Konsep legal dan etik keperawatan gerontik

28
1 KONSEP LEGAL DAN ETIK KEPERAWATAN GERONTIK 1. Konsep Legal dan Etik Keperawatan Gerontik 1.1 Prinsip Etik 1.1.1. Respect (Hak untuk dihormati) Perawat harus menghargai hak-hak pasien/klien. 1.1.2. Autonomy (hak pasien memilih) Hak pasien untuk memilih treatment terbaik untuk dirinya. 1.1.3. Beneficence (Bertindak untuk keuntungan orang lain/pasien) Kewajiban untuk melakukan hal tidak membahayakan pasien/orang lain dan secara aktif berkontribusi bagi kesehatan dan kesejahteraan pasiennya. 1.1.4. Non-Maleficence (utamakan-tidak mencederai orang lain) Kewajiban perawat untuk tidak dengan sengaja menimbulkan kerugian atau cidera. Prinsip : Jangan membunuh, menghilangkan nyawa orang lain, jangan menyebabkab nyeri atau penderitaan pada orang lain, jangan membuat orang lain berdaya dan melukai perasaaan orang lain. 1.1.5. Confidentiality (hak kerahasiaan) Menghargai kerahasiaan terhadap semua informasi tentang pasien/klien yang dipercayakan pasien kepada perawat. 1.1.6. Justice (keadilan) Kewajiban untuk berlaku adil kepada semua orang. Perkataan adil sendiri berarti tidak memihak atau tidak berat sebelah. 1.1.7. Fidelity (loyalty/ketaatan) 1.1.7.1. Kewajiban untuk setia terhadap kesepakatan dan bertanggungjawab terhadap kesepakatan yang telah diambil. 1.1.7.2. Era modern, pelayanan kesehatan : Upaya Tim (tanggungjawab tidak hanya pada satu profesi). 80% kebutuhan dipenuhi perawat. 1.1.7.3. Masing-masing profesi memiliki aturan tersendiri yang berlaku. 1.1.7.4. Memiliki keterbatasan peran dan berpraktik dengan menurut aturan yang disepakati.

Transcript of Konsep legal dan etik keperawatan gerontik

1

KONSEP LEGAL DAN ETIK KEPERAWATAN GERONTIK

1. Konsep Legal dan Etik Keperawatan Gerontik

1.1 Prinsip Etik

1.1.1. Respect (Hak untuk dihormati)

Perawat harus menghargai hak-hak pasien/klien.

1.1.2. Autonomy (hak pasien memilih)

Hak pasien untuk memilih treatment terbaik untuk dirinya.

1.1.3. Beneficence (Bertindak untuk keuntungan orang lain/pasien)

Kewajiban untuk melakukan hal tidak membahayakan pasien/orang lain

dan secara aktif berkontribusi bagi kesehatan dan kesejahteraan pasiennya.

1.1.4. Non-Maleficence (utamakan-tidak mencederai orang lain)

Kewajiban perawat untuk tidak dengan sengaja menimbulkan kerugian

atau cidera.

Prinsip : Jangan membunuh, menghilangkan nyawa orang lain, jangan

menyebabkab nyeri atau penderitaan pada orang lain, jangan membuat

orang lain berdaya dan melukai perasaaan orang lain.

1.1.5. Confidentiality (hak kerahasiaan)

Menghargai kerahasiaan terhadap semua informasi tentang pasien/klien

yang dipercayakan pasien kepada perawat.

1.1.6. Justice (keadilan)

Kewajiban untuk berlaku adil kepada semua orang. Perkataan adil sendiri

berarti tidak memihak atau tidak berat sebelah.

1.1.7. Fidelity (loyalty/ketaatan)

1.1.7.1. Kewajiban untuk setia terhadap kesepakatan dan bertanggungjawab

terhadap kesepakatan yang telah diambil.

1.1.7.2. Era modern, pelayanan kesehatan : Upaya Tim (tanggungjawab tidak

hanya pada satu profesi). 80% kebutuhan dipenuhi perawat.

1.1.7.3. Masing-masing profesi memiliki aturan tersendiri yang berlaku.

1.1.7.4. Memiliki keterbatasan peran dan berpraktik dengan menurut aturan yang

disepakati.

2

1.1.8. Veracity (Truthfullness & honesty)

Kewajiban untuk mengatakan kebenaran.

1.1.8.1. Terkait erat dengan prinsip otonomi, khususnya terkait informed-consent

1.1.8.2. Prinsip veracity mengikat pasien dan perawat untuk selalu mengutarakan

kebenaran.

1.2. Pemecahan masalah etik

1.2.1. Identifikasi masalah etik

1.2.2. Kumpulkan fakta-fakta

1.2.3. Evaluasi tindakan alternatif dari berbagai perspektif etik.

1.2.4. Buat keputusan dan uji cobakan

1.2.5. Bertindaklah, dan kemudian refleksikan pada keputusan tsb

1.3. Prioritas Penelitian Bidang Keperawatan Gerontik

Keperawatan gerontik secara holistik menggabungkan aspek pengetahuan

dan keterampilan dari berbagai macam disiplin ilmu dalam mempertahankan

kondisi kesehatan fisik, mental, sosial, dan spiritual lansia. Hal ini diupayakan

untuk memfasilitasi lansia kearah perkembangan kesehatan yang lebih optimum,

dengan pendekatan pada pemulihan kesehatan, maksimalkan kualitas hidup lansia

baik dalam kondisi sehat, sakit, maupun kelemahan serta memberikan rasa aman,

nyaman, terutama dalam menghadapi kematian. Penelitian keperawatan gerontik

diharapkan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pengem-

bangan teknik maupun mutu pelayanan dengan berbagai pendekatan di atas.

Namun, dalam menyusun prioritas penelitian, perlu diseimbangkan antara

kebutuhan untuk menambah ilmu dan wawasan baru dengan kebutuhan untuk

meningkatkan kualitas, efektivitas, efisiensi, dan kepatuhan pelayanan. Dalam

mengembangkan penelitian tersebut, kita terlebih dahulu perlu mengetahui aspek-

aspek kritis yang ada dalam keperawatan gerontik.

1.4. Area Prioritas

1.4.1. Pelayanan, evaluasi dan efektivitas intervensi terhadap individu atau

kelompok atau metode baru dalam pelayanan keperawatan. sub area

prioritas: ventilasi dan sirkulasi, nutrisi, ekskresi, aktivitas dan istirahat,

stimulasi mental, tidur, masalah kardiovaskuler, masalah penyakit

vaskularisasi periver, masalah respiratori, masalah gastrointestinal,

3

masalah diabetes, masalah muskulusskeletal, masalah genitourinary,

masalah neurology, masalah menurunnya fungsi sensorik, masalah

dermatologi, masalah kesehatan mental, tindakan operatif dan dampaknya,

palliative care, manajemen nyeri, rehabilitasi, perawatan diri dan

higienitas, pengawasan menelan obat.

1.4.2. Parameter dan hasil (out come) intervensi klinik yang spesifik. Subarea

prioritas:diagnosis keperawatan yang spesifik, pengembangan alat ukur

geriatric.

1.4.2.1. Factor-faktor organisasi yang berdampak pada system pelayanan dan

kinerja, sub area prioritas : peran kolaborasi, model keperawatan di

rumah (home care), model perawatan di rumah sakit (hospital care),

model perawatan di panti jompo (institutional care), model perawatan

jangka panjang (long-term care), nursing agency, team work.

1.4.2.2. Factor-faktor sosial yang berdampak pada tingkat kesehatan lansia. Sub

area prioritas : aspek legal:kebijakan dan regulasi, kelenturan kesehatan

yang berbasis budaya dan kepercayaan, sosial ekonomi, konsep-konsep

gerontology (aspek kesehatan, aspek spiritual, aspek etika dan moral,

aspek nutrisi, aspek psikologis, aspek fisiologis dan aspek social).

1.4.2.3. Kualitas hidup (quality of life) dan intervensi kesehatan psiko social. Sub

area prioritas:penilaian status fungsional, psikologis, senile demensia,

olah raga, rekreasi, upaya preventif terhadap risiko kecelakaan, interaksi

social, spiritual, manajemen stress, sakaratul maut, support keluarga,

aktivitas dan disfungsi seksual.

1.4.2.4. Promosi kesehatan. Sub area prioritas:pesan, teknologi.

2. Prinsip Etika Pelayanan Kesehatan pada Lansia

Beberapa prinsip etika yang harus dijalankan dalam pelayanan pada penderita

usia lanjut adalah (Kane et al, 1994, Reuben et al, 1996) :

2.1. Empati : istilah empati menyangkut pengertian : “Simpati atas dasar

pengertian yang dalam”. Dalam istilah ini diharapkan upaya pelayanan

geriatri harus memandang seorang lansia yang sakit denagn pengertian, kasih

sayang dan memahami rasa penderitaan yang dialami oleh penderita tersebut.

4

Tindakan empati harus dilaksanakan dengan wajar, tidak berlebihan, sehingga

tidak memberi kesan over-protective dan belas-kasihan. Oleh karena itu

semua petugas geriatrik harus memahami peroses fisiologis dan patologik

dari penderita lansia.

2.2. Yang harus dan yang ”jangan” : prinsip ini sering dikemukakan sebagai non-

maleficence dan beneficence. Pelayanan geriatri selalu didasarkan pada

keharusan untuka mngerjakan yang baik untuk pnderita dan harus

menghindari tindakan yang menambah penderita (harm) bagi penderita.

Terdapat adagium primum non nocere (”yang penting jangan membuat

seseorang menderita”). Dalam pengertian ini, upaya pemberian posisi baring

yang tepat untuk menghindari rasa nyeri, pemberian analgesik (kalau perlu

dengan derivat morfina) yang cukup, pengucapan kata-kata hiburan

merupakan contoh berbagai hal yang mungkin mudah dan praktis untuk

dikerjakan.

2.3. Otonomi : yaitu suatu prinsip bahwa seorang inidividu mempunyai hak untuk

menentukan nasibnya, dan mengemukakan keinginannya sendiri. Tentu saja

hak tersebut mempunyai batasan, akan tetapi di bidang geriatri hal tersebut

berdasar pada keadaan, apakah penderita dapat membuat putusan secara

mandiri dan bebas. Dalam etika ketimuran, seringakali hal ini dibantu (atau

menjadi semakin rumit ?) oleh pendapat keluarga dekat. Jadi secara hakiki,

prinsip otonomi berupaya untuk melindungi penderita yang fungsional masih

kapabel (sedanagkan non-maleficence dan beneficence lebih bersifat

melindungi penderita yang inkapabel). Dalam berbagai hal aspek etik ini

seolah-olah memakai prinsip paternalisme, dimana seseorang menjadi wakil

dari orang lain untuk membuat suatu keputusan (mis. Seorang ayah membuat

keuitusan bagi anaknya yang belum dewasa).

2.4. Keadilan : yaitu prinsip pelayanan geriatri harus memberikan perlakuan yang

sama bagi semua penderita. Kewajiban untuk memperlakukan seorang

penderita secara wajar dan tidak mengadakan pembedaan atas dasar

karakteristik yang tidak relevan.

2.5. Kesungguhan Hati : yaitu suatu prinsip untuk selalu memenuhi semua janji

yang diberikan pada seorang penderita.

5

Mengenai keharusan untuk berbuat baik dan otonomi, Meier dan Cassel

menulis sebagai berikut : ”..............although the medical community has ferquently

been attacked for its attitude toward patients, it is usually conceded that paternalism

can be justified if certain criteria are met; if the dangers averted or benefits gained for

the person outweigh the loss of autonomy resulting from intervention; if the person is

too ill to choose the same intervention…………………………”.

Dengan melihat prinsip diatas tersebut, aspek etika pada pelayanan geriatric

berdasarkan prinsip otonomi kemudian di titik beratkan pada berbagai hal sebagai

berikut :

1) Penderita harus ikut berpartisipasi dalam prosea pengambilan keutusan dan

pembuatan keputusan. Pada akhirnya pengambilan keputusan harus bersifat

sukarela.

2) Keputusan harus telah mendapat penjelasan cukup tentang tindakan atau

keputusan yang akan diambil secara lengkap dan jelas.

3) Keputuan yang diambil hanya dianggap sah bial penderita secara mental

dianggap kapabel.

Atas dasar hal diatas maka aspek etika tentang otonomi ini kemudian

ituangkan dalam bentuk hukum sebagai persetujuan tindakan meik (pertindik) atau

informed consent. Dalam hal seperti diatas, maka penderita berha menolak tindakan

medik yang disarankan oleh dokter, tetapi tidak berarti boleh memilih tindakan,

apabila berdasarkan pertimbangan dokter yang bersangkutan tindakan yang dipilih

tersebut tidak berguan (useless) atau bahkan berbahaya (harmful).

Kapasitas untuk mengambil keputusan, merupakan aspek etik dan hukum yang

sangat rumit. Dasar dari penilaian kapasitas pengambilan keputusan penderita tersebut

haruslah dari kapasitas fungsional penderita dan bukan atas dasar label diagnosis,

antara lain terlihat dari :

1. Apakah penderita bisa buat/tunjukan keinginan secara benar?

2. Dapatkah penderita memberi alasan tentang pilihan yang dibuat?

3. Apakah alasan penderita tersebut rasional (artinya setelah penderita

mendapatkan penjelasan yang lengkap dan benar)?

6

4. Apakah penderita mengerti implikasi bagi dirinya? (misalnya tentang

keuntungan dan kerugian dari tindakan tersebut? dan mengerti pula berbagai

pilihan yang ada)?

Pendekatan fungsional tersebut memang sukar, karena seringkali masih

terdapat fungsi yagn baik dari 1 aspek, tetapi fungsi yagn lain sudah tidak baik,

sehingga perlu pertimbangan beberapa faktor. Pada usia lanjut serinkali sudah terdapat

gangguan komunikasi akibat menurunnya pendengaran, sehingga perlu waktu, upaya

dan kesabaran yang lebih guna mengetahui kapasitas fungsional penderita.

Pada dasarnya prinsip etika ini mnyatakan bahwa kapasitas penderita untuk

mengambil/menentukan keputusan (prinsip otonomi) dibatasi oleh :

1. Realitas klinik adanya gangguan proses pengambilan keputusan (misalnya pada

keadaan depresi berat, tidak sadar atau dementia). Bila gangguan tersebut

demikian berat, sedangakan keputusan harus segera diambil, maka keputusan

bisa dialihkan kepada wakil hukum atau walimkeluarga (istri/suami/anak atau

pengacara). Dalam istilah asing keadaan ini disebut sebagai surrogate decission

maker.

2. Apabila keputusan yang diharapkan bantuannya bukan saja mengenai aspek

medis, tetapi mengenai semua aspek kehidupan (hukum, harta benda dll) maka

sebaiknya terdapat suatu badan pemerintah yang melindungi kepentingan

penderita yang disebut badan perlindungan hukum (guardianship board).

(Brocklehurst and Allen 1987, Kane et al, 1994).

Dalam kenyatannya pengambilan keputusan ini sering dilakukan berdasarkan

keadaan de-facto yaitu oleh suami/istri/anggota kelurga, dibanding keadaan de-jure

oleh pengacara, karena hal yang terkhir ini sering tidak praktis, waktu lama, dan sering

melelahkan baik secara fisik maupun emosional.

Oleh Karena suatu hal, misalnya gangguan komunikasi, salah pengertian,

kepercayaan penderita atau latar belakang budaya dapat menyebabkan penderita

mengambil keputusan yang salah (antara lain menolak tramfusi/tindakan bedah yagn

live saving). Dalam hal ini, dokter dihadapkan pada keadaan yang sulit, dimana atas

otonomi penderita tetap harus dihargai.Yang penting adalah bahwa dokter mau

mendengar semua keluhan atau alas an penderita dan kalau mungkin memperbaiki

keputusan penderita tersebut denagn pemberian edukasi. Seringkali perlu diambil

7

tindakan “kompromi” antara apa yang baik menurut pertimbangan dokter dan apa

yang diinginkan oleh penderita.

Arahan Keinginan Penderita (Advance Directives) (Reuben et al, 1996, Kane et

al, 1994)

Dalam hal menghargai hak otonomi penderita, dikenal apa yang disebut

sebagai arahan keinginan penderita, yaitu ucapan atau keingginan penderita yang

diucapkan pada saat penderita masih dalam keadaan kapasitas fungsional yagn baik.

Arahan keinginan yang diucapkan ini sebaiknya dicatat/direkam untuk kemudian

digunakan sebagai pedoman bilamana diperlukan untuk pengam,bilan keputusan pada

saat kapasitas fungsional penderita terganggu atau menurun. Bahkan apabila arahan

tersebut tidak dicatat/direkam, tetap mempunyai kekuatan hukum, asalkan terdapat

saksi-saksi yang cukup pada saat arahan tersebut diucapkan.

Yang lebih kuat dari arahan keinginan pendeita adalah apa yang disebut

sebagai testament kematian (living will), yaitu suatu pernyataan dari penderita saat

masih kapabel secara fungsional didepan seorang petugas hukum (pengacara/notaries).

Testament kematian ini bisa memberi kekuatan hukum atas tindakan dokter unruk

memberikan, menghentikan atau melepas segala tindakan pemberian alat Bantu

perpanjangan hidup.

Pemberian Peralatan Perpanjangn Hidup (Life Sustaining Device)

Salah satu aspek etika yang penting dan tetpa controversial dalam pelayanan

geriatric adalah penggunaan perpanjangan hidup, antara lain ventilator dan upaya

perpanjangan hidup yang lai (resusitasi kardio-pulmoner dll). Pada penderita dewasa

muda hal ini sering klai tidak menjadi masalah, karena sering diharapkan hidup

penderita masihj akan berlangsung lama bila jiwanya bisa ditolong. Pada usia lanjut

apalagi kalau penyakitnya sudah meluas (advanced) pemberian peralatan tersebut

seringkali diperdebatkan justru merupakan tindakan yang “kejam” (futile treatment).

Dikatakan sebagai “kekejaman fisiologik” bila terapi/tindakan yang diberikan

tidaka akan memberikan perbaikan (plausible effect) sama sekali pada kesehatan

penderita. “kekejaman kuantitatif” bila tindakan atau terapi tampaknya tidak ada

gunanya. “Kekejaman kualitatif” bila tindakan atau terapi perpanjangn hidup tidak

menunjukan perbaiakan atau justru mengurangi kualitas hidup penderita.

8

Walaupun sering menimbulakan tanggapan emosional dari keluarga,

penghentian peralatan penpanjangan hidup (ventilator dsb) harus diberi pertimbangan

yang sama dengan pertimbangan apakah alat tersebut perlu dipasang atau tidak.

Pemasangan alat ini tidak dengan sendirintya menghalangi untuk suatu saat

menghentikannya bila dianggap tidak ada gunannya lagi.

Dokter harus menjelaskan hal ini kepada keluarga penderita dan memberi

pengertian bahwa evaluasi menunjukkan pemberian peralatan tersebut perlu

dihentikan.

Perumatan Penderita Terminal Dan Hospis (Shaw, 1984; Kane et al, 1994;

Ruben et al, 1996; Pearlman, 1990)

Penderita yang secara medik di dignosis dalam keadaa terminal tidak terbatas

hanya pada penderita lanjut usia, akan tetapi tidak bisa dimungkiri bahwa sebagaian

besar merupakan penderita berusia lanjut. Oleh karena itulah perawatan hospis atau

erawatan bagi penderita terminal atau menuju kematian merupakan bagian yang

penting dari pelayanan geriatri.

Bagi penderita yang keadaannya tidak sadar/koma dalam, semua fungsi organ

sudah jelas tidak bisa membaik dengan berbagai pengobatan, nafas agonal dan

keadaan yang jelas ”tidak memberi harapan”, masalhnya mungkin tidak begitu sulit.

Akan tetapi pada penderita yang masih sadar penuh, masih mobilitas dengana berbagai

fungsi organ masih cukup baik, persoalan etika dan hukum menjadi lebih rumit. Pada

penderita ini (misalnya dengan diagnosis karsinoma metastasis lanjut), beberapa hal

perlu ditimbangkan :

1. Apakah penderita perlu diberitahu

2. Kalau jelas-jelas semua tindakan medis/operatif tidak bisa dikerjakan, apakah

ada hal lain yang perlu dilakukan, atau apakah etis kalau dokter tetap

memaksakan pemberian sotostatika atau tindakan lain ?

Hal-hal seperti diatas merupakan masalah yang kemudian menimbulkan upaya

hospis menjadi penting

Dari prinsip otonomi seperti dijelaskan diatas jelas bahwa penderita harus

dibertahu keadaan yang sebenarnya. Walaupun di Indonesia, seringkali atas

pertimbangan keluarga hal ini sering tidak dilaksanakan.

9

3. Aspek Hukum dan Etika

Produk hukum tentang Lanjut Usia dan penerapannya disuatu negara

merupakan gambaran sampai berapa jauh perhatian negara terhadap para Lanjut

Usianya. Baru sejak tahun 1965 di indonesia diletakkan landasan hukum, yaitu

Undang-Undang nomor 4 tahun 1965 tentang Bantuan bagi Orang Jompo. Bila

dibandingkan dengan keadaan di negara maju, di negara berkembang perhatian

terhadap Lanjut Usia belum begitu besar.

Di Australia, misalnya, telah diundangkan Aged Person Home Act (1954),

Home Nursing Subsidy Act (1956), The Home and Community Care Program (1985),

Bureau for the Aged (1986), Outcome Standards of Residential Care (1992), Charter

for Resident’s Right (1992), Community Option Program (1994), dan Aged Care

Reform Strategy (1996).

Di Amerika Serikat diundangkan Social Security Act yang meliputi older

American Act (Title III), Medicaid (Title VII), Medicare (Title XIX, 1965), Social

Service block Plan (Title XX) dan Supplemental Security Income (Title XVI).

Selanjutnya diterbitkan Tax Equity and Fiscal Responsibility Act (1982), Omnibus

Budget Reconcilliation Act (OBRA, 1987), The Continuun of Long-term Care (1987)

dan Program of All Care of the Elderly (PACE, 1990).

Di Inggris di undangkan National Assistence Act, Section 47 (1948) dan telah

ditetapkan standardisasi pelayanan di rumah sakit serta di masyarakat. Juga telah

ditentukan ratio tempat tidur per lanjut usia dan continuing care.

Di Singapura dibentuk Advisory Council on the Aged, Singapore Action Group of

Elders (SAGE) dan The Elders’ Village.

4. Landasan Hukum di Indonesia

Berbagai produk hukum dan perundang-undangan yang langsung mengenai

Lanjut Usia atau yang tidak langsung terkai dengan kesejahteraan Lanjut Usia telah

diterbitkan sejak 1965. beberapa di antaranya adalah :

4.1. Undang-undang nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian bantuan bagi Orang

Jompo (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1965 nomor 32 dan

tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 2747).

4.2. Undang-undang Nomor 14 tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok Mengenai

Tenaga Kerja.

10

4.3. Undang-undang Nomor 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Kesejahteraan Sosial.

4.4. Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi

Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.

4.5. Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan nasional.

4.6. Undang-undang Nomor 2 tahun 1982 tentang Usaha Perasuransian.

4.7. Undang-undang Nomor 3 tahun 1982 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

4.8. Undang-undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman.

4.9. Undang-undang Nomor 10 tahun 1992 tentang Perkembangan

Kependudukan dan Pembangunan keluarga Sejahtera.

4.10. Undang-undang Nomor 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun.

4.11. Undang-undang Nomor 23 tentang Kesehatan.

4.12. Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1994 tentang Penyelenggaraan

Pembangunan Keluarga Sejahtera.

4.13. Peraturan Pemerintah Nomor 27 ahun 1994 tentang Pengelolaan

Perkembangan Kependudukan.

4.14. Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia

(Tambahan lembaran Negara nomor 3796), sebagai pengganti undang-

Undang nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian bantuan bagi Orang jompo.

4.15. Pasal 27 UUD 45

Segala warga negara bersamaan kedudukan di dalam hukum dan

pemerintahan dan wajib menjunjungnya hukum dan pemerinahannya itu

dengan tidak ada kecualinya. Tiap-tiap warga negara berhak atas

pekerjaannya dan penghidupannya yang layak bagi kemanusiaan.

4.16. Pasal 34 UUD 45

Fakir miskin dan anak–anak yang terlantar dipelihara oleh negara.

Berpedoman pada hukum tersebut, sebagai perawat kesehatan

masyarakat bertanggung jawab dalam mencegah penganiayaan.

Penganiayaan yang dimaksud dapat berupa : penyianyiaan, penganiayaan

yang disengaja dan eksploitasi. Sedangkan pencegahan yang dapat

dilakukan adalah berupa perlindungan di rumah, perlindungan hukum dan

perawatan di rumah.

11

Jenis-jenis penyiksaan (Gelles & Straus, 1988)

1) Penyiksaan suami-istri

2) Penyiksaan terhadap anak fisik dan seksual)

3) Penyiksaan terhadap lansia

4) Peniksaan terhadap orang tua

5) Penyiksaan terhadap sibling

4.17. Undang-undang No.6 Tahun 1974 tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan

Sosial.

4.18. UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan pasal 19:

Kesehatan manusia usia lanjut diarahkan untuk memelihara dan

meningkatkan kesehatan agar tetap produktif dengan bantuan pemerintah

dalam upaya penyelenggaraannya.

4.19. UU No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan usia lanjut pasal 14 :

Pelayanan kesehatan dimaksudkan untuk memelihara dan meningkatkan

derajad kesehatan dan kemampuan usia lanjut agar kondisi fisik, mental, dan

sosialnya dapat berfungsi secara wajar melalui upaya penyuluhan,

penyembuhan, dan pengembangan lembaga.

4.20. Undang-undang No.13 tahun 1998 mengamanatkan bahwa pemerintah dan

masyarakat berkewajiban memberikan pelayanan sosial kepada lanjut usia.

Pemberikan pelayanan berlandaskan pada filosofi dan nilai budaya

masyarakat Indonesia yang berasas Three Generation in One Roof yang

mengandung arti yaitu adanya pertautan yang bernuansa antar 3 generasi,

yaitu: anak, orang tua dan kakek/nenek.

4.21. UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Seseorang yang telah lulus dan mendapatkan ijasah dari pendidikan

kesehatan yang diakui pemerintah. Tenaga keperawatan adalah perawat dan

bidan.

4.22. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah

Kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan

masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi

masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

4.23. UU No. 23 Tahun 1999 tentang Kesehatan.

12

4.24. Undang-undang No.22 tahun 2000 tentang Pemerintahan Daerah.

4.25. Undang-undang No.25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan

Nasional.

4.26. Tahun 2000-2004, bidang Pembangunan Sosial Budaya.

4.27. PP No. 25 tahun 2000 tentang Kewengan Pemerintah dan Kewenangan.

4.28. Propinsi sebagai Daerah Otonomi.

4.29. PP No. 32 tahun 1992 tentang Tenaga Kesehatan.

4.30. PP No. 43 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Upaya Peningkatan

Kesejahteraan.

4.31. Sosial Lanjut Usia Kepmenkes RI No. 1239 tahun 2001 tentang Registrasi

dan Praktik Keperawatan.

4.32. Keppres No.452 th 2004 tentang Komite Nasional Lanjut Usia.

4.33. Keputusan Menkokesra No.15/KEP/IX/1994 tentang Panitia Nasional.

4.34. Pelembagaan Lanjut Usia dalam Kehidupan Bangsa.

4.35. Keputusan Menteri Sosial No.10/HUK/1998 tentang Lembaga

Kesejahteraan Lanjut Usia.

4.36. SK Men Kes RI No. 1346 tahun 1990 tentang pembentukkan Tim Kerja.

4.37. Geriatri : Bertugas merumuskan program pembinaan kesehatan usia lanjut.

4.38. Dokrin-dokrin.

4.39. Kebijakan Institusi.

Sumber Etik Keperawatan :

1) PPNI - code of ethics

2) Personal ethics

3) General standart

4.40. Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 ini berisikan antara lain :

4.40.1. Hak, kewajiban, tugas dan tanggung jawab pemerintah, masyarakat dan

kelembagaan.

4.40.2. Upaya pemberdayaan.

4.40.3. Upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia potensial dan tidak

potensial.

4.40.4. Pelayanan terhadap Lanjut Usia.

4.40.5. Perlindungan sosial.

13

4.40.6. Bantuan sosial.

4.40.7. Koordinasi.

4.40.8. Ketentuan pidana dan sanksi administrasi.

4.40.9. Ketentuan peralihan.

5. Permasalahan

Permasalahan yang masih terdapat pada Lanjut Usia, bila ditinjau dari aspek

hukum dan etika, dapat disebabkan ole factor, seperti berikut :

5.1. Produk Hukum

Walaupun telah diterbitkan dalam jumlah banyak, belum semua produk

hukum dan perundang-undangan mempunyai Peraturan Pelakisanaan. Begitu

pula, belum diterbirkan Peraturan Daerah, Petunjuk Pelaksanaan serta Ptunjuk

Teknisnya, sehingga penerapannya di lapangan sering menimbulkan

permasalahan. Undang-undang terakhir yang diterbitkan yaitu Undang-undang

Nomor 13 tahun 1998, baru mengatur kesejahteraan sosial Lanjut Usia, sehingga

perlu dipertimbangkan diterbitkannya undang-undang lainnya yang dapat

mengatasi permasalahan Lanjut Usia secara spesifik.

5.2. Keterbatasan prasarana

Prasarana pelayanan terhadap Lanjut Usia yang terbatas di tingkat

masyarakat, pelayanan tingkat dasar, pelayanan rujuikan tingkat I dan tingkat II,

sering menimbulkanpermasalahan bagi para Lanjut Usia. Demikian pula, lembaga

sosial masyarakat dan ortganisasi sosial dan kemsyarakatan lainnya yang menaruh

minat pada permasalahan ini terbatas jumlahnya. Hal ini mengakibatkan para

Lanjut Usia tak dapat diberi pelayanan sedini mungkin, sehingga persoalannya

menjadi berat pada saat diberikan pelayanan.

5.3. Keterbatasan sumber daya manusia

Terbatasnya kuantitas dan kualitas tenaga yang dapat memberi pelayanan

serta perawatan kepada Lanjut Usia secara bermutu dan berkelanjutan

mengakibatkan keterlambatan dalam mengetahui tanda-tanda dini adanya suatu

permasalahan hukum dan etika yang sedang terjadi. Dengan demikian, upaya

mengatasinya secara benar oleh tenaga yang berkompeten sering dilakukan

terlambat dan permasalahan sudah berlarut. Tenaga yang dimaksud berasal dari

berbagai disiplin ilmu, antara lain :

14

5.3.1 Tenaga ahli gerontology.

5.3.2 Tenaga kesehatan : dokter spesalis geriatric, psikogeriatri, neurogeriatri,

dokter spesialis dan dokter umum terlatih, fisioterapis, speech therapist,

perawat terlatih.

5.3.3 Tebaga sosisal : sosiolog, petuga syang mengorganisasi kegiatan (case

managers), petugas sosial masyarakat, konselor.

5.3.4 Ahli hukum: sarjana hukum terlatih dalam gerontology, pengacara terlatih,

jaksa penunutut umum, hakim terlatih.

5.3.5 Ahli psikolog : psikolog terlatih dalam gerontology, konselor.

5.3.6 Tenaga relawan : kelompok masyarakat terlatih seperti sarjana,

mahasiswa, pramuka, pemuda, ibu rumah tangga, pengurus lembaga

ketahanan masyarakat desa, Rukun Warga/RW, Rukun Tetangga/RT

terlatih.

5.4. Hubungan Lanjut Usia dengan Keluarga

Menurut Mary Ann Christ, et al. (1993), berbagai isu hukum dan etika

yang sering terjadi pada hubungan Lanjut Usia dengan keluarganya adalah :

5.4.1. Pelecehan dan ditentarkan (abuse and neglect)

5.4.2. Tindak kejahatan (crime)

5.4.3. Pelayanan perlindungan (protective services)

5.4.4. Persetujuan tertulis (informed consent)

5.4.5. Kualitas kehidupan dan isu etika (quality of life and related ethical

issues)

5.4.1. Pelecehan dan ditelantarkan (abuse and neglect)

Pelecehan dan ditelantarkan merupakan keadaan atau tindakan yang

menempatkan seseorang dalam situasi kacau, baik mencakup status kesehatan,

pelayanan kesehatan, pribadi, hak memutuskan, kepemilikan maupun

pendapatannya. Pelaku pelecehan dapat dari pasangan hidup, anak lelaki atau

perempuan bila pasangan hidupnya telah meninggal dunia atau orang lain.

Pelecehan atau ditelantarkan dapat berlangsung lama ata8u dapat terjadi reaksi

akut, bila suasana sudah tidak tertanggungkan lagi.

15

Penyebab pelecehan menurut International Institute on Agening (INIA, United

Ntions-Malta, 1996) adalah :

5.4.1.1.Beban orang yang merawat Lanjut usia tersebut sudah terlalu berat.

5.4.1.2.Kelainan kepribadian dan perilaku Lanjut usia atau keluarganya.

5.4.1.3.Lanjut Usia yang diasingkan oleh keluarganya.

5.4.1.4.Penyalahgunaan narkotika, alkohol dan zat adiktif lainnya.

5.4.1.5.Faktor lainnya yang terdapat di keluarga seperti :

1) Perlakuan salah terhadap Lanjut Usia.

2) Ketidaksiapan dari orang yang akan merawat Lanjut Usia.

3) Konflik lama di antara Lanjut Usia dengan keluarganya.

4) Perilaku psikopat dari Lanjut Usia dan atau keluarganya.

5) Tidak adannya dukungan masyarakat.

6) Keluarga mengalami kehilangan pekerjaan/pemutusan hubungan

kerja.

7) Adanya riwayat kekerasan dalam keluarga.

Gejala yang terlihat pada pelecehan atau ditelantarkan antara lain :

a. Gejala fisik berupa memar, patah tulang yang tidak jelas sebabnya, higiena

jelek, malnutrisi dan adanya bukti melakukan pengobatan yang tidak benar.

b. Kelainan perilaku berupa rasa ketakutan yang berlebihan menjadi penurut atau

tergantung, menyalahkan diri, menolak bila akan disentuh orang yang

melecehkan, memperlihatkan tanda bahwa miliknya akan diambil orang lain

dan adanya kekurangan biaya transpor, biaya berobat atau biaya memperbaikik

rumahnya.

c. Adanya gejala psikis seperti stres, cara mengatasi suatu persoalan secara tidak

benar serta cara mengungkapkan rasa salah atau penyesalan yang tidak sesuai,

baik dari Lanjut Usia itu sendiri maupun orang yang melecehkan.

Jenis pelecehan dan ditelantarkan adalah :

a. Pelecehan fisik atau menelantarkan fisik.

b. Pelecehan psikis atau melalui tutur kata.

c. Pelanggaran hak.

d. Pengusiran.

e. Pelecehan di bidang materi atau keuangan.

16

f. Pelecehan seksual.

Upaya pencegahan terhadap terjadinya kelantaran pasif (passive neglect)

dan keterlantaran aktif (active neglect) pada lanjut Usia dapat dekelompokan

sebagai berikut :

1. Terhadap keterlantaran pasif atau tak disengaja:

Mendapatkan orang yang dipercaya untuk melakukan tindakan hukum atau

melakukan transaksi keuangan.

Mengusahakan bantuan hukum dari seorang pengacara.

2. Terhadap keterlantaran aktif atau tindak pelecehan:

Mengusahakan agar Lanjut Usia tidak terisolir.

Anggota keluarga tetap dekat dan memperhatikan Lanjut Usia selalu

mendapatkan informasi baik tentang keadaan fisi, emosi, maupiun keadaan

keuangan Lanjut Usia tersebut.

Orang yang merawat lanjut Usia menyadari keterbatasannya tidak ragu-

ragu mencari pertolongan atau melimpahkan tanggung jawaabnya kepada

fasilitas yang lebih mampu, manakala mereka tidak sanggup lagi

merawatnya.

Masyarakat mengemban sistem pengamatan terhadap tindak pelecehan

kepada Lanjut Usia (neighbourhood watch).

Melaksanakan program pelatihan tentang perawatan Lanjut Usia jompo di

rumah, pengenalan tanda-tanda terjadinya tidak pelecehan, pemberian

bantuan kepada Lanjut Usia, cara melakukan intervensi dan melakukan

rujukan kepada fasilitas yang lebih mampu.

1.4.2. Tindak kejahatan (crime)

Lanjut usia pada umumnya lebih takut terhadap tindak kejahatan bila

dibandingakan dengan ketakutan terhadap penyalit dan pendapatan yang

berkurang. Kerugian yang diderita oleh mereka tidak melebihi penderitaan yang

dialami oleh kaum muda. Hanya akibat yang ditimbulkan pada Lanjut Usia lebih

parah, berupa rasa ketakutan, kesepian, merasa terisolasi dan tidak berdaya.

Faktor yang mempengaruhi tindak kejahatan berupa factor fisik, keuangan

dan kedaan lingkungan di sekitar Lanjut Usia tersebut.

Jenis tindak kejahatan adalah:

17

1.4.2.1. Penodongan.

1.4.2.2. Pencurian dan perampokan.

1.4.2.3. Penjambretan.

1.4.2.4. Perkosaan.

1.4.2.5. Penipuan dalam pengobatan penyakit.

1.4.2.6. Penipuan oleh orang tak dapat dipercaya, pemborong, sales, dll.

1.4.3. Pelayanan perlindungan (protective services)

Pelayanan perlindungan adalah pelayanan yang dibeikan kepada para

Lanjut Usia yang tidak mempu melindungi dirinya terhadap kerugian yang terjadi

akibat mereka tidak dapat merawat diri mereka sendiri atau dalam melakukan

kiegiatan sehari-hari.

Pelayanan perlindungan bertujuan memberikan perlindungan kepada para

Lanjut Usia, agar kerugian yang terjadi ditekan seminimal mungkin. Pelayanan

yang diberikan akan menimbulkan keseimbangan di antara kebebasan dan

keamanan.

1.4.3.1. Perlindungan hukum

Perlindungan hukum uang dapat diberikan kepada Lanjut Usia dapat berupa:

1) Bantuan pengacara (power of attorney).

Lanjut Usia harus cukup kompeten untuk mengambil inisitif dalam

menyerahkan urusannya kepada orang lain.

2) Joint Tenancy.

Joint tenancy merupakan suatu produk hukum yang memungkinkan Lanjut

Usia lain atau seorang pengacara untuk mengurus urusan seorang Lanjut

Usia.

3) Intervivos trust.

Pada keadaan ini seorang lanjut usia menunjuk orang lain sebagai pewaris.

4) Conservatorship.

Perorangan atau sebuah badan ditunjuk oleh pengadilan untuk melindungi ha

milik seorang lanjut usia yang telah dianggap ta sanggup atau inkompeten,

pada umumnya bila lanjut usia tersebut berusia lebih dari 75 tahun.

Permohonan suatu Conservatorship biasanya diajukan oleh keluarga atau

instansi.

18

Dengan adanya Conservatorship ini, seorang lanjut usia tak lagi dapat

bersuara dan megurus keuangannya serta menentukan tempat tinggalnya atau

mengambil suatu keputusan penting lainnya.

5) Informal guardianship.

Pengaturan jenis ini berdasakan suatu hukum, akan tetapi meruakan suatu

kesepakatan bahwa pelindung bagi lanjut usia tersebut adalah tetangganya,

panti atau suatu perusahaan.

1.4.4. Persetujuan tertulis (Informed consent).

Persetujuan tertulis merupakan suatu persetujuan yang diberikan sebelum

prosedur atau pengobatan diberikan kepada seorang lanjut usia atau penghuni

panti. Syarat yang diperlukan bila seorang lanjut usia memberikan persetujuan

ialah ia masih kompeten dan telah mendapatkan informasi tentang manfaat dan

risiko dari suatu prosedur atau pengobatan tertentu yang diberikan kepadanya.

Bila seoang lanjut usia inkompeten, persetujuan diberikan oleh pelindung atau

seorang walui.

1.4.5. Kualitas kehidupan dan isu etika (quality of life and related ethical

issue).

Berbagai factor yang mempengaruhi pengambilan keputusan yang yang

mempengaruhi kualitas kehidupan lanjut usia adalah:

1.4.5.1. Kemajuan ilmu kedoktean di bidang diagnostic seperti CT-scan dan

katerisasi jantung, MRI, dsb.

1.4.5.2. Kemajuan dibidang pengobatan seperti transplatasi organ, raidasi

1.4.5.3. Bertambahnya risiko pengobatan.

1.4.5.4. Biaya pengobatan yang meningkat.

1.4.5.5. Manfaat pengobatan yang masih diragukan.

1.4.5.6. Database yang diperlukan sebagai dasar pengambilan keputusan.

Isu etika muncul bila terjadi suatu pertentangan antara pendapat ilmiah

atau ilmu kedokteran dengan pandangan etika atau perikemanusiaan, misalnya :

1) Untuk mengawali atau melanjutkan pengobatan terhadap lanjut usia yang

sakit berat.

2) Mempertahankan atau melepaskan infuse atau tube feeding. Melakukan

tindakan yang biayanya mahal.

19

3) Euthanasia.

Isu euthanasia merupakan isu yang hangat dipertentangan di luar negeri,

tetapi belum merupakan hal yang penting di Indonesia, mengingat hal ini

bertentangan denagn hukum dan perundang-undangan serta kode etik kedokteran

di Indonesia. Di luar negeri keputusan yang diambil berupa :

a. Keinginan lanjut usia dan keluarganya.

b. Derajat penderitaan dan derajat gangguan kognitif lanjut usia

tersebut.

c. Prognosa penyakit yang diderita.

d. Kualitas kehidupan dari lanjut usia.

e. Perawatan yang sedang diberikan.

Jenis euthanasia yang diberikan adalah active euthanasia (orang luar

mempercepat lanjut usia untuk mengakhiri hidupnya) dan passive euthanasia

(orang lain atau petugas kesehatan menolak memberikan pertolongan ytertentu

kepada penderita terminal).

6. Aspek Legal Dan Etis Keperawatan Gerontik Praktek Keperawatan Profesional

6.1 Aspek Legal

Peraturan perundang-undangan yang berlaku di suatu tempat : Indonesia

6.1.1 GBHN’98 – 2003, tentang kesra, pendidikan dan kebudayaan.

6.1.2 UU RI NO. 13 TH 1998, tentang kesejahteraan lanjut usia GBHN’98 –

2003

6.1.2.1. Arah pembangunan; peningkatan kualitas penduduk lansia u/

mewujudkan integritas sosial penduduk lansia dg masyarakat

lingkungannya

6.1.2.1. Pelayanan lansia untuk penghargaan;

1) Kemudahan pelayanan umum

2) Bantuan kesra bagi yg memerlukan

Pengembangan ilmu pengetahuan tentang lansia UU RI NO 13 1998

A. Hak Lanjut Usia

1. Meningkatkan kesejahteraan sosial, meliputi:

a. Pelayann keagaamaan dan mental spiritual.

b. Pelayanan kesehatan.

20

c. Kesempatan kerja.

d. Diklat.

e. Kemudahan dan penggunaan fasilitas, serta sarana dan

prasarana umum.

f. Sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara.

g. Mengamalkan dan mentransformasikan kemampuannya ke

generasi penerus.

h. Memberikan keteladanan dalam segala aspek kehidupan untuk

generasi penerus.

2. Sama dalam kehidupan bermasyarakat Berbangsa & bernegara

B. Kebijakan Khusus Untuk Lanjut Usia

1. PBB NO 045/206 TH 1991; 1 OKTOBER “International Day For

The Elderly”.

2. PERGERI (The Indonesian Society Of Gerontology), 14 desember

1984.

3. GBHN 1993 ; lansia dapat didayagunakan untuk pembangunan.

4. HALUN ; mulai th 1996, 29 mei 1945, radjiman widiodiningrat

(lansia) : “perlunya falsafah negara (pancasila), pandangan jauh ke

depan dan wawasan luas.

6.2. Kode Etik dalam Praktik Keperawatan 6.2.1. Tanggung jawab terhadap klien

6.2.2. Tanggung jawab terhadap tugas

6.2.3. Tanggung jawab terhadap sesama prawat

6.2.4. Tanggung jawab terhadap profesi keperawatan

6.2.5. Tanggung jawab terhadap pemerintah, bangsa dan tanah air.

6.3. Hal - hal yang harus diperhatikan oleh perawat berkaitan dengan kode

etik

6.3.1. Perawat harus memberikan rasa hormat kepada klien tanpa memperhatikan

suku, ras, golongan, pangkat, jabatan, status sosial, maslah kesehatan.

6.3.2. Menjaga rahasia klien

21

6.3.3. Melindungi klien dari campur tangan pihak yang tidak kompeten, tidak

etis, praktek illegal.

6.3.4. Perawat berhak menerima jasa dari hasil konsultasi dan pekerjaannya

6.3.5. Perawat menjaga kompetensi keperawatan

6.3.6. Perawat memberikan pendapat dan menggunakannya.

6.3.7. Kompetensi individu serta kualifikasi daalm memberikan konsultasi

6.3.8. Berpartisipasi aktif dalam kelanjutanya perkembangannya body of

knowledge

6.3.9. Berpartipitasi aktif dalam meningkatan standar professional

6.3.10. Berpatisipasi dalam usaha mencegah masyarakat, dari informasi yang

salah dan misinterpretasi dan menjaga integritas perawat

6.3.11. Perawat melakukan kolaborasi dengan profesi kesehatannya yang lain atau

ahli dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan

oleh masyarakat termasuk pada lansia. 6.4. Fungsi kode etik (Kozier & Erb, 1980) 6.4.1. Memberikan dasar dalam mengatur hubungan antar perawat, pasien,

tenaga kesehatan lain, dan masyarakat.

6.4.2. Memberikan dasar dalam menilai tindakan keperawatan

6.4.3. Menjadi dasar dalam membuat kurikulum pendidikan keperawatan dan

untuk mengenalkan kepada lulusan tenaga keperawatan baru tentang

praktik keperawatan profesional

6.4.4. Membantu masyarakat untuk mengetahui pedoman dalam melaksanakan

praktik keperawatan

6.5. Prinsip etik 6.5.1. Fidelity

Lebih terpusat pada kode etik keperawatan dimana perawat harus respek

kepada klien sebagai keutuhan manusia

6.5.2. Autonomi

Lebih mementingkan keputusan klien atas tindakan yang diberikan

6.5.3. Beneficience

Punya prinsip berbuat baik

6.5.4. Justice

22

Kewajiban moral

6.6. Upaya Meminimalkan Risiko Dengan Penuh Tanggung Jawab

6.6.1. Lakukan tindakan yang sistematis, logis dan ilmiah yaitu :

Pengkajian, diagnosa keperawatan yang benar, perencanaan yang benar,

implementasi yang sesuai, evaluasi sesua kondisi

6.6.2. Lakukan research untuk pengembangan keperawatan gerontik

6.7. Pekerjaan Sosial

Pekerjaan Sosial adalah profesi yang mendasarkan diri sebagai “disiplin

normatif”. Jadi profesi ini berkaitan dengan nilai-nilai moral dan norma sosial

yang selalu mengarahkan kepada kebaikan secara sosial. Teori-teori Pekerjaan

sosial adalah “normatif” yang mempunyai tanggung jawab untuk memperbaiki

kehidupan masyarakat. Jadi penting kiranya meningkatkan kemampuan pekerjaan

sosial untuk memperlihatkan secara langsung aspek-aspek moral dan normatif

dari teori dan praktek pekerjaan sosial.

Prisip-prinsip etika praktek yang berasal dari filosofi idiologi dan prinsip-

prinsip teknik praktek yang berasal dari landasan pengetahuan adalah komponen

utama dari teori praktik pekerjaan sosial.

6.8. Prinsip Etik Praktek

Pekerja sosial menggunakan seperangkat prinsip-prinsip etik praktek

untuk membimbing dan membatasi tindakan-tindakan pertolongan yang dilakukan

prisip etik praktek dipandang sebagai kewajiban-kewajiban,standar-standar, tugas-

tugas, tanggung jawab untuk diterapkan dalam praktek.

6.9. Kode Etik Profesi

Prinsip etik praktek dituangkan dalam kode etik profesi dalam bentuk

petunjuk dan kewajiban. (kode etik internasional bagi pekerja sosial profesional).

6.10. Prinsip-Prinsip Dasar Etik

6.10.1. Acceptance (penerimaan)

Pekerja sosial harus dapat menerima klien secara apa adanya.

6.10.2. Individualization (individualisasi)

Klien merupakan pribadi unik yang harus dibedakan dengan yang lainnya.

6.10.3. Non-judgemental attitude (sikap tidak menghakimi)

23

Pekerja sosial harus mempertahankan sikap tidak menghakimi terhadap

kedudukan apapun dari klien dan tingkah laku klien

6.10.4. Rationality (rasionalitas)

Pekerja sosial memberikan pandangan yang obyektif dan faktual terhadap

kemungkinan-kemungkinang terjadi, serta mampu mengambil keputusan.

6.10.5. Emphaty (empati)

Kemampuan memahami apa yang dirasakan orang lain / klien

6.10.6. Genuiness (ketulusan /kesungguhan)

Ketulusan dalam komunikasi verbal

6.10.7. Impartiality (kejujuran)

Tidak menghadiahi ataupun tidak merendahkan sesorang dan kelompok

(tidak menganak-emaskan atau menganak-tirikan)

6.10.8. Confidentiality (kerahasiaan)

Pekerja sosial harus menjaga kerahasiaan data klien kepada orang lain

6.10.9. Self-awareness (mawas diri)

Pekerja sosial harus sadar akan potensinya dan keterbatasan

kemampuannya.

6.11. Idiologi dalam Pekerjaan Sosial

6.11.1. Pekerjaan Sosial adalah Humansitik

Humanistik dalam pengertian bahwa dalam prakteknya akan menjunjung

tinggi martabat dan harga diri manusia, perwujudan diri, otonomi pribadi

6.11.2. Pekerjaan Sosial adalah Positivistik

Positivistik dalam pengertian bahwa pekerjaan sosial memiliki nilai

obyektif dan ilmu pengetahuan, seperti rasionalitas logis, keterbukaan,

obyektivitas, universalisme dan kemajuan.

6.11.3. Pekerjaan Sosial adalah Utopian

Utopia adalah suatu keadaan pikiran yang tidak sesuai dengan keadaan

realitas yang mendorong manusia untuk mengubah realitas tersebut sesuai

dengan keinginan dalam pikiran menuju masyarakat yang baik dan

bertanggung jawab. Pekerjaan sosial ditandai oleh adanya suatu keyakinan

yang pasti untuk menciptakan masyarakat yang baik dan

bertanggungjawab.

24

6.12. Sifat Pelayanan

Setiap jenis pelayanan kesejahteraan sosial lanjut usia baik yang

dilaksanakan oleh pemerintah maupun maupun masyarakat mengandung sifat

preventif , kuratif dan rehabilitatif.

Preventif

Pelayanan sosial yang diarahkan untuk pencegahan timbulnya masalah

baru dan meluasnya permasalahan lanjut usia, maka dilakukan melalui upaya

pemberdayaan keluarga, kesatuan kelompok –kelompok di dalam masyarakat dan

lembaga atau organisasi yang peduli terhadap peningkatan kesejahteraan lanjut

usia, seperti keluarga terdekat, kelompok pengajian, kelompok arisan karang

werdha, PUSAKA, PERGERI.

6.12.1. Kuratif

Pelayanan sosial lanjut usia yang diarahkan untuk penyembuhan atas

gangguan yang dialami lanjut usia, baik secara fisik, psikis maupun sosial.

6.12.2. Rehabilitatif

Proses pemulihan kembali fungsi-fungsi sosial setelah individu mengalami

berbagai gangguan dalam melaksanakan fungsi- fungsi sosialnya.

6.13. Prisip Pelayanan

Prinsip kesejahteraan sosial sosial lanjut usia didasarkan pada resolusi

PBB NO. 46/1991 tentang principles for Older Person ( Prinsip-prinsip bagi

lanjut usia) yang pada dasarnya berisi himbauan tentang hak dan kewajiban lanjut

usia yang meliputi kemandirian, partisipasi, pelayanan, pemenuhan diri dan

martabat.

6.13.1. Memberikan pelayanan yang menjujung tinggi harkat dan martabat

lansia

6.13.2. Melaksanakan, mewujutkan hak azasi lanjut usia

6.13.3. Memperoleh hak menentukan pilihan bagi dirinya sendiri

6.13.4. Pelayanan didasarkan pada kebutuhan yang sesungguhnya

6.13.5. Mengupayakan kehidupan lansia lebih bermakna bagi diri, keluarga dan

masyarakat

6.13.6. Menjamin terlaksananya pelayanan bagi lanjut usia yang disesuaikan

dengan perkembangan pelayanan lanjut usia secara terus menerus serta

25

meningkatkan kemitraan dengan berbagai pihak.

6.13.7. Memasyarakatkan informasi tentang aksesbilitas bagi lanjut usia agar

dapat memperoleh kemudahan dalam penggunaan sarana dan prasarana

serta perlindungan sosial dan hukum.

6.13.8. Mengupayakan lanjut usia memperoleh kemudahan dalam penggunaan

sarana dan prasarana dalam kehidupan keluarga, serta perlindungan sosial

& hukum.

6.13.9. Memberikan kesempatan kepada lanjut usia untuk menggunakan sarana

pendidikan, budaya spriritual dan rekreasi yang tersedia di masyarakat

6.13.10. Memberikan kesempatan bekerja pada lansia sesuai minat dan

kemampuan

6.13.11. Memberdayakan lembaga kesejahteraan sosial dalam masyarakat untuk

berpartisipasi aktif dalam penanganan lanjut usia dilingkungannya

6.13.12. Khusus untuk panti, menciptakan suasana kehidupan yang bersifat

kekeluargaan

6.14. Proses Pelayanan

6.14.1. Persiapan

6.14.1.1. Sosialisasi program dan kegiatan Panti/Orsos bagi lanjut usia penerima

pelayanan, keluarga dan masyarakat.

6.14.1.2. Kontak (Pertemuan pertama antara pihak panti/orsos dengan lanjut usia

dan keluarganya/yang mewakili).

6.14.1.3. Kontak (kesepakatan pelayanan atau bantuan secara tertulis antara klien

dengan pihak panti/pekerja sosial/orsos.

6.14.1.4. Pengungkapan masalah lanjut usia.

6.14.1.5. Rencana tindak/intervensi.

6.14.2. Pelaksanaan Pelayanan.

6.14.2.1. Pelayanan sosial

6.14.2.2. Pelayanan fisik

6.14.2.3. Pelayanan psikososial

6.14.2.4. Pelayanan ketrampilan

6.14.2.5. Pelayanankeagamaan/

spiritual

6.14.2.6. Pelayanan pendampingan

6.14.2.7. Pelayanan bantuan hukum

26

6.14.2.8. Monitoring dan evaluasi

6.14.2.9. Terminasi

6.14.2.10. Pembinaan lanjut

6.15. Kesejahteraan Sosial (pasal 2 ayat 1/UU 6/74) :

Suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, materiil dan spriritual yang

diliputi oleh rada keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir dan batin yang

memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan

kebutuhan-kebutuhan jasmani, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri ,

keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta

kewajiban manusia sesuai dengan pancasila.

6.16. Fungsi Pekerjaan Sosial (orientasi praktek)

Meningkatkan kemampuan orang (capacity building) agar dapat

memecahkan masalahnya secara lebih efektif. Menghubungkan orang dengan

sistem-sistem sumber pelayanan Melaksanakan kontrol sosial dan perubahan

distem pelayanan sosial (Memperbaiki kinerja jaringan pelayanan sosial)

Pemerataan distribusi sistem sumber pelayanan

6.17. Fungsi Peksos Secara Metodologis

6.17.1. Fungsi pencegahan

6.17.2. Fungsi pengembangan

6.17.3. Fungsi rehabilitatif

6.17.4. Fungsi suportif

6.17.5. Fungsi pengganti

6.18. Pendekatan dalam Pekerjaan Sosial

6.18.1. Pendekatan Mikro

Pendekatan berbasis pada masalah yang dihadapi oleh orang per orang.

atau secara metodologis disebut dengan case work

6.18.2. Pendekatan Mezzo

Pendekatan berbasis kelompok , yaitu pembentukan kelompok secara

terencanakan untuk berbagai kepentingan.

6.18.3. Pendekatan Makro

Planing, adminstration, evaluation and community organizing

6.19. Bentuk UPKS Lansia (PP nomor 43 tahun 2004)

6.19.1. Pelayanan keagamaan dan mental spiritual

6.19.2. Pelayanan kesehatan

6.19.3. Pelayanan kesempatan kerja (tidak berlaku bagi LU non potensial)

27

6.19.4. Kemudahan dalam penggunaan fasilitas, saran dan prasarana

umum

6.19.5. Kemudahan dalam layanan dan bantuan hukum

6.19.6. Perlindungan sosial (tidak berlaku bagi LU potensial)

6.19.7. Bantuan sosial

LU Potensial

mampu melakukan pekerjaan/kegiatan yang menghasilkan barang atau jasa.

LU tidak potensial

tidak berdaya mencari nafkah sehingga hidup tergantung pada bantuan orang lain

28

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Lansia Masa Kini dan Mendatang. Jakarta: Kementerian Koordinator

Bidang Kesejahteraan Rakyat Kedeputian I Bidang Kesejahteraan

Sosial. 2010

Anonim. Konsep Dasar Keperawatan Gerontik . Jakarta: Nurse Idea. 2009.

Darmojo, Boedhi, dan Martono, Hadi. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia

Lanjut), Edisi 2. 2000. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

Darmojo, Boedi. Buku Ajar Geriatri. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. 1999.

Kiswanto, Eka A. Trend dan Isu Legal dalam Keperawatan Profesional. Jakarta:

Pro-Health. 2009.

Mardjono, Mahar. Beberapa Masalah dalam Geriatri dan Aspek Medik pada Usia

Lanjut. Jakarta: Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. 1982.

Nugroho, Wahjudi. Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Jakarta: EGC. 2000.

R, Rully. Fasilitas dan Pelayanan Kesehatan Lansia di RSU dalam Perspektif

HAM. Jakarta: Harian Suara Pembaharuan. 2002.

SKM, Hardiwinoto, Stiabudi, Tony. Pandaun Gerontologi, Tinjauan Dari

Berbagai Aspek. 2005. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Tim Keperawatan Gerontik AKPER Lumajang. 2012. Handout Keperawatan

gerontik Asuhan Keperawatan pada Lanjut Usia. Akadmi Keperawatan Lumajang