Konsep Jamkesmas
-
Upload
coong-noer -
Category
Documents
-
view
81 -
download
1
description
Transcript of Konsep Jamkesmas
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Konsep Jamkesmas
2.2.1 Pengertian Jamkesmas
Jamkesmas adalah bantuan sosial untuk pelayanan kesehatan bagi
masyarakat miskin dan tidak mampu yang iurannya dibayar oleh Pemerintah,
diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan sejak tahun 2008 dan merupakan
perubahan dari Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Masyarakat
Miskin/JPKMM atau lebih dikenal dengan program Askeskin yang
diselenggarakan pada tahun 2005 s.d. 2007.
2.2.2 Tujuan Jamkesmas
1. Program Jamkesmas diselenggarakan untuk memberikan kemudahan dan
akses pelayanan kesehatan kepada peserta di seluruh jaringan fasilitas
kesehatan yang melaksanakan program Jamkesmas
2. Mendorong peningkatan pelayanan kesehatan yang terstandar dan
terkendali mutu dan biayanya
3. Terselenggaranya pengelolaan keuangan negara yang transparan dan
akuntabel.
2.2.3 Landasan Hukum Jamkesmas
1. Pelaksanaan program Jamkesmas dilaksanakan sebagai amanat UUD 1945
Pasal 28H ayat (1), yang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
2. Berdasarkan UUD 1945 Pasal 34 ayat (3) dinyatakan bahwa negara
bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan
fasilitas pelayanan umum yang layak.
3. Pada UUD 1945 Pasal 34 ayat (2) mengamanatkan negara
mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan dimasukkannya Sistem Jaminan Sosial dalam perubahan UUD
1945, dan terbitnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN), menjadi suatu bukti yang kuat bahwa
pemerintah dan pemangku kepentingan terkait memiliki komitmen yang besar
untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyatnya.
2.2.4 Pelaksanaan Program Jamkesmas
Pelaksanaan program Jamkesmas mengikuti prinsip-prinsip
penyelenggaraan sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 903/Menkes/Per/V/2011 tentang Pedoman
Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat, yaitu:
1. Dana amanat dan nirlaba dengan pemanfaatan untuk semata-mata
peningkatan derajat kesehatan masyarakat miskin;
2. Menyeluruh (komprehensif) sesuai dengan standar pelayanan medik yang
cost effective dan rasional;
3. Pelayanan terstruktur, berjenjang dengan portabilitas dan ekuitas; dan
4. Efisien, transparan dan akuntabel.
2.2.5 Sasaran Program Jamkesmas
Sasaran jamkesmas diperuntukan bagi seluruh masyarakat miskin,
pelaksanaan program Jamkesmas diharapkan dapat memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat, dengan memberikan akses
masyarakat miskin terhadap pelayanan kesehatan, sasaran program Jamkesmas
berjumlah 19,1 juta rumah tangga miskin (RTM) yang setara dengan 76,4 juta
jiwa masyarakat yang terdiri dari masyarakat miskin dan masyarakat tidak
mampu. Program Jamkesmas memberikan perlindungan sosial di bidang
kesehatan untuk menjamin masyarakat miskin dan tidak mampu yang iurannya
dibayar oleh pemerintah agar kebutuhan dasar kesehatannya yang layak dapat
terpenuhi. Iuran bagi masyarakat miskin dan tidak mampu dalam Program
Jamkesmas bersumber dari Anggaran Pengeluaran dan Belanja Negara (APBN)
dari mata anggaran kegiatan belanja bantuan sosial. Pada hakikatnya pelayanan
kesehatan terhadap peserta menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan bersama
oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah
Provinsi/Kabupaten/Kota berkewajiban memberikan kontribusi sehingga
menghasilkan pelayanan yang optimal. Program Jamkesmas diselenggarakan
berdasarkan konsep asuransi sosial.
2.2.6 Penyelenggaraan Jamkesmas
Penyelenggaraan Program Jamkesmas dibedakan dalam dua kelompok
berdasarkan tingkat pelayanannya yaitu:
1. Jamkesmas untuk pelayanan dasar di puskesmas termasuk jaringannya.
2. Jamkesmas untuk pelayanan kesehatan lanjutan di rumah sakit dan balai
kesehatan.
2.2.7 Prosedur Program Jamkesmas
Program Jamkesmas Tahun 2011 lebih difokuskan pada penyelenggaraan
pelayanan kesehatan lanjutan di rumah sakit dan balai kesehatan yang terdiri dari
penyelenggaraan kepesertaan, penyelenggaraan pelayanan, penyelenggaraan
pendanaan beserta manajemen dan pengorganisasiannya.
Peserta Program Jamkesmas adalah masyarakat miskin dan orang yang
tidak mampu dan peserta lainnya yang iurannya dibayar oleh Pemerintah sejumlah
76,4 juta jiwa. Kepesertaan Jamkesmas 2011 mengacu kepada data BPS 2008
yang berjumlah 60,4 juta jiwa, namun jumlah sasaran (kuota) peserta Jamkesmas
tahun 2011 ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan sama dengan tahun 2010
yaitu 76,4 juta jiwa. Baseline data kepesertaan tahun 2011 menggunakan data
BPS ditambah dengan data daerah sesuai dengan updating sampai memenuhi
kuota 2011 yang ditetapkan. Peserta yang dijamin dalam program Jamkesmas
tersebut meliputi:
a. Masyarakat miskin dan tidak mampu yang telah ditetapkan dengan
keputusan Bupati/Walikota mengacu pada:
1) Data masyarakat miskin sesuai dengan data BPS 2008 dari Pendataan
Program Perlindungan Sosial (PPLS) yang telah lengkap dengan nama dan
alamat yang jelas (by name by address). sisa kuota: total kuota dikurangi
data BPS 2008 untuk kabupaten/kota setempat yang ditetapkan sendiri
oleh kabupaten/kota setempat lengkap dengan nama dan alamat (by name
by address) yang jelas.
2) Gelandangan, pengemis, anak dan orang terlantar, masyarakat miskin yang
tidak memiliki identitas.
3) Peserta Program Keluarga Harapan (PKH) yang tidak memiliki kartu
Jamkesmas.
4) Masyarakat miskin yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 1185/Menkes/SK/XII/2009 tentang Peningkatan
Kepesertaan Jamkesmas bagi Panti Sosial, Penghuni Lembaga
Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara serta Korban Bencana Pasca
Tanggap Darurat. Tata laksana pelayanan diatur dengan petunjuk teknis
(juknis) tersendiri sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 1259/Menkes/SK/XII/2009 tentang Petunjuk Teknis
Pelayanan Jamkesmas Bagi Masyarakat Miskin Akibat Bencana,
Masyarakat Miskin Penghuni Panti Sosial, dan Masyarakat Miskin
Penghuni Lembaga Pemasyarakatan serta Rumah Tahanan Negara.
5) Ibu hamil dan melahirkan serta bayi yang dilahirkan (sampai umur 28
Hari) yang tidak memiliki jaminan kesehatan.
6) Penderita Thalassaemia Mayor yang sudah terdaftar pada Yayasan
Thalassaemia Indonesia (YTI) atau yang belum terdaftar namun telah
mendapat surat keterangan direktur rumah sakit.
Apabila masih terdapat masyarakat miskin dan tidak mampu yang tidak
termasuk dalam keputusan Bupati/Walikota maka jaminan kesehatannya
menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah (Pemda) setempat, cara
penyelenggaraan jaminan kesehatan daerah mengikuti kaidah-kaidah
pelaksanaan Jamkesmas.
b. Peserta Jamkesmas ada yang memiliki kartu sebagai identitas peserta dan
ada yang tidak memiliki kartu.
1) Peserta yang memiliki kartu adalah peserta sesuai Surat Keputusan
Bupati/Walikota.
2) Peserta yang tidak memiliki kartu terdiri dari:
a) Gelandangan, pengemis, anak dan orang terlantar serta penghuni panti
sosial pada saat mengakses pelayanan kesehatan dengan menunjukkan
surat rekomendasi dari Dinas Sosial setempat.
b) Penghuni Lapas dan Rutan pada saat mengakses pelayanan kesehatan
dengan menunjukkan rekomendasi dari Kepala Lapas/Rutan.
c) Peserta Program Keluarga Harapan (PKH) yang tidak memiliki kartu
Jamkesmas pada saat mengakses pelayanan kesehatan dengan
menunjukkan kartu PKH.
d) Bayi dan anak yang lahir dari pasangan (suami dan istri) peserta
Jamkesmas setelah terbitnya SK Bupati/Walikota, dapat mengakses
pelayanan kesehatan dengan menunjukkan akte kelahiran/surat kenal
lahir/surat keterangan lahir/pernyataan dari tenaga kesehatan, kartu
Jamkesmas orang tua dan Kartu Keluarga orangtuanya.
e) Bayi yang lahir dari pasangan yang hanya salah satunya memiliki kartu
jamkesmas tidak dijamin dalam program ini.
f) Korban bencana pasca tanggap darurat, kepesertaannya berdasarkan
keputusan Bupati atau Walikota setempat sejak tanggap darurat
dinyatakan selesai dan berlaku selama satu tahun.
g) Sasaran yang dijamin oleh Jaminan Persalinan yaitu: ibu hamil, ibu
bersalin/ibu nifas dan bayi baru lahir.
h) Penderita Thalassaemia Mayor.
Terhadap peserta yang memiliki kartu maupun yang tidak memiliki kartu
sebagaimana tersebut di atas, PT Askes (Persero) wajib menerbitkan Surat
keabsahan Peserta (SKP) dan membuat pencatatan atas kunjungan pelayanan
kesehatan. Khusus untuk peserta Jaminan Persalinan dan penderita Thalassaemia
Mayor non peserta Jamkesmas diterbitkan Surat Jaminan Pelayanan (SJP) oleh
Rumah Sakit, tidak perlu diterbitkan SKP oleh PT Askes (Persero). Bagi peserta
yang telah meninggal dunia maka haknya hilang dengan pertimbangan akan
digantikan oleh bayi yang lahir dari pasangan peserta Jamkesmas sehingga hak
peserta yang meninggal tidak dapat dialihkan kepada orang lain. Penyalahgunaan
terhadap hak kepesertaan dikenakan sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
1. Progam Jamkesmas
Merupakan program dari pemerintah untuk menjamin akses penduduk miskin
terhadap pelayanan kesehatan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang
Dasar 1945, sejak awal Agenda 100 hari Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu
telah berupaya untuk mengatasi hambatan dan kendala tersebut melalui
pelaksanaan kebijakan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
Miskin. Program ini diselenggarakan oleh Departemen Kesehatan melalui
penugasan kepada PT Askes (Persero) berdasarkan SK Nomor 1241/Menkes
/SK/XI/2004, tentang penugasan PT Askes (Persero) dalam pengelolaan program
pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat miskin. Program ini telah berjalan
memasuki tahun ke empat dan telah banyak hasil yang dicapai terbukti dengan
terjadinya kenaikan yang luar biasa dari pemanfaatan program ini dari tahun ke
tahun oleh masyarakat miskin dan pemerintah telah meningkatkan jumlah
masyarakat yang dijamin maupun pendanaannya. Namun disamping keberhasilan
yang telah dicapai, masih terdapat beberapa permasalahan yang perlu dibenahi
antara lain: kepesertaan yang belum tuntas, peran fungsi ganda sebagai pengelola,
verifikator dan sekaligus sebagai pembayar atas pelayanan kesehatan, verifikasi
belum berjalan dengan optimal, kendala dalam kecepatan pembayaran, kurangnya
pengendalian biaya, penyelenggara tidak menanggung resiko.
2. Kualitas Pelayanan Kesehatan Masyarakat
Pada saat berdirinya Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada tahun 1948,
kesehatan didefinisikan sebagai “keadaan lengkap fisik, mental, dan kesejahteraan
sosial dan bukan hanya ketiadaan penyakit atau kelemahan”. Dari hal itu kualitas
pelayanan kesehatan masyarakat mengacu pada terpenuhinya standar pusaha dala
meningkatkan banyaknya masyarakat yang tidak terganggu fisik maupun mental
serta kemapanan dari segi ekonomi, untuk bisa mengakses fasilitas kesehatan
dalam rangka memperbaiki atau menyembuhkan kekurangan fisik maupun mental
mereka.
2.2 Konsep Mutu Pelayanan Kesehatan
2.2.1 Definisi Mutu Pelayanan Kesehatan
Banyak beberapa ahli yang mengungkapkan definisi tentang mutu,
menurut Joseph M. Juran Mutu dan kualitas merupakan perwujudan atau
gambaran-gambaran hasil-hasil yang mempertemukan kebutuhan-kebutuhan dari
pelanggan dan oleh karena itu memberikan kepuasan (Djoko Wijono, 1997).
Lebih lanjut Joseph M. Juran mengatakan bahwa mutu bila dilihat dari pengertian
dan manfaat bagi seorang manager dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: 1).
Mutu sebagai keistimewaan barang atau produk sehingga berdampak pada
penjualan. 2). Mutu berarti bebas dari kekurangan (defisiensi) yang berdampak
pada biaya sehingga mutu yang lebih tinggi biayanya akan lebih sedikit (Djoko
Wijono, 1997).
Menurut Armand Feigenbaun Mutu merupakan suatu ketetapan pelanggan
bukan penetapan insiyur dan bukan suatu penetapan pasar ataupun penetapan
management umum (Djoko Wijono, 1997). Feigenbaun menekankan bahwa Mutu
berlandaskan pengalaman nyata dari pelanggan dengan suatu produk atau jasa,
diukur dengan dirinya atau permintaannya, dinyatakan atau tidak, sadar atau
sedikit dirasakan, masalah pelaksanaan tekhnik atau subyektif dari dalam dan
selalu menggambarkan suatu target yang bergerak dalam pasar yang kompetitif
(Djoko Wijono, 1997).
Mutu pelayanan kesehatan adalah yang menunjuk pada tingkat
kesempurnaan pelayanan kesehatan, yang disuatu pihak dapat menimbulkan
kepuasan kepada setiap keluarga pasien sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata
penduduk, serta dipihak lain tata cara penyelenggaraan sesuai dengan kode etik
dan standar pelayanan profesi yang telah ditetapkan (Azrul Azwar, 1996).
Sedangkan menurut Dona Bedian (1980) mutu pelayanan adalah sesuatu yang
diharapkan untuk memaksimalkan suatu ukuran yang inklusif dari kesejahteraan
keluarga pasien, sesudah itu dihitung keseimbangan antara keuntungan yang
diraih dan kerugian semuanya, itu merupakan penyelesaian proses atau hasil
pelayanan di seluruh bagian-bagian. Lori Diprese Brown dalam bukunya Quality
Assurance of Care in Developing Countries mengatakan bahwa mutu adalah
fenomena yang konfrehensif dan multi dimensi (Djoko Wijono, 1997).
Pendekatan mutu pada pelayanan kesehatan pada umumnya melalui dua
pendekatan, yaitu :
1. Pendekatan kesehatan masyarakat
Dalam hal ini mutu kesehatan tidak dihubungkan dengan kepuasan
individu, namun dilihat dari indikator-indikator angka kesakitan, angka
kematian, perkembangan fisik dan mental yang merupakan tolak ukur dari
derajat kesehatan masyarakat.
2. Pendekatan institusional atau individu
Mutu pelayanan kesehatan berkaitan dengan kepuasan perorangan atau
individu terhadap pelayanan yang diberikan oleh institusi pelayanan
kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas dan lain-lain.
2.2.2 Indikator Mutu Pelayanan Kesehatan
Indikator yang dapat digunakan dalam menilai mutu pelayanan kesehatan
antara lain :
1. Indikator klinik
Indikator ini dapat berupa peran dari petugas atau tenaga kesehatan
sebagai profesi (dokter, perawat, dll) dalam memberikan pelayanan
kesehatan. Indikator ini meliputi :
a. Angka kejadian infeksi nosokomial.
b. Angka kematian keluarga pasien (NDR, GDR).
c. Yang berkaitan dengan tindakan operasi dan gawat darurat.
2. Indikator efisiensi
Pada indikator efisiensi ini melihat apakah sumber daya sudah
dimanfaatkan atau dipergunakan secara efektif dan efisiensi untuk
menghasilkan pelayanan yang bermutu. Hal ini dapat dilakuan dengan
menilai hasil pelayanan rumah sakit seperti:
a. Length Of Stay (LOS).
b. Turn Over Interval (TOI).
c. Bed Occupancy Rate (BOR).
d. Pemanfaatan kamar operasi, obat-obatan, dll.
3. Indikator keamanan keluarga pasien
Keluarga pasien yang dirawat harus mendapatkan rasa aman dari segala
ancaman atau gangguan seperti :
a. Keluarga pasien tidak jatuh dari tempat tidur.
b. Terhindar dari pemberian obat-obatan yang salah.
c. Komunikasi yang kurang dari petugas dll.
4. Indikator kepuasan keluarga pasien
Keluarga pasien sebagai pengguna jasa pelayanan mempunyai hak untuk
menilai atas pelayanan yang diberikan. Hal ini dilakukan dengan cara :
a. Menyediakan sarana untuk keluhan dari keluarga pasien dan keluarganya.
b. Melakukan survei kepuasan terhadap keluarga pasien.
c. Menyediakan sarana tempat pengaduan dari keluarga pasien dan keluarga
atas semua tindakan yang dianggap melanggar aturan dan norma.
Pada prinsipnya pengertian mutu pelayanan kesehatan secara keseluruhan
tidak terlalu berbeda dengan pengertian mutu bila dipandang dari keperawatan.
Gilles (1994) menyatakan bahwa Mutu keperawatan adalah proses penerapan
tingkat yang terbaik untuk melaksanakan tindakan keperawatan dalam tindakan
pelayanan kesehatan lainnya yang menjamin bahwa setiap keluarga pasien
mendapatkan pelayanan keperawatan yang bermutu tinggi sesuai dengan yang
telah ditetapkan.
2.3 Kualitas Jasa atau Pelayanan
2.3.1 Pengertian Kualitas
Dalam situasi persaingan global yang semakin kompetitif, persoalan
kualitas produk menjadi isu sentral bagi setiap perusahaan. Kemampuan
perusahaan untuk menyediakan produk berkualitas akan menjadi senjata untuk
memenangkan persaingan, karena dengan memberikan produk berkualitas,
kepuasan konsumen akan tercapai. Oleh karena itu perusahaan harus menentukan
definisi yang tepat dan pemahaman yang akurat tentang kualitas yang tepat.
Menurut American Society for Quality Control (Kotler, 2007:50)
“Kualitas adalah keseluruhan ciri-ciri dan karakteristik-karakteristik dari suatu
produk atau jasa dalam hal kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan yang telah ditentukan atau bersifat paten“.
Selanjutnya menurut Duran dalam bukunya Quality Control Handbook,
seperti yang dikutip oleh Lupiyoadi (2001) “Kualitas dapat diartikan sebagai
biaya yang dapat dihindari (avoidable) dan yang tidak dapat dihindari
(unavoidable)”.
Yang termasuk dalam biaya yang dapat dihindari misalnya biaya akibat
kegagalan produk, sementara yang termasuk biaya yang tidak dapat dihindari
misalnya biaya kegiatan pengawasan kualitas.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa definisi
kualitas bersumber dari dua sisi, produsen dan konsumen. Produsen menentukan
persyaratan atau spesifikasi kualitas, sedangkan konsumen menentukan kebutuhan
dan keinginan. Pendefinisian akan akurat jika produsen mampu menerjemahkan
kebutuhan dan keinginan atas produk ke dalam spesifikasi produk yang
dihasilkan.
2.3.2. Pengertian Kualitas Jasa atau Pelayanan
Kualitas pelayanan (Service Quality) seperti yang dikatakan oleh
Parasuraman et al. 1998, dikutip oleh Lupiyoadi (2001) dapat didefinisikan yaitu :
“Seberapa jauh perbedaan antara kenyataan dan harapan konsumen atas pelayanan
yang mereka terima/peroleh.”
Menurut Rangkuti (2004:28) bahwa “Kualitas jasa didefinisikan sebagai
penyampaian jasa yang akan melebihi tingkat kepentingan konsumen”. Definisi
tersebut menekankan pada kelebihan dari tingkat kepentingan konsumen sebagai
inti dari kualitas jasa.
Sementara itu Groonross (dalam Sandra, 2005:15) menyatakan bahwa
kualitas total suatu jasa terdiri atas tiga komponen utama, yaitu:
1. Technical quality, yang berkaitan dengan dengan kualitas output jasa
yang diterima pelanggan. Komponen ini dapat dijabarkan lagi menjadi
tiga jenis yang meliputi:
a. Search quality, dapat dievaluasikan sebelum dibeli, misalnya harga.
b. Experience quality, hanya bisa dievaluasikan setelah dikonsumsi,
contohnya ketepatan waktu, kecepatan pelayanan dan kerapihan
hasil.
c. Credence quality, sukar dievaluasikan pelanggan sekalipun telah
mengkonsumsi jasa, misalnya kualitas operasi bedah jantung.
2. Functional quality, yang berkaitan dengan kualitas cara penyampaian
jasa.
3. Coorporate image, berupa profil, reputasi, citra umum dan daya tarik
khusus suatu perusahaan.
Salah satu model kualitas pelayanan yang banyak dijadikan acuan dalam
riset pemasaran adalah model ServQual (Service Quality) seperti yang
dikembangkan oleh Parasuraman, Zeithaml, dan Berry seperti yang dikutip oleh
Lopiyoadi (2001) dalam serangkaian penelitian mereka terhadap enam sektor jasa,
reparasi, peralatan rumahtangga, kartu kredit, asuransi, sambungan telepon jarak
jauh, perbankan ritel, dan pialang sekuritas.Service Quality dibangun atas adanya
perbandingan dua faktor utama yaitu persepsi pelanggan atas pelayanan yang
nyata mereka terima (perceivedservice) dengan pelayanan yang sesungguhnya
diharapkan/diinginkan (expectedservice).
Apabila jasa yang diterima oleh pelanggan sesuai dengan yang diharapkan,
maka kualitas pelayanan dipersepsikan baik, jadi pelayanan dipersepsikan
sangat baik/ideal dan sebaliknya jika pelayanan yang diterima lebih rendah
dari yang diharapkan konsumen, maka kualitas pelayanan akan dipersepsikan
sangat jelek/kurang ideal, sehingga kebutuhan dan keinginan konsumen
merasa belum terpenuhi.
2.3.3 Dimensi Kualitas Jasa
Konsep kualitas pelayanan merupakan faktor penilaian yang
merefleksikan persepsi konsumen terhadap lima dimensi spesifik dari kinerja
layanan. Parasuraman et al, 1990 (dalam Kotler, 2007:56) menyimpulkan bahwa
ada lima dimensi ServQual (Service Quality) yang dipakai untuk mengukur
kualitas pelayanan, yaitu :
1. Tangibles, atau bukti fisik yaitu kemampuan suatu perusahaan dalam
menunjukkan eksistensinya kepada pihak eksternal. Penampilan
dankemampuan sarana dan prasarana fisik perusahaan dan
keadaanlingkungan sekitarnya adalah bukti nyata dari pelayanan yang
diberikanoleh pemberi jasa.
2. Reliability, atau kehandalan yaitu kemampuan perusahaan untuk
memberikan pelayanan sesuai yang dijanjikan secara akurat
danterpercaya.
3. Responsiveness atau ketanggapan yaitu suatu kemauan untuk membantu
dan memberikan pelayanan yang cepat (responsif) dan tepat
kepadapelanggan, dengan penyampaian informasi yang jelas.
4. Assurance, atau jaminan dan kepastian yaitu
pengetahuan,kesopansantunan, dan kemampuan para pegawai perusahaan
untukmenumbuhkan rasa percaya para pelanggan kepada perusahaan.
5. Emphaty, yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat
individualatau pribadi yang diberikan kepada para pelanggan dengan
berupayamemahami keinginan konsumen.
Untuk lebih menjelaskan pembahasan mengenai dimensi ServQual
(ServiceQuality) maka di bawah ini dijabarkan secara mendetail mengenai kelima
dimensi konsep Service Quality. Antara lain :
1. Tangible (hal-hal yang terlihat)
Adalah bukti fisik suatu perusahaan dalam menunjukkan eksistensinya
kepada pihak eksternal. Penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik
perusahaan dan keadaan lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata dari pelayanan
yang diberikan oleh pemberi jasa. Indikator yang dapat diukur dari tangible
adalah sebagai berikut :
a. Penampilan luar fasilitas fisik perusahaan :
1. Kondisi gedung.
2. Kondisi sarana penunjang kegiatan sehari-hari.
b. Penampilan dalam perusahaan :
1. Kondisi kebersihan.
2. Suasana dalam gedung.
3. Sirkulasi udara (ventilasi).
4. Pencahayaan dalam ruangan.
5. Jumlah loket yang tersedia.
6. Poster, spanduk atau brosur sebagai sarana penunjang kegiatan
perusahaansehari-hari.
2. Reliability (kehandalan)
Dalam unsur ini, pemasar dituntut untuk menyediakan produk/jasa yang
handal. Produk/jasa jangan sampai mengalami kerusakan/kegagalan. Dengan kata
lain, produk/jasa tersebut selalu baik. Para anggota perusahaan juga harus jujur
dalam menyelesaikan masalah sehingga pelanggan tidak merasa ditipu. Selain itu,
pemasar juga harus tepat janji bila menjanjikan sesuatu kepada pelanggan. Sekali
lagi perlu diperhatikan bahwa janji bukan sekedar janji, namun janji harus
ditepati. Oleh karena itu, time schedule perlu disusun dengan teliti. Indikator yang
dapat diukur dari Reliability adalah sebagai berikut :
a. Memberikan pelayanan sesuai janji.
b. Melakukan pelayanan pada saat pertama.
c. Menyediakan pelayanan pada waktu yang dijanjikan.
3. Responsiveness (ketanggapan)
Restoran cepat saji Mc. Donald’s menggunakan jam pengukuran sebagai
komitmen untuk melayani pelanggan dengan pelayanan cepat. Bila satu menit
telah berlalu dan pelanggan belum menerima menu pesanan, maka pihak restoran
akan memberikan bonus menu lain. Para anggota perusahaan juga harus
memerhatikan janji spesifik kepada pelanggan. Unsur lain yang juga penting
dalam hal cepat tanggap ini adalah anggota perusahaan selalu siap membantu
pelanggan. Apapun posisi seseorang dalam perusahaan hendaknya selalu
memerhatikan pelanggan yang menghubungi perusahaan. Dalam hal ini bisa
diartikan kemampuan menolong konsumen dan memberikan pelayanan yang
cepat. Indikator yang dapat diukur dari responsiveness adalah sebagai berikut:
a. Karyawan cepat tanggap terhadap jasa yang dibutuhkan pelanggan
b. Pelayanan yang tepat pada pelanggan.
c. Keinginan untuk membantu pelanggan.
4. Assurance (Jaminan)
Pada saat persaingan semakin kompetitif, anggota perusahaan harus
tampil lebih kompeten, artinya memiliki pengetahuan dan keahlian di bidang
masing-masing. Faktor security, yaitu memberikan rasa aman dan terjamin
kepada pelanggan merupakan hal yang penting pula. Dalam situasi banyak
pesaing, sangatlah beresiko bila menipu pelanggan. Selain itu anggota perusahaan
harus bersikap ramah dengan menyapa pelanggan yang datang. Dalam hal ini
perilaku para karyawan harus membuat konsumen tenang dan merasa perusahaan
dapat menjamin jasa pelayanan yang dibutuhkan pelanggan. Selain kedua faktor
yang telah dijelaskan di atas, ada indikator dari pengukuran Assurance seperti
yang terdapat di bawah ini :
a. Karyawan memberi tahu konsumen, apa pelayanan yang
dibutuhkankonsumen dan akan dikerjakan.
b. Perilaku karyawan yang memberikan ketenangan bagi konsumen
bahwatransaksi yang dilakukannya terjamin.
5. Empathy (Empati)
Untuk mewujudkan sikap empati, setiap anggota perusahaan hendaknya
dapat mengelola waktu agar mudah dihubungi, baik melalui telepon ataupun
bertemu langsung. Dering telepon usahakan maksimum tiga kali, lalu segera
dijawab. Ingat, waktu yang dimiliki pelanggan sangat terbatas sehingga tidak
mungkin menunggu terlalu lama. Usahakan pula untuk melakukan komunikasi
individu agar hubungan dengan pelanggan lebih akrab. Anggota perusahaan juga
harus memahami pelanggan, artinya pelanggan terkadang seperti anak kecil yang
menginginkan segala sesuatu atau pelanggan terkadang seperti orang tua yang
cerewet. Dengan memahami pelanggan, bukan berarti anggota perusahaan harus
“kalah” dan harus “mengiyakan” pendapat pelanggan, tetapi paling tidak mencoba
untuk melakukan kompromi bukan melakukan perlawanan. Hal ini menyangkut
apa yang dirasakan konsumen ketika berkomunikasi dengan karyawan. Indikator
pengukuran dari Emphaty seperti di bawah ini :
a. Karyawan memberi kesempatan bertanya pada pelanggan.
b. Karyawan memberi perhatian penuh saat berhubungan dengan
pelanggan.
c. Karyawan memahami keperluan yang khusus dari pelanggan.
Elemen-elemen kualitas pelayanan yang telah disebutkan di atas, harus
diramu dengan baik. Apabila tidak, hal tersebut menimbulkan kesenjangan antara
perusahaan dan pelanggan karena perbedaan persepsi tentang wujud pelayanan
yang diberikan mengalami perbedaan dengan harapan pelanggan.
Kualitas pelayanan dapat dinilai dari banyak faktor yang berhubungan,
dimana kualitas pelayanan dapat dinilai dari persepsi konsumen dalam menikmati
barang dan jasa yang ditawarkan kepada konsumen, sehingga yang dirasakan oleh
konsumen adalah keinginan yang selalu terpenuhi dan harapan terhadap performa
barang dan jasa yang ditawarkan oleh produsen dapat diterima.
Menurut Kotler (2007:53), pemasaran produk/jasa yang dihasilkan tidak
hanya membutuhkan pemasaran eksternal tetapi juga pemasaran internal dan
interaktif. (Gambar 2.1).
Gambar 2.1Tiga Jenis Pemasaran dalam Industri Jasa
Perusahaan
Pemasaran Pemasaran
Internal Eksternal
Karyawan Pemasaran Pelanggan
EfektifSumber : Kotler (2007:53)
Produk dan Jasa
Pemasaran ekternalmenggambarkan pekerjaan normal yang dilakukan
oleh perusahaan, menyiapkan pelayanan prima, memberi harga, mendistribusikan
dan mempromosikan jasa itu kepada konsumen. Pemasaran internalmenjelaskan
pekerjaan yang dilakukan oleh perusahaan untuk melatih dan memotivasi
pegawainya untuk melayani pelanggan dengan baik. Pemasaran
interaktifmenggambarkan keahlian pegawai dalam melayani pelanggan.
2.3.4 Strategi Untuk Meningkatkan Kualitas Pelayanan
Adapun strategi untuk meningkatkan kualitas pelayanan
yangdikemukakan oleh Fandy Tjiptono (dalam Sandra, 2007:22) sebagai
berikut:
1. Mengidentifikasi determinan utama kualitas pelayanan
Setiap perusahaan jasa perlu berupaya memberikan kualitas yang terbaik
kepada pelanggan, untuk itu dibutuhkan identifikasi determinan pelayanan
yang paling penting bagi pasar sasaran, langkah berikutnya adalah
memperkirakan penilaian yang diberikan pasar sasaran terhadap perusahaan
dan pesaing berdasarkan determinan-determinan tersebut.
2. Mengelola harapan pelanggan
Semakin banyak janji yang diberikan oleh perusahaan, maka semakin
besar pula harapan pelanggan yang pada gilirannya akan menambah peluang
tidak dapat terpenuhinya harapan pelanggan oleh perusahaan.
3. Mengelola bukti (evidence) kualitas pelayanan
Pengelolaan bukti kualitas pelayanan bertujuan untuk memperkuat
persepsi pelanggan selama dan sesudah jasa diberikan. Dikarenakan jasa
merupakan kinerja dan tidak dapat dirasakan sebagaimana halnya barang,
maka pelanggan cenderung memperhatikan fakta-fakta yang berkaitan dengan
pelayanan sebagai bukti kualitas.
4. Membidik konsumen tentang pelayanan
Membantu pelanggan dalam memahami suatu pelayanan, itu merupakan
upaya yang sangat positif dalam rangka penyampaian mutu pelayanan.
Pelanggan yang terdidik akan dapat mengambil suatu keputusan secaa lebih
baik.
5. Mengembangkan budaya kualitas
Budaya kualitas terdiri dari filosofi, keyakinan, sikap, norma, prosedur
dan harapan yang meningkatkan kualitas. Agar dapat tercipta budaya kualitas
yang baik, dibutuhkan komitmen yang menyeluruh pada seluruh anggota
organisasi.
6. Menciptakan automatic quality
Adanya otomatisasi dapat mengatasi variabilitas mutu pelayanan yang
disebabkan kurangnya sumber daya yang dimiliki. Meskipun demikian
sebelum memutuskan akan melakukan otomatisasi, perusahaan perlu
melakukan penelitian secara seksama untuk menentukan bagian yang
membutuhkan sentuhan manusia dan bagian yang memerlukan otomatisasi.
7. Menindaklanjuti pelayanan
Menindaklanjuti pelayanan dapat membantu memisahkan aspek-aspek
pelayanan yang perlu ditingkatkan, perusahaan perlu mengambil inisiatif
untuk menghubungkan sebagian atau semua pelanggan untuk mengetahui
tingkat kepuasan dan persepsi mereka terhadap jasa yang diberikan.
8. Mengembangkan sistem informasi kualitas pelayanan
Sistem ini merupakan suatu sistem yang menggunakan pendekatan secara
sistematis untuk mengumpulkan dan menyebarluaskan informasi yang
dibutuhkan mencakup segala aspek yaitu data saat ini dan masa lalu,
kuantitatif dan kualitatif, eksternal dan internal serta informasi mengenai
perusahaan dan pelanggan.