Kitin dan Kitosan_Yusefta Clarencia R.A._Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

42
KITIN DAN KITOSAN LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT Disusun oleh: Nama : Yusefta Clarencia Rizky Andhika NIM : 13.70.0095 Kelompok A3 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA 1 Acara II

description

Praktikum tentang bab kitin dan kitosan bertujuan untuk mengetahui proses pembuatan kitin dan kitosan sebagai value-added by product dari limbah kulit udang dengan berbagai perlakuan konsentrasi larutan asam dan basa dengan mengamati karakteristik rendemen yang dihasilkan.

Transcript of Kitin dan Kitosan_Yusefta Clarencia R.A._Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Page 1: Kitin dan Kitosan_Yusefta Clarencia R.A._Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

KITIN DAN KITOSAN

LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh:

Nama : Yusefta Clarencia Rizky Andhika

NIM : 13.70.0095

Kelompok A3

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2015

1

Acara II

Page 2: Kitin dan Kitosan_Yusefta Clarencia R.A._Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Limbah udang dihancurkan menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh lalu ditimbang sebanyak 10 gram (berat basah I).

1. MATERI DAN METODE

1.1. Alat dan Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbanh udang, larutan HCl

0,75 N, 1 N, dan 1,25 N, larutan NaOH 3,5%, dan larutan NaOH 40%, 50%, dan 60%.

Sedangkan alat-alat yang digunakan adalah timbangan analitik, blender, ayakan, gelas

ukur, beaker glass, pengaduk, termometer, hotplate, kain saring, mangkok, pH meter,

dan oven.

1.2. Metode

Demineralisasi

1

Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengan air panas sebanyak 2 kali, dan dikeringkan kembali.

Ditambahkan larutan HCl dengan perbandingan 10:1. Kelompok A1 dan A2 menggunakan HCl 0,75N, A3 dan A4 HCl 1N, dan A5 HCl 1,25N

Dipanaskan dengan hotplate pada suhu 90oC kemudian diaduk selama 1 jam.

Page 3: Kitin dan Kitosan_Yusefta Clarencia R.A._Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

2

Deproteinasi

Dicuci menggunakan air hingga pH netral sambil disaring menggunakan kain saring

Hasil dari proses demineralisasi ditimbang beratnya (berat kering) lalu dicampur dengan larutan NaOH 3,5% dengan perbandingan 6:1

Dipanaskan dengan hotplete pada suhu 90oC dan diaduk selama 1 jam.

Disaring menggunakan kain saring dan didinginkan

Residu dikeringkan dalam oven pada suhu 80oC selama 24 jam.

Page 4: Kitin dan Kitosan_Yusefta Clarencia R.A._Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3

Deasetilasi

Residu hasil penyaringan dicuci hingga pH netral

Kitin hasil deproteinasi ditimbang beratnya dengan timbangan analitik (berat kitin).

Residu ditimbang beratnya (berat basah II) lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 80oC selama 24 jam hingga diperoleh kitin

Kitin ditambahkan larutan NaOH 40% (kelompok A1 dan A2), NaOH 50% (kelompok

A3 dan A4), dan NaOH 60% (kelompok A5) dengan perbandingan 20:1.

Page 5: Kitin dan Kitosan_Yusefta Clarencia R.A._Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4

Rendemen Kitin I = berat keringberat basah I x 100%

Rendemen Kitin II = berat kitin

berat basah II x 100%

Dipanaskan dengan hotplate pada suhu 90oC dan diaduk selama 1 jam

Dicuci dengan air hingga pH netral sambil disaring menggunakan kain saring.

Residu ditimbang beratnya (berat basah III) lalu dikeringkan dalam oven pada suhu

70oC selama 24 jam hingga diperoleh kitosan.

Kitosan ditimbang beratnya dengan timbangan analitik (berat kitosan).

Page 6: Kitin dan Kitosan_Yusefta Clarencia R.A._Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

5

Rendemen Kitosan = berat kitosan

berat basah III x 100%

Page 7: Kitin dan Kitosan_Yusefta Clarencia R.A._Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan rendemen kitin dan kitosan dengan berbagai perlakuan dapat dilihat

pada tabel 1.

Tabel 1. Rendemen Kitin dan Kitosan

Kelompok Perlakuan Rendemen Kitin I (%)

Rendemen Kitin II (%)

Rendemen Kitosan (%)

A1 HCl 0,75 N + NaOH 40% + NaOH 3,5% 30,00 20,00 10,40

A2 HCl 0,75 N + NaOH 40% + NaOH 3,5% 45,00 26,67 13,07

A3 HCl 1 N + NaOH 50% + NaOH 3,5% 35,00 22,22 12,32

A4 HCl 1 N + NaOH 50% + NaOH 3,5% 20,00 28,57 14,95

A5 HCl 1,25 N + NaOH 60% + NaOH 3,5% 30,00 25,00 12,40

Berdasarkan tabel 1, diketahui persentase rendemen kitin dan kitosan dengan berbagai

perlakuan yang berbeda. Kelompok A1 dan A2 menggunakan larutan HCl 0,75 N,

NaOH 3,5%, dan NaOH 40%. Kelompok A3 dan A4 menggunakan larutan HCl 1 N,

NaOH 3,5%, dan NaOH 50%. Kelompok A5 menggunakan larutan HCl 1,25 N, NaOH

3,5%, dan NaOH 60%. Dari data yang diperoleh, diketahui bahwa rendemen kitin I

tertinggi adalah kelompok A2 sebesar 45%, sedangkan yang terendah adalah kelompok

A4 sebesar 20%. Pada rendemen kitin II menunjukkan bahwa persentase tertinggi

dihasilkan oleh kelompok A4 sebesar 28,57%, sedangkan persentase terendah adalah

kelompok A1 sebesar 20,00. Selain itu, pada rendemen kitosan diketahui persentase

tertinggi adalah kelompok A4 sebesar 14,95%, sedangkan persentase terendah adalah

kelompok A1 sebesar 10,40%.

6

Page 8: Kitin dan Kitosan_Yusefta Clarencia R.A._Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3. PEMBAHASAN

Kitin merupakan polisakarida kedua setelah selulosa yang keberadaannya secara alami

sangat melimpah di alam. Kitin dapat diperoleh dari beberapa hewan invertebrata,

seperti eksoskeleton pada hewan golongan crustaceae dan kutikel pada serangga

(Aranaz et al., 2009). Cheba (2011) menambahkan bahwa kitin dapat diproduksi dari

udang, lobster, kepiting, cumi-cumi, ubur-ubur, tiram, kerang, serangga, dan dinding sel

jamur. Dengan demikian penggunaan bahan limbah kulit udang pada praktikum ini telah

sesuai dengan teori yang ada. Menurut Indra (1994), sebanyak 75% dari total berat ikan

bercangkang merupakan bagian yang tidak dimakan (unedible part), dimana 20-58%

dari total berat kering bagian yang tidak dimakan tersebut dapat dihasilkan kitin. Salah

satu ikan bercangkang yang dimaksud oleh Indra (1994) adalah udang. Suhardi dan

Sudarmanto (1992) menyatakan bahwa kulit udang kering mengandung komponen kitin

sebesar 20-50% dari total beratnya.

Kitin mempunyai berat molekul yang sangat tinggi dan terdiri dari unit

poli N-asetilglukosamin yang terikat kuat dengan ikatan kovalen glikosidik (Suhardi

dan Sudarmanto, 1992). Pada umumnya kitin tidak ditemukan dalam keadaan bebas di

alam, namun berikatan dengan senyawa kompleks lainnya, seperti protein, mineral, dan

gugus asetil (Mizani, 2007). Shoer (2010) menyatakan bahwa kitin merupakan polimer

linear tidak bercabang yang tersusun atas 2-acetamido-2-deoxy-D-glucopyranose yang

dihubungkan dengan ikatan glikosidik 𝛽-1,4. Menurut Cheba (2011), kitin memiliki

warna putih pucat hingga tidak berwarna, tidak elastis, keras, dan mengandung banyak

nitrogen. Selain itu kitin juga dapat membentuk kristal dari ikatan hidrogennya, bersifat

biodegradasi sehingga mudah terurai, tidak beracun, dan tidak bersifat alergen. Kitin

sangat mudat larut dalam larutan asam mineral pekat, seperti HCl pekat, HNO3, H2SO4,

dan H3PO4). Dalam larutan asam tersebut, kitin akan terdegradasi dan terurai menjadi

menjadi monomer penyusunnya yang lebih sederhana. Kitin juga tidak dapat larut

dalam air (water insoluble), larutan asam encer, larutan basa pekat dan encer, dan

pelarut organik. Struktur kitin dapat dilihat pada gambar 1.

7

Page 9: Kitin dan Kitosan_Yusefta Clarencia R.A._Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

8

Gambar 1. Struktur Kitin

(Cheba, 2011)

Menurut Mahmoud (2007), kitin dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang, seperti

pada proses pengolahan air, kertas, dan pulp, perangkat terapi dan biomedis, kosmetik,

membran teknologi dan bioteknologi, dan aplikasi pada pembuatan makanan. Wang et

al. (2010) menambahkan bahwa saat ini kitin juga dapat digunakan untuk mensubstitusi

beberapa senyawa petrokimia lainnya. Secara komersial, pengembangan kitin mudah

dilakukan dan tidak membutuhkan biaya yang tinggi karena kitin dapat diperoleh dari

limbah hasil industri pengolahan bahan pangan laut. Menurut Ramadhan et al. (2010),

di dalam kulit udang terdapat kitin sebagai mukopoli sakarida yang berikatan dengan

garam organik, seperti protein, lipida, pigmen, dan terutama kalsium karbonat (CaCO3).

Oleh sebab itu diperlukan beberapa proses penghilangan mineral (demineralisasi) dan

penghilangan protein (deproteinasi) untuk dapat memperoleh kitin murni dari kulit

udang. Mizani (2007) menambahkan bahwa untuk memperoleh kitin dapat digunakan

bantuan aktivitas enzim dan mikroorganisme melalui proses fermentasi anaerob asam

laktat. Namun metode ini jarang digunakan karena faktor pendukung aktivitas mikroba

dan enzim perlu diperhatikan dengan baik, seperti pH, suhu, tekanan, dan hal lain yang

mendukung. Selain itu metode ini juga membutuhkan waktu yang lebih lama

dibandingkan dengan metode secara kimiawi.

Setelah dihasilkan kitin melalui proses demineralisasi dan deproteinasi, kemudian

dilanjutkan dengan proses deasetilasi untuk menghasilkan kitosan. Menurut Cheba

(2011), secara alami kitosan hanya dapat diperoleh dari beberapa fungi, seperti fungi

kelompok zygomycetes and mucorales, seperti Absidia coerulae, namun juga dapat

dihasilkan dari proses diasetilasi kitin. Pada proses diasetilasi, kitosan dihasilkan dari

Page 10: Kitin dan Kitosan_Yusefta Clarencia R.A._Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

9

proses hidrolisis golongan asetamida kitin menggunakan larutan alkali dengan suhu

tinggi, yaitu sekitar 100oC. Larutan alkali yang digunakan biasanya adalah NaOH atau

KOH dengan konsentrasi 30-50%, dimana larutan alkali ini akan terhidrolisis

berdasarkan ketahanan susunan trans dari komposisi C2-C3 pada cincin gula. Pada

umumnya terdapat dua jenis metode diasetilasi, yaitu diasetil heterogen dari padatan

kitin dan diasetil homogen dari kitin yang belum menggembung dalam kondisi vakum.

Deasetilasi heterogen melibatkan reaksi polimer dalam bentuk amorf yang kemudian

membentuk kristal dari kitin induk. Sedangkan deasetilasi homogen menggunakan

larutan alkali terkonsentrasi untuk meningkatkan interaksi dalam kitin pada suhu 25-

40ºC selama 12-24 jam (Aranaz et al., 2009). Shoer (2010) menambahkan bahwa

derajat deasetilasi kitin untuk menghasilkan kitosan yaitu sekitar 56-99% bergantung

pada jenis crustacea dan metode pengolahan yang digunakan. Jumlah kitosan yang

dihasilkan dari proses deasetilasi dipengaruhi oleh tegangan permukaan, kelarutan,

komposisi biologis, dan pembentukan rantai (Wang et al., 2010).

Kitosan merupakan biopolimer yang tersusun atas β-2-amino-2-deoxy-D-glucopyranose

dan β-2-acetamido-2-deoxy-D-glucopyranose yang dihubungkan dengan ikatan

glikosidik. Kitosan memiliki kemampuan untuk membentuk lapisan (film) dan memiliki

muatan ion positif yang dapat berikatan dengan ion negatif, seperti minyak, lemak, dan

asam empedu dalam tubuh (Shoer, 2010). Robert (1992) menambahkan bahwa kitosan

juga dapat membentuk padatan amorf berwarna putih seperti kristal. Menurut Viarsagh

et al. (2008), kitosan bersifat tidak beracun, mudah terurai oleh lingkungan

(biodegradable), homeostatis, memiliki aktivitas antibakterial, dan memiliki aktivitas

antioksidan. Sebagai zat antimikrobial, kitosan mengandung enzim lysozim dan gugus

aminopolysaccaride yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba, dimana efisiensi

daya hambatnya tergantung pada konsentrasi pelarutan khitosan (Shahidi and Barrow,

2007). Sedangkan sebagai zat antioksidan, kitosan mengandung komponen nitrogen

sebagai elektron yang tidak berpasangan. Nitrogen tersebut akan berikatan dengan

proton yang dihasilkan dari larutan asam dan membentuk ammonium (NH3+). Ketika

terdapat radikal bebas, ion hidrogen dari ammonium tersebut akan mengikat radikal

bebas dan membentuk molekul yang lebih stabil (Trung & Huynh, 2015). Kitosan

merupakan senyawa yang mudah larut dalam asam organik, seperti asam asetat, asam

Page 11: Kitin dan Kitosan_Yusefta Clarencia R.A._Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

10

formiat, dan asam sitrat. Kitosan tidak larut dalam air dan larutan basa kuat, sedikit larut

dalam HNO3, HCl, dan H3PO4, dan tidak larut dalam H2SO4 (Dunn et al., 1997).

Berbeda dengan kitin, kitosan memiliki rantai yang lebih pendek dan memiliki

persentasi asetil glikosamin kurang dari 50% (Shoer, 2010). Struktur kitosan dapat

dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Struktur Kitosan

(Cheba, 2011)

Kitosan dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang, seperti bidang kesehatan (jahitan

medis untuk kecantikan), aplikasi biomedis, pemurnian air (sebagai koagulan dalam

pengolahan limbah), pertanian (pelapis benih), bioteknologi, nutrisi (suplemen

makanan), dan dalam pengolahan serat tekstil (Shoer, 2010). Cheba (2011)

menambahkan bahwa pada industri pangan, kitosan dapat dimanfaatkan sebagai

pengawet makanan, senyawa antioksidan, emulsifier, penstabil (stabilizer), thickening

agent, senyawa cryoprotectant, penjernih (clarifier), pengental, gelling agent, penguat

flavor, dan bahan tambahan pada pakan ikan. Pada industri pengontrol polusi di

lingkungan, kitosan dapat digunakan sebagai senyawa pembentuk flokulasi dan

presipitasi sehingga diperoleh polutan pada limbah. Sedangkan pada industri

pengolahan air, kitosan dapat digunakan sebagai pengkelat ion metal, pestisida, DTT,

protein, detoksifikasi air dari

Pada praktikum kali ini, dilakukan tiga tahapan untuk menghasilkan kitin dan kitosan,

yaitu demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi. Proses yang dilakukan tersebut telah

sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Aranaz et al. (2009) dalam jurnalnya

untuk mengekstrak kitin dan kitosan dari cangkang udang dan miselium jamur.

Page 12: Kitin dan Kitosan_Yusefta Clarencia R.A._Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

11

Pertama-tama Aranaz et al. (2009) mencuci dan menggiling cangkang udang dan

miselium jamur, kemudian dilanjutkan dengan proses demineralisasi dengan

menambahkan larutan HCl pada bahan. Setelah itu ditambahkan larutan NaOH pada

proses deproteinasi, lalu dilakukan ekstraksi dengan aseton dan dilanjutkan dengan

pengeringan dan bleaching dengan penambahan NaOCl. Setelah dicuci dan

dikeringkan, dihasilkan produk kitin. Kitin yang dihasilkan tersebut kemudian

ditambahkan dengan NaOH untuk memasuki proses deasetilasi. Setelah dicuci dan

dikeringkan, diperoleh produk akhir kitosan.

Pada praktikum ini, mula-mula limbah kulit udang dicuci dengan air mengalir dan

dikeringkan. Proses pencucian yang dilakukan bertujuan untuk membersihkan limbah

kulit udang dari zat pengotor (Irianto, 1990). Sedangkan proses pengeringan bertujuan

untuk menurunkan kadar air dalam bahan (Potter, 1987). Setelah itu bahan dicuci

dengan air panas sebanyak dua kali dan dikeringkan kembali. Proses pencucian

menggunakan air panas ini bertujuan untuk melarutkan senyawa dalam bahan yang larut

dalam air dan tidak dibutuhkan selama proses pembentukan kitin dan kitosan, serta

membunuh mikroorganisme yang masih terdapat pada bahan (Pareira, 2008). Menurut

Cheba (2011), kitin tidak larut dalam air, sehingga dengan adanya proses pencucian ini

tidak akan mempengaruhi kualitas kitin yang dihasilkan. Selain itu, pengeringan

bertujuan untuk semakin menurunkan kadar air dalam bahan, sehingga bahan menjadi

lebih kering dibandingkan sebelumnya (Potter, 1987). Kemudian bahan yang telah

kering dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan berukuran 40-60

mesh. Menurut Winarno (1995), proses penghancuran bahan bertujuan untuk

mempermudah proses ekstraksi senyawa dalam bahan, dalam hal ini adalah kitin

maupun kitosan. Semakin luas permukaan bahan, maka kitin dan kitosan akan semakin

mudah diekstraksi.

Tahap pertama yang dilakukan adalah demineralisasi. Menurut Angka dan Suhartono

(2000), kulit udang mengandung mineral, terutama kalsium karbonat dan kalsium

fosfat, sebanyak 30-50% dari berat kering. Oleh sebab itu, tahap demineralisasi ini

bertujuan untuk menghilangkan kandungan mineral atau garam organik yang secara

alami terkandung dalam limbah kulit udang melalui proses penguraian oleh asam, dalam

Page 13: Kitin dan Kitosan_Yusefta Clarencia R.A._Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

12

hal ini adalah HCl (Austin et al., 1981). Sebanyak 10 gram serbuk kulit udang

ditimbang kemudian ditambahkan larutan HCl dengan perbandingan 10:1. Kelompok

A1 dan A2 menggunakan HCl dengan konsentrasi 0,75 N, kelompok A3 dan A4

menggunakan HCl dengan konsentrasi 1 N, sedangkan kelompok A5 menggunakan HCl

dengan konsentrasi 1,25 N. Perbedaan konsentrasi yang digunakan antar kelompok

tersebut bertujuan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap persentase rendemen kitin

yang akan dihasilkan. Menurut Bastaman (1989), dalam proses demineralisasi ini

larutan HCl akan bereaksi dengan kandungan mineral dalam bahan, khususnya kalsium

karbonat (CaCO3), untuk membentuk kalsium klorida (CaCl), asam karbonat (H2CO3),

dan asam fosfat (H3PO4) yang dapat larut dalam air, sedangkan hasil residu yang tidak

dapat larut air merupakan senyawa kitin. Penggunaan asam HCl ini telah sesuai dengan

teori yang dikemukakan oleh Fahmi (1997) yang menyatakan bahwa hampir semua ion

logam dapat bereaksi dengan HCl dan membentuk garam klorida yang mudah larut

dalam air. Reaksi kimia yang terjadi selama proses demineralisasi adalah sebagai

berikut.

HCl (aq) H+ (aq) + Cl-(Aq)

H+ (aq) + H2O H3O+ (aq)

Ca3(PO4)2 (s) + 2 H3O+ (aq) 3 Ca2+ (aq) + 2 H3PO4 (aq) + O2(g)

CaCO3 (s) + 2 H3O+ (aq) Ca2+ (aq) + CO2 (g) + 3 H2O (l)

(Mudasir, 2008).

Setelah ditambahkan dengan larutan HCl, larutan dipanaskan menggunakan hotplate

pada suhu 90oC lalu diaduk selama satu jam. Menurut Hendry (2008), pemanasan

bertujuan untuk melarutkan garam mineral dalam larutan asam, sehingga proses

penghilangan mineral dapat dipercepat. Sedangkan pengadukan bertujuan agar garam

mineral dapat bereaksi dengan larutan asam secara merata sehingga penghilangan garam

mineral tersebut dapat berjalan lebih maksimal. Hilangnya garam mineral dalam bahan

dapat ditandai dengan terbentuknya gas CO2 sebagai gelembung udara saat larutan HCl

ditambahkan ke dalam sampel, kemudian setelah diaduk larutan menjadi tercampur

secara homogen. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Viarsagh et al.

(2008) dalam jurnalnya bahwa ketika sampel cangkang udang ditambahkan dengan

larutan asam klorida (HCl) 4% pada suhu ruang maka akan terbentuk gelembung dari

Page 14: Kitin dan Kitosan_Yusefta Clarencia R.A._Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

13

gas karbondioksida (CO2) yang menunjukkan bahwa terjadi perubahan senyawa kalsium

kabronat menjadi kalsium klorida.

Setelah dipanaskan, sampel dicuci dengan air hingga diperoleh pH netral sambil

disaring menggunakan kain saring. Proses penetralan pH ini bertujuan untuk mencegah

terjadinya kerusakan atau degradasi sampel selama proses pengeringan pada tahap

selanjutnya. Hal ini disebabkan karena kitin mengandung gugus amino bebas yang

dihasilkan dari proses deasetilasi selama pengeringan atau dari proses asetilasi yang

kurang sempurna. Apabila kitin memiliki pH terlalu basa atau terlalu asam, maka asam

amino penyusun protein tersebut akan terdegradasi sehingga kitin yang diperoleh

menjadi tidak optimal. Selain itu, proses pencucian ini juga bertujuan untuk

menghilangkan larutan HCl yang terdapat dalam sampel (Alistair, 2006). Menurut

Suptijah (2006), penggunaan tinggi rendahnya konsentrasi larutan asam sangat perlu

diperhatikan. Larutan asam dengan konsentrasi yang sesuai akan dapat melarutkan

kandungan mineral dalam sampel secara sempurna, sehingga kadar mineral dalam

sampel tersebut akan berkurang. Namun apabila konsentrasi asam yang digunakan

terlalu tinggi maka menyebabkan pH sampel menjadi terlalu asam, sehingga reaksi

antara asam dengan protein akan berjalan terlalu cepat dan menghasilkan bau amoniak,

sementara komponen mineral yang terkandung sebenarnya belum terlarut secara

sempurna. Setelah diperoleh pH netral, sampel ditimbang sebagai berat basah I lalu

dikeringkan dalam oven pada suhu 80oC selama 24 jam. Proses pengeringan ini

bertujuan untuk menguapkan kandungan air setelah proses pencucian atau penetralan,

sehingga tidak mempengaruhi berat kering kitin yang diperoleh. Dari proses

pengeringan ini akan dihasilkan produk kitin kering yang telah terbebas dari kandungan

mineral maupun garam organik (Sudarmadji et al., 1989).

Tahap kedua yang dilakukan untuk memperoleh senyawa kitin adalah deproteinasi.

Menurut Hagono dan Djaeni (2008), limbah kulit udang memiliki kandungan protein

yang cukup tinggi, yaitu sekitar 30% dari berat kering. Oleh sebab itu, proses

deproteinasi perlu dilakukan untuk menghilangkan komponen protein tersebut dari

sampel kulit udang. Mula-mula kitin kering hasil pengeringan dari proses demineralisasi

ditimbang beratnya sebagai berat kering sampel. Setelah itu sampel ditambahkan

Page 15: Kitin dan Kitosan_Yusefta Clarencia R.A._Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

14

dengan larutan NaOH 3,5% untuk semua kelompok dengan perbandingan volume 6:1.

Penggunaan larutan NaOH telah sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh No (1989)

yang menyatakan bahwa larutan basa akan berikatan dengan protein dalam sampel. Ion

Na+ dari basa NaOH akan mengikat ujung rantai protein yang bermuatan negatif,

sehingga protein akan akan mengendap dan terekstrak dalam bentuk Na-proteinat.

Menurut Puspawati et al. (2010), penggunaan larutan NaOH sebagai basa kuat akan

dapat memutus ikatan antara kitin dengan protein karena pemisahan keduanya lebih

sulit daripada pemisahan mineral. Fahmi (1997) menambahkan bahwa penggunaan

NaOH dalam proses deproteinasi telah tepat karena protein dapat larut dalam larutan

basa kuat encer, sehingga dapat dengan mudah dipisahkan dari sampel kulit udang.

Setelah itu larutan sampel dipanaskan menggunakan hotplate pada suhu 90oC lalu

diaduk selama satu jam. Menurut Hendry (2008), proses pemanasan bertujuan untuk

melarutkan protein dalam larutan basa, sehingga proses penghilangan protein menjadi

lebih cepat. Di sisi lain, proses pengadukan bertujuan agar protein dapat bereaksi

dengan larutan basa secara merata sehingga penghilangan protein tersebut dapat

berjalan lebih maksimal. Setelah itu sampel dicuci dengan air mengalir hingga diperoleh

pH netral sambil disaring menggunakan kain saring. Proses penetralan pH bertujuan

untuk mencegah terjadinya kerusakan atau degradasi sampel pada proses pengeringan.

Selain itu, proses pencucian ini juga bertujuan untuk menghilangkan larutan basa NaOH

yang tersisa dalam sampel (Alistair, 2006). No (1989) menyatakan bahwa penggunaan

konsentrasi basa NaOH perlu diperhatikan karena dapat mempengaruhi kualitas kitin

yang dihasilkan. Apabila konsentrasi NaOH yang digunakan terlalu tinggi maka kitin

akan terdeasetilasi lebih lanjut dan memungkinkan terjadinya degradasi struktur protein.

Sedangkan apabila konsentrasi NaOH terlalu rendah, maka proses reduksi gugus protein

dalam sampel menjadi tidak sempurna. Setelah diperoleh pH netral, residu ditimbang

beratnya sebagai berat basah II lalu dikeringkan kembali dalam oven pada suhu 80oC

selama 24 jam. Menurut Sudarmadji et al. (1989), proses pengeringan bertujuan untuk

menguapkan kandungan air setelah proses pencucian, sehingga tidak mempengaruhi

berat kering kitin yang diperoleh. Dari proses deproteinasi ini diperoleh produk kitin

kering yang telah terbebas dari kandungan protein.

Page 16: Kitin dan Kitosan_Yusefta Clarencia R.A._Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

15

Setelah diperoleh produk kitin dari proses deproteinasi, kemudian dilanjutkan dengan

proses deasetilasi untuk memperoleh kitosan. Menurut Ramadhan et al. (2010),

deasetilasi merupakan proses penghilangan gugus asetamida (-NHCOCH3) pada kitin

yang kemudian diubah menjadi gugus amina (-NH2) pada kitosan melalui pemanasan

dalam larutan alkali kuat dengan konsentrasi tinggi. Pada proses ini, gugus amida pada

kitin akan berikatan dengan gugus hidrogen yang bermuatan positif sehingga terbentuk

gugus amina bebas (–NH2). Dengan adanya gugus amina bebas, kitosan dapat

mengadsorpsi ion logam dengan membentuk senyawa kompleks (Azhar et al., 2010).

Pembentukan struktur kitosan dari kitin dengan penambahan basa kuat dan pada suhu

tinggi dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3. Pembentukan Struktur Kitosan dari Kitin

Azhar et al. (2010)

Mutu kitosan dapat ditentukan dengan menghitung derajat deasetilasi, yaitu persentase

kadar gugus asetil yang dapat dihilangkan dari kitin dan kitosan. Beberapa faktor yang

dapat mempengaruhi derajat deasetilasi antara lain konsentrasi alkali yang digunakan,

perbandingan larutan terhadap padatan, suhu dan waktu reaksi, kondisi reaksi selama

deasetilasi, proses atau perlakuan yang dilakukan sebelum deasetilasi, ukuran partikel,

dan densitas kitin (Aranaz et al., 2009). Menurut Knoor (1984), semakin tinggi derajat

deasetilasi kitosan, maka semakin rendah gugus asetil pada kitosan sehingga ikatan

hidrogen dan interaksi antar ion di dalamnya akan semakin kuat. Selain itu, semakin

tinggi derajat deasetilasi maka semakin tinggi pula tingkat kemurniannya, dimana kitin

maupun kitosan telah murni dari pengotornya seperti mineral, protein, pigmen, dan

gugus asetil. Viarsagh et al. (2008) menambahkan bahwa apabila persentase asetil

Page 17: Kitin dan Kitosan_Yusefta Clarencia R.A._Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

16

glukosamin lebih dari 50% maka dapat diperoleh kitin, sedangkan bila persentase asetil

glukosamin yang terkandung kurang dari 50% maka akan diperoleh kitosan.

Pada proses deasetilasi ini, kitin kering hasil pengeringan dari proses deproteinasi

ditimbang beratnya sebagai berat kitin. Kemudian kitin ditambahkan larutan NaOH

dengan perbandingan 20:1. Kelompok A1 dan A2 menggunakan NaOH dengan

konsentrasi 40%, kelompok A3 dan A4 menggunakan NaOH dengan konsentrasi 50%,

sedangkan kelompok A5 menggunakan NaOH dengan konsentrasi 60%. Perbedaan

konsentrasi yang digunakan antar kelompok tersebut bertujuan untuk mengetahui

pengaruhnya terhadap persentase rendemen kitosan yang akan dihasilkan. Penggunaan

larutan NaOH ini telah sesuai dengan pendapat Ramadhan et al. (2010) yang

menyatakan bahwa basa NaOH dapat digunakan untuk menghidrolisis kitin, sehingga

terjadi perubahan morfologi akibat proses deasetilasi dari gugus asetamida menjadi

gugus amina. Menurut Martinou (1995), penggunaan larutan NaOH dengan konsentrasi

tinggi mampu mengubah struktur kitin yang semula rapat menjadi renggang, sehingga

enzim mudah tersekresikan untuk mendeasetilasi polimer kitin. Di sisi lain, penggunaan

NaOH dengan konsentrasi 40%, 50%, dan 60% pada praktikum ini juga telah sesuai

dengan teori Hirano (1989) bahwa penambahan larutan NaOH 40–60% dalam kondisi

suhu tinggi dapat memacu terbentuknya kitosan dari kitin. Dalam jurnalnya, Bastaman

(1989) melakukan proses deasetilasi kitin menjadi kitosan menggunakan larutan

natrium hidroksida (NaOH) konsentrasi 50% dengan perbandingan larutan : padatan

adalah 20:1 pada suhu 100oC selama 4 jam dan pada suhu 60oC selama 8 jam.

Setelah diberi larutan NaOH, sampel dipanaskan menggunakan hotplate pada suhu 90oC

lalu diaduk selama satu jam. Proses pemanasan ini bertujuan untuk mempercepat proses

perubahan struktur kitin menjadi kitosan. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan

oleh Ramadhan et al. (2010) bahwa gugus asetamida pada kitin akan mengalami

perubahan morfologi dan berubah menjadi gugus amina pada kitosan dalam kondisi

suhu tinggi. Sedangkan proses pengadukan bertujuan agar partikel kitin dapat bereaksi

dengan larutan basa NaOH secara merata, sehingga proses pembentukan kitosan dapat

berjalan lebih optimal. Kemudian sampel dicuci dengan air hingga diperoleh pH netral

sambil disaring menggunakan kain saring. Menurut Alistair (2006), proses pencucian

Page 18: Kitin dan Kitosan_Yusefta Clarencia R.A._Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

17

bertujuan untuk menghilangkan larutan basa kuat (NaOH) dalam sampel, sehingga

degradasi sampel selama proses pengeringan dapat dicegah. Jika konsentrasi NaOH

dalam sampel terlalu tinggi maka akan terjadi degradasi struktur protein, sedangkan jika

konsentrasi NaOH terlalu rendah maka proses perubahan gugus asetamida menjadi

gugus amina dalam sampel menjadi kurang sempurna (No, 1989). Menurut Winarno

(1993), proses penyaringan sampel bertujuan untuk memisahkan pelarut basa dengan

partikel padat kitosan yang diperoleh, dimana partikel padat tersebut akan tertinggal

pada kain saring sedangkan zat cair akan melewati filter dan dapat terpisahkan dengan

baik. Proses penyaringan perlu dilakukan karena partikel padat memiliki tekstur yang

sangat lembut, sehingga apabila proses pemisahan tidak dilakukan dengan kain saring,

maka kitosan banyak yang ikut terbuang bersama zat cair.

Pada tahap selanjutnya, berat residu ditimbang sebagai berat basah III lalu dikeringkan

kembali dalam oven pada suhu 70oC selama 24 jam. Proses pengeringan ini bertujuan

untuk menguapkan kandungan air setelah proses pencucian sehingga diperoleh berat

kering kitosan yang lebih akurat (Sudarmadji et al., 1989). Dari proses deasetilasi ini,

diperoleh produk kitosan kering yang dihasilkan dari kitin kering. Proses deasetilasi

yang dilakukan untuk menghasilkan kitosan pada praktikum ini telah sesuai dengan

penelitian yang dilakukan oleh Trung dan Huynh (2015). Dalam jurnalnya, dilakukan

deasetilasi kitosan dari kitin dengan metode kimia, yaitu menggunakan larutan NaOH

50% pada suhu 65oC selama 20 jam, kemudian dicuci hingga diperoleh pH netral dan

dikeringkan hingga diperoleh kitosan.

Berdasarkan hasil pengamatan, diperoleh persentase rendemen kitin I sebagai hasil

proses demineralisasi, rendemen kitin II sebagai hasil dari proses deproteinasi, dan

rendemen kitosan sebagai hasil dari proses deasetilasi. Pada proses demineralisasi,

kelompok A1 dan A2 menggunakan larutan HCl 0,75 N, kelompok A3 dan A4

menggunakan larutan HCl 1 N, dan kelompok A5 menggunakan larutan HCl 1,25 N.

Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa rendemen kitin I oleh masing-masing

kelompok berbeda-beda. Kelompok A1 mendapatkan rendemen kitin sebesar 30%,

kelompok A2 menghasilkan rendemen kitin sebesar 45%, kelompok A3 memperoleh

rendemen kitin sebesar 35%, %, kelompok A4 mendapat rendemen kitin sebesar 20%,

Page 19: Kitin dan Kitosan_Yusefta Clarencia R.A._Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

18

dan %, kelompok A5 memperoleh rendemen kitin sebesar 30%. Perbedaan persentase

rendemen kitin yang diperoleh ini disebabkan karena setiap kelompok menggunakan

larutan HCl yang berbeda-beda konsentrasinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Suptijah

(2006) yang menyatakan bahwa penggunaan konsentrasi larutan asam dalam proses

demineralisasi perlu diperhatikan karena dapat mempengaruhi rendemen dan mutu

rkitin yang dihasilkan. Dari hasil pengamatan yang diperoleh, kelompok A2 yang

menggunakan larutan HCl dengan konsentrasi terendah, yaitu 0,75 N, menghasilkan

rendemen kitin tertinggi, sedangkan kelompok A4 yang menggunakan larutan HCl

dengan konsentrasi lebih tinggi daripada A1, yaitu 1 N, menghasilkan rendemen kitin

terendah. Secara keseluruhan menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi HCl yang

digunakan maka rendemen kitin yang dihasilkan cenderung semakin menurun. Hal ini

telah sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Johnson dan Peterson (1974) yang

menyatakan bahwa pada saat larutan asam ditambahkan pada sampel disertai dengan

waktu pemanasan dan pengadukan yang cukup lama, maka ikatan mineral dengan kitin

akan semakin merenggang dan terlepas, sehingga dihasilkan berat kitin yang semakin

menurun akibat kehilangan kandungan mineral di dalamnya. Suptijah (2006)

menambahkan bahwa penggunaan konsentrasi HCl perlu diperhatikan karena jika

konsentrasi asam yang terdapat pada sampel terlalu tinggi maka akan terjadi reaksi

antara asam dengan protein yang sangat cepat sehingga menimbulkan bau amoniak,

sedangkan komponen mineral yang terkandung sebenarnya belum terlarut secara

sempurna. Apabila masih terdapat mineral yang terikat kuat dengan kitin, maka

rendemen kitin yang dihasilkan akan menjadi kurang optimal.

Pada perolehan rendemen kitin sebagai hasil proses deporoteinasi, diketahui bahwa

masing-masing kelompok menghasilkan rendemen kitin yang berbeda-beda dengan

penambahan konsentrasi larutan NaOH sama, yaitu 3,5%, dengan perbandingan volume

larutan : sampel sebesar 6 : 1. Perbedaan persentase rendemen kitin ini dapat disebabkan

karena berat kering kitin yang dihasilkan dari proses demineralisasi oleh setiap

kelompok berbeda-beda, sehingga akan mempengaruhi persentase rendemen kitin yang

dihasilkan pada proses selanjutnya, yaitu deproteinasi. Hal ini juga dapat disebabkan

karena proses demineralisasi yang dilakukan kurang optimal sehingga masih terdapat

sisa mineral dalam sampel yang mempengaruhi rendemen kitin yang dihasilkan. Selain

Page 20: Kitin dan Kitosan_Yusefta Clarencia R.A._Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

19

itu perbedaan persentase rendemen kitin dapat disebabkan karena proses pencucian atau

penetralan yang kurang sempurna sehingga masih terdapat larutan basa NaOH yang

tertinggal dalam sampel. Menurut No (1989), apabila konsentrasi NaOH yang

digunakan terlalu tinggi maka kitin akan terdeasetilasi lebih lanjut dan memungkinkan

terjadinya degradasi struktur protein. Sedangkan di sisi lain apabila konsentrasi NaOH

pada sampel terlalu rendah, maka proses reduksi gugus protein dalam sampel menjadi

tidak sempurna. Selain itu, secara keseluruhan hasil pengamatan menunjukkan bahwa

rendemen kitin hasil deproteinasi lebih rendah dibandingkan rendemen kitin hasil

demineralisasi. Hal ini telah sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Puspawati et

al. (2010) bahwa rendemen kitin dari proses deproteinasi lebih rendah dibandingkan

rendemen kitin dari proses demineralisasi. Pada proses deproteinasi, kitin yang telah

bebas mineral dan protein dengan berat molekul tinggi akan dimurnikan kembali,

dimana larutan basa kuat (NaOH) akan melarutkan protein yang tersisa dan masih

terikat dengan kitin. Ion Na+ dari basa NaOH akan mengikat ujung rantai protein yang

bermuatan negatif, sehingga protein akan akan mengendap dan terekstrak dalam bentuk

Na-proteinat. Oleh sebab itu rendemen kitin yang diperoleh menjadi lebih rendah

daripada tahap sebelumnya akibat kehilangan kandungan protein di dalamnya (No,

1989).

Pada hasil pengamatan, diketahui persentase rendemen kitosan sebagai hasil dari proses

deasetilasi dengan penambahan larutan NaOH pada berbagai konsentrasi. Kelompok A1

dan A2 menggunakan larutan NaOH 40%, kelompok A3 dan A4 menggunakan larutan

NaOH 50%, dan kelompok A5 menggunakan larutan NaOH 60%. Berdasarkan hasil

yang diperoleh menunjukkan bahwa masing-masing kelompok menghasilkan rendemen

kitosan yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena berat kitosan kering yang

dihasilkan pada proses deasetilasi akan menyesuaikan dari berat kitin kering hasil

proses sebelumnya, yaitu deproteinasi. Apabila berat kitin dari proses deproteinasi

rendah, maka akan dihasilkan berat kitosan yang rendah pula. Perbedaan rendemen

kitosan ini juga dapat disebabkan karena proses pengeringan yang dilakukan kurang

optimal, dimana suhu oven terkadang naik dan turun sehingga kandungan air yang

teruapkan dari sampel masing-masing kelompok menjadi tidak merata. Selain itu dapat

juga disebabkan proses penetralan yang kurang sempurna, sehingga pH sampel masih

Page 21: Kitin dan Kitosan_Yusefta Clarencia R.A._Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

20

cenderung basa mengingat larutan yang digunakan adalah basa kuat dengan konsentrasi

tinggi. No (1989) menyatakan bahwa apabila konsentrasi NaOH pada sampel terlalu

tinggi maka menyebabkan kitin akan terdeasetilasi lebih lanjut dan memungkinkan

terjadinya degradasi struktur protein. Namun jika konsentrasi NaOH pada sampel terlalu

rendah, maka proses reduksi gugus protein dalam sampel menjadi kurang optimal. Pada

hasil pengamatan menunjukkan pula bahwa rendemen kitosan pada proses deasetilasi

lebih rendah dibandingkan dengan rendemen kitin pada proses deproteinasi. Menurut

Ramadhan et al. (2010), deasetilasi merupakan proses penghilangan gugus asetamida

(-NHCOCH3) pada kitin yang kemudian diubah menjadi gugus amina (-NH2) pada

kitosan melalui pemanasan dan penambahan larutan basa kuat berkonsentrasi tinggi.

Hal ini didukung oleh Hwang et al. (1997) yang menyatakan bahwa penggunaan larutan

NaOH dengan konsentrasi tinggi akan menyebabkan terjadinya depolimerisasi rantai

kitosan sehingga berat molekul kitosan menjadi menurun. Oleh sebab itu akan

dihasilkan kitosan dengan rendemen yang cenderung rendah.

Berdasarkan hasil pengamatan, semakin tinggi konsentrasi NaOH yang digunakan maka

rendemen kitosan yang dihasilkan semakin meningkat. Hal ini telah sesuai dengan teori

yang dikemukakan oleh Suptijah (2006) bahwa semakin tinggi suhu pemanasan dan

konsentrasi NaOH yang digunakan dalam proses deasetilasi, maka kemampuan

pemisahan gugus asetil pada kitin menjadi lebih besar dan efektif, sehingga rendemen

kitosan yang dihasilkan menjadi lebih rendah akibat kehilangan gugus asetil yang

terlepas menjadi gugus amina. Dari data yang diperoleh diketahui bahwa kelompok A5

dengan penambahan konsentrasi larutan NaOH tertinggi justru mengalami penurunan

rendemen kitosan dari kelompok lain yang menggunakan larutan NaOH dengan

konsentrasi yang lebih rendah. Hasil yang diperoleh ini tidak sesuai dengan pendapat

Suptijah (2006) bahwa semakin tinggi konsentrasi NaOH maka semakin rendah

rendemen kitosan ayng diperoleh. Ketidaksesuaian ini dapat disebabkan karena proses

pengeringan yang dilakukan kurang optimal, dimana suhu pemanasan dalam oven tidak

stabil, sehingga masih terdapat kandungan air yang belum teruapkan dan tersisa dalam

sampel. Hal ini menyebabkan berat kering kitosan menjadi kurang tepat dan

mempengaruhi persentase rendemen kitosan yang dihasilkan.

Page 22: Kitin dan Kitosan_Yusefta Clarencia R.A._Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4. KESIMPULAN

Bahan baku yang digunakan untuk menghasilkan kitin dan kitosan adalah limbah

kulit udang.

Kitin merupakan polimer linear tidak bercabang yang tersusun atas 2-acetamido-2-

deoxy-D-glucopyranose yang dihubungkan dengan ikatan glikosidik 𝛽-1,4.

Kitosan merupakan biopolimer yang tersusun atas β-2-amino-2-deoxy-D-

glucopyranose dan β-2-acetamido-2-deoxy-D-glucopyranose.

Kitin dan kitosan dimanfaatkan sebagai pengawet makanan, zat antioksidan,

emulsifier, thickening agent, senyawa cryoprotectant, dan gelling agent.

Kitin dihasilkan dari proses demineralisasi dan deproteinasi, sedangkan kitosan

diperoleh dari proses deasetilasi.

Penambahan HCl pada tahap demineraliasi bertujuan untuk melarutkan mineral

(CaCl, H2CO3, H3PO4) dan menghasilkan endapan residu yang disebut kitin.

Semakin tinggi konsentrasi HCl, maka semakin rendah rendemen kitin yang

dihasilkan pada proses demineralisasi akibat kehilangan banyak mineral yang

terkandung.

Penambahan NaOH 3,5% pada tahap deproteinasi bertujuan untuk memutus ikatan

antara kitin dengan protein.

Rendemen kitin pada proses deproteinasi lebih rendah daripada proses demineralisasi

karena telah banyak kehilangan kandungan protein di dalamnya.

Penambahan NaOH pada tahap deasetilasi bertujuan untuk merenggangkan struktur

kitin, sehingga terjadi deasetilasi polimer kitin untuk menghasilkan kitosan.

Semakin tinggi konsentrasi NaOH, maka semakin rendah rendemen kitosan yang

dihasilkan pada proses deasetilasi akibat terjadi penutunan berat molekul kitosan.

Semarang, 25 September 2015

Praktikan, Asisten Dosen,

Yusefta Clarencia R.A. Tjan, Ivana Chandra

13.70.0095

21

Page 23: Kitin dan Kitosan_Yusefta Clarencia R.A._Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

5. DAFTAR PUSTAKA

Alistair, M. Stephen, Glyn O. Phillips, and Peter A. Williams. (2006). Food Polysaccharides and Their Applications. CRC Press.

Angka, S. L. dan M. T. Suhartono. (2000). Bioteknologi Hasil Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Bogor.

Aranaz, Inmaculada, Marian Mengíbar, Ruth Harris, Inés Paños, Beatriz Miralles, Niuris Acosta, Gemma Galed and Ángeles Heras. (2009). Functional Characterization of Chitin and Chitosan. Faculty of Pharmacy, Institute of Biofunctional Studies, Complutense University, Spain. Current Chemical Biology, 2009, 3, 203-230 203.

Austin, P.R., Brine, C.J., Castle, J.E. & Zikakis, J.P. (1981). Chitin: New facets of research. Science, 212(4496), 749–753.

Azhar, M., Jon Efendi, Erda S., Rahma M. L, dan Sri Novalina. (2010). Pengaruh Konsentrasu NaOH dan KOH terhadap Derajat Deasetilasi Kitin dari Limbah Kulit Udang. EKSAKTA Vol. 1 Tahun XI.

Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extracktion of Chitin and Chitosan From Prawn Shells. The Queen’s University of Belfast. England.

Cheba, Ben Amar. (2011). Chitin and Chitosan: Marine Biopolymers with Unique Properties and Versatile Applications. Faculty of Sciences, University of Sciences and Technology, Oran, Algeria. Global Journal of Biotechnology & Biochemistry 6 (3): 149-153, 2011, ISSN 2078-466X.

Dunn, ET., EW. Grandmaison dan MFA. Goosen. (1997). Applications and Properties of Chitosan. Di dalam MFA. Goosen (ed). Applications of Chitin and Chitosan. Technomic Pub, Basel, p 3-30.

Fahmi, Rizal. (1997). Isolasi dan Transformasi Kitin Menjadi Kitosan. Journal Kimia Andalas. ISSN : 0853-8018. Volume 3, Nomor 1, Tahun 1997, (61-68).

Hargono dan M. Djaeni (2008). Pembuatan Kitosan dari Limbah Cangkang Udang serta Aplikasinya dalam Mereduksi Kolesterol Lemak Kambing. Kitosan dan Glukosamin”. LIPI kawasan PUSPITEK, Serpong.

Hendry, Jhon. (2008). Teknik Deproteinasi Kulit Rajungan (Portunus pelagious) secara Enzimatik dengan menggunakan Bakteri Pseudomonas aeruginosa untuk Pembuatan Polimer Kitin dan Deasetilasinya. Universitas Lampung.

Hirano. (1989). Production and Aplication on Chitin and Chitosan in Japan. Jepang.

Hwang J., S. Hong dan C. Kim. (1997). Effect of molecular weight and NaCl concentration on dilute solution properties of chitosan. J. Food Sci. Nutr., 2:1-5.

22

Page 24: Kitin dan Kitosan_Yusefta Clarencia R.A._Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

23

Indra, Akhlus, S., (1994). Hidrolisis Khitin Menjadi Khitosan serta Aplikasinya Sebagai Pendukung Padat, Jurusan Kimia FMIPA ITS , Surabaya.

Johnson, A.H. dan M.S. Peterson. (1974). Encyclopedia of Food Technology Vol. II. The AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.

Knorr, D. 1984. Use of Chitinous Polymer in Food. Food Technology 39 (1) : 85

Mahmoud, N. (2007). Unconventional Approach for Demineralization of Deproteinized Crustacean Shells for Chitin Production. Canada.

Martinou, A.D., D. Kafetzopoulos & V. Bouriotis. (1995). Chitin Deacetylation by Enzymatic Means.

Mizani, Maryam dan Mahmood Aminlari. (2007). A New Process for Deproteinization of Chitin from Shrimp Head Waste. Proceeding of European Congress of Cjemical Engineering. Copenhagen.

Mudasir, et al. (2008). Immobilization of Dithizone onto Chitin Isolated from Prawn Seawater Shells (P. merguensis) and its Preliminary Study for the Adsorption of Cd(II) Ion. Chemistry Department, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Gadjah Mada University. Yogyakarta.

No., H.K., (1989). Isolation and Characterization of Chitin from Craw Fish Shell Waste. Vol. 37 No. 3. Agriculture and Food Chemistry.

Pareira, Boy Macklin. (2008). Limbah Cangkang Udang Menjadi Kitosan. Onlinebuku.com.

Potter, N. (1987). Food Science. 3 edition. AVI Publishing Company. New Delhi.

Puspawati, N. M dan I. N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Vol 4 hal 79 – 90.

Ramadhan, L.O.A.N.; C. L. Radiman; D.Wahyuningrum; V. Suendo; L. O. Ahmad; and S. Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia. Vol. 5 (1), 2010, h. 17-21.

Robert, G.A.F. (1992). Chitin Chemistry. The Macmillan Press Ltd., London.

Shahidi, Fereidoon and Colin Barrow. (2007). Marine Nutraceuticals and Functional Foods.CRC Press.

Shoer, Mohamed Abou. (2010). A Simple Colorimetric Method for the Evaluation of Kitosan. Faculty of Pharmacy, Alexandria University, Alexandria. Egypt. American Journal of Analytical Chemistry, 2010, 2, 91-94.

Sudarmadji, S; Bambang H; & Suhardi. (1989). Prosedur untuk Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit Liberty. Yogyakarta.

Page 25: Kitin dan Kitosan_Yusefta Clarencia R.A._Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

24

Suhardi, U. Santoso dan Sudarmanto. (1992). Limbah Pengolahan Udang untuk Produksi Kitin, Laporan penelitian. BAPPINDO-FTP UGM. Yogyakarta.

Suptijah, P. (2006). Deskriptif Karakteristik Fungsional Dan Aplikasi Kitin Kitosan. Departemen Teknologi Hasil Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Trung, Trang Si and Huynh Nguyen Duy Bao. (2015). Physicochemical Properties and Antioxidant Activity of Kitin and Kitosan Prepared from Pacific White Shrimp Waste. Faculty of Food Technology, Nha Trang University, Nha Trang. Vietnam. International Journal of Carbohydrate Chemistry Volume 2015, Article ID 706259, 6 pages.

Viarsagh, Morteza Shahabi, Mohsen Janmaleki, Hamid Reza Falahatpisheh, Jafar Masoumi. (2010). Kitosan Preparation from Persian Gulf Shrimp Shells and Investigating the Effect of Time on the Degree of Deacetylation. Nano-Medicine and Tissue Engineering Research Center, Shahid Beheshti University of Medical Sciences, Tehran, Iran. Journal of Paramedical Sciences (JPS) Spring 2010 Vol.1, No.2 ISSN 2008-496X.

Wang, Zhengke; Qiaoling Hu & Lei Cai. (2010). Chitin Fiber and Chitosan 3D Composite Rods. International Journal of Polymer Science Vol 2010. Hindawi Publishing Corp.

Winarno, F. G. (1995). Enzim Pangan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Winarno, F.G., (1993). Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Page 26: Kitin dan Kitosan_Yusefta Clarencia R.A._Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan

Rumus :

Rendemen Kitin I = berat keringberat basah I x 100%

Rendemen Kitin II = berat kitin

berat basah II x 100%

Rendemen Kitosan = berat kitosan

berat basah III x 100%

Kelompok A1

Rendemen Kitin I = 3,010

×100 %

= 30,00 %

Rendemen Kitin II = 1,05

×100 %

= 20,00 %

Rendemen Kitosan = 0,262,5

× 100 %

= 10,40 %

Kelompok A2

Rendemen Kitin I = 4,510

× 100 %

= 45,00 %

Rendemen Kitin II = 2

7,5×100%

= 26,67 %

Rendemen Kitosan = 0,987,5

×100 %

= 13,07 %

25

Page 27: Kitin dan Kitosan_Yusefta Clarencia R.A._Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

26

Kelompok A3

Rendemen Kitin I = 3,510

×100 %

= 35,00 %

Rendemen Kitin II = 1

4,5× 100 %

= 22,22 %

Rendemen Kitosan = 0,443,57

× 100 %

= 12,32 %

Kelompok A4

Rendemen Kitin I = 2

10×100 %

=20,00 %

Rendemen Kitin II = 1

3,5×100 %

= 28,57 %

Rendemen Kitosan = 0,291,94

× 100 %

= 14,95 %

Kelompok A5

Rendemen Kitin I = 3

10×100 %

= 30,00 %

Rendemen Kitin II = 1,56

×100%

= 25,00 %

Rendemen Kitosan = 0,62

5×100 %

= 12,40 %

6.2. Laporan Sementara

Page 28: Kitin dan Kitosan_Yusefta Clarencia R.A._Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

27

6.3. Diagram Alir

6.4. Abstrak Jurnal