KOMPILASI DISKUSI “DARURAT PEMILU 2019” dan Peluncuran...

24
1 KOMPILASI DISKUSI “DARURAT PEMILU 2019” dan Peluncuran buku PANDUAN LENGKAP PEMILU 2019 Gedung Pakarti Centre Jl. Tanah Abang III No. 23-27 Jakarta Selasa, 27 September 2018 MC: Subiyanto SP Sambutan Direktur Eksekutif CSIS, Dr. Philips J. Vermonte Sambutan Ketua Yayasan FORMAPPI INDONESIA, Agustina Supriyani Kardono sekaligus meluncurkan buku diberikan kepada: 1. Bapak Harry Tjan Silalahi 2. Bapak Albert Hasibuan 3. Bapak Philips J. Vermonte 4. Ibu Lena Maryana 5. Bapak Ray Rangkuti 6. Bapak Arya Fernandes 7. Bapak Arief Budiman. Dilanjutkan Diskusi tentang “DARURAT PEMILU 2019” dengan Moderator M. Djadijono (Peneliti Senior FORMAPPI). Diskusi dihadiri oleh 78 peserta terdaftar dalam Daftar Hadir.

Transcript of KOMPILASI DISKUSI “DARURAT PEMILU 2019” dan Peluncuran...

1

KOMPILASIDISKUSI “DARURAT PEMILU 2019”

danPeluncuran buku

PANDUAN LENGKAP PEMILU 2019

Gedung Pakarti CentreJl. Tanah Abang III No. 23-27

JakartaSelasa, 27 September 2018

MC: Subiyanto SPSambutan Direktur Eksekutif CSIS, Dr. Philips J. VermonteSambutan Ketua Yayasan FORMAPPI INDONESIA, AgustinaSupriyani Kardono sekaligus meluncurkan buku diberikankepada:

1. Bapak Harry Tjan Silalahi2. Bapak Albert Hasibuan3. Bapak Philips J. Vermonte4. Ibu Lena Maryana5. Bapak Ray Rangkuti6. Bapak Arya Fernandes7. Bapak Arief Budiman.

Dilanjutkan Diskusi tentang “DARURAT PEMILU 2019” denganModerator M. Djadijono (Peneliti Senior FORMAPPI).Diskusi dihadiri oleh 78 peserta terdaftar dalam Daftar Hadir.

2

Pengantar Diskusi:

ASPEK-ASPEK KEDARURATANPEMILU SERENTAK 2019

Dihimpun oleh:M. DJADIJONO

Peneliti Senior FORMAPPI

Jika tidak ada aral melintang, pada hari Rabu, 17 April 2019, bangsaIndonesia akan melaksanakan Pemilihan Umum Serentak bagi para anggotaDPR, DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota, para anggota DPD serta Presiden- Wakil Presiden. Pemilu Serentak tersebut dilandaskan pada UU No. 7Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum diundangkan tanggal 16 Agustus2017 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 No. 182,Tambahan Lembaran Negara No. 6109. Biaya untuk menyelenggarakanPemilu tersebut sekitar Rp. 24,9 trilyun.

Untuk menyelenggarakan Pemilu 2019 tersebut, berjimbun persoalanbaik substansial maupun remeh temeh telah menghadang. Persoalan-persoalan tersebut sudah muncul sejak proses pembahasan RUU Pemilu diDPR tahun 2016-2017, proses pendaftaran Partai Politik Peserta Pemilu(Parpoltalu) pada Oktober 2017, penyusunan dan pemberlakuan PeraturanKomisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang syarat calon anggota DPR, DPRDdan DPD, sampai dengan tahapan penetapan Daftar Calon Sementara (DCS)pada Agustus 2018 dan penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada 5September 2018. Bertumpuk-tumpuk persoalan tersebut dapat dirinciseperti berikut:1. Pengehahan RUU Pemilu tertunda-tunda sampai 6 (enam) kali.2. Hasil verifikasi Parpoltalu oleh KPU digugat Parpol yang tidak lolos

menjadi peserta pemilu 2019. Konsekuensinya, Parpoltalu tingkatnasional bertambah dari semula 14 menjadi 16 Parpol. Maksud penaikanparliamentary threshold dari 2,5% (tahun 2009) ke 3,5% (Tahun 2014)dan 4% (tahun 2019) untuk menyederhanakan jumlah Parpol PesertaPemilu tidak tercapai.1 Sekalipun begitu, terdapat Parpol-parpol tertentu

1 Untuk diingat: pada Pemilu 1999 diikuti 48 Parpol dan yang lolos di Parlemen ada21 Parpol. Pada Pemilu 2004 diikuti oleh 24 Parpol yang lolos ke DPR ada 16Parpol. Pemilu 2009 diikuti oleh 38 partai politik. Ketentuan electoral threshold padapemilu sebelumnya dihapus dan diganti dengan parliamentary threshold sebesar 2,5persen. Dari 38 partai, hanya 9 yang lolos parliamentary threshold dan berhak mendapatkursi di DPR. Pemilu 2014 diikuti oleh 12 partai. Dari 12 partai itu, hanya 10 partaiyang memenuhi parliamentary threshold sebesar 3,5 persen perolehan suara sahnasional untuk DPR-RI. Pemilu 2019 diikuti oleh 16 Parpol dengan parliamentary

3

yang tidak mampu mengajukan jumlah maksimal daftar calon anggotaDPR dan DPRD Provinsi, Kabupaten serta Kota di seluruh daerahpemilihan (dapil). Berdasarkan Keputusan KPU No. 1129/PL.01.4-Kpt/06/lX/2018 tertanggal 20 September 2018 tentang Daftar CalonTetap Anggota DPR Pemilu Tahun 2019, KPU menetapkan DCT AnggotaDPR sebanyak 7.968 calon.

Perbandingan DCS dan DCT DPR-RI 2019

No.UrutParpolPesertaPemilu

NamaParpol DCS DCT

Keterangan

JumlahCaleg

JumlahDapilBercaleg

JumlahCaleg

JumlahDapilBercaleg

1 PKB 575 80 575 80 Maksimal2 Gerindra 575 80 569 79 <Maksimal3 PDI-P 575 80 573 80 <Maksimal4 Golkar 575 80 574 80 <Maksimal5 Nasdem 575 80 575 80 Maksimal6 Garuda 375 80 225 80 <Maksimal7 Berkarya 575 80 554 80 <Maksima;8 PKS 538 80 533 80 <Maksimal9 Perindo 575 80 568 80 <Maksimal10 PPP 557 80 554 80 <Maksimal11 PSI 575 80 574 80 >Maksimal12 PAN 575 80 575 80 Maksimal13 Hanura 559 80 427 79 <Maksimal14 Demokrat 574 80 573 80 <Maksimal19 PBB 415 80 382 80 <maksimal20 PKPI 177 77 137 61 <Maksimal

Parpol, yang mampu mengajukan jumlah maksimal (575) caleg DPR-RIdi 80 dapil hanya ada 3 dari 16 Parpol yaitu: PKB. Nasdem dan PAN.Partai-partai lama seperti PPP, Golkar, PDI-P, PKS, Gerindra, Demokrat,Hanura, PBB dan PKPI tidak mampu menyediakan jumlah maksimal

threshold sebesar 4% suara sah nasional untuk Pemilu DPR-RI. Jumlah Parpolyang lolos ke DPR ….?

4

calon. Dua Parpol lama yang lolos belakangan (PBB dan PKPI) hanyamampu mengajukan 382 dan 137 caleg DPR-RI. Lebih dari itu, PKPIhanya mampu menyediakan calon di 61 dapil. Sementara itu Parpol baru(belum pernah mengikuti Pemilu) yakni Partai Garuda hanya mampumenyediakan caleg sebanyak 225 orang.

Fakta-fakta ini sesungguhnya membuktikan bahwa parpol-parpoltertentu tidak siap mengikuti Pemilu 2019 sekaligus menunjukkankebenaran keputusan KPU pada November 2017 atas hasil verifikasiterhadap Parpol Peserta Pemilu 2019. Pertanyaan yang masihmenggelayut adalah: apakah semua peserta Pemilu 2019 siap menangdan siap kalah?

3. Di tengah proses verifikasi syarat Calon anggota DPD yang diatur dalamUU Pemilu dan Peraturan KPU tengah mendekati final, pada 23 Juli2018, gugatan Muhammad Hafidz ke Mahkamah Konstitusi atasketentuan Pasal 182 huruf i Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017tentang Pemilihan Umum terhadap UUD 1945 dikabulkan MahkamahKonstitusi (MK), yakni bahwa Pengurus Partai Politik dilarang menjadicalon anggota DPD pada Pemilu 2019.

4. Terkait persyaratan calon anggota DPR dan DPRD Provinsi, Kabupatendan Kota bukan mantan nara pidana korupsi yang diprakarsai oleh KPUmelalui PKPU No. 20/2018 ditentang oleh DPR, Bawaslu dan PemerintahDitengah. Beberapa mantan napi korupsi menggugat ke Bawaslu. Adapula yang menggugat PKPU No. 20/2018 ke Mahkamah Agung. Ditengah jalan, proses verifikasi kelengkapan syarat bakal calon anggotaDPR, dan DPRD Provinsi serta Kabupaten dan Kota yang telah diajukanoleh Partai Politik mendekati final, Pada 31 Agustus 2018 “tersandera”oleh keputusan Bawaslu yang membolehkan mantan napi korupsimenjadi caleg 2019 karena PKPU dinilai bertentangan dengan ketentuandalam UU No. 7/2017.

5. “Ijin” Bawaslu bagi mantan napi korupsi menjadi caleg seolah mendapatpenguatan dari Mahkamah Agung. Sebab melalui Putusan MA nomor 46P/HUM/2018 tertanggal 13 September 2018, mantan napi korupsi, bolehmencalonkan diri atau dicalonkan menjadi anggota legislative.Pertimbangan Mahkamah Agung dalam memutus perkara ini antara lainterkait hak dasar seseorang di bidang politik. "Hak memilih dan dipilihsebagai anggota legislatif merupakan hak dasar di bidang politik yangdijamin oleh konstitusi, yaitu Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945."Dengan demikian PKPU No. 20/2018 yang antara lain berisi larangan

5

mantan napi korupsi, bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadapanak menjadi batal demi hukum. Akibatnya terdapat 38 Calon AnggotaDPRD Provinsi dan Kabupaten Kota serta 3 orang Calon Anggota DPDmantan napi korupsi tetap masuk dalam DCT.

6. Pada 5 September 2018, KPU telah menetapkan jumlah Daftar PemilihTetap (DPT) di 34 Provinsi dan 514 Kabupaten/Kota serta 7.201Kecamatan dan 83.370 Kelurahan/Desa di seluruh Indonesia sebanyak185.732.093 terdiri atas 92.802.671 laki-laki dan 92.929.422perempuan. Mereka akan menggunakan hak pilih di 805.075 TPS.Jumlah DPT yang telah ditetapkan tersebut masih akan dikoreksi sampaidengan 16 September 2018. Terkait penetapan DPT oleh KPU tersebuttelah muncul 2 persoalan (potensi pemilih ganda dan masih adanyapenduduk belum masuk ke dalam DPT) seperti berikut:1). Pada 12 September 2018, Bawaslu memperkirakan DPT yang dirilis

KPU terdapat 2 juta pemilih ganda. Sebelum Bawaslu merilis masalahDPT, Sekjen PKS, Mustafa Kamal mengatakan bahwa pihaknyamenemukan 25 juta identitas ganda dari 137 juta pemilih yangterdaftar dalam Daftar Pemilih Sementara (DPS) milik KPU. Denganadanya temuan ini, mereka meminta KPU menunda penetapan DPThingga bersih dari pemilih ganda.

2). Pada 13 September 2018, Dirjen Kependudukan dan Catatan SipilKementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrulloh menyatakan bahwamasih ada sekitar 8 juta pemilih belum masuk ke dalam DPT. Merekaumumnya penduduk yang pada 17 April 2019 akan berusia 17 tahun.

7. Pada acara Deklarasi Kampanye Damai di Silang Monas, Minggu 23September 2018, Ketua Umum DPP Partai Demokrat, Susilo BambangYudhoyono walk out. Alasannya, menurut Sekjen DPP Partai Demokrat,Hinca Panjaitan karena KPU membiarkan dibawanya atribut-atributpartai dan relawan. Padahal aturan mainnya adalah hanya pakaian adatdan atribut yang boleh dibawa hanyalah yang disediakan KPU.

8. Hasil survei ahli yang dilakukan Pusat Penelitian Politik LIPI yang dirilispada 7 Agustus 2018 menyebutkan ada beberapa hal yang berpotensimenghambat pelaksanaan Pemilu 2019. Diantaranya adalah Politisasiisu Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan (SARA) serta identitas, politikuang, sengketa hasil pemilu, ketidaknetralan birokrasi, tidakmenggunakan hak suara, intimidasi dalam pemilu, dan penggunaankekerasan.

Kecuali itu, hasil survey LSI Denny JA yang dirilis 17 Juli 2018menyatakan bahwa dalam Pemilu Presiden dan Legislatif 2019,penggunaan isu bernuansa politik identitas yang bersifat negatif masih

6

menjadi momok. Bahkan survey LSI tersebut juga menunjukkanpenurunan dukungan public terhadap Pancasila. Di sisi lain terdapatpeningkatan dukungan masyarakat yang menginginkan Indonesiaberdasarkan NKRI bersyariah (Pro-NKRI bersyariah).

Berdasarkan pengalaman pelaksanaan Pilkada 2015, 2017 dan 2018,pada 21 September 2018, Direktur eksekutif Perkumpulan untuk Pemiludan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengungkap ada beberapadaerah yang berpotensi sebagai wilayah rawan isu suku, agama, ras danantar golongan (SARA) pada Pemilu 2019 yaitu: "DKI Jakarta, JawaBarat, Sumatra Utara dan Kalimantan Barat.

Hal-hal seperti diuraikan di atas kiranya merupakan elemen lain yangberpotensi mendaruratkan Pemilu 2019 yang memerlukan solusi agartidak merusak perhelatan demokrasi terakbar sepanjang sejarahperjalanan bangsa Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus1945 hingga saat ini.

9. Akhirnya, Pemilu sebagai sarana perebutan kekuasaan diantara parapesertanya, tidak mustahil akan terjadi penghalalan segala cara denganberbagai implikasi negatifnya.

10. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, tidak kelirukiranya jika dikatakan bahwa Pemilu Serentak 2019 berada dalamsituasi kedaruratan. Karena itulah perlu dicarikan jalan keluar yangsebaik-baiknya agar Pemilu 2019 menghasilkan para pemimpin yangamanah serta dapat membuat demokrasi “mengeyangkan perut rakyat,mencerdaskan kehidupan bangsa, menjamin kerukunan dalamkebhinekaan, menjamin stabilitas politik, ekonomi dan social budayaberdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta meningkatkan harkat danmartabat bangsa dan Negara Indonesia di mata dunia sebagai Negarayang demokrasinya matang.”

11. Guna mengelaborasi dan menemukan solusi bagi terhindarnyakemungkinan darurat Pemilu Serentak 2019 tersebut, FORMAPPIbekerjasama dengan Centre For Strategic and International Studiesmenyelenggarakan diskusi bertema “DARURAT PEMILU SERENTAK2019” dengan mengundang para nara sumber yang berkompetenseperti berikut:

1. Dr. Albert Hasibuan, SH, Anggota Dewan Penasihat Presiden BidangHukum dan HAM periode Januari 2012 – Oktober 2014 dengantopik “JAMINAN HAM DALAM PEMILU”

7

2. Arya Fernandez, Peneliti CSIS dengan topik “POLITISASI SARADALAM PEMILU 2019”

3. Ray Rangkuti, Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (Lima)dengan topik “NETRALITAS PENYELENGGARA PEMILU”

4. Lena Maryana, Caleg DPR-RI dari PPP dengan topik “KESIAPANPARPOL MENGHADAPI PEMILU 2019”

5. Arief Budiman, Ketua KPU RI dengan topik “SENGKETA HASILPEMILU”

6. I Made Leo Wiratma, Direktur Eksekutif FORMAPPI dengan topik“MENJELASKAN ISI BUKU PANDUAN LENGKAP PEMILU 2019”.

Diskusi dilaksanakan di Auditorium Gedung Pakarti Centre, Jl. TanahAbang III No. 23-27, Jakarta Pusat pada pukul 12:00 – 16:00,dimoderatori oleh M. Djadijono (Peneliti Senior FORMAPPI).

Jakarta, 27 September 2018

8

Liputan Media

Formappi: Ada persoalan serius pada Pemilu 2019Kamis, 27 September 2018 16:10 WIB

Ketua Yayasan Formappi, Agustina Supriyanti Kardono (ketiga dari kiri) berfoto bersamausai memberikan buku kepada para pembicara pada diskusi "Darurat Pemilu 2019" dan

launching buku "Panduan Lengkap Pemilu 2019" di Jakarta, Kamis (27/9/2018).(ANTARA/Foto: Riza Harahap)

Jakarta (ANTARA News) - Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia(Formappi) menengarai adanya persoalan serius pada proses pemilu 2019yang harus segera diatasi dan diselesaikan secara konprehensif.

9

"Kalau tidak dapat diatasi secara sungguh-sungguh maka dapat menimbulkankedaruratan dan bahkan dapat berpotensi terjadi situasi paling buruk yaknichaos," kata Ketua Yayasan Formappi, Agustina Supriyanti Kardono, padadiskusi "Darurat Pemilu 2019" dan launching buku "Panduan Lengkap Pemilu2019" di Jakarta, Kamis.

Tampil sebagai pembicara pada diskusi tersebut adalah, Anggota DewanPertimbangan Presiden tahun 2012-2014 Albert Hasibuan, Politisi PPP LenaMaryana, Aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat Lingkar Madani Indonesia(Lima) Ray Rangkuti, serta Direktur Eksekutif CSIS Philip J Vermonte.

Menurut Agustina Supriyanto Kardono yang akrab disapa Yayuk, salah satupotensi kedaruratan tersebut adalah maraknya penyebaran berita hoaks danujaran kebencian. Karena itu, kata dia, Formappi bersama CSIS melakukandiskusi untuk mencari masukan dan solusi dari berbagai sumber dari beragamlatar belakang.

Pada kesempatan tersebut, Formappi bekerja sama dengan CSIS jugameluncurkan berjudul "Panduan Lengkap Pemilu 2019".

Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS), PhilipJ Vermonte, menilai, buku "Panduan Lengkap Pemilu 2019" yang merupakankumpulan tulisan dari Formappi, sangat penting untuk kodifikasipenyelenggaraan pemilu. "Selama ini perhatian publik lebih terfokus padapemilu eksekutif, baik pemilu kepada daerah maupun pemilu presiden.Padahal, pemilu legislatif juga sangat penting untuk dicermati," katanya.

Menurut Philip, dalam buku "Panduan Lengkap Pemilu 2019", Formappimemaparkan secara jelas bagian-bagian dari penyelenggaraan pemilulegislatif, seperti, rekrutmen calon anggota legislatif, daerah pemilihan,besaran suara, dan konversi suara.

Penyelenggaraan pemilu, kata dia, memberikan dua efek kepada pemilihyakni efek psikologis serta efek mekenaik. "Efek psikologs terhadap pemilihmempengaruhi perilaku pemilih. Perilaku ini akan berbeda, pada pemilu tidakserentak dengan pemilu serentak saat ini," katanya. Sedangkan aspekmekanik, menurut dia, dapat memunculkan perilaku pemilih pada pemilu.Pewarta: Riza HarahapEditor: Ruslan BurhaniCOPYRIGHT © ANTARA 2018

10

Kamis 27 September 2018, 18:54 WIB

Pengamat Nilai Hasil Pemilu 2019 RentanManipulasi SuaraDwi Andayani – detikNews

Jakarta - Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti menilai hasil Pemilu2019 rentan akan manipulasi hasil perolehan suara. Pemilu 2019 juga dinilai rawan politikuang dan netralitas ASN.

"Sekarang ini darurat hasil pemilu, berdasarkan praktik politik uang, manipulasi, sertanetralitas ASN dan penyelenggara," ujar Ray Rangkuti dalam diskusi 'Darurat Pemilu 2019dan Launching Buku Panduan Lengkap Pemilu 2019' di auditorium CSIS, Jl Tanah Abang,Jakarta Pusat, Kamis (27/9/2018).

11

Ray mengungkapkan kecurangan dalam bentuk manipulasi pemungutan suara di Pemilu2019 sangat rawan. Untuk itu, KPU dituntut memperkuat pengawasan terhadap petugas. Halini agar tidak ada celah untuk potensi kecurangan.

"Manipulasi suara saat ini sangat sulit diatasi. Juga perolehan suara dengan surat suarayang bermacam-macam sangat sulit (diatasi)," kata Ray.

Baca juga: Tokoh Lintas Agama Serukan Pesan Pemilu Damai

"Sekarang bagaimana cara perkuatnya, perkuatnya di petugas KPU sehingga petugas KPPSdan lainnya itu tidak lagi punya celah. Salah satunya dengan menggunakan IT yangsekarang terlihat sehat," imbuhnya.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua KPU Arief Budiman mengatakan pihaknya telahmelakukan berbagai pencegahan. Salah satunya terkait politik uang.

"Dalam setiap kesempatan, tiga hal terus kita perangi, tidak boleh ada hoax, SARA,dan money politics. Mudah-mudahan semua bisa mengawasi hal ini," kata Arief.

Baca juga: Perolehan Suara Pilpres akan Dihitung Lebih Dulu Saat Pemilu2019

Arief juga mengatakan saat ini budaya politik uang dalam pemilu telah berubah. Menurutnya,saat ini caleg akan berpikir ulang untuk melakukan money politics.

"Dulu kulturnya peserta pemilu yang menggunakan money politics mencari pemilih, saat inipemilih yang mencari peserta pemilu untuk money politics. Jadi kalau dulu caleg nyari oranguntuk memberi uang, kalau sekarang caleg sudah mikir karena diberi banyak pun juga tidakakan laku," tutur Arief.

Baca juga: KPU: Surat Suara dari Dulu Pakai Warna untuk PermudahPetugas

Arief berharap seluruh peserta pemilu mengunggulkan visi-misi dan program. Nantinya, bilaada politik uang, akan terdapat sanksi bagi pemberi dan penerima.

"Masing-masing menggelorakan visi dan misi, program, yang harus digelorakan terus. Kalaubicara soal suap-menyuap, penerima dan pemberinya sekarang harus kita tangkap. Kitabikin malu semuanya, semoga tidak ada lagi," ucapnya.

12

(dwia/nvl, https://news.detik.com/berita/d-4232087/pengamat-nilai-hasil-pemilu-2019-rentan-manipulasi-suara).

CSIS: Politik Identitas Tidak Laku diPemilu 2019Jakarta - Peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS) AryaFernandes mengatakan politik identitas bakal tidak laku di Pemilu 2019. MenurutArya, baik di pileg maupun Pilpres nanti, politik identitas tidak akan berpengaruhbanyak untuk mendongkrak elektabilitas caleg atau pasangan calon presiden danwakil presiden.

"Politik identitas ini diprediksikan tidak akan bakal banyak berpengaruh secaraelektoral di pemili 2019," ujar Arya Fernandes di acara diskusi "Darurat Pemilu2019" di Kontor CSIS, Jakarta, Kamis (27/9).

Di Pileg 2019, kata Arya, politik identitas tidak terlalu banyak digunakan karenabeberapa faktor, antara lain komposisi caleg yang beragam, tingkat kontestasiyang ketat baik di internal maupun eksternal partai, dan fragmentasi politik ditingkat lokal.

"Selain itu, migrasi suara pemilih saat pileg juga tidak terlalu ekstrem, misalnyadari partai agama menjadi partai nasional," ungkap dia.

Sementara untuk Pilpres 2019, lanjut Arya, isu kontestasi antara kandidatsepertinya mulai bergeser menjadi isu ekonomi. Menurut Arya, isu ekonomiseperti harga sembako, kemiskinan dan lapangan kerja menjadi perhatian utamapemilih di Pilpres 2019.

"Isu Pilpres 2019 sudah bergeser ke isu ekonomi, politik identitas tidak laku lagi.Pemilih cenderung memilih pemimpin yang dianggap jujur atau anti-korupsi,sederhana dan mampu membawa perubahan dibandingkan pemimpin yang taatberagama," ungkap dia.

13

Arya menilai jika isu politik identitas efektif dan benar-benar bekerja, seharusnyaberpengaruh signifikan terhadap perolehan suara calon presiden. Menurut dia,seharusnya dalam tiga tahun terakhir, ada calon mendapat kenaikan suara yangsignifikan dan ada calon yang suaranya turun drastis.

"Tetapi nyatanya kan tidak. Dalam tiga tahun terakhir suara Jokowi relatifmengalami kenaikan namun sangat landai. Sementara suara Prabowo Subiantomengalami stagnasi. Sejak tahun 2015 hingga 2017, suara Jokowi berada pasakisaran 35-50 persen dan suara Prabowo 25-30 persen," terang dia.

Dalam survei CSIS, memang terlihat perolehan suara Jokowi dari 36,1 persen ditahun 2015, 41,9 persen di tahun 2016 menjadi 50,9 persen di tahun 2017.Sementara perolehan suara Prabowo di tahun 2015 berada di angka 28 persen,turun di tahun 2016 pada angka 24,3 persen dan kembali naik pada tahun 2017 diangka 25,8 persen.

Fakta lain yang menunjukkan jika politik identitas tidak efektif di Pemilu 2019adalah preferensi pilihan massa aksi 212 yang justru terdistribusi ke banyakpartai dan kedua capres. Suara dari massa aksi 212, kata dia, sebanyak sekitar 6persen dari 5 provinsi, yakni Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, SumateraUtara dan Sulawesi Selatan.

"Dukungan massa aksi 212 kepada Jokowi berada di Provinsi Jatim, Jateng danSulsel. Sementara dukungan massa aksi 212 yang preferensi politiknya kePrabowo dari Jabar dan Sumut," pungkas dia.(http://www.beritasatu.com/politik/513146-csis-politik-identitas-tidak-laku-di-pemilu-2019.html_

KPU Diminta Awasi Petugas Pemungutan SuaraFaisal Abdalla • Kamis, 27 Sep 2018 19:38 WIB

Jakarta: Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima), Ray Rangkuti menilaihasil pemilu 2019 rawan dimanipulasi. Komisi Pemilihan Umum (KPU)diminta memperkuat pengawasan terhadap jajarannya.

"Sekarang ini darurat hasil pemilu, berdasarkan praktik politik uang,manipulasi, netralitas ASN dan penyelenggara pemilu," kata Ray dalamsebuah diskusi bertajuk 'Darurat Pemilu 2019' di Auditorium CSIS, JalanTanah Abang III, Jakarta Pusat, Kamis, 27 September 2018.

14

Ray mengatakan pada pemilu serentak 2019 yang menggunakan limalembar surat suara membuat manipulasi hasil pemilu semakin sulitdideteksi. Untuk itu perlu pengawasan yang kuat dari KPU untukmemastikan jajaran dibawahnya tidak terlibat manipulasi hasil pemilu.

"Sekarang bagaimana cara perkuatnya, perkuatnya di petugas KPUsehingga petugas KPPS (kelompok panitia pemungutan suara) dan lainnyaitu tidak lagi punya celah. Salah satunya dengan menggunakan IT yangsekarang terlihat sehat," tuturnya..

Sementara itu, terkait politik uang, Ketua KPU Arief Budiman mengatakanpihaknya sudah melakukan berbagai upaya pecegahan. Namun, diaoptimistis saat ini caleg sudah tidak tertarik menggunakan politik uangdalam pemilu.

"Dulu culturnya peserta pemilu yang menggunakan money politic mencaripemilih, saat ini pemilih yang mencari peserta pemilu untuk money politic.Jadi kalau dulu caleg mencari orang untuk memberi uang, kalau sekarangcaleg sudah mikir karena diberi banyak pun juga tidak akan laku," tuturArief.

Namun begitu, Arief meminta semua pihak terlibat mengawasi jalannyapemilu. Peserta pemilu juga diminta mengedepankan adu gagasan untukmeraih simpati masyarakat.

"Masing-masing menggelorakan visi dan misi program, yang harusdigelorakan terus. Kalau bicara soal suap menyuap penerima danpemberinya sekarang harus kita tangkap, kita bikin malu semuanya,semoga tidak ada lagi," tukasnya.(http://news.metrotvnews.com/read/2018/09/27/933953/kpu-diminta-awasi-petugas-pemungutan-suara).

15

KPU Dorong Pembentukan Mahkamah KhususSengketa PemiluFaisal Abdalla • Jumat, 28 Sep 2018 04:15 WIB

Ketua KPU Arief Budiman . (Medcom.id/Faisal)

Jakarta: Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendorong segera dibentuknya mahkamah khususyang menangani sengketa pemilu. Hal ini untuk mengakomodir penanganan sengketa pemiluagar tidak menganggu tahapan pemilu.

Ketua KPU Arief Budiman menceritakan, tahapan panjang yang dilalui KPU dalammenyelenggarakan pemilu serentak 2019. Menurutnya sejak awal tahapan dimulai, KPUmenemui banyak hambatan, salah satunya karena banyaknya putusan sengketa yang terlambat.

"Saya selalu melihat pemilu ini adalah pemilu yang terlambat, bukan pemilu yang darurat," kataArief dalam sebuah diskusi bertajuk 'Darurat Pemilu 2019' di Auditorium CSIS, Jalan TanahAbang III, Jakarta Pusat, Kamis, 27 September 2018.

16

Dia mencontohkan, sejak awal KPU terlambat menerima undang-undang nomor 7 tahun 2017tentang Pemilu yang dijadikan landasan dalam penyelenggaraan pemilu serentak. Belum lagi adaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang saat itu juga mewajibkan seluruh partai politik pesertapemilu diverifikasi ulang.

Tak sampai di situ, tahapan pemilu 2019 juga sempat terhambat karenasejumlah partai politik yang sempat dinyatakan tidak memenuhi syaratberdasarkan verifikasi faktual mengajukan sengketa ke Badan PengawasPemilu (Bawaslu).

"Bagian dari sengketa yang pertama muncul dan sangat merepotkan kitaadalah sengketa penetapan verifikasi parpol peserta pemilu. Masih adasengketa di Bawaslu, lalu ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara)," kataArief.

Arief juga turut mengkritisi putusan Mahkamah Agung (MA) yangmebatalkan larangan eks napi korupsi nyaleg dan putusan MK terkaitlarangan pengurus parpol mencalonkan diri sebagai anggota DPD.

Dia menilai, putusan-putusan itu terlambat lantaran diketok setelah masapendaftaran berakhir. Akibatnya sejumlah pihak kini mengajukan sengketake Bawaslu karena menganggap KPU melakukan pelanggaran.

"Sekarang sedang disengketakan lagi di Bawaslu karena KPU menjalankanputusan MK yang oleh sebagian pihak, KPU dianggap salah membacaputusan MK. Terus berlanjut ini, karena putusan-putusan yang terlambat.Sebetulnya kalau putusan MK itu keluar sebelum pendaftaran dimulai kitabisa deteksi dini," tukasnya.

Meski begitu, Arief menganggap sengketa-sengketa yang diajukan sejumlahpihak terhadap KPU sebagai sesuatu yang wajar. Namun begitu, diamengatakan perlu segera dibentuk mahkamah khusus yang menanganiperkara pemilu agar setiap sengketa yang diputus tidak menghambat prosestahapan pemilu yang sedang berjalan.

"Pencari keadilan, sering kali mencari peluang di manapun. Termasuk kekepolisian dan DKPP, padahal tidak ada hubungannya. Ke depan, sistempenyelesaian sengketa pemilu harus lebih simpel dan harus ada mahkamahkhusus untuk penyelesaian sengketa pemilu," tandasnya.(LDS, http://news.metrotvnews.com/read/2018/09/28/934065/kpu-dorong-pembentukan-mahkamah-khusus-sengketa-pemilu).

17

PPP: Pileg 2019 Rawan KecuranganLuar BiasakumparanNEWS

Kamis 27 September 2018 - 15:46

Lena Maryana Mukti (Foto: Paulina Herasmaranindar/kumparan)

Bawaslu menyebut potensi kecurangan yakni terjadinya politik uang dalamPemilu 2019 sangat tinggi. Bahkan menurut Indeks Kerawanan Pemilu(IKP) 2019 yang dirilis Bawaslu, sebanyak 176 dari 514 kabupaten/kotamemiliki tingkat kerawanan tinggi terhadap politik uang.

Ketua DPP PPP Lena Maryana Mukti tak menampik hal tersebut. Pilpresdan Pileg yang digelar bersamaan menurutnya bisa berpotensimenimbulkan kecurangan yang masif. Sebab saat ini publik dan mediasangat fokus pada gelaran Pilpres sehingga tidak memantau Pileg.

“Dari pemberitaan saja, dunia ini diramaikan Pilpres, sedikit sekali soalPileg. Yang kami khawatirkan terjadi kecurangan yang luar biasa (di Pileg),

18

yang mengawasi Pileg menjadi loose (longgar). Itu berpotensimenghasilkan pemilu yang tidak jujur,” kata Lena dalam diskusi bertajuk'Darurat Pemilu 2019' di kantor CSIS, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis(27/9).

Turut hadir dalam diskusi tersebut Ketua KPU Arief Budiman, Peneliti CSISArya Fernandes, Wantimpres Albert Hasibuan, dan Direktur EksekutifFormappi Made Leo Wiratma.

Terlebih, kata Lena, ketidaksiapan menghadapi Pileg juga bisa membuatparpol menghalalkan segala cara untuk lolos ke parlemen. Apalagi,ambang batas parlemen pada Pileg 2019 nanti naik dari 3,5 persen menjadi4 persen.“Partai ini baru bekerja dan konsentrasi pada Pilkada di 171 daerah pada2017 lalu. Sehingga mendekati Pileg partai kurang siap karena sumberdaya yang ada dan problem internal," kata Leni.

Kekhawatiran tidak lolos parlemen itu juga menghinggapi PPP. Meskidemikian Lena yakin dengan kesolidan kader dan kualitas caleg yangdisodorkan kepada pemilih mampu membuat PPP lolos ke DPR.

“Ini yang dikhawatirkan partai politik. Ini yang kami anggap darurat juga,PPP masuk parlemen lolos threshold apa enggak. Tapi kami punyakeyakinan PPP mudah-mudahan bisa menembus ambang batas 4 persen,”pungkasnya.( https://kumparan.com/@kumparannews/ppp-pileg-2019-rawan-kecurangan-luar-biasa-1538037501894091286).

19

DARURAT PEMILU 2019Penulis:Media IndonesiaPada: Kamis, 27 Sep 2018, 17:56 WIB FOTO

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman (kedua kanan)didampingi Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti(kanan), anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) 2012-2014Albert Hasibuan (kedua kiri) dan politisi PPP Lena Maryana berbicara dalamdiskusi Darurat Pemilu 2019 di kantor CSIS, Tanah Abang, Jakarta, Kamis(27/9). Berdasarkan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) 2019 yang dirilisBawaslu, sebanyak 176 dari 514 kabupaten/kota memiliki tingkatkerawanan tinggi terhadap politik uang. MI/SUSANTO(http://mediaindonesia.com/galleries/detail_galleries/8790-darurat-pemilu-2019).

20

Isu Agama Dianggap Tak Laku Lagi di Pilpres2019TEMPO.CO | 27/09/2018 17:44

TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Centre for Strategic and International Studies(CSIS), Arya Fernandes, memprediksi isu-isu identitas yang berkaitandengan agama, suku, dan ras dalam pemilihan presiden atau Pilpres2019 tak laku lagi. Bila dibandingkan dengan Pemilihan Gubernur DKI 2017lalu, masing-masing kubu memiliki inovasi isu untuk saling menyerangsecara politik.

Baca: Pesan Prabowo untuk Go Prabu: Jangan Merusak Golkar

"Mengapa isu identitas tidak dimainkan, karena sekarang nyaris isu ituvariabelnya tak sekuat waktu Pilgub DKI," ujar Arya saat ditemui seusaidiskusi Darurat Pemilu 2019 di Auditorium Centre for Strategic andInternational Studies (CSIS), Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis, 27September 2018.

Menurut Arya, masing-masing kubu mulai sadar bahwa efek isu politikidentitas tidak cukup kuat mendulang suara. Buktinya, ujar dia, selamatiga tahun, elektabilitas Joko Widodo dan Prabowo Subianto cukup stagnanmeski isu sensitif itu sempat dimainkan.

Dalam survei yang dihimpun CSIS, Jokowi mendulang suara 50,9 persenpada 2017. Angka ini naik dari dua tahun sebelumnya. Namun, takterlampau signifikan. Data elektabilitas Jokowi pada 2015 dan 2017berturut-turut adalah 36,1 persen dan 41,9 persen.

Adapun angka elektabilitas Prabowo juga turut tak terkerek tajam. Pada2015, mantan Denjen Kopassus itu memiliki pendukung 28 persen. Lantaspada 2016 berjumlah 24,3 persen dan pada 2017 ialah 25,8 persen.

Baca: Jokowi Minta Caleg PPP Perkuat Serangan Darat

Bila isu politik identitas eksis berpengaruh terhadap suara pemilih, ujarArya, tak mungkin suara kedua calon presiden ini landai dalam tiga tahun.Arya menduga ada isu lain yang lebih menarik dimainkan ketimbang soalagama, ras, atau suku.

21

"Isu ekonomi saya rasa lebih signifikan efeknya," ujar Arya. Pergeseran initerjadi karena tren konsentrasi publik berubah. Kini, orang lebih rasionalmemikirkan persoalan melambungnya harga sembilan bahan pokok danmenguatnya dolar.

Isu baru ini menjadi tantangan untuk kedua pasangan calon, khususnyainkumben. Sebab, penantang, yakni kubu Prabowo - Sandiaga, mulaibergerak memainkan isu tersebut. Bahkan, dalam beberapa kalikesempatan, Sandiaga menyentil ekonomi lemah dengan sejumlah istilahyang merakyat, semisal, tempe saset dan tempe setipis ATM.

(https://www.teras.id/news/pat-2/100856/isu-agama-dianggap-tak-laku-lagi-di-pilpres-2019).

Politik Uang Masih Sulit DicegahJumat, 28 September 2018 03:45 WIB

JAKARTA (HN) - Tiga persoalan yaitu hoaks, isu suku ras dan agama, sertapolitik uang menandai pemilu di Tanah Air dalam kondisi darurat. Namun,semangat untuk mengubah jargon-jargon tersebut semakin menguat."Ada kecenderungan jargon bernuansa suku, ras, dan agama, serta hoaks mulaiditinggalkan. Yang masih menjadi masalah adalah politik uang. Politik uangdianggap kebiasaan yang lumrah menjelang pemilu di mana pun," kata KetuaKPU Arief Budiman dalam diskusi publik "Darurat Pemilu 2019" di kantor CSIS,Jakarta, Kamis (27/9).

Dari berbagai riset, menurut Arief, yang semula peserta pemilu mencari pemilihdengan memberikan uang agar mendapatkan suara, kecenderungan kinisebaliknya. Pemilih cenderung meminta uang atau barang kepada kader parpolmelalui perwakilan."Bagusnya, peserta pemilu kini mulai sadar, memberikan berapa pun jumlahuang belum tentu suara yang didapat sesuai dengan harapan," ujar dia.Mencermati kondisi tersebut, KPU tidak akan memberikan ruang sedikit punpraktik suap menyuap seperti itu. "Baik yang menyuap maupun disuap, kamitindak. Kami akan umumkan ke publik biar mereka malu. Sebaiknya, kini yangdikedepankan pertarungan ide," katanya.Direktur Lingkar Madani Ray Rangkuti berpendapat, kedaruratan pemilu banyakterjadi pada masa tahapan. Secara umum, kedaruratan pemilu juga bisa terlihat

22

dalam indeks kerawanan pemilu. "Praktik politik uang, DPT bermasalah,kekerasan fisik, manipulasi suara, dan netralitas PNS, mengindikasikankerawanan itu," katanya.Menurut Ray, dari tahun ke tahun persoalan tersebut selalu berulang.Terpenting, kini harus ada perubahan lebih serius dalam menanganinya. "KPUdan Bawaslu perlu memberikan jawaban. Terutama Bawaslu ya," ujar dia.Peneliti CSIS Arya Fernandes berharap, isu identitas yang sempat merebak saatPilkada DKI Jakarta, tidak lagi mencuat dalam Pilpres 2019. Namun, isu tersebutkemungkinan masih terjadi di sejumlah daerah."Hanya saja tidak bisa kembali dijual terutama di wilayah atau kota besar. Efeksuara tidak ada. Identitas bagi publik saat ini tidak lagi penting. Beda dengan isuekonomi. Isu ekonomi ini akan menjadi kekuatan kedua kubu," katanya.Menanggapi persoalan kedaruratan pemilu, Ketua DPP PPP Lena MarayanaMukti mengatakan, praktik politik uang sudah dalam taraf sangatmemprihatinkan. Dia mengaku pernah mengalami pengalaman buruk."Saya pernah kunjungan di salah satu daerah dan justru diminta (uang).Parahnya, mereka adalah masyarakat menengah atas. Kelas menengah lho, bukanmasyarakat bawah," ujar dia.Menurut Lena, kasus semacam ini menunjukkan edukasi kepada masyarakattentang arti penting pemilu belum cukup. "Nah di sinilah tugas KPUmenghadirkan kesadaran di masyarakat. Selain itu, perlu keseimbangan antaraKPU sebagai penyelenggara dan Bawaslu sebagai pengawas. Keseimbangantersebut perlu ada demi pemilu bersih dan adil," tutur dia.(http://www.harnas.co/2018/09/27/politik-uang-masih-sulit-dicegah).

23

Politik Identitas Dinilai tak Laku di Pileg2019

Jakarta: Isu politik identitas dinilai tidak akan laku pada pemilihan anggotalegislatif Pemilu 2019. Caleg diminta tak memainkan isu tersebut karenaakan merugikan diri sendiri.

"Dalam pileg, politik identitas ini tidak akan banyak bekerja dengan baikkarena tantangan dalam pileg berbeda dengan pilpres dan pilkada," kataPeneliti Centre of Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandesdalam sebuah diskusi bertajuk 'Darurat Pemilu 2019' di Auditorium CSIS,Jalan Tanah Abang III, Jakarta Pusat, Kamis, 27 September 2018.

Arya mengatakan, dalam pileg komposisi peserta pemilu yang bertandinglebih banyak dan berasal dari latar belakang identitas yang lebih beragam.Hal ini membuat para caleg berpikir dua kali untuk menggunakan politikidentitas untuk merenggut suara.

"Bisa saja pada batas-batas tertentu, politik identitas ini malah akanmerugikan dirinya sendiri," tukasnya.

Selain itu, tingkat kontestasi yang lebih ketat menjadi faktor lain yangmembuat penggunaan politik identitas dalam pileg menjadi minim. Caleg

24

dinilai tidak akan menggunakan cara-cara yang sekiranya dapatmenghilangkan kesempatan mereka untuk dipilih.

Baca: Panglima TNI: Ancaman Terbesar adalah Hoaks

Di sisi lain, tingkat kontestasi yang lebih ketat ini juga berdampak padadukungan caleg kepada pasangan calon presiden dan wakil presiden.Fragmentasi politik di tingkat lokal yang cukup tinggi membuat caleg lebihberhati-hati dalam melakukan kampanye maupun mendeklarasikan arahpolitiknya di Pilpres 2019.

"Misalnya caleg-caleg yang berasal dari partai yang bukan pendukungutama capres dan cawapres akan cenderung lebih berhati-hatimendeklarasikan positioning politiknya, karena bisa saja satu daerahpemilihannya itu basis kandidat tertentu," pungkasnya.(FZN,https://theworldnews.net/id-news/politik-identitas-dinilai-tak-laku-di-pileg-2019)