Kontroversi di Seputar Otentisitas Nahwu

18
1 KONTROVERSI DI SEPUTAR OTENTISITAS NAHWU Oleh Muhbib Abdul Wahab خص البحث مل يعتفاتخت با صناعة أو علما حاف النحو ، لة النحو: ر حول أصا جدال يدو بينها ومنضمار ىذا ا رسطي؟ ونطق ا نانية، وخاصة باسفة اليوفل متأثرة بالرب ىو أم صناعةة الع أصناعث ث استخرجوا العرب ونحو صناعة أصيلة جاء بـها يرى أن الا ال. فأو ة أقو بـها)الشعر( ديوانـهم منرسطي،نطق اا ىي متأثرة باتة، وإ لنحو ليس صناعة عربية يقول إن الثا. وا والقرآن الكراعة نش النحو صنعل ث فيحاول أنلثالقول ا اللعشر. وأماتـو ا عن مقو وفضطورت أص وت أتك العربحتكاأثرت إثر ا ت ،فلسفي ال عينطقهم الطبي ند العربلغوي عيم الفكر الن صم م ىوخلرأي ا جوىره. فا بعض مناىجو رسطينطق ا با)ليونانيةا( لينيةفلسفة ا بال تواجة ماسة إ ستقبل ا الدراسة النحوية أنلهم إرجح، ال ا النحو تنظ ظيف النحو ب من استخداموكن الط ا ،لسفي علمي فو نظري يا سياقيا أكثر منوا تعليم جعلو ولغوية.راتـهم ال تطوير مهاKata Kunci: Kontroversi, Otentisitas Nahwu, Logika Natural, Logika Formal, Metode dan substansi nahwu. Pendahuluan Secara historis, nahwu merupakan ilmu bahasa Arab yang pertama kali menarik perhatian para ulama untuk mengkaji dan mengkodofikasikannya. Perhatian yang intens terhadap kodifikasi nahwu disebabkan oleh semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam. Pemeluk Islam semakin plural; Islam tidak hanya dianut oleh orang-orang Arab, tetapi juga dianut oleh orang-orang ‘ajam (non-Arab). Hal ini, menurut Tammâm Hassân (1918-sekarang), mengimplikasikan terjadinya banyak fenomena lahn (kesalahan berbahasa, incorrection) yang dikhawatirkan dapat merusak pembacaan dan pemahaman mereka terhadap bahasa Al-Qur‘an. 1 Penulis adalah Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa Arab (PBA) dan dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) dan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 1 Tammâm Hassân (selanjutanya disebut: Tammâm) menjelaskan setidak-tidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan munculnya nahwu, yaitu: agama, nasionalisme (Arab), dan politik. Faktor agama terlihat dari semangat umat Islam untuk senantiasa menjaga kemurnian (orisinalitas dan otentisitas) Al-Qur‘an dari berbagai kemungkinan penyimpangan dan manipulasi, dan sekaligus dari kesalahan yang dilakukan oleh para muallaf nonArab. Nahwu disusun dengan tujuan melayani kepentingan umat Islam untuk memahami dan memaknai Al-Qur‘an. Faktor nasionalisme Arab tercermin dari kegigihan umat Islam dan bangsa Arab untuk memajukan kebudayaan mereka dan sekaligus menunjukkan identitasnya sebagai peradaban baru di tengah pergumulannya dengan peradaban Sasanid dan Persia di sebelah Timur, peradaban Yunani, Yahudi, dan Romawi di Utara (Syâm) dan Barat (Mesir), dan peradaban India yang pengaruhnya sampai di Persia. Demikian pula

Transcript of Kontroversi di Seputar Otentisitas Nahwu

Page 1: Kontroversi di Seputar Otentisitas Nahwu

1

KONTROVERSI DI SEPUTAR OTENTISITAS NAHWU

Oleh Muhbib Abdul Wahab

ملخص البحثومن بينها جدال يدور حول أصالة النحو: ،بر النحو صناعة أو علما حافلا بالاختلافاتيعت

أصناعة العرب ىو أم صناعة متأثرة بالفلسفة اليونانية، وخاصة بالمنطق الأرسطي؟ وفي ىذا المضمار من ديوانـهم )الشعر( بـها ة أقوال. فأولها يرى أن النحو صناعة أصيلة جاء بـها العرب واستخرجوا ثلاث

والقرآن الكريم. والثاني يقول إن النحو ليس صناعة عربية بحتة، وإنما ىي متأثرة بالمنطق الأرسطي، أت وتطورت أصلا وفضلا عن مقولاتـو العشر. وأما القول الثالث فيحاول أن يجعل النحو صناعة نش

من صميم الفكر اللغوي عند العرب بمنطقهم الطبيعي لا الفلسفي، ثم تأثرت إثر احتكاك العرب بالفلسفة الهلينية )اليونانية( بالمنطق الأرسطي في بعض مناىجو لا في جوىره. فالرأي الأخير ىو

ظيف النحو لا تنظير النحو الأرجح، اللهم إلا أن الدراسة النحوية في المستقبل بحاجة ماسة إلى تو وجعلو نحوا تعليميا سياقيا أكثر من نحو نظري علمي فلسفي، مما يمكن الطلاب من استخدامو في

تطوير مهاراتـهم اللغوية. Kata Kunci: Kontroversi, Otentisitas Nahwu, Logika Natural, Logika Formal,

Metode dan substansi nahwu.

Pendahuluan

Secara historis, nahwu merupakan ilmu bahasa Arab yang pertama kali

menarik perhatian para ulama untuk mengkaji dan mengkodofikasikannya. Perhatian

yang intens terhadap kodifikasi nahwu disebabkan oleh semakin meluasnya wilayah

kekuasaan Islam. Pemeluk Islam semakin plural; Islam tidak hanya dianut oleh

orang-orang Arab, tetapi juga dianut oleh orang-orang ‘ajam (non-Arab). Hal ini,

menurut Tammâm Hassân (1918-sekarang), mengimplikasikan terjadinya banyak

fenomena lahn (kesalahan berbahasa, incorrection) yang dikhawatirkan dapat

merusak pembacaan dan pemahaman mereka terhadap bahasa Al-Qur‘an.1

Penulis adalah Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa Arab (PBA) dan dosen Fakultas Ilmu

Tarbiyah dan Keguruan (FITK) dan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 1Tammâm Hassân (selanjutanya disebut: Tammâm) menjelaskan setidak-tidaknya ada tiga

faktor yang menyebabkan munculnya nahwu, yaitu: agama, nasionalisme (Arab), dan politik. Faktor

agama terlihat dari semangat umat Islam untuk senantiasa menjaga kemurnian (orisinalitas dan

otentisitas) Al-Qur‘an dari berbagai kemungkinan penyimpangan dan manipulasi, dan sekaligus dari

kesalahan yang dilakukan oleh para muallaf nonArab. Nahwu disusun dengan tujuan melayani

kepentingan umat Islam untuk memahami dan memaknai Al-Qur‘an. Faktor nasionalisme Arab

tercermin dari kegigihan umat Islam dan bangsa Arab untuk memajukan kebudayaan mereka dan

sekaligus menunjukkan identitasnya sebagai peradaban baru di tengah pergumulannya dengan

peradaban Sasanid dan Persia di sebelah Timur, peradaban Yunani, Yahudi, dan Romawi di Utara

(Syâm) dan Barat (Mesir), dan peradaban India yang pengaruhnya sampai di Persia. Demikian pula

Page 2: Kontroversi di Seputar Otentisitas Nahwu

2

Dengan demikian, kodifikasi dan formulasi nahwu merupakan respons

terhadap banyaknya kelasahan berbahasa Arab yang dilakukan oleh kalangan non-

Arab di satu pihak, dan sebagai manifestasi teologis terhadap keperluan memelihara

orisinalitas dan otentisitas Al-Qur‘an yang saat itu belum bertitik, bertanda baca, dan

berharakat. Sejarah mencatat bahwa fenomena lahn mulai banyak bermunculan pada

pertengahan abad pertama hijriyyah. Fenomena ini tidak hanya terjadi di kalangan

non-Arab, tetapi di kalangan anak-anak orang Arab itu sendiri.2

Dalam perkembangannya, kajian nahwu ternyata cukup dinamis dan

berkembang pesat, sehingga melahirkan tidak hanya nuhât atau nahwiyyîn (para ahli

nahwu) dari kawasan yang mulanya bukan termasuk ―geolinguistik‖ Arab, tetapi

juga memunculkan banyak aliran seperti: Bashrah, Kûfah, Baghdâd, Andalusia,

Mesir, dan Syâm.3 Dinamika pemikiran linguistik ini, tentu saja, tidak dapat

dipisahkan dari al-Qur‘an sebagai poros studi Islam dan bahasa Arab. Dalam konteks

ini, Ramadhân ‗Abd al-Tawwâb (1930-2001) menyatakan bahwa ―Kalau saja tidak

faktor politik terlihat adanya fanatisme terhadap asal-asul kewilayahan, di samping juga adanya

stratifikasi sosial politik antara etnis Arab dan kaum mawâlî (etnis nonArab, warga kelas dua). Dalam

konteks ini, kodifikasi nahwu pada mulanya merupakan sebuah upaya pembelajaran bahasa bagi

nonArab untuk dapat memahami bahasa Arab sebagai bahasa politik pada masa itu, dan sekaligus

untuk kepentingan atau tujuan memahami sumber-sumber ajaran Islam. Lihat Tammâm Hassân, al-

Ushûl: Dirâsah Epistîmulûjiyyah li al-Fikr al-Lughawî ‘inda al-‘Arab (al-Nahwu – Fiqh al-Lughah –

al-Balâghah), (Kairo: ‗Âlam al-Kutub, 2000), Edisi Revisi, h. 23-28. 2Pada masa itu tampillah Abu al-Aswad al-Du‘alî (w. 69 H) merespon fenomena lahn, terutama

dalam pembacaan ayat-ayat Al-Qur‘an dengan membuat titik sebagai tanda baca: dhammah (the point

vowel for u), fathah (the vowel point for a), kasrah (the point vowel for i) yang diletakkan pada akhir

setiap kata dalam Al-Qur‘an. Akan tetapi, usaha ini belum banyak menyelesaikan persoalan karena

pada saat itu Al-Qur‘an belum beritik dan berharakat seperti yang ada sekarang ini. Namun demikian,

usaha ini dinilai sebagai cikal bakal lahirnya ilmu nahwu. Lihat Muhammad ‗Abd al-Lathîf, ―Da‘awât

al-Tajdîd wa al-Taisîr fi al-Lughah al-‗Arabiyyah‖, diakses dari www.islamonline.com, 23 Mei 2006.

Di antara ayat Al-Qur‘an yang pernah dibaca secara salah adalah ن الله بريء من المشركين ورسولهأ (QS. al-Taubah [9]: 3). Kata ورسوله dibaca kasrah –paralel dengan kata sebelumnya, المشركين— padahal seharusnya dibaca dhammah. Setelah mendapat laporan dari seorang Arab Badui mengenao

lahn dalam pembacaan ayat tersebut, khalifah ‗Umar lalu memerintahkan agar periwayatan

pembacaan Al-Qur‘an itu hanya dibolehkan bagi orang yang menguasai bahasa saja. Menurut riwayat,

sejak masih hidup, Nabi Muhammad Saw. pernah memberikan nasehat kepada para shahabatnya:

Berilah petunjuk/pengetahuan kepada saudaramu karena dia telah melakukan) أرشدوا أخاكم فقد ضل

kesalahan). Lihat Sa‘îd al-Afghânî, Min Târîkh al-Nahwi, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), Cet. II, h. 9-10;

dan Hâzim Sulaimân al-Hullî, ―Taisîr al-Nahwi ila ‗Ashr Ibn Madhâ‘‖, diakses dari

http://www.arabization.org.ma/downloads/ majalla/41.doc, 20 April 2007. 3Mengenai aliran, karakteristik berikut tokoh-tokohnya, lihat Syauqî Dhaif, al-Madâris al-

Nahwiyyah, (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, 1976), Cet. III; dan Thalâl ‗Alâmah, Tathawwur al-Nahwi al-

‘Arabî fi Madrasatay al-Bashrah wa al-Kûfah, (Beirût: Dâr al-Fikr al-Lubnânî, 1993): dan ‗Azîzah

Fawwâl Babtî, Min Târîkh al-‘Arabiyyah, (Tripoli-Lebanon: Dâr al-Insyâ‘, 1983).

Page 3: Kontroversi di Seputar Otentisitas Nahwu

3

ada Al-Qur‘an niscaya bahasa Arab tidak akan eksis dalam bentuknya seperti

sekarang ini (لولا القرآن لما كانت العربية) .‖

Al-Qur’an sebagai Poros Kajian Nahwu

Al-Qur‘an merupakan acuan nilai, sumber inspirasi dan motivasi berbagai studi

ilmu-ilmu keislaman dan bahasa Arab. Mempelajari nahwu bukan sedekar untuk bisa

membaca al-Qur‘an, tetapi juga memahami, menafsirkan ayat-ayat al-Qur‘an, dan

mengambil kesimpulan hukum-hukum agama yang terkandung di dalamnya. Semua

studi yang terkait dengan al-Qur‘an, seperti tafsir, fiqh, ushûl fiqh, ‘ulûm al-Qur’ân,

tasawuf, dan sebagainya pada dasarnya didedikasikan untuk memahami,

menafsirkan, menghayati, dan meningkatkan kualitas pengamalan ajaran Islam

dalam kehidupan sehari-hari‖.4 Karena itu, posisi nahwu dalam bingkai ilmu-ilmu

keislaman adalah ilmu alat (’ilm al-âlah) atau ilmu bantu yang, antara lain, menjadi

salah satu syarat yang harus dikuasai oleh mufassir (penafsir al-Qur‘an).

Kajian dan penelitian tentang nahwu tidak hanya mengantarkan kita kepada

perkenalan dengan berbagai madzhab (aliran) nahwu, sebagaimana madzhab fiqh,

tetapi juga memperlihatkan kepada kita betapa nahwu menjadi ―lapangan terbuka‖

bagi penambangan dan pengembangan pemikiran linguistik (al-fikr al-lughawî) di

satu segi, dan di segi yang lain, warisan pemikiran nahwu dari thabaqah (generasi,

angkatan) pertama pada akhir abad pertama Hijriyyah hingga generasi ketujuh pada

abad ketiga hijriyyah, menurut Tammâm, ternyata memperlihatkan sebuah jaringan

keilmuan (scientific networking) yang takterpisahkan satu sama lain dan saling

melengkapi, meskipun di antara para tokoh nahwu terjadi perbedaan pendapat dan

―baku kritik‖.5 Hal ini menunjukkan bahwa nahwu memiliki daya tarik tinggi

4 Ramadhân ‗Abd al-Tawwâb, Fushûl fi Fiqh al-‘Arabiyyah, (Kairo: Maktabah al-Khânijî,

1987), Cet. III, h. 108-9. 5 Menurut Tammâm, para nuhât memiliki ―nasab keilmuan‖ yang jelas, sehingga membentuk

semacam ―pohon keilmuan‖ yang bercabang dan berdahan lebat. Hal ini kemudian mengundang para

ulama untuk menulis sejarah, aliran pemikiran, dan karakateristiknya. Misalnya saja, Akhbâr al-

Nahwiyyîn al-Bashriyyîn karya al-Sîrâfî (w. 368 H); Marâtib al-Nahwiyyîn karya Abu al-Thayyib al-

Lughawî (w. 351 H); Thabaqât al-Nahwiyyîn wa al-Lughawiyyîn karya al-Zubaidî (316-379 H); dan

Bughyat al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyîn wa al-Nuhât karya al-Suyûthî (w. 911 H).

―Pohon tokoh‖ nahwu itu diilustrasikan Tammâm berpangkal dari ‗Alî ibn Abî Thâlib (w. 40

H), dilanjutkan oleh Abu al-Aswad al-Du‘alî, Yahya ibn Ya‘mur (w. 129 H), lalu Abû ‗Amr ibn al-

‗Alâ‘ (w. 154 H) dan Ibn Abî Ishâq (w. 117 H), lalu ‗Îsa ibn ‗Umar (w. 149 H) yang memiliki banyak

murid seperti al-Khalîl ibn Ahmad, Sîbawaih, al-Ru‘âsî (187 H), dan Abû Zaid al-Anshârî (w. 215 H).

Selain itu, Sîbawaih juga berguru kepada al-Khalîl, Yûnus ibn Habîb al-Bashrî (w. 186 H), dan al-

Page 4: Kontroversi di Seputar Otentisitas Nahwu

4

sehingga menyedot banyak perhatian, tidak hanya dari kalangan bangsa Arab, tetapi

juga non-Arab.

Menarik dicatat bahwa sejarah perkembangan ilmu-ilmu bahasa Arab

membuktikan bahwa perhatian penelitian bahasa pada mulanya lebih banyak

difokuskan pada upaya pemahaman kalam (fahm al-kalâm) daripada memproduksi

wacana pemikiran (intâj al-kalâm). Hal ini, menurut Tammâm, dibuktikan oleh

terlambatnya kemunculan ilmu balâghah daripada ilmu nahwu. Demikian pula

kajian morfologi, tatakata (‘ilm al-sharf) dan sintaksis, tatakalimat (‘ilm al-nahwi)

dalam linguistik modern, menurut Tammâm, jauh lebih dini dikembangkan daripada

kajian semantik (‗ilm al-dalâlah).6 Dengan kalimat lain, kajian nahwu idealnya tidak

berhenti pada tataran analisis struktur teks, melainkan juga dapat dijadikan sebagai

media untuk memahami dan mengembangkan makna teks dalam bentuk pemikiran

yang lebih aplikatif dan kontekstual.

Sementara itu, al-Qur‘an merupakan teks berbahasa yang paling otentik dan

otoritatif, sehingga pergumulan dengan teks al-Qur‘an dipastikan memberikan

pelajaran berbagai disiplin ilmu, termasuk ilmu-ilmu bahasa Arab. Oleh karena itu,

menjadi relevan ditegaskan, sebelum mengkaji sisi kontroversi nahwu, bahwa nahwu

lahir dari ―rahim teks‖ al-Qur‘an, dan didedikasikan untuk menjaga dan melestarikan

kemurnian, otentisitas dan orisinalitas al-Qur‘an.

Nahwu Tidak Murni Karya Ulama Arab?

Selain masalah definisi, otentisitas nahwu juga ―digugat‖ oleh sebagian

kalangan, antara lain orientalis Jerman, Adalbertus Merx (1889), Rundgren (1976),

Versteegh (1993), dan beberapa penulis Arab yang mendasarkan pendapatnya pada

sinyalemen ‗Abu ‗Alî al-Fârisî (w. 377 H) terhadap al-Rummânî (296-384 H) yang

Akhfasy al-Akbar (w. 177 H). Demikian pula, al-Kisâ‘î (w. 189 H) salah seorang murid al-Akhfasy

al-Awsath (w. 221 H) juga berguru kepada al-Khalîl, al-Ru‘âsî, dan Yûnus ibn Habîb al-Bashrî.

Silsilah dan nasab keilmuan ini berlanjut hingga Ibn Mâlik (600-672 H) dan Ibn Hisyâm al-Anshârî

(708-761 H). Jaringan keilmuan itu dapat terbentuk, antara lain, karena tradisi keilmuan melalui

periwayatan (al-‘ilm bi al-riwâyah), sebagaimana dalam ilmu hadits, sangat kuat. Jaringan tokoh

nahwu lebih rinci, lihat Tammâm Hassân, al-Lughah Baina al-Mi’yâriyyah wa al-Washfiyyah,

(Kairo: ‗Âlam al-Kutub, 2001), h. 164-166; dan Muhammad al-Thanthâwî, Nays’at al-Nahwi wa

Târîkh Asyhar al-Nuhât, (Mekkah: Maktabah Ihyâ‘ al-Turâts al-Islâmî, 2002), Cet. I, h. 60+passim. 6 Tammâm, Maqâlât fi al-Lughah wa al-Adab, Jilid II, (Kairo: ‗Âlam al-Kutub, 2006), Cet. I,

h. 210.

Page 5: Kontroversi di Seputar Otentisitas Nahwu

5

dinilainya agak berlebihan dalam memasukkan unsur filsafat dalam kajian nahwu.

Ada yang berpendapat bahwa beberapa aspek nahwu Arab merupakan hasil adopsi

atau adaptasi dari gramatika Yunani. Lebih dari itu, dapat dinyatakan pula bahwa

logika Aristoteles cukup mewarnai berbagai terma dan kategorisasi dalam kaidah

nahwu.

Kontroversi di seputar kemunculan dan perkembangan nahwu cukup menarik,

dan menyedot banyak perhatian. Namun demikian, yang menjadi substansi

permasalahan utamanya adalah mengapa dan bagaimana nahwu itu muncul dan

berkembang? Apa landasan atau dalil-dalil (adillah) epistemologi yang mendasari

perumusan dan pembakuan kaidah-kaidah nahwu itu merupakan hasil temua asli para

linguis Arab karena logika naturalnya ataukah sekedar meniru dalil-dalil

epistemologi dan logika (filsafat) yang telah ada sebelumnya (filsafat Yunani)?

Dalam konteks itu, ‗Abduh al-Râjihî (1937-sekarang) berpendapat bahwa

secara historis nahwu tumbuh dan berkembang dalam suasana intelektual umum

(munâkh aqlî ‘âmm) atau sesuai dengan logika natural (al-manthiq al-thabî’î)

sebagai acuan dasar-dasar metodologisnya. Qirâ’ât (ragam bacaan) al-Qur‘an

merupakan naql (penukilan) murni yang disandarkan pada riwayat; dalam hal ini

naql menjadi acuan bagi dasar-dasar nahwu. Pada saat yang sama, ushûl al-fiqh dan

ilmu kalam tumbuh dalam situasi pemikiran rasional, bahkan filosofis. Corak

rasional ini juga turut mewarnai penafsiran terhadap fenomena linguistik

(penggunaan bahasa Arab). Dengan kata lain, metode nahwu pada awal

pertumbuhannya bukan murni naql dan juga bukan murni ‗aql (rasional).7 Metode

nahwu merupakan perpaduan antara naql, seperti tercermin dalam prinsip al-simâ

atau al-samâ (periwayatan dari sumber terpercaya, penyaksian dan pengamatan

langsung terhadap praktik berbahasa Arab) dan penggunaan nalar (‘aql), seperti

terlihat pada prinsip atau dalil al-qiyâs (analogi) dan penjelasan-penjelasan dalam

bentuk i’lâl, ta’lîl, dan taqdîr (perkiraan) yang bernuansa spekulatif atau filosofis.

7 ‗Abduh al-Râjihî, al-Nahwu al-‘Arabî wa al-Dars al-Hadîts: Bahts fi al-Manhaj, (Beirut: Dâr

al-Nahdhah al-‗Arabiyyah, 1986), h. 19-20.

Page 6: Kontroversi di Seputar Otentisitas Nahwu

6

Pada masa kodifikasi (tadwîn)8, nahwu dinilai belum memberikan batasan-

batasan yang jelas mengenai tingkatan analisisnya. Tingkatan analisis (mustawayât

al-tahlîl) ini pada masa Sîbawaih masih bercampur baur dengan studi fonologi

(ashwât), morfologi (sharaf), dan nahwu itu sendiri.9 Dengan kata lain, lingkup

kajian nahwu pada masa itu belum dibatasi dan dirumuskan secara distingtif.

Masalah keterpengaruhan nahwu dengan filsafat Yunani merupakan persoalan

yang cukup substansial karena menyangkut metode penelitian dan substansi nahwu

itu sendiri. Jika nahwu dinilai banyak dipengaruhi oleh filsafat, maka dengan

sendirinya metode maupun substansi nahwu itu menjadi tidak otentik dan orisinal

atau tidak tipikal bahasa Arab. Selain itu, perlu ditegaskan bahwa logika Aristoteles

itu lebih memperhatikan aspek formal (al-janib al-syaklî/al-shûrî) daripada aspek

substansial (al-janib al-jauharî). Sementara itu, penelitian bahasa itu harus

difokuskan pada aspek substansial (materi) daripada aspek formal. Jika benar bahwa

logika Aristoteles berpengaruh signifikan terhadap nahwu, maka penelitian nahwu

menjadi semakin jauh dari realitas bahasa yang sebenarnya.10

Perlu ditegaskan bahwa pada masa perkembangan awalnya, nahwu tidak

pernah bersentuhan langsung dengan filsafat Yunani. Sejarah membuktikan bahwa

pada masa kodifikasi itu, pengaruh logika Aristoteles sama sekali tidak ditemukan di

8 Dalam sejarahnya, nahwu mengalami empat tahapan atau masa penting, yaitu: (a) masa

pembuatan dan pembentukan (thawr al-wadh’i wa al-takwîn), (b) masa pertumbuhan dan

perkembangan (thawr al-nusyû’ wa al-numuww, (c) masa kematangan dan kesempurnaan (thawr al-

nudhûj wa al-kamâl, dan (d) masa pentarjihan dan penyederhanaan dalam penulisan. Pembabakan

masa perkembangan nahwu oleh al-Thanthâwi tersebut, sayangnya, tidak dibarengi dengan penentuan

rentang waktu yang jelas. Tahapan pertama dimulai dari masa Abu al-Aswad al-Dualî hingga masa

Khalîl ibn Ahmad (w. 175 H). Masa ini sepenuhnya menjadi ―hegemoni‖ madzhab Bashrah. Pada

masa ini istilah nahwu digunakan untuk menunjukkan sharaf dan nahwu.

Masa kedua dimulai dari masa al-Khalîl hingga masa awal al-Mâzinî (w. 249 H., Bashri) dan

Ibn al-Sikkît (w. 244 H., Kufi). Sharaf belum terpisah dari nahwu. Pada masa ini terjadi kodifikasi

atau penyusunan buku-buku nahwu. Di antaranya yang terbesar adalah al-Kitâb karya Sîbawaih.

Masa ini ditandai juga oleh maraknya perdebatan (munâzharah) atau adu argumentasi nahwu aliran

Bashrah dan Kûfah, utamanya antara Sîbawaih dan al-Kisâ‘î (w. 189). Sedangkan periode ketiga

dimulai dari masa al-Mâzinî hingga al-Mubarrid atau al-Mubarrad (w. 285 H., Bashrî) dan Tsa‘lab

(w. 291 H., Kûfî). Pada masa ini sharaf telah berdiri sendiri sebagai ilmu, terpisah dari nahwu. Karya-

karya nahwu berikut syarah atau ringkasannya bermunculan, puncaknya adalah al-Kâmil fi al-Lughah

wa al-Adab karya al-Mubarrid. Perdebatan tentang nahwu juga masih marak. Adapun periode

keempat terjadi pada masa munculnya aliran baru, Baghdâdiyyah. Disebut tarjîh karena pada masa ini

ahli nahwu cenderung melakukan perbandingan antara dua alirannya sebelumnya dan kemudian

memilih yang terkuat argumentasinya. Lihat Muhammad al-Thanthâwî, Nasy’at al-Nahwi …, h. 31-42

dan 162-166. 9 ‗Abduh al-Râjihî, al-Nahwu …, h. 52.

10 ‗Abduh al-Râjihî, al-Nahwu …, h. 61.

Page 7: Kontroversi di Seputar Otentisitas Nahwu

7

lingkungan sosio-intelektual bangsa Arab. Walaupun sampai sejauh ini belum dapat

dipastikan kapan karya Aristoteles di bidang logika itu dipelajari oleh kalangan

terpelajar atau ulama Arab, namun diyakini bahwa bangsa Arab berhubungan dengan

logika Aristoteles melalui dua jalur: jalur ahli nahwu Suryani dan jalur penerjemahan

karya-karya filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab.11

Perkenalan atau –lebih tepat—

dialog kebudayaan (al-tabâdul wa al-hiwâr al-tsâqafî) antara bangsa Arab dan

filsafat Yunani adalah sebuah keniscayaan yang secara sosio-historis berimplikasi

pada adanya ―keterpengaruhan‖ pemikiran Arab terhadap pemikiran Yunani. Akan

tetapi, yang menjadi pertanyaan adalah apakah ketika nahwu mulai dirumuskan pada

awal abad kedua Hijriyyah pengaruh filsafat Yunani itu sudah sampai di dunia Arab

ataukan belum?

Istilah nahwu sendiri sudah muncul sejak masa awal Islam, tepatnya pernah

disebut-sebut sebagai ilmu oleh ‗Alî ibn Abî Thâlib (w. 40 H), meskipun dapat

dipastikan bahwa pada saat itu, konstruksi ilmu nahwu belum seperti yang

dirumuskan oleh Sîbawaih. Menurut sebuah riwayat, ‗Alî pernah menyatakan: العلوم

:Ilmu itu ada empat) أربعة: الفقه للأديان، والطب للأبدان، والنحو للسان، والنجوم لمعرفة الأزمان.

fiqh untuk memahami agama-agama, kedokteran untuk menjaga kesehatan badan,

nahwu untuk menjaga ketepatan pembicaraan, dan astronomi untuk mengetahui

zaman).12

Pernyataan ‗Alî tersebut setidak-tidaknya mengisyaratkan bahwa pada

masa itu kesadaran dan kebutuhan untuk menjaga kefasihan bahasa Arab dari

berbagai kesalahan (lahn) sudah muncul, setidaknya istilah nahwu sebagai ilmu

untuk menjaga kefasihan pembicaraan sudah mulai dicetuskan.

Terhadap kontroversi tersebut, Tammâm Hassân (1918-sekarang) berpendapat

bahwa hal tersebut merupakan pendapat sebagian orientalis Barat yang bertendensi

untuk ―menggugurkan‖ otentisitas nahwu sebagai produk keilmuan bangsa Arab

yang genuine. Sejarah membuktikan bahwa nahwu pada masa awal pertumbuhannya

(mulai masa ‗Alî ibn Abî Thâlib) hingga masa Sîbawaih (w. 180) sama sekali tidak

terbukti adanya pengaruh Yunani. Pengaruh pemikiran Yunani pada masa itu hanya

11

‗Abduh al-Râjihî, al-Nahwu …, h. 62. 12

Fakhr al-Dîn Qabâwah, al-Tahlîl al-Nahwî: Ushûluhu wa Adillatuhu, (Kairo: al-Syarikah al-

Mishriyyah al-‗Âlamiyyah li al-Nasyr, 2002), Cet. I,

Page 8: Kontroversi di Seputar Otentisitas Nahwu

8

tampak dalam perdebatan teologis di lingkungan istana ‗Umawi antara Yahya al-

Dimasyqî (81-187 H), teolog Nashrani, dan para fuqahâ‘ Islam. Dalam perdebatan

itu, mereka memang kemudian memerlukan semacam ―ilmu bantu‖ berupa logika

Aristoteles. Sejauh itu, tidak terdapat bukti yang meyakinkan bahwa seseorang yang

mengodifikasi nahwu menggunakan logika Aristoteles, di samping mereka juga tidak

memahami bahasa Yunani.

Selain itu, konstruksi/struktur bahasa Arab itu berbeda sama sekali dengan

bahasa Yunani. Dalam bahasa Yunani, misalnya, tidak dijumpai i’râb, kebebasan

dalam penyusunan struktur urutan kata, dan kata-kata Yunani tidak mengikuti wazan

(formula, moda) sharaf tertentu, selain juga tidak dijumpai dua kategori jumlah

ismiyyah (kalimat nominal) dan jumlah fi’liyyah (kalimat verbal) sebagaimana dalam

bahasa Arab.13

Menarik dicatat bahwa sejak awal kelahirannya, budaya Arab berpijak pada

teks-teks, terutama al-Qur‘an dan syair Arab, sehingga ―magnet‖ studi al-Qur‘an ini

cenderung tidak serta-merta menerima pengaruh pemikiran filsafat (Yunani) yang

cenderung menuntut penggunaan penalaran logis. Nahwu, menurut Tammâm,

memang sejalan dengan logika natural (natural logic, al-manthiq al-thabî’î). Logika

natural tidak identik dengan logika formal (formal logic, al-manthiq al-shûrî)

Aristoteles, karena logika ini merupakan pemberian Allah Swt. kepada umat manusia

dan berlaku bagi siapapun yang mendayagunakan akalnya secara benar. 14

Selain itu,

para ulama salaf, termasuk ulama nahwu, pada masa itu berpegang teguh kepada teks

(al-Qur‘an) dalam merumuskan kaidah hukum maupun kaidah nahwu, bukan kepada

logika. Mereka, menurut Tammâm, berpedoman kepada kaidah: ""لا اجتهاد مع النص

(Tidak ada ruang untuk berijtihad selama masih ada teks). Kaidah ini tidak hanya

berlaku dalam pengambilan kesimpulan hukum fiqh, tetapi juga diterapkan dalam

perumusan kaidah nahwu.15

Pemicu Kontroversi

13

Tammâm, Maqâlât…, Jilid II, h. 119. 14

Tammâm, al-Ushûl …, h. 49. 15

Tammâm, al-Ushûl …, h. 45.

Page 9: Kontroversi di Seputar Otentisitas Nahwu

9

Adalah orientalis Jerman, Adalbertus Merx (1889), orang pertama yang

menyatakan bahwa nahwu yang dikembangkan oleh bangsa Arab dipengaruhi oleh

logika formal (al-manthiq al-shûrî) Aristoteles setelah sebelumnya berkembang di

Suriah. Pengaruh tersebut terutama terlihat pada sejumlah terminalogi (istilah-istilah)

nahwu dan sistem pembagian kata.16

Pandangan orientalis ini kemudian direspon

oleh sebagian penulis Arab sendiri, baik yang pro maupun yang kontra.

Kajian Merx menyimpulkan bahwa inti keterpengaruhan nahwu oleh filsafat

Yunani itu dapat dilihat dari dua segi: metodologi (manâhij) dan terminologi

(mushthalahât). Menurut Merx, ada beberapa teori nahwu yang memiliki akar

Aristotelian, antara lain: (a) pembagian jenis kata (ism, fi’l, dan harf) yang dinilai

meniru konsep Yunani: anoma, rhema, dan sundesmos; (b) konsep i’râb, yang oleh

Merx, dihubungkan dengan kata-kata Yunani hellenizein, hellenismos atau

declension; (c) konsep dasar tentang gender (al-jins) yang membedakan antara jenis

laki-laki (mudzakkar) dan perempuan (muannats) berasal dari konsep genos; (d)

konsep zharf (kata keterangan, baik waktu maupun tempat) berasal dari konsep

Aristoteles tentang ruang dan waktu; (e) istilah hâl, dikaitkan dengan dua istilah

Yunani, yaitu: hexis dan diathesis; dan (f) konsep al-khabar (prediket) terpengaruh

oleh konsep kategoroumenon.17

Pendapat Merx tersebut tidak terlalu sulit untuk disanggah, baik secara historis

maupun substantif. Secara historis, nahwu sudah mulai terkodifikasi pada masa al-

Khalîl (w. 175 H) dan Sîbawaih (w. 180 H), sementara pada saat itu karya-karya

filsafat Yunani, terutama logika Aristoteles, belum diterjemahkan ke dalam bahasa

Arab. Pembagian kata dalam nahwu, sebagaimana dikemukakan oleh Merx, juga

tidak benar karena gramatika Yunani itu membagi kata menjadi delapan macam,

bukan tiga.18

Merx dalam hal ini cenderung menyampuradukkan antara nahwu pada

16

Lihat C.H.M. Versteegh, Arabic Grammar and Qur’anic Exegesis in Early Islam, (Leiden:

E.J. Brill, 1993), h. 22-27; dan Muhammad Khair al-Halwânî, ―Baina Manthiq Aristhû wa al-Nahwi

al-‗Arabî fi Taqsîm al-Kalâm‖, dalam Majallah al-Mawrid, Edisi I, 1980. 17

C.H.M. Versteegh, Arabic Grammar…, h. 22-23; dan Zamzam A. Abdillah, ―Pro-Kontra

Pengaruh Filsafat terhadap Nahwu‖, dalam Jurnal Adabiyyat, Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga,

Vol. 1, No. 2, Maret 2003, h. 8. 18

Kedelapan klasifikasi dimaksud adalah: (1) kata benda (noun), (2) verba (verb), (3) partisipel

(ism fâ’il, participle), (4) artikel (fiqrah, article), (5) kata ganti (dhamîr, pronoun), (6) kata depan

(harf jarr, preposition), (7) kata keterangan (zharf, adverb), dan (8) konjungsi (conjunction, harf

‘athf). Sebelum Aristoteles, Plato mengklasifikasikan kata menjadi dua: kata benda dan kata kerja,

Page 10: Kontroversi di Seputar Otentisitas Nahwu

10

masa al-Khalîl dan Sîbawaih dengan nahwu pada masa Ibn Jinnî dan sesudahnya

yang sudah mulai terlihat jelas pengaruh fiqh dan logika dalam karyanya, al-

Khashâish.19

Penyampuradukan tersebut tentu tidak proporsional dan cenderung

mengada-ada. Karena itu, penilaian keterpengaruhan nahwu terhadap logika

Aristoteles tidak bisa digeneralisasi. Kalaupun ada kesamaan antara nahwu dan

gramatika Yunani, terutama dari segi substansi, maka hal itu dapat dianggap wajar

dan manusiawi, karena logika bahasa seperti adanya: subyek, prediket, obyek, dan

sebagainya merupakan logika berpikir dalam berbahasa yang berlaku secara

universal.

Senada dengan Merx, Rundgren juga berkesimpulan bahwa dalam konsep

nahwu terdapat kemiripan dengan beberapa terminologi Yunani seperti: sharf dengan

klisis (flection), i’râb dengan hellenismos (declension), musnad ilaih dengan

hupokeimenon (subject), dan khabar dengan kategoroumenon (predicate).20

Pendapat

Rundgren ini tampaknya hanya bersifat asumtif karena tidak dijelaskan atau

dibuktikan lebih jauh keterkaitan istilah nahwu dengan terminologi gramatika

Yunani tersebut. Demikian pula, Rundgren juga tidak memberikan bukti dari mana

istilah-istilah itu diambil, berikut bagaimana proses terjadinya pengambilan istilah-

istilah itu. Dengan kata lain, asumsi-asumsi Rundgren tidak berdasar sama sekali;

argumentasinya sangat lemah. Kelemahan argumentasinya juga terletak pada

ketidakjelasan waktu dan kronologi ―pengadaptasian‖ istilah nahwu dari gramatika

Yunani ke dalam bahasa Arab. Karena itu, pendapatnya tidak bisa diterima.

Meskipun demikian, Versteegh mengajukan teori lain mengenai

keterpengaruhan nahwu terhadap filsafat Yunani. Menurutnya, pengaruh filsafat

terhadap nahwu dapat bersifat langsung dan tidak langsung. Pengaruh langsung

terjadi pada masa penerjemahan karya-karya filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab

pada abad ketiga dan keempat Hijriyyah; sedangkan pengaruh tidak langsung terjadi

berdasarkan kategorisasinya mengenai segala sesuatu yang ada ke dalam zat/esensi (dzawât = asmâ’)

dan aksiden (ahdâts = af’âl). Bahkan kaum Sofistik (al-sufsathâiyyûn) telah membagi kata menjadi

empat, yaitu: (a) kata benda (termasuk sifat), (b) kata kerja/verba, (c) partikel (al-adât), dan (d)

konjungsi (‗adât al-‘athf). Lihat ‗Abdullah al-‗Uyaidî, ―al-Fikr al-Lughawî ‗inda al-Yûnân wa al-

Ighrîq‖, diakses dari http://www.onaizah.net/majlis/t, 28 Juli 2007. 19

Lihat Versteegh Kees, Greek Elements in Arabic Linguistics Thinking, (Leiden: E.J. Brill,

1977). 20

Versteegh, Arabic Grammar…, h. 24.

Page 11: Kontroversi di Seputar Otentisitas Nahwu

11

ketika kontak peradaban Arab dengan peradaban Hellenistik (Yunani) di wilayah

emperium Bizantium (Romawi) yang dikuasai pemerintahan Islam seperti Suriah

(Syâm) dan Turki. Versteegh kemudian memberikan beberapa bukti keterpengaruhan

tersebut dengan menampilkan beberapa istilah nahwu yang ada kemiripannya dengan

terminologi Yunani berikut.21

No. Istilah Yunani Istilah Inggris Istilah Arab

1 stoicheion particle الحرف 2 hellenismos declension الإعراب 3 klisis inflection الصرف 4 orthe (ptosis) nominative الرفع 5 metabasis transitivity المتعدي 6 kinesis vowel الحركة 7 pathe sound changes العلل 8 logos/lexis sentence/utterances الكلام/القول 9 autoteleia meaningfulness الفائدة 10 lekton meaning المعنى

Pendapat ketiga orientalis tersebut didukung oleh sebagai pakar bahasa Arab

seperti ‗Abd al-Rahmân al-Hâj Shâlih dan Ibrâhîm Salâmah Madkûr. Al-Hâj Shâlih

misalnya berpendapat bahwa definisi al-harf yang dikemukakan oleh Sîbawaih

merupakan peniruan pengertian sundesmos (al-ribâth). Menurut Aristoteles,

sundesmos adalah suatu kata yang tidak memiliki makna apa-apa, lalu Sîbawaih

mendefinisikan al-harf sebagai kata yang juga tidak menunjukkan pengertian

apapun, kecuali jika disandingkan dengan kata lain, seperti kata benda.22

Jika

ditelusuri lebih jauh, maka para penulis Arab yang berpedapat bahwa nahwu itu

dipengaruhi oleh filsafat Yunani itu mendapat justifikasi dari pernyataan kritis Abû

‗Alî al-Fârisî23

(w. 377 H) terhadap al-Rummânî (w. 384 H) yang dinilai berlebihan

21

Versteegh, Arabic Grammar…, h. 25-26; dan Zamzam A. Abdillah, ―Pro-Kontra Pengaruh

Filsafat …‖, h. 10. 22

Zamzam A. Abdillah, ―Pro-Kontra Pengaruh Filsafat …‖, h. 11. 23

Abû ‗Alî al-Fârisî (288-377 H) tidak hanya terkenal sebagai ahli nahwu, tetapi juga ahli

qirâat. Kontribusinya di bidang nahwu, antara lain, adalah penemuannya mengenai istilah isytiqâq

akbar (derivasi terbesar), yakni tiga huruf sebagai akar kata yang memiliki enam turunan (derivasi)

sebagai hasil pembolakbalikan dan kesemuanya memiliki kedekatan makna, seperti: /ك م –ل م/ ك//ل م ك/ –/ل ك م/ –/م ك ل/ –/م ل ك/ -ل/ . Namun ide ini seringkali dinisbahkan kepada muridnya,

Ibn Jinnî. Bahkan menurut Syauqî Dhaif, sebagian besar pemikirannya dalam al-Khashâish

didasarkan pada pemikiran al-Fârisî. Di antara karyanya adalah al-Hujjah fi al-Qirâ’ât al-Sab’ yang

Page 12: Kontroversi di Seputar Otentisitas Nahwu

12

dalam memasukkan unsur-unsur filsafat dalam kajian nahwu sebagai berikut: ―Jika

nahwu seperti yang dikembangkan al-Rummânî, maka ia tidak terkait sama sekali

dengan nahwu yang kami pahami; begitu pula nahwu yang kami kembangkan tidak

terkait sama sekali dengan nahwu yang ia kembangkan.”24

Pengaruh logika atau filasafat Yunani terlihat, terutama, pada nazhariyyat al-

‘âmil (teori âmil, faktor atau peubah) yang implikasinya terlihat pada persoalan i’râb

mahallî dan taqdîrî. Dengan teori ini, perubahan bunyi akhir suatu kata dalam

kalimat mengalami ―rasionalisasi‖: mengapa dibaca rafa’ (nominatif), nashab

(akusatif), jarr (genitif)? Ketika dirasionalisasikan, persoalan yang kemudian muncul

bukan lagi persoalan linguistik semata, tetapi berubah menjadi persoalan filosofis:

akar persoalan yang menuntut argumentasi logis atau apa di balik yang tampak di

permukaan.

Pendapat keterpengaruhan nahwu terhadap filsafat Yunani tersebut dibantah

Ibrâhîm al-Sâmarrâî25

(1923-2001). Seperti dikutip Hilâl, al-Sâmarrâî mengritik

Salâmah Madzkûr sebagai telah melakukan kesalahan dalam menentukan kronologi

waktu. Menurutnya, tidak mungkin al-Khalîl terpengaruh oleh Ishâq ibn Hunain

(215-298 H) yang menguasai bahasa Yunani dan sekaligus sebagai penerjemah,

karena keduanya tidak hidup dalam satu masa. Khalîl meninggal pada 175 atau 180

merupakan syarah terhadap Qirâ’ât al-Sab’ karya gurunya, Abû Bakar ibn Mujâhid (w. 324 H); al-

‘Awâmil fi al-Nahwi dan al-Îdhâh. Karya yang terakhir ini banyak memberi inspirasi kepada Ibn Jinnî

dalam bukunya, al-Luma’ fi al-Lughah al-‘Arabiyyah. Lihat Syauqî Dhaif, al-Madâris ..., h. 257-9;

dan ‗Abd al-Fattâh Ismâ‘îl Syalabî, Abû ‘Alî al-Fârisî: Hayâtuhu wa Makânatuhu Baina Aimmah al-

Tafsîr al-‘Arabiyyah wa Âtsâruhu fi al-Qirâ’ât wa al-Nahwi, (Jeddah: Dâr al-Mathbû‘ât al-Hadîtsah,

Cet. III, 1989). 24

Ahmad Amîn, Dhuha al-Islâm, Juz II, (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyyah, 1974),

Cet. VIII, 293-4. 25

Ibrâhîm al-Sâmarrâî (1923-2003) adalah doktor Fiqh al-Lughah dari Universitas Sorbone

Perancis. Ia termasuk pakar linguistik dan sastra Arab asal Irak yang cukup produktif, baik dalam

menulis maupun mentahqîq. Di antara yang ditahqiq bersama koleganya, Mahdî al-Makhzûmî, adalah

Kitâb al-‘Ain karya al-Khalîl. Sedangkan di antara karyanya adalah Min Asâlîb al-Qur’ân, al-Fi’l

Zamâhuhu wa Abniyatuhu. Menurutnya, bahasa Arab itu progresif, bukan regresif. Senada dengan

Tammâm, nahwu juga mengalami perkembangan, bukan statis, layaknya bahasa yang hidup (al-

lughah al-hayyah) pada umumnya. Ia juga mengritik penggunaan i‘râb taqdîri, ta‘lîl dan ta’wîl

warisan ulama nahwu masa lampau sebagai tidak realistis dan sulit dimengerti. Ia menyerukan

peninjauan kembali dan menganalisis materi nahwu dengan menggunakan dua metode sekaligus, yaitu

metode deskriptif dan metode historis-komparatif. Penolakannya tersebut karena pemunculan

ketiganya cenderung dibuat-buat, bukan berdasarkan fenomena dan realitas bahasa Arab. Dengan

kedua metode itu pula, ia menolak pendapat ulama terdahulu yang menyatakan bahwa nahwu disusun

karena adanya lahn (kesalahan pelafalan kata-kata dalam bahasa Arab). Padahal, menurutnya, nahwu

itu muncul karena adanya kajian terhadap Al-Qur‘an. Lihat Ahmad Alwânah, Ibrâhîm al-Sâmirrâî:

‘Allamah al-‘Arabiyyah al-Kabîr wa al-Bâhits al-Hujjah, (Damaskus: Dâr al-Qalam, cet. I, 2001).

Page 13: Kontroversi di Seputar Otentisitas Nahwu

13

H, sedangkan oleh Ishâq ibn Hunain baru lahir kurang lebih pada 215 H. Selain itu,

bahasa Arab dan bahasa Yunani memiliki karakteristik dan gramatika yang

berbeda.26

Dari segi simbol-simbol bunyi/huruf saja, bentuk tulisan bahasa Yunani

dan cara menuliskannya berbeda sama sekali dari tulisan bahasa Arab. Bahasa

Yunani ditulis dari arah kiri ke kanan dengan aksara Latin, sedangkan Arab dari

kanan ke kiri dengan huruf-huruf Arab.

Oleh karena itu, Mahdî al-Makhzûmî (w. 1993), penahqîq Kitab al-‘Ain karya

al-Khalîl, misalnya berpendapat bahwa tidak seharusnya nahwu ―tunduk‖ atau

mengikuti pola berpikir filosofis, karena nahwu merupakan studi deskriptif aplikatif.

Nahwu terus berkembang karena bahasa Arab selalu mengalami perkembangan.

Nahwu berjalan mengikuti perkembangan dan karakteristik bahasa Arab itu sendiri.

Tugas ahli nahwu adalah mengamati, menguji, dan merumuskan kaidah-kaidah

sesuai dengan karakter dan penggunaan bahasa Arab itu oleh para penuturnya

sendiri.27

Menyikapi Kontroversi

Dalam menyikapi persoalan kontroversial tersebut, Tammâm cenderung

menegaskan bahwa logika natural (al-manthiq al-thabî’î) yang dimiliki oleh bangsa

Arab memungkinkannya untuk berpikir secara alami sehingga, menurut Tammâm,

mampu: (a) membedakan antara yang konkret dan abstrak (al-tafrîq baina al-hissi

wa al-mujarrad); (b) memahami relasi graduatif (al-‘alâqât al-tadrîjiyyah), seperti:

besar—lebih besar, kecil—lebih kecil, milimeter—sentimeter—meter—kilometer,

dan sebagainya; (c) memahami relasi genealogis, sehingga dapat membedakan

antara: ابن-أم-أب ; (d) memahami relasi paradoksal, seperti: timur-barat, di bawah-di

atas, besar-kecil, dan sebagainya; dan (e) memahami relasi kategoris, seperti: hewan,

tumbuh-tumbuhan, benda, benda cair, benda padat, dan sebagainya. Demikian pula,

melalui logika natural, menurut Tammâm, seseorang dapat mengerti relasi di antara

pernyataan, sehingga dapat mengetahui hubungan antara sinonim, antonim, referensi,

26

‗Abad al-Ghaffâr Hâmid Hilâl, ‘Ilm al-Lughah baina al-Qadîm wa al-Hadîts, (Kairo:

Mathba‘ah al-Jablâwî, 1986), Cet. I, h. 327-8. 27

Mahdî al-Makhzûmî, Fi al-Nahwî al-‘Arabî Naqd wa Tawjîh, (Beirût: Dâr al-Râid al-‗Arabî,

1986), Cet. II, h. 19.

Page 14: Kontroversi di Seputar Otentisitas Nahwu

14

konsekuensi logis, kesimpulan, dan sebagainya. Dengan logika natural pula, bangsa

Arab melalui samâ’ (instrumen penyimakan, periwayatan, dan pengamatan langsung

dari fushahâ’ al-Arab) dalam menetapkan dalil dalam merumuskan kaidah nahwu.28

Hingga akhir abad ketiga Hijriyyah, nahwu sama sekali tidak terpengaruh

filsafat Yunani. Kebudayaan Islam mengalami perkembangan yang signifikan setelah

al-Ma‘mûn (786-833 M) menjadi khalifah ‗Abbâsiyyah. Menurut Tammâm,

kebudayaan Yunani pada masa al-Ma‘mûn cukup memberikan warna terhadap

kebudayaan Islam. al-Ma‘mûn yang Mu‘tazili memiliki kecintaan yang mendalam

terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan. Karena itu, ia menaruh perhatian besar

terhadap gerakan penerjemahan karya-karya filsafat dari bahasa Yunani ke dalam

bahasa Arab. Implikasi dari gerakan ini adalah terjadinya transformasi kebudayaan

Islam dari karakternya yang hanya berbasis dalil kitab suci (naqlî) menjadi berbasis

wahyu dan akal. Sebagian besar ahli nahwu yang beraliran Mu‘tazilah kemudian

cenderung menggunakan penalaran logis dalam membahas nahwu, mulai al-Farrâ‘

hingga Abû ‗Alî al-Fârisî dan Ibn Jinnî pada akhir abad keempat Hijriyyah. Hal ini,

antara lain, terlihat dari intensitas penyelenggaraan debat (munâzharah) antara ahli

logika dan ahli bahasa seperti debat antara al-Sîrâfî (280-368 H) yang Mu‘tazili dan

Mattâ ibn Yûnus al-Qinnâ‘î yang terjadi di majlis Menteri Abu al-Fadhl ibn Ja‘far

ibn al-Furât pada 320 H.29

Tammâm cenderung berpendapat obyektif mengenai keterpengaruhan nahwu.

Menurutnya, pengaruh logika Aristoteles terhadap nahwu dapat dilihat dari dua segi.

Pertama, segi kategori-kategori (maqûlât) dan aplikasinya dalam pemikiran nahwu.

Kedua, analogi-analogi (aqyisah) dan argumentasi-argumentasi (ta’lîlât) dalam

berbagai persoalan nahwu. Pada saat yang sama, Tammâm menegaskan bahwa

dalam kajiannya, Aristoteles mencampuradukkan antara nahwu dan logika.

Kesepuluh kategori logika yang dibuat Aristoteles, yaitu: substansi, kuantitas,

kualitas, kala (waktu), ruang (tempat), idhâfah, dan seterusnya turut mewarnai kajian

bahasa, khususnya nahwu.30

28

Tammâm, al-Ushûl …, h. 47-48. 29

Tammâm, al-Ushûl …, h. 52; dan ‗Abd al-Mun‘im Fâiz, al-Sîrâfî al-Nahwî fi Dhaw Syarhihi

li Kitâb Sîbawaih, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1982), Cet. I, h. 31. 30

Tammâm, Manâhij al-Bahts fi al-Lughah, (Casablanca: Dâr al-Tsaqâfah, 1979), h. 25-26.

Page 15: Kontroversi di Seputar Otentisitas Nahwu

15

Akibat dari keterpengaruhan tersebut, para ahli nahwu melihat bahasa seperti

melihat sesuatu (asyyâ’) dan benda yang dapat diindera. Mereka memahami kata

sebagai substansi dan materi. Substansi kata itu tidak berubah kecuali dengan i’lâl

(diversi) dan ibdâl (penggantian). Karena itu, asal atau substansi kata نهى -قال

adalah ق ول dan ن هي. Demikian pula, kata قاض asalnya adalah قاضي dan seterusnya.

Selain itu, mereka juga mengkaji substansi kalimat (jawhar al-jumlah). Mereka

kemudian memunculkan ide tentang perkiraan (taqdîr) apa yang tidak tampak pada

substansi, sehingga fâ’il pada kalimat berikut: محمد ذهب adalah dhamîr mustatir

(kata ganti tersirat) yang diperkirakan berupa هو.31

Pemikiran-pemikiran filosofis

seperti inilah, termasuk pemikiran mengenai teori ‘âmil (word governing another,

factor), yang kemudian memperoleh kritik yang cukup telak dari Ibn Madhâ‘.

Bahkan melalui kritiknya itu, ia menyatakan: ―Tujuan saya dalam buku ini adalah

menghapuskan apa yang tidak diperlukan oleh ahli nahwu; dan saya tegaskan bahwa

mereka itu telah berkonsesus (ijmâ’) dalam kesalahan.‖32

Namun demikian, menurut

Tammâm, kritik Ibn Madhâ‘ (w. 592 H) terhadap nahwu itu juga dilakukan dengan

menggunakan logika, meskipun ia telah menganggap rusak penggunaan logika dalam

pemikiran nahwu. Yang dipertanyakan dan sekaligus dikritik dari pemikiran Ibn

Madhâ‘ adalah anggapannya yang tidak berdasar bahwa ‘âmil nahwî itu adalah

pembicara atau pengguna bahasa itu sendiri (mutakallim).

Karena itu, menurut Tammâm, meskipun telah menafikan (menghilangkan)

suatu ‘âmil, ia justeru membuat ‘âmil lain, yaitu mutakallim, yang tidak dapat

dibenarkan oleh kajian linguistik modern, karena mutakallim itu tidak marafa’kan

dan menashabkan dengan sendirinya, melainkan karena adanya kaidah yang

mengharuskan seperti itu.33

Kritik Tammâm terhadap tokoh pengritik nahwu

tersebut, Ibn Madhâ‘, penting dikemukakan di sini karena nahwu memang

merupakan ―lahan subur‖ bagi munculnya perbedaan pendapat, dan ketika mengritik,

31

Tammâm, Manâhij al-Bahts …, h. 26-27. 32

Ibn Madhâ‘, al-Radd ‘ala al-Nuhât, Tahqîq Syauqî Dhaif, (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, 1947), Cet.

I, h. 58. 33

Tammâm, Manâhij al-Bahts …, h. 31.

Page 16: Kontroversi di Seputar Otentisitas Nahwu

16

Tammâm tidak sekedar menyatakan ketidaksetujuannya dengan pendapat tokoh

sebelumnya, melainkan memberi argumentasi akademik dan solusi alternatif.

Di samping itu, Tammâm secara proporsional juga menunjukkan aspek-aspek

pemikiran filosofis yang mempengaruhi nahwu. Aspek-aspek dimaksud meliputi: (a)

pemberian batasan atau definisi; dalam hal ini para ahli nahwu berusaha memberikan

batasan konsepsional berdasarkan definisi kualitatif dengan jenis (al-jins) dan

pemisahan (al-fashl); (b) pendasaran pada klasifikasi rasional dalam penyajian

masalah-masalah nahwu; (c) penggunaan istilah-istilah logika dalam pembahasan

nahwu, seperti: setiap jenis dapat dibagi menjadi beberapa macam atau setiap

macam dapat dibagi menjadi persona-persona; yang dibagi (al-maqsûm) merupakan

fakta terhadap macam-macam dan persona-persona, dan jika tidak merupakan fakta,

maka hal itu bukan merupakan bagian darinya; (d) komentar para komentator

terhadap ungkapan redaksi dalam karya-karya nahwu yang berisi pembahasan

mengenai analogi-analogi logika (al-aqyisah al-manthiqiyyah).34

Kesimpulan

Dari pembahasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kontroversi di

seputar nahwu terjadi karena sejarah pertumbuhan dan perkembangan nahwu kurang

dikritisi dan dilacak hingga masa-masa paling paling awal. Dari awal kelahirannya

hingga akhir abad ketiga Hijriyyah, nahwu sama sekali tidak terpengaruh oleh

filsafat dan logika Yunani. Nahwu merupakan produk pemikiran linguistik Arab

murni, sebagai bentuk respon terhadap pentingnya pelesatarian dan pengawalan al-

Qur‘an. Pada saat yang sama, al-Qur‘an dan syair-syair dari masa Jahiliyyah hingga

abad kedua merupakan sumber inspirasi dan acuan norma dalam pembakuan dan

pembukuan karya di bidang nahwu, dan ilmu-ilmu bahasa Arab lainnya.

Dalam perkembangannya setelah abad keempat Hijriyyah, kajian dan

pemikiran nahwu berada dalam nuansa Hellenisme atau pengaruh filsafat Yunani,

baik langsung maupun tidak langsung. Namun penting ditegaskan bahwa

keterpengaruhan nahwu terhadap filsafat Yunani, terutama logika Aristoteles, bukan

terletak pada substansi dasarnya, melainkan pada sebagian metode dalam penjelasan

34

Tammâm, al-Ushûl …, h. 53.

Page 17: Kontroversi di Seputar Otentisitas Nahwu

17

persoalan-persoalan nahwu seperti ta’lîl dan taqdîr. Substansi dasar nahwu tetap

merupakan salîqah (instinc; talenta, daya linguistik alami) bangsa Arab referensinya

yang didasarkan pada al-Qur‘an, hadis, dan perkataan bangsa Arab sendiri, baik

berupa puisi (syi’r) maupun prosa (natsr). Jadi, kontroversi tersebut harus disikapi

secara proposional dan direspon dengan semangat akademik yang tinggi, sehingga

kita dapat memahami duduk persoalannya dengan baik. Yang diperlukan bagi kita

adalah bagaimana nahwu dipelajari dan diaplikasikan secara fungsional dalam

berbahasa Arab, sehingga kita dapat memetik buahnya dalam mengakses dan

memahami literatur-literatur berbahasa Arab dalam berbagai bidang dengan baik.

Semoga!

Daftar Pustaka

‗Abd al-Lathîf, Muhammad, ―Da‘awât al-Tajdîd wa al-Taisîr fi al-Lughah al-

‗Arabiyyah‖, diakses dari www.islamonline.com, 23 Mei 2006.

‗Abd al-Tawwâb, Ramadhân, Fushûl fi Fiqh al-‘Arabiyyah, Kairo: Maktabah al-

Khânijî, Cet. III, 1987.

‗Alâmah, Thalâl, Tathawwur al-Nahwi al-‘Arabî fi Madrasatay al-Bashrah wa al-

Kûfah, Beirût: Dâr al-Fikr al-Lubnânî, 1993.

Abdillah, Zamzam A., ―Pro-Kontra Pengaruh Filsafat terhadap Nahwu‖, dalam

Jurnal Adabiyyat, Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga, Vol. 1, No. 2, Maret

2003.

Alwânah, Ahmad, Ibrâhîm al-Sâmarrâî: ‘Allamah al-‘Arabiyyah al-Kabîr wa al-

Bâhits al-Hujjah, Damaskus: Dâr al-Qalam, cet. I, 2001.

Amîn, Ahmad, Dhuha al-Islâm, Juz II, Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyyah,

Cet. III, 1974.

Babtî, ‗Azîzah Fawwâl, Min Târîkh al-‘Arabiyyah, Tripoli-Lebanon: Dâr al-Insyâ‘,

1983.

Dhaif, Syauqî, al-Madâris al-Nahwiyyah, Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, Cet. III, 1976.

Fâiz, ‗Abd al-Mun‘im, al-Sîrâfî al-Nahwî fi Dhaw Syarhihi li Kitâb Sîbawaih,

Damaskus: Dâr al-Fikr, Cet. I, 1982.

al-Halwânî, Muhammad Khair, ―Baina Manthiq Aristhû wa al-Nahwi al-‗Arabî fi

Taqsîm al-Kalâm‖, dalam Majallah al-Mawrid, Edisi I, 1980.

Hassân, Tammâm, al-Lughah Baina al-Mi’yâriyyah wa al-Washfiyyah, Kairo: ‗Âlam

al-Kutub, 2001.

Hassân, Tammâm, al-Ushûl: Dirâsah Epistîmulûjiyyah li al-Fikr al-Lughawî ‘inda

al-‘Arab (al-Nahwu – Fiqh al-Lughah – al-Balâghah), Kairo: ‗Âlam al-Kutub,

2000, Edisi Revisi. Hassân, Tammâm, Manâhij al-Bahts fi al-Lughah, Casablanca: Dâr al-Tsaqâfah,

1979. Hassân, Tammâm, Maqâlât fi al-Lughah wa al-Adab, Jilid II, Kairo: ‗Âlam al-

Kutub, Cet. I, 2006.

Hilâl, ‗Abad al-Ghaffâr Hâmid, ‘Ilm al-Lughah baina al-Qadîm wa al-Hadîts, Kairo:

Mathba‘ah al-Jablâwî, Cet. I, 1986.

Page 18: Kontroversi di Seputar Otentisitas Nahwu

18

al-Hullî, Hâzim Sulaimân, ―Taisîr al-Nahwi ila ‗Ashr Ibn Madhâ‘‖, diakses dari http://www.arabization.org.ma/downloads/ majalla/41.doc, 20 April 2007.

Ibn Madhâ‘ al-Qurthubî, al-Radd ‘ala al-Nuhât, Tahqîq Syauqî Dhaif, Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, Cet. I, 1947.

Kees, Versteegh, Greek Elements in Arabic Linguistics Thinking, Leiden: E.J. Brill,

1977.

al-Makhzûmî, Mahdî, Fi al-Nahwî al-‘Arabî Naqd wa Tawjîh, Beirût: Dâr al-Râid al-

‗Arabî, Cet. II, 1986.

Qabâwah, Fakhr al-Dîn, al-Tahlîl al-Nahwî: Ushûluhu wa Adillatuhu, Kairo: al-

Syarikah al-Mishriyyah al-‗Âlamiyyah li al-Nasyr, Cet. I, 2002.

al-Râjihî, ‗Abduh, al-Nahwu al-‘Arabî wa al-Dars al-Hadîts: Bahts fi al-Manhaj,

Beirut: Dâr al-Nahdhah al-‗Arabiyyah, 1986. Sa‘îd al-Afghânî, Min Târîkh al-Nahwi, Beirut: Dâr al-Fikr, Cet. II, 1978. Syalabî, ‗Abd al-Fattâh Ismâ‘îl, Abû ‘Alî al-Fârisî: Hayâtuhu wa Makânatuhu Baina

Aimmah al-Tafsîr al-‘Arabiyyah wa Âtsâruhu fi al-Qirâ’ât wa al-Nahwi,

Jeddah: Dâr al-Mathbû‘ât al-Hadîtsah, Cet. III, 1989.

al-Thanthâwî, Muhammad, Nasy’at al-Nahwi wa Târîkh Asyhar al-Nuhât, Tahqîq

‗Abd al-Rahmân ibn Muhammad ibn Ismâ‘îl, Mekkah: Maktabah Ihyâ‘ al-

Turâts al-Islâmî, Cet. I, 2002.

al-‗Uyaidî, ‗Abdullah, ―al-Fikr al-Lughawî ‗inda al-Yûnân wa al-Ighrîq‖, diakses

dari http://www.onaizah.net/majlis/t, 28 Juli 2007.

Versteegh, C.H.M., Arabic Grammar and Qur’anic Exegesis in Early Islam, Leiden:

E.J. Brill, 1993.