Ketikan Ludi

15
BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang Rhinitis Alergi (RA) merupakan penyakit yang sangat umum ditemui dan dapat mempengaruhi kualitas hidup dan membebani biaya pelayanan kesehatan dan sosial. The Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma Update ( ARIA 2008) memberikan rekomendasi derajat A untuk antihistamin oral generasi kedua (AH) dan kortikosteroid intranasal (ICS) sebagai terapi untuk RA. ICS merupakan pilihan terapi untuk RA derajat intermiten sedang berat dan persisten ringan dan merupakan salah satu terapi pada RA persisten sedang- berat. AH direkomendasikan sebagai salah satu pilihan terapi pada RA intermiten ringan maupun sedang- berat dan pada RA persisten ringan. Terapi kombinasi AH dan ICS tercantum di ARIA Guidelines untuk RA persisten sedang-berat yang tidak menunjukkan perbaikan setelah 2-4 minggu diterapi ICS, hal ini sesuai dengan guidelines lain yang menyarankan penambahan AH pada pasien dengan bersin- bersin dan hidung gatal yang menetap setelah pemberian ICS. Meskipun sesuai dengan rekomendasi guidelines, tetapi beberapa penelitian tentang RA musiman pada anak dan dewasa mendapati tidak adanya keuntungan dari penambahan terapi AH pada pasien yang telah menerima terapi ICS. ICS telah terbukti lebih efektif dibandingkan AH sebagai terapi RA. Pada penelitian meta-analisis, Weiner et al 1

description

rinitis alergi

Transcript of Ketikan Ludi

BAB 1

PENDAHULUANLatar belakangRhinitis Alergi (RA) merupakan penyakit yang sangat umum ditemui dan dapat mempengaruhi kualitas hidup dan membebani biaya pelayanan kesehatan dan sosial. The Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma Update ( ARIA 2008) memberikan rekomendasi derajat A untuk antihistamin oral generasi kedua (AH) dan kortikosteroid intranasal (ICS) sebagai terapi untuk RA. ICS merupakan pilihan terapi untuk RA derajat intermiten sedang berat dan persisten ringan dan merupakan salah satu terapi pada RA persisten sedang- berat. AH direkomendasikan sebagai salah satu pilihan terapi pada RA intermiten ringan maupun sedang- berat dan pada RA persisten ringan. Terapi kombinasi AH dan ICS tercantum di ARIA Guidelines untuk RA persisten sedang-berat yang tidak menunjukkan perbaikan setelah 2-4 minggu diterapi ICS, hal ini sesuai dengan guidelines lain yang menyarankan penambahan AH pada pasien dengan bersin- bersin dan hidung gatal yang menetap setelah pemberian ICS. Meskipun sesuai dengan rekomendasi guidelines, tetapi beberapa penelitian tentang RA musiman pada anak dan dewasa mendapati tidak adanya keuntungan dari penambahan terapi AH pada pasien yang telah menerima terapi ICS.

ICS telah terbukti lebih efektif dibandingkan AH sebagai terapi RA. Pada penelitian meta-analisis, Weiner et al membuktikan bahwa ICS lebih efektif dibandingkan dengan AH dalam mengendalikan gejala pada RA musiman dalam evaluasi gejala secara keseluruhan ataupun per gejala. Keuntungan ini bahkan diperoleh pada saat terapi diberikan ataupun pada saat dievaluasi dengan parameter objektive dengan menggunakan peak nasal inspiratory flow. Review dari 38 penelitian mengenai RA musiman menunjukkan bahwa ICS lebih baik daripada AH, dan pada 13 penelitian tentang RA sepanjang tahun menunjukkan bahwa AH lebih efektif, meskipun data tersebut masih berupa variabel. Walaupun demikian, AH merupakan terapi RA yang paling sering digunakan. Menurut penelitian Alergologica 2005 di Spanyol, pasien yang berobat ke klinik alergi dengan kecurigaan RA 82% sudah mendapat terapi AH, sedangkan sisanya 24% mendapat terapi ICS. Tindakan selanjutnya, ahli alergi kemudian meresepkan AH sebanyak 86%, dan ICS 68%.

Mempertimbangkan data-data tersebut diatas, penulis memutuskan untuk membahas pemakaian ICS sebagai terapi RA. BAB 2

TINJAUAN PUSTAKADefinisi

Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun 2008 adalah inflamasi pada hidung dengan gejala rhinorrhea pada bagian depan dan belakang, bersin-bersin, hidung tersumbat, dan atau rasa gatal. Gejala ini terjadi berturut-turut selama 2 hari atau lebih dan berlangsung lebih dari 1 jam setiap harinya. Epidemiologi

Prevalensi rinitis di dunia saat ini mencapai 10-25% atau lebih dari 600 juta penderita dari seluruh etnis dan usia.1 Di Amerika Serikat, lebih dari 40 juta warganya menderita rhinitis alergi. Rinitis alergi pada anak lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, sedangkan pada dewasa prevalensi rinitis alergi laki-laki sama dengan perempuan. Sekitar 80% kasus rhnitis alergi berkembang mulai usia 20 tahun. Insidensi rinitis alergi pada anak-anak 40% dan menurun sejalan dengan usia.2 Di Indonesia belum ada angka yang pasti, tetapi di Bandung prevalensi rinitis alergi pada usia 10 tahun ditemukan cukup tinggi (5,8%).1Etiologi

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:2,41.Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan, serta jamur.

2.Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting, dan kacang-kacangan.

3.Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan sengatan lebah.

4.Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan.

Patogenesis

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan allergen sampai satu jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.5Pada kontak pertama dengan allergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap allergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T Helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilakan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, dan IL13. IL4 dan IL13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi IgE. IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan allergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat allergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamine. Selain itu juga dikeluarkan Newly Formed Mediators, antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrein D4 (LTD4), Leukotrein C4 (LTC4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. Inilah yang disebut sebagai reaksi alergi fase cepat (RAFC).1Histamine akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamine juga akan menyebabkan sel mukosa dan sel goblet megalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinorea. Gejala lain dalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamine merangsang ujung saraf vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).1Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eusinofil dan noutrofil di jaringan target. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiper responsive hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti ECP, EDP, MBP, EPO. Pada fase ini, selain factor spesifik (allergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca, dan kelembaban udara yang tinggi.1

Gambar 3: Patogenesis Rinitis AlergiGambaran Histologik

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mucus. Terdapat juga pembesaran ruang inter seluler dan penebalan membrane basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.1Klasifikasi

Berdasarkan sifat berlangsungnya rinitis alergi dibagi menjadi :5,6 1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Rinitis hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Allergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen), rerumputan, dan spora jamur.

2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala penyakit ini timbul intermiten atau terus menerus, tanpa variasi musim. Penyebab yang paling sering ialah alergen inhalan dan alergen ingestan.

Berdasarkan WHO Initiative ARIA, rinitis alergi berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi:101. Intermitten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.

2. Persisten/ menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.3. Ringan (tidak ditemukan satupun dari poin di bawah ini) Gangguan tidur Mengganggu aktifitas sehari-hari, bersantai dan atau olahraga Mengganggu sekolah ataupun pekerjaan Gejala lain yang mengganggu4. Sedang-berat (terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di bawah ini) Gangguan tidur Mengganggu aktifitas sehari-hari, bersantai dan atau olahraga Mengganggu sekolah ataupun pekerjaan Gejala lain yang menggangguGejala Klinis

Gejala klinis pada rinitis alergi adalah bersin berulang pada pagi hari, keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak keluar air mata (lakrimasi).2,3,5,6

Awitan gejala timbul cepat setelah paparan allergen dapat berupa bersin, mata atau palatum yang gatal berair, rinore, hidung gatal, hidung tersumbat.2,4,11 Pada mata dapat menunjukkan gejala berupa mata merah, gatal, conjungtivitis, mata terasa terbakar, dan lakrimasi.2,7 Pada telinga bisa dijumpai gangguan fungsi tuba, efusi telinga bagian tengah.5,7 Diagnosis

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:2a. Anamnesis

Pada anamnesis didapati keluhan serangan bersin yang berulang. Bersin ini merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang RAFL sebagai akibat dilkepaskannya histamin. Gejala lain adalah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak keluar air mata (lakrimasi).2

Riwayat penyakit alergi dalam keluarga perlu ditanyakan. Pasien juga perlu ditanya gangguan alergi selain yang menyerang hidung, seperti asma, eczema, urtikaria, atau sensitivitas obat. Keadaan lingkungan kerja dan tempat tinggal juga perlu ditanya untuk mengaitkan awitan gejala. 3,4

b. Pemeriksaan Fisik

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertofi.2

Gejala spesifik lain pada anak adalah adanya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain itu juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut allergig salute. Menggosok-gosok hidung mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).2,6,7c. Pemeriksaan Penunjang2Invitro :

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai normal. Invivo :

Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-Point Titration/ SET). SET dilakukan untuk allergen inhalan dengan menyuntikkan allergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya.

Untuk allergen makanan, uji kulit Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test).

Diagnosis Banding

Diagnosa Banding dari rinitis alergi adalah:121. Rinitis vasomotor

2. Rinitis infeksi

Penatalaksanaana. Terapi yang paling ideal dengan menghindari kontak dengan allergen penyebab dan eliminasi.2,4,5,7,10,11b. Medikamentosa5

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1 yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.

Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non-sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik sehingga dapat menembus sawar darah otak dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin. Antihistamin generasi-2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan efek pada SSP minimal.

Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain.

c. Operatif

Tindakan konkotomi parsial, konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berta dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.

d. Imunoterapi 2,5,7

Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan.e. Edukasi Pasien 2,10

Memberikan edukasi pada pasien utnuk menghindari bahan-bahan yang merupakan allergen. Komplikasi

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:2,6,121. Polip hidung.

2. Otitis media3. Sinusitis paranasal

4. Gangguan fungsi tuba eustachiusPrognosis

Kebanyakan gejala rintis alergi dapat diobati. Pada kasus yang lebih parah dapat memerlukan imunoterapi. Beberapa orang (terutama anak-anak) semakin dewasa akan semakin kurang sensitif terhadap. Namun, sebagai aturan umum, jika suatu zat menjadi penyebab alergi bagi seorang individu, maka zat tersebut dapat terus mempengaruhi orang itu dalam jangka panjang.13DAFTAR PUSTAKA

1. Sudiro, M., Madiadipoera, T., Purwanto, B. Eosinofil Kerokan Mukosa Hidung Sebagai Diagnostik Rinitis Alergi. MKB volume 42 No 1; 2010. hslm 6-11.

2. Sheikh, J. Allergic Rhinitis. Available from: http://emedicine.medscape. com/article/134825. [Accessed 14 Maret 2015].

3. Adams, G., Boies, L R., Higler, P A. Penyakit Hidung. Dalam : Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi keenam. Jakarta: EGC; 1997; 210-218.

4. Snow, J B., Ballenger, J J. Allergic Rhinitis. In: Ballengers Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery Edition 9th. Spain: BC Decker; 2003; 708-731.

5. Dhingra, PL. Allergic Rhinitis. In : Disease of Ear, Nose and Throat fourth edition. Elsevier. 157-159.

6. Mabry, R., Marple, B. Allergic Rhinitis. In:Cummings Otolaryngologi Head Neck Surgery Fourth Edition. USA: Elsevier. 2005; 982-988.

7. Pasha, R. Allergy and Rhinitis. In: Otolaryngolongy Head and Neck Surgery Clinical Reference Giude. Singular Thomson Learning; 28-33.

8. Karya, I W., Aziz, A., Rahardjo S P., Djufri, N I. Pengaruh Rinitis Alergi (ARIA WHO 2001) terhadap Gangguan Fungsi Ventilasi Tuba Eustachius. Cermin Dunia Kedokteran 166 volume 37 (7). 2008; 405-410.

9. Snell, R S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6. Jakarta: EGC. 2006; 803-805.10. ARIA. ARIA At A Glance Pocket Reference 2007 1st Edition. 2007.

11. Plaut, M., Valentine, M D. Allergic Rhinitis. The New England Journal of Medicine 353;18. 2005; 1934-1943.

12. Harsono, Ariyanto, Endaryato, Anang. Rinitis Alergika. Diunduh dari : http://www.pediatrik.com/isi03.php?page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07110-bfxu225.htm. [Diakses 14 Maret 2015].

13. National Library of Medicine. Allergic Rhinitis. Diunduh dari : http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000813.htm. [Diakses 24 Maret 2015].

1