Ketikan BAB I

22
MEKANISME TERJADINYA PENYALAHHGUNAAN NAPZA a. Organobiologik Wikler (1973) mengemukakan conditioning teory. Menurut teori ini seseorang akan ketergantungan terhadap NAPZA apabila ia terus-menerus diberi NAPZA tersebut. Hal ini sesuai dengan teori adaptasi seluler (neuro-adaptation), tubuh beradaptasi dengan menambah jumlah reseptor dan sel-sel saraf bekerja keras. Jika NAPZA dihentikan, sel yang masih bekerja keras tadi mengalami keausan, yang dari luar tampak sebagai gejala-gejala putus NAPZA. Apabila NAPZA dikonsumsi dengan cara ditelan, diminum, dihisap, dihirup, dihidu, dan melalui suntikan; maka NAPZA melalui peredaran darah sampai pada susunan saraf pusat (otak) yang menggannggu system neuro-transmitter sel-sel saraf otak. Akibat gangguan pada system neuro-transmitter itu terjadilah Gangguan Memntal and Perilaku akibat NAPZA. Interaksi NAPZA dan reseptor biasanya bukan merupakan ikatan kovalen kimiawi, melainkan suatu interaksi yang lebih lemah. Karena bentuknya yang khusus dan muatannya yang spesifik, NAPZA dapat terikat secara reversible (yang dapat balik kembali) pada zat kimia spesifik pada reseptor. Dengan demikian, terjadi perubahan reaktivitas fisiologik tersebut. Reseptor dapat pula berupa enzyme, yang dapat diubah aktivitasnya oleh NAPZA. Reseptor dapat pula berupa membrane sel protein spesifik pada saraf atau orot. Interaksi NAPZA dan reseptor data mengubah

description

KETIKAN TUTORIAL

Transcript of Ketikan BAB I

Page 1: Ketikan BAB I

MEKANISME TERJADINYA PENYALAHHGUNAAN NAPZA

a. Organobiologik

Wikler (1973) mengemukakan conditioning teory. Menurut teori ini seseorang akan

ketergantungan terhadap NAPZA apabila ia terus-menerus diberi NAPZA tersebut. Hal ini sesuai

dengan teori adaptasi seluler (neuro-adaptation), tubuh beradaptasi dengan menambah jumlah

reseptor dan sel-sel saraf bekerja keras. Jika NAPZA dihentikan, sel yang masih bekerja keras

tadi mengalami keausan, yang dari luar tampak sebagai gejala-gejala putus NAPZA.

Apabila NAPZA dikonsumsi dengan cara ditelan, diminum, dihisap, dihirup, dihidu, dan

melalui suntikan; maka NAPZA melalui peredaran darah sampai pada susunan saraf pusat (otak)

yang menggannggu system neuro-transmitter sel-sel saraf otak. Akibat gangguan pada system

neuro-transmitter itu terjadilah Gangguan Memntal and Perilaku akibat NAPZA.

Interaksi NAPZA dan reseptor biasanya bukan merupakan ikatan kovalen kimiawi,

melainkan suatu interaksi yang lebih lemah. Karena bentuknya yang khusus dan muatannya yang

spesifik, NAPZA dapat terikat secara reversible (yang dapat balik kembali) pada zat kimia

spesifik pada reseptor. Dengan demikian, terjadi perubahan reaktivitas fisiologik tersebut.

Reseptor dapat pula berupa enzyme, yang dapat diubah aktivitasnya oleh NAPZA. Reseptor

dapat pula berupa membrane sel protein spesifik pada saraf atau orot. Interaksi NAPZA dan

reseptor data mengubah permeabilitas membran sel sehingga dapat menghambat atau memacu

sel tersebut. Ada juga NAPZA yang bekerja tidak melalai reseptor, misalnya, beberapa macam

anstetika yang mengubah muatan listrik saraf dengan melarutkan diri dalam lipoprotein

membrane sel. Hal tersebut akan mengubah sifat fisiko-kimia membran sel sehingga terjadi

hambatan bila ada eksitasi.

Reseptor opiat terdapat pada hipotalamus dan system limbic otak bagian dalam, yaitu

bagian otak yang berkaitan dengan fungsi kognitif (alam fikir), afektif (alam perasaan/emosi)

dan perilaku. Sekurang-kurangnya ada empat jenis reseptor opiate, yaitu:

1. mu-reseptor, terutama mengikat morphine/heroin dan diduga ada kaitannya dengan

fungsi analgetik (penawar nyeri)

Page 2: Ketikan BAB I

2. gamma-reseptor, yang mengikat enkefalin dan berperan dalam hubungannya dengan

perilaku

3. kappa-reseptor, secara spesifik mengikat ketosiklasosin dan dinorfin serta ada

hubungannnya dengan afek sedasi dana ataxia; dan

4. delta-reseptor, mempunyai afinitas pada siklasosin, dan opiat yang mirip siklasosin serta

berhubungan deangan afek psikotomi-metik senyawa ini.

Peran factor genetic pada penyalahgunaan NAPZA dikemukakan oleh Banks dan Waller

(1983); Kaplan dan Sadock (1989) yang menyatakan bahwa gen berperan pada ketergantungan

alcohol, tetapi untuk jenis-jenis zat-zat lainnya factor gen sebagai etiologi masih lemah. Dalam

hubungan ini, Edwards (1982) menyatakan bahwa secara umum contoh orang tua (parental

example) lebih penting daripada gen (sifat turunan) orang tua (parental genes).

b. Psikodinamik

1. Faktor predisposisi

- Gangguan kepribadian (antisocial)

- Kecemasan

- Depresi

2. Faktor kontribusi

Kondisi keluarga:

- Keluarga rtidak utuh

- Kesibukan orangtua

- Hubungan interpersonal yang tidak baik

3. Faktor pencetus

Page 3: Ketikan BAB I

- Teman kelompk sebaya

- Tersedianya dan mudahnya NAPZA diperoleh (easy availability)

c. Psikososial

Bila kutub keluarga atau sekolah/kampus dan kutub masyarakat tidak kondusif, dimana

ketiga kutub tersebut saling mempengaruhi kehidupan anak/remaja, maka sebagai hasil interaksi

ketiga kutub tersebut (resultante) resiko perilaku menyimpang menjdi lebih besat pada gilirannya

berakibat penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA.

DIAGNOSIS

Diagnosis ketergantungan penderita opiat ditegakkan dengan pemeriksaan klinis

(medikpsikiatrik) dan ditunjang dengan pemeriksaan urine. Pada penyalahgunaan narkotika jenis

opiat, seringkali dijumpai komplikasi medis, misalnya kelainan pada organ paru-paru dan lever.

Untuk mengetahui adanya komplikasi, dilakukan pemeriksaan fisik pada penderita oleh dokter

ahli penyakit dalam, ditunjang oleh pemeriksaan X-ray thorax foto dan laboratorium untuk

mengetahui fungsi lever (SGOT dan SGPT).

Banks A. dan Waller T. (1983) menyatakan bahwa edema paru akut merupakan

komplikasi serius, terutama pada pecandu narkotika dosis tinggi (over dosis). Selanjutnya,

komplikasi lainnya adalah hepatitis (4%). Komplikasi medis ini erat kaitannya dengan cara

penggunaan narkotika tersebut, yaitu dengan dihirup (chasing dragon) melalui mulut atau

hidung, heroin yang dipanasi di atas kertas alumunium foil, atau suntikan intravena. Khasiatnya

terutama adalah analgetik (menghilangkan rasa nyeri) dan euforia (gembira). Pemakaian yang

berulangkali dapat menimbulkan toleransi dan ketergantungan.

Penyalahgunaan narkotika merupakan suatu pola penggunaan zat yang bersifat patologik

paling sedikit satu bulan lamanya. Opioida termasuk salah satu yang sering disalahgunakan

manusia. Menurut ICD 10 (International Classification Diseases), berbagai gangguan mental

dan perilaku akibat penggunaan zat dikelompokkan dalam berbagai keadaan klinis, seperti

Page 4: Ketikan BAB I

intoksikasi akut, sindroma ketergantungan, sindroma putus zat, dan gangguan mental serta

perilaku lainnya.

Sindroma putus obat adalah sekumpulan gejala klinis yang terjadi sebagai akibat

menghentikan zat atau mengurangi dosis obat yang persisten digunakan sebelumnya. Keadaan

putus heroin tidak begitu membahayakan. Di kalangan remaja disebut "sakau" dan untuk

mengatasinya pecandu berusaha mendapatkan heroin walaupun dengan cara merugikan orang

lain seperti melakukan tindakan kriminal. Gejala objektif sindroma putus opioid, yaitu

mual/muntah, nyeri otot lakrimasi, rinorea, dilatasi pupil, diare, menguap/sneezing, demam, dan

insomnia. Untuk mengatasinya, diberikan simptomatik. Misalnya, untuk mengurangi rasa sakit

dapat diberi analgetik, untuk menghilangkan muntah diberi antiemetik, dan sebagainya.

Pengobatan sindroma putus opioid harus diikuti dengan program terapi detoksifikasi dan terapi

rumatan.

Kematian akibat overdosis disebabkan komplikasi medis berupa gangguan pernapasan,

yaitu oedema paru akut (Banks dan Waller). Sementara, Mc Donald (1984) dalam penelitiannya

menyatakan bahwa penyalahgunaan narkotika mempunyai kaitan erat dengan kematian dan

disabilitas yang diakibatkan oleh kecelakaan, bunuh diri, dan pembunuhan.

Penyalahgunaan obat- obatan sangat beragam, tetapi yang paling banyak digunakan

adalah obat yang memiliki tempat aksi utama di susunan saraf pusat dan dapat menimbulkan

gangguan- gangguan persepsi, perasaan, pikiran, dan tingkah laku serta pergerakan otot- otot

orang ynag menggunakannya. Tujuan penyalahgunaan pada umumnya adalah untuk

mendapatkan perubahan mental sesaat yang menyenangkan. Efek menenangkan sering

dipergunakan untuk mengatasi kegelisahan, kekecewaan, kecemasan, dorongan- dorongan yang

terlalu berlebihan oleh orang yang lemah mentalnya atau belum matang kepribadiannya.

Sedangkan efek merangsang sering dipakai untuk melancarkan pergaulan, atau untuk suatu

tugas, menambah gairah sex, meningkatkan daya tahan jasmani.

Penyalahgunaan obat dapat diketahui dari hal-hal sebagai berikut :

1. tanda- tanda pemakai obat

Page 5: Ketikan BAB I

2. keadaan lepas obat

3. kelebihan dosis akut

4. komplikasi medik ( penyulit kedoktearn )

5. komplikasi lainnya ( sosial, legal, dsb)

Pemeriksaan Barang Bukti Hidup Pada Kasus Pemakai Morfin

Kasus keracunan merupakan kasus yang cukup pelik, karena gejala pada umumnya

sangat tersamar, sedangkan keterangan dari penyidik umumnya sangat minim.Hal ini, tentu saja

akan menyulitkan dokternya, apalagi untuk racun- racun yang sifat kerjanya mempengaruhi

sistemik korban. Akibatnya pihak dokter/ laboratorium akan terpaksa melakukan pendeteksian

yang sifatnya meraba- raba, sehingga harus melakukan banyak sekali percobaan yang mana akan

menambah biaya pemeriksaan. Untuk memudahkan pemeriksaan, dilakukan pembagian kasus

keracunan sebagai berikut:

1. Anamnesa dan Pemeriksaan fisik

Gejala klinis :

1. pada umumnya sama dengan gejala klinis keracunan barbiturate; antara lain nusea, vomiting,

nyeri kepala, otot lemah, ataxia, suka berbicara, suhu menurun, pupil menyempit, tensi menurun

dan sianosis.

2. pada keracunan akut :

a. miosis; b. coma; c. respirasi lumpuh

3. gejala keracunan morfin lebih cepat nampak daripada keracunan opium;

4. gejala ini muncul 30 menit setelah masuknya racun, kalau parenteral, timbulnya hanya

beberapa menit sesudah masuknya morfin.

Page 6: Ketikan BAB I

Tahap 1

Tahap eksitasi

Berlangsung singkat, bahkan kalau dosisnya tinggi, tanpa ada tahap 1.

1. Kelihatan tenang dan senang, tetapi tak dapat istirahat ;

2. Halusinasi

3. Kerja jantung meningkat, wajah kemerahan dan kejang-kejang;

4. Dapat menjadi maniak

Tahap 2

Tahap stupor

Dapat berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam (gejala ini selalu ada)

1. Kepala sakit, pusing berat dan kelelahan;

2. Merasa ngantuk dan selalu ingin tidur;

3. Wajah sianosis, pupil amat mengecil; dan

4. Pulse dan respirasi normal.

Tahap 3

Tahap Coma :

Tidak dapat dibangunkan kembali

1. Tidak ada reaksi nyeri, refleks menghilang, otot-otot relaksasi;

2. Proses sekresi;

Page 7: Ketikan BAB I

3. Pupil pinpoint, refleks cahaya negative. Pupil melebar kalau ada asfiksisa, dan ini merupakan

tanda akhir;

4. Respirasi cheyne stokes; dan

5. Pulse menurun, kadang-kadang ada kejang,akhirnya meninggal.

2. Pemeriksaan Toksikologi

Sebagai barang bukti :

1. Urin, cairan empedu dan jaringan tempat suntikan;

2. Darah dan isi lambung, diperiksa bila diperkirakan keracunannya peroral;

3. Nasal swab, kalau diperkirakan melalui cara menghirup; dan

4. Barang bukti lainnya.

Metode

1. Dengan Thin Layer Chromatography atau dengan Gas Chromatography (Gas Liquid

Chromatography)

Pada metode TLC, terutama pada keracunan peroral: barang bukti dihidroliser terlebih dahulu

sebab dengan pemakaian secara oral,morfin akan dikonjugasikan terlebih dahulu oleh

glukuronida dalam sel mukosa usus dan dalam hati. Kalau tanpa hidrolisa terlebih dahulu, maka

morfin yang terukur hanya berasal dari morfin bebas, yang mana untuk mencari beberapa morfin

yang telah digunakan, hasil pemeriksaan ini kurang pasti.

2. Nalorfine Test

Penafsiran hasil test :

Page 8: Ketikan BAB I

Kadar morfin dalam urin, bila saam dengan 5 mg%, berarti korban minum heroin atau morfin

dalam jumlah sangat banyak. Bila kadar morfin atau heroin dalam urin 5-20 mg%, atau kadar

morfin/heroin dalamdarah 0,1-0,5 mg%, berarti pemakaiannya lebih besar dosis lethalis.

Permasalahan timbul bila korban memakai morfin bersama dengan heroin atau bersama kodein.

Sebab hasil metabolic kodein, juga ada yang berbentuk morfin, sehingga morfin hasil metabolic

narkotika tadi berasal dari morfinnya sendiri dan dari kodein. Sebagai patokan dapat ditentukan,

kalau hasil metabolit morfinnya tinggi, sedang mensuplai morfin hanya sedikit, dapat dipastikan

korban telah mensuplai juga kodein cukup banyak.

PENATALAKSANAAN

Konsep Dasar Penatalaksanaan

Dalam bidang kedokteran, penatalaksanaan bermakna terapi dan tindakan-tindakan yang berkait

dengannya. Umumnya tujuan terapi ketergantungan napza adalah sebagai berikut:

1. Abstinensia atau penghentian total penggunaan napza.

Tujuan terapi ini tergolong sangat ideal, namun sebagian besar pasien tidak mampu atau tidak

bermotivasi untuk mencapai sasaran ini, terutama pasien-pasien pengguna awal. Usaha pasien

untuk mempertahankan abstinensia tersebut dapat didukung dengan meminimasi efek-efek yang

langsung ataupun tidak langsung akibat penggunaan napza. Sedangkan sebagian pasien lain

memang telah sungguh-sungguh abstinen terhadap salah satu napza, tetapi kemudian beralih

menggunakan jenis napza yang lain.

2. Pengurangan frekuensi dan keparahan relaps.

Tujuan utamanya adalah mencegah relaps. Bila pasien pernah menggunakan satu kali saja

setelah abstinensia, maka ia disebut "slip". Bila ia menyadari kekeliruannya, dan ia memang

telah dibekali keterampilan untuk mencegah pengulangan peng-gunaan kembali, pasien akan

tetap mencoba bertahan untuk selalu abstinen. Program pelatihan ketrampilan mencegah relaps

(relapse prevention program), terapi perilaku kognitif (cognitive behavior therapy), opiate

antagonist maintenance therapy dengan naltrexone merupakan beberapa alternatif untuk

mencapai tujuan terapi jenis ini.

3. Memperbaiki fungsi psikologi, dan fungsi adaptasi sosial.

Dalam kelompok ini, abstinensia bukan merupakan sasaran utama. Terapi rumatan metadon,

syringe exchange program merupakan pilihan untuk mencapai tujuan terapi jenis ini.

Page 9: Ketikan BAB I

Terapi medik ketergantungan napza merupakan kombinasi psikofarmakoterapi dan terapi

perilaku. Meskipun telah dipahami bahwa banyak faktor yang terlibat dalam terapi

ketergantungan zat (termasuk faktor problema psikososial yang sangat kompleks), narnun upaya

penyembuhan ketergantungan napza dalam konteks medik tetap selalu diupayakan.

Seperti diketahui, terapi medik ketergantungan napza terdiri atas dua fase berikut:

-Detoksifikasi

-Rumatan (maintenance, pemeliharaan, perawatan).

Kedua bentuk fase terapi ini merupakan suatu proses berkesinambungan, runtut, dan tidak dapat

berdiri sendiri.

Farmakoterapi :

Manfaat farmakoterapi terhadap pasien ketergantungan napza adalah untuk :

1. Medikasi untuk menghadapi intoksikasi dan sindrom putus zat. Misalnya adalah penggunaan

metadon dan klonidin untuk sindrom putus opioida, klordiazepoksid untuk sindrom putus

alkohol.

2. Medikasi untuk mengurangi efek memperkuat (reinforcing effect) dari zat yang

disalahgunakan. Misalnya pemberian antagonis opioida seperti naltrekson dapat

memblok/menghambat pengaruh fisiologi dan subyektif dari pemberian opioida berikutnya. Pada

kasus lain, gejala-gejala abstinensia yang dicetuskan oleh penggunaan antagonis opioida,

misalnya nalokson, dianggap sebagai provocative test untuk mengetahui adanya penggunaan

opioida.

3. Medikasi untuk mengendalikan gejala-gejala klinis seperti

-anti agresi (haloperidol, fluphenazine, chlorpromazine)

-anti anxietas (diazepam, lorazepam)

-anti halusinasi (trifluoperazine, thioridazine)

-anti insomnia (estazolam, triazolam)

4. Terapi substitusi agonis, seperti metadon, klordiazepoksid

5. Medikasi untuk menyembuhkan komorbiditas medikopsikiatri.

6. Terapi terhadap overdosis: seperti pemberian nalokson untuk pasien overdosis opioida pada

pengguna IDU (Injecting Drug User),

7. Mengatur keseimbangan cairan: air dan elektrolit

Page 10: Ketikan BAB I

8. Antibiotika: infeksi akibat komplikasi TB pulmonum, hepatitis dan infeksi sekunder karena

HIV/AIDS

9. Terapi untuk gangguan ekstrapiramidal.

Terapi Detoksifikasi

Detoksifikasi merupakan langkah awal proses terapi ketergantungan opioida dan

merupakan intervensi medik jangka singkat. Seperti telah disebutkan di atas, terapi detoksifikasi

tidak dapat berdiri sendiri dan harus diikuti oleh terapi rumatan. Bila terapi detoksifikasi

diselenggarakan secara tunggal, misalnya hanya berobat jalan saja, maka kemungkinan relaps

lebih besar dari 90 %.

Tujuan terapi detoksifikasi opioida adalah

-Untuk mengurangi, meringankan, atau meredakan keparahan gejala-gejala putus opioida

-Untuk mengurangi keinginan, tuntutan dan kebutuhan pasien untuk "mengobati dirinya sendiri"

dengan menggunakan zat-zat ilegal

-Mempersiapkan proses lanjutan yang dikaitkan dengan modalitas terapi lainnya seperti

therapeutic community atau berbagai jenis terapi rumatan lain

-Menentukan dan memeriksa komplikasi fisik dan mental, serta mempersiapkan perencanaan

terapi jangka panjang, seperti HIV/AIDS, TB pulmonum, hepatitis.

Berdasarkan lamanya proses berlangsung, terapi detoksifikasi dibagi atas:

-Detoksifikasi jangka panjang (3-4 minggu) seperti dengan menggunakan metadon

-Detoksifikasi jangka sedang (3-5 hari) : naltrekson, midazolam, klonidin

-Detoksifikasi cepat (6 jam sampai 2 had): rapid detox

Variasi dan pilihan terapi detoksifikasi napza cukup banyak. Di Indonesia, sebagian

dokter/psikiater masih menggunakan terapi detoksifikasi opioida konservatif seperti penggunaan

obat simptomatik (analgetika, anti-insomnia, dan lainnya). Bahkan beberapa psikiater masih

menggunakan berbagai bentuk neuroleptika dosis tinggi, yang di negara maju sudah

lama ditinggalkan.

Metadon: adalah substitusi opioida yang merupakan pilihan utama dalam terapi detoksifikasi

opioida secara gradual. Proses detoksifikasi berlangsung relatif lama (>21 hari). Selama proses

terapi detoksifikasi metadon berlangsung, angka relaps dapat ditekan. Setelah detoksifikasi

Page 11: Ketikan BAB I

berhasil, kemudian dilan-jutkan dengan terapi rumatan : Methadone Maintenance Treatment

Program.

Klonidin: adalah suatu central alpha-2-adrenergic receptor agonist, yang digunakan dalam

terapi hipertensi. Klonidin mengurangi lepasnya noradrenalin dengan mengikatnya pada pre-

synaptic alpha2 receptor di daerah locus cereleus, dengan demikian mengurangi gejala-gejala

putus opioida. Karena terbatasnya substitusi opioida lain di Indonesia, beberapa dokter (termasuk

penulis) telah menggunakan kombinasi klonidin, kodein dan papaverin untuk terapi

detoksifikasi. Klonidin digunakan dalam kombinasi untuk mengurangi gejala putus opioida

ringan seperti: menguap, keringat dingin, air mata dan lainnya. Clocopa method tersebut dapat

digunakan untuk berobat jalan maupun rawat inap.

Namun karena klonidin sendiri tidak dapat memperpendek masa detoksifikasi, maka diperlukan

kombinasi dengan naltrekson. Naltrekson adalah suatu senyawa antagonis opioida. Cara tersebut

dikenal dengan nama Clontrex Method yang dapat dilakukan untuk pasien berobat jalan maupun

pasien rawat inap. Umumnya program detox dengan cara Clontrex method ini berlangsung

selama 3-5 hari dan kemudian diikuti dengan terapi rumatan : Opamat-ED Program.

Lofeksidin dan Guanfasin: Lofeksidin adalah analog klonidin tetapi mempunyai keuntungan

bermakna karena tidak banyak mempengaruhi tekanan darah (Washton et al 1982). Guanfasin

adalah senyawa alpha-2 adrenergic agonist yang juga mempunyai kemampuan untuk

mengurangi gejala putus opioida.

Buprenorfin: adalah suatu senyawa yang berkerja ganda sebagai agonis dan antagonis pada

reseptor opioida. Gejala putus opioida pada terapi buprenorfin sangat ringan dan hilandalam

sehari setelah pemberian buprenorfin sublingual. Pemberian buprenorfin juga digunakan sebagai

awal dari terapi kombinasi Clontrex Method.

Midazolam-Naltrekson: kombinasi midazolam-naltrekson juga telah digunakan untuk

memperpendek waktu terapi detoksifikasi. Selama dalam pengaruh sedasi midazolam intravena,

pasien diberi nalokson intravena, suatu antagonis opioida.

Terapi Rumatan

Terapi rumatan ketergantungan opioida bertujuan antara lain untuk :

-Mencegah atau mengurangi terjadinya craving terhadap opioida

-Mencegah relaps (menggunakan zat adiktif kembali).

Page 12: Ketikan BAB I

-Restrukturisasi kepribadian

-Memperbaiki fungsi fisiologi organ yang telah rusak akibat penggunaan opioida

Tujuan farmakoterapi rumatan pasca detoksifikasi adalah

-Menambah holding power untuk pasien yang berobat jalan sehingga menekan biaya pengobatan

-Menciptakan suatu window of opportunity sehingga pasien dapat menerima intervensi

psikososial selama terapi rumatan dan mengurangi risiko.

-Mempersiapkan kehidupan yang produktif selama meng-

gunakan terapi rumatan

Methadone: adalah suatu substitusi opioida yang bersifat agonis dan long-acting.

Sejak tahun 1960an di Amerika dan Eropa, penggunaan metadon dianggap sebagai terapi baku

untuk pasien ketergantungan opioida. Klinik-klinik Metadon berkembang di beberapa tempat

dengan berbagai variasi program.

Beberapa kelemahan terapi metadon: harus datang ke fasilitas kesehatan sekurang-kurangnya

sekali sehari, terjadinya overdosis, ketergantungan metadon, dan kemungkinan terjadinya

peredaran ilegal metadon. Dewasa ini dikembangkan suatu bentuk derivat metadon,

levacethylmethadol, yang mempunyai masa aksi lebih lama (72 jam) sehingga pasien tidak perlu

tiap hari datang ke fasilitas kesehatan.

Buprenorfin: dapat juga digunakan untuk terapi rumatan. Seperti levacethylmethadol, hanya

diberikan 2 atau 3 kali dalam seminggu karena masa aksinya yang panjang. Karena kemungkinan

penyalahgunaan, kombinasi buprenorfin dan naltrekson juga telah dipelajari dan dicoba untuk

terapi ketergantungan opioida.

Disulfiram, Disulfiram & Behaviour Therapy: Disulfiram, suatu alcohol antabuse yang

diketemukan di Denmark tahun 1948. Disulfiram sangat efektif jika diberikan kepada pasien

ketergantungan alkohol secara ambulatory di bawah supervisi. Disulfiram dibuat sebagai tablet

buih yang mudah larut dalam air, sehingga mudah diminum. Terapi disulfiram tanpa pemantauan

hasilnya kurang menguntungkan. Hasil yang memuaskan justru diperoleh melalui kombinasi

disulfiram dengan terapi perilaku kognitif.

Rehabilitasi

Rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu melalui

pendekatan non medis, psikologis, sosial dan religi agarpengguna NAPZA yang menderita

Page 13: Ketikan BAB I

sindroma ketergantungan dapatmencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin. Tujuannya

pemulihan dan pengembangan pasien baik fisik, mental, sosial, dan spiritual. Sarana rehabilitasi

yang disediakan harus memiliki tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan (Depkes, 2001).

Sesudah klien penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA menjalani program terapi

(detoksifikasi) dan konsultasi medik selama 1 (satu) minggu dan dilanjutkan dengan program

pemantapan (pascadetoksifikasi) selama 2 (dua) minggu, maka yang bersangkutan dapat

melanjutkan ke program berikutnya yaitu rehabilitasi (Hawari, 2003).

Lama rawat di unit rehabilitasi untuk setiap rumah sakit tidak sama karena tergantung

pada jumlah dan kemampuan sumber daya, fasilitas, dan sarana penunjang kegiatan yang

tersedia di rumah sakit. Menurut Hawari (2003), bahwa setelah klien mengalami perawatan

selama 1 minggu menjalani program terapi dan dilanjutkan dengan pemantapan terapi selama 2

minggu maka klien tersebut akan dirawat di unit rehabilitasi (rumah sakit, pusat rehabilitasi, dan

unit lainnya) selama 3-6 bulan. Sedangkan lama rawat di unit rehabilitasi berdasarkan parameter

sembuh menurut medis bisa beragam 6 bulan dan 1 tahun, mungkin saja bisa sampai 2 tahun..

Berdasarkan pengertian dan lama rawat di atas, maka perawatan di ruang rehabilitasi

tidak terlepas dari perawatan sebelumnya yaitu di ruang detoksifikasi.

Kenyataan menunjukkan bahwa mereka yang telah selesai menjalani detoksifikasi

sebagian besar akan mengulangi kebiasaan menggunakan NAPZA, oleh karena rasa rindu

(craving) terhadap NAPZA yang selalu terjadi (DepKes, 2001). Dengan rehabilitasi diharapkan

pengguna NAPZA dapat:

1. Mempunyai motivasi kuat untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi

2. Mampu menolak tawaran penyalahgunaan NAPZA

3. Pulih kepercayaan dirinya, hilang rasa rendah dirinya

4. Mampu mengelola waktu dan berubah perilaku sehari-hari dengan baik

5. Dapat berkonsentrasi untuk belajar atau bekerja

6. Dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan dengan lingkungannya.

Page 14: Ketikan BAB I

Jenis program rehabilitasi:

a) Rehabilitasi psikososial

Program rehabilitasi psikososial merupakan persiapan untuk kembali ke masyarakat (reentry

program). Oleh karena itu, klien perlu dilengkapi dengan pengetahuan dan keterampilan

misalnya dengan berbagai kursus atau balai latihan kerja di pusat-pusat rehabilitasi. Dengan

demikian diharapkan bila klien selesai menjalani program rehabilitasi dapat melanjutkan kembali

sekolah/kuliah atau bekerja.

b) Rehabilitasi kejiwaan

Dengan menjalani rehabilitasi diharapkan agar klien rehabilitasi yang semua berperilaku

maladaptif berubah menjadi adaptif atau dengan kata lain sikap dan tindakan antisosial dapat

dihilangkan, sehingga mereka dapat bersosialisasi dengan sesama rekannya maupun personil

yang membimbing dan mengasuhnya. Meskipun klien telah menjalani terapi detoksifikasi,

seringkali perilaku maladaptif tadi belum hilang, keinginan untuk menggunakan NAPZA

kembali atau craving masih sering muncul, juga keluhan lain seperti kecemasan dan depresi serta

tidak dapat tidur (insomnia) merupakan keluhan yang sering disampaikan ketika melakukan

konsultasi dengan psikiater. Oleh karena itu, terapi psikofarmaka masih dapat dilanjutkan,

dengan catatan jenis obat psikofarmaka yang diberikan tidak bersifat adiktif (menimbulkan

ketagihan) dan tidak menimbulkan ketergantungan. Dalam rehabilitasi kejiwaan ini yang penting

adalah psikoterapi baik secara individual maupun secara kelompok. Untuk mencapai tujuan

psikoterapi, waktu 2 minggu (program pascadetoksifikasi) memang tidak cukup; oleh karena itu,

perlu dilanjutkan dalam rentang waktu 3 – 6 bulan (program rehabilitasi). Dengan demikian

dapat dilaksanakan bentuk psikoterapi yang tepat bagi masing-masing klien rehabilitasi. Yang

termasuk rehabilitasi kejiwaan ini adalah psikoterapi/konsultasi keluarga yang dapat dianggap

sebagai rehabilitasi keluarga terutama keluarga broken home. Gerber (1983 dikutip dari Hawari,

2003) menyatakan bahwa konsultasi keluarga perlu dilakukan agar keluarga dapat memahami

aspek-aspek kepribadian anaknya yang mengalami penyalahgunaan NAPZA.

c) Rehabilitasi komunitas

Page 15: Ketikan BAB I

Berupa program terstruktur yang diikuti oleh mereka yang tinggal dalam satu tempat. Dipimpin

oleh mantan pemakai yang dinyatakan memenuhi syarat sebagai koselor, setelah mengikuti

pendidikan dan pelatihan. Tenaga profesional hanya sebagai konsultan saja. Di sini klien dilatih

keterampilan mengelola waktu dan perilakunya secara efektif dalam kehidupannya sehari-hari,

sehingga dapat mengatasi keinginan mengunakan narkoba lagi atau nagih (craving) dan

mencegah relaps. Dalam program ini semua klien ikut aktif dalam proses terapi. Mereka bebas

menyatakan perasaan dan perilaku sejauh tidak membahayakan orang lain. Tiap anggota

bertanggung jawab terhadap perbuatannya, penghargaan bagi yang berperilaku positif dan

hukuman bagi yang berperilaku negatif diatur oleh mereka sendiri.

d) Rehabilitasi keagamaan

Rehabilitasi keagamaan masih perlu dilanjutkan karena waktu detoksifikasi tidaklah cukup untuk

memulihkan klien rehabilitasi menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan agamanya masing-

masing. Pendalaman, penghayatan, dan pengamalan keagamaan atau keimanan ini dapat

menumbuhkan kerohanian (spiritual power) pada diri seseorang sehingga mampu menekan

risiko seminimal mungkin terlibat kembali dalam penyalahgunaan NAPZA apabila taat dan rajin

menjalankan ibadah, risiko kekambuhan hanya 6,83%; bila kadang-kadang beribadah risiko

kekambuhan 21,50%, dan apabila tidak sama sekali menjalankan ibadah agama risiko

kekambuhan mencapai 71,6%.