamidiyah.
Teknis pengakuan atau ikrar di depan hakim adalah dengan mengucapkannya
sekali saja. Seperti yang dikatakan oleh Imam Malik ra., Imam Asy-Syafi`i ra.,
Daud, At-Thabarani dan Abu Tsaur dengan berlandaskan apa yang dilakukan oleh
Rasulullah SAW kepada pelaku zina. Beliau memerintahkan kepada Unais untuk
mendatangi wanita itu dan menanyakannya, `Bila wanita itu mengakui
perbuatannya, maka rajamlah`. Hadits menjelaskan kepada kita bahwa bila
seorang sudah mengaku, maka rajamlah dan tanpa memintanya mengulang-ulang
pengakuannya.
Namun Imam Abu Hanifah ra. mengatakan bahwa tidak cukup hanya dengan
sekali pengakuan, harus empat kali diucapkan di majelis yang berbeda.
Sedangkan pendapat Al-Hanabilah dan Ishaq seperti pendapat Imam Abu Hanifah
ra., kecuali bahwa mereka tidak mengharuskan diucapkan di empat tempat yang
berbeda.
Bila orang yang telah berikrar bahwa dirinya berzina itu lalu mencabut kembali
pengakuannya, maka hukuman hudud bisa dibatalkan. Pendapat ini didukung oleh
Al-Hanafiyah, Asy-Syafi`iyyah dan Imam Ahmad bin Hanbal ra. Dasarnya adalah
peristiwa yang terjadi saat eksekusi Maiz yang saat itu dia lari karena tidak tahan
atas lemparan batu hukuman rajam. Lalu orang-orang mengejarnya beramai-
ramai dan akhirnya mati. Ketika hal itu disampaikan kepada Rasulullah SAW,
beliau menyesali perbuatan orang-orang itu dan berkata,
“Mengapa tidak kalian biarkan saja dia lari?” (HR. Abu Daud dan An-Nasai).
Sedangkan bila seseorang tidak mau mengakui perbuatan zinanya, maka
tidak bisa dihukum. Meskipun pasangan zinanya telah mengaku.
Dasarnya adalah sebuah hadits berikut:
“Seseorang datang kepada Rasulullah SAW dan berkata bahwa dia telah
berzina dengan seorang wanita. Lalu Rasulullah SAW mengutus seseorang untuk
memanggilnya dan menanyakannya, tapi wanita itu tidak mengakuinya. Maka
Rasulullah SAW menghukum laki-laki yang mengaku dan melepaskan wanita
yang tidak mengaku.” (HR Ahmad dan Abu Daud)
Halaman 7 dari 9
b. Adanya Saksi yang Bersumpah di Depan Mahkamah
Ketetapan bahwa seseorang telah berzina juga bisa dilakukan berdasarkan
adanya saksi-saksi. Namun persaksian atas tuduhan zina itu sangat berat, karena
tuduhan zina sendiri akan merusak kehormatan dan martabat seseorang, bahkan
kehormatan keluarga dan juga anak keturunannya. Sehingga tidak sembarang
tuduhan bisa membawa kepada ketetapan zina. Dan sebaliknya, tuduhan zina bila
tidak lengkap akan menggiring penuduhnya ke hukuman yang berat.
Syarat yang harus ada dalam persaksian tuduhan zina adalah:
1. Jumlah saksi minimal empat orang. Allah berfirman, “Dan terhadap wanita
yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di
antara kamu yang menyaksikan”. (QS. An-Nisa`: 15).
2. Bila jumlah yang bersaksi itu kurang dari empat, maka mereka yang
bersaksi itulah yang harus dihukum hudud. Dalilnya adalah apa yang
dilakukan oleh Umar bin Al-Khattab terhadap tiga orang yang bersaksi atas
tuduhan zina Al-Mughirah. Mereka adalah Abu Bakarah, Nafi’ dan Syibl bin
Ma`bad.
3. Para saksi ini sudah baligh semua. Bila salah satunya belum baligh, maka
persaksian itu tidak sah.
4. Para saksi ini adalah orang-orang yang waras akalnya.
5. Para saksi ini adalah orang-orang yang beragama Islam.
6. Para saksi ini melihat langsung dengan mata mereka peristiwa masuknya
kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan wanita yang berzina.
7. Para saksi ini bersaksi dengan bahasa yang jelas dan vulgar, bukan
dengan bahasa kiasan.
8. Para saksi melihat peristiwa zina itu bersama-sama dalam satu majelis dan
dalam satu waktu. Dan bila melihatnya bergantian, maka tidak syah
persaksian mereka.
9. Para saksi ini semuanya laki-laki. Bila ada salah satunya wanita, maka
persaksian mereka tidak sah.
Di luar kedua hal di atas, maka tidak bisa dijadikan dasar hukuman rajam,
tetapi bisa dilakukan hukuman ta’zir karena tidak menuntut proses yang telah
ditetapkan dalam syariat secara baku.
Halaman 8 dari 9
Dan syarat yang paling penting adalah bahwa perbuatan zina itu dilakukan di
dalam wilayah hukum yang secara formal menerapkan hukum Islam. Syarat lainnya
adalah bahwa hukuman zina itu hanya boleh dilakukan oleh pemerintah yang
berdaulat secara resmi. Bukan dilakukan oleh orang per orang atau lembaga swasta.
Ormas, yayasan, pesantren, pengajian, jamaah majelis taklim, perkumpulan atau pun
majelis ulama tidak berhak melakukannya, kecuali ada mandat resmi dari
pemerintahan yang berkuasa.
Sehingga semua kasus zina di Indonesia ini, tidak ada satu pun yang bisa
diterapkan hukum rajam, sebab secara formal pemerintah negara ini tidak
memberlakukan hukum Islam. Tentu saja perbuatan itu tetap harus
dipertanggungjawabkan di mahkamah tertinggi di alam akhirat nanti. Baik bagi
pelaku zina maupun penguasa yang tidak menjalankan hukum Allah.
Namun pada sisi lain dapat dikemukakan bahwa pro dan kontra terhadap hukuman
rajam sampai mati itu, merupakan sisa persoalan yang tak akan pernah habis-habisnya di
masa kini dan masa mendatang disebabkan perbedaan alas pikir dan pijak yang digunakan
untuk mengadili dan menolak dua hal tersebut berbeda. HAM dalam diskursus sekarang ini
di berbagai belahan dunia mengacu kepada DUHAM dan konvensi-konvensi internasional
lainnya, dan PBB sendiri juga meminta agar negara-negara anggota sebanyak mungkin
mengadopsi nilai-nilai di dalam DUHAM itu untuk menjadi bagian dari (isi) hukum nasional,
misalnya melalui proses ratifikasi berbagai konvensi internasional HAM. HAM dalam
diskursus tersebut tidak bersentuhan dengan aspek-aspek teologis atau keagamaan, dan
bersifat sekuler, sehubungan dengan konsep larangan negara mencampuri urusan agama.
Sifat HAM demikian lebih termaknai dalam relasi horizontal, individu dengan individu.
Sebaliknya, diskursus HAM dalam Islam mengacu kepada dimensi Tauhid dan relasi
manusia sekaligus. Karena itu, HAM dalam Islam dilihat sebagai urusan pemeluknya dengan
Tuhan (vertikal) namun juga memiliki aspek horizontal. Karena ada aspek vertikal itu, maka
“berhukum” atau acuan hukuman dalam Hukum Islam mengacu kepada Al-Quran yang
merupakan wahyu dari Tuhan (bandingkan dengan DUHAM yang merupakan konstruksi
manusia). Islam mengajarkan nilai tindakan seseorang tak lepas dengan keberadaan
seseorang itu sebagai Hamba Allah.
Karena itu, selalu akan ada kesulitan dalam upaya menyatu-padukan kedua hal
tersebut. Ada hal-hal yang memang sesuai antara DUHAM dengan kandungan Al-Quran
atau prinsip-prinsip Fiqih lainnya, namun ada juga yang tak bersesuaian antara satu dengan
yang lain. DUHAM merupakan hal yang pada suatu waktu mungkin saja berubah, namun
tidak ada kemungkinan perubahan sama sekali atas kandungan Al-Quran dan Hadis. Pada
Halaman 9 dari 9
akhirnya, orang akan masuk ke wilayah freedom (kebebasan) dan choice (pilihan, atau
memilih), dalam artian seseorang diberikan kebebasan-kebebasan untuk memilih, misalnya
A, B, atau C, namun mana pilihan yang diambil oleh orang itu adalah terserah kepada orang
itu sendiri.