Kitin Kitosan _Aventio Dega_13.70.0060_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

26
Acara II CHITIN & CHITOSAN LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT Disusun oleh : Nama : Aventio Dega NIM :13.70.0060 Kelompok D1

description

Kitin kitosan didapatkan dari limbah crustacean dengan proses demineralisasi, deaminasi, deasetilasi

Transcript of Kitin Kitosan _Aventio Dega_13.70.0060_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Page 1: Kitin Kitosan _Aventio Dega_13.70.0060_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Acara II

CHITIN & CHITOSAN

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh :

Nama : Aventio Dega

NIM :13.70.0060

Kelompok D1

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK

SOEGIJAPRANATA SEMARANG

2015

Page 2: Kitin Kitosan _Aventio Dega_13.70.0060_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

1. MATERI METODE

1.1. Materi

1.1.1. Alat

Alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu oven, blender, ayakan, dan peralatan gelas

1.1.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbah udang, HCL 0,75 N; 1 N; dan 1,25

N, NaOH 3,5%, NaOH 40%, 50%, dan 60%.

1.2. Metode

1.2.1. DEMINERALISASI

1

Limbah udang dicuci menggunakan air mengalir dan dikeringkan

Dicuci dengan air panas sebanyak 2x dan dikeringkan

Bahan dihancurkan dan diayak menggunakan ayakan 40-60 meshdan ditimbang

Page 3: Kitin Kitosan _Aventio Dega_13.70.0060_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

2

Dicampur dengan HCl 0,75N, 1N dan 1,25N dengan perbandingan 10:1

Dipanaskan hingga suhu 80oC dan mengaduk selama 1 jam

Dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

Page 4: Kitin Kitosan _Aventio Dega_13.70.0060_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3

1.2.2. DEPROTEINASI

Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH 3,5% dengan perbandingan 6:1

dipanaskan pada suhu 70oC selama 1 jam dan dilkakukan pengadukan

Residu disaring dan dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam dan dihasilkan chitin

Page 5: Kitin Kitosan _Aventio Dega_13.70.0060_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4

1.2.3. DEASETILASI

Hasil deproteinasi dicampur dengan NaOH 40%, 50% dan 60% dengan perbandingan 20:1

Dipanaskan pada suhu 80oC selama 1 jam dan dilakukan pengadukan

Residu dicuci dan disaring hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam dan dihasilkan chitosan

Page 6: Kitin Kitosan _Aventio Dega_13.70.0060_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan kitin dan kitosan dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Kitin dan Kitosan

Kelompok PerlakuanRendemenKitin

I (%)RendemenKitin

II (%)RendemenKitosan

(%)

D1HCl 0,75N + NaOH 40% + NaOH 3,5%

32,14 25 48,25

D2HCl 0,75N + NaOH 40% + NaOH 3,5%

32,14 31,38 39,43

D3HCl 1N + NaOH 50%

+ NaOH 3,5%36,84 45,71 46,80

D4HCl1N + NaOH 50%

+ NaOH 3,5%34,78 37,78 39,20

D5HCl 1,25N + NaOH 60% + NaOH 3,5%

29,17 32,73 39,14

Pada Tabel 1, dapat dilihat pada 3 rendemen yaitu, Rendemen Kitin I dari proses

demineralisasi, Rendemen Kitin II dari proses deproteinasi, dan Rendemen Kitosan dari

proses deasetilasi. Pada Rendemen Kitin I hasil tertinggi adalah kelompok D3 dengan nilai

36,84% dan terendah adalah kelompok D5 dengan nilai 29,17%. Pada Rendemen Kitin II

hasil tertinggi adalah kelompok D3 dengan nilai 45,71% dan terendah adalah kelompok D1

sebesar 25%. Untuk Rendemen Kitosan hasil tertinggi adlaah D1 dengan nilai 48,25% dan

terendah adalah kelompok D5 dengan nilai 39,14%.

5

Page 7: Kitin Kitosan _Aventio Dega_13.70.0060_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3. PEMBAHASAN

Bahan yang paling populer digunakan dalam pembuatan kitin dan kitosan adalah

limbah udang (crustacea). Kulit udang menurut Berger et al (2004) cangkang dari

crustacean, misalnya udang, sering digunakan sebagai sumber bahan kitin dan

kitosan. Meskipun kulit udang memiliki kandungan lemak dan protein tinggi,

sayangnya jarang digunakan (Moeljanto, 1992). Padahal menurut Manjang (1993),

sumber kitin dan kitosan yang mudah diperoleh adalah kulit udang, bahkan perlu

dilakukan pengolahan lebih lanjut untuk limbahnya. Kitin berwarna putih, tidak

elastis, keras, dan merupakan nitrogenous polysaccharide yang ditemukan pada

cangkang invertebrata. Kitin bersifat tidak larut air, sehingga penggunaannya terbatas

(Krissetiana, 2004).

Kitosan adalah turunan dari Kitin. Kitosan berbentuk padatan amorf berwarna

putih dengan struktur kristal yang tidak berubah dari bentuk awal kitin murni. Rantai

dari kitosan ini lebih pendek daripada rantai kitin yang digunakan untuk produksi

kitosan tersebut (Radhakumary et al., 2005). Kitosan memiliki karakteristik kimia

yaitu gugus amino reaktif, gugus hidroksil reaktif, poliamin linear, dan chelating

agent. Kitosan memiliki karakteristik biologi yaitu biocompatible (polimer alami,

tidak beracun dan aman, serta biodegradable bagi tubuh) dan bagi mamalia dan

mikroorganisme memiliki efek regeneratif, mempercepat pembentukan tulang,

spermicidal, hemeostatik, anti cholesteremic, anti tumor, fungistatik, menghilangkan

stres, dan imunoadjuvant (Dutta et al, 2004).

Pembuatan kitin dan kitosan dalam praktikum ini dilakukan melalui 3 tahapan

yaitu demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi. Hal ini sesuai oleh teori dari

Aranaz et al (2009) yang mengatakan bahwa proses produksi kitin dilakukan melalui

beberapa tahapan utama yaitu demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi (perubahan

menjadi kitosan).

3.1. Demineralisasi

Tahap ini bertujuan untuk menghilangkan mineral pada kulit udang. Metode

ini diawali dengan limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan,

kemudian dicuci dua kali dengan air panas dan kembali dikeringkan. Setelah itu

6

Page 8: Kitin Kitosan _Aventio Dega_13.70.0060_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

7

dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh (masing-

masing kelompok 10 gram) agar memperluas permukaan partikel. Proses

penghancuran berguna untuk meningkatkan luas permukaan partikel sehingga kontak

dengan pelarut dapat menjadi maksimal (Prasetyo, 2006). Kemudian dicampur HCl

dengan perbandingan 10 : 1. Untuk kelompok D1 dan D2 ditambahkan HCl 0,75 N,

untuk kelompok D3 dan D4 ditambahkan HCl 1 N dan untuk kelompok D5

ditambahkan HCl 1,25 N. Larutan HCl (asam encer) digunakan untuk melarutkan

mineral pada kulit udang, terutama kalsium karbonat (Burrows et al, 2007). Alasan

penggunaan HCL konsentrasi rendah adalah apabila bila HCL tersisa, maka dapat

dengan mudah dinetralkan dengan NaOH yang sifatnya basa sehingga dapat

menghasilkan garam yang merupakan flavouring agent (Prasetyo, 2006).

Setelah proses penambahan HCl, selanjutnya kitin tersebut dipanaskan pada

suhu 80oC dengan diaduk selama 1 jam. Proses pemanasan selama 1 jam ini bertujuan

agar mineral cepat rusak. Sedangkan proses pengadukan yang dilakukan bersamaan

dengan proses pemanasan ini bertujuan untuk menghindari foam atau gelembung

sebagai hasil dari pemisahan mineral selama proses demineralisasi (Puspawati et al.,

2010). Sesudah itu dilakukan pencucian hingga pH netral. Kitin harus didinginkan

dahulu sebelum dicuci tujuannya supaya kitin dapat mengendap sehingga tidak

terbuang saat pencucian berulang kali (Rogers, 1986). Pencucian hingga pH netral

juga dapat mempercepat penghilangan mineral dan mencegah terjadi degradasi

produk yang disebabkan oleh gugus amino bebas (Suptijah, 2004). Pengukuran pH

dilakukan menggunakan kertas lakmus dengan ditempelkan pada kitin saat proses

pengeringan. Setelah pHnya netral, lalu dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam.

Berdasarkan hasil pengamatan yang didapatkan pada Rendemen Kitin I

kelompok D3 mendapatkan nilai rendemen tertinggi sebesar 36,84% dengan bahan

HCl 1 N. Sedangkan kelompok dengan rendemen terkecil adalah kelompok D5

sebesar 29,17% dengan bahan HCl 1,25N. Menurut Suptijah (2004), penambahan

asam pada konsentrasi yang sesuai, dapat melarutkan mineral secara sempurna.

Sehingga semakin tinggi konsentrasi HCl yang ditambahkan seharusnya

menghasilkan rendemen kitin I yang semakin besar. Tapi hasil yang didapatkan tidak

sesuai dengan pustaka yang ada, dimana HCl konsentrasi tertinggi kelompok D5

yakni 1,25 N justru mendapatkan nilai terkecil. Hal ini disebabkan pengadukan yang

Page 9: Kitin Kitosan _Aventio Dega_13.70.0060_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

8

dilakukan secara manual sehingga kurang konstan ketika pemanasan berlangsung

padahal pengadukan yang konstan dapat membuat larutan HCl bereaksi sempurna

dengan kulit udang (Kaunas, 1984). Ketidaksesuaian hasil dapat juga disebabkan

karena terdapat rendemen kitin yang hilang ketika dilakukan pencucian dan

penyaringan. Selain itu, menurut Angka & Suhartono (2000), demineralisasi

sebaiknya dilakukan setelah deproteinasi karena pada proses deproteinasi dapat terjadi

kontaminasi protein terhadap cairan ekstrak mineral.

3.2. Deproteinasi

Tujuan dari tahap ini adalah pemisahan protein dan kitin. Deproteinasi

dilakukan dengan tepung hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH 3,5% (6 : 1)

lalu diaduk selama 1 jam dengan dipanaskan hot plate pada suhu 80oC. Penambahan

NaOH berfungsi untuk melarutkan protein hasil dari tahap demineralisasi (Reece et

al, 2003). Pengadukan untuk menghomogenkan panas pada larutan supaya derajat

deproteinasi meningkat tanpa terjadi kegosongan (Rogers, 1986). Penggunaan

perbandingan NaOH 6:1 dan pengadukan yang bertujuan mempercepat proses

deproteinasi (Abun et al, 2006).

Sesudah kitin tersebut dipanaskan dan diaduk, lalu kitin tersebut disaring,

didinginkan, dan dicuci hingga pHnya netral. Tujuan pendinginan adalah agar kitin

mengendap di bagian bawah sehingga tidak hilang saat dicuci berulang kali.

Pencucian berulang kali disertai penyaringan bertujuan untuk membuat pH menjadi

netral. Proses ini akan mempengaruhi sifat penggembungan dari kitin dengan alkali

(NaOH). Hal ini akan mengakibatkan efisiensi proses hidrolisis basa pada gugus

asetamida pada rantai kitin akan optimal (Rogers, 1986). Selain itu, menurut Angka &

Suhartono (2000), demineralisasi sebaiknya dilakukan setelah deproteinasi karena

pada proses deproteinasi dapat terjadi kontaminasi protein terhadap cairan ekstrak

mineral.

Pada hasil pengamatan Rendemen Kitin II kelompok D3 mendapatkan hasil

terbesar lagi yaitu 45,71% dan kelompok D1 mendapatkan hasil terendah yaitu 25%.

Data yang diperoleh kurang valid, seharusnya pada tahap rendemen II ini rendemen

yang dihasilkan lebih rendah daripada rendemen I dikarenakan proses penambahan

senyawa alkali lebih banyak dimana seharusnya banyak komponen yang terpecah

Page 10: Kitin Kitosan _Aventio Dega_13.70.0060_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

9

pula, tetapi hasil menunjukkan bahwa ada kelompok yang nilai rendemen II nya justru

meningkat. Kelarutan protein dan mineral pada suasana basa akan lebih besar jika

dibandingkan kelarutannya pada suasana asam. Hal ini dikarenakan larutan basa

seperti NaOH memiliki aktivitas hidrolisis yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan

larutan asam seperti HCl (Fennema, 1985). Kesalahan ini disebabkan karena

pengadukan dilakukan secara kurang konstan sehingga larutan NaOH tidak bereaksi

sempurna dengan kitin (Kaunas, 1984).

Faktor lain yang mempengaruhi kualitas kitin adalah tahapan dan kondisi proses yang di

dalamnya termasuk suhu pengeringan yang digunakan, lamanya proses pengolahan,

konsentrasi zat kimia yang ditambahkan, dan pH saat proses pengekstrakan kitin (Laila &

Hendri, 2008)

3.3. Deasetilasi (Pengubahan menjadi Kitosan)

Deasetilasi bertujuan untuk memperoleh kitosan dengan lepasnya gugus asetil

pada kitin. Kitin hasil deproteinasi ditambahkan NaOH (20:1) dengan konsentrasi

40% untuk kelompok D1 dan D2, NaOH 50% untuk kelompok D3 dan D4, sedangkan

konsentrasi 60% untuk kelompok D5. Kemudian diaduk selama 1 jam dengan

pemanasan dengan hot plate pada suhu 80oC. Penambahan NaOH dan pemanasan

dengan suhu 80oC akan menyebabkan molekul kitin berpisah atau lepas gugus

asetilnya (CH3CHO-) (Reece et al, 2003). Ramadhan et al. (2010) juga menambahkan

bahwa transformasi senyawa kitin menjadi senyawa kitosan pada tahap deasetilasi

pelepasan gugus asetil pada kitin dan diubah menjadi gugus amina yang ada pada

kitosan.

Setelah itu, campuran tersebut didinginkan agar bubuk kitosan mengendap

pada bagian bawah sehingga hilang atau terbuang saat dicuci berulang kali. Kemudian

kitosan dicuci berulang kali dengan air mengalir sambil disaring hingga pH menjadi

netral. Pencucian hingga pH netral menetralkan kitosan yang bersifat basa dari NaOH,

serta mengurangi penurunan atau degradasi karena asetil yang tidak terlepas secara

sempurna. Tahap selanjutnya yaitu dioven pada suhu 70oC selama 24 jam untuk

menguapkan air yang masih tersisa atau tidak tersaring (Rogers, 1986; Suptijah,

2004). Hasil yang didapatkan adalah kitosan yang berwarna kuning orange. Hal ini

sesuai dengan pernyataam Ramadhan et al. (2010) bahwa setelah proses pengeringan

Page 11: Kitin Kitosan _Aventio Dega_13.70.0060_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

10

tersebut, maka kitosan yang dihasilkan akan berbentuk serbuk dengan warna putih

kekuningan.

Kitosan adalah senyawa yang memiliki banyak kegunaan pada bidang pangan,

dimana kitosan dapat berguna sebagai zat antimikrobia. Hal ini dikarenakan kitosan

mengandung enzim lysosim dan gugus aminopolisakarida yang mampu menghambat

pertumbuhan mikroba tertentu. Kemampuan antimikroba kitosan dipengaruhi oleh

konsentrasi dari pelarut yang digunakan untuk melarutkan kitosan ini dimana

antimikroba yang menggunakan kitosan ini efektif untuk menghambat pertumbuhan

dari berbagai macam kapang dan bakteri (Cahyaningrum, 2007).

Pada hasil pengamatan rendemen Kitosan didapatkan hasil sama seperti

rendemen I yakni tertinggi kelompok D3 sebesar 46,80% dan terendah kelompok D5

sebesar 39,14%. Penambahan NaOH akan mengakibatkan terjadinya pemecahan atau

depolimerisasi rantai molekul kitosan sehingga berat molekul dari kitosan akan

menurun (Hong et al., 1989). Derajat deasetilasinya menentukan kualitas dari produk

kitosan yang dihasilkan dimana derajat deasetilasi pada proses pembuatan kitosan ini

dipengaruhi oleh kualitas dan jenis bahan dasar yang digunakan dan kondisi proses

yang dilakukan (konsentrasi larutan alkali, waktu, dan suhu) (Suhardi, 1992). Menurut

teori Suptijah (2004) dan Prasetyo (2006), makin tinggi konsentrasi NaOH yang

digunakan, maka rendemen kitosan juga semakin besar karena proses ekstrak kitosan

semakin sempurna. Hasil yang didapatkan pada praktikum kurang sesuai, karena bila

ditinjau dari pustaka seharusnya kelompok D5 lah yang menghasilkan rendemen

terbanyak. Hal ini disebabkan oleh pengadukan yang dilakukan secara manual

sehingga kurang konstan ketika pemanasan berlangsung padahal pengadukan yang

konstan dapat membuat larutan HCl bereaksi sempurna dengan kulit udang (Kaunas,

1984). Beberapa parameter yang mempengaruhi karakteristik kitosan yang terbentuk

yaitu derajat deasetilasi dan berat molekulnya yang mewakili proporsi unit deasetilasi.

Reacetylation dapat menurunkan derajat deasetilasi dari kitosan, sedangkan berat

molekul dapat diturunkan dengan depolymerisation (Berger et al, 2004).

Pada jurnal “DEVELOPMENT OF CHITOSAN BASED ACTIVE FILM TO

EXTEND THE SHELF LIFE OF MINIMALLY PROCESSED FISH” (Jiffy Paul P.

Et al, 2013) dikatakan bahwa kitin dan kitosan digunakan sebagai kemasan makanan

Page 12: Kitin Kitosan _Aventio Dega_13.70.0060_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

11

karena sifatnya yang ramah lingkungan, biodegradable, tahan lama, kuat, dan

memiliki aktivitas antimikroba. Maka dari itu dilakukan percobaan untuk membuat

film aktif dari chitosan, dimana hasilnya adalah film tanpa perlu menggunakan

penambahan zat antimikroba karena zat ini sudah ada dalam kitosan itu sendiri

sehingga penggunaannya lebih menguntungkan.

Pada jurnal “Extraction and characterization of chitin; a functional biopolymer

obtained from scales of common carp fish (Cyprinus carpio l.): A lesser known

source” (S. G. Zaku et al, 2011) dikatakan bahwa kitin merupakan polisakarida amino

alami yang jumlahnya hampir sama dengan selulosa di alam. Dimana banyak industri

memanfaatkan kitin untuk berbagai tujuan. Pada percobaan ini dilakukan ekstraksi

kitin dari sisik dari ikan carp. Dimana analisanya dilakukan dengan X-ray

diffractometry, SEM, dan mineral melalui spektrofotometri.

Pada jurnal “Adsorption of Silver Nanoparticles onto Different Surface

Structures of Chitin/Chitosan and Correlations with Antimicrobial Activities”

(Masayuku Ishihara et al, 2015) dikatakan bahwa spherical silver nano partikel dapat

diperoleh dari pemotongan glass powder yang mengandung silver dengan gula. Pada

percobaan dilakukan pencampuran kitin kitosan dengan spherical silver partikel nano

tadi pada pH 7,3; dimana hasilnya adalah campuran ini dapat membasmi virus

walaupun yang beraktivitas rendah atau ringan. Tetapi setidaknya campuran ini dapat

berguna untuk antimikroba dan antiinfeksi.

Pada jurnal “Extraction of Chitin and Chitosan from Mangrove Crab Sesarma

plicatum from Thengaithittu Estuary Pondicherry Southeast Coast of India” (D.

Sakthivel et al, 2015) dikatakan bahwa ditemukan senyawa antimikrobia dari kitosan

yang diambil dari kepiting mangrove Sesama plicatum. Hasilnya kitosan dari ekstrak

kepiting jenis ini memiliki aktivitas antimikroba yang bagus, sehingga dapat

digunakan untuk berbagai industri seperti kesehatan, farmasi, agrikultural,

bioteknologi industri, dll.

Pada jurnal “Extraction and Characterisation of Chitin and Chitosan from Mussel Shell”

(Abdulwadud Abdulkarim et al, 2013) dikatakan bahwa dilakukan ekstraksi kitin dan kitosan

dari mussel shell, yang dilakukan berdasarkan fenomena banyaknya limbah crustacea di

Page 13: Kitin Kitosan _Aventio Dega_13.70.0060_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

12

sungai. Pada ekstraksi ini dilakukan 3 tahap seperti yang dilakukan praktikum ini yaitu

demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi, namun dengan penambahan pretreatment

diawal. Hasilnya mussel shell mengandung kitin sebanyak 21,32% dan mineral sebanyak

51,62%.

Page 14: Kitin Kitosan _Aventio Dega_13.70.0060_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4. KESIMPULAN

Kitin dan kitosan dapat diperoleh dari limbah udang (crustacea).

Kitin berwarna putih, tidak elastis, keras, dan merupakan nitrogenous polysaccharide.

Kitosan merupakan hasil dari deasetilasi kitin.

Kitosan berbentuk padatan amorf berwarna putih dengan struktur kristal yang tidak

berubah dari bentuk awal kitin murni.

Pembuatan kitin dan kitosan dilakukan melalui 3 tahap utama yaitu demineralisasi,

deproteinasi, dan deasetilasi.

Demineralisasi merupakan proses penghilangan mineral pada kulit udang.

Deproteinasi adalah proses memisahkan kitin dan protein.

Deasetilasi adalah proses lepasnya gugus asetil pada kitin sehingga menghasilkan kitosan.

HCl berfungsi untuk melarutkan kalsium karbonat pada kulit udang.

Pencucian hingga pH netral berfungsi untuk mempercepat hilangnya mineral dan protein.

Penambahan NaOH mempercepat proses deproteinasi.

Penambahan NaOH dan pemanasan menyebabkan lepasnya gugus asetil dari kitin

membentuk kitosan.

NaOH memiliki aktivitas hidrolisis lebih tinggi daripada HCL, sehingga rendemen II lebih

tinggi dari rendemen I.

Makin tinggi konsentrasi larutan, menghasilkan rendemen yang semakin besar pula.

kitosan digunakan dalam industri pangan sebagai zat antimikrobia karena mengandung

lisozim dan gugus amino polisakarida.

Semarang, 24 Oktober 2015 Asisten Dosen : Tjan, Ivana Chandra

Aventio Dega13.70.0060

13

Page 15: Kitin Kitosan _Aventio Dega_13.70.0060_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

5. DAFTAR PUSTAKA

Abdulkarim, Abdulwadud et al. (2013). Extraction and Characterisation of Chitin and Chitosan from Mussel Shell. Civil and Environmental Research ISSN 2222-1719 (Paper) ISSN 2222-2863 (Online) Vol.3, No.2, 2013.

Abun, Tjitjah Aisjah, dan Deny Saefulhadjar. (2007). Pemanfaatan Limbah Cair Ekstraksi Kitin dari Kulit Udang Produk Proses Kimiawi dan Biologis Sebagai Imbuhan Pakan dan Implikasinya terhadap Pertumbuhan Ayam Broiler. http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/10/pemanfaatan_limbah_cair_ekstraksi_kitin1.pdf. Diakses 24 Oktober 2015.

Angka, S. L. dan M. T. Suhartono. (2000). Bioteknologi Hasil Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Bogor.

Aranaz, Inmaculada; Marian Megibar; Ruth Harris; Ines Panos; Beatriz Miralles; Niuris Acosta. (2009).Functional Characterization of Kitin and Kitosan.Current Chemical Biology, 2009. Bentham Science Publishers Ltd.

Berger, J; M. Reista; J. M. Mayer; O. Felt; N. A. Peppas; R. Gurny. (2004). Structure and Interactions in Covalently and Ionically CrosslinkedKitosan Hydrogels for Biomedical Applications. European Journal Of Pharmaceutics And Biopharmaceutics 57 (2004) 19–34.

Burrows, Felicity; Clifford Louime; Michael Abazinge; dan Oghenekome Onokpise. (2007). Extraction and Evaluation of Kitosan from Crab Exoskeleton as a Seed Fungicide and Plant Growth Enhancer. American-Eurasian J. Agric. & Environ. Sci., 2 (2): 103-111, 2007.

Cahyaningrum, S. E., Agustini, Herdyastuti. (2007). Pemakaian Kitosan Limbah Udang Windu sebagai Matriks Pendukung pada Imobilisasi Papain. Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Surabaya. Jurnal Akta Kimindo Vol. 2 No. 2 Oktober 2007: 93-98. Diakses tanggal 24 Oktober 2015.

Dutta, Pradip Kumar; Joydeep Dutta; dan V. S. Tripathi. (2004). Kitin and Kitosan : Chemistry, Properties, and Applications. Journal of Scientific & Industrial Research. Vol.63, January 2004, pp 20-31.

Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry.Second Edition.Marcel Dekker, Inc., New York.

Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin from crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.

14

Page 16: Kitin Kitosan _Aventio Dega_13.70.0060_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

15

Ishihara, Masayuku et al. (2015). Adsorption of Silver Nanoparticles onto Different Surface Structures of Chitin/Chitosan and Correlations with Antimicrobial Activities. Int. J. Mol. Sci. 2015, 16.

Kaunas. (1984). Meat, Poultry, and Seafood Technology. Neyes Data Coorporation, USA.

Krissetiana, Henny, Mei. (2004). Khitin dan Khitosan dari Limbah Udang.

Laila, A & Hendri, J. (2008).Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media Pendukung Amobilisasi Enzim α-Amilase. http://lemlit.unila.ac.id /file/arsip%202009/SATEK%202008/VERSI%20PDF/bidang%203/41.pdf. Diakses tanggal 24 Oktober 2015.

Manjang, Y. (1993). Analisa Ekstrak Berbagai Jenis Kulit Udang Terhadap Mutu Kitosan, Jurnal Penelitian Andalas. 12 (V) : 138 –143.

Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.

P., Jiffy Paul et al. (2013). DEVELOPMENT OF CHITOSAN BASED ACTIVE FILM TO EXTEND THE SHELF LIFE OF MINIMALLY PROCESSED FISH. Department of Biotechnology, Udaya School of Engineering, Vellamodi, Tamil Nadu, India.

Prasetyo. (2006). Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Puspawati, N. M dan I. N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Vol 4 hal 79 – 90.

Radhakumary, C., P.D. Nair, S. Mathew, C.P.R. Nair. (2005). Biopolymer Composite of Chitosan and Methyl Methacrylate for Medical Applications. Trends Biomater. Artif. Organs. Vol 18(2) : 117-124.

Ramadhan, L.O.A.N., C.L. Radiman, D. Wahyuningrum, V. Suendo, L.O. Ahmad, S. Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia. Vol 5 : 17-21.

Reece, C., dan Mitchell. (2003).Biologi, Edisi kelima-jilid 2, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.Science Published Ltd., England.

Sakthivel, D. Et al. (2015). Extraction of Chitin and Chitosan from Mangrove Crab Sesarma plicatum from Thengaithittu Estuary Pondicherry Southeast Coast of India. Human Journals Research Article August 2015 Vol.:4, Issue:1

Page 17: Kitin Kitosan _Aventio Dega_13.70.0060_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

16

Suhardi, U. Santoso dan Sudarmanto. (1992). Limbah Pengolahan Udang untuk Produksi Kitin, Laporan penelitian, BAPPINDO-FTP UGM. Yogyakarta.

Supitjah, Pipit. (2004). Tingkatan Kualitas Kitosan Hasil Modifikasi Proses Produksi. Buletin Teknologi Hasil Perikanan 56Vol VII Nomor 1.

Zaku, S. G. Et al. (2011). Extraction and characterization of chitin; a functional biopolymer obtained from scales of common carp fish (Cyprinus carpio l.): A lesser known source. African Journal of Food Science Vol. 5(8), pp. 478 - 483, August, 2011.

Page 18: Kitin Kitosan _Aventio Dega_13.70.0060_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan

Rumus :

Rendemen Chitin I = beratkering

beratbasa h I× 100 %

Rendemen Chitin II = beratkitin

beratbasa h II×100 %

Rendemen Chitosan = beratkitosan

beratbasa h III×100 %

Kelompok D1

Rendemen Chitin I = 4,514

× 100 %

= 32,14 %

Rendemen Chitin II = 28

× 100 %

= 25 %

Rendemen Chitosan = 1,523,15

×100 %

= 48,25 %

Kelompok D2

Rendemen Chitin I = 4,514

× 100 %

= 32,14%

Rendemen Chitin II = 2,046,5

× 100 %

= 31,38 %

Rendemen Chitosan = 1,383,5

×100 %

= 39,43 %

Kelompok D3

Rendemen Chitin I = 3,59,5

× 100 %

= 36,84 %

Rendemen Chitin II = 1,63,5

×100 %

= 45,71 %

Rendemen Chitosan = 1,172,5

× 100 %

= 46,80 %

17

Page 19: Kitin Kitosan _Aventio Dega_13.70.0060_Kloter D_UNIKA SOEGIJAPRANATA

18

Kelompok D4

Rendemen Chitin I = 4

11,5× 100 %

= 34,78 %

Rendemen Chitin II = 1,74,5

× 100 %

= 37,78 %

Rendemen Chitosan = 0,982,5

× 100 %

= 39,20 %

Kelompok D5

Rendemen Chitin I = 3,512

×100 %

= 29,17 %

Rendemen Chitin II = 1,85,5

×100 %

= 32,73 %

Rendemen Chitosan = 1,373,5

× 100 %

= 39,14 %

6.2. Laporan Sementara

6.3. Diagram Alir

6.4. Abstrak Jurnal