Komposisi Jenis, Kerapatan, Persen Penutupan Dan Luas Penutupan Lamun
-
Upload
ranu-superfunt -
Category
Documents
-
view
63 -
download
5
Embed Size (px)
description
Transcript of Komposisi Jenis, Kerapatan, Persen Penutupan Dan Luas Penutupan Lamun
-
Komposisi Jenis, Kerapatan, Persen Penutupan dan Luas Penutupan Lamun di Perairan Pulau Panjang Tahun 1990 2010
MUHAMMAD ISMAIL SAKARUDDIN
SKRIPSI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
-
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:
Komposisi Jenis, Kerapatan, Persen Penutupan dan Luas Penutupan Lamun di Perairan Pulau Panjang Tahun 1990 2010 adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Skripsi ini.
Bogor, Januari 2011
MUHAMMAD ISMAIL SAKARUDDIN NRP. C54062195
-
iii
RINGKASAN
MUHAMMAD ISMAIL SAKARUDDIN. Komposisi Jenis, Kerapatan, Persen Penutupan, dan Luas Penutupan Lamun di Perairan Pulau Panjang Tahun 1990 2010. Dibimbing oleh MUJIZAT KAWAROE dan INDARTO HAPPY SUPRIYADI.
Padang lamun berperan penting di ekosistem laut dangkal, karena merupakan habitat bagi ikan dan biota perairan lainnya. Pentingnya peran padang lamun di ekosistem laut dangkal tidak menjamin ekosistem ini tetap terjaga, di beberapa daerah telah mengalami gangguan berupa kerusakan dan pengurangan luas yang diduga akibat pengaruh aktivitas manusia. Salah satu daerah yang banyak dilaporkan mengalami kerusakan padang lamun adalah Teluk Banten. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan komposisi jenis, kerapatan, persen penutupan dan perubahan luas tutupan lamun di Pulau Panjang pada kurun waktu 1990 2010. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan bulan Juli 2010 di Perairan Pulau Panjang, Teluk Banten dan pengambilan data lapang dilakukan pada tanggal 3 5 Juli 2010. Pengamatan lamun dilakukan di setiap sub-stasiun mulai dari tepi pantai sampai batas tubir dengan menggunakan metode transek garis. Pengamatan lamun di lapangan meliputi identifikasi jenis lamun, menghitung jumlah tegakan, pengukuran persen penutupan lamun, dan pengamatan terhadap vegetasi asosiasi. Data Fisika Kimia yang diukur adalah suhu, salinitas, kedalaman, kecerahan, dan Total Suspended Solid (TSS). Analisis data TSS dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan, FPIK - IPB. Analisis data lamun meliputi komposisi jenis lamun, kerapatan jenis lamun dan persen penutupan lamun. Perubahan luasan lamun dihitung dengan menggunakan metode klasifikasi tak terbimbing pada Citra Landsat rekaman tahun 1990, 2000, 2005, dan 2010. Berdasarkan hasil identifikasi didapatkan tiga spesies lamun di wilayah perairan Pulau Panjang, yaitu Enhalus acoroides, Syringodium isoetifolium dan Cymodocea serrulata. Kerapatan total lamun tertinggi ditemukan di Stasiun III dengan nilai kerapatan total 110 ind/m2 dibandingkan dengan nilai kerapatan di Stasiun II sebesar 45 ind/m2 dan di Stasiun I sebesar 13 ind/m2. Kerapatan jenis tertinggi pada Stasiun III adalah Enhalus acoroides sebesar 8 ind/m2, Cymodocea serrulata 12 ind/m2, dan Syringodium isoetifolium 89 ind/m2. Kondisi perairan yang cukup baik di Stasiun III diduga karena rendahnya nilai TSS dan perairan relatif dalam sehingga lamun tetap terendam walaupun dalam kondisi surut rendah. Persen penutupan lamun tertinggi ditemukan pada Stasiun III sebesar 23,3% dan terendah pada Stasiun I sebesar 14,6%. Persen penutupan lamun dipengaruhi oleh kerapatan pada masing-masing stasiun. Hasil analisis citra memperlihatkan terjadinya pengurangan luasan areal padang lamun dari tahun ke tahun. Kerusakan parah terlihat dari tahun 2000 2005 dengan luas perubahan 22,9 ha, sedangkan pada tahun 1990 2000 terjadi perubahan luas 12,7 ha, dan tahun 2005 2010 terjadi luas perubahan 7,2 ha. Adanya penambangan dan reklamasi pantai menjadi penyebab berkurangnya luasan lamun di daerah Teluk Banten.
-
iv
Hak Cipta milik IPB tahun 2011 Hak Cipta dilindingi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
-
v
Komposisi Jenis, Kerapatan, Persen Penutupan, dan Luas Penutupan Lamun di Perairan Pulau Panjang Tahun 1990 2010
MUHAMMAD ISMAIL SAKARUDDIN
SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan
pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
-
SKRIPSI
Judul Penelitian : KOMPOSISI JENIS, KERAPATAN, PERSEN PENUTUPAN, DAN LUAS PENUTUPAN LAMUN DI PERAIRAN PULAU PANJANG TAHUN 1990 2010.
Nama Mahasiswa : Muhammad Ismail Sakaruddin Nomor Pokok : C54062195 Departemen : Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
Menyetujui,
Dosen Pembimbing Dr. Ir. Mujizat Kawaroe, M.Si Drs. Indarto Happy Supriyadi, M.Si NIP. 19651213 199403 2 002 NIP. 19620428 199003 1 004
Mengetahui, Kepala Departemen
Ilmu dan Teknologi Kelautan
Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M. Sc NIP. 19580909 198303 1 003
Tanggal Lulus : 26 Januari 2011
-
vii
KATA PENGANTAR
Dinamika perubahan luasan suatu lingkungan di perairan dangkal sangat
menarik untuk diteliti terutama topik yang terkait dengan lamun. Lamun merupakan
salah satu komunitas penting di perairan dangkal. Perubahan luasan lamun saat ini
terus mengalami degradasi baik disebabkan oleh faktor alam atau aktifitas manusia,
untuk itu topik yang diajukan adalah mengenai Komposisi Jenis, Kerapatan, Persen
Penutupan dan Luas Penutupan Lamun di Perairan Pulau Panjang Tahun 1990
2010. Skripsi ini merupakan tugas akhir yang dibuat sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak dalam penyusunan
skripsi ini, untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Komisi Pembimbing, Dr. Ir. Mujizat Kawaroe M.Si selaku Pembimbing I dan
Drs. Indarto Happy Supriyadi M.Si selaku Pembimbing II yang bersedia
berdiskusi dan membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Keluarga di Makassar yang senantiasa menjadi inspirasi, terutama bagi kedua
Orang Tua H. Sakaruddin dan Hj. Jumriah Umar, yang selalu mendukung
secara moril dan finansial, serta ketiga saudara, Ilham, Iksan, dan Reski atas
kasih sayang dan doa yang diberikan.
3. Staff Pengajar dan Staff Pembantu Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
FPIK-IPB yang memberikan ilmu dan mendukung berjalannya proses belajar
mengajar di Departemen.
4. Sri Hutri Madela yang turut membantu penulis, dalam pengambilan data dan
semangat yang selalu diberikan.
-
viii
5. Keluarga Pak Hasbullah di Pulau Panjang yang telah membantu penulis dalam
menyiapkan segala akomodasi di lokasi penelitian.
6. Penulis juga ingin mengungkapkan apresiasi yang sedalam-dalamnya kepada
semua rekan-rekan di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK-IPB,
khususnya angkatan 43, untuk semua pengalaman yang tidak akan
terlupakan.
7. Penghuni Wisma Mahasiswa Latimojong serta sahabat-sahabat IKAMI Bogor.
8. Seluruh pihak-pihak yang turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
Mudah-mudahan skripsi ini bisa bermanfaat bagi seluruh pembaca dan
memberikan suatu informasi yang dapat memajukan dan melestarikan dunia
kelautan Indonesia.
Bogor, Januari 2011
Muhammad Ismail Sakaruddin
-
ix
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ................................................................................................. iii
KATA PENGANTAR .................................................................................... vii
DAFTAR ISI ................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xi
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xiii
1. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ................................................................................... 1 1.2. Tujuan ................................................................................................ 3
2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 4
2.1. Deskripsi dan Klasifikasi Lamun ......................................................... 4 2.2. Kondisi Lamun di Teluk Banten ........................................................... 5 2.3. Parameter Lingkungan yang Mempengaruhi Pertumbuhan Lamun .... 7
2.2.1. Suhu ........................................................................................ 7 2.2.2. Salinitas ................................................................................... 7 2.2.3. Kedalaman .............................................................................. 8 2.2.4. Kecerahan ............................................................................... 8 2.2.5. Total suspended Solid .............................................................. 9 2.2.6. Substrat ................................................................................... 9
2.4. Penginderaan Jarak Jauh dan Sistem Informasi Geografi ................. 10 2.5. Pemetaan Lamun dengan Menggunakan Penginderaan Jauh ........... 11
3. BAHAN DAN METODE ............................................................................ 13
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ............................................................. 13 3.2. Alat dan Bahan ................................................................................. 14 3.3. Metode Perolehan Data .................................................................... 15
3.3.1. Penentuan Stasiun Pengamatan ........................................... 15 3.3.2. Pengamatan Lamun .............................................................. 16 3.3.3. Pengambilan dan Pengawetan Contoh Air .............................. 16 3.3.4. Pengukuran Fisika dan Kimia Air ............................................ 17
3.3.4.1. Suhu ......................................................................... 17 3.3.4.2. Salinitas ................................................................... 17 3.3.4.3. Kedalaman ................................................................ 18 3.3.4.4. Sedimen .................................................................... 18 3.3.4.4. Kecerahan ................................................................ 19 3.3.4.5. Total Suspended Solid (TSS) .................................... 19
3.3.5. Analisis Data .......................................................................... 19 3.3.5.1. Komposisi Jenis Lamun ............................................ 19 3.3.5.2. Kerapatan Jenis Lamun ............................................. 20 3.3.5.3. Persentase Penutupan Lamun .................................. 20
3.4. Pengolahan Data Citra ...................................................................... 21
-
x
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 25
4.1. Parameter Fisika dan Kimia air ......................................................... 25 4.2. Perubahan Komposisi Jenis Lamun ................................................. 27 4.3. Kerapatan Jenis Lamun .................................................................... 31 4.4. Persen Penutupan Lamun ................................................................ 34 4.5. Perubahan Luas Lamun ................................................................... 36 4.6. Uji Akurasi Citra Hasil Klasifikasi ....................................................... 39
5. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 41 5.1. Kesimpulan ...................................................................................... 41 5.2. Saran ............................................................................................... 42
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 43
LAMPIRAN ................................................................................................... 46 RIWAYAT HIDUP ......................................................................................... 57
-
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian ................................................................. 13
Gambar 2. Diagram Alir Pengolahan Citra .................................................... 23
Gambar 3. Komposisi Jenis Lamun di Tiap Stasiun .................................... 28
Gambar 4. Kerapatan Total Lamun .............................................................. 31
Gambar 5. Kerapatan Rata-rataJenis Lamun ................................................ 32
Gambar 6. Kerapatan Rata-rata Lamun Teluk Banten pada Tahun 2000 ........ 34
Gambar 7. Persen Penutupan Lamun ......................................................... 35
Gambar 8. Peta perubahan luas lamun di Pulau Panjang ............................ 38
-
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Klasifikasi lamun di Indonesia menurut Phillips
& Menez (1988) ............................................................................... 5
Tabel 2. Alat dan Bahan Penelitian ............................................................... 14
Tabel 3. Hasil Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Air
Pulau Panjang ............................................................................... 25
Tabel 4. Komposisi jenis lamun pada tahun 1989, 2008, dan 2010 .............. 30
Tabel 5. Perubahan luas lamun 1990 2010 ............................................... 36
Tabel 6. Hasil Uji Akurasi .............................................................................. 39
-
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Data Lapang ............................................................................. 46
Lampiran 2. Dokumentasi Kegiatan ............................................................. 49
Lampiran 3. Data Ground Truth untuk Uji Akurasi ........................................ 52
Lampiran 4. Data Pasang Surut .................................................................... 54
-
1
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Padang lamun di Indonesia memiliki luas sekitar 30.000 km2 dan berperan
penting di ekosistem laut dangkal, karena merupakan habitat bagi ikan dan biota
perairan lainnya (Nontji, 2009). Berbagai jenis ikan menjadikan daerah padang
lamun sebagai daerah mencari makan (feeding ground), pengasuhan larva (nursery
ground), tempat memijah (spawning ground), sebagai stabilitas dan penahan
sedimen, mengurangi dan memperlambat pergerakan gelombang, sebagai tempat
terjadinya siklus nutrien (Philllips dan Menez, 1988), dan fungsinya sebagai
penyerap karbon di lautan (Kawaroe, 2009).
Pentingnya peran padang lamun di ekosistem laut dangkal tidak menjamin
ekosistem ini tetap terjaga, diperkirakan kerusakan padang lamun di Indonesia telah
mencapai 30 40%. Sekitar 60% padang lamun di perairan pesisir Pulau Jawa
telah mengalami gangguan berupa kerusakan dan pengurangan luas yang diduga
akibat pengaruh aktivitas manusia (Fortes, 1994 dalam Nontji, 2009). Salah satu
daerah yang banyak dilaporkan mengalami kerusakan padang lamun yang
disebabkan oleh aktivitas manusia adalah Teluk Banten. Beberapa penelitian telah
dilakukan di perairan Teluk Banten untuk melihat kerusakan dan dampak terhadap
ekosistem sekitarnya. Kiswara (2004) melaporkan bahwa dampak perluasan industri
dapat menyebabkan penurunan luas padang lamun dan sumberdaya perikanan di
Teluk Banten. Kerusakan padang lamun di Teluk Banten juga dapat diakibatkan
karena perubahan tata guna lahan (Yunus, 2008).
-
2
Kondisi padang lamun diduga terus mengalami kerusakan dari tahun ke tahun,
sehingga perlu dilakukan pengamatan secara temporal, terutama terkait masalah
perubahan komposisi jenis, kerapatan, persen penutupan dan luas tutupan lamun
agar dapat diketahui luas perubahan dan dapat dilakukan perencanaan rahabilitasi.
Laporan perubahan luas lamun secara temporal tidak mudah untuk diperoleh,
dibutuhkan banyak data dengan penggunaan biaya yang tidak sedikit, sehingga
diperlukan suatu metode yang lebih efisien. Salah satu metode yang dapat
digunakan adalah dengan menggunakan teknologi penginderaan jarak jauh (Remote
Sensing). Kelebihan Remote Sensing adalah mampu merekam area yang luas dan
sulit dijangkau sekalipun serta secara temporal merekam objek atau fenomena pada
suatu wilayah (Lillesand dan Kiefer, 1994). Hasil dari pengolahan data citra akan
ditumpang tindihkan sehingga diperoleh data temporal yang dapat memberikan
informasi mengenai tutupan padang lamun dari waktu ke waktu.
Satelit sumberdaya alam yang banyak digunakan untuk mengolah vegetasi
adalah Landsat, beberapa kelebihan Landsat adalah memiliki resolusi spasial 30
meter dengan resolusi temporal 16 hari yang mengorbit secara polar. Hasil
pengolahan citra satelit akan dilihat akurasinya dengan ground check sehingga
didapatkan hasil yang cukup valid untuk melihat perubahan luas dan
membandingkannya dengan data lapang yang terbaru dengan data lapang
sebelumnya untuk melihat perubahan luas tutupan lamun.
Hasil penelitian perubahan komposisi jenis, kerapatan, persen penutupan dan
luas tutupan lamun di Teluk Banten dapat memberikan informasi tentang faktor-
faktor penyebab berubahnya komposisi jenis, kerapatan, persen penutupan dan luas
tutupan lamun pada kurun waktu 1990 2010 sehingga dapat dijadikan sebagai
-
3
informasi dalam pengambilan kebijakan dalam pengembangan dan pemanfaatan
wilayah pesisir di wilayah tersebut.
1.2. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan komposisi jenis, kerapatan, persen
penutupan dan perubahan luas tutupan lamun di Pulau Panjang pada kurun waktu
1990 2010.
-
4
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Deskripsi dan Klasifikasi Lamun
Lamun merupakan tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang memiliki
kemampuan beradaptasi secara penuh di perairan yang memiliki fluktuasi salinitas
tinggi, hidup terbenam di dalam air dan memiliki rhizoma, daun, dan akar sejati.
Hamparan vegetasi lamun yang menutupi suatu area pesisir disebut sebagai padang
lamun (seagrass bed). Padang lamun merupakan salah satu ekosistem perairan
yang produktif dan penting, hal ini berkaitan dengan fungsinya sebagai stabilitas dan
penahan sedimen, mengembangkan sedimentasi, mengurangi dan memperlambat
pergerakan gelombang, sebagai daerah feeding, nursery, dan spawning ground,
sebagai tempat berlangsungnya siklus nutrient (Philips dan Menez, 2008), dan
fungsi lain dari padang lamun yang tidak kalah penting dan banyak diteliti saat ini
adalah perspektifnya dalam menyerap CO2 (carbon sink) (Kawaroe, 2009).
Terdapat 60 jenis jenis lamun di seluruh dunia (Kuang, 2006 dalam Supriyadi,
2008), 20 jenis di ditemukan di Asia Tenggara 12 diantaranya dapat dijumpai di
perairan Indonesia (Nontji, 2005). Penyebaran padang lamun di Indonesia cukup
luas, mencakup hampir seluruh perairan nusantara yakni Jawa, Sumatera, Bali,
Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Irian Jaya. Lamun dapat
tumbuh pada daerah perairan dangkal yang agak berpasir atau berlumpur dan
masih dapat dijumpai sampai kedalaman 40 meter dengan penetrasi cahaya yang
masih baik (Hemminga dan Duarte, 2000).
Terdapat 12 jenis lamun di Indonesia, tergolong ke dalam dua suku yaitu
Hydrocharitaceae dan Cymodoceaceae/Potamogetonaceae, lamun termasuk ke
-
5
dalam divisi Magnoliophyta dan merupakan kelas Angiospermae, klasifikasi jenis
lamun di Indonesia secara lengkap disajikan dalam Tabel 1. Sebagian besar lamun
berumah dua, yang artinya hanya terdapat satu jantan dan satu betina saja dalam
satu individu. Sistem perkembangbiakannya tergolong khas karena melalui
penyerbukan dalam air (hydrophillous pollination) (Kawaroe, 2009).
Tabel 1. Klasifikasi lamun di Indonesia menurut Phillips & Menez (1988)
Divisi Magnoliophyta
Kelas Angiospermae
Sub Kelas Monocotyledonae
Bangsa Helobiae
Suku (1) Hydrocharitaceae
Marga Enhalus Thalassia Halophila
Jenis Enhalus acoroides Thalassia hemprichii Halophila decipiens
Halophila ovalis
Halophila minor
Halophila spinulosa
Suku (2) Cymodoceaceae/Potamogetonaceae
Marga Cymodocea Halodule Syringodium Thalassodendron
Jenis
Cymodocea
rotundata
Halodule
pinifolia
Syringodium
isoetifolium
Thalassodendron
ciliatum
Cymodocea
serrulata
Halodule
uninervis
2.2. Kondisi Lamun di Teluk Banten
Secara geografis Teluk Banten terletak pada posisi 5 55 6 5 LS dan 106
5 106 15 BT, terletak sekitar 175 km sebelah barat Jakarta, dengan batas
sebelah timur Tanjung Pontang dan sebelah barat Tanjung Kapo. Luas Teluk
Banten adalah 120 km2 dengan kedalaman tidak lebih dari 10 meter, dasarnya
-
6
terdiri dari lumpur serta pasir (Kiswara, 1995). Lamun dijumpai di rataan terumbu
pulau dan gosong karang serta perairan pantai sebelah barat yang tumbuh pada
dasar lumpur, pasir, dan pecahan karang mati. Zonasi sebaran lamun di Teluk
Banten terdapat dari pantai sampai dengan tubir, dengan perbedaan yang dijumpai
hanyalah dalam bentuk vegetasi tunggal atau vegetasi campuran dan luas
tutupannya terdiri dari kelompok jarang, sedang, tinggi atau sangat tinggi (Kiswara,
2004).
Kiswara (2004) melaporkan bahwa pada tahun 1998 - 2001 di daerah Teluk
Banten terdapat tujuh jenis lamun yaitu Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata,
C. serrulata, Halophila ovalis, Halodule uninervis, Syringodium isoetifolium, dan
Thalassia hemprichii, sedangkan Zulkarnain (2009) melaporkan bahwa pada tahun
2008 di daerah Pulau Panjang hanya terdapat 4 jenis lamun yaitu Enhalus
acoroides, Thalassis hemprichii, Cymodocea serrulata, Halophila spinullosa.
Habitat padang lamun di Teluk Banten mempunyai karakteristik yang
berbeda. Sebaran lamun yang terdapat pada bagian barat Teluk Banten tumbuh di
pantai yang memiliki substrat dasar lumpur yang bersifat terrigenous (materi yang
berasal dari daratan) (Kiswara, 2004), dipengaruhi oleh muara sungai sehingga
memiliki tingkat fluktuasi salinitas yang tinggi dan penetrasi cahaya yang relatif
kurang turun ke dalam. Sebaran lamun yang tumbuh di rataan terumbu pulau dan
gosong karang terdapat pada substrat pasir, salinitasnya cenderung stabil dan
penetrasi cahaya yang dalam. Luas padang lamun di Teluk Banten pada tahun
1999 diperkirakan sekitar 366,9 ha yang tersebar sekitar 247 ha di perairan barat
Teluk Banten dan sekitar 119,9 ha di rataan terumbu karang dan gosong karang.
Berdasarkan penelitian Yunus (2008) disebutkan bahwa dari hasil klasifikasi
data citra satelit di Teluk Banten memperlihatkan kerusakan areal padang lamun
-
7
yang terus meningkat dari tahun 1989 sampai dengan tahun 2002, kemudian
mengalami penurunan pada tahun 2006. Penurunan luas padang lamun di pantai
barat Teluk Banten dari tahun 1989 sampai tahun 2006 seluas 23,9 hektar atau telah
terjadi pengurangan luasan padang lamun rata-rata seluas 1,4 hektar/tahun. Diduga
hal ini dipengaruhi oleh terjadinya pertambahan luas daratan seluas 6,3 hektar atau
rata-rata 0,4 hektar/tahun. Selain karena perubahan tata guna lahan, kegiatan lain
yang mengancam keberadan ekosistem padang lamun di Teluk Banten antara lain
disebabkan oleh kegiatan reklamasi pantai, penambangan batu, perusakan
terumbu karang, perusakan mangrove, lalu lintas kapal dan penggunaan alat
tangkap yang merusak.
2.3. Parameter Lingkungan yang Mempengaruhi Pertumbuhan Lamun
2.3.1. Suhu
Suhu merupakan faktor penting bagi kehidupan organisme di perairan
khususnya lautan, karena pengaruhnya terhadap aktivitas metabolisme ataupun
perkembangbiakan dari organisme tersebut. Suhu mempengaruhi proses fisiologi
yaitu fotosintesis, laju respirasi, dan pertumbuhan. Lamun dapat tumbuh pada
kisaran 5 35 C, dan tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 25 30 C (Marsh et
al, 1986) sedangkan pada suhu di atas 45 C lamun akan mengalami stres dan
dapat mengalami kematian (McKenzie, 2008).
2.3.2. Salinitas
Toleransi lamun terhadap salinitas bervariasi antar jenis dan umur, lamun akan
mengalami kerusakan fungsional jaringan sehingga mengalami kematian apabila
-
8
berada di luar batas toleransinya. Beberapa lamun dapat hidup pada kisaran
salinitas 10 45 (Hemminga dan Duarte, 2000), dan dapat bertahan hidup pada
daerah estuari, perairan tawar, perairan laut, maupun di daerah hipersaline sehingga
salinitas menjadi salah satu faktor distribusi lamun secara gradien (Mckenzie, 2008).
Thalassia dapat tumbuh optimum pada kisaran salinitas 24-35 , namun dapat juga
ditemukan hidup pada salinitas 3.5 60 dengan waktu toleransi yang singkat
(Zieman, 1986 dalam Hemminga dan Duarte, 2000).
2.3.3. Kedalaman
Kedalaman perairan dapat membatasi distribusi lamun secara vertikal. Lamun
hidup pada daerah perairan dangkal yang masih dapat dijumpai sampai kedalaman
40 meter dengan penetrasi cahaya yang masih baik (Humminga dan Duarte, 2000).
Lamun tumbuh di zona intertidal bawah dan subtidal atas hingga mencapai
kedalaman 30 m. Zona intertidal dicirikan oleh tumbuhan pionir yang didominasi
oleh Halophila ovalis, Cymodocea rotundata dan Holodule pinifolia, sedangkan
Thalassodendron ciliatum mendominasi zona intertidal bawah (Hutomo 1997).
Semakin dalam suatu perairan maka intensitas cahaya matahari untuk menembus
dasar perairan menjadi terbatas dan kondisi ini akan menghambat laju fotosintesis
lamun di dalam air.
2.3.4. Kecerahan
Kecerahanan secara tidak langsung mempengaruhi kehidupan lamun karena
berpengaruh terhadap penetrasi cahaya yang masuk ke perairan yang dibutuhkan
oleh lamun untuk berfotosintesis. Kecerahan perairan dipengaruhi oleh adanya
-
9
partikel-partikel tersuspensi, baik oleh partikel-partikel hidup seperti plankton
maupun partikel-partikel mati seperti bahan-bahan organik, sedimen dan
sebagainya. Cahaya merupakan faktor pembatas pertumbuhan dan produksi lamun
di perairan pantai yang keruh (Hutomo 1997). Umumnya lamun membutuhkan
kisaran tingkat kecerahan 4 29% untuk dapat tumbuh dengan rata-rata 11%
(Hemminga dan Duarte, 2000).
2.3.5. Total Suspended Solid (TSS)
Total Suspended Solid (TSS) menunjukkan banyaknya bahan-bahan
tersuspensi (diameter > 1m) yang tertahan pada saringan milipore dengan
diameter pori 0.45 m (Effendi, 2003). Total Suspended Solid terdiri dari lumpur,
pasir halus serta jasad-jasad renik. Penyebab tingginya kandungan TSS yang
utama adalah kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air. Nilai TSS
yang berlebih akan menghambat penetrasi cahaya ke dalam air dan mengakibatkan
terganggunya proses fotosintesis.
2.3.6. Substrat
Lamun dapat ditemukan pada berbagai karakteristik substrat. Padang lamun
di Indonesia dikelompokkan ke dalam enam kategori berdasarkan karakteristik tipe
substratnya, yaitu lamun yang hidup di substrat lumpur, lumpur berpasir, pasir, pasir
berlumpur, puing karang dan batu karang. Hampir semua jenis lamun dapat tumbuh
pada berbagai substrat, kecuali pada Thalassodendron ciliatum yang hanya dapat
hidup pada substrat karang batu (Kiswara, 1997). Terdapat perbedaan antara
komunitas lamun dalam lingkungan sedimen karbonat dan sedimen terrigen dalam
-
10
hal struktur, kerapatan, morfologi dan biomassa lamun (Humminga dan Duarte,
2000).
2.4. Penginderaan Jarak Jauh dan Sistem Informasi Geografi
Penginderaan jauh (Remote Sensing) didefenisikan sebagai ilmu, teknologi,
dan seni dalam mendeteksi dan/atau mengukur objek atau fenomena di bumi tanpa
menyentuh objek itu sendiri (Lillesand dan Kiefer, 1994). Kelebihan teknologi
penginderaan jauh diantaranya adalah : 1) Pengambilan data dilakukan dalam
cakupan wilayah yang luas dan serentak. 2) Jumlah data yang banyak dalam sekali
pengambilan data. 3) Pengambilan data berulang-ulang sehingga dapat dianalisis
variasinya secara temporal. 4) Dapat menjangkau lokasi yang sulit dijangkau oleh
manusia.
Sistem penginderaan jarak jauh secara umum terdiri dari objek permukaan
bumi yang diindera atau diamati menggunakan sensor pengamat yang diletakkan
pada wahana satelit atau kapal yang bergerak pada orbitnya dengan pengamatan
yang berulang dan liputan yang luas (Thomas dan Ralph, 2000). Banyak satelit
yang digunakan untuk memantau objek-objek di permukaan bumi yang disesuaikan
dengan informasi yang dibutuhkan pengguna, salah satunya adalah satelit Landsat.
Satelit Landsat terdiri dari beberapa generasi, generasi pertama diluncurkan
pada tahun 1972 dengan membawa sensor Returned Beam Vidicion (RBV) dan
sampai generasi ke tiga saat ini yang membawa sensor Enhanced Thematic Mapper
Plus (ETM+). Satelit Landsat generasi ketiga memiliki resolusi temporal 16 hari dan
resolusi spasial 30 meter. Sehingga untuk memantau suatu objek secara temporal
satelit Landsat sangat cocok digunakan, karena tersedia dari tahun 1972 sampai
saat ini.
-
11
Burough (1986) dalam Dewayani (2000), menjelaskan bahwa Sistem Informasi
Geografis (SIG) sebagai suatu perangkat alat untuk mengoreksi, menyimpan,
menggali kembali, mentransformasi dan menyajikan data spasial dari aspek-aspek
permukaan bumi. Sistem Informasi Geografis tidak hanya data yang berbeda yang
dapat diintegrasikan, prosedur yang berbeda juga dapat dipadukan, sehingga
memperoleh lebih banyak informasi baru dan dapat dianalisa sesuai dengan
parameter yang diinginkan.
2.5. Pemetaan Lamun dengan Menggunakan Penginderaan Jauh
Berkembangnya berbagai jenis sensor dan metode pengolahan data citra saat
ini telah meningkatkan penggunaan penginderaan jauh dalam memantau dan
memetakan lingkungan pesisir. Asumsi dasar yang digunakan pada pemetaan
dengan menggunakan penginderaan jauh adalah setiap energi yang dipantulkan
oleh objek berbeda-beda, relatif terhadap besarnya energi yang diterima (Lillesand
dan Kiefer, 1994). Berbeda dengan daratan, pada perairan energi gelombang
elektromagnetik yang dapat menembus perairan hanya energi yang memiliki
panjang gelombang yang relatif kecil, dalam konteks penginderaan jarak jauh pasif
hanya spektrum sinar tampak (400-700 nm), sedangkan pada spektrum yang lebih
tinggi dari sinar tampak (>700 nm) hampir semua energinya diserap oleh air.
Lamun menyerap energi pada panjang gelombang biru (sekitar 400 nm) dan
merah (sekitar 700 nm) untuk berfotosintesis, serta memantulkan energi pada
panjang gelombang hijau (sekitar 500 nm) hal inilah yang menjadi alasan mengapa
lamun berwarna hijau. Berbeda dengan vegetasi yang memiliki pigmen karotenoid
seperti makro alga yang menyerap maksimal energi pada panjang gelombang 450
nm (Fyfe, 2004). Reflektansi sinar tampak pada vegetasi lamun memiliki
-
12
karakteristik yang berbeda-beda tergantung dari bentuk morfologi dan juga
kerapatan dari padang lamun tersebut. Lamun yang memiliki densitas tinggi (>80
g/m2) memiliki karakteristik pantulan yang tinggi jika dibandingkan dengan lamun
yang memiliki densitas rendah (
-
13
3. METODOLOGI
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian Komposisi Jenis, Kerapatan, Persen Penutupan dan Luas
Penutupan Lamun di Perairan Pulau Panjang Tahun 1990 2010 dilakukan dari
bulan Maret sampai dengan Juli 2010 dengan waktu pengambilan data lapang
pada tanggal 3 5 Juli 2010. Lokasi penelitian bertempat di daerah perairan
Pulau Panjang, Teluk Banten, Provinsi Banten yang ditampilkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Peta lokasi penelitian
Secara geografis Teluk Banten terletak pada posisi 5o 55 6o 5 LS dan
106o 5 106o 15 BT, terletak sekitar 175 km sebelah barat Jakarta, dengan
batas sebelah timur Tanjung Pontang dan muara Sungai Ciujung, bagian barat
-
14
berbatasan dengan Tanjung Kopo dan Pelabuhan Grenyang, sedangkan bagian
utara Pulau Panjang berhadapan langsung dengan Laut Jawa.
3.2. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah beberapa alat
untuk penentuan posisi, pengukuran lamun, dan pengambilan contoh air. Jenis
peralatan, jumlah dan fungsinya dijelaskan pada Tabel 2.
Tabel 2. Alat dan Bahan Penelitian
Jenis Peralatan Jumlah Keterangan Unit
Transek Kuadrat ukuran 1x1m
1 buah Sebagai batasan pengamatan
meter
Roll Meter 2 buah Mengukur jarak tiap transek meter
Global Positioning System (GPS)
1 buah Menentukan posisi meter (UTM)
Data Sheet 5 lembar Menuliskan data hasil pengamatan dan Nomor tagging foto
-
Papan Jalan, pensil penggaris 30cm
2 set Menuliskan data hasil pengamatan
-
Lembaran/kertas identifikasi lamun
2 lembar Sebagai acuan literatur -
Termometer 1 buah Mengukur suhu perairan C
Refraktometer 1 buah Mengukur salinitas ppt
Botol Contoh 5 buah Media Penyimpanan Air Contoh
-
Tongkat ukur 1 buah Mengukur Kedalaman Perairan
meter
Pipa Paralon 1 buah Mengambil contoh sedimen -
Seichi Disk 1 buah Mengukur kecerahan meter
Ayakan bertingkat 1 set Mensortir ukuran sedimen mm
-
15
Data citra yang digunakan adalah Citra Landsat 4 (TM dan MSS) tahun
1990 dan Citra Landsat 7 (+ETM) tahun 2000, 2005, dan 2010. Citra Landsat
diperoleh dari http://glovis.usgs.gov yang merupakan Citra Landsat Level 1 yang
telah terkoreksi secara radiometrik dan juga distorsi terkait sensor . Informasi
kondisi pasang surut saat pengukuran data citra oleh satelit dapat dilihat pada
Lampiran 4. Alat yang digunakan untuk mengolah data citra adalah perangkat
laptop, perangkat lunak Er Mapper 6.4, dan Arc GIS 9.3.
3.3. Metode Pengambilan Data
3.3.1. Penentuan Stasiun Penelitian
Metode pengambilan data yang digunakan adalah transek garis yang tegak
lurus terhadap garis pantai dengan jarak antar stasiun 100 m dengan membagi
lokasi penelitian ke dalam tiga stasiun yang tiap stasiunnya terbagi lagi menjadi 3
- 4 sub-stasiun. Pengambilan plot/titik dilakukan di setiap sub-stasiun
pengamatan dari tepi pantai sampai batas tubir.
Stasiun I terletak di sebelah timur Pulau Panjang dimana terdapat aliran air
yang merupakan hasil buangan dari limbah rumah tangga, limbah pencucian
rumput laut, buangan limbah kapal, dan pada stasiun ini juga terdapat vegetasi
mangrove. Stasiun II terletak di sebelah selatan Pulau Panjang dimana terdapat
vegetasi mangrove, sedangkan Stasiun III terdapat di sebelah barat daya Pulau
Panjang. Lokasi ini cukup representatif karena karakteristik wilayah yang banyak
dipengaruhi oleh masukan dari daratan terutama dari kegiatan reklamasi pantai,
kegiatan pelabuhan dan aktivitas budidaya rumput laut. Sebagai contoh,
perairan tersebut salah satunya dipengaruhi oleh masukan materi dari daratan
yang ditunjukkan dengan kondisi yang keruh dan umumnya akibat dari reklamasi
pantai di wilayah Bojonegara sehingga mempengaruhi kekeruhan di wilayah
http://glovis.usgs.gov/
-
16
barat Pulau Panjang. Hal ini tercermin dengan gradasi kekeruhan di wilayah
perairan barat Pulau Panjang. Kegiatan di wilayah pesisir seperti pelabuhan
perikanan diduga juga memberikan pengaruh pada perairan permukaan
khususnya pada daerah Pelabuhan Grenyang, Pelabuhan Peres dan Pelabuhan
Pasir Putih. Kondisi di masing-masing stasiun ini diharapkan dapat memberikan
gambaran terhadap perubahan luasan dan komposisi jenis lamun di Pulau
Panjang.
Berbeda dengan stasiun pengamatan lamun, stasiun untuk pengukuran
padatan tersuspensi dilakukan di lima lokasi. Tiga stasiun pertama di stasiun
pengamatan lamun, stasiun ke empat berada di lepas pantai, dan stasiun kelima
berada di Pelabuhan Grenyang, Bojonegara. Hal ini dilakukan untuk melihat
pengaruh masukan padatan tersuspensi dari berbagai sumber yang terdapat di
Pulau Panjang dan Bojonegara. Kondisi lokasi di tiap stasiun ditampilkan pada
Lampiran 1.
3.3.2. Pengamatan Lamun
Pengamatan lamun di lapangan meliputi identifikasi jenis lamun,
menghitung jumlah tegakan, pengukuran persen penutupan lamun dan
pengamatan terhadap vegetasi asosiasi. Pengamatan lamun ini dibatasi hanya
pada transek kuadrat dan pengamatan dilakukan dengan cara snorkeling di
permukaan air mengikuti jalur dari transek garis. Hasil data pengamatan lamun
disajikan pada Lampiran 1.
3.3.3. Pengambilan, Preservasi Contoh Air dan Sedimen
Contoh air untuk pengukuran Total Suspended Solid diambil dengan
menggunakan botol poliethylene ukuran 250 ml, sebelumnya botol dibilas
-
17
dengan aquades dan contoh air. Contoh air diambil pada lapisan permukaan
pada kedalaman 1 m 2 m. Contoh air ditutup kemudian diberi label seterusnya
dipreservasi dengan dimasukkan ke kotak pendingin dan dijaga agar tetap dalam
suhu dibawah 10 oC selama transportasi ke laboratorium untuk dilakukan analisis
lebih lanjut.
Sedimen diambil dengan menggunakan pipa paralon yang ditancapkan
pada substrat dan disimpan dalam plastik satu kilogram. Contoh sedimen ditutup
rapat dan tidak dilakukan preservasi khusus karena pada penelitian ini hanya
mengukur jenis sedimen berdasarkan ukurannya.
3.3.4. Pengukuran Parameter Fisika-Kimia Air
3.3.4.1. Suhu
Suhu perairan permukaan diukur dengan menggunakan termometer air
raksa dari atas perahu. Termometer dimasukkan ke dalam air selama kurang
lebih 1 menit, pembacaan nilai suhu dilakukan sesaat setelah termometer
diangkat ke permukaan agar menghindari perubahan nilai akibat pengaruh suhu
permukaan udara. Pengukuran suhu dilakukan pada setiap sub-stasiun dengan
tiga kali ulangan serta mencatat waktu pengukuran. Pada Stasiun I dan stasiun
II suhu diukur pada pagi hari sedangkan pada Stasiun III suhu diukur pada siang
hari.
3.3.4.2. Salinitas
Salinitas diukur dengan menggunakan refraktometer. Sebelum diukur
terlebih dahulu refraktometer dibilas dengan aquades yang bertujuan untuk
mensterilkan kaca objek dan sebagai kalibrasi. Setelah dikalibrasi dilap dengan
tisue sampai bersih, lalu mulai dilakukan pengukuran dengan meletakkan air
-
18
contoh pada kaca objek. Pengukuran dilakukan setiap substasiun dengan tiga
kali ulangan.
3.3.4.3. Kedalaman Perairan
Kedalaman perairan diukur dengan menggunakan tongkat berskala.
Tongkat berskala dimasukkan secara tegak lurus ke dalam perairan sampai
mencapai dasar perairan. Kemudian diukur tinggi muka air pada skala dan juga
waktu pengukuran.
3.3.4.4. Sedimen
Pemantauan jenis sedimen berdasarkan ukuran butir sedimen dilakukan di
Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan, FPIK IPB pada tanggal 23 24
Agustus 2010. Sebelum mengambil contoh sedimen terlebiih dahulu dikeringkan
dan ditimbang berat awalnya, sampel sedimen yang diukur sebanyak 100 gr.
Pengayakan sedimen dilakukan dengan menggunakan ayakan dengan bukaan
mesh 8 mm, 4 mm, 2 mm, 1 mm, 0,5 mm, 0,250 mm, 0,125 mm, dan 0,063 mm.
Setelah disaring maka akan dikelompokkan menjadi 3 jenis berdasarkan
ukurannya 2 mm 0,05 mm untuk pasir, debu dengan ukuran 0,05 mm 0,002
mm dan lempung dengan ukuran < 0,002 mm. Sedimen yang telah diayak dan
dikelompokkan dipindahkan ke kertas aluminium foil untuk dikeringkan, setelah
dikeringkan selama 24 jam dilakukan pengukuran dengan menggunakan
timbangan digital. Tujuan dari penimbangan adalah untuk mengetahui
prosentase berat dan penamaan jenis dari sedimen dengan menggunakan
segitiga Shepard. Persentase perhitungan ukuran sedimen didapatkan dari
perbandingan antara bobot kering dengan bobot awal.
-
19
(1)
.. (2)
3.3.4.5. Kecerahan
Alat yang digunakan untuk mengukur kecerahan adalah seichi disk. Seichi
disk dibenamkan ke dalam air kemudian diamati saat seichi disk mulai tidak
terlihat dan diukur sebagai kedalaman pertama (L1). Seichi disk kemudian
diangkat perlahan, sampai terlihat kembali dan diukur sebagai kedalaman kedua
(L2). Selain itu diukur pula kedalaman perairan (Lo). Nilai kecerahan (C)
didapatkan dari rumus :
3.3.4.5. Total Suspended Solid (TSS)
Pengukuran TSS dilakukan dengan menggunakan metode gravimetrik di
Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan, FPIK-IPB pada tanggal 6 7 Juli
2010. Sebelumnya kertas saring miliopore 0.45 m ditimbang terlebih dahulu
sebagai berat filter (A mg), kemudian air contoh yang diambil 100ml dan disaring
dengan menggunakan filter miliopore 0.45 m melalui vacuum pump, kemudian
dikeringkan pada suhu 105 C dan ditimbang sebagai berat filter+residu (B mg).
Setelah didapatkan berat filter dan filter+residu, kemudian dihitung dengan
menggunakan rumus :
3.3.5. Analisis Data
3.3.5.1. Komposisi Jenis Lamun
Komposisi jenis merupakan perbandingan antara jumlah individu suatu
jenis terhadap jumlah individu secara keseluruhan. Komposisi jenis lamun
dihitung dengan menggunakan rumus (English et al, 1997).
-
20
. (3)
. (3)
Keterangan :
Ki = Komposisi jenis ke-i (%)
ni = Jumlah individu jenis ke-i (ind)
N = Jumlah total individu (ind)
3.3.5.2. Kerapatan Jenis Lamun
Kerapatan jenis lamun yaitu jumlah total individu suatu jenis lamun dalam
unit area yang diukur. Kerapatan jenis lamun ditentukan berdasarkan rumus
(English et al., 1997) :
Keterangan :
Ki = Kerapatan Jenis ke i (ind/m2)
ni = Jumlah individu atau tegakan dalam transek ke i (ind)
A = Luas total pengambilan sampel (m2)
3.3.5.3. Persentase Penutupan Lamun
Penutupan lamun menyatakan luasan area yang tertutupi oleh tumbuhan
lamun. Persentase penutupan lamun ditentukan berdasarkan rumus (English et
al., 1997)
.. (4)
-
21
Keterangan :
C = nilai persentase penutupan lamun (%)
Mi = nilai tengah kelas penutupan ke i
Fi = Frekuensi munculnya kelas penutupan ke i
= Jumlah total frekuensi penutupan kelas
3.4. Pengolahan Data Citra
Proses pengolahan data citra menggunakan perangkat lunak Er Mapper
6.4 untuk melakukan proses klasifikasi dan ArcView 3.3 untuk menampilkan hasil
klasifikasi. Tahapan-tahapan pengolahan data citra ditampilkan seperti pada
Gambar 2.
Pengolahan data citra terdiri dari beberapa tahap yaitu pengolahan awal
dan proses klasifikasi. Pengolahan awal terdiri dari pemotongan daerah kajian,
koreksi geometrik, koreksi radiometrik, dan menghilangkan nilai darat (masking).
Citra satelit Landsat yang telah diperoleh tidak sepenuhnya digunakan dalam
analisis, untuk itu perlu adanya pemotongan citra yang membatasi daerah sesuai
lokasi penelitian.
Koreksi radiometrik bertujuan menghilangkan faktor-faktor yang
menurunkan kualitas citra. Metode koreksi radiometrik yang digunakan adalah
penyesuaian histrogram (histogram adjustment). Respon spektral terendah pada
setiap band pada metode ini bernilai nol, sehingga perlu dilakukan pengurangan
nilai digital setiap piksel pada semua band sehingga nilai minimumnya sama.
Klasifikasi merupakan suatu proses pengelompokan nilai pantulan dari
setiap objek ke dalam kelas-kelas tertentu sehingga mudah dikenali. Penelitian
ini menggunakan metode klasifikasi tak terbimbing (unsupervised classification)
untuk mengklasifikasikan substrat dasar. Parameter statistik yang digunakan
-
22
pada metode ini adalah jumlah kelas, standar deviasi dan jumlah ulangan dalam
merata-ratakan kelas. Klasifikasi tak terbimbing mengelompokkan data dengan
menganalisa kelas secara otomatis berdasarkan standar deviasi dan jumlah
kelas, kemudian menghitung kembali rata-rata kelas tersebut sebanyak jumlah
ulangan yang kita berikan. Klasifikasi citra dilakukan pada perangkat lunak Er
Mapper 6.4 dengan membagi kelas sebanyak dua puluh kelas, menggunakan
nilai standar deviasi tiga dan menggunakan lima ratus kali ulangan.
Hasil klasifikasi yang didapatkan perlu dilakukan uji ketelitian atau validasi
data, karena hasil uji ketelitian mempengaruhi besarnya tingkat kepercayaan
pengguna terhadap hasil analisis data. Hal ini juga dilakukan untuk membuktikan
kesesuaian antara klasifikasi citra dengan data lapangan yang didapatkan. Data
uji akurasi disajikan pada Lampiran 3.
-
23
Gambar 2. Diagram Alir Pengolahan Citra
Perhitungan akurasi citra hasil klasifikasi dilakukan dengan membuat
matriks kontingensi, yang juga disebut confusion matrix. Matriks ini didapat
dengan cara membandingkan antara jumlah pixel hasil klasifikasi unsupervised
-
24
(5)
. (6)
citra dengan data lapang (ground truth). Menurut Congalton (1991) untuk
menguji akurasi tiap kelas hasil klasifikasi dibutuhkan minimal lima puluh titik
sampel untuk satu kelas. Akurasi lamun dan akurasi total dihitung dengan
menggunakan rumus (Congalton. 1991).
-
25
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Parameter Fisika-Kimia Air
Berdasarkan hasil pengukuran parameter fisika dan kimia air di perairan Pulau
Panjang didapatkan hasil yang disajikan seperti pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia air di perairan Pulau Panjang
Parameter Stasiun LIPI
(2001) Stasiun I Stasiun II Stasiun III
Suhu (C) 29,0 29,5 29,0 29,5 29,5 30,0 29,4 30,5
Salinitas () 28,5 29,0 29,5 30,0 30,0 31,0 30,7 31,6
Kecerahan (%) 100 100 100 Sangat Keruh
Kedalaman (m) 0,38 1,0 0,6 1,3 0,4 1,5
Sedimen (%)
Pasir (50,16), Debu (28,62), Lempung (21,22)
Pasir (98,22), Debu (1,78), Lempung (0)
Pasir (98,41), Debu (5,19), Lempung (0)
Lumpur & Pasir (Bag. Barat), Kerikil dan Lempung (Bag. Timur)
TSS (mg/L) 13 7 9 32
Suhu yang terukur selama penelitian cenderung homogen, hanya pada
Stasiun III yang memiliki nilai yang relatif lebih tinggi karena diukur pada waktu siang
hari. Menurut LIPI (2001) suhu perairan di Teluk Banten pada bulan Juni berkisar
antara 29,4 oC 30,5 oC. Hal ini tidak berbeda jauh dari hasil pengukuran lapang
dan dapat disimpulkan bahwa perubahan suhu di daerah Teluk Banten belum
memiliki perubahan yang cukup besar. Kisaran suhu seperti ini merupakan kondisi
yang optimum bagi lamun untuk melakukan fotosintesis, karena suhu yang optimal
bagi lamun untuk berfotosintesis menurut Marsh et al (1986) berkisar 25,0 oC
30,0 C.
-
26
Kisaran salinitas yang terukur selama penelitian berkisar 28,5 30,0 ,
nilai salinitas di wilayah ini banyak dipengaruhi oleh pengenceran akibat masukan air
dari darat, hal yang serupa dilaporkan Hadikusumah (2008) bahwa nilai salinitas di
Teluk Jakarta (0,5 33,46 ) banyak dipengaruhi oleh masukan air dari darat.
Berdasarkan laporan LIPI (2001) kisaran distribusi salinitas di perairan Teluk Banten
pada Bulan Juni 2001 berkisar 30,7 31,6 , dimana pada perairan teluk bagian
barat massa air terlihat relatif lebih tawar. Masukan air dari darat yang
mempengaruhi salinitas di Pulau Panjang banyak berasal dari Tanjung Kapo dan
Pulau Panjang sendiri.
Hasil pengukuran sedimen pada semua stasiun umumnya didominasi oleh
fraksi pasir, dominasi fraksi pasir tertinggi terdapat pada Stasiun II dan Stasiun III
dengan persentase 98,22% pada Stasiun III dan 94,81% pada Stasiun II. Jenis
fraksi debu relatif banyak terdapat di Stasiun I sebesar 28,62% jika dibandingkan
dengan stasiun lainnya. Tinginya fraksi debu pada Stasiun I diakibatkan oleh
banyaknya masukan dari darat yang diduga berasal dari limbah rumah tangga dan
akumulasi serasah mangrove yang jatuh ke perairan. Penyebaran sedimen di Teluk
Banten dipengaruhi oleh energi arus pada bulan-bulan tertentu, berdasarkan
pengukuran sedimen yang dilakukan oleh LIPI (2001) didapatkan bahwa fraksi
lumpur dan pasir mendominasi fraksi sedimen pada perairan Pulau Panjang bagian
barat pada bulan Juli, sedangkan pada bagian timur Pulau Panjang terdiri dari
kerikil dan lempung berpasir.
Nilai kecerahan di semua stasiun penelitian yang didapatkan adalah 100%
dengan kisaran kedalaman yang dangkal 0,38 m 1,5 m. Kedalaman perairan
cenderung bertambah dengan semakin bertambahnya jarak dari pantai. Kedalaman
tertinggi ditemukan di Stasiun III mencapai 1,5 m dengan tingkat kecerahan 100%.
-
27
Kondisi perairan dengan tingkat kecerahan seperti ini sangat baik bagi pertumbuhan
lamun karena mempengaruhi penetrasi cahaya yang masuk ke perairan. Lamun
membutuhkan rata-rata radiasi cahaya 11% untuk dapat tumbuh (Hemminga dan
Duarte, 2000). Hal ini sangat berbeda dengan kondisi kecerahan perairan Teluk
Banten pada tahun 1990, dilaporkan bahwa pada tahun tersebut perairan Teluk
Banten termasuk dalam kategori kecerahan yang sangat keruh (lKiswara, 1997).
Hal ini disebabkan karena adanya perubahan tata guna lahan dan reklamasi pantai
untuk dijadikan daerah pelabuhan dan industri yang dilakukan pada tahun 1989
2006 (Yunus, 2008).
Nilai kecerahan perairan secara langsung dipengaruhi oleh nilai total
suspended solid, semakin tinggi nilai TSS maka semakin rendah persentase nilai
kecerahan di perairan tersebut. Nilai kecerahan di tiga stasiun pengamatan cukup
rendah berkisar 7 mg/L 11 mg/L jika dibandingkan dengan nilai TSS yang diukur
pada daerah Grenyang yang mencapai 30 mg/L. Berdasarkan Laporan LIPI tentang
Studi Perairan Teluk Banten (2001), pada tahun 2001 nilai padatan tersuspensi di
Pulau Panjang mencapai 32 mg/L dan digolongkan sangat keruh.
4.2. Perubahan Komposisi Jenis Lamun
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di tiga stasiun penelitian
didapatkan tiga jenis spesies lamun di wilayah perairan Pulau Panjang. Diantara
tiga jenis spesies yang ditemukan dua diantaranya merupakan suku
Potamogetonaceae, yaitu Syringodium isoetifolium dan Cymodocea serrulata,
sedangkan satu jenis lagi berasal dari suku Hydrocharitaceae, yaitu Syringodium
isoetifolium. Komposisi jenis lamun di setiap stasiun pengamatan ditampilkan pada
Gambar 3.
-
28
(a) (b)
(c)
Gambar 3. Komposisi jenis lamun di tiap stasiun (a). Stasiun I (b) Stasiun II (c) Stasiun III
Ditemukan dua jenis lamun pada Stasiun I, yaitu Enhalus acoroides dan
Cymodocea serrulata dengan komposisi terbesar adalah jenis lamun Enhalus
acoroides mencapai 66% dibandingkan Cymodocea serrulata yang hanya 34%.
Jenis lamun Syringodium isoetifolium tidak ditemukan di Stasiun I seperti dua
stasiun lainnya, hal ini diduga karena relatif tingginya TSS di daerah tersebut 13
mg/L dan kedalaman perairan yang tergolong dangkal sehingga sering tersingkap
saat surut, menurut Kuriandewa (2009) lamun jenis ini tidak dijumpai di daerah yang
-
29
mengalami pemaparan saat surut. Hal yang sama pernah diteliti oleh Terrados et al
(1998) dalam Hemminga dan Duarte (2000) dengan melakukan pengukuran di
daerah Asia Tenggara, dalam laporannya disebutkan bahwa hilangnya jenis lamun
Syringodium isoetifolium yang disebabkan karena mendangkalnya perairan akibat
tingginya padatan tersuspensi (TSS) sehingga terjadi sedimentasi di perairan
tersebut. Larkum et al. (2006) melaporkan bahwa kemungkinan hanya jenis lamun
Enhalus acoroides dan jenis lamun yang memiliki pertumbuhan stem secara vertikal
yang cepat (Cymodocea nodosa dan C. serrulata) yang dapat beradaptasi di
perairan yang memiliki karakteristik seperti ini. Pendapat ini diperkuat oleh Kiswara
(1997) yang melaporkan bahwa lamun jenis Syringodium isoetifolium dapat tumbuh
subur pada perairan yang selalu tergenang oleh air, dan sulit tumbuh di daerah yang
dangkal. Stasiun I merupakan daerah yang dekat dengan perumahan padat
penduduk, diduga tingginya TSS akibat dari masukan limbah rumah tangga dan
akumulasi serasah yang dihasilkan oleh mangrove.
Berbeda dengan Stasiun I, pada Stasiun II dan Stasiun III didominasi oleh
jenis lamun Syringodium isoetifolium. Komposisi terbesar ditemukan di Stasiun III
dengan persentase 81% sedangkan pada Stasiun II sebesar 60%. Jenis lamun
Enhalus acoroides dan Cymodocea serrulata juga ditemukan di stasiun ini tetapi
dengan persentase yang sedikit.
Berdasarkan hasil penelitian dari tahun 1989 sampai dengan tahun 2010
telah terjadi pengurangan dan perubahan jumlah dan jenis lamun di perairan Pulau
Panjang, perbandingan komposisi jenis lamun pada tahun 1989, 2008, dan 2010
dapat dilihat pada Tabel 4.
-
30
Tabel 4. Komposisi jenis lamun pada tahun 1989, 2008, dan 2010
Jenis
Tahun
1989* 2008* 2010
(Kiswara, 1997)
Zulkarnain, 2009)
(data penelitian)
Enhalus acoroides x x x
Cymodocea rotundata x - -
C. serrulata x x x
Halophila decipiens - - -
H. minor - - -
H. ovalis x - -
H. spinulosa - - -
Halodule pinifolia - x -
H. uninervis x - -
Syringodium isoetifolium x - x
Thalassia hemprichii x x -
Thalassodendron ciliatum - - -
Jumlah 7 4 3
*Ket : (x) = Terdapat Lamun Kiswara (1997) mengambil data di perairan Teluk Banten pada tahun 1989,
sedangkan Zulkarnain pengambilan data dilakukaan perairan Pulau Panjang pada tahun 2008.
Kiswara (1997) melaporkan pada tahun 1989 di Teluk banten terdapat 7 jenis
lamun antara lain Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, C. serrulata, Halophila
ovalis, Halodule uninervis, Syringodium isoetifolium, dan Thalassia hemprichii.
Tahun 1998 2001 jumlah lamun yang ditemukan pada daerah yang sama
bertambah menjadi 8 jenis dengan ditemukannya spesies Halophila ovata. Daerah
perairan Pulau Panjang sendiri menurut Zulkarnain (2009) pada tahun 2008 hanya
terdapat 4 jenis lamun yaitu Enhalus acoroides, Thalassis hemprichii, Cymodocea
serrulata, dan Halophila spinullosa. Hal ini berbeda dengan lamun yang ditemukan
-
31
pada tahun 2010 dimana hanya ditemukan tiga jenis lamun yaitu jenis Enhalus
acoroides, Cymodocea serrulata, dan Syringodium isoetifolium. Lamun jenis
Thalassia hemprichi tidak ditemukan lagi di Pulau Panjang, berdasarkan laporan
Kiswara (1997) jenis lamun Thalassia hemprichi tidak dapat tumbuh dengan baik di
daerah yang berasosiasi dengan mangrove, sedangkan daerah Pulau Panjang
memiliki komunitas mangrove yang cukup luas di bagian barat dan selatan.
4.3. Kerapatan Jenis Lamun
Kerapatan jenis lamun mempunyai ketergantungan terhadap jenisnya, lamun
jenis Syringodium isoetifolium akan lebih rapat jika dibandingkan dengan lamun jenis
Enhalus acoroides dan Cymodocea rotundata karena berhubungan dengan ukuran
daun dan letak pertumbuhan daun. Kerapatan total lamun di Pulau Panjang
digambarkan pada grafik yang disajikan dalam Gambar 4, sedangkan kerapatan
jenis lamun digambarkan pada Gambar 5.
Gambar 4. Kerapatan total lamun
0
20
40
60
80
100
120
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
-
32
Kerapatan lamun tertinggi ditemukan di Stasiun III yang mencapai 110 ind/m2,
sedangakan terendah pada Stasiun I mencapai 13 ind/m2. Tidak ditemukannya jenis
Syringodium isoetifolium pada Stasiun I menjadi penyebab rendahnya nilai
kerapatan total di wilayah ini. Pertumbuhan lamun yang kurang baik di Stasiun I
diantaranya disebabkan oleh tingginya nilai TSS yang disebabkan oleh buangan
limbah rumah tangga, kapal dan serta serasah mangrove, dangkalnya perairan
sehingga tersingkap pada saat surut yang diduga dapat mengakibatkan tidak
optimalnya pertumbuhan lamun dan tidak terdapatnya beberapa jenis lamun yang
didapatkan di Stasiun lain.
Gambar 5. Kerapatan rata-rata jenis lamun
Jenis lamun Enhalus acoroides dapat ditemukan di Stasiun I, Stasiun II, dan
stasiun III, namun kerapatan tertinggi ditemukan di Stasiun II (10 ind/m2)
dibandingkan dengan Stasiun I (9 ind/m2) dan Stasiun III (8 ind/m2). Sulitnya lamun
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
Enhalus
Cymodocea
Syringodium
-
33
berkembang di Stasiun I diduga karena relatif dangkalnya perairan pada saat surut
rendah serta merupakan perairan yang relatif banyak mendapat dampak
antropogenous yang berasal dari limbah rumah tangga, kapal, limbah pencucian
rumput laut, buangan kapal, serta serasah mangrove sehingga memiliki padatan
tersuspensi yang relatif tinggi, yaitu 13 mg/L.
Jenis lamun Syringodium isoetifolium merupakan jenis lamun yang memiliki
nilai kerapatan yang tinggi di Stasiun III maupun di Stasiun II. Syringodium
isoetifolium dapat tumbuh dengan baik pada Stasiun II dan Stasiun III, karena
tumbuh pada perairan yang relatif dalam walaupun sedang surut dangkal dan sedikit
mendapat dampak antropogenous sehingga tidak terlalu mengalami sedimentasi.
Wilayah perairan yang memiliki padatan tersuspensi yang tinggi dapat mengalami
sedimentasi dan menyebabkan Syringodium isoetifolium sulit untuk berkembang
(Hemminga dan Duarte, 2000). Tinginya kerapatan Syringodium isoetifolium di
Stasiun III disebabkan karena substrat yang cocok untuk habitatnya, yang sebagian
besar merupakan pasir berlumpur dengan nilai TSS 9 mg/L. Jenis lamun Enhalus
acoroides dan Cymodocea serrulata juga tumbuh dengan baik dan membentuk
komunitas campuran yang berasosiasi dengan beberapa jenis alga, seperti
Sargassum, Padina, dan Halimeda.
Laporan Kondisi Padang Lamun (seagrass) di Perairan Teluk Banten 1998 -
2001 (Kiswara, 2004) mendapatkan kerapatan jenis Enhalus acoroides berkisar (40
80) ind/m2, untuk lamun jenis Cymodocea serrulata berkisar (60 190) ind/m2,
sedangkan untuk lamun jenis Syringodium isoetifoilium berkisar (1230 3920)
ind/m2 seperti yang ditampilkan pada Gambar 6.
-
34
Gambar 6. Kerapatan rata-rata lamun Teluk Banten pada tahun 2000 (Kiswara, 2004)
Hal ini sangat berbeda dengan kondisi sekarang, diduga banyak disebabkan
karena meningkatnya aktifitas penggerukan wilayah daratan pada kisaran tahun
1989 - 2002 sehingga meningkatnya nilai kekeruhan di perairan (Yunus, 2008).
Faktor lain yang diduga mempengaruhi adalah tingginya nilai padatan tersuspensi
yang masuk ke perairan yang mempengaruhi penetrasi cahaya yang masuk ke
perairan dan juga perubahan struktur komposisi sedimen.
4.4. Persen Penutupan Lamun
Persen penutupan lamun menggambarkan luas daerah yang tertutupi oleh
lamun. Mengukur persen penutupan lamun merupakan suatu metode untuk melihat
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
-
35
status dan untuk mendeteksi perubahan dari sebuah vegetasi (Humminga dan
Duarte, 2000). Hasil persentase penutupan lamun di berbagai stasiun ditampilkan
seperti pada Gambar 7.
Gambar 7. Persen penutupan lamun
Persen penutupan lamun tertinggi berada pada Stasiun III sebesar 23,3% dan
terendah pada Stasiun I sebesar 14,6%. Tingginya persen penutupan lamun di
Stasiun III dipengaruhi oleh tingginya kerapatan jenis lamun di stasiun ini. Telah
dijelaskan sebelumnya bahwa, pada Stasiun III merupakan habitat yang ideal bagi
beberapa jenis lamun untuk tumbuh dan berkembang. Tingginya kerapatan jenis
lamun Syringodium isoetifolium danCymodocea serrulata menjadi alasan mengapa
persen penutupan lamun di Stasiun III menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan
Stasiun I dan Stasiun II.
14,6
17,8
23,3 Stasiun I
Stasiun II
Stasiun III
-
36
4.5. Perubahan Luas Lamun
Berdasarkan hasil pengolahan citra didapatkan nilai perubahan luas lamun
dari tahun 1990 sampai dengan 2010 yang tercantum pada Tabel 5.
Tabel 5. Perubahan luas lamun 1990 2010
Tahun Luas Lamun (ha) Perubahan Luas (ha) Perubahan Luas (%)
1990 67,0 - -
2000 54,3 -12,7 - 19,0
2005 31,4 -22,9 - 53,2
2010 24,2 -7,2 - 63,9
Hasil analisis citra memperlihatkan pengurangan luas padang lamun dari
tahun ke tahun terus bertambah. Selama kurun waktu sepuluh tahun telah terjadi
pengurangan luas lamun sebesar 63,9 % dari tahun 1990. Pengurangan terbesar
terjadi pada selang waktu 2000 - 2005 dengan penurunan sekitar 22,9 ha.
Kerusakan padang lamun terus bertambah di daerah Teluk Banten pada selang
waktu 1989 2002 akibat dari aktifitas penambangan batu alam, perataan bukit dan
reklamasi pantai untuk dijadikan daerah industri dan pelabuhan (Yunus, 2008).
Meningkatnya aktivitas tersebut mengakibatkan tingginya padatan tersuspensi yang
terkandung di perairan, pada pengukuran TSS di wilayah barat Teluk Banten dan
Pulau Panjang pada tahun 2000 adalah 37,8 mg/L dan 33,3 mg/L (LIPI, 2001)
sedangkan data yang didapatkan dari hasil pengukuran pada tahun 2010 di daerah
yang sama adalah 9 mg/L dan 30 mg/L.
Padatan tersuspensi mempengaruhi penetrasi cahaya yang masuk ke perairan
dan juga menutupi daun lamun. Tingginya padatan tersuspensi pada tahun 2000
merupakan indikasi penyebab banyaknya lamun yang hilang di daerah Teluk
Banten, khususnya di wilayah perairan Pulau Panjang yang berhadapan langsung
-
37
dengan daerah reklamasi. Hal yang serupa juga pernah terjadi di beberapa negara
lain seperti Australia bagian selatan pada tahun 1990 dan Eropa Selatan akibat
tingginya materi tersuspensi yang masuk ke perairan karena sedimentasi yang
dihasilkan oleh kegiatan industri dan pelabuhan (Cambridge dan McComb, 1984).
Selain itu Peres dan Pickard (1975) dalam Hemminga dan Duarte (2000)
melaporkan bahwa limbah dan sedimentasi merupakan faktor penting dalam
hilangnya Posidonia oceanica dari perairan pesisir laut Tengah Perancis.
Masalah lain yang dapat menimbulkan hilangnya lamun akibat aktivitas
manusia adalah peletakan jangkar perahu, baling-baling motor, dan pemakaian alat
tangkap yang tidak ramah lingkungan. Faktor alami yang turut mengancam
keberadaan lamun adalah bencana alam seperti tsunami dan badai, gelombang
pantai, komunitas ikan, overgrazing oleh bulu babi, dan sedimentasi.
Pola perubahan luas tutupan padang lamun pada tahun 1990, 2000, 2005,
dan 2010 ditampilkan seperti pada Gambar 8. Wilayah yang mengalami kehilangan
padang lamun terbanyak adalah di bagian barat dan timur Pulau Panjang.
Hilangnya padang lamun di bagian barat Pulau Panjang diduga diakibatkan karena
aktifitas penambangan batu alam, perataan bukit dan reklamasi pantai untuk
dijadikan daerah industri dan pelabuhan di bagian barat Teluk Banten (Bojonegara).
Wilayah ini berhadapan langsung dengan bagian barat Pulau Panjang sehingga
mengakibatkan tingginya padatan tersuspensi barat Pulau Panjang yang
berimplikasi terhadap berkurangnya penetrasi cahaya yang masuk ke perairan.
-
38
Gambar 8. Peta perubahan luas lamun di Pulau Panjang
38
U
-
39
Kehilangan lamun di wilayah timur Pulau Panjang diduga diakibatkan oleh
arus dan padatan tersuspensi masukan dari limbah rumah tangga. Wilayah timur
Pulau Panjang berhadapan langsung dengan Laut Jawa sehingga rata-rata
kecepatan arusnya relatif tinggi. Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan oleh
LIPI (2001) kecepatan arus di wilayah ini berkisar 1,0 cm/det 35 cm/det pada
bulan April dan 1,1 cm/det 19,4 cm/det pada bulan Oktober sehingga sedimen
yang ditemukan pada bulan-bulan ini berupa kerikil, pasir dan pasir lanau.
Pengukuran padatan terlarut (TSS) pada bagian tenggara Pulau Panjang adalah 28
mg/L, tingginya nilai padatan terlarut ini diduga merupakan masukan dari limbah
rumah tangga dan serasah mangrove. Perairan yang dangkal dan tingginya laju
sedimentasi akibat masukan dari darat dan serasah mangrove, menjadikan wilayah
ini tersingkap pada saat terjadi air surut rendah.
4. 6. Uji Akurasi Citra Hasil Klasifikasi
Perhitungan akurasi citra hasil klasifikasi dilakukan dengan membuat matriks
kontingensi. Matriks ini didapat dengan cara membandingkan antara jumlah pixel
hasil klasifikasi unsupervised citra dengan data lapang (ground truth). Hasilnya
didapatkan nilai akurasi total, sebesar 57 % dan akurasi lamun sebesar 60%, seperti
yang ditampilkan pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil Uji Akurasi
Peta Klasifikasi Survey Lapang
Jumlah Akurasi
Lamun (%)
Akurasi
Total (%) Lamun Substrat Lain
Lamun 30 20 50 60 57
Substrat Lain 23 27 50
Jumlah 53 47 100
-
40
Hasil dari uji akurasi lamun menggambarkan 60% dari kelas lamun hasil
klasifikasi terkelaskan dengan benar di lapangan. Relatif rendahnya nilai akurasi
yang didapatkan berhubungan dengan resolusi spasial citra dan tipe GPS yang
digunakan pada saat ground truth. Shepard (1995) dalam Green et al. (2000) yang
melakukan uji akurasi Citra Landsat TM di Pulau Caicos, Turki mendapatkan nilai
akurasi sebesar 59% untuk lamun dan 73% untuk akurasi total. Penelitian lain yang
dilakukan oleh Dekker (2005) dalam Yang dan Chaoyu (2009) meneliti perubahan
luas lamun di wilayah Australia dari tahun 1988 2002 mendapatkan akurasi
sebesar 76%. Green et al. (2000) menyatakan bahwa citra yang digunakan
mempengaruhi besarnya nilai akurasi yang didapatkan, semakin baik resolusi
spasial sebuah citra semakin baik nilai akurasi yang bisa didapatkan. Hal lain yang
juga dapat mempengaruhi akurasi citra hasil klasifikasi adalah kekeruhaan perairan
dan kedalaman ojek.
Kedalaman dapat mempengaruhi hasil pengkelasan karena semakin dalam
suatu perairan maka semakin banyak energi elektromagnetik yang terserap oleh
perairan, salah satu yang mempengaruhi kedalaman perairan adalah pasang surut.
Koreksi pasang surut terhadap waktu perekaman citra satelit perlu dilakukan untuk
melihat kedalaman perairan. Kedalaman perairan pada saat perekaman data citra
Landsat MSS (1990), Landsat TM (2000), dan Landsat +ETM (2005 dan 2010) yang
digunakan adalah 0,5 m 0,9 m (Lampiran 4). Kisaran kedalaman tersebut tidak
terlalu berpengaruh signifikan, hal ini terlihat dari relatif tinggi dan beragamnya nilai
digital pada citra sehingga masih dapat dibedakan ke dalam beberapa kelas.
-
41
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Pulau Panjang merupakan daerah yang cukup baik untuk ditumbuhi oleh
jenis lamun tertentu terutama jenis lamun Enhalus acoroides dan Cymodocea
serrulata, kecuali Syringodium isoetifolium yang tidak dapat tumbuh di Stasiun I
(sebelah tenggara Pulau Panjang) tetapi tumbuh baik di Stasiun II (sebelah selatan
Pulau Panjang) dan Stasiun III (sebelah Barat Pulau Panjang).
Komposisi jenis lamun yang ditemukan terdiri dari Enhalus acoroides,
Cymodocea serrulata, dan Syringodium isoetifolium. Kerapatan jenis Syringodium
isoetifolium tertinggi di Stasiun III. Jenis lamun Syringodium isoetifolium tertinggi
ditemukan di Stasiun III, dan terendah pada Stasiun I. Komposisi jenis lamun dan
kerapatan jenis lamun di Pulau Panjang dan Teluk Banten berkurang mulai dari
tahun 1989 sampai dengan tahun 2010, yang diduga akibat dari aktivitas manusia
berupa reklamasi pantai dan pembangunan industri.
Persen penutupan lamun tertinggi didapatkan di Stasiun III (23,3 %) dan
terendah ditemukan di Stasiun I (14,6 %), tinggi dan rendahnya kerapatan lamun
jenis Enhalus acoroides dan Syringodium isoetifolium dapat mempengaruhi persen
penutupan di wilayah tersebut.
Terjadi perubahan luas lamun di Pulau Panjang dalam kurun waktu sepuluh
tahun mulai dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2010 sebesar 63,9%, perubahan
luas yang besar terjadi pada kurun waktu 2000 2005 mencapai 22,9 ha. Wilayah
yang banyak mengalami kehilangan lamun adalah di bagian barat dan timur Pulau
Panjang.
-
42
5.2. Saran
Stasiun III merupakan tempat yang cocok untuk diadakan rehabilitasi lamun,
karena tingginya komposisi, kerapatan, dan persen penutupan di wilayah tersebut
yang menjadi indikasi bahwa lamun jenis Syringodium isoetifolium dan Cymodocea
serrulata tertentu tumbuh baik di wilayah ini. Sebagai rekomendasi Pemerintah
Daerah, perlunya dilakukan rehabilitasi transplantasi lamun di daerah Pulau
Panjang, sehingga penurunan luas daerah lamun dapat dikurangi. Selain itu perlu
adanya kajian sosial ekonomi masyarakat setempat akibat dari berkurangnya
komunitas lamun di daerah tersebut.
Ketelitian hasil klasifikasi citra juga tergantung dari akurasi spasial citra dan
akurasi GPS yang digunakan. Peneliti disarankan menggunakan citra yang
beresolusi tinggi untuk klasifikasi dan menggunakan GPS yang memiliki akurasi
yang tinggi untuk uji akurasi. Selain itu dalam proses klasifikasi diperlukan koreksi
pasang surut sesuai pada saat perekaman citra dilakukan untuk membantu dalam
interpretasi.
-
43
DAFTAR PUSTAKA
Cambridge, M. L., dan McComb, A. J. (1984). The Loss of Seagrasses in Cockburn
Sound, Western Australia, the Time Courseand Magnitude of Seagrass Decline in Relation to Industrial Development. Aquat Bot. 20: 229243.
Congalton, R.G. 1991. A Review of Assessing the Accuracy of Classifications of
Remotely Sensed Data. Remote Sensing of Environment. 37 : 3546. Dewayani, S. 2000. Manfaat Inderaja SIG untuk Pengembangan Perikanan Laut:
Potensi Pengembangan Budidaya Ikan dalam Keramba Apung. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Bogor : 29 Oktober 3 November 2001. Hal : 226-235.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius : Yogyakarta. English, S., Wilkinson, C., dan Baker, V. 1997. Survey Manual for Tropical Marine
Resources, 2nd Edition. Townsville: Australian Institute of Marine Science. Fyfe, S. K. 2004. Hyperspectral studies of New South Wales Seagrass with
Particular Emphasis on the Detection of Light Stress in Eelgrass Zostera capricorni. PhD thesis. School of Earth and Environment Science, University of Wollungong. New South Wales, Australia.
Green, P. E., Peter, J. M., dan Clark, K. 2000. Remote Sensing Handbook for
Tropical Coastal Management. UNESCO Publishing. Paris. Hadikusumah. 2008. Variabilitas Suhu dan Salinitas di Perairan Cisadane. Makara
Sains. 12 (2) : 82-88. Hemminga, M. A. dan Duarte. C. M. 2000. Seagrass Ecology. Cambridge :
Cambridge University Press. Australia. Hutomo, H. 1997. Padang Lamun Indonesia : Salah Satu Ekosistem Laut Dangkal
yang belum banyak dikenal. Jurnal Puslitbang Oseanologi LIPI. Jakarta, Indonesia.
Kawaroe, M. 2009. Perspektif Lamun Sebagai Blue Carbon Sink di Laut. Lokakarya
Nasional I Pengelolaan Ekosistem Lamun. 18 November 2009. Jakarta, Indonesia.
Kiswara, W. 1994. Dampak Perluasan Kawasan Industri Terhadap Luas Penutupan
Padang Lamun di Teluk Banten, Jawa Barat. Seminar Nasional Dampak Pembangunan Terhadap Wilayah Pesisir. 2-3 Februari 1994. Jakarta, Indonesia.
-
44
Kiswara, W, 1995. Degradasi Padang Lamun di Teluk Banten: Pengaruhnya Terhadap Sumberdaya Perikanan. Prosiding pada Simposium Perikanan I. 25-27 Agustus 1993. Jakarta, Indonesia.
Kiswara, W. 1997. Inventarisasi dan evaluasi Sumberdaya Pesisir : Struktus
Komunitas Padang Lamun di Teluk Banten. Makalah Kongres Biologi Indonesia XV. Jakarta, Indonesia.
Kiswara, W. 2004. Kondisi Padang Lamun (seagrass) di Teluk Banten 1998 2001.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
Kuriandewa, T. E. 2009. Tinjauan Tentang Lamun di Indonesia. Lokakarya Nasional
I Pengelolaan Ekosistem Lamun. 18 November 2009. Jakarta, Indonesia. Larkum, A. W., Roberth, J. O., dan Duarte, C. M. 2006. Seagrasses: Biology,
Ecology and Conservation. Springer. Dordrecht, Netherlands. Lembaga Ilmu dan Pengetahuan Indonesia. 2001. Laporan Penelitian Wilayah
Pesisir Teluk Banten Tahap Kedua. Jakarta, Indonesia. Lillesand, T. M., dan Kiefer, R. W. 1994. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra,
Edisi Ketiga., Alih Bahasa : Dulbahri, S., Hartono, P., Suharyadi. Gajah Mada Press.
Marsh J. A, Dennison, W. C. dan Alberte, R. C. 1986. Effects of Temperature on
Photosynthesis and Respiration in Eelgrass (Zostera marina L.) Journal Exp Mar Biol Ecol. 101: 257267.
McKenzie, L. 2008. Seagrass Watch. Prosiding of Workshop for Mapping Seagrass
Habitats in North East Arnhem Land, Northern Territory. 18 - 20 Oktober. Cairns, Australia. Hal : 9 16.
Nontji. A. 2005. Laut Nusantara Edisi Ke-4. Jakarta: Djambatan. Nontji. A. 2009. Rehabilitasi Ekosistem Lamun dalam Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir. Lokakarya Nasional I Penelolaan Ekosistem Lamun. 18 November 2009. Jakarta, Indonesia.
Phillips, R.C. and Menez, E. G. 1988. Seagrasses. Smithsonian Contributions to the
Marine Sciences, No. 34. Smithsonian Institution Press, Washington, D. C.
Supriyadi, I. H. 2008. Pemetaan Kondisi Lamun dan Bahaya Ancamannya dengan
Menggunakan Citra satelit Alos di Pesisir Selatan, Bitung-Manado, Sulawesi Utara. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. 34(3):445-459.
-
45
Thomas M. L., dan Ralph W. K. 2000. Remote Sensing and Image Interpretation. John Willey & Sons Inc. New York.
Yang, D. dan Chaoyu, Y. 2009. Detection of Seagrass Distribution Changes from
1991 to 2006 in Xincun Bay, Hainan, with Satellite Remote Sensing. Sensors. 9 : 830-844
Yunus. S. 2008. Penilaian Dampak Aktivitas Manusia Pada Kerusakan Ekosistem
Padang Lamun di Pantai Barat Teluk Banten. Tesis. Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia.
Zulkarnain, I. 2009. Ekotipologi Padang Lamun di Teluk Banten. Skripsi.
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Insitut Pertanian Bogor, Bogor.
-
LAMPIRAN
-
46
Lampiran 1. Data Hasil Pengukuran
Stasiun
Lintang S
Bujur E
Kerapatan Jenis (Ind/m
2) Penutupan
(%) Vegetasi Asosiasi
Kedalaman (m
2)
Kecerahan
Ea Cr Si
Stasiun 1
1.1.1 9343065 628339 5 5,38 Alga 0,62 100%
1.1.2 9343060 628340 9 13,63
0,69 100%
1.1.3 9343052 628346 4 3,75 Alga 0,77 100%
1.1.4 9343043 628355 11 20,63
0,82 100%
1.1.5 9343040 628358 18 22,13
0,82 100%
1.1.6 9343027 628367 3 28 12,63 Alga 0,83 100%
1.1.7 9343020 628370 10 17,25
0,52 100%
1.1.8 9343013 628380 5 10 10,50 Alga 0,45 100%
1.1.9 9343009 628387 8 9,38
0,55 100%
1.2.1 9343020 628443 20 30,75
0,51 100%
1.2.2 9343023 628445 16 16 36,38 Alga 0,42 100%
1.2.3 9343033 628440 5 37 39,75 Alga 0,38 100%
1.2.4 9343037 628436 10 18,00
0,38 100%
1.2.5 9343049 628431 13 5 13,63 Alga 0,44 100%
1.2.6 9343056 628426 14 14,25 Alga 0,56 100%
1.2.7 9343064 628417 19 27,38
0,62 100%
1.2.8 9343072 628411 21 31,50 Alga 0,66 100%
1.2.9 9343082 628403
1 100%
1.2.10 9343092 628396 5 3,88
0,85 100%
1.2.11 9343102 628387
0,94 100%
1.2.12 9343144 628441
0,9 100%
1.3.1 9343136 628445
0,9 100%
1.3.2 9343136 628445
1 100%
1.3.3 9343121 628455 Alga 1 100%
1.3.4 9343107 628463 12 20,25
0,77 100%
1.3.5 9343096 628471 22 28,88
0,55 100%
1.3.6 9343087 628481 5 33 21,00 Alga 0,44 100%
1.3.7 9343079 628493 17 24,00
0,6 100%
1.3.8 9343072 628501 0 0
0,63 100%
Stasiun 3
3.1.1 9342912 627283 14 15,38
0,87 100%
3.1.2 9342907 627283 12 20 26,88 Alga 0,6 100%
3.1.3 9342902 627283 13 18,75
0,84 100%
3.1.4 9342881 627282 11 14,63 Alga 0,95 100%
3.1.5 9342870 627280 15 22,50
0,95 100%
3.1.6 9342865 627279 14 13,50
1 100%
3.1.7 9342850 627280 16 15,75 Alga 0,95 100%
3.1.8 9342841 627283 7 6,75
0,95 100%
3.1.9 9342828 627286 19 20,25 Alga 0,91 100%
3.1.10 9342819 627287 8 35 53 34,75 Alga 0,76 100%
-
47
Lanjutan
Stasiun
Bujur S
Lintang E
Kerapatan Jenis (Ind/m
2) Penutupan
(%) Vegetasi Asosiasi
Kedalaman (m
2)
Kecerahan
Ea Cr Si
3.1.11 9342804 627286 8 31 272 54,75 Alga 0,85 100%
3.1.12 9342793 627285 17 28 20,25 Alga 0,97 100%
3.1.13 9342782 627281 23 12 44,63 Alga 1 100%
3.1.14 9342774 627280 20 5 40,00 Alga 1,2 100%
3.1.15 9342762 627279 13 16,88 Alga 1,1 100%
3.1.16 9342753 627279 Alga 1,32 100%
3.2.1 9342919 627194 9 14,25
0,7 100%
3.2.2 9342910 627193 8 11,63
0,7 100%
3.2.3 9342901 627191 3 1,50
0,75 100%
3.2.4 9342891 627188 10 16,50 Alga 0,86 100%
3.2.5 9342877 627184 8 10,50 Alga 0,87 100%
3.2.6 9342864 627179 7 3,00 Alga 0,92 100%
3.2.7 9342854 627170 8 10,50 Alga 0,94 100%
3.2.8 9342841 627160 2 31 21,38 Alga 0,9 100%
3.2.9 9342831 627154 7 3,00 Alga 1,2 100%
3.2.10 9342825 627154 Alga 1,3 100%
3.3.1 9342940 627105 3 1,88
0,7 100%
3.3.2 9342939 627105 10 9,00
0,71 100%
3.3.3 9342928 627102 4 1,63
0,76 100%
3.3.4 9342915 627096 8 3,75 Alga 0,68 100%
3.3.5 9342906 627090 11 11,63
0,65 100%
3.3.6 9342895 627080 15 10,50 Alga 0,7 100%
3.3.7 9342886 627073 15 10,50
0,78 100%
3.3.8 9342878 627063 29 31,50 Alga 0,91 100%
3.3.9 9342870 627054 18 25,88 Alga 0,91 100%
3.3.10 9342859 627042 Alga 1,15 100%
3.4.1 9343012 626965 15 16,88
0,63 100%
3.4.2 9343009 626957 5 4,13
0,6 100%
3.4.3 9343000 626950 2 0,75 Alga 0,72 100%
3.4.4 9342988 626943 6 73 240 50,50 Alga 0,72 100%
3.4.5 9342978 626934 5 66 176 37,13 Alga 0,72 100%
3.4.6 9342971 626927 11 35 280 60,63 Alga 0,7 100%
3.4.7 9342961 626914 7 11 208 45,00 Alga 0,66 100%
3.4.8 9342957 626904 16 14 23,25 Alga 0,85 100%
3.4.9 9342951 626894 Alga 0,96 100%
Stasiun 2
2.1.1 9343449 626307 5 53 400 75,00 Alga 0,65 100%
2.1.2 9343442 626301 6 35 400 75,00 Alga 0,65 100%
2.1.3 9343435 626293 7 14 450 75,00 Alga 0,77 100%
2.1.4 9343422 626283 15 18,00 Alga 0,78 100%
2.1.5 9343417 626279 Alga 0,87 100%
-
48
Lanjutan
Stasiun
Bujur S
Lintang E
Kerapatan Jenis (Ind/m
2) Penutupan
(%) Vegetasi Asosiasi
Kedalaman (m
2)
Kecerahan
Ea Cr Si
2.1.6 9343415 626274 5 6 4,50 Alga 0,96 100%
2.1.7 9343398 626256 Alga 1,02 100%
2.2.1 9343311 626348 18 18,38
0,44 100%
2.2.2 9343305 626344 3 21 31 21,38 Alga 0,6 100%
2.2.3 9343295 626333 10 10,13
0,61 100%
2.2.4 9343291 626325 7 68 53,25 Alga 0,65 100%
2.2.5 9343283 626310 10 24 23,63 Alga 0,8 100%
2.2.6 9343275 626295 20 19,13
1,2 100%
2.2.7 9343265 626285
1,5 100%
2.3.1 9343257 626381 7 53 34,88 Alga 0,62 100%
2.3.2 9343253 626378 5 27 425 Alga 0,51 100%
2.3.3 9343244 626372 16 37 15,63 Alga 0,6 100%
2.3.4 9343232 626364 21 150 21,38 Alga 0,61 100%
2.3.5 9343219 626357 3 37 350 72,38 Alga 0,62 100%
2.3.6 9343211 626351 8 21 400 75,00 Alga 0,4 100%
2.3.7 9343198 626343 21 17 144 37,50 Alga 0,34 100%
2.3.8 9343189 626333 Alga 1,5 100%
2.4.1 9343178 626490
1,25 100%
2.4.2 9343171 626487
1,2 100%
2.4.3 9343159 626477 7 6,00
0,75 100%
2.4.4 9343152 626475 12 16,13
0,76 100%
2.4.5 9343143 626467 7 4,50 Alga 0,72 100%
2.4.6 9343135 626457 7 11 13,50 Alga 0,68 100%
2.4.7 9343123 626453 14 13,50
0,83 100%
2.4.8 9343113 626449 17 16,88
1 100%
2.4.9 9343106 626446 2 1,50 Alga 1,5 100%
-
49
Lampiran 2. Dokumentasi Kegiatan
Transek Kuadrat Roll Meter
Seichi disck Termometer
Salinorefraktometer Pelabuhan Peres
-
50
Stasiun I Kondisi Lamun St. I
Stasiun II Kondisi Lamun St. II
Stasiun III Kondisi Lamun St. III
-
51
Daerah Industri di Grenyang Perbukitan Hasil Penggerukan
-
52
Lampiran 3. Data Ground Truth untuk Uji Akurasi
Waypoint Klasifikasi Lapang No. Tematik Lapang
1 Substrat Lain Substrat Lain 51 Lamun Lamun
2 Substrat Lain Substrat Lain 52 Lamun Lamun
3 Substrat Lain Substrat Lain 53 Lamun Lamun
4 Lamun Lamun 54 Lamun Lamun
5 Substrat Lain Substrat Lain 55 Lamun Substrat Lain
6 Substrat Lain Lamun 56 Lamun Substrat Lain
7 Substrat Lain Lamun 57 Lamun Lamun
8 Lamun Lamun 58 Lamun Lamun
9 Lamun Lamun 59 Lamun Lamun
10 Lamun Lamun 60 Lamun Lamun
11 Lamun Lamun 61 Lamun Substrat Lain
12 Lamun Lamun 62 Lamun Lamun
13 Substrat Lain Lamun 63 Lamun Substrat Lain
14 Substrat Lain Substrat Lain 64 Lamun Substrat Lain
15 Substrat Lain Lamun 65 Lamun Lamun
16 Substrat Lain Substrat Lain 66 Substrat Lain Substrat Lain
17 Substrat Lain Substrat Lain 67 Substrat Lain Substrat Lain
18 Substrat Lain Substrat Lain 68 Substrat Lain Substrat Lain
19 Substrat Lain Substrat Lain 69 Substrat Lain Substrat Lain
20 Substrat Lain Substrat Lain 70 Substrat Lain Lamun
21 Substrat Lain Substrat Lain 71 Lamun Lamun
22 Substrat Lain Substrat Lain 72 Lamun Lamun
23 Substrat Lain Lamun 73 Lamun Lamun
24 Lamun Lamun 74 Lamun Lamun
25 Substrat Lain Substrat Lain 75 Lamun Lamun
26 Substrat Lain Lamun 76 Lamun Lamun
27 Lamun Substrat Lain 77 Lamun Substrat Lain
28 Lamun Lamun 78 Lamun Lamun
29 Lamun Substrat Lain 79 Lamun Lamun
30 Lamun Substrat Lain 80 Lamun Lamun
31 Lamun Substrat Lain 81 Lamun Lamun
32 Lamun Lamun 82 Lamun Lamun
33 Lamun Substrat Lain 83 Lamun Substrat Lain
34 Lamun Lamun 84 Lamun Lamun
35 Lamun Lamun 85 Substrat Lain Lamun
-
53
Lanjutan
Waypoint Klasifikasi Lapang No. Tematik Lapang
36 Lamun Substrat Lain 86 Substrat Lain Substrat Lain
37 Lamun Lamun 87 Substrat Lain Lamun
38 Lamun Lamun 88 Substrat Lain Substrat Lain
39 Lamun Substrat Lain 89 Substrat Lain Substrat Lain
40 Lamun Lamun 90 Lamun Substrat Lain
41 Lamun Substrat Lain 91 Lamun Substrat Lain
42 Lamun Substrat Lain 92 Lamun Substrat Lain
43 Lamun Substrat Lain 93 Lamun Substrat Lain
44 Lamun Substrat Lain 94 Lamun Substrat Lain
45 Lamun Substrat Lain 95 Lamun Substrat Lain
46