Fikosianin_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

38
FIKOSIANIN PEWARNA ALAMI DARI “BLUE GREEN MICROALGAE” SPIRULINA LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT Disusun oleh: Nama : Yusefta Clarencia Rizky Andhika NIM : 13.70.0095 Kelompok A3 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN 1

description

Praktikum Bab Fikosianin bertujuan untuk mengetahui proses isolasi fikosianin dari mikroalga Spirulina platensis dan mengetahui proses pembuatan pewarna bubuk fikosianin.

Transcript of Fikosianin_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Page 1: Fikosianin_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

FIKOSIANIN

PEWARNA ALAMI DARI “BLUE

GREEN MICROALGAE” SPIRULINA

LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh:

Nama : Yusefta Clarencia Rizky Andhika

NIM : 13.70.0095

Kelompok A3

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2015

1

Page 2: Fikosianin_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

1. MATERI DAN METODE

1.1. Alat dan Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah biomassa Spirulina, akuades,

dan dekstrin. Sedangkan alat-alat yang digunakan adalah timbangan analitik,

erlenmeyer, gelas ukur, pipet volume, pompa pilleus, stirrer, hotplate, sentrufuge,

spektrofotometer, mangkok, pengaduk, plate wadah adonan, oven, plastik bening, dan

alat penumbuk.

1.2. Metode

1

Biomassa Spirulina sebanyak 8 gram dimasukkan dalam erlenmeyer.

Dilarutkan dalam aqua destilata dengan perbandingan biomassa : pelarut = 1 : 10.

Page 3: Fikosianin_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

2

Larutan diaduk dengan stirrer di atas hotolate selama ± 2 jam.

Larutan disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm selama 10 menit hingga didapat endapan dan supernatan.

Supernatan diambil, sedangkan endapannya dibuang.

Page 4: Fikosianin_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3

Supernatan diambil sebanyak 10 ml lalu diencerkan hingga diperoleh pengenceran 10-2.

Dicampur merata dan dituang ke wadah lalu diratakan.

Sisa supernatan diambil sebanyak 8 ml lalu ditambah dekstrin dengan perbandingan supernatan : dekstrin = 1 : 1.

Supernatan yang telah diencerkan pada pengenceran 10-2 diukur kadar fikosianin menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 615 nm dan 652 nm.

Page 5: Fikosianin_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4

Dioven pada suhu 50°C hingga memiliki kadar air ± 7%.

Dihasilkan adonan kering yang gempal

Adonan kering dihancurkan dengan penumbuk hingga halus.

Dihasilkan pewarna fikosianin berbentuk powder.

Page 6: Fikosianin_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan terhadap nilai OD, konsentrasi fikosianin, yield, dan warna fikosianin dapat dilihat pada tabel 1.

KelBerat Jumlah Aquades Total Filtrat

OD615 OD652KF

(mg/ml)Yield(mg/g)

WarnaBiomassa Kering (g)

yang Ditambahkan (ml)

yang Diperoleh (ml)

Sebelum dioven

Setelah dioven

A1 8 80 58 0,0544 0,0225 0,819 5,938 ++ ++A2 8 80 58 0,0569 0,0223 0,868 6,293 ++ ++A3 8 80 58 0,0568 0,0227 0,862 6,250 ++ ++A4 8 80 58 0,0569 0,0226 0,865 6,271 ++ +A5 8 80 58 0,0574 0,0226 0,874 6,337 ++ ++

Tabel 1. Pengukuran nilai OD, Konsentrasi Fikosianin, Yield, dan Warna Fikosianin

Keterangan:+ : Biru Muda++ : Biru+++ : Biru Tua

Berdasarkan tabel 1, diketahui nilai OD hasil pengukuran spektrofotometri dengan panjang gelombang 615 nm dan 652 nm, konsentrasi

dan yield fikosianin, serta uji sensori warna fikosianin. Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa pada penggunaan berat biomassa dan

volume aquades yang sama, masing-masing kelompok memperoleh pengukuran nilai OD yang berbeda, sehingga konsentrasi fikosianin

(KF) dan yield yang dihasilkan juga berbeda. Kelompok A5 mendapatkan konsentrasi fikosianin dan yield tertinggi, yaitu berturut-turut

0,874 mg/ml dan 6,337 mg/g. Sedangkan kelompok A1 menghasilkan konsentrasi fikosianin dan yield terendah, yaitu berturut-turut 0,819

mg/ml dan 5,938 mg/g. Pada parameter warna, secara keseluruhan warna fikosianin antara sebelum dioven dengan setelah dioven tidak

5

Page 7: Fikosianin_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

6

mengalami perubahan warna yang signifikan, yaitu sebelum dan setelah dioven fikosianin tetap berwarna biru. Sedangkan pada kelompok

A4 terjadi perubahan warna pada fikosianin yang dihasilkan, dimana ketika sebelum dioven fikosianin berwarna biru kemudian berubah

menjadi biru muda setelah dioven.

Page 8: Fikosianin_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3. PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini dilakukan proses ekstraksi pigmen fikosianin dari blue green

microalga, yaitu Spirulina platensis. Menurut Seo et al. (2013), blue green algae

merupakan microalgae yang paling banyak ditemukan di laut dan dan air tawar.

Microalgae ini menggunakan energi dari sinar matahari, karbondioksida (CO2), dan

mineral yang berada dalam air untuk tumbuh dan melakukan proses fotosintesis, dimana

produk yang dihasilkan dari proses fotosintesis tersebut digunakan sebagai sumber

nutrisi bagi makhluk hidup lain yang hidup dalam air. Borowitzka (1997)

menambahkan bahwa microalgae merupakan tumbuhan air yang berukuran sangat kecil

(renik) dan sangat mudah dikembangbiakkan karena memiliki tingkat produktivitas

yang tinggi dan cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan habitatnya. Blue green

microalgae mengandung pigmen alami yang dapat diekstrak dan dimanfaatkan untuk

memproduksi produk pangan dan produk kosmetik.

Spirulina platensis merupakan salah satu jenis blue green microalga yang

paling sering dimanfaatkan sebagai sumber pewarna alami dalam makanan karena

mengandung pigmen fikosianin yang berwarna biru. Menurut Richmond (1988),

Spirulina atau Arthrospira termasuk dalam golongan organisme bersel banyak

(multiseluler) dan memiliki tubuh berupa filamen tipis atau benang halus berbentuk

silinder, berwarna biru hijau, dan tidak bercabang. Warna hijau pada Spirulina berasal

berasal dari pigmen klorofil, sedangkan warna biru berasal dari pigmen fikosianin yang

terkandung dalam struktur selnya (Sivasankari et al., 2014). Mikroalga ini berukuran

sangat kecil yaitu sebesar 3,5-10 mikron dan memiliki filamen berbentuk spiral dengan

ukuran diameter sebesar 20-100 mikron (Desmorieux, 2006). Spirulina platensis

memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan spesies

microalgae lain serta paling mudah dicerna dan diserap dalam tubuh

manusia karena dinding selnya tidak mengandung selulosa (Seo et

al., 2013). Hal ini didukung oleh pendapat Tietze (2004) yang menyatakan

bahwa Spirulina memiliki membran sel yang sangat tipis dan halus sehingga mudah

untuk dicerna. Karakteristik ini menyebabkan pemanfaat Spirulina tidak memerlukan

7

Page 9: Fikosianin_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

8

proses pengolahan khusus yang lebih rumit (Richmond 1988). Klasifikasi taksonomi

Spirulina platensis adalah sebagai berikut.

Kingdom : Protista

Filum : Cyanobacteria

Divisi : Cyanophyta

Kelas : Cyanophyceae

Ordo : Nostocales

Famili : Oscillatoriaceae

Genus : Spirulina

Spesies : Spirulina platensis Gambar 1. Spirulina platensis

(Pamungkas, 2005) Sumber: www.enfo.agt.bme.hu

Spirulina platensis memiliki kandungan asam nukleat yang rendah, serta

mengandung protein 70%, karbohidrat 15-20%, lemak 6-9%, serta

kaya akan vitamin, mineral, serat, dan pigmen (Seo et al., 2013).

Tietze (2004) mengatakan secara alami Spirulina mengandung sembilan vitamin yang

penting dari empat belas mineral yang terikat dengan asam amino. Komponen inilah

yang menyebabkan proses asimilasi pada tubuh menjadi lebih cepat. Sharma et al.

(2014) menambahkan bahwa Spirulina platensis dapat dimanfaatkan untuk

memproduksi bahan pangan yang bergizi, sebagai pupuk alami, dan aplikasi dalam

bidang bioteknologi karena memiliki banyak kandungan gizi, seperti protein, lemak,

karbohidrat, mineral, vitamin, dan asam lemak tidak jenuh (polyunsaturated). Selain itu

Spirulina platensis juga dapat berperan sebagai senyawa anti kanker, meningkatkan

sistem imun, sumber sterol sebagai senyawa antimiktobial, mengandung polisakarida

polisulfat sebagai senyawa antivirus, mengandung fikobiliprotein sebagai antioksidan,

mengandung asam amino mikosporin dan skitonemin sebagai fotoprotektan,

mengandung asam lemak tidak jenuh sebagai penurun kolesterol, serta dapat mencegah

penyakit artritis, diabetes, trauma, dan gejala pramenstruasi.

Spirulina platensis merupakan alcaliphilic halobacteria yang dapat

hidup di danau tropis dan subtropis di Afrika serta Amerika Tengah

dan Selatan (Seo et al., 2013). Hal ini didukung oleh pendapat Tietze

Page 10: Fikosianin_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

9

(2004) bahwa Spirulina dapat tumbuh di perairan danau yang bersifat basa (alkali) dan

bersuhu hangat dan dapat tumbuh juga pada kolam dangkal di wilayah tropis. Richmond

(1988) menambahkan bahwa Spirulina merupakan mikroalga yang bersifat mesofilik,

sehingga memiliki suhu pertumbuhan optimal pada 35-40oC dan suhu pertumbuhan

minimal sekitar 18-20oC. Oleh sebab itu kultur Spirulina yang ditumbuhkan di

laboratorium harus dalam kondisi suhu 35-37 °C agar dapat tumbuh secara optimal.

Menurut Seo et al. (2013), Spirulina platensis mengandung

kromoprotein yang disebut fikobiliprotein dan biasanya dapat

digunakan sebagai bahan tambahan dalam makanan, produk

kosmetik, dan reagen dalam bidang kesehatan. Fikobiliprotein ini

terdiri dari fikroeritrin yang berwarna merah dan fikosianin yang

berwarna biru yang disusun oleh subunit α and β polipeptida yang

terpisah. Diharmi (2001) menambahkan bahwa Spirulina platensis mempunyai

membran tilakoid dan struktur granula berupa fikobilisom yang tersusun atas

fikobiliprotein. Fikobiliprotein ini berfungsi untuk menyerap cahaya matahari selama

proses fotosintesis dan untuk melindungi pigmen klorofil di dalam sel dari

kemungkinan terjadinya reaksi oksidasi akibat paparan cahaya dengan intensitas tinggi.

Hal ini sesuai dengan pendapat Sivasankari et al. (2014) bahwa Spirulina platensis yang

hidup di habitat dengan iradiasi cahaya tinggi memiliki pigmen pelengkap yang

berfungsi sebagai pelindung pigmen lain dari kerusakan radiasi dan oksidasi akibat

konjugasi ikatan rangkap di dalam kromofor. Cahaya yang telah diserap oleh pigem

fikosianin (fikobiliprotein) akan ditransfer menuju allofikosianin dan akan dikirimkan

kembali menuju pusat reaksi, yaitu klorofil a yang berada pada membran tilakoid.

Klorofil a merupakan pigmen fotosintesis yang terletak di membran 5 tilakoid dan

tersebar di dalam kromoplasma (Diharmi, 2001). Richmond (1988) menambahkan

bahwa pigmen yang terkandung dalam Spirulina digolongkan menjadi tiga kelompok,

yaitu xantofil dan karotenoid sebesar 0,5% dari berat sel, klorofil a sebesar 1,7% dari

berat sel, dan fikobiliprotein sebagai pigmen dominan dalam Spirulina dan terdiri dari

20% protein seluler.

Page 11: Fikosianin_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

10

Selama fotosintesis, Spirulina platensis menggunakan cahaya matahari dan CO2 untuk

menghasilkan oksigen (O2), H2O, dan energi berupa ATP. Menurut Walter (2011),

Spirulina tidak hanya dapat hidup melalui proses fotosintesis saja, melainkan juga

memperoleh energi dari senyawa yang berasal dari limbah cair industri pangan. Selain

itu, pertumbuhan Spirulina yang hidup di dasar laut dapat sangat optimal karena air laut

mengandung unsur trace metal, seperti C, H, O, N, P, K, Mg, Ca, dan S, serta chelating

agent, seperti Mn, Fe, Mo, Cu, dan Co. Pada kondisi pertumbuhan yang sesuai, dapat

diperoleh biomasa kering Spirulina mencapai 60-70 ton/hektar kolam. Biomassa sel

Spirulina mudah larut dalam pelarut polar, seperti air dan buffer, sedangkan lebih sulit

larut dalam pelarut non-polar. Tinggi rendahnya kadar pigmen fikosianin dalam

biomasa sel tergantung pada jumlah suplai nitrogen yang dikonsumsi oleh Spirulina

dalam air (Richmond, 1988).

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Spirulina platensis mengandung

pigmen fikosianin yang berwarna biru sebagai komponen utama

penyusun fikobiliprotein (Seo et al., 2013). Pemanfaatan pigmen

fikosianin sebagai bahan pewarna alami dalam makanan masih

sangat jarang digunakan oleh industri pangan. Hal ini disebabkan

karena warna dari bahan alami tidak beragam dan tidak homogen,

sulit didapatkan, dan tidak stabil terhadap perubahan suhu maupun

pH bahan (Syah et al., 2005). Warna yang beragam dapat menjadi daya tarik bagi

konsumen untuk mengonsumsi suatu bahan pangan. Namun di sisi lain tidak semua zat

pewarna aman untuk digunakan dan ditambahkan pada produk pangan. Menurut

Socaciu dalam Nornabilah (2010) terdapat dua jenis pewarna makanan, yaitu pewarna

alami dan pewarna sintetis. Pewarna alami adalah pewarna yang terdapat pada buah,

sayuran, atau bunga yang secara kimia terjadi secara alami. Sedangkan pewarna sintetis

merupakan bahan pewarna yang secara kimia dihasilkan oleh manusia. Pewarna sintetis

dibuat dengan proses kimia yang bertahap sehingga dapat menjadikannya lebih stabil

dalam kondisi apaun (Winarno, 2002). Keberadaan bahan pewarna ini sering

menimbulkan kekhawatiran bagi sebagian konsumen karena dapat menimbulkan

dampak negatif bagi kesehatan (Hary dalam Hartono, 2013). Oleh sebab itu untuk

Page 12: Fikosianin_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

11

menghindari penggunaan pewarna yang berbahaya tersebut, dapat digunakan bahan

pewarna alami dari pigmen fikosianin yang terdapat pada Spirulina platensis.

Fikosianin merupakan senyawa kompleks pigmen-protein yang saling berhubungan

serta terlibat dalam pemanenan cahaya dan energi transduksi (Romay et al, 1998).

Pigmen fikosianin mampu menghasilkan warna biru tua dalam suatu bahan dan dapat

memancarkan warna merah tua ketika terkena cahaya. Fikosianin merupakan pigmen

dominan pada Spirulina platensis yang terdapat pada fikobiliprotein dan bersifat

hidrofilik, sehingga mudah larut dalam pelarut polar, seperti air (Richmond, 1988).

Martelli et al. (2013) menambahkan bahwa fikosianin termasuk dalam kelompok

fikobiliprotein yang terdiri dari dua subunit, yaitu α dan β. Fikosianin merupakan

penyusun utama fikobiliprotein sebesar 20% dari berat kering Spirulina. Fikosianin

memiliki absorbansi cahaya maksimum pada panjang gelombang 546 nm. Selain itu

berat molekul fikosianin (c-fikosianin) adalah sebesar 134 kDa, namun terdapat pula

berat molekul fikosianin yang lebih besar, yaitu 262 kDa, yang diperoleh dari ekstrak

fikosianin segar pada beberapa spesies. Berat molekul fikosianin yang lebih besar ini

dapat disebabkan karena adanya fragmen fikobilisom dalam Spirulina (Ó Carra & Ó

hEocha, 1976). Di dalam Spirulina, fikosianin dapat berperan sebagai bahan penyimpan

nitrogen dan penyerap cahaya terbaik dibandingkan pigmen lain yang terkandung

(Romay et al, 1998). Struktur kimia fikosianin dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Struktur Fikosianin

(Ó Carra & Ó hEocha, 1976)

Romay et al. (1998) menyatakan bahwa warna biru yang dihasilkan oleh pigmen

fikosianin berasal dari senyawa kelompok prostetik kovalen yang berikatan pada rantai

kromofor tetrapirol terbuka dengan cincin fikobilin yang memiliki kemampuan untuk

Page 13: Fikosianin_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

12

menangkap radikal oksigen. Apabila ditinjau dari strukur kimia dan fungsinya,

kromofor (tetrapirol terbuka) pada c-fikosianin memiliki kemiripan dengan bilirubin.

Bilirubin merupakan senyawa antioksidan yang memiliki kemampuan mengikat radikal

peroksi dengan cara mendonorkan atom hidrogen yang terikat pada molekul tetrapirol,

yaitu atom C ke 10. Keberadaan bilirubin sangat diperlukan dalam tubuh untuk menjaga

kesehatan hati dan saluran pencernaan. Perbedaan struktur kimia fikosianin dengan

bilirubin dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3. Struktur Kimia Fikosianin (a) dan Bilirubin (b)

(Romay et al., 1998)

Menurut Seo et al. (2013), fikosianin sebagai pigmen alami berwarna

biru memiliki peran yang penting bagi kesehatan. Fikosianin dapat

dimanfaatkan untuk mencegah penuaan (anti aging), memiliki

aktivitas antioksidan, anti inflamasi, dan mencegah pembentukan sel

kanker dalam tubuh. Sharma et al. (2014) menambahkan bahwa fikosianin juga

dapat berperan sebagai senyawa anti-viral, anti tumor, neuro-protective,

epatoprotective, dan radioprotection. Namun sama seperti pigmen lainnya, fikosianin

juga memiliki kekurangan, yaitu sangat sensitif terhadap perubahan suhu dan pH akibat

subunit polipeptida yang terkandung (Seo et al., 2013). Martelli et al. (2013)

menambahkan bahwa fikosianin tidak stabil terhadap cahaya, suhu,

pH, dan oksigen dan menyebabkan pemudaran warna biru hingga

mencapai 90%. Dalam jurnalnya, Sharma et al. (2014) menyatakan bahwa tingkat

salinitas dan pH bahan juga dapat mempengaruhi kestabilan fikosianin yang dihasilkan.

Dari hasil penellitiannya diketahui bahwa dengan penggunaan garam NaCl 0,4 M pada

pH netral dapat diperoleh fikosianin sebagai bagian dari fikobiliprotein dalam jumlah

Page 14: Fikosianin_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

13

yang banyak, sehingga dengan kondisi ini fikoseianin dapat dijadikan solusi sebagai

sumber protein untuk produksi pengolahan produk massal.

Mishra et al., (2008) menyatakan bahwa proses penyimpanan fikosianin perlu

diperhatikan untuk tetap menjaga kestabilan warna yang dihasilkan. Fikosianin akan

mengalami degradasi pada kondisi suhu tinggi dan akan mengalami pemudaran warna

mencapai 30% ketika disimpan selama 5 hari. Selain itu penyimpanan fikosianin selama

15 hari pada suhu 35oC dapat menyebabkan terjadinya degradasi mayor, dimana warna

biru pada fikosianin berubah menjadi bening (colourless). Upaya pencegahan terjadinya

kerusakan pada fikosianin dapat dilakukan dengan menambahkan bahan dekstrin ke

dalam sampel Spirulina. Pigmen fikosianin akan diikat oleh dekstrin, sehingga proses

pemudaran warna akibat degradasi akan terhambat (Thompson, 2015).

Dekstrin merupakan suatu produk hidrolisis pati yang berwarna putih hingga

kekuningan dan berbentuk padat atau amorf (SNI, 1992). Agra et al. (1987)

menambahkan bahwa dekstrin adalah senyawa glukosa yang diperoleh dari hasil

hidrolisisis pati melalui pemanasan dengan penambahan asam atau enzim. Proses

pembentukan dekstrin ini tergantung pada reaksi pemecahan rantai polisakarida yang

terkandung di dalamnya. Dekstrin memiliki kemampuan untuk membentuk lapisan

(film), bersifat adesive, dan mudah larut dalam air. Dekstrin tersusun atas senyawa

glukosa yang bersifat hidrofilik, sehingga sangat mudah berikatan dengan air,

sedangkan sulit berikatan dengan pelarut non polar. Menurut Ningsih et al. (2010),

dekstrin dapat digunakan sebagai penguat flavor, untuk substitusi gelatin dan lemak,

serta sebagai bahan pengisi karena dapat meningkatkan berat produk pangan dalam

bentuk bubuk. Selain itu, dekstrin juga berfungsi untuk membawa bahan tambahan

pangan yang dibutuhkan untuk larut dalam air, seperti flavor dan zat pewarna

(Thompson, 2015). Suparti (2000) menambahkan bahwa desktrin bersifat stabil pada

suhu tinggi, sehingga dapat menghambat penguapan senyawa volatil dalam bahan

pangan dan dapat dimanfaatkan sebagai stabilizer dalam bahan pangan, termasuk bahan

pangan yang mengandung pigmen fikosianin. Dekstrin akan memerangkap fikosianin,

sehingga fikosianin menjadi terenkapsulasi oleh desktrin dan proses degradasi pigmen

akan tereduksi.

Page 15: Fikosianin_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

14

Pada praktikum ini, dilakukan proses ekstraksi fikosianin dari biomassa Spirulina

platensis. Hal ini telah sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Sivasankari et al.

(2014) yang menyatakan bahwa Spirulina platensis merupakan salah satu jenis

blue green microalga yang mengandung pigmen fikosianin sebagai penyusun utama

fikobiliprotein. Mula-mula, biomassa Spirulina yang berbentuk bubuk ditimbang

sebanyak 8 gram kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Setelah itu sampel

ditambahkan dengan aquades dengan perbandingan pelarut : biomassa = 10:1, sehingga

volume aquades yang digunakan sebanyak 80 ml. Penambahan aquades berfungsi

sebagai pelarut. Hal ini telah sesuai dengan pendapat Richmond (1988) bahwa

fikosianin merupakan pigmen yang terdapat pada Spirulina platensis sebagai penyusun

utama fikobiliprotein dan bersifat hidrofilik, sehingga mudah larut dalam pelarut polar.

Setelah itu larutan diaduk menggunakan stirrer di atas hotplate selama dua jam.

Magnetic stirrer adalah alat pengaduk larutan yang membutuhkan arus elektrik dalam

penggunaannya. Arus tersebut dapat diperoleh sepotong magnet yang dibungkus plastik,

yang memiliki kecepatan mengaduk 250-1000 rpm (Pudyaatmaka & Qodratillah, 2002:

8,935). Proses pengadukan ini bertujuan untuk mencampurkan larutan agar biomassa

Spirulina dapat terlarut secara sempurna dalam pelarut dan fikosianin dapat terekstrak

dengan optimal (Fardiaz, 1992).

Tahap selanjutnya yaitu larutan disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm selama 10

menit hingga diperoleh endapan dan supernatan yang mengandung fikosianin. Menurut

Suyitno (1989), sentrifugasi adalah pemisahan antara dua komponen, baik antara kedua

zat cair yang tidak saling melarutkan maupun antara zat cair dengan padatan yang

terdispersi di dalamnya. Proses pemisahan ini dilakukan berdasarkan berat jenis

molekul yang berbeda melalui pemberian gaya sentrifugal, sehingga substansi yang

memiliki berat jenis lebih tinggi akan berada di bagian dasar, sedangkan substansi

dengan berat jenis lebih rendah akan terletak di bagian atas (Faatih, 2009). Dalam hal

ini, Spirulina memiliki berat molekul yang lebih tinggi dibandingkan fikosianin yang

terlarut dalam aquades, sehingga Spirulina berada di bagian bawah sedangkan

fikosianin berada di bagian atas.

Page 16: Fikosianin_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

15

Supernatan yang mengandung fikosianin diambil, sedangkan endapannya dibuang.

Sebanyak 10 ml supernatan diambil untuk dilakukan penentuan konsentrasi fikosianin

menggunakan spektrofotometer. Sebelum dilakukan uji selanjutnya, supernatan tersebut

diencerkan terlebih dahulu hingga pengenceran 10-2. Sebanyak 1 ml larutan dimasukkan

ke dalam tabung reaksi 1 berisi aquades 9 ml, sehingga diperoleh pengenceran 10 -1.

Lalu larutan dari pengenceran 10-1 diambil sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke dalam

tabung reaksi 2 berisi aquades 9 ml, sehingga diperoleh pengenceran 10 -2. Proses

pengenceran bertujuan untuk mendapatkan larutan dengan konsentrasi yang lebih

rendah dan tidak terlalu pekat (Khopkar, 1990). Setelah diencerkan dilakukan

pengukuran nilai absorbansi larutan menggunakan spektrofotometer dengan panjang

gelombang 615 nm dan 652 nm. Proses pengukuran nilai absorbansi ini telah sesuai

dengan pendapat Martelli et al. (2013) yang menyatakan dalam jurnalnya bahwa

fikosianin yang memiliki pigmen hijau-biru memiliki penyerapan cahaya pada panjang

gelombang 650-655 nm, sedangkan penyerapan maksimalnya terjadi pada panjang

gelombang 615-620 nm. Prinsip pembacaan absorbansi ini didasarkan pada aktivitas

serapan molekul fikosianin terhadap sinar pada panjang gelombang tertentu (Winarno,

2002). Penggunaan panjang gelombang 615 nm dan 652 nm juga telah sesuai dengan

penelitian yang dilakukan oleh Antelo et al. (2010). Dalam jurnalnya, Antelo et al.

(2010) melakukan ekstraksi fikosianin dari Spirulina platensis menggunakan sistem dua

fase. Kultur Spirulina diolah menjadi berbentuk biomassa, kemudian dilakukan ekstrak

fikosianin menggunakan sistem tanpa debris sel. Setelah disentrifugasi dan diperoleh

filtrat, dilakukan penentuan konsentrasi fikosianin dengan cara mengukur OD

menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 615 nm dan 652 nm.

Hasil absorbansi yang diperoleh kemudian digunakan untuk menghitung konsentrasi

dan yield fikosianin dalam Spirulina platensis. Proses ekstraksi fikosianin yang

dilakukan dalam praktikum ini telah sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

Sivansakari et al. (2014). Dalam jurnalnya, Sivansakari et al. (2014) melakukan

ekstraksi fikosianin dari Spirulina platensis, yaitu dengan cara melarutkan biomassa

Spirulina platensis dalam pelarut untuk merusak dinding sel dan mengisolasi fikosianin

dari bahan, kemudian sampel disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm selama 15

menit. Setelah itu supernatan yang dihasilkan diukur absorbansinya menggunakan

Page 17: Fikosianin_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

16

spektrofotometer UV-VIS untuk menentukan yield ekstraksi fikosianin dari biomassa

Spirulina platensis.

Sementara itu, dari supernatan yang masih tersisa diambil sebanyak 8 ml kemudian

ditambahkan dengan dekstrin pada perbandingan supernatan : dekstrin = 1:1, sehingga

dekstrin yang digunakan sebanyak 8 gram. Penggunaan dekstrin bertujuan untuk

memerangkap pigmen fikosianin dalam sampel, sehingga pemudaran warna biru dari

fikosianin akibat degradasi pigmen selama penyimpanan menjadi terhambat

(Thompson, 2015). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang diperoleh Martelli et al.

(2013) dalam jurnalnya bahwa penambahan gula dengan konsentrasi tinggi akan

meningkatkan stabilitas termal fikosianin sehingga dapat diaplikasikan pada industri

pengolahan pangan, seperti pembuatan es krim dan sirup. Suparti (2000) menambahkan

bahwa penambahan dekstrin juga bertujuan untuk mempertahankan kestabilan pigmen

selama proses pengeringan karena fikosianin dapat mengalami kerusakan pada suhu

tinggi. Selain itu Fennema (1985) juga berpendapat bahwa penggunaan dekstrin

bertujuan untuk meningkatkan berat dan yield yang dihasilkan oleh pigmen fikosianin.

Campuran diaduk hingga homogen kemudian dituangkan dalam wadah yang digunakan

sebagai alas untuk proses pengeringan. Setelah itu sampel dikeringkan dalam oven pada

suhu 50oC hingga memiliki kadar air ± 7% dan dihasilkan adonan kering yang gempal.

Kemudian adonan yang telah mengering tersebut dihancurkan hingga halus dan

berbentuk bubuk (powder). Proses pengeringan yang dilakukan bertujuan untuk

menguapkan kandungan air dalam sampel, sehingga sampel menjadi lebih kering

dibandingkan sebelumnya. Sedangkan proses penghancuran sampel bertujuan untuk

memperkecil ukuran pratikel dan meningkatkan luas permukaan sehingga semakin

mudah larut dalam air apabila digunakan pada proses pengolahan bahan pangan

selanjutnya (Potter, 1987). Suhartono (2000) menambahkan bahwa fikosianin perlu

disimpan dalam kondisi kering sehingga dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama.

Hal ini disebabkan karena selama proses penyimpanan memungkinkan terjadinya proses

fermentasi pada fikosianin cair, sehingga fikosianin cepat mengalami kerusakan dan

umur simpannya menjadi sangat singkat.

Page 18: Fikosianin_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

17

Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui nilai OD hasil pengukuran spektrofotometri

dengan panjang gelombang 615 nm dan 652 nm, konsentrasi dan yield fikosianin, serta

uji sensori warna fikosianin. Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa pada

penggunaan berat biomassa dan volume aquades yang sama, masing-masing kelompok

memperoleh pengukuran nilai OD yang berbeda, sehingga konsentrasi fikosianin (KF)

dan yield yang dihasilkan juga berbeda, meskipun perbedaannya tidak terlalu signifikan.

Kelompok A5 mendapatkan konsentrasi fikosianin dan yield tertinggi, yaitu berturut-

turut 0,874 mg/ml dan 6,337 mg/g. Sedangkan kelompok A1 menghasilkan konsentrasi

fikosianin dan yield terendah, yaitu berturut-turut 0,819 mg/ml dan 5,938 mg/g.

Menurut Day & Underwood (1992), nilai absorbansi dipengaruhi oleh konsentrasi

larutan, tebal cuvet, dan intensitas penyinaran. Semakin tinggi konsentrasi larutan maka

semakin tinggi pula nilai absorbansi pada larutan tersebut (Ewing, 1976). Seharusnya

konsentrasi larutan yang digunakan oleh semua kelompok adalah sama karena berat

biomassa dan volume aquades yang digunakan besarnya sama. Namun pada hasil

pengamatan diketahui bahwa nilai OD pada setiap larutan berbeda-beda. Perbedaan

nilai OD ini dapat disebabkan karena terjadi kesalahan dalam pembacaan skala alat atau

pembacaan yang tidak akurat. Hal ini dapat disebabkan karena pencucian cuvet yang

kurang bersih sebelum digunakan, sehingga masih terdapat bekas sidik jari yang

menempel pada dinding cuvet dan mempengaruhi penyerapan intensitas cahaya oleh

molekul fikosianin (Day & Underwood, 1992). Selain itu juga dapat disebabkan karena

pengukuran berat biomassa atau volume pelarut yang kurang akurat sehingga akan

mempengaruhi konsentrasi larutan yang dihasilkan. Semakin pekat larutan maka

semakin tinggi konsentrasinya, sehingga semakin tinggi pula nilai absorbansinya

(Ewing, 1976). Dari hasil pengamatan diketahui bahwa semakin tinggi nilai OD larutan

pada panjang gelombang tertentu, maka konsentrasi fikosianin dan yield yang

dihasilkan juga semakin tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa nilai OD berbanding lurus

dengan konsentrasi fikosianin dan yield.

Pada parameter warna, secara keseluruhan warna fikosianin antara sebelum dioven

dengan setelah dioven tidak mengalami perubahan yang signifikan. Kelompok A1, A2,

A3, dan A5 menghasilkan fikosianin yang berwarna biru, baik sebelum dan setelah

dioven. Hal ini telah sesuai dengan pendapat Seo et al. (2013) yang

Page 19: Fikosianin_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

18

menyatakan bahwa Spirulina platensis mengandung pigmen fikosianin

yang berwarna biru sebagai komponen utama penyusun

fikobiliprotein. Romay et al. (1998) menjelaskan bahwa warna biru yang dihasilkan

oleh pigmen fikosianin berasal dari senyawa kelompok prostetik kovalen yang berikatan

pada rantai kromofor tetrapirol terbuka dengan cincin fikobilin yang memiliki

kemampuan untuk menangkap radikal oksigen. Di sisi lain, dari hasil pengamatan

menunjukkan pada kelompok A4 terjadi perubahan warna fikosianin yang dihasilkan,

dimana ketika sebelum dioven fikosianin berwarna biru kemudian berubah menjadi biru

muda setelah dioven. Menurut Seo et al. (2013), fikosianin sangat sensitif

terhadap perubahan suhu dan pH akibat subunit polipeptida yang terkandung. Hal ini

didukung oleh pendapat Mishra et al., (2008) yang menyatakan bahwa fikosianin akan

mengalami degradasi pada kondisi suhu tinggi sehingga terjadi pemudaran warna.

Seharusnya pemudaran warna ini tidak terjadi karena telah dilakukan penambahan

dektrin ke dalam larutan fikosianin sebelum melalui proses pengeringan. Dekstrin akan

memerangkap fikosianin sehingga fikosianin menjadi lebih stabil dan proses degradasi

menjadi terhambat (Thompson, 2015). Ketidaksesuaian yang terjadi dapat disebabkan

karena penentuan warna fikosianin ini tidak dilakukan secara obyektif menggunakan

alat seperti chromameter, melainkan dilakukan pengujian sensoris sehingga bersifat

subyektif berdasarkan perspektif praktikan yang berperan sebagai panelis. Selain itu

juga dapat disebabkan karena berat dekstrin yang ditambahkan pada fikosianin kurang

tepat sehingga akan mempengaruhi kualitas warna yang dihasilkan.

Page 20: Fikosianin_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4. KESIMPULAN

Spirulina platensis merupakan salah satu jenis blue green microalga yang

mengandung pigmen fikosianin berwarna biru.

Spirulina merupakan organisme multiseluler dan memiliki tubuh berupa filamen tipis

berbentuk silinder, berwarna biru hijau, dan tidak bercabang.

Spirulina platensis melakukan fotosintesis untuk menghasilkan produk sebagai

sumber energi bagi dirinya dan organisme lain yang hidup di laut.

Fikosianin merupakan pigmen dominan pada Spirulina platensis yang terdapat pada

fikobiliprotein dan bersifat hidrofilik.

Warna biru pada fikosianin berasal dari senyawa kelompok prostetik kovalen yang

berikatan pada rantai kromofor tetrapirol terbuka dengan cincin fikobilin.

Fikosianin dapat digunakan untuk mencegah penuaan, sebagai

antioksidan, anti inflamasi, anti-viral, dan mencegah pembentukan

sel kanker dalam tubuh.

Penggunaan dekstrin bertujuan untuk memerangkap pigmen fikosianin, sehingga

pemudaran warna biru selama penyimpanan dan pemanasan menjadi terhambat.

Sentrifugasi bertujuan untuk memisahkan endapan berisi Spirulina dengan filtrat

yang mengandung fikosianin.

Fikosianin mengandung pigmen hijau-biru sehingga mampu menyerap cahaya pada

panjang gelombang 615 nm dan 652 nm.

Nilai OD dipengaruhi oleh konsentrasi larutan, tebal cuvet, dan intensitas

penyinaran.

Semakin tinggi nilai OD larutan pada panjang gelombang tertentu, maka konsentrasi

fikosianin dan yield yang dihasilkan juga semakin tinggi.

Pemudaran warna fikosianin setelah dioven disebabkan karena terjadi degradasi

fikosianin akibat proses pemanasan.

Penyimpanan fikosianin dalam bentuk bubuk akan memperpanjang umur simpannya.

Semarang, 25 September 2015

Praktikan, Asisten Dosen,

- Deanna Suntoro

19

Page 21: Fikosianin_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

20

Yusefta Clarencia R.A. - Ferdyanto Juwono

13.70.0095

Page 22: Fikosianin_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

5. DAFTAR PUSTAKA

Agra, I. B., Warnijati, S., Indriyani, K. (1987). Hydrolysis of Dry Cassava Powder. CHEMECA 87, The 15th Australasian Chemical Engineering Conference. pp. 99. 1 – 96, Melbourne, Australia.

Antelo, Francine S., Andréia Anschau, Jorge A. V. Costa and Susana J. Kalil. (2010). Extraction and Purification of C-phycocyanin from Spirulina platensis in Conventional and Integrated Aqueous Two-Phase Systems. Universidade Federal do Rio Grande, Brazil. Journal Brazil Chemistry Soc., Vol. 21, No. 5, 921-926.

Badan Standardisasi Nasional. (1992). SNI 01-2593-1992 : Dekstrin untuk Industri Pangan. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.

Borowitzka M.A. (1997). Microalgae for Aquaculture, Opportunities and Constraints. Journal Application Phycology Vol. 9, hal. 393-401.

Day, R.A. & A.L. Underwood. (1992). Analisis Kimia Kuantitatif. Erlangga. Jakarta.

Desmorieux H. Decaen N. (2006). Convective drying of Spirulina in thin layer. Journal Of Food Engineering, 77:64-70.

Diharmi A. (2001). Pengaruh Pencahayaan Terhadap Kandungan Pigmen Bioaktif Mikrolaga Spirulina platensis Strain Lokal (INK). Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Ewing, G. W. (1976). Instrumental Methods of Chemical Analysis. Mc Grow Hill Book Company. USA.

Faatih, M. (2009). Isolasi dan Digesti DNA Kromosom. Jurnal Penelitian Sains & Teknologi; 10(1): 61-67.

Fardiaz, Srikandi. (1992). Mikrobiologi Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.PAU Pangan dan Gizi.Institut Pertanian Bogor.

Fennema, D. R. (1985). Food Chemistry, Third Edition. Marcel Dekker Inc. New York.

Hartono, Michelle Angelia, L.M. Ekawati Purwijantiningsih, Dan Sinung Pranata. (2013). Pemanfaatan Ekstrak Bunga Telang (Clitoria Ternatea L.) sebagai Pewarna Alami Es Lilin. Fakultas Teknobiologi. Universitas Atma Jaya. Yogyakarta.

Khopkar S. M. (1990). Konsep Dasar Kimia Analitik. Universitas Indonesia. Jakarta.

Martelli, Giulia; Claudia Folli, Livia Visai, Maria Daglia, Davide Ferrari. (2013). Thermal Stability Improvement Of Blue Colorant C-Phycocyanin from Spirulina Platensis for Food Industry Applications. University of Parma, Italy.

21

Page 23: Fikosianin_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

22

Mishra SK, Shrivastav A, Mishra S. (2008). Effect of preservatives for food grade C-PC from Spirulina platensis. Process Biochemistry 43:339–345.

Ningsih, Dian Riana; Ari Asnani, Amin Fatoni. (2010). Pembuatan Dekstrin dari Pati Ubi Kayu Menggunakan Enzim Amilase dari Azospirillum sp. JG3 dan Karakterisasinya. Fakultas Sains dan Teknik. UNSOED. Purwakarta. Molekul, Vol. 5, No. 1, Mei 2010 : 15 – 2115.

Nornabilah. (2010). Color Stability of Natural Colorant on Blue Pea Flowers. Faculty of Chemical and Natural Resources Engineering. Universitas Malaysia Pahang. Kuala Lumpur.

Ó Carra P, Ó hEocha C. (1976). Algal Biliproteins and Phycobilins. Goodwin TW, editor. Chemistry and Biochemistry of Plant Pigments. Academic press inc. London.

Pamungkas, Estiamboro. (2005). Pengolahan Limbah Cair PT. Pupuk Kujang dengan Spirulina sp. pada Reaktor Curah (Batch). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Bogor.

Potter, N. (1987). Food Science. 3 edition. AVI Publishing Company. New Delhi.

Pudyaatmaka, A. Hadyana & Meity Taqdir Qodratillah. 2002. Kamus Kimia cetakan II. Balai Pustaka. Jakarta.

Richmond A. (1988). Spirulina.Di dalam Borowitzka MA dan Borowitzka LJ, editor.Micro-algal biotechnology. Cambridge: Cambridge University Press.

Romay, C., Armesto, J., Remirez, D., Gonzalez, R., Ledon, N., & Garcis, I. (1998). Inflamn Res 47, 36-41.

Seo, Yong Chang; Woo Seok Choi, Jong Ho Park, Jin Oh Park, Kyung-Hwan Jung, and Hyeon Yong Lee. (2013). Stable Isolation of Phycocyanin from Spirulina platensis Associated with High-Pressure Extraction Process. International Journal of Molecular Sciences 2013, 14, 1778-1787; ISSN 1422-0067, doi:10.3390/ijms14011778

Sharma, Gaurav; Manoj Kumar, Mohammad Irfan Ali and Nakuleshwar Dut Jasuja. (2014). Effect of Carbon Content, Salinity and pH on Spirulina platensis for Phycocyanin, Allophycocyanin and Phycoerythrin Accumulation. Suresh Gyan Vihar University, India. Journal Microbial and Biochemical Technology 2014, 6:4.

Sivasankari, S., Naganandhini, and David Ravindran. (2014). Comparison of Different Extraction methods for Phycocyanin Extraction and Yield from Spirulina platensis. Gandhigram Rural Institute-Deemed University, India. International Journal Current Microbiology Applications Science Volume 3 Number 8 (2014) pp. 904-909, ISSN: 2319-7706.

Page 24: Fikosianin_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

23

Suhartono TS. (2000). Bioteknologi Hasil Laut. Bogor: Pusat. Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor.

Suparti, W. (2000). Pembuatan Pewarna Bubuk dari Ekstrak Angkak: Pengaruh Suhu, Tekanan dan Konsentrasi Dekstrin. Program Pascasarjana. Universitas Brawijaaya. Malang.

Suyitno. (1989). Petunjuk Laboratorium Rekayasa Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan & Gizi UGM. Yogyakarta.

Syah et al. (2005).Manfaat dan Bahaya Bahan Tambahan Pangan. Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor.

Thompson, Caroline. (2015). What Is Wheat Dextrin? http://www.livestrong.com/article/499266-what-is-wheat-dextrin/. Diakses pada 22 September 2015 pukul 15.21 WIB.

Tietze HW. (2004). Spirulina Micro Food Macro Blessing. Ed ke-4. Australia: Haralz W Tietze Publishing.

Walter, Alfredo, Julio Cesar de C., Vanete T. S., Ana B. B., Vanessa G., and Carlos R. S. (2011). Study of Phycocyanin Production from Spirulina platensis Under Different Light Spectra. Vol. 54, pp 675-682.

Winarno, F.G. (2002). Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia. Jakarta.

Page 25: Fikosianin_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan

Rumus :

Konsentrasi Fikosianin (mg/ml) = OD615−0,474 (OD¿¿652)

5,34×

1Fp

¿

Yield (mg/g) = KF ×Vol(total filtrat)

g (berat Biomassa)

Kelompok A1

Konsentrasi Fikosianin = 0,0544 – 0,474(0,0225)

5,34×

110−2

= 0,819 mg/ml

Yield = 0,819 ×58

8= 5,938 mg/g

Kelompok A2

Konsentrasi Fikosianin = 0,0569 – 0,474 (0,0223)

5,34×

110−2

= 0,868 mg/ml

Yield = 0,868 ×58

8= 6,293 mg/g

Kelompok A3

Konsentrasi Fikosianin = 0,0568 – 0,474 (0,0227)

5,34×

110−2

= 0,862 mg/ml

Yield = 0,862× 58

8= 6,250 mg/g

24

Page 26: Fikosianin_Yusefta Clarencia R.A._13.70.0095_Kloter A3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

25

Kelompok A4

Konsentrasi Fikosianin = 0,0569 – 0,474 (0,0226)

5,34×

110−2

= 0,865 mg/ml

Yield = 0,865 ×58

8= 6,271 mg/g

Kelompok A5

Konsentrasi Fikosianin = 0,0574 – 0,474(0,0226)

5,34×

110−2

= 0,874 mg/ml

Yield = 0,874 ×58

8= 6,337 mg/g

6.2. Laporan Sementara

6.3. Diagram Alir

6.4. Abstrak Jurnal