KONSENSUS PENATALAKSANAAN TROMBOEMBOLI VENA … filePelayanan pasien sakit kritis yang membutuhkan...

29
9 786021 773765 ISBN : 978-602-17737-6-5 KONSENSUS PENATALAKSANAAN TROMBOEMBOLI VENA (TEV) PADA PENYAKIT KRITIS

Transcript of KONSENSUS PENATALAKSANAAN TROMBOEMBOLI VENA … filePelayanan pasien sakit kritis yang membutuhkan...

9 7 8 6 0 2 1 7 7 3 7 6 5

ISBN : 978-602-17737-6-5

KONSENSUS PENATALAKSANAANTROMBOEMBOLI VENA (TEV)PADA PENYAKIT KRITIS

i

KONSENSUS PENATALAKSANAAN TROMBOEMBOLI VENA (TEV)

PADA PENYAKIT KRITIS

PENULIS :

FRANS JOSEF VINCENTIUS PANGALILA, DKK.

PERHIMPUNAN DOKTER INTENSIVE CARE INDONESIA

2019

ii

KONSENSUS PENATALAKSANAAN

TROMBOEMBOLI VENA (TEV)

PADA PENYAKIT KRITIS

Penulis :

Prof. DR. Dr. Karmel Lidow Tambunan, SpPD KHOM,

FINASIM

Dr. Frans Josef Vincentius Pangalila, SpPD KIC

Dr. Bambang Wahjuprajitno, SpAn KIC

Dr. Shinta Vera Hutajulu, SpAn KIC

Dr. Rika Bur, SpPD – KPTI

Dr. Dafsah Arifa Juzar, SpJP (K)

Dr. Daniel P. L. Tobing, SpJP (K)

Dr. Harbanu Hermawan, SpPD – KKV

Dr. Yudistira Panji Santosa, SpPD – KKV, FINASIM

Editor :

Dr. Frans Josef Vincentius Pangalila, SpPD KIC

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG – UNDANG

Dilarang memperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagian atau

seluruh isi buku ini dengan cara dan dalam bentuk apapun tanpa

seizing penulis dan penerbit.

DITERBITKAN PERTAMA KALI OLEH :

Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia (PERDICI)

Apartemen Menteng Square Tower A Lantai 3 No. AO – 11,

Jl. Matraman Raya No. 30, Jakarta Pusat 10320, Indonesia

www.perdici.org

ISBN : 978-602-17737-6-5

iii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya yang telah memberikan kemudahan sehingga buku pedoman ini dapat diselesaikan dan diterbitkan. Sesuai dengan misi dan visi Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia (PERDICI) yaitu memupuk, meningkatkan dan mengembangkan ilmu kedokteran Intensive Care untuk diamalkan demi peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Salah satu wujud untuk meningkatkan derajat pasien rawat inap di ruang intensif, maka Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia (PERDICI) mengajak beberapa disiplin ilmu lain yaitu Perhimpunan Trombosis Hemostasis Indonesia (PTHI), Perhimpunan Tropik Infeksi Indonesia (PETRI), Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), dan Ikatan Keseminatan Kardioserebrovaskular Indonesia (IKKI) menyusun buku panduan ini yaitu: KONSENSUS PENATALAKSANAAN TROMBOEMBOLI VENA (TEV) PADA PENYAKIT KRITIS. TEV sering me-rupakan komplikasi dari penyakit kritis dan akan memberikan per-langsungan penyakit yang lebih buruk. Saat ini masih banyak ber-anggapan bahwa angka kejadian TEV di Asia termasuk Indonesia jauh lebih rendah dibanding dengan populasi Kaukasia. Beberapa data terbaru melalui penelitian dibeberapa rumah sakit di Asia menunjukan bahwa angka kejadian TEV tidak serendah seperti yang diperkirakan sebelumnya. Kecenderungan peningkatan kejadian TEV di Asia kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor misalnya perubahan gaya hidup, semakin banyak populasi usia lanjut dan semakin tinggi tingkat kewaspadaan para klinisi terhadap TEV. Melalui buku panduan ini diharapkan pencegahan dan penanganan TEV terutama di ruang rawat intensif semakin optimal. Kami menyadari bahwa buku pedoman ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan masukan dari semua pihak sangat diharapkan demi kesempurnaan buku pedoman ini di kemudian hari.

Terima kasih, selamat membaca dan semoga bermanfaat

Jakarta, Februari 2019

Divisi Rekomendasi Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia

iv

KATA SAMBUTAN

Pelayanan di unit perawatan intensif merupakan bagian dari

pelayanan profesi kedokteran yang cukup menantang. Pelayanan pasien sakit kritis yang membutuhkan perawatan ICU seringkali juga dihadapkan dengan resiko komplikasi akibat perawatannya tersebut. Salah satu contohnya adalah Tromboemboli Vena akibat pasien mengalami imobilisasi selama perawatan di ICU.

Secara umum, pasien sakit kritis memiliki resiko TEV sedang sampai tinggi akibat selain imobilisasi juga faktor penyakitnya sendiri yang dapat mengganggu faktor koagulasi darah dan mengakibatkan emboli.

Untuk itu, pengetahuan tentang permasalahan TEV di ruang Intensif menjadi salah satu keharusan bagi seorang dokter yang memberikan pelayanan di ICU. Dengan disusunnya kesepakatan penatalaksanaan TEV ini diharapkan ICU mempunyai keseragaman dalam hal penatalaksanaan TEV, terlebih secara multidisplin, sehingga terdapat standar yang seragam di seluruh ICU di Indonesia.

Banyak buku telah ditulis mengenai ilmu penyakit kritis dalam usaha untuk membantu para klinisi agar dapat memberikan pelayanan berkualitas tinggi dan sesuai dengan keilmuan saat ini namun sangat jarang bahwa buku atau panduan tersebut merupakan buatan anak bangsa Indonesia, Karena alasan tersebut saya mengucapkan terima kasih dan rasa penghormatan yang sebesar-besarnya kepada seluruh tim penulis buku “Konsensus Penatalaksanaan Tromboemboli Vena (TEV) pada Penyakit Kritis“. Beberapa latar belakang dan panduan praktis dalam buku ini telah disesuaikan dengan keadaan lapangan di Indonesia dan dapat menjadi suatu pintu pembuka komunikasi antar dokter intensif dalam menemukan isu-isu yang dapat diperbaiki dan dianalisa untuk perbaikan dunia kesehatan Indonesia.

Harapan kami adalah bahwa buku ini akan membawa angin segar bagi perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia.

Jakarta, Februari 2019 Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia

DR. dr. Ike Sri Redjeki, SpAn KIC, KMN, MKes Ketua Umum

v

LEMBAR PENGESAHAN PENERBITAN BUKU KONSENSUS PENATALAKSANAAN TROMBOEMBOLI VENA (TEV) PADA PENYAKIT KRITIS

KETUA UMUM PERHIMPUNAN TROMBOSIS HEMOSTASIS INDONESIA (PTHI)

(Prof. DR. Dr. Karmel L. Tambunan, SpPD KHOM, FINASIM)

KETUA UMUM PERHIMPUNAN TROPIK INFEKSI INDONESIA (PETRI)

(Dr. Suhendro, SpPD K-PTI)

KETUA UMUM PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS KARDIOVASKULAR INDONESIA (PERKI)

(Dr. Ismoyo Sunu, SpJP, Ph.D, FIHA)

vi

KETUA UMUM IKATAN KESEMINATAN KARDIOSEREBROVASKULAR INDONESIA (IKKI)

(Dr. Ika Prasetya Wijaya, SpPD, KKV)

KETUA UMUM PERHIMPUNAN DOKTER INTENSIVE CARE INDONESIA (PERDICI)

(DR. Dr. Ike Sri Redjeki, SpAn KIC, KMN, MKes)

vii

TIM PENYUSUN

Prof. DR. Dr. Karmel Lidow Tambunan, SpPD KHOM, FINASIM RS. PGI Cikini, Jakarta

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

Dr. Frans Josef Vincentius Pangalila, SpPD KIC

Intensive Care Unit RS Royal Taruma Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta

Dr. Bambang Wahjuprajitno, SpAn KIC Intensive Care Unit RSUD Dr. Soetomo

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga

Surabaya

Dr. Shinta Vera Hutajulu, SpAn KIC Intensive Care Unit / Kamar Operasi RS. MH. Thamrin, Salemba - Jakarta

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

Dr. Rika Bur, SpPD - KPTI

RS. Premiere Bintaro, Tangerang RS. Islam Cempaka Putih, Jakarta

RSAB Harapan Kita, Jakarta Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Jakarta

Dr. Dafsah Arifa Juzar, SpJP (K) Emergency and Cardiovascular Critical Care Unit

RS. Jantung Harapan dan Pembuluh Darah Harapan Kita Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

viii

Dr. Daniel P. L. Tobing, SpJP (K) Emergency and Cardiovascular Critical Care Unit

RS. Jantung Harapan dan Pembuluh Darah Harapan Kita Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

Dr. Harbanu Hermawan, SpPD - KKV

Jakarta Heart Center, Jakarta Fakultas Kedokteran Udayana,

Denpasar

Dr. Yudistira Panji Santosa, SpPD – KKV, FINASIM Divisi Kardiovaskuler Departemen Ilmu Penyakit Dalam

FKIK / RS. Atmajaya, Jakarta Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

EDITOR:

Dr. Frans Josef Vincentius Pangalila, SpPD KIC Intensive Care Unit RS Royal Taruma

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Jakarta

ix

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................ iii

Kata Sambutan ................................................................................ iv

Lembar Pengesahan ........................................................................ v

Tim Penyusun .................................................................................. vii

Editor ............................................................................................ viii

Daftar Isi ........................................................................................... ix

Pendahuluan ..................................................................................... 1

Epidemiologi .................................................................................... 2

Patofisiologi ...................................................................................... 3

Pendekatan dan Penanganan TEV di ruang rawat intensif .............. 5

Daftar Pustaka ….. .............................................................................. 17

Lampiran .......................................................................................... 19

1

Konsensus Penatalaksanaan Tromboemboli Vena (TEV) pada Penyakit Kritis

“Seorang laki-laki usia 67 tahun dirawat dengan pneumonia komunitas berat disertai gagal napas, pasien mempunyai riwayat hipertensi sejak 10 tahun lalu. Di ruang intensif pasien menggunakan alat bantu napas dan diberikan antibiotik. Hari ke 6 perawatan di ekstubasi tetapi memasuki hari ke 7 pasien mendadak mengalami sesak napas berat disertai nyeri dada“

Pendahuluan

Tromboemboli Vena (TEV) termasuk Trombosis Vena Dalam (TVD) dan Emboli Paru (EP) merupakan komplikasi yang sering terjadi di ruang rawat intensif. Trombosis vena dalam (TVD) adalah suatu kondisi medis terbentuknya trombus pada sistem vena di ekstremitas (biasanya vena tungkai bawah). Bekuan darah dapat menyumbat vena parsial atau total dan inilah yang mengakibatkan timbulnya keluhan atau tidak bergejala. Apabila sebagian bekuan darah ini terlepas dan beredar dalam sirkulasi, maka dapat terjadi kondisi serius dan bersifat fatal yang disebut emboli paru (EP) (1). Pasien penyakit kritis memiliki risiko sangat tinggi untuk terjadinya TEV karena gabungan dari beberapa faktor risiko TEV yang spesifik misalnya menggunakan alat bantu napas (ventilator mekanik), obat sedasi dan vasopresor, kateter vena sentral dan imobilisasi. Selain data klinis, ultrasonografi dan computed tomography (CT) scan merupakan alat diagnostik utama TEV di ruang rawat intensif, sedangkan ekokardiografi terutama digunakan untuk menilai tingkat keparahan emboli paru. TEV merupakan komplikasi yang sering terjadi di ruang rawat intensif yang sebenarnya mudah untuk dideteksi dan dapat dicegah dengan efektif dan relatif aman. Permasalahannya adalah rendahnya angka pemberian profilaksis TEV pada pasien yang memerlukan meskipun telah terdapat panduan klinis (guideline) Internasional (2). TEV pada pasien sakit kritis selain meningkatkan mortalitas, secara bermakna menambah lama rawat rumah sakit dan biaya. Oleh karena itu, pemberian trombo-profilaksis sangat diperlukan untuk setiap pasien yang dirawat di ruang rawat intensif setelah mempertimbangkan akan risiko pendarahan (3)

2

Epidemiologi

Prevalensi TEV, khususnya EP tidak diketahui secara pasti karena penyakit ini sering tidak memberikan gejala yang jelas terutama saat pasien menggunakan sedasi dan atau ventilator mekanik. Dilaporkan kejadian TEV sekitar 100 per 100.000 penduduk pertahun, meningkat secara eksponensial sesuai dengan bertambahnya usia dan kejadian lebih sering pada laki laki dibanding wanita. Manifestasi TEV sepertiganya dalam bentuk EP dan sisanya sebagai TVD (4). Walaupun belum banyak data tentang TEV di unit rawat intensif tetapi beberapa hasil penelitian menunjukkan :

Angka kejadian TEV dapat mencapai 44 % apabila dilakukan tromboprofilaksis dan akan meningkat mencapai 81 % apabila tidak dilakukan tromboprofilaksis (5)

12 % dari kasus yang telah terbukti sebagai TEV berkembang menjadi EP walaupun sudah mendapatkan tromboprofilaksis (6)

Angka kematian EP yang tidak diobati sekitar 30 %, bila diberikan antikoagulan yang adekuat akan berkurang hingga 2 – 8 % (7)

Di Asia, pemberian tromboprofilaksis pada penyakit kritis belum mendapat banyak perhatian karena data sahih melalui hasil penelitian yang terstandarisasi baik masih terbatas, selain itu masih adanya anggapan yang salah bahwa kejadian TEV pada populasi Asia masih jauh lebih rendah dibanding populasi Kaukasia. Data global Asia yang muncul belakangan ini melalui penelitian di beberapa rumah sakit menunjukkan :

Angka kejadian TEV paska operasi panggul dan lutut di Asia 20 – 60 % sebanding dengan di Eropa 40 – 80 %

Angka kejadian TEV di ruang bedah umum (termasuk operasi kolorektal) sedikit lebih rendah ( 3 – 28 % ) dibanding populasi kaukasia ( 28 – 44 % )

Penelitian cross-sectional pada 32 negara menunjukan 42 % pasien yang menjalani rawat medis memenuhi kriteria risiko akan TEV

Leizoroviscz dkk (penelitian Smart) dan Piovela dkk (penelitian AIDA) menunjukan kejadian TEV paska tindakan ortopedi cukup tinggi 16.4 % - 58.1 % (8,9)

3

Penelitian dengan otopsi pada pasien penyakit kritis menunjukan angka kejadian emboli paru sebesar 7% hingga 27% dan hanya sepertiga yang dicurigai secara klinis. (3)

Patofisiologi

Terbentuknya trombus vena akibat suatu proses ketidakseimbangan antara efek rangsangan trombogenik dan mekanisme proteksi. Ketidakseimbangan ini sejak tahun 1856 sudah di amati oleh Rudolf Virchow melalui konsep Virchow′s Triad yaitu tiga faktor yang berperan : stasis vena, kerusakan atau disfungsi endotel pembuluh darah dan hiperkoagulabilitas (gambar 1) (10,11,12)

Gambar 1 : Trias Virchow (10,11,12)

Stasis vena : aliran darah vena cenderung melambat (stasis) terutama pada lokasi cekungan sekitar katup dinding vena dalam. Penilitian postmortem menunjukan bahwa hampir sebagian kasus TEV ditemukan pembentukan awal trombus dilokasi sekitar katup dinding vena. Aliran darah akan semakin lambat apabila pasien dalam keadaan imobilisasi, peningkatan tekanan vena (misalnya gagal jantung), tetapi faktor perlambatan aliran (stasis) vena saja tidak cukup untuk membentuk trombus (12,13)

Kerusakan atau disfungsi endotel pembuluh darah: endotel yang membentuk dinding vena dalam keadaan normal permukaannya rata dan bersifat non-trombogenik. Sifat non-trombogenik ini karena pada

4

endotel yang normal (intak) menghasilkan beberapa senyawa molekul seperti prostaglandin (Pg12), proteoglikan, aktifator plasminogen dan trombomodulin yang dapat mencegah terbentuknya trombin. Kerusakan endotel atau dinding pembuluh vena, misalnya akibat trauma, mediator inflamasi atau faktor shear stress lainnya meng-akibatkan jaringan ikat kolagen subendotel terpapar dalam lumen pembuluh vena. Keadaan ini akan merangsang aktifasi trombosit dan sistim koagulasi sehingga akan membentuk trombus (11,12,13)

Hiperkoagulabilitas : terjadi akibat ketidakseimbangan antara faktor prekoagulan/pretrombotik dan antikoagulan. Kecenderungan terjadinya trombosis, apabila aktifitas pembekuan darah meningkat dan atau aktifitas sistim fibrinolisis menurun. Diawali dengan aktifitas pembekuan darah akibat kerusakan endotel akan membentuk trombus, pem-bentukan trombus terutama dilokasi dimana aliran darah mengalami perlambatan (sekitar katup dinding vena). Pembentukan awal trombus semakin memperlambat aliran darah, lambatnya aliran darah ini akan menurunkan tekanan oksigen dan meningkatnya hematokrit akibatnya semakin menekan (downregulate) aktifitas antitrombotik (lihat gambar 2) (10,11,12,13)

Gambar 2 : Patofisiologi Tromboemboli Vena (TEV) (10,11,12,13)

Secara umum, pasien penyakit kritis memiliki risiko TEV sedang hingga tinggi, terutama karena adanya faktor tambahan pada pasien yang dirawat di ruang rawat intensif, seperti penggunaan ventilasi mekanik, kondisi koma, paralisis, sepsis, kateter vena sentral, hipotensi, gagal jantung, dan gagal nafas. Namun di sisi lain, risiko

5

perdarahan juga lebih tinggi dibandingkan pasien rawat inap pada umumnya akibat kondisis akut, seperti perdarahan masif, sepsis, trombositopenia, disseminated intravascular coagulation (DIC) atau gagal multi organ (14)

Oleh karena itu, sangatlah penting setiap pasien yang dirawat di ruang intensif dilakukan penilaian awal apakah pasien tersebut memerlukan profilaksis atau terapi terhadap TEV. Sehubungan dengan itu, klinisi perlu melakukan sepuluh langkah untuk menghadapi permasalahan TEV di ruang rawat intensif, yaitu:

Langkah 1: Identifikasi faktor risiko TEV melalui riwayat medis

Setiap pasien yang dirawat diruang intensif dilakukan penelusuran medis yang teliti untuk mendapatkan data untuk mengidentifikasi risiko TEV seperti (15) :

Riwayat mengalami TEV sebelumnya,

Imobilisasi lebih dari 48 jam, misalnya akibat gagal jantung kongestif, syok septik,

Pembedahan dengan menggunakan pembiusan umum,

Pembedahan abdomen, tungkai bawah atau trauma,

Status hiperkoagulasi,

Trauma Cervicalis,

Keganasan,

Riwayat Heparin-induced thrombocytopenia,

Kehamilan atau penggunaan oral kontrasepsi,

Obesitas,

Kateter vena sentral

Langkah 2: Mengidentifikasi adakah indikasi pemberian profilaksis antikoagulan

Setelah mengidentifikasi akan risiko TEV maka pasien harus ditentukan apakah memenuhi kriteria untuk mendapatkan profilaksis antikoagulan (nilai modifikasi PADUA). Identifikasi akan indikasi pemberian profilaksis antikoagulan dapat menggunakan nilai prediksi modifikasi PADUA (lihat Tabel 1) (17) atau nilai prediksi IMPROVE sebagai alternatif (lihat Lampiran-Tabel A) (18)

6

Tabel 1. Faktor Risiko Tromboemboli Vena (TEV) pada Pasien Medis (modifikasi PADUA) (17)

Faktor Risiko Nilai

Penyakit kritisa 4

Inflammatory Bowel Disease 4

Kanker aktif (metastasis/ menjalani kemoterapi/ radioterapi yang sudah berjalan selama 6 bulan)b

3

Riwayat TEV sebelumnya 3

Imobilisasi > 3 hari 3

Kondisi trombofiliac 3

Riwayat trauma atau tindakan operasi <1 bulan 2

Usia > 70 tahun 1

Gagal jantung atau gagal napas 1

Infark miokard akut atau stroke iskemik 1

Infeksi akut atau penyakit rematik 1

Obesitas (Indeks Massa Tubuh > 30 kg/m2) 1

Dalam terapi hormonal 1

Keterangan: Nilai ≥ 4 (untuk TEV) menunjukan risiko tinggi, nilai <4 menunjukkan risiko rendah

a. Definisi penyakit kritis : seorang pasien yang mengalami dekompensasi fisiologis pada satu atau lebih sistim organ tubuh sehingga diperlukan pemantauan terus menerus serta melakukan intervensi segera mungkin untuk mencegah timbulnya penyulit yang lebih fatal

(16)

b. Pasien kanker dengan stadium lokal atau metastase yang mendapatkan kemoterapi atau radioterapi enam bulan lalu

c. Pasien dengan defek antitrombin, protein C, protein S, faktor Leiden dan sindrom antifosfolipid

Nilai prediksi Padua didasari melalui penelitian prospektif observasional, melibatkan 1.180 penderita dan dari hasil penelitian ini didapatkan 60.3% kategori risiko rendah dan 39.7% risiko tinggi. Pada kelompok risiko tinggi yang tidak diberikan profilaksis angka kejadian TEV 11% sedangkan kelompok risiko rendah hanya 0.3%.

(19)

Langkah 3: Identifikasi penderita akan risiko pendarahan

Selain pemberian antikoagulan, perlu juga mengidentifikasi apakah penderita mempunyai risiko akan pendarahan. Penelitian IMPROVE (multi-senter) melibatkan 10.866 pasien dan diidentifikasikan terdapat 3 faktor utama sebagai prediktor utama risiko pendarahan yaitu: ulkus gastroduodenal aktif, riwayat pendarahan aktif 3 bulan yang lalu sebelum masuk rumah sakit dan trombosit <50.000/mm3 (lihat Tabel 2) (20)

7

Tabel 2. Nilai Faktor Risiko Pendarahan (IMPROVE) (20)

Faktor Risiko Pendarahan Nilai

Gagal ginjal moderat, GFR 30-59 mL/min/m2 1

Pria 1

Usia, 40-84 tahun 1.5

Kanker 2

Penyakit rematik 2

Kateter vena sentral 2

ICU/ CCU 2.5

Gagal ginjal berat, GFR <30 mL/min/m2 2.5

Gagal hati (INR > 1.5) 2.5

Usia, > 85 tahun 3.5

Platelet < 50x109 sel/L 4

Pendarahan 3 bulan sebelum rawat inap 4

Ulkus gastroduodenal aktif 4.5 Keterangan : nilai >7.0 menunjukkan risiko pendarahan tinggi, nilai <7.0 menunjukkan risiko pendarahan rendah. INR : international normalized ratio; GFR : glomerular filtration rate; ICU : intensive care unit CCU : coronary care unit

9th American College of Chest Physician merekomendasikan (21):

Pasien medis kritis akut dengan risiko tinggi terhadap TEV dianjurkan pemberian tromboprofilaksis antikoagulan yaitu: low-molecular weight heparin (LMWH), low-dose unfractionated heparin (LDUH) atau fondaparinux (grade 1B)

Pasien medis kritis akut dengan risiko rendah terhadap TEV tidak dianjurkan pemberian tromboprofilaksis farmakologis atau mekanik (grade 1B)

Pasien medis kritis akut dengan pendarahan atau risiko tinggi terjadinya pendarahan tidak dianjurkan pemberian trombo-profilaksis antikoagulan (grade 1B)

Pasien medis kritis akut dengan risiko tinggi TEV bersamaan dengan risiko tinggi pendarahan dianjurkan : o Optimalisasi tromboprofilaksis mekanik dengan menggunakan

graduate compression stocking (grade 2C) atau intermittent pneumatic compression (grade 2C)

o Apabila risiko pendarahan berkurang sedangkan risiko TEV tetap ada, dianjurkan pemberian tromboprofilaksis farmakologi

8

Pasien medically ill dengan penyakit kritis

Penilaian risiko TEV

Risikotinggi

Tidak perluprofilaksis

Risikorendah

Penilaian risikopendarahan

Risikotinggi

Risikorendah

Profilaksismekanik

Antikoagulan

Gambar 3 : Algoritma Profilaksis TEV (modifikasi 14,22)

Langkah 4: Pemberian sedini mungkin tromboprofilaksis antikoagulan

Apabila probabilitas klinis terhadap TEV sangat tinggi (nilai prediksi modifikasi Padua ≥ 4) selain melakukan konfirmasi diagnostik, segera mungkin berikan tromboprofilaksis bila tidak didapatkan kontraindikasi.

Pada keadaan hemodinamik tidak stabil, penderita kritis disertai dengan dugaan kuat emboli paru atau akan dilakukan tindakan invasif atau gangguan fungsi ginjal dianjurkan pemberian UFH. Yang dimaksud kondisi hemodinamik tidak stabil adalah : o Syok atau tekanan sistolik < 90 mmhg atau penurunan sistolik

> 40 mmhg lebih dari 15 menit tidak terkait dengan new onset aritmia atau hipovolemia

Gangguan fungsi ginjal, obesitas dan kehamilan harus dilakukan dosis modifikasi pada penggunaan LMWH. Pada pasien dengan klirens kreatinin < 15 mL/min/1.73m2, penggunaan LMWH di-kontraindikasikan.

9

Pemberian tromboprofilaksis tidak direkomendasikan untuk dilanjutkan apabila penderita sudah mobilisasi atau melewati masa medis kritis (21,22)

Pada beberapa literatur, pemberian tromboprofilaksis dapat dilanjutkan dalam kondisi klinis tertentu, misalnya atrial fibrilasi pada kasus stroke non-hemoragik

Langkah 5: Metoda pemberian profilaksis antikoagulan

Low Molecular Weight Heparin (LMWH)

o Dosis profilaksis Enoxaparin : 40 mg SC, 1x sehari

o Pada gangguan ginjal dilakukan penyesuaian dosis: klirens kreatinin < 30 mL/min, dosis enoxaparin: 0.5 mg/kgBB SC perhari

o Pemberian enoxaparin dihentikan 24 jam sebelum dilakukan tindakan invasif elektif

Unfractionated Heparin (UFH)

o Dosis Profilaksis pada pasien kritis diberikan 2x :

Dosis rekomendasi 5000 unit SC setiap 12 jam

Pemberian iv drip 80 unit/kgBB/24 jam, dengan target aPTT 1,2 – 1,5 x kontrol

o aPTT diperiksa setiap 6 – 24 jam sampai target tercapai

Fondaparinux Sodium

o Dosis: 2.5 mg SC perhari

o Pemberian fondaparinux dihentikan 2 – 4 hari sebelum dilakukan tindakan invasif elektif

o Tidak boleh diberikan pada pasien gagal ginjal (1,15,23)

10

Langkah 6: Melakukan assessment diagnostik TVD/EP

Untuk melakukan tindakan diagnostik lanjutan sangat ditentukan oleh beberapa faktor:

Derajat kecurigaan terhadap TVD / EP

Keadaan hemodinamik (stabil atau tidak stabil)

Kemampuan sarana diagnostik

Pendekatan diagnostik dilakukan apabila penderita diberikan antikoagulan profilaksis atas dasar nilai risiko yang tinggi. Untuk skrining diagnostik TVD menggunakan skor Wells DVT (lihat tabel 3), sedangkan untuk EP menggunakan skor revisi Geneva (lihat tabel 4) atau nilai skor Wells Emboli Paru sebagai alternatif (lihat Lampiran-Tabel B)

Tabel 3. Pretes Probabilitas Skor Wells DVT (24)

Karakteristik Klinik Skor

Kanker aktif ( sedang menjalani terapi < 6 bulan atau terapi paliatif) 1

Paralisis, parese, atau penggunaan plester/ gips, imobilisasi pada ekstremitas inferior

1

Tirah baring > 3 hari, atau pembedahan mayor dalam waktu 12 minggu terakhir yang menggunakan anestesi umum atau regional

1

Nyeri tekan sepanjang sistem vena dalam 1

Pembengkakan sepanjang tungkai 1

Pembengkakan > 3cm dibandingkan tungkai yang tidak ada gejala (diukur 10 cm di bawah tuberositas tibia)

1

Edema pitting (terutama pada tungkai yang terlibat) 1

Terdapat vena kolateral superfisial (non-varises) 1

Riwayat TVD sebelumnya 1

Terdapat kemungkinan diagnosis alternatif yang hampir mirip dengan

TVD -2

Keterangan: skor > 2 = kemungkinan TVD (high probability), skor < 2 = kemungkinan bukan TVD (low probability)

11

Tabel 4. Skor Revisi Geneva untuk Emboli Paru (15)

Faktor Risiko Nilai

Usia > 65 tahun 1

Riwayat TVD atau EP 3

Mengalami operasi atau trauma (≤ 1 bulan) 2

Kanker aktif 2

Nyeri tungkai bawah unilateral 3

Hemoptisis 2

Detak jantung :

75-94 x/menit 3

≥ 95 x/menit 5

Nyeri tungkai bawah + palpasi vena dalam dan edema unilateral 4 Keterangan: probabilitas rendah (nilai 0-3) , sedang (nilai 4-10), tinggi (nilai ≥ 11)

Kecurigaan Trombosis Vena Dalam (TVD)

Skor Wells DVT ≥ 2

Ultrasound*

(+) (-)

d-Dimer*

(+) (-)

Bukan TVDatau

ulangi ultrasoundseminggu kemudian

Terapi TVD

Gambar 4 A : Algoritma penanganan Trombosis Vena Dalam (TVD)

(modifikasi 24) Keterangan: *Jika fasilitas ultrasound dan pemeriksaan d-Dimer tidak tersedia, maka keputusan pemberian terapi TVD ditentukan oleh klinisi melalui pertimbangan klinis

12

Kecurigaan Emboli Paru (EP)

Tidak stabil Stabil

KetersediaanCT angiografi

Tersedia Tidak tersedia

(+)

Terapi EP

Ekokardiografi

d - Dimer

(+) (-)

(-)(+)

Bukan EP(-)

Probabilitas tinggi Probabilitas rendah

Terapi EP Bukan EP

Bukan EP

Gambar 4 B : Algoritma penanganan Emboli Paru (EP) (modifikasi 24,25)

Keterangan: d-Dimer (+) : > 500 ng/ml (menyesuaikan laboratorium) Kriteria Ekokardiografi

(26): tampak trombus pada main pulmonary artery (MPA),

RV pressure overload, McConnell sign, 60/60 sign (Pulmonary valve acceleration time ≤ 60 ms and tricuspid regurgitation pressure gradient ≤ 60 mmHg)

Langkah 7: Memulai terapi antikoagulan pada TVD / EP

Apabila terbukti TVD / EP maka strategi profilaksis diubah sebagai terapi definitif. Umumnya antikoagulan yang diberikan sama dengan profilaksis, yaitu: Enoxaparin, UFH dan Fondaparinux dengan dosis sebagai berikut (1,15,23):

Enoxaparin o Dosis terapetik : 1 mg/kgBB SC, diberikan 2x sehari

UFH : o Bolus 80 unit/kg atau 5.000 unit diikuti dengan infus 18

unit/kg/jam o Sebelum pemberian heparin, diperiksa kadar trombosit o Pemantauan aPTT : 6 – 24 jam (target mengikuti tabel 5)

Fondaparinux o Berat badan < 50 kg : 5 mg SC sekali sehari o Berat badan 50 – 100 kg : 7.5 mg SC sekali sehari o Berat badan > 100 kg : 10 mg SC sekali sehari

13

Tabel 5. Dosis Modifikasi UFH Intravena (15,23)

aPTT (detik) Dosis Modifikasi

< 35 detik ( 1.2 x normal ) 80 unit/kg bolus, naikan drip 4 unit /kg/jam

35 - 45 ( 1.2 - 1.5 x normal ) 40 unit /kg bolus, naikan drip 2 unit /kg/jam

46 - 70 ( 1.5 - 2.3 x normal ) TIDAK ADA PERUBAHAN DOSIS

71 - 90 ( 2.3 x normal ) Dosis dikurangi : drip 4 unit /kg/jam

> 90 ( > 3 x normal ) Hentikan Heparin 1-2 jam → drip 3 unit /kg/ jam

Langkah 8: Mempertimbangkan untuk inisiasi pemberian trombolitik

Pemberian terapi trombolitik pada penderita medis kritis diindikasikan pada:

Tidak stabil (hipotensi = sistolik < 90 mm Hg) disebabkan oleh EP : berikan trombolitik sistemik atau catheter-guided trombolitik*

Stabil : telah diberikan terapi antikoagulan kemudian mengalami perburukan kardiopulmoner (gejala, tanda vital, perfusi jaringan, gas darah, cardiac biomarker) yang disebabkan oleh disfungsi miokard (lihat kriteria ekokardografi pada gambar 4B) dan atau EP, berikan trombolitik*

Trombolitik yang tersedia: Streptokinase, Alteplase (Tissue-type plasminogen activator) (15,27)

*dengan catatan tidak ada kontra indikasi trombolitik (lihat tabel 6)

14

Tabel 6. Kontraindikasi Absolut & Relatif Pemberian Preparat Trombolitik (15)

Absolut :

Riwayat pendarahan intrakranial sebelumnya

Kelainan struktur vaskular intrakranial

Adanya tekanan intrakranial akibat maligna neoplasm

Stroke iskemi dalam 3 bulan

Kecurigaan diseksi aorta

Pendarahan aktif atau diatesis hemoragik (kecuali haid)

Trauma tumpul bermakna pada kepala atau muka dalam 3 bulan terakhir

Relatif :

Riwayat hipertensi berat, kronis dan tidak terkontrol

Hipertensi berat (tekanan sistolik > 180 mmHg atau tekanan diastolik > 110 mmHg

Trauma atau resusitasi jantung paru ( > 10 menit ) atau operasi besar kurang dari 3 minggu yang lalu

Pendarahan internal kurang dari 3 – 4 minggu yang lalu

Noncompresible vascular puncture

Penggunaan streptokinase/ anistreplase sebelumnya lebih dari 5 hari atau riwayat alergi terhadap preparat ini

Kehamilan

Ulkus peptikum aktif

Penggunaan antikoagulan (misalnya warfarin sodium) yang meng-akibatkan abnormalitas INR : > 1.7 atau PT > 15 detik

Langkah 9 : Mempertimbangkan inisiasi antagonis vitamin K

Pemberian antagonis vitamin K pada medis kritis:

Pada hari pertama, diberikan bersamaan dengan pemberian antikoagulan (khususnya UFH) sampai tercapai INR > 2.0

Heparin dihentikan apabila tercapai INR > 2.0

Lama pemberian umumnya sekitar 3 – 6 bulan

Untuk penggunaan jangka panjang, khususnya kasus kanker atau wanita hamil pemberian, LMWH merupakan pilihan dari pada warfarin (15,27)

15

Langkah 10: Lakukan pemantauan terhadap pemberian antikoagulan

Pemberian antikoagulan baik sebagai pencegahan atau pengobatan ada dua hal yang harus di waspadai, yaitu : pendarahan dan heparin induced thrombocytopenia (HIT)

A. Pendarahan o Mekanisme dasar akibat aktifasi faktor anti-Xa dan antitrombin o Risiko pendarahan sangat tergantung pada beberapa keadaan :

1. Dosis dan metoda pemberian antikoagulan 2. Karakteristik pasien, misalnya gangguan fungsi ginjal atau

hati, kelainan hematologi yang mendasarinya 3. Pengobatan penyakit dasar, misalnya tindakan pembedahan 4. Adanya penyakit penyerta (co morbid) (13,28)

o Untuk mengantisipasi akan kemungkinan terjadinya pendarahan bermakna maka lakukan identifikasi risiko pendarahan misalnya melalui nilai IMPROVE (lihat tabel 2), pemberian dosis dan pemantauan yang tepat (lihat langkah 7)

o Antikoagulan tertentu mempunyai antidot (lihat tabel 7)

Tabel 7. Antidot dari Antikoagulan (dikutip 13,23)

Antikoagulan Antidot

UFH (Heparin)

Protamin sebagai antidot dengan dosis : o 1 mg / 100 unit UFH diberikan tidak lebih dari

5 mg permenit o dosis maksimal 50 mg o pemantauan : aPTT

Restorasi hemostasis diharapkan 3 – 4 jam setelah pemberian antidot

LMWH (Enoxaparin)

Protamin sebagai antidot dengan dosis : o 1 mg / mg Enoxaparin dalam 8 jam (diberikan

tidak lebih dari 5 mg permenit) o dosis maksimal 50 mg

Restorasi hemostasis diharapkan 12 – 24 jam setelah pemberian antidot

Fondaparinux

Recombinan faktor VII a, dosis 90 mcg/kg (pem-bentukan trombin)

Restorasi hemostasis diharapkan 24–30 jam setelah pemberian antidot

16

B. Heparin Induced Thrombocytopenia (HIT) o Mekanisme dasar HIT adalah terbentuknya antibodi IgG yang

bereaksi terhadap ikatan antara platelet factor 4 dan heparin yang terletak di permukaan trombosit

o Klinis: terjadi trombositopenia setelah 5 – 14 hari penggunaan heparin, dapat terjadi lebih awal apabila sebelumnya pernah terpapar oleh heparin

o Faktor risiko : Tipe antikoagulan : UFH lebih berisiko dibanding LMWH Penggunaan heparin dosis tinggi dan terpapar lama Kasus kardiak, ortopedi dan penderita rawat ruang intensif

o Faktor prediktor akan terjadinya HIT dapat menggunakan pendekatan, misalnya 4Ts (lihat tabel 8) (29)

Tabel 8. Pretes Probabilitas Heparin Induced Therapy (HIT) ≈ 4 Ts (29)

Kategori Poin : 2 Poin : 1 Poin : 0

Trombositopenia Penurunan > 50 % atau

↓ 20 – 100 x 109

Penurunan 30-50 % atau

↓ 10 – 19 x 109

Penurunan 30 % atau

↓ <10 x 109

Waktu terjadinya trombositopenia (Timing)

Hari ke 5 – 10 atau terpapar heparin ≤ 1 hari dalam 30 hari terakhir ini

> 10 hari atau

terpapar heparin ≤ 1 hari dalam 30 – 100 hari terakhir ini

≤ 1 hari (tanpa riwayat terpapar heparin)

Trombosis atau akibatnya (sequelae)

Terbukti trombosis

Nekrosis kulit

Setelah bolus heparin terjadi reaksi akut sistemik *

Progresif, berulang atau asimptomatik trombosis atau

Lesi kulit eritematosus

Tidak ditemukan trombosis

Penyebab lain trombositopenia (oTher cause)

Tidak ada penyebab lain

Kemungkinan tidak ada penyebab lain

Ada penyebab lain

Pretes probabilitas: poin 6-8 (high, > 80%), poin 4-5 (intermediate), poin 0-3 (low, < 5%)

o Penanganan :(29) Bila pretes probabilitas intermediate atau high, pemberian

antikoagulan sebaiknya dihentikan Pemantauan akan tanda tanda trombosis, bila ditemukan tanda

trombosis, diinisiasi untuk pemberian alternatif antikoagulan seperti : direct thrombin inhibitor (Lepirudin, Argatroban)

Hindari pemberian profilaksis transfusi trombosit karena dapat menimbulkan eksaserbasi hiperkoagulasi

17

DAFTAR PUSTAKA

1. Tambunan K, Suharti C dkk. Panduan Nasional Tromboemboli Vena 2018 2. Atmakusuma T, Tambunan K dkk. Underutilization of Anticoagulant for

Venous Thromboembolism Prophylaxis in Three Hospitals in Jakarta. Acta Medica Indonesiana. 2015 ; 47(2) : 136 – 145

3. Minet C, Potton L et al. Venous thromboembolism in the ICU: main characteristics, diagnosis and thromboprophylaxis. Critical Care 2015 ; 19 (287) : 1 – 9

4. Osman A, Jun W et al. Deep Vein Thrombosis : a literature review. Int J Exp Med 2018 ; 11(3) : 1551 – 1561

5. Attia J, Ray J et al. Deep veins thrombosis and its and its prevention in critically ill adults. Arch Intern Med 2001 ; 161 : 1268 – 1279

6. Ibrahim H, Iregui M et al. Deep veins thrombosis during prolongs mechanical ventilation despite prophylaxis. Critical Care Med 2002; 30: 771 – 4

7. Caprini J. Arcelus J et al. Clinical assessment of venous thromboembolic risk in surgical patients. Semin Thromb Hemost 1991 ; 17 (Suppl 3) : 304 – 12

8. Leizorovicz A, Turpin A et al. Epidemiology of post-operative venous thromboembolism in Asian countries. Int J Angiol 2004 ; 13 : 101 – 8

9. Piovella F, Wang C et al. Deep vein thrombosis rates after major orthopedics surgery in Asia. An epidemiological study based on post-operative screening with centrally adjudicated bilateral venography. J Thrombo Haemost 2005 ; 3 : 2664 – 70

10. Behravez S, Hoang P et al. Review Article : Pathogenesis of Thrombo-embolism and Endovascular Management. Hindawi Thrombosis 2017 ; Article ID 3039713 : 1 – 13

11. Rasche H. Haemostasis and Thrombosis : an overview. European Heart Journals Supplements 2001 ; 3 : Q3 – Q7

12. Stone J, Hangge P et al. Deep vein thrombosis : pathogenesis, diagnosis and medical management. Cardiovascular Diagnosis Therapy 2017 ; 7 (Supp 3) : S276 – S284

13. Adriance SM, Murphy C et al. Prophylaxis and treatment of venous thromboembolism in the critically ill. Int J Crit Illn Inj Sci 2013 ; 3(2):143-51

14. Liew N, Choi G, et al. Asian Venous Thromboembolism Guidelines: prevention of venous thromboembolism. Int Angiol 2012 ; 31:501-16

15. Chawla R, Todi S. Pulmonary embolism . In : ICU Protocols – A stepwise approach 2012 : 71 – 78

16. Indonesian Society of Intensive Care Medicine (ISICM). ICU : Yesterday, Today and Tomorrow - Februari 1999 ; 10 th PERDICI Anniversary

18

17. Lai J, Rose A. VTE prophylaxis adult-inpatients/ ambulatory – clinical practice and guidelines. Madison: University of Wisconsin Hospitals and Clinics. 2014 : p.3 - 19

18. Spyropoulos AC, Anderson F et al. Predictive and Associative Models to Identify Hospitalized Medical Patients at Risk for VTE CHEST 2011; 140(3):706–714

19. Barbar S, Noventa F et al A risk assessment model for the identification of hospitalized medical patients at risk for venous thromboembolism: the Padua Prediction Score . J Thromb Haemost . 2010 ; 8 ( 11 ): 2450 – 2457

20. Decousus H , Tapson V et al ; IMPROVE Investigators . Factors at admission associated with bleeding risk in medical patients: findings from the IMPROVE investigators Chest 2011 ; 139 (1) : 69 - 79

21. Khan S, Lim W et al. Prevention of VTE in Nonsurgical Patients – 9th ed : ACCP-Evidence Based Clinical Practice Guidelines. Chest 2012 ; 141 (2) Suppl : e 195 s – e 226 s

22. Qaseem A, Chou R et al. Venous Thromboembolism Prophylaxis in Hospitalized Patients : A Clinical Practice Guideline From the American College of Physician. Annal Internal Med 2011 ; 155 : 625 – 632

23. Othman A. In Management protocol in ICU: Venous thromboembolism prophylaxis; Malaysian Society of Intensive Care 2012

24. Streiff M, Agnelli G et al. Guidance for the treatment of deep vein thrombosis and pulmonary embolism . J Thrombo Thrombolysis 2016 ; 41 : 32 – 67

25. Konstantinides S, Torbicki A et al. 2014 ESC Guidelines on the diagnosis and management of acute pulmonary embolism. European Heart Journal 2014 ; 283 : 1 – 48

26. Kurzyma M, Torbicki A et al. Disturbed right ventricular ejection pattern as a new Doppler echocardiographic sign of acute pulmonary embolism. Am J Cardiol 2002 ; 90 : 507 - 511

27. Kearon C, Akl E et al. Antithombotic Therapy for VTE Disease – CHEST Guideline and Expert Panel Report. Chest 2016 ; 149 (2) : 315 – 352

28. Kiser T, Mann A et al . Evaluation of empiric versus normogram-based direct thrombin inhibitor management in patients suspected heparin-induced thrombocytopenia. Am J Haematol 2011 ; 86 : 267 – 272

29. Warkentin T, Greinacher A. Heparin induced thrombocytopenia : recognition, treatment and prevention. Chest 2004 ; 126 : 3115 – 375

19

LAMPIRAN

Tabel A. Model Penilaian Risiko IMPROVE (18)

Faktor Risiko Nilai

Riwayat TEV sebelumnya 3

Trombofilia 2

Paralisis tungkai bawah 2

Kanker aktif 2

Imobilisasi > 7 hari 1

Rawat di ICU/CCU 1

Usia > 60 tahun 1

Keterangan: nilai 0-1 = risiko TEV rendah, nilai 2-3 = risiko TEV menengah, nilai > 4 = risiko TEV tinggi. ICU = intensive care unit, CCU = cardiac care unit

Tabel B. Pretes Probabilitas Skor Wells Emboli Paru (24)

Karakteristik Klinik Skor

Kanker dalam pengobatan (6 bulan atau paliatif) 1

Hemoptisis 1

Riwayat TVD atau EP sebelumnya 1.5

Imbolisasi > 3 hari atau pembedahan dalam waktu 4 minggu terakhir

1.5

Detak jantung > 100 kali/menit 1.5

Diagnosis alternatif tidak sesuai EP 3

Gejala dan tanda klinik TVD (min. pembengkakan tungkai dan nyeri perabaan vena dalam)

3

Keterangan: skor > 4 = kemungkinan EP (EP likely); skor < 4 = kemungkinan bukan EP (EP unlikely)