Kitin Kitosan_Riana Natalia S._13.70.0033_E5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

download Kitin Kitosan_Riana Natalia S._13.70.0033_E5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

of 19

Transcript of Kitin Kitosan_Riana Natalia S._13.70.0033_E5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

  • 7/24/2019 Kitin Kitosan_Riana Natalia S._13.70.0033_E5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

    1/19

    Acara II

    CHITIN & CHITOSAN

    LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT

    Disusun oleh:

    Nama: Riana Natalia Setiyawan

    NIM: 13.70.0033

    Kelompok E5

    PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

    FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANUNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

    SEMARANG

    2015

  • 7/24/2019 Kitin Kitosan_Riana Natalia S._13.70.0033_E5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

    2/19

    2

    1. MATERI DAN METODE

    1.1.Materi

    1.1.1.

    Alat

    Alat yang digunakan dalam praktikum ini antara lain oven, blender, ayakan, gelas

    bekker, pengaduk, kain saring, kertas pH, hot plate, dan termometer.

    1.1.2.Bahan

    Bahan yang digunakan dalam praktikum ini antara lain limbah udang, HCl 0,75 N; 1 N

    dan 1,25 N, NaOH 3,5%, NaOH 40%, 50%, dan 60%.

    1.2.Metode

    1.2.1.Demineralisasi

    Limbah udang dicuci menggunakan air mengalir dan dikeringkan

    Dicuci dengan air panas sebanyak 2x dan dikeringkan

    Bahan dihancurkan dan diayak menggunakan ayakan 40-60 mesh danditimbang

  • 7/24/2019 Kitin Kitosan_Riana Natalia S._13.70.0033_E5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

    3/19

    3

    Dicampur dengan HCl 0,75N, 1N dan 1,25N dengan perbandingan

    10:1

    Dipanaskan hingga suhu 80

    o

    C dan diaduk selama 1 jam

    Dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 90oC selama 24

    jam

  • 7/24/2019 Kitin Kitosan_Riana Natalia S._13.70.0033_E5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

    4/19

    4

    1.2.2.Deproteinasi

    Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH 3,5% dengan

    perbandingan 6:1

    Dipanaskan pada suhu 70oC selama 1 jam dan dilakukan pengadukan

    Residu disaring dan dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 90oC

    selama 24 jam dan dihasilkan chitin

  • 7/24/2019 Kitin Kitosan_Riana Natalia S._13.70.0033_E5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

    5/19

    5

    1.2.3. Deasetilasi

    Dipanaskan pada suhu 80oC selama 1 jam dan dilakukan pengadukan

    Residu dicuci dan disaring hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu

    90oC selama 24 jam dan dihasilkan chitosan

    Hasil deproteinasi dicampur dengan NaOH 40%, 50% dan 60%

    dengan perbandingan 20:1

  • 7/24/2019 Kitin Kitosan_Riana Natalia S._13.70.0033_E5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

    6/19

    6

    2. HASIL PENGAMATAN

    Hasil pengamatan kitin dan kitosan dapat dilihat pada Tabel 1.

    Tabel 1. Pengukuran Kadar Rendemen Kitin dan Kitosan

    Kel PerlakuanRendemen

    Kitin I (%)

    Rendemen

    Kitin II (%)

    Rendemen

    Kitosan (%)

    E1 HCl 0,75 N + NaOH 3,5% +

    NaOH 40%

    26,32 28,57 32

    E2 HCl 0,75 N + NaOH 3,5% +

    NaOH 40%

    37,93 27,78 17,23

    E3 HCl 1 N + NaOH 3,5% +

    NaOH 50%

    23,53 30,77 28,89

    E4 HCl 1 N + NaOH 3,5% +

    NaOH 50%

    35 18,18 15,33

    E5 HCl 1,25 N + NaOH 3,5% +

    NaOH 60%

    29,17 25 42,5

    Pada Tabel 1., dapat dilihat hasil kadar rendemen dari kitin dan kitosan dengan

    perlakuan yang berbeda-beda. % rendemen kitin I tertinggi terdapat pada kelompok E2

    dan terendah terdapat pada kelompok E3 dengan nilai secara berturut-turut 37,93% dan

    23,53%. Nilai persen rendemen kitin II tertinggi terdapat pada kelompok E3 sebesar

    30,77% dan terendah sebesar 18,18% pada kelompok E4. Pada hasil rendemen kitosan,

    nilai persentase tertinggi sebesar 42,5% pada kelompok E5 dan terendah sebesar

    15,33% pada kelompok E4.

  • 7/24/2019 Kitin Kitosan_Riana Natalia S._13.70.0033_E5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

    7/19

    7

    3. PEMBAHASAN

    Udang merupakan salah satu produk perikanan yang banyak digemari, baik untuk

    dikonsumsi secara langsung maupun dijadikan produk udang beku yang dapat diekspor.

    Namun, pada proses persiapan produk dilakukan pemisahaan antara daging udang

    dengan kulit dan kepala udang. Kulit dan kepala udang tersebut akan menjadi limbah

    padat yang memberikan efek polusi terhadap lingkungan. Oleh karena itu, limbah udang

    tersebut dapat diolah dan memiliki daya guna yang memiliki nilai ekonomi yaitu

    dengan dijadikan kitin dan kitosan (Budiyanto, 1993 dalam Patria, 2013). Menurut

    Jiang et al. (2003) dalam Tarafdar & Biswas (2013), limbah udang yang berupa kepala

    dan kulit udang mengandung kitin, protein, dan mineral. Jika limbah tersebut di

    deproteinasi maka akan diperoleh kitin dan ketika kitin diasetilasi, maka akan diperoleh

    kitosan.

    Kitin merupakan polimer karbohidrat yang ditemukan pada eksoskeleton Crustaceans,

    seperti kepiting, udang, dan lobster. Selain itu, juga dapat ditemukan pada insecta. Kitin

    merupakan polisakarida yang terbentuk dari N-asetil-D-glukosamin dengan ikatan

    rangkap -1,4. Karakteristik dari kitin adalah keras, inelastis, dan bewarna putih.

    Kitosan merupakan polimer yang terbentuk dari diasetilasi kitin sehingga membentuk

    polisakarida rantai linear yang terdiri dari -1,4 yang berikatan dengan 2 asetamino-2

    deoksi--D glukopiranosa dan 2-amino-2-deoksi--D-glukopiranosa (Sahidi et al, 2005

    dalam Islam et al.,2011). Berikut struktur kimia kitin dan kitosan :

    Gambar 1. Struktur kimia kitin (Islam et al., 2011)

  • 7/24/2019 Kitin Kitosan_Riana Natalia S._13.70.0033_E5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

    8/19

    8

    Gambar 2. Struktur kimia kitosan (Islam et al., 2011)

    Menurut Lie et al. (1997) dalam Patria (2013), karakteristik dari kitosan adalah hanya

    larut dalam pelarut asam, seperti asam asetat, asam format, dan asam sitrat.

    Pada praktikum ini, bahan dasar yang digunakan untuk membuat kitin dan kitosanadalah kulit udang. Pertama-tama, limbah udang dicuci dengan menggunakan air

    mengalir dan kemudian dikeringkan. Proses pencucian bertujuan untuk membersihkan

    permukaan limbah padat udang dari kotoran sehingga tidak mencemari ekstrak kitin

    yang dihasilkan. Kemudian, limbah padat udang dicuci kembali dengan menggunakan

    air panas sebanyak 2 kali lalu dikeringkan dan dihancurkan hingga menjadi serbuk.

    Kemudian, diayak dengan menggunakan ayakan berukuran 40-60 mesh. Menurut

    Prasetyo (2006), penggunaan air panas bertujuan untuk mensterilkan kulit udang dari

    mikroorganisme. Limbah padat udang dijadikan bubuk bertujuan untuk memperluas

    permukaan bahan sehingga pelarut dalam melarutkan komponen-komponen dapat

    maksimal.

    3 tahap yang dilakukan dalam praktikum ini adalah demineralisasi, deproteinasi, dan

    deasetilasi. Hal ini dapat dijelaskan dengan menggunakan teori Mizani (2007) yang

    menyatakan bahwa ekstraksi limbah udang dilakukan dengan cara demineralisasi

    (perlakuan asam) dan perlakuan basa yang dsebut dengan deproteinasi. Pada praktikum

    ini, proses demineralisasi dilakukan dengan cara menimbang kulit udang kering

    sebanyak 10 gram lalu mencampurkan limbah udang dengan HCl 0,75 N (kelompok E1

    dan E2), 1 N (kelompok E3 dan E4), dan 1,25 N (kelompok E5) dengan perbandingan

    10:1 atau 10 gram bahan kering dalam 100 ml pelarut. Penambahan HCl sudah sesuai

    dengan teori Alamsyah et al. (2007) yang menyatakan bahwa ekstraksi kitin pada tahap

    demineralisasi akan dilakukan secara kimiawi dengan mereaksikan asam kuat dengan

    limbah udang tersebut. Burrows et al. (2007) menjelaskan lebih lanjut bahwa larutan

  • 7/24/2019 Kitin Kitosan_Riana Natalia S._13.70.0033_E5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

    9/19

    9

    HCl berfungsi untuk melarutkan mineral-mineral yang terkandung dalam limbah udang,

    seperti kalsium karbonat. Selain itu, HCl merupakan asam encer sehingga tidak akan

    mempegaruhi ekstraksi kitin karena kitin tidak larut dalam air. Hal serupa dijelaskan

    oleh Trung et al. (2006) dalam Puvvada et al. (2012) yang menyatakan bahwa proses

    demineralisasi merupakan proses yang digunakan untuk menghilangkan mineral-

    mineral, terutama kalsium karbonat. Setelah itu, dipanaskan pada suhu 80oC dan setelah

    suhu tersebut tercapai, dilakukan pengadukan selama 1 jam. Proses pengadukan

    bertujuan untuk menghomogenkan larutan, mencegah terjadinya kegosongan akibat

    pemanasan yang dilakukan, dan menhindari timbulnya gelembung-gelembung udara

    selama proses demineralisasi. Gelembung udara yang terbentuk merupakan reaksi dari

    HCl yang ditambahkan ke dalam sampel dan menghasilkan CO2. Reaksi demineralisasi

    :

    CaCO3(s) + 2 HCl(l)CaCl2(s) + H2O(l) + CO2(g)

    (Robert, 1992)

    Setelah proses pengadukan, dilakukan pencucian dengan mengunakan air hingga

    diperoleh pH netral. Proses pencucian bertujuan untuk menghilangkan senyawa HCl

    yang ditambahkan pada proses. pH netral mengindikasikan bahwa senyawa mineral

    yang terkandung pada limbah telah hilang karena mineral larut dalam HCl. Selain itu,

    proses pencucian bertujuan untuk mencegah degradasi produk selama pengeringan dan

    untuk meningkatkan efektivitas proses demineralisasi (Bastaman, 1989). Tahap terakhir

    pada proses demineralisasi adalah pengeringan dengan menggunakan suhu 900C selama

    24 jam. Hasil akhir yang diperoleh pada proses demineralisasi adalah berat rendemen

    kitin I.

    Proses selanjutnya adalah deproteinasi. Menurut Thanou (2005) dalam Tarafdar &

    Biswas (2013), proses deproteinasi bertujuan membantu melemahkan stuktur protein

    tersier yang terdapat pada kulit udang. Hargono & Haryani (2004) menjelaskan lebih

    lanjut bahwa deproteinasi akan memisahkan ikatan-ikatan protein dan kitin. Pada

    praktikum ini, dilakukan dengan cara mencampurkan tepung yang diperoleh dari proses

    demineralisasi dengan NaOH 3,5% dengan perbandingan 6:1). Alamsyah et al. (2007)

    menjelaskan bahwa proses deproteinasi dilakukan secara kimia dengan menggunakan

  • 7/24/2019 Kitin Kitosan_Riana Natalia S._13.70.0033_E5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

    10/19

    10

    pelarut basa kuat. Penambahan NaOH bertujuan untuk melarutkan protein yang masih

    terkandung dalam kitin hasil demineralisasi, dimana protein larut dalam basa kuat tetapi

    tidak larut dalam asam kuat. Selanjutnya, dilakukan pemanasan pada suhu 70oC dan

    diaduk selama 1 jam. Proses pemanasan dan pengadukan bertujuan untuk menguapkan

    air dan memaksimalkan fungsi NaOH dalam proses deproteinasi. Kemudian, dilakukan

    penyaringan dan residu dicuci dengan menggunakan air hingga diperoleh pH netral. Hal

    ini sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Thanou (2005) dalam Tarafdar & Biswas

    (2013) bahwa residu yang diperoleh akan dicuci dan pHnya dibuat mendekati netral.

    Proses pencucian hingga mendekati pH netral dapat membantu proses decolourization

    pada limbah kulit udang. Rogers (1986) menjelaskan lebih lanjut bahwa proses

    penetralan akan meningkatkan efektivitas proses hidrolisis basa pada gugus asetamida

    pada rantai kitin. Tahap terakhir pada proses deproteinasi adalah pengeringan dengan

    seuhu 90oC selama 24 jam. Hasil yang diperoleh akan ditimbang sehingga diperoleh

    berat kitin.

    Faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan kitin adalah jenis bahan baku yang

    digunakan, ketepatan pada proses demineralisasi dan deproteinasi, lamanya proses

    pengolahan dan suhu yang digunakan, ketepatan pH saat proses pengekstraksian kitin

    dan konsentrasi zat kimia yang ditambahkan. Semakin lama proses pengeringan maka

    akan ada banyak protein yang ikut terlarut (Laila & Hendri, 2008). Menurut Mukku &

    Willem (2005), jenis bahan baku yang digunakan dalam pembuatan kitin tidak hanya

    limbah Crustaceans dan insecta, tetapi juga dapat menggunakan mikroorganisme,

    sepertiLactobacillus plantarum.

    Proses terakhir dalam praktikum ini adalah deasetilasi. Hossain et al. (2005) dalamIslam et al. (2011) menjelaskan bahwa kitosan diperoleh dari proses deasetilasi basa

    kitin yang akan memutuskan ikatan kovalen antara gugus asetil dengan gugus nitrogen

    yang terletak pada gugus asetamida kitin untuk diubah menjadi gugus amina. Pada

    praktikum ini, tepung kitin ditambahkan NaOH 40% (kelompok E1 dan E2), 50%

    (kelompok E3 dan E4), dan 60% (kelompok E5) dengan perbandingan 20:1. Hal ini

    sesuai dengan teori Hirano (1989) yang menyatakan bahwa deasetilasi kitin dengan

    menggunakan basa kuat akan menghasilkan kitosan. NaOH merupakan basa kuat.

  • 7/24/2019 Kitin Kitosan_Riana Natalia S._13.70.0033_E5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

    11/19

    11

    Setelah itu, dilakukan pemanasan hingga suhu 90oC selama 1 jam sambil dilakukan

    pengadukan. Kombinasi panas dengan NaOH dapat menyebabkan terlepasnya gugus

    asetil (CH3CHO-) dari molekul kitin sehingga dapat terbentuk kitosan. Proses

    pemanasan bertujuan untuk meningkatkan derajat deasetilasi dari kitosan yang

    terbentuk. Derajat deasetilasi dipengaruhi oleh suhu yang digunakan pada proses

    pemanasan dan pengadukan, dimana semakin tinggi suhu yang digunakan maka derajat

    deasetilasi dari kitosan yang terbentuk akan meningkat (Puspawati & Simpen, 2010).

    Setelah itu, dilakukan penyaringan dan residu yang diperoleh akan dicuci hingga

    diperoleh pH netral. Proses ini bertujuan untuk memisahkan residu dari komponen-

    komponen yang tidak diinginkan serta menetralkan residu dari NaOH yang bersifat

    basa. Seluruh pengujian pH dalam praktikum ini, menggunakan kertas lakmus. Apabila

    pH telah mencapai netral, maka kertas lakmus yang semula bewarna kuning akan

    berubah warna menjadi hijau muda. Tahap terakhir adalah dilakukan pengovenan pada

    suhu 70oC selama 24 jam. Ramadan et al. (2010) menjelaskan bahwa proses

    pengeringan pada tahap deasetilasi akan diperoleh kitosan yang berbentuk serbuk dan

    bewarna putih kekuningan.

    Berdasarkan hasil pengamatan, diperoleh hasil persen rendemen kitin I tertinggi pada

    kelompok E2 (HCl 0,75 N) sebesar 37,93% dan terendah pada kelompok E3 (HCl 1 N)

    sebesar 23,53%. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Johnson &

    Peterson (1974) yang menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi HCl yang

    ditambahkan, maka rendemen kitin yang dihasilkan akan semakin banyak pula karena

    senyawa-senyawa mineral pada serbuk udang akan semakin mudah untuk dilepas.

    Seharusnya, rendemen kitin kelompok E5 yang menggunakan HCl 1,25 N akan

    memiliki jumlah rendemen yang paling tinggi, kedian diikuti oleh kelompok E3 dan E4yang menggunakan HCl 1 N, dan yang terakhir adalah kelompok E1 dan E2 yang

    menggunakan HCl 0,75 N. Namun, Prasetyo (2006) menjelaskan bahwa konsentrasi

    HCl terbaik yang digunakan dalam proses demineralisasi adalah HCl 1 N. Konsentrasi

    HCl yang semakin tinggi memang menghasilkan rendemen dalam jumlah yang lebih

    banyak, tetapi konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan terdegradasinya kitin yang

    akan mempengaruhi jumlah rendemen sehingga menjadi berkurang jumlahnya. Oleh

    karena itu, hasil rendemen kelompok E5 yang lebih rendah dapat dikarenakan

  • 7/24/2019 Kitin Kitosan_Riana Natalia S._13.70.0033_E5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

    12/19

    12

    terdegradasinya kitin. Namun penyimpangan yang terjadi pada kelompok E2, dimana

    jumlah rendemennya tertinggi dapat disebabkan oleh proses pemberian takaran HCl

    yang kurang tepat dan selama proses penyaringan, serta pencucian yang tidak tepat

    sehingga mengakibatkan residu yang ikut terbuang saat pencucian dan tidak bersih saat

    memindahkan residu ke cawan sehingga jumlah dari rendemen berkurang banyak

    karena terbuang.

    Nilai rendemen kitin II yang tertinggi terdapat pada kelompok E3 sebesar 30,77% dan

    terendah sebesar 18,18% pada kelompok E4. Nilai rendemen ini diperoleh dengan

    penambahan NaOH 3,5%. Fennema (1985) menjelaskan bahwa protein yang

    terkandung dalam kulit udang dapat menghambat proses deproteinasi pada kitin. Hong

    et al. (1989) menjelaskan bahwa semakin tinggi konsentrasi NaOH yang digunakan,

    maka akan mengakibatkan depolimerasi rantai molekul kitosan yang dapat

    menyebabkan berat molekunya menurun. Puspawati & Simpen (2010) juga menjelaskan

    bahwa rendemen kitin yang berasal dari limbah kulit udang akan menghasilkan

    rendemen kitin lebih dari 20%. Hasil yang diperoleh kelompok E4 tidak sesuai dengan

    teori Puspawati & Simpen (2010). Penyimpangan yang terjadi dapat dikarenakan kitin

    yang terikut air ketika proses penetralan pH dan kurang optimalnya proses

    demineralisasi, diman masih ada mineral yang terdapat pada kulit udang sehingga

    menghambat proses deproteinasi.

    Pada praktikum ini, nilai rendemen kitosan tertinggi diperoleh kelompok E5 yang

    menggunakan penambahan NaOH 60% dan terendah pada kelompok E4 yang

    menggunakan NaOH 50%. Menurut Hirano (1989), penambahan NaOH bertujuan untuk

    mengubah struktur kitin yang rapat menjadi lebih renggang sehingga memudahkanenzim yang menguraikan lebih mudah masuk pada proses deasetilasi kitin menjadi

    kitosan. Martinou et al. (1995) menjelaskan lebih lanjut bahwa semakin tinggi

    konsentrasi NaOH yang digunakan, maka semakin tinggi nilai derajat deasetilasi.

    Derajat deasetilasi menunjukkan persentase gugus asetil yang dapat dihilangkan dari

    kitin untuk memproduksi kitosan. Namun akan menghasilkan kitosan dengan rendemen

    yang lebih rendah. Hal ini dikarenakan oleh proses depolimerisasi rantai molekul

    kitosan sehingga berat molekul dari kitosan akan menurun (Patria, 2013). Hasil yang

  • 7/24/2019 Kitin Kitosan_Riana Natalia S._13.70.0033_E5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

    13/19

    13

    diperoleh dalam praktikum ini tidak sesuai dengan teori tersebut. Seharusnya, kitosan

    kelompok E5 memiliki berat rendemen paling rendah dan tertinggi pada kelompok E1

    dan E2. Penyimpangan yang terjadi dapat dikarenakan proses diasetilisasi yang belum

    sempurna.

    Menurut Tarafdar & Biswas (2013), kitin yang diekstrak dari udang spesies tertentu

    dapat digunakan sebagai antibakteri yang melawan aktivitas E. coli, B. subtilis, dan B.

    cerevisea. Aktivitas dari antibakteri pada kitosan dipengaruhi oleh berat molekul,

    derajat deasetilasi, konsentrasi palarut, dan pH dari medium yang digunakan. Islam et

    al. (2011) menjelaskan bahwa kitosan dapat digunakan sebagai suplemen makanan,

    bahan tambahan, dan obat. Selain itu, kitosan dapat meningkatkan kualitas dan umur

    simpan dari buah dan sayuran, serta menjadi penangkal radikal bebas atau antioksidan

    yang digunakan oleh industri pangan karena dapat menggantikan bahan tambahan

    buatan (Tarafdar & Biswas, 2013). Abdou et al. (2012) menjelaskan bahwa kitosan

    mengandung aktivitas antimikroba yang dapat digunakan sebagai edible coatingselama

    proses pembekuan sehingga umur simpan produk ikan dapat tahan hingga 6 bulan. Paul

    et al. (2013) berpendapat bahwa kitin dan kitosan dapat digunakan sebagai edible film,

    zat antimikroba, senyawa pengkelat (chelating agent), dan mengaktifkan beberapa

    proses pertahanan pada jaringan induk dengan mengikat air dan menghambat beberapa

    enzim.

  • 7/24/2019 Kitin Kitosan_Riana Natalia S._13.70.0033_E5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

    14/19

    14

    4. KESIMPULAN

    Limbah udang yang berupa kepala dan kulit udang mengandung kitin, protein, dan

    mineral.

    Kitin dapat ditemukan pada eksoskeleton Crustaceans dan insecta, serta dapat

    diperoleh dari mikroorganisme, sepertiLactobacillus plantarum.

    Kitin bersifat inelastis, keras, dan bewarna putih.

    Kitosan hanya larut dalam pelatut asam dan memiliki warna putih kekuningan.

    Kitin diperoleh melalui proses demineralisasi (perlakuan asam) dan deproteinasi

    (perlakuan basa).

    Kitosan diperoleh melalui proses deasetilasi kitin.

    Larutan HCl berfungsi sebagai pelarut mineral yang terkandung dalam limbah

    udang.

    NaOH berfunsi untuk melarutkan protein yang terkandung dalam kitin hasil proses

    demineralisasi.

    Proses pencucian hingga pH netral dapat membantu proses decolourization.

    Semakin tinggi konsentrasi HCl, semakin banyak rendemen kitin yang dihasilkan.

    Konsentrasi HCl terbaik dalam proses demineralisasi adalah HCl 1 N.

    Pada proses deproteinase, semakin tinggi konsentrasi NaOH yang digunakan, maka

    rendemen yang dihasilkan akan semakin sedikit.

    Pada proses deasetilase, semakin tinggi konsentrasi NaOH yang digunakan, maka

    semakin rendah rendemen kitosan yang dihasilkan.

    Pada industri pangan, kitin dan kitosan dapat digunakan sebagai antimikroba, edible

    film, edible coating, antioksidan, suplemen makanan, dan pengganti bahan

    tambahan buatan.

    Semarang, 31 Oktober 2015

    Praktikan Asisten Dosen

    -Tjan, Ivana Chandra

    Riana Natalia Setiyawan

    13.70.0033

  • 7/24/2019 Kitin Kitosan_Riana Natalia S._13.70.0033_E5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

    15/19

    15

    5. DAFTAR PUSTAKA

    Abdou, Entsar S., Osheba, A.S., and Sorour, M. A. (2012). Effect of Chitosan and

    Chitosan-Nanoparticles as Active Coating on Microbiological Characteristics ofFish Fingers. International Journal of Applied Science and Technology. Vol. 2

    No. 7; August 2012.

    Alamsyah, Rizal., et al.. (2007). Pengolahan Khitosan Larut dalam Air dari Kulit Udang

    sebagai Bahan Baku Industri.http://www.bbia.go.id/ringkasan.pdf.

    Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan

    from Prawn Shells. Thesis. The Depatment of Mechanical. Manufacturing

    Aeronautical and Chemical Engineering. The Queen's University. Belfast.

    Burrows, Felicity; Clifford Louime; Michael Abazinge; dan Oghenekome Onokpise.

    (2007).Extraction and Evaluation of Kitosan from Crab Exoskeleton as a Seed

    Fungicide and Plant Growth Enhancer. American-Eurasian J. Agric. &

    Environ. Sci., 2 (2): 103- 111, 2007.

    Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry.Second Edition.Marcel Dekker, Inc., New

    York.

    Hargono, S dan Haryani D (2004). Pengaruh Konsentrasi Zat Pelarut dalam ProsesDemineralisasi, Deproteinasi, dan Deasetilasi terhadap Kualitas Khitosan.

    Universitas Indonesia, Jakarta.

    Hirano. (1989). Production and Aplication on Chitin and Chitosan in Japan.Jepang.

    Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin

    from crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.

    Islam, Monarul Md.; Shah Md. Masum; M. Mahbubur Rahman; Md. Ashraful IslamMolla; A. A. Shaikh; S.K. Roy. (2011). Preparation of Chitosan from Shrimp

    Shell and Investigation of Its Properties. International Journal of Basic &

    Applied Sciences IJBAS-IJENS Vol: 11 No: 01. Bangladesh.

    Johnson, A.H. dan M.S. Peterson.(1974). Encyclopedia of Food Technology Vol. II.

    The AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.

    Laila, A & Hendri, J. (2008). Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media

    Pendukung Amobilisasi Enzim -Amilase. http://lemlit.unila.ac.id

    /file/arsip%202009/SATEK%202008/VERSI%20PDF/bidang%203/41.pdf

    http://www.bbia.go.id/ringkasan.pdfhttp://www.bbia.go.id/ringkasan.pdf
  • 7/24/2019 Kitin Kitosan_Riana Natalia S._13.70.0033_E5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

    16/19

    16

    Martinou, A.D., D. Kafetzopoulos dan V. Bouriotis. (1995).Chitin deacetylation by

    enzymatic means.

    Mizani, A.Maryam dan B.Mahmood Aminlari. (2007). A New Process for

    Deproteinization of Chitin from Shrimp Head Waste. Proceedings of European

    Congress of Chemical Engineering (ECCE-6) Copenhagen, 16-20 September

    2007.

    Mukku Shrinivas Rao and Willem F Stevens.(2005).Chitin production by Lactobacillus

    fermentation of shrimp biowaste in a drum reactorand its chemical conversion to

    chitosan.

    Patria, Anshar. (2013). Production and Characterization of Chitosan From Shrimp

    Shells Waste. AACL Bioflux, 2013, Volume 6, Issue 4.

    Paul, Jiffy P; Sharmila Jesline J.W & K. Mohan. (2013). Development of Chitosan

    Based Active Film to Extend the Shelf Life of Minimally Processed Fish.

    International Journal of Research in Engineering & Technology. Vol. 1, Issue 5,

    Oct 2013, 15-22. India.

    Prasetyo, Kurnia Wiji. (2006). UPT Balai Litbang Biomaterial, Lembaga Ilmu

    Pengetahuan Indonesia.

    Puspawati, N. M dan I. N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit

    Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan

    Melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Vol 4 hal 79 90.

    Puvvada, Y.S., Vankayalapati, S., Sukhavasi, S. (2012). Extraction of Chitin From

    Chitosan From Exoskeleton of Shrimp for Application in The Pharmaceutical

    Industry. Puvvada et al., International Current Pharmaceutical Journal 2012,

    1(9): 258-263.

    Ramadhan, L.O.A.N., C.L. Radiman, D. Wahyuningrum, V. Suendo, L.O. Ahmad, S.Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya

    terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa molekul Kitosan. Jurnal Kimia

    Indonesia. Vol 5 : 17-21.

    Robert, G.A.F. (1992). Chitin Chemistry. The Macmillan Press Ltd., London.

    Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company.

    California.

  • 7/24/2019 Kitin Kitosan_Riana Natalia S._13.70.0033_E5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

    17/19

    17

    Tarafdar, A. and Biswas, G. (2013). Extraction of Chitosan from Prawn Shell Wastes

    and Examination of its Viable Commercial Applications. ISSN : 2319-3182,

    Volume-2, Issue-3, 2013.

  • 7/24/2019 Kitin Kitosan_Riana Natalia S._13.70.0033_E5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

    18/19

    18

    6. LAMPIRAN

    6.2. Perhitungan

    Kelompok E1

    Rendemen kitin I

    Rendemen kitin II

    Rendemen kitin III

    Kelompok E2

    Rendemen kitin I

    Rendemen kitin II

    Rendemen kitin III

    Kelompok E3

    Rendemen kitin I

    Rendemen kitin II

    Rendemen kitin III

    Kelompok E4

    Rendemen kitin I

    Rendemen kitin II

    Rendemen kitin III

  • 7/24/2019 Kitin Kitosan_Riana Natalia S._13.70.0033_E5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

    19/19

    19

    Kelompok E5

    Rendemen kitin I

    Rendemen kitin II

    Rendemen kitin III

    6.3. Laporan Sementara

    6.4.

    Diagram Alir

    6.5. Abstrak Jurnal