Konteks Politik Pemilu Tahun 1999 Di Indonesia

24
KONTEKS POLITIK PEMILU TAHUN 1999 DI INDONESIA Untuk memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Politik Pemilihan Tingkat Nasional dan Daerah Dosen Pembimbing: Wike, S.Sos., M.Si Oleh : Kelas – E / Kelompok 6 Anas Hasyimi 125030100111 Nur Laily Fajarwati 125030100111099 Luluk Agus Tiningsih 125030100111106 Yuniar Rahmawati 125030100111111 Cornedo Raka 125030100111 Rezy Afdhal 125030100111 Tutut Dayang 125030100111 ILMU ADMINISTRASI PUBLIK

description

pemilu tahun 1999 di Indonesia

Transcript of Konteks Politik Pemilu Tahun 1999 Di Indonesia

Page 1: Konteks Politik Pemilu Tahun 1999 Di Indonesia

KONTEKS POLITIK PEMILU TAHUN 1999 DI INDONESIA

Untuk memenuhi Tugas KelompokMata Kuliah Politik Pemilihan Tingkat Nasional dan Daerah

Dosen Pembimbing: Wike, S.Sos., M.Si

Oleh :Kelas – E / Kelompok 6

Anas Hasyimi 125030100111Nur Laily Fajarwati 125030100111099Luluk Agus Tiningsih 125030100111106Yuniar Rahmawati 125030100111111

Cornedo Raka 125030100111Rezy Afdhal 125030100111Tutut Dayang 125030100111

ILMU ADMINISTRASI PUBLIKFAKULTAS ILMU ADMINISTRASI

UNIVERSITAS BRAWIJAYA2015

Page 2: Konteks Politik Pemilu Tahun 1999 Di Indonesia

BAB IPendahuluan

Menceritakan politik pemilu 1999, seperti apa dan bagaimanaSetelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998

jabatan presiden digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, hal ini dikarenakan atas desakan publik. Kemudian ternyata bahwa akan dilaksanakan Pemilu pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie. Pada saat itu untuk sebagian alasan diadakannya Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Satu hal yang secara sangat menonjol membedakan Pemilu 1999 dengan pemilu-pemilu sebelumnya, Pemilu 1999 ini diikuti oleh banyak sekali peserta, hal ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta Pemilu kali ini adalah 48 partai. Ini sudah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah partai yang ada dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai.

Masa persiapan pemilu 1999 tergolong singkat, pelaksanaan pemungutan suara pada Pemilu 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal, yakni tanggal 7 Juni 1999. Tidak seperti yang diprediksikan dan dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya, ternyata Pemilu 1999 bisa terlaksana dengan damai, tanpa ada kekacauan yang berarti. Tetapi tidak seperti pada pemungutan suara yang berjalan lancar, tahap penghitungan suara dan pembagian kursi pada Pemilu kali ini sempat menghadapi hambatan. Dimana 27 partai politik menolak menandatangani berita acara perhitungan suara dengan dalih Pemilu belum jurdil (jujur dan adil).

Argumen mengenai judulnyaMekanisme sturktur penulisan (menulis tentang apa disebutkan section – section) harus terjawab pada pendahuluan

Pada kali ini, akan dijelaskan mengenai konteks politik pemilu 1999 tentang keberhasilan dan kegagalan pemerintahan Soeharto, dan proses politik yang terjadi pada saat itu. Kemudian menjelaskan calon – calon kandidat yang akan maju pada pemilu 1999. Tidak hanya itu akan dipaparkan pula mengenai pemilu legislatif 1999 dan pemilu presiden 1999 serta adanya analisis mengenai prediksi pemerintahan pada pemilu selanjutnya, yaitu tepatnya pada pemilu 2004.

Page 3: Konteks Politik Pemilu Tahun 1999 Di Indonesia

BAB IIPembahasan

2.1 Pemerintahan Sebelumnya – Pada masa Soeharto

2.1.1 Keberhasilan dan Kegagalan Program/Kebijakan pada Pemerintahan Soeharto

2.1.2 Proses Politik yang Berlangsung Pada masa Soeharto

2.2 Siapa yang Menjadi Kandidat Pemilu 19992.2.1 Berapa, Siapa, dan dari partai apa saja kandidatnya2.2.2 Program yang dibuat dari masing – masing kandidat2.2.3 Siapa dan dari partai apa yang paling dominan2.2.4 Apa yang terjadi dan adakah kelompok – kelompok yang tidak sukaPasca Soeharto lengser, BJ. Habibi yang ketika itu menjadi wakil presiden menduduki

jabatan Presiden dalam era yang biasa disebut transisi, banyak orang menaruh perhatian pada tokoh-tokoh reformis yang diharapkan tampil sebagai “presiden yang sesungguhnya”. Amien Rais dan megawati Soekarnoputri adalah dua kandidat yang terkuat. Ada juga tokoh lain yang namanya sering disebut-sebut dalam bursa calon presiden, misalnya Wiranto, Sri Sultan Hamengkubuwono X, A.M Saefudin, Akbar Tanjung, Ginandjar Kartasasmita sampai Yusril Ihza Mahendra. Selain itu, tentunya kita tidak boleh melupakan seorang tokoh yang memegang peran penting, tetapi jarang disebut-sebut sebagai calon presiden. Tidak lain adalah Gus Dur alias K.H. Abdurrachman Wahid, tokoh Nahdlatul Ulama (NU). Posisi kunci tokoh tersebut nampak berkaitan erat dengan tiga puluh juta massa NU yang tersebar di seluruh Nusantara. Jumlah kekuatan massa sebesar itu jelas bukan main-mai, karena mencakup sekitar 30 persen dari total warga negara pemegang hak pilih dalam pemilu.

Untuk menebak figur mana yang akan menjadi presiden, tentu tidak dapat dilepaskan dari peta kekuatan partai-partai. Menurut banyak pengamat, pemilu 1999 akan didominasi oleh lima partai besar yang masing-masing diprediksi memperoleh sekitar 15-20 persen suara yakni PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), PAN (Partai Amanat Nasional), PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), Partai Golkar, PBB (Partai Bulan Bintang). Sulit dipungkiri, peta politik masih cenderung diwarnai sifat primodial. Untuk menjaring massa, banyak politikus menggunakan sentimen keagamaan atau kesukuan. Kelas belum tumbuh, karena pemilih partai itu bukan beranjak dari basis sosial, maka yang menjadi basis itu bukan kelas, tapi primodial. PAN basis massanya Muhammadiyah. Megawati basisnya Soekarnois, pendukung PN dulu. PKB basisnya orang NU. PBB berpijak pada generasi baru masyumi. Sementara itu partai Golkar menempakkan karakteristik sedikit berbeda, karena mengandalkan kekuatan sisa orde baru.

Dari beberapa kandidat yang mencalonkan ada beberapa yang paling dominan yaitu Megawati, merupakan putri mantan Presiden Soekarno. Dan secara kasat mata dapat dilihat besarnya dukungn masyarakat terhadap megawati semakin besar. Baik dukungan yang berasal dari dalam negeri maupun di mancanegara. Dukungan yang paling menentukan berasal dari luasnya basis massa PDI perjuangan dan kemungkinan pula koalisi dengan partai-partai lain. Yang jelas, Megawati tidak memiliki musuh politik yang potensial untuk menggembosi kekuatan massanya. Selain itu, Megawati dinilai merupakan figur yang tidak mengalami cacat moral di mata publik. Ia tidak pernah menikmati madu kekuasaan Orde baru. Secara

Page 4: Konteks Politik Pemilu Tahun 1999 Di Indonesia

konsisten, dia sama sekali tidak terpengaruh rezim Soeharto. Bisa dikatakan, Mega adalah sosok orang jujur dan bersih yang kian langka di negeri ini.

Selanjutnya calon kuat pesaing Megawati untuk menjadi presiden adalah Dr. H.M. Amien Rais. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan. Amien, sang tokoh reformasi yang berperan penting dalam menurunkan Soeharto dari kursi kediktatorannya, juga memiliki banyak pendukung. Tanggal 23 Agustus 1998 ia membentuk partai bernama PAN. Basis pendukungnya terutama datang dari massa Muhammadiyah. Amien Rais optimis mampu bersaing dengan tokoh-tokoh lain untuk memimpin Indonesia. Partai baru ini dinilai paling siap dengan konsep menuju Indonesia Baru. PAN juga tampil sebagai partai inklusif yang tak menutup kemungkinan berkoalisi dengan partai lain. Figur Amien Rais oleh lawan dan kawannya diakui benar-benar tokoh yang berani, baik konsep maupun di lapangan. penyandang doktor ilmu politik dari Chicago University itu adalah pengkritik pedas perjalanan ekonomi orde baru.

Hal yang perlu diwaspadai adalah kemungkinan munculnya praktik money politics alias jual beli suara. Money Poitics sulit bisa dihapuskan, apalagi dalam kondisi krisis seperti ini. kalau money politics mau diminimalkan, kita harus membangun sistem pengawasan dan sistem pengaturan mengenai peran uang dalam pesta demokrasi. Nah, kalau sistem pengaturan mengenai uang saja sudah tidak jelas dan pengawasan dimoopoli oleh pihak tertentu, bisa saja permainan uang kembali marak.2.3 Pemilu Legislatif 1999

2.3.1 Berapa jumlah partai dan partai apa saja yang menjadi kandidat2.3.2 Berapa jumlah kursi dan pemilih 2.3.3 Siapa yang melakukan kontrol saat itu 2.3.4 Bagaimana proses politik2.3.5 Apakah pemilu berjalan lancar

Peserta Pemilu pada tahun 1999 adalah 48 partai. Ini sudah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah partai yang ada dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai. Dalam sejarah Indonesia tercatat, bahwa setelah pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, pemerintahan Reformasi inilah yang mampu menyelenggarakan pemilu lebih cepat setelah proses alih kekuasaan. Burhanuddin Harahap berhasil menyelenggarakan pemilu hanya sebulan setelah menjadi Perdana Menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo, meski persiapan-persiapannya sudah dijalankan juga oleh pemerintahan sebelum-nya. Habibie menyelenggarakan pemilu setelah 13 bulan sejak ia naik ke kekuasaan, meski persoalan yang dihadapi Indonesia bukan hanya krisis politik, tetapi yang lebih parah adalah krisis ekonomi, sosial dan penegakan hukum serta tekanan internasional. 48 partai tersebut meliputi: PDIP, Golkar, PPP, PKB, PAN, PBB, Partai Keadilan, PKP, PNU, PDKB, PBI, PDI, PP, PDR, PSII, PNI Front Marhaenis, PNI Massa Marhaen, IPKI, PKU, Masyumi, PKD, PNI Supeni, Krisna, Partai KAMI, PUI, PAY, Partai Republik, Partai MKGR, PIB, Partai SUNI, PCD, PSII 1905, Masyumi Baru, PNBI, PUDI, PBN, PKM, PND, PADI, PRD, PPI, PID, Murba, SPSI, PUMI, PSP, PARI, dan PILAR. Dengan catatan Jumlah suara partai yang tidak menghasilkan kursi mencapai 9.700.658. atau 9,17 persen dari suara yang sah. Apabila pembagian kursi dilakukan dengan sistem kombinasi jumlah partai yang mendapatkan kursi mencapai 37 partai dengan jumlah suara partai yang tidak menghasilkan kursi hanya 706.447 atau 0,67 persen dari suara sah.

Setelah disahkan oleh presiden, PPI (Panitia Pemilihan Indonesia) langsung melakukan pembagian kursi. Pada tahap ini juga muncul masalah. Rapat pembagian kursi di PPI berjalan

Page 5: Konteks Politik Pemilu Tahun 1999 Di Indonesia

alot. Hasil pembagian kursi yang ditetapkan Kelompok Kerja PPI, khususnya pembagian kursi sisa, ditolak oleh kelompok partai Islam yang melakukan stembus accoord. Hasil Kelompok Kerja PPI menunjukkan, partai Islam yang melakukan stembus accoord hanya mendapatkan 40 kursi. Sementara Kelompok stembus accoord 8 partai Islam menyatakan bahwa mereka berhak atas 53 dari 120 kursi sisa.

Sebagai pemenangnya adalah PDI-P yang meraih 35.689.073 suara atau 33,74 persen dengan perolehan 153 kursi. Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44 persen sehingga mendapatkan 120 kursi atau kehilangan 205 kursi dibanding Pemilu 1997. PKB dengan 13.336.982 suara atau 12,61 persen, mendapatkan 51 kursi. PPP dengan 11.329.905 suara atau 10,71 persen, mendapatkan 58 kursi atau kehilangan 31 kursi dibanding Pemilu 1997. PAN meraih 7.528.956 suara atau 7,12 persen, mendapatkan 34 kursi. Di luar lima besar, partai lama yang masih ikut, yakni PDI merosot tajam dan hanya meraih 2 kursi dari pembagian kursi sisa, atau kehilangan 9 kursi dibanding Pemilu 1997.

KPU memegang peranan penting pada pemilu tahun 1999. Ketika terjadi perbedaan pendapat di PPI, Yang akhirnya permasalahan tersebut diserahkan kepada KPU. Di KPU perbedaan pendapat itu akhirnya diselesaikan melalui voting dengan dua opsi. Opsi pertama, pembagian kursi sisa dihitung dengan memperhatikan suara stembus accoord, sedangkan opsi kedua pembagian tanpa stembus accoord. Hanya 12 suara yang mendukung opsi pertama, sedangkan yang mendukung opsi kedua 43 suara. Lebih dari 8 partai walk out. Ini berarti bahwa pembagian kursi dilakukan tanpa memperhitungkan lagi stembus accoord. Berbekal keputusan KPU tersebut, PPI akhirnya dapat melakukan pembagian kursi hasil pemilu pada 1 September 1999. Hasil pembagian kursi itu menunjukkan, lima partai besar memborong 417 kursi DPR atau 90,26 persen dari 462 kursi yang diperebutkan.

Sebagai partai yang memiliki banyak kursi di legislatif namun Kemenangan PDIP secara simple majority dan ketidak mampuan kubu Megawati membangun komunikasi dengan masyarakat politik telah menyebabkan kebuntuan politik menjelang SU MPR 1999. Sebagai pemenang Pemilu, ia tidak dapat diabaikan begitu saja dalam konfigurasi kekuasaan. Tapi di sisi lain, ketidak cakapannya menyakinkan kekuatan politik lain menyulitkan Megawati menduduki kursi presiden. Imbasnya, suasana kebuntuan itu merembes ke akar rumput. “Situasi ini sangat berbahaya bagi masa depan Indonesia,” ujar Amin Rais. Diperlukan alternatif dari kebuntuan politik seperti ini. Dua kandidat presiden; Megawati dan Habibie sama-sama mempunyai resiko jika terpilih menjadi presiden. “Demi masa depan republik ini, kami mengusung kaukus politik alternatif, yaitu ‘Poros Tengah’ dengan mencalonkan KH. Abdurahman Wahid menjadi presiden mendatang,” begitu Amin Rais saat melaunching ‘Poros Tengah’ dan mengusung nama Gus Dur.

Publik tercengang atas manuver Amin Rais dengan Poros Tengahnya. Selama ini, publik memahami Gus Dur sangat dekat dengan Megawati, dan Amin dekat dengan Habibie. Manuver Amin ini awalnya tidak dianggap serius oleh banyak kalangan karena faktor historis yang kemungkinan akan menjadi penghambatnya. Memory publik selalu terbawa ke dalam sejarah politik NU yang keluar dari Masyumi (Muhammadiyah di dalamnya), yang menambah jarak komunikasi NU dengan Muhammadiyah setelah dalam awal-awal berdirinya, kedua organisasi ini terlibat perseteruan. Apalagi kondisi kesehatan Gus Dur yang diragukan dapat memenuhi syarat sebagai presiden dengan tugas kenegaraan yang berat. Manuver ini mulai dianggap sebagai gerakan politik yang serius ketika Gus Dur menyatakan bersedia dicalonkan.

Page 6: Konteks Politik Pemilu Tahun 1999 Di Indonesia

Awalnya pemilu berjalan mulus namun menimbulkan pro-kontra antara para Para kyai yang awalnya menolak pencalonan itu namun akhirnya juga merestuinya, setelah Amin Rais berkeliling menunjukkan keseriusannya. Memasuki SU MPR, sudah ada tiga kekuatan politik yang mempunyai kandidat presiden; Megawati dengan PDIP, Habibie dengan Partai Golkar, dan Poros Tengah (PKB dan PAN) dengan Gus Dur. Militer di bawah kendali Jenderal Wiranto terlihat goyang dengan peta kekuatan yang belum jelas, meskipun Wiranto lebih condong ke Habibie. Ketiga kubu politik itu saling menggertak satu dengan lainnya, baik dengan pernyataan di media, maupun gerakan para pendukungnya di lapangan. Massa PDIP semakin beringas dengan berbagai manuver yang dianggapnya hendak menyingkirkan Megawati. Begitu pula dengan pendukung Habibie, Indonesia Timur meradang dengan manuver yang dianggapnya menyudutkan Habibie. Bahkan sempat terlontar pernyataan hendak menggalang kemerdekaan diri jika Habibie dihadang menjadi presiden. Perseteruan dua kubu ini dimanfaatkan Poros Tengah untuk menaikkan popularitasnya sebagai gerakan politik alternatif di tengah kebuntuan karena perseteruan Habibie dan Megawati. Dengan demikian pemilu diwarnai dengan perang yang terjadi antara ketiga kandidat kekuatan politik sehingga muncul perdebatan baik di lapangan ataupun media massa.

2.4 Pemilu Presiden 19992.4.1 Berapa, Siapa, dan dari partai apa kandidatnya2.4.2 Program apa yang dibuat oleh Kandidat2.4.3 Bagaimana proses politik dan proses pemilihan seperti apa2.4.4 Apakah terjadi konflik kepentingan

Setelah dilakukannya pemilihan legislatif maka dilanjutkan pemilihan presiden di era reformasi. Pemilihan presiden ini dilakukan oleh MPR selaku wakil rakyat yang telah dipilih secara langsung melalui pemilu sebelumnya. Calon presiden RI yang maju dalam pemilihan presiden untuk periode 1999-2004 yang dilakukan pada 20 Oktober 1999 yaitu Megawati Soekarnoputri dari PDIP dan Abdurrahman Wahid atau yang biasa dikenal dengan Gus Dur dari poros tengah (PKB, PAN, dan PPP). Dibalik hal tersebut, sebelumnya telah ada nama-nama lain sebagai calon presiden. Pertama yaitu BJ. Habibie dari Partai Golkar yang mundur dikarenakan laporan pertanggungjawabannya selama menjadi presiden ke-3 ditolak oleh MPR yang terkait dengan kebebasan Timor-timor menjadi negara sendiri yaitu Timor Letse, sehingga Habibie memilih untuk tidak mau dicalonkan kembali sebagai presiden dan MPR pun tidak dapat menyetujui Habibie sebagai calon Presiden. Suara Golkar pun dipecah ada yang diberikan kepada Gus Dur dan Megawati. Selanjutnya, Yusril Ihza Mahendra yang tiba-tiba mengundurkan diri dari daftar calon presiden pada saat detik-detik menjelang pemilihan walaupun Ia telah disetujui oleh MPR sebagai calon Presiden. Sama hal nya dengan Habibie, suara dukungan pun diberikan ke Gus Dur.

Dalam pemilihan presiden ini, pada dasarnya Megawati maupun Gus Dur sama-sama mencanangkan reformasi, kehidupan yang terbebas dan terlepas dari era orde Baru. Setelah bertahun-tahun rakyat hidup dalam cengkraman otoritar, maka rakyat pun menginkan suatu kebebasan. Sikap Megawati Soekarnoputri sangat yakin atas kemenangannya nanti yang dikarenakan partainya telah memenangkan pemilihan pada pemilu sebelumnya. Tidak menutup kemungkinan Megawati tetap saja melakukan koalisi dengan partai besar lainnya seperti Golkar. Namun, ketidakcakapan Megawati dalam memimpin dinilai akan menghambat langkahnya untuk menduduki kursi presiden. Tindakan anggota DPR dari PDIP dianggap tidak menjunjung tinggi etika dalam kehidupan politik. Dalam hal perbedaan pendapat politik

Page 7: Konteks Politik Pemilu Tahun 1999 Di Indonesia

seharusnya tetap menjadikan para politisi bersikap santun dan terhormat, namun sikap anggota PDIP itu seolah-olah mencerminkan ketegangan dan ketertekanan terhadap situasi nasional yang sedang menyudutkan mereka karena memenangkan pemilihan legislatif. Hal ini berbeda dengan kondisi Gus Dur dengan didukung oleh poros tengah yang merupakan alternatif kondisi bangsa Indonesia yang membutuhkan sosok yang penuh dengan perdamian. Gus Dur yang notabennya dari NU awalnya dinilai akan bertentangan dengan Amien Rais sebagai Ketua MPR yang berasal dari Muhammadiyah, akan tetapi faktanya berbeda karena pemikiran Gus Dur tentang agama yang sangat modern dengan menghargai semua agama. Pada akhirnya, Amien Rais sendiri pun yang menggagas poros tengah dengan mencalonkan Gus Dur sebagai calon presiden. Hal ini juga dikarenakan kondisi calon lainnya yaitu BJ. Habibie dan Megawati yang dipandang tidak memiliki citra yang baik. Kondisi pemilihan pun semakin memanas antara Megawati dan Gusdur. Akhirnya, terpilihlah Gus Dur sebagai presiden ke empat RI dengan selisih 60 suara dengan saingannya Megawati Soekarnoputri. Gusdur mendapat 373 suara dan Megawati yang hanya meraih 313 suara serta yang abstain 5 suara. Dengan demikian, Amien Rais pun langsung mengkukuhkan Gus Dur sebagai Presiden RI periode 1999-2004 (Cakloel Zaen Foe, 2014).

Pada tanggal 21 Oktober 1999 dilanjutkan dengan pelantikkan Presiden sekaligus pemilihan wakil presiden. Empat calon wakil presiden yang muncul adalah: Ir. Akbar Tandjung,  Jenderal TNI Wiranto, Dr. H. Hamzah Haz, dan Megawati Soekarnoputri. Kemenangan Gus Dur tentunya menimbulkan amukan dari pendukung Megawati. Konflik pun tidak akan terelakkan di dalam bangsa ini yang dikarenakan Megawati akan menjadi lambang utama reaksi keras terhadap hasil-hasil Sidang Umum MPR 1999 di masyarakat umum. Hal ini berarti bahwa pemenang pemilihan umum 7 Juni 1999 (pemilu legislatif) diasingkan dari politik Indonesia dan dapat memunculkan berbagai tindakan destabilisasi yang tiada akhirnya. Selain itu, citra Gus Dur yang identik dengan umat Islam, maka kemungkinan besar politik Indonesia sesudah Sidang Umum MPR 1999 akan meretakkan politik dan bangsa Indonesia ke dalam kekuatan Islam dan non-Islam. Sehingga akan menyulitkan terciptanya sistem saling mengimbangi, sistem perimbangan kekuatan politik, dan sistem checks-and-balances. Yang paling dasyat yaitu politik Indonesia akan kembali diwarnai lagi oleh yang kuat "menggilas" yang lemah. Oleh karena itu untuk menghindari hal-hal tersebut, Gus Dur pun mengambil sikap dengan dukungan PKB terhadap Megawati dalam pemilihan wakil presiden dan meminta Wiranto untuk mundur dalam pemilihan. Namun, selain itu ternyata Akbar Tandjung pun ikut mundur. Sehingga, hanya terdapat dua calon yaitu Megawati dan Hamzah Haz. Hasilnya, Megawati mendapat 396 suara, sementara Hamzah Haz meraih 284 suara. Maka, pemenangnya adalah Megawati Sukarnoputri dan MPR segera melantiknya. Dengan demikian, terpilihlah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarnoputri selaku presiden dan wakil presiden RI periode 1999-2004.

Pada masa pemerintahan Gus Dur, dibentuklah Kabinet Persatuan Nasional yang merupakan kabinet koalisi yang meliputi anggota berbagai partai politik: PDI-P, PKB, Golkar, PPP, PAN, dan Partai Keadilan (PK) serta Non-partisan dan TNI. Selanjutnya, melakukan dua reformasi pemerintahan. Reformasi pertama adalah membubarkan Departemen Penerangan, senjata utama rezim Soeharto dalam menguasai media dan reformasi kedua adalah membubarkan Departemen Sosial yang korupsi. Menteri Koordinator Pengentasan Kemiskinan (Menko Taskin) Hamzah Haz juga mengundurkan diri pada bulan November dengan dugaan pengunduran dirinya diakibatkan karena Gus Dur menuduh beberapa anggota kabinet melakukan korupsi. Di sisi lain dalam hal persatuan tanah air, Gus

Page 8: Konteks Politik Pemilu Tahun 1999 Di Indonesia

Dur selalu membuka wacana demokrasi dengan memberikan kebebasan untuk setiap warga negara berpendapat. Munculnya wacana desentralisasi pun dikeluarkan oleh Gus Dur. Sehingga, adanya otonomi daerah pun tidak terelakkan yang memunculkan kekuatan politik lokal di Indonesia yang menjadi tonggak pertama kalinya politik lokal di Indonesia. Bukti dari hal ini yaitu Gus Dur memberikan Aceh referendum. Namun referendum ini menentukan otonomi dan bukan kemerdekaan seperti referendum Timor-Timor. Gus Dur juga ingin mengadopsi pendekatan yang lebih lembut terhadap Aceh dengan mengurangi jumlah personel militer di Negeri Serambi Mekkah tersebut. Selain itu, Netralisasi Irian Jaya pun dilakukan Gus Dur dengan mengunjungi Jayapura di provinsi Irian Jaya dengan meyakinkan pemimpin-pemimpin Papua bahwa Ia mendorong penggunaan nama Papua. Namun, dengan adanya politik lokal ini pula yang akan memicu konflik akan ketidakpuasan hasil pemilihan di tingkat lokal.

Selain itu, sikap demokrasi Gus Dur pun menunjukkan hal yang berani dengan menyatakan permintaan maaf kepada para keluarga PKI yang mati dan disiksa dalam gerakan pembersihan PKI oleh pemerintahan Orde Baru. Dalam hal ini, Gus Dur memang seorang tokoh pahlawan anti diskriminasi. Dia menjadi inspirator pemuka agama-agama untuk melihat kemajemukan suku, agama dan ras di Indonesia sebagian bagian dari kekayaan bangsa yang harus dipelihara dan disatukan sebagai kekuatan pembangunan bangsa yang besar. Dengan demikian, Gus Dur telah menunjukkan sistem pemerintahan yang demokrasi yang terlepas dari Orde Baru, sehingga Ia disebut sebagai Bapak Demokrasi Pluralisme. Gus Dur pun terkesan tidak takut dengan sikap yang diambil misalnya Jendral Wiranto yang diminta untuk mengundurkan diri dari jabatan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan karena dianggap penghalang terhadap rencana reformasi militer dan juga karena tuduhan pelanggaran HAM di Timor-Timor. Selanjutnya Menteri Negara Perindustrian dan Perdagangan Jusuf Kalla dan Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi dipecat dengan alasan korupsi. Sehingga, hal ini memperburuk hubungan Gus Dur dengan Golkar dan PDI-P. Ia juga berusaha membuka hubungan dengan Israel, yang menyebabkan kemarahan pada kelompok Muslim Indonesia. Dalam hubungan dengan TNI, semakin memburuk ketika Laskar Jihad tiba di Maluku dan dipersenjatai oleh TNI. Laskar Jihad pergi ke Maluku untuk membantu orang Muslim dalam konflik dengan orang Kristen dan Gus Dur meminta TNI menghentikan aksi Laskar Jihad, namun mereka tetap berhasil mencapai Maluku dan dipersenjatai oleh senjata TNI. Namun, hingga sidang Umum MPR 2000, popularitas Gus Dur masih tinggi. Sekutu Gus Dur seperti Megawati, Akbar dan Amien masih mendukungnya meskipun terjadi berbagai skandal dan pencopotan menteri. Pada Sidang Umum MPR, pidato Gus Dur diterima oleh mayoritas anggota MPR. Selama pidato, Ia menyadari kelemahannya sebagai pemimpin dan menyatakan Ia akan mewakilkan sebagian tugas. Anggota MPR setuju dan mengusulkan agar Megawati menerima tugas tersebut. Pada awalnya MPR berencana menerapkan usulan ini sebagai TAP MPR, akan tetapi Keputusan Presiden dianggap sudah cukup. Pada 23 Agustus 2000, Gus Dur mengumumkan kabinet baru meskipun Megawati ingin pengumuman ditunda. Megawati menunjukan ketidaksenangannya dengan tidak hadir pada pengumuman kabinet. Kabinet baru lebih kecil dan meliputi lebih banyak non-partisan. Tidak terdapat anggota Golkar dalam kabinet baru Gus Dur.

Pada September 2000, Gus Dur menyatakan darurat militer di Maluku karena kondisi di sana semakin memburuk. Pada bulan yang sama, bendera bintang kejora berkibar di Papua Barat. Gus Dur memperbolehkan bendera bintang kejora dikibarkan asalkan berada di bawah bendera Indonesia. Hal ini menyebabkan kritakan dari Megawati dan Akbar. Pada 24

Page 9: Konteks Politik Pemilu Tahun 1999 Di Indonesia

Desember 2000, terjadi serangan bom terhadap gereja-gereja di Jakarta dan delapan kota lainnya di seluruh Indonesia. Pada akhir tahun 2000, terdapat banyak elit politik yang kecewa dengan Gus Dur. Orang yang paling menunjukan kekecewaannya adalah Amien. Ia menyatakan kecewa mendukung Gus Dur sebagai presiden tahun lalu. Amien juga berusaha mengumpulkan oposisi dengan meyakinkan Megawati dan Gus Dur untuk merenggangkan otot politik mereka. Pada akhir November, 151 anggota DPR menandatangani petisi yang meminta pemakzulan Gus Dur.

Pada Januari 2001, sikap demokrasi pluralisme Gus Dur ditunjukkan kembali dengan mengumumkan bahwa Tahun Baru Imlek menjadi hari libur opsional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa. Selanjutnya, pada pertemuan dengan rektor-rektor universitas pada 27 Januari 2001, Gus Dur menyatakan kemungkinan Indonesia masuk kedalam anarkisme. Ia lalu mengusulkan pembubaran DPR jika hal tersebut terjadi. Pertemuan tersebut menambah gerakan anti-Wahid. Pada 1 Februari 2001, DPR bertemu untuk mengeluarkan nota terhadap Gus Dur. Nota tersebut berisi diadakannya Sidang Khusus MPR dimana pemakzulan Presiden dapat dilakukan. Anggota PKB hanya bisa walk out dalam menanggapi hal ini. Nota ini juga menimbulkan protes di antara NU. Di Jawa Timur, anggota NU melakukan protes di sekitar kantor regional Golkar. Di Jakarta, oposisi Gus Dur turun menuduhnya mendorong protes tersebut. Gus Dur membantah dan pergi untuk berbicara dengan demonstran di Pasuruan. Namun, demonstran NU terus menunjukkan dukungan mereka kepada Gus Dur dan pada bulan April mengumumkan bahwa mereka siap untuk mempertahankan Gus Dur sebagai presiden hingga mati.

Pada bulan Maret, Gus Dur mencoba membalas oposisi dengan melawan disiden pada kabinetnya. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra dicopot dari kabinet karena ia mengumumkan permintaan agar Gus Dur mundur. Menteri Kehutanan Nurmahmudi Ismail juga dicopot dengan alasan berbeda visi dengan Presiden, berlawanan dalam pengambilan kebijakan, dan diangap tidak dapat mengendalikan Partai Keadilan, yang pada saat itu massanya ikut dalam aksi menuntut Gus Dur mundur. Dalam menanggapi hal ini, Megawati mulai menjaga jarak dan tidak hadir dalam inaugurasi penggantian menteri. Pada 30 April, DPR mengeluarkan nota kedua dan meminta diadakannya Sidang Istimewa MPR pada 1 Agustus.

Gus Dur mulai putus asa dan meminta Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan (Menko Polsoskam) Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyatakan keadaan darurat. Yudhoyono menolak dan Gus Dur memberhentikannya dari jabatannya beserta empat menteri lainnya dalam reshuffle kabinet pada tanggal 1 Juli 2001. Akhirnya pada 20 Juli, Amien Rais menyatakan bahwa Sidang Istimewa MPR akan dimajukan pada 23 Juli. TNI menurunkan 40.000 tentara di Jakarta dan juga menurunkan tank yang menunjuk ke arah Istana Negara sebagai bentuk penunjukan kekuatan. Gus Dur kemudian mengumumkan pemberlakuan dekrit yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun dekret tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli, MPR secara resmi memakzulkan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri. Gus Dur terus bersikeras bahwa ia adalah presiden dan tetap tinggal di Istana Negara selama beberapa hari, namun akhirnya pada tanggal 25 Juli 2001 Ia pergi ke Amerika Serikat karena masalah kesehatan.

Pada tanggal 25 Juli 2001 pula dilaksanakan pemilihan wakil presiden pengganti Megawati. Tujuh fraksi di MPR secara resmi mengajukan lima nama calon wakil presiden

Page 10: Konteks Politik Pemilu Tahun 1999 Di Indonesia

yaitu Akbar Tandjung yang diajukan oleh Fraksi Partai Golkar, Hamzah Haz oleh Fraksi PPP dan Fraksi Reformasi, Agum Gumelar oleh Fraksi Partai Daulat Umat, Siswono Yudho Husodo oleh Forum Lintas Fraksi, Susilo Bambang Yudhoyono oleh Fraksi KKI dan Fraksi Utusan Golongan dan Yusril Ihza Mahendra dari Fraksi Partai Bulan Bintang yang kembali lagi melakukan pengunduran diri sebelum pemungutan suara. Hasil pemungutan suara tersebut yaitu Agum Gumelar memperoleh 41 suara, Susilo Bambang Yudhoyono memperolah 122 suara, Akbar Tandjung memperoleh 177 suara, Hamzah Haz 238 suara dan Siswono Yudohusodo 31 suara. Sedangkan yang abstain sebanyak 4 suara. Total suara yang masuk sebanyak 613 suara. Karena belum ada yang memperoleh suara lebih dari 50 persen dari total suara yang masuk, pemilihan wakil presiden RI ini dilanjutkan ke tahap kedua dengan peserta Susilo Bambang Yudhoyono, Akbar Tandjung dan Hamzah Haz. Akhirnya, Hamzah Haz kembali memperoleh jumlah suara terbanyak dengan 304 suara dan Akbar berada diurutan kedua dengan 203 suara, dan Susilo Bambang Yudhoyono di tempat ketiga dengan 147 suara. Jumlah suara yang masuk adalah 604 ditambah 3 suara abstain dan 2 suara yang dianggap tidak sah. Karena jumlah suara pemenang belum mencapai setengah dari jumlah keseluruhan pemilih, maka diadakan pemungutan suara babak ketiga yang dengan calon dua terbesar, yaitu Hamzah dan Akbar. Dalam pemungutan putaran ketiga dalam lanjutan Rapat Paripurna Sidang Istimewa (SI) MPR, Hamzah berhasil Hamzah meraih 340 suara atau unggul 103 suara dari Akbar Tandjung yang hanya meraih 237 suara (Cakloel Zaen Foe, 2014). Setelah itu, ketua MPR Amien Rais pun melantik Megawati Soekarnoputri dan Hamzah Haz sebagai presiden dan wakil presiden RI periode 2001-2004 melanjutkan pemerintahan Gusdur.

Pada masa pemerintahan Megawati, banyak prestasi-prestasi yang dicapai dalam dunia politik. Diantaranya yaitu melakukan stabilisasi kondisi polhukkam dalam negeri peninggalan pemerintahan sebelumnya (1998-2001) yang penuh dengan “kegaduhan” sehingga Indonesia bisa kembali membangun, memberikan kondisi yang kondusif bagi legislatif untuk melakukan fungsi legislasinya sehingga banyak UU yang telah disahkan pada masa kepemimpinannya dibandingkan masa pemerintah lain, mulai melakukan pemberantasan KKN diantaranya dengan keberanian me-nusakambang-kan dan memenjarakan kroni Soeharto (Tommy Soehato, Bob Hasan dan Probosutedjo) dan menangkap konglomerat bermasalah Nurdin Halid dan KPK didirikan, politik luar negeri yang lebih bebas dan aktif diantaranya dengan mengutuk agresi militer yg dilakukan AS ke Iraq dan menolak permintaan AS untuk menyerahkan Abu Bakar Baasyir ke AS, berhasil mengungkapkan para pelaku terorisme diantaranya Bom Bali I dan II yang telah menewaskan ratusan orang yaitu dengan menangkap Amrozi, Imam samudra, Mukhlas dan Al faruq dan kasus pengeboman lain yaitu Bom JW marriot, Kedubes Australia dan Bom BEJ dan Medan, melakukan operasi kesejahteraan dan militer di Aceh yaitu dengan mengembalikan proporsi pendapatan dari Lapangan Arun sebagian besar kepada rakyat Aceh dengan status daerah Otonomi Khusus dan menangkap anggota GAM bersenjata sehingga jumlahnya hanya tinggal ratusan dan lari ke hutan. Indonesia juga berhasil menangkap dan mengadili ratusan anggota GAM dan para petinggi GAM di Indonesia yaitu Muzakir manaf, Irwandy Yusup dll dan memenjarakannya (http://animas.blog.fisip.uns.ac.id). Selain itu, yang paling membanggakan di dalam kancah sistem politik Indonesia yaitu dengan berhasilnya pemilihan umum presiden secara langsung 2004. Periode pertama untuk memilih anggota legislatif secara langsung dan periode kedua untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung.

Page 11: Konteks Politik Pemilu Tahun 1999 Di Indonesia

Namun, Megawati dianggap gagal melaksanakan agenda reformasi dan tidak mampu mengatasi krisis bangsa. Menurut beberapa pengamat politik dan pemerintahan, kebijakan pemerintah Megawati sepanjang tahun 2002  cenderung mengabaikan aspirasi rakyat dan hanya berorientasi pada kepentingan kalangan tertentu serta tidak mampu melepaskan Indonesia dari tekanan pihak-pihak asing, kegagalan diplomasi Indonesia sehingga kepulauan Sipadan-Ligitan lepas dari Indonesia, serta kasus penjualan saham Indosat, gejala munculnya pola lama dalam pemerintahan Megawati yaitu pendekatan represif dalam menyelesaikan masalah dan sakralisasi lembaga kepresidenan, kegagalan partai politik yang terlibat dalam pemerintahan gotong royong dalam mengartikulasi kepentingan rakyat, tak ada upaya pemberantasan KKN, sebaliknya praktik korupsi makin terang-terangan dan meluas, kebijakan pemerintah yang memberi pengampunan terhadap sejumlah koruptor jelas mengingkari nilai keadilan (http://animas.blog.fisip.uns.ac.id).

Kegagalan Pemerintahan Megawati dalam menjalankan reformasi birokrasi ini mengakibatkan kepercayaan rakyat terhadap Megawati menjadi menurun. Sejumlah politisi dan tokoh masyarakat membentuk kelompok penekan yang bernama Front Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera) akhir Januari 2003. Pernyataan ketidakpuasan terhadap pemerintahan Megawati-Hamzah Haz sudah ditabuh tokoh-tokoh yang tergabung dalam Front Ampera ini. Bahkan Sekretariat Bersama (Sekber) sudah dibentuk untuk menampung kelompok masyarakat lainnya yang ingin bergabung. Hal ini bertujuan untuk mencermati setiap perkembangan bangsa yang terjadi dan sekaligus menyikapinya. Tujuan lainnya adalah menyuarakan aspirasi rakyat bila ada kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan kepentingan bangsa. Front Ampera sudah mengajukan sepuluh tuntutan mulai dari menolak kebijakan pemerintah yang tidak mengutamakan kepentingan nasional rakyat sampai pada dukungannya terhadap perjuangan mahasiswa, buruh, nelayan, petani dan wong cilik. Dengan demikian, kepemimpinan Megawati di anggap telah gagal. Sehingga, pada pemilihan selanjutnya Megawati tidak dapat memenangkan pemilihan presiden.

2.5 Prediksi Pemerintahan Selanjutnya – tahun 2004

Analisis mengenai prediksi pemilu dari 1999 ke 2004.Bagaimana prediksi proses politik dan pemilihan yang terjadi dari 1999 ke 2004

Adanya prediksi yang terjadi pada pemilu 1999 yang berangsur pada pemilu 2004 dimana sebelumnya Pemilu 1999 merupakan Pemilu pertama setelah runtuhnya orde baru, dilangsungkan pada tanggal 7 Juni 1999 di bawah pemerintahan Presiden BJ Habibie. Era ini merupakan awal penghapusan masa keotoriteran menjadi masa reformasi dan berdampak langsung dengan peningkatan kondisi politik di Indonesia. Banyak dari partai politik terbentuk dan mendaftarkan diri sebagai peserta pemilu dengan total 48 partai politik. Lima besar Pemilu 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional. Akan tetapi, pada pemilu 1999 dalam proses pemilihannya yang dianggap tidak bebas dimana presiden dan wakil presidennya langsung dipilih dan diangkat oleh MPR. Sehingga kondisi ini memungkinkan untuk merubah sistem politik yang sebelumnya dapat dikatakan masih belum bebas. Prediksi pertama, untuk pemilu selanjutnya maka akan terjadi perubahan di sistem politik dikarenakan kondisi sebelumnya pemilu hanya memilih MPR saja, hal ini berdampak terhadap kecemburuan partai politik yang lain sehingga adanya aturan baru di pemilu berikutnya yakni pemilihan anggota dewan dan pemilihan presiden. Sehingga untuk

Page 12: Konteks Politik Pemilu Tahun 1999 Di Indonesia

pemilu 2004 akan diprediksi bahwa proses pemilihan dilakukan secara bebas dan nantinya yang akan menjadi catatan sangat penting dalam sejarah pemilu di Indonesia.

Prediksi kedua pada pemilu berikutnya yaitu akan terjadi pertumbuhan partai politik yang sangat banyak karena di pemilu 1999 telah terlihat adanya roh demokrasi yang dulunya mati suri dan untuk pemilu 2004 mendatang akan menjadi puncak dari hidupnya kembali demokrasi. Hal ini dikarenakan, dahulu segala sesuatunya yang masih dikekang dan apabila kemudian dibebaskan maka akan memunculkan banyak ide, pendapat dan suara melalui dibukanya jalan demokrasi yang sebebas bebasnya, sehingga akan mendorong para aktivis politik yang dulunya bungkam tidak bisa bersuara, pada akhirnya muncul ke permukaan.

Pemilu 2004 menjadi catatan sangat penting dalam sejarah pemilu di Indonesia. Dimana untuk pertama kali rakyat Indonesia memilih langsung wakilnya di DPR serta pasangan presiden dan wakil presiden. Sebelumnya presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR. Lembaga-lembaga yang dibentuk untuk meningkatkan kualitas proses politik, seperti Mahkamah Konstitusi, KPU, dan Panwaslu, telah memainkan peranan aktifnya masing-masing dalam mempersiapkan pemilu (KPU), mengadili sengketa pemilu (Mahkamah Konstitusi), dan mengawasi jalannya pemilu (Panwaslu). Pada tingkat masyarakatpun, bermunculan organisasi-organisasi yang berinisiatif sebagai pengawas dari proses-proses politik yang terjadi secara begitu intens selama tahun 2004. Hal ini tampak pada kerja keras lembaga-lembaga yang disebutkan di atas serta luasnya partisipasi masyarakat dalam menjelang penyelenggaraan pemilu, termasuk di dalam mengawasi penyelenggaraannya, dimana hal tersebut merupakan pertanda awal dari berjalannya proses transformasi politik ke arah yang benar. Pemilu 2004 dapat dikatakan sebagai jalan yang sama sekali baru bagi Indonesia dalam menapaki demokrasi perwakilan.

Pada pemilu 2004 ada tiga tahapan proses pemilihan yang dilakukan. Hingga pada Pemilu presiden putaran pertama 5 Juli 2004 yang diikuti 5 kandidat, menunjukkan hasil yaitu Wiranto dan Solahuddin Wahid dicalonkan Golkar memperoleh 22,2% suara, Megawati dan Hasyim Muzadi diusung oleh PDI-P 26,6% suara, Amien Rais dan Siswono Yudhohusodo dikandidatkan oleh PAN 14,7% suara, Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla oleh Partai Demokrat 33,6% suara, dan Hamzah Haz dan Agum Gumelar diajukan oleh PPP 3%. Karena UU No. 23 Tahun 2003 menentukan bahwa bila tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50%, harus dilakukan pemilu presiden putaran kedua dan hanya boleh diikuti oleh kandidat rangking 1 dan 2 pada putaran pertama. Sehingga pemilu presiden putaran kedua 20 September 2004 hanya diikuti oleh pasangan Megawati dan Hasyim Muzadi bertarung melawan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla.

Prediksi pada pemilu 2004 ini, Megawati akan kembali menduduki kursi kepresidenan, karena PDI-P didukung oleh Golkar, PPP, PDS dan PBR, yang bila suaranya digabungkan pasti menang karena di atas kertas sudah lebih dari 50% suara nasional. Inilah uniknya demokrasi di Indonesia, hasil pemilu presiden di luar prediksi, karena hasilnya menunjukkan bahwa pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla menang 60,62% mengungguli pasangan Megawati dan Hasyim Muzadi yang hanya memperoleh 39,38%. Kekalahan Megawati ini disebabkan karena adanya ketidakberhasilan dalam memimpin, tidak hanya itu juga dikarenakan masyarakat merasa tidak puas akibat kegagalan dalam pemerintahan sebelumnya. Terlihat gagal dalam melaksanakan agenda reformasi dan tidak mampu mengatasi krisis bangsa, sehingga mengakibatkan kepercayaan rakyat terhadap Megawati menjadi menurun.

Page 13: Konteks Politik Pemilu Tahun 1999 Di Indonesia

Kemenangan Partai Demokrat dalam memenangkan pilpres ini dikarenakan figur SBY yang menjadi simbol hidup dan tauladan partai. Figur SBY yang santun, cerdas, bersih dan demokratis mampu membuat Partai Demokrat melesat menjadi partai yang besar, bahkan mampu menandingi partai-partai besar yang telah ada sejak puluhan tahun silam, yakni Partai Golkar, PDI Perjuangan dan PPP. Hal ini dikarenakan citra tokoh sentral yaitu SBY sangat bagus, SBY sebagai Ketua Dewan Pembina Demokrat dan sekaligus Roh dari partai itu. Citra yang baik itu diikuti popularitas yang melebihi dari tokoh lain. Itulah yang menjadi kekuatan mereka dalam memobilisasi massa pemilih. Hasilnya sangat bagus, bahkan, melampaui dukungan terhadap Partai Demokrat sendiri. Dukungan kepada SBY dua kali lipat daripada dukungan kepada partainya sendiri. Pemikiran SBY tentang politik kebangsaan dan kepemimpinan selain dipengaruhi dari latar belakang pendidikan dan penugasan di militer. Sehingga disini masyarakat melihat ada sosok pemimpin baru yang mampu membawa negara ke arah yang lebih baik lagi. Sehingga disini dapat dipetik suatu pelajaran paling berharga dari pemilu presiden 2004 adalah bahwa kandidat partai politik belum tentu menjadi pilihan terbaik bagi rakyat pemilih, karena rakyat disini memilih pemimpinnya, bukan partai politiknya.

Page 14: Konteks Politik Pemilu Tahun 1999 Di Indonesia

BAB IIIPenutup

Page 15: Konteks Politik Pemilu Tahun 1999 Di Indonesia

Daftar Pustaka Zarief dkk., eds. 1998. Amien vs Mega: Persaingan Menuju Istana, Peluang dan Tantangan. Yogyakarta: Media Pressindo.KPU. 2008. PEMILU 1999. ( Online :

http://www.kpu.go.id/index.php/pages/detail/2008/11/Pemilu-1999) Diakses 5 April 2015

M. Haris, Shoim. 2008. Gus Dur Menjadi Presiden Tahun 1999. (Online :

http://politik.kompasiana.com/2013/01/16/gus-dur-menjadi-presiden-tahun-1999-520130.html)

Diakses 5 April 2015