Hubungan Kerapatan Lamun Dengan Kelimpahan Meiofauna ...repository.umrah.ac.id/1834/1/ARTIKEL ILMIAH...
Transcript of Hubungan Kerapatan Lamun Dengan Kelimpahan Meiofauna ...repository.umrah.ac.id/1834/1/ARTIKEL ILMIAH...
1
Hubungan Kerapatan Lamun Dengan Kelimpahan Meiofauna Interstisial
Di Perairan Desa Pengudang Kabupaten Bintan
Doni Sanova1, Ita Karlina
2, Chandra Joei Koenawan
3
1Email : [email protected]
,
Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultan Ilmu Kelautan dan Perikanan
Universitas Maritim Raja Ali Haji
ABSTRAK
Perairan Desa Pengudang memiliki ekosistem lamun yang menunjang hidupnya
biota bentik meiofauna. Meiofauna merupakan organisme multiseluler yang hidup
di antara pasir atau di dalam permukaan lumpur. Secara ekologi keberadaan
meiofauna interstisial di ekosistem lamun berperan penting sebagai rantai
makanan, penghancuran serasah lamun dalam proses biodegradasi dan
perlindungan, sehingga kerapatan lamun akan berpengaruh terhadap kelimpahan
meiofauna interstisial. Penentuan lokasi penelitian menggunakan metode
purposive sampling dan sampel meiofauna diambil saat air laut dalam keadaan
surut dengan menggunakan alat corer. Sampling dilakukan pada 3 stasiun, yaitu
pada daerah padang lamun dengan kerapatan rapat, sedang dan jarang. Setiap
stasiun dibagi menjadi 9 titik sampling total seluruhnya 27 titik sampling. Hasil
pengamatan meiofauna ditemukan total 37 spesies meiofauna interstisial. Hasil
penelitian meiofauna interstisial menunjukkan bahwa total individu yang paling
banyak ditemukan berasal dari spesies Ammobaculites sp. yaitu sebanyak 334
individu/m2 dengan komposisi 10.820%, paling sedikit yaitu dari spesies
Allomorphina trigona dan Orbulina parva sebanyak 3 individu/m2 dengan
komposisi 0.097% dari total keseluruhan spesies. Pada kerapatan lamun padat
nilai kelimpahan meiofauna interstisial 8813 individu/m2, kerapatan lamun sedang
sebesar 4537 individu/m2 dan pada kerapatan lamun jarang sebesar 1178
individu/m2. Hasil analisis korelasi nilai (r) sebesar 0,991 dan signifikansi (0,08 >
0,05), menunjukkan adanya hubungan kerapatan lamun dengan kelimpahan
meiofauna interstisial namun tidak signifikan.
Kata kunci: Lamun, Meiofauna, Kerapatan, Kelimpahan, Desa Pengudang
2
PENDAHULUAN
Ekosistem lamun memiliki fungsi dan peran yang dapat menunjang biota laut
lainnya, sehingga kelestariannya perlu dijaga. Berbagai macam jenis biota laut
yang dapat ditemukan diekosistem lamun salah satunya biota bentik seperti
meiofauna.
Menurut Zulkifli (2008), meiofauna merupakan hewan multiseluler berukuran
63–1000 μm (0.063–1 mm)yang melimpah pada komunitas dasar yang mulai dari
zona litoral atas sampai pada zona abisal. Dari segi ekologi keberadaan meiofauna
interstisial di ekosistem lamun berperan aktif dalam penghancuran bahan organik
berupa serasah di lamun, terutama dalam proses biodegradasi sisa tumbuhan yang
akan berlanjut ke proses mineralisasi oleh mikroba, menetralisasi bahan organik
dan melepaskan nutrient kelapisan kolom air, (Ruswahyuni 2008).
Adanya meiofauna interstisialdi ekosistem lamun sangat bepengaruh terhadap
struktur rantai makanan. Kerapatan lamun yang tinggi, serta kestabilitas substrat
yang diberikan oleh rhizome dan akar lamun dapat memungkinkan kelangsungan
hidup (sumber makanan) dan perlindungan bagi hewan meiofauna interstisial dari
bahaya predator. Maka dari itu luas tutupan dan kerapatan lamun juga
berpengaruh terhadap kelimpahan meiofauna interstisial yang mendiami
substratnya, (Trisnawati 2012).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis dan kelimpahan
meiofauna interstisial pada kerapatan lamun yang berbeda di Perairan Desa
Pengudang dan untuk mengetahui hubungan kerapatan lamun dengan kelimpahan
meiofauna interstisial di perairan Desa Pengudang.
3
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret 2017 – Juli 2108. Metode yang
digunakan dalam penelitian adalah metode survei. Lokasi penelitian di Perairan
Desa Pengudang Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau.
Gambar 1. Lokasi Penelitian dan titik stasiun penelitian
Alat dan bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah gps, roll meter,
transek kuadrat 1m x 1m, corer, mikroskop, saringan bentos, pinset, kaca objek,
multitester, salt meter, kamera, lugol 4%, aquades, plastik, kertas label, lamun dan
meiofauna.
Penentuan titik sampling penelitian dan parameter lingkungan
Penentuan titik sampling dalam penelitian ini menggunakan metode purposive
sampling yaitu penentuan lokasi berdasarkan pertimbangan tertentu. Sehingga di
dapat 3 stasiun penelitian berdasarkan pertimbangan tingkat kerapatan lamun yang
mengacu pada penelitian Susanti (2015). Stasiun (i) di daerah dermaga dan resort
4
serta daerah pemukiman, stasiun (ii) di daerah konservasi dan DPPL dan stasiun
(iii) daerah dekat dengan pulau sumpat dan masih dipengaruhi oleh air sungai.
Penentuan sampling parameter lingkungan dilakukan dimasing- masing stasiun
dengan tiga kali pengulangan.
Pengamatan lamun
Sampling lamun dilakukan di 3 stasiun dengan metode Line Transect Quadrant
(Garis Transek). Pada titik stasiun dilakukan dengan menarik garis tegak lurus
mulai dari arah pantai awal ditemukan lamun sampai sepanjang 100 meter kearah
tengah laut. Pada setiap stasiun terdapat 3 garis transek jarak antar transek 100
meter sehingga jumlah keseluruhan 9 transek. Pengamatan lamu dilakuan dengan
cara menempatkan plot berukuran 1x1 meter. Kategori Kerapatan lamun mengacu
pada Haris dan Gosari (2012), kerapatan lamun tergolong rapat/lebat dengan
jumlah ≥ 175 ind/m2. Kerapatan lamun yang tergolong sedang/ kurang padat
merupakan kerapatan lamun dengan jumlah 75- 175 ind/m2, dan tergolong
kerapatan lamun yang sedikit/ jarang merupakan kerapatan lamun dengan jumlah
tegakan < 75 ind/m2.
Pengambilan sampel meiofauna dan parameter lingkungan
Pengambilan sampel dilakukan berdasarkan surut terendah dari pasang surut air
laut. Sampling dilakukan pada 3 stasiun yaitu di lamun dengan kerapatan padat,
sedang dan jarang. Pengambilan dilakukan dengan cara membenamkan pipa
paralon panjang total 20 cm dengan diameter 2 inchi (5,08 cm) kedalam substrat
lamun hingga kedalaman 10 cm. Sampel yang udah didapat diberi lugol 4%
kemudian dilakukan proses sortir dengan sampel disaring dengan saringan mesh
1mm dan identifikasi dengan menggunakan mikroskop. Pengambilan sampel
5
parameter lingkungan meliputi suhu, salinitas, derajat keasaman (pH), dan
oksigen terlarut (DO).
Kelimpahan
Kelimpahan meiofauna interstisial ditentukan dengan menghitung jumlah
individu dalam satuan luas, (Odum 1971 in Trisnawati 2012).
Dimana :
Y = Kelimpahan meiofauna (ind/m2)
a = Jumlah meiofauna yang dihitung (individu)
b = Luas lingkaran corer (cm2)
Nilai 10.000 adalah nilai konvensi dari cm2 ke m2
Indeks Keanekaragaman (H’)
Nilai indeks keanekaragaman meiofauna interstisial ditentukan rumus indeks
Shannon-Winner (Zulkifli 2008).
Dimana :
H’ = indeks keanekaragaman Shannon- Wienner
ni = jumlah individu genus ke- i
N = jumlah total individu dalam komunitas
Kisaran indeks keanekaragaman (H’) dapat diklasifikasikan sebagai berikut,
(Fachrul 2007):
H' < 1 = Keanekaragaman rendah, miskin, produktivitas sangat rendah
sebagai indikasi adanya tekanan yang berat dan tidak stabil
1<H’ < 3 = Keanekaragaman sedang, produktivitas cukup, kondisi ekosistem
cukup seimbang, tekanan ekologis sedang
6
H’ >3 = Keanekaragaman tinggi, produktivitas tinggi, stabilitas ekosistem
tinggi, tahan terhadap tekanan ekologis
Indeks Keseragaman (E)
Indeks keseragaman digunakan untuk mengetahui pola penyebaran individu
tiap taksa.Untuk indeks keseragaman menggunakan rumus (Fachrul 2007).
Dimana :
E = Indeks Keseragaman
H’ = keanekaragaman Shannon- Wienner
H’max = Keseragaman maksimum (ln S)
S = Banyak taksa (jumlah individu yang ditemukan)
Indeks ini menunjukkan pola sebaran biota yaitu merata atau tidak. H’maxakan
terjadi apabila ditemukan dalam suasana dimana semua spesies adalah melimpah.
Adapun, nilai E kisaran antara 0 dan 1 yang mana nilai 1 menggambarkan suatu
keadaan di mana semua spesies cukup melimpah.
Indeks Dominansi (D)
Indeks dominansi digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya dominansi
dari jenis tertentu. Rumus yang digunakan indeks Simpson, (Fachrul 2007).
Dimana :
D = Indeks dominansi
ni = Jumlah individu dari jenis ke-i
N = Jumlah total individu
Nilai indeks dominasi berkisar antara 0 hingga 1.Jika indeks dominasi
mendekati 0 berarti hampir tidak ada taksa yang mendominasi dan biasanya
7
diikuti dengan indeks keseragaman yang besar. Apabila indeks dominasi
mendekati 1 berarti ada salah satu taksa yang mendominasi dan diikuti dengan
nilai keseragaman yang semakin kecil, (Trisnawati 2012).
Analisis Data
Penyajian data dalam bentuk tabel, gambar dan grafik. Kemudian di analisis
dengan deskriptif berdasarkan hasil pengolahan kelimpahan, indeks
keanekaragaman, indeks dominansi dan indeks keseragaman. Untuk melihat
keterkaitan hubungan kerapatan lamun dengan kelimpahan meiofauna interstisial,
di analisis dengan menggunakan uji korelasi dan uji signifikansi ( uji t) dua arah
menggunakan metode korelasi person dengan bantuan bantuan software SPSS
versi 16.0. Tujuanya untuk melihat apakah ada hubungan korelasi antara
kerapatan lamun dengan kelimpahan meiofauna serta untuk melihat seberapa
besar tingkat korelasi dan tingkat signifikansi keduanya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kerapatan lamun
Hasil pengamatan dan komposisi lamun disajikan pada tabel 1. Dari hasil
pengamatan diperoleh 5 spesies lamun yaitu Enhallus accoroides, Thalassia
hemprichi, Syringodium isoetifolium, Cymodocea serullata dan Halodule
uninervis.
Tabel 1. Hasil pengamatan kerapatan lamun perairan Desa Pengudang
No. Spesies
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
Ni
KR
(%) Ni
KR
(%) ni
KR
(%)
1. Cymodocea serrulata 167 7.2 62 3.2 14 2.0
2. Enhalus accoroides 512 22.0 446 29.6 - -
3. Halodule uninervis 934 40.2 736 48.9 394 58.3
4. Syringodium isoetifolium 329 14.1 161 9.3 - -
5. Thalassia hemprichii 378 16.3 157 8.7 267 39.5
8
Jumlah Individu 2320 1562 675
Kerapatan (ind/m2) 258 173 75
Hasil penelitian nilai kerapatan stasiun 1 total 258 ind/m2 kategori rapat,
stasiun 2 nilai kerapatan 173 ind/m2 kategori sedang, dan stasiun 3 nilai kerapatan
75 ind/m2 kategori rendah. Menurut Haris dan Gosari (2012), kerapatan lamun
tergolong rapat/lebat dengan jumlah ≥ 175 ind/m2. Kerapatan lamun yang
tergolong sedang/ kurang padat merupakan kerapatan lamun dengan jumlah 75-
175 ind/m2, dan tergolong kerapatan lamun yang sedikit/ jarang merupakan
kerapatan lamun dengan jumlah tegakan < 75 ind/m2.
Kelimpahan Meiofauna dan Indeks ekologi
Hasil perhitungan kelimpahan meiofauna interstisial di perairan Desa
Pengudang dapat di lihat pada tabel 2 dibawah ini.
Tabel 2. Kelimpahan meiofauna interstisial di perairan Desa Pengudang
No.
Jenis
Tingkat Kerapatan lamun
Padat Sedang Rendah
1. Allomorphina trigona 15 - -
2. Ammonia beccarii 242 49 39
3. Ammobaculites sp. 1144 404 99
4. Anomalina ammonoides 355 168
5. Anomalia bengalensis 582 676
6. Asterigerinella gallowayi 355 - 49
7. Botellina labyrinthica 459 404 49
8. Bulimina madagascariensis 10 20 -
9. Cornuspira involvens 10 25 -
10. Dorothia pseudoturris 89 59 158
11. Eggerelloides scaber 202 261 79
12. Globobulmina turgid 35 10 10
13. Orbulina parva 10 5 -
14. Peneroplis pertusus 730 666 133
15. Peneroplis sp. 49 35 -
16. Plectrofrondicularia helenae 429 10 49
17. Reophax fusiformis 39 69 10
9
18. Reophax speciosus 755 178 74
19. Rhabdammina abbyssorum 10 44 10
20. Rhabdammina discrete 49 - 39
21. Rosalina amaliae 49 59 59
22. Sigmamiliolinella australis 20 20 35
23. Spirophtaldium acutimargo 39 20 20
24. Syringammina fragilissima 247 128 10
25. Technitella thompsoni 148 39 74
26 Textularia pseudogramen 242 538 163
27. Triloculina sp. 385 20 94
28. Desmoscolex abbyssorum 907 173 44
29. Desmoscolex sp. 547 281 49
30. Enoplus sp 79 20 -
31. Nematoda sp. 104 20 69
32. Cladocera sp. 69 39 74
33. Diastylis laevis 5 - 25
34. Ostracoda sp. 89 25 25
35. Laubieriopsis cabiochi 192 69 89
36. Limmenius porcellus 94 5 15
37. Kinorhyncha sp. 30 - -
Jumlah Kelimpahan (Ind/m2) 8813 4537 1874
Pada stasiun 1 dengan kerapatan lamun tinggi menunjukkan nilai kelimpahan
tertinggi sebesar 8813 ind/m2, selanjutnya terjadi penurunan nilai kelimpahan
pada stasiun 2 dan 3 dengan kerapatan lamun sedang sebesar 4537 ind/m2, dan
kerapatan lamun rendah sebesar 1874 ind/m2.
Tabel 3. Indeks ekologi meiofauna berdasarkan kerapatan lamun yang berbeda
Stasiun Indeks Nilai Indeks Kategori
Keanekaragaman (H’) 3.0091 Tinggi
1 Dominansi (C) 0.0644 Rendah
Keseragaman (E) 0.8333 Tinggi
Keanekaragaman (H’) 2.7542 Sedang
2 Dominansi (C) 0.0873 Rendah
Keseragaman (E) 0.7947 Tinggi
Keanekaragaman (H’) 3.1657 Tinggi
3 Dominansi (C) 0.0490 Rendah
Keseragaman (E) 0.9308 Tinggi
10
Hasil perhitungan nilai indeks pada setiap stasiun penelitian nilai indeks yang
berbeda-beda berkisar antara 2.7542 – 3.1657 secara keseluruhan berkategori
tinggi namun stasiun 2 berkategori sedang. Secara keseluruhan nilai ini
menunjukkan kondisi dari komunitas meiofauna interstisial didaerah ini dalam
keadaan baik dan masih tergolong stabil. Lingkungan pesisir yang alami,
komunitasnya cenderung memperlihatkan keanekaragaman yang tinggi, tidak ada
dominansi oleh jenis tertentu, dan pembagian jenis yang hampir merata dalam
area, (Sabrianto 2018).
Parameter Lingkungan
Tabel 4. Parameter Lingkungan Perairan Desa Pengudang
Parameter
Satuan
Kerapatan Lamun
Padat Sedang Rendah
Suhu oC 29.6 30.3 29.8
Salinitas ‰ 30.8 30.1 30.8
Ph - 7.2 7.0 7.0
DO mg/L 7.9 7.7 7.9
Berdasarkan hasil pengukuran parameter lingkungan pada kerapatan lamun
padat, sedang, dan jarang, suhu air berkisar 29-30 oC, salinitas 30 ‰, pH 7.0-7.2
dan DO 7.7-7,9 mg/L. Secara keseluruhan nilai parameter lingkungan di perairan
desa pengudang menunjukkan lokasi ini mendukung untu kehidupan dan
perkembangan meiofauna.
Menurut Hariyati ( 2007) Suhu optimum perkembangan meiofauna adalah
berkisar 20-30 oC. Meiofauna dapat hidup dengan keragaman yang tinggi
diperairan yang berbeda mulai perairan air tawar, payau hingga laut, (Erliyanda
et.al. 2014). Pada lapisan sedimen yang oksik terdapat organisme meiofauna yang
11
berlimpah, sedangkan dilapisan anoksik terdapat meiofauna tertentu yang dapat
hidup dalam keadaan anaerob (Natsir, 2010).
Hubungan kerapatan lamun dengan kelimpahan meiofauna interstisial
Gambar 2. Kerapatan lamun dengan kelimpahan meiofauna
Hasil Perhitungan Pada stasiun 1 yang memiliki kerapatan lamun tinggi
menunjukkan nilai sebesar 8813 ind/m2 meiofauna, kemudian terjadi penurunan
kelimpahan pada stasiun 2 dengan tingkat kerapatan lamun sedang sebesar 4537
ind/m2
meiofauna, selanjutnya terjadi penurunan nilai kelimpahan kembali pada
stasiun 3 yang memiliki tingkat kerapatan lamun rendah sebesar 1874 ind/m2.
Menurut Zulkifli (2008), dinamika komunitas meiofauna di habitat yang
bervegetasi lamun sangat bergantung pada musim dan siklus pertumbuhan serta
pembusukan serasah dari vegetasi ini. Daun, rhizome, dan akar lamun dapat
menyediakan sejumlah habitat dan tempat perlindungan yang penting bagi
meiofauna. Meiofauna dalam komunitas bentik dapat melimpah karena adanya
sumbangan detritus dari serasah tumbuhan, seperti serasah lamun dan serasah
mangrove. habitat sedimen yang ditumbuhi oleh vegetasi lamun dengan tingkat
deposit lumpur dan detritus yang tinggi, meiofauna nematoda merupakan
12
kelompok khas yang dominan. Sedangkan pada perairan yang makrofitanya lebih
bersih pada wilayah yang salinitasnya tinggi cenderung didominasi oleh taksa
copepod dan ostracoda, (Ruswahyuni 2008).
Tabel 5. Hasil analisis korelasi Bivariate Pearson
Correlations
kerapatan lamun
kelimpahan
meiofauna
kerapatan lamun Pearson Correlation 1 .991
Sig. (2-tailed) .085
N 3 3
kelimpahan meiofauna Pearson Correlation .991 1
Sig. (2-tailed) .085
N 3 3
Hasil analisis korelasi sederhana (r) didapat korelasi antara kerapatan lamun
dengan kelimpahan meiofauna (r) adalah 0,991. Hal ini menunjukkan bahwa
terjadi hubungan yang kuat/tinggi antara kerapatan lamun dengan kelimpahan
meiofauna. Sedangkan arah hubungan adalah negatif karena nilai r positif (+),
berarti hubungan variabelnya bersifat searah yang mana semakin tinggi kerapatan
lamun maka semakin tinggi pula kelimpahan meiofauna. Hasil uji signifikansi
koefisien korelasi sederhana (uji t) dua arah dengan tingkat signifikansi 0.05
menunjukkan hasil signifikansi lebih besar yaitu 0.08> 0.05 yang artinya tidak ada
hubungan yang signifikan antara kerapatan lamun dengan kelimpahan meiofauna.
Berdasarkan dari hasil yang didapat menunjukkan kerapatan lamun memiliki
pengaruh terhadap kelimpahan meiofauna interstisial namun hubungannya tidak
signifikan.
13
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, bahwa kelimpahan meiofauna
interstisial pada kerapatan lamun yang berbeda di temukan pada stasiun 1 lamun
padat yaitu 8813 ind/m2, pada stasiun 2 lamun sedang yaitu 4537 ind/m
2 dan pada
stasiun 3 lamun rendah yaitu 1874 ind/m2.
Dari hasil uji Bivariate Person atau uji korelasi sederhana tidak adanya
hubungan yang signifikan antara kerapatan lamun dengan kelimpahan meiofauna.
sehingga dapat disimpulkan kerapatan lamun memiliki pengaruh terhadap
kelimpahan meiofauna interstisial namun hubungannya tidak signifikan.
SARAN
Perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai fenomena pengaruh habitat
bervegetasi (lamun dan mangrove) dengan habitat yang tidak bervegetasi (barn
area) serta hal- hal yang mempengaruhi kehidupan meiofauna pada habitat yang
berbeda serta pengaruh musin terhadap kelimpahan meiofauna.
UCAPATN TERIMAKASIH
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada ibu Ita
Karlina, M.Si, dan bapak Chandra Joei Koenawan, M.Si. yang telah membimbing
dan membatu dalam penyusunan penulisan ini, serta keluarga dan teman teman
yang turut berpartisipasi dan penelitian dan dukungannya.
DAFTAR PUSTAKA
Fachrul, M.F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Askara. Jakarta.
Erliyanda, Sarong, M.A., Octavina, C. Distribusi dan Kelimpahan Meiofauna di
Perairan Kuala Jeumpa Kecamatan Jeumpa Kabupaten Bireuen. Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Kelautan dan Perikanan. Unsyia. 2 (1): 55.
14
Haris, A., Gosari, J.A. 2012. Studi Kerapatan dan Penutupan Jenis Lamun di
Kepulauan Spermonde Torani. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan. 22 (3):
256- 162.
Hariyati, R. 2012. Distribusi dan Kelimpahan Meiofauna di Hulu Sungai Code
Yogyakarta. Bioma. 9 (2): 34- 37.
Natsir, SM. 2010. Kelimpahan Foraminifera Resan pada Sedimen Permukaan di
Teluk Ambon. E- Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 2 (1): 10.
Ruswahyuni. 2008. Hubungan Antara Kelimpahan Meiofauna Dengan Tingkat
Kerapatan Lamun Yang Berbeda di Pantai Pulau Panjang Jepara. Jurnal
Saintek Perikanan. 1(4) :35-41.
Sabrianto, E.W. 2018.Hubungan Kedalaman Sedimen Terhadap Kelimpahan
Meiofauna di Pesisir Desa Teluk Bakau. [Skripsi]. Universitas Maritim Raja
Ali. Tanjungpinang.
Susanti, D. 2015. Struktur Komunitas dan Valuasi Ekonomi Ekosistem Padang
Lamun di Kawasan Konservasi Perairan Daerah Desa Pengudang Kecamatan
Teluk Sebong Kabupaten Bintan. [Skripsi]. Universitas Maritim Raja Ali Haji.
Tanjungpinang.
Trisnawati, N. 2012. Struktur Komunitas Meiofauna Intertisial di Substrat Padang
Lamun Pulau Pari Kepulauan Seribu. [Skripsi]. Universitas Indonesia. Depok.
Zulkifli.2008. Dinamika Komunitas Meiofauna Intertisial di Perairan Selat
Dompak Kepulauan Riau. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.