KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MELALUI NEUROSCIENCE TERAPAN …

34
WP/1/2017 WORKING PAPER KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MELALUI NEUROSCIENCE TERAPAN: MEKANISME TRANSMISI PROSES BERPIKIR Dr. Solikin M. Juhro dan Dr. A. Farid Aulia 2017 Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank Indonesia.

Transcript of KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MELALUI NEUROSCIENCE TERAPAN …

Page 1: KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MELALUI NEUROSCIENCE TERAPAN …

1

WP/1/2017

WORKING PAPER

KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MELALUI NEUROSCIENCE TERAPAN: MEKANISME TRANSMISI PROSES BERPIKIR

Dr. Solikin M. Juhro dan Dr. A. Farid Aulia

2017

Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank Indonesia.

Page 2: KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MELALUI NEUROSCIENCE TERAPAN …

0

Kepemimpinan Transformasional Melalui Neuroscience Terapan:

Mekanisme Transmisi Proses Berpikir

Dr. Solikin M. Juhro1 dan Dr. A. Farid Aulia2

Abstrak

Dunia saat ini memasuki lingkungan yang diliputi oleh volatilitas,

ketidakpastian, kompleksitas, dan kerancuan yang tinggi. Kondisi tersebut

membuat organisasi harus mampu menerjemahkan tantangan yang dihadapi

menjadi suatu visi dan aksi yang jelas. Hal ini menuntut karakter

kepemimpinan yang tidak statis, namun agile untuk menyesuaikan diri

dengan magnitude dan sifat dari permasalahan. Transformational leadership

merupakan suatu kepemimpinan partisipatif yang tidak hanya mampu

memotivasi dan menggerakkan organisasi baik secara vertikal maupun

horizontal, namun juga senantiasa agile di setiap keadaan, sehingga

mendorong kapasitas organisasi dalam pencapaian visi dan misi bersama.

Neuroscience terapan memberikan pemahaman mengenai aktivitas dan cara

kerja otak manusia, serta meningkatkan kompetensi yang harus dimiliki oleh

seorang leader, sehingga membantu leader memimpin transformasi

organsisasi. Hasil kajian menunjukkan bahwa neuroscience terapan dapat

membantu kepemimpinan transformasional untuk mencapai keadaan yang

‘physically, emotionally, and mentally safe’ serta mendorong organisasi

bertransformasi secara efektif. Penelitian ini selain menggali perspektif baru

dalam isu kepemimpinan, juga memberikan kontribusi yang sangat penting

dalam pengaplikasian ilmu terapan dalam konteks kepemimpinan,

khususnya mengenai pemetaan mekanisme kerja transmisi, dalam hal ini

cara kerja otak dalam memengaruhi reaksi tubuh, baik secara internal (emosi

1 Dr. Solikin M. Juhro adalah Kepala Bank Indonesia Institute, Bank Indonesia. 2 Dr. A. Farid Aulia adalah Dekan Akademi Leadership dan General Management Bank Indonesia Institute, Bank Indonesia. Penulis menyampaikan terima kasih kepada para faculty BI Institute, yaitu Fretdy Purba, Donni Hadiwaluyo, Edo Lavika, Roy Amboro, Dessy Aliandrina, Novianta Hutagalung, Lyra Puspa, Rizki Edmi Edison, dan Lucy Kusman, pada rangkaian FGD mengenai Applied Neuroscience / Neuroleadership di Jakarta pada tanggal 6-8 April, 15-17 Juni, dan 27 Juli 2017, atas sumbangan pemikiran dalam mematangkan draf kertas kerja ini. Ucapan terima kasih yang tinggi juga disampaikan kepada Dita Herdiana dan Monica Kishi S.K. atas asistensi yang tidak kenal lelah dalam penyelesaian penelitian ini. Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank Indonesia.

Page 3: KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MELALUI NEUROSCIENCE TERAPAN …

2

dan hormon) maupun secara eksternal (reaksi atau tindakan), yang pada

gilirannya memengaruhi perilaku kepemimpinan.

Keywords: applied neuroscience, leadership style, transformational leadership, human resources management

JEL Classification: O15, M12, M19, M5

Page 4: KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MELALUI NEUROSCIENCE TERAPAN …

1

1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Sudah hampir satu dekade sejak terjadinya krisis keuangan global tahun

2008/09 kondisi ekonomi dan keuangan dunia masih belum sepenuhnya beranjak

menuju kondisi normalnya. Hal ini selain tercermin pada pertumbuhan ekonomi

dunia dalam lima tahun terakhir yang masih di bawah angka rata-rata jangka

panjangnya, juga kondisi pasar keuangan dunia yang masih diliputi oleh

ketidakpastian yang sangat tinggi. Banyak pihak menyebut bahwa dunia saat ini

telah berubah dengan cepat dan telah memasuki lingkungan baru dengan Volatility

(volatilitas), Uncertainty (ketidakpastian), Complexity (kompleksitas), dan Ambiguity

(kerancuan) yang terus meningkat; dikenal dengan terminologi VUCA. Karakteristik

permasalahan dan tantangan akan terus berbeda dan berevolusi sepanjang sejarah

peradaban dunia. Masa depan akan lebih sulit diprediksi bergerak ke arah mana

(unpredictable). Penyebab atau akar masalah dari kebijakan yang akan diambil

menjadi tidak jelas (unknown). Konsekuensinya, arah kebijakan yang dibuat oleh

otoritas maupun pelaku pasar menjadi tidak pasti (uncertain) dan masa depan tidak

dapat diprediksi. Perubahan terjadi dengan cepat, era baru timbul menggantikan

era lama. Apabila tidak disiasati dengan cepat dan cermat, perubahan tersebut akan

bersifat disruptive (unthinkable). Di samping itu, rangkaian krisis yang terjadi dalam

tiga dasawarsa belakangan menunjukkan bahwa kerentanan yang terjadi pada

suatu negara akan menjalar menjadi krisis regional atau bahkan global dengan

faktor yang tidak diprediksi sebelumnya.

Dalam perspektif kepemimpinan, dunia yang bercirikan VUCA dan adanya

megatren global yang masif sebagaimana diindikasikan di atas membuat organisasi

harus mampu menerjemahkan tantangan tersebut menjadi suatu visi dan aksi yang

jelas (KPMG International, 2014). Dunia saat ini membutuhkan kepemimpinan yang

agile dan transformatif untuk menyesuaikan diri dengan magnitude, orientasi, dan

sifat dari permasalahan yang terjadi. Sayangnya, dalam World Economy Forum,

krisis kepemimpinan disebut sebagai krisis terbesar yang saat ini sedang terjadi

(Shahid, 2015). Kepemimpinan dapat menjadi akar dari solusi atau akar dari

masalah. Survei Deloitte dalam Leading the New World of Work Human Capital Trend

tahun 2014-2015 kepada prominent CEO di dunia memperlihatkan bahwa

kepemimpinan semakin penting kedudukannya, namun pada saat bersamaan gap

Page 5: KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MELALUI NEUROSCIENCE TERAPAN …

2

kesiapan pemimpin semakin melebar (Deloitte, 2015). Terkait hal ini, permasalahan

yang dihadapi oleh kebanyakan organisasi adalah cara mengelola leadership pipeline

di tengah perkembangan organisasi yang pesat serta kecenderungan rendahnya

engagement.

Oleh karenanya, fokus pada pengembangan kepemimpinan strategis secara

terintegrasi diperlukan untuk mengidentifikasi dan mengembangkan kepemimpinan

di masa kini dan ke depan yang mampu berselancar dalam dinamika arus

perubahan. Karakteristik kepemimpinan tersebut secara umum sejalan dengan ciri-

ciri transformational leadership, yaitu suatu kepemimpinan partisipatif ketika leader

dan followers bersinergi mencapai visi dan misi bersama. Dengan transformational

leadership, kepemimpinan tidak hanya mampu memotivasi dan menggerakkan,

namun juga mewujudkan kapasitas untuk senantiasa agile di setiap keadaan.

Kepemimpinan yang dapat menjadi ujung tombak transformasi dalam sebuah

organisasi bahkan negara, karena suatu organisasi tidak akan mampu

bertransformasi sebelum leader bertransformasi.

Terkait dengan isu kepemimpinan tersebut adalah adanya tren pergeseran

orientasi dari sumber daya manusia menjadi sumber daya otak yang sudah banyak

diinisiasi oleh lembaga pemerintahan/non-pemerintahan seperti Obama’s Brain

Initiative (US). Otak yang memiliki lebih dari seratus miliar saraf dan seratus trililun

koneksi ini mendorong penemuan neuroscience terapan untuk meneliti cara

kerja/aktivitas sel otak yang terkoneksi secara struktural dan fungsional yang

berdampak pada perilaku seseorang. Neuroscience didefinisikan sebagai ilmu yang

mempelajari sistem saraf, dengan pendekatan multidisiplin, untuk melihat proses

biologis (termasuk sistem listrik dan kimiawi) yang terjadi di otak saat individu

berpikir atau bertindak. Penelitian neuroscience saat ini tidak lagi terbatas pada otak

orang-orang yang mengalami gangguan (disorder), namun otak orang-orang sukses.

Penelitian neuroscience terapan ini akan meningkatkan pemahaman terhadap diri

sendiri, orang lain dan sistem/lingkungan. Sebagai sebuah ilmu yang mutakhir,

neuroscience terapan diyakini dapat menjadi salah satu solusi untuk menjalankan

misi mengubah orang lain dan lingkungan menjadi lebih baik.

Pada akhirnya dunia akan selalu berubah dan masalah yang muncul akan

semakin kompleks dan semakin sulit diurai. Untuk menjawab permasalahan ini

dibutuhkan kepemimpinan yang tepat dan proaktif dalam menjawab tantangan

masa depan yang serba VUCA dan memiliki kemampuan substansial, visioner,

mampu mendiagnosis permasalahan, serta mampu melahirkan ide-ide inovatif

Page 6: KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MELALUI NEUROSCIENCE TERAPAN …

3

untuk menjawab tantangan. Dalam praktiknya, untuk menjadi seorang pemimpin

yang transformatif tidaklah mudah. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya,

neuroscience terapan diharapkan menjadi solusi untuk menjalankan misi

mengubah orang lain dan lingkungan menjadi lebih baik karena otak adalah master

kontrol untuk mengintegrasikan seluruh sistem tubuh termasuk komponen utama

dari perasaan dan insting. Pemimpin juga merupakan master kontrol dalam

organisasi. Pemimpin dapat mengendalikan otak orang lain dengan cara mengelola

otak sendiri sehingga otak bawahan dapat selaras dengan otak pemimpin. Ketika

otak pemimpin dan bawahan telah selaras, maka pemimpin dan bawahan akan

bersinergi dengan efektif untuk mencapai tujuan bersama (Swart, 2015).

Bank Indonesia menyadari bahwa kompleksitas masalah dan potensi

Indonesia tidak dapat hanya dijawab dengan struktur kelembagaan dan kebijakan

yang lama atau konvensional, namun harus beyond conventional wisdom. Bank

Indonesia pun dituntut untuk menjadi organisasi yang agile dalam menghadapi

kompleksitas (organizational agility) dan adaptif dari satu permasalahan ke

permasalahan yang lain. Selain memperkuat strategi kebijakan di berbagai domain

kebijakan bank sentral (moneter, sistem keuangan, dan sistem pembayaran), Bank

Indonesia menyadari peran sumber daya manusia yang kompeten dan mumpuni

sangat diperlukan. Untuk itu, Bank Indonesia mendorong perlunya menciptakan

sumber daya manusia yang berkualitas. Pembelajaran mengenai kepemimpinan

ekonomi (economic leadership) perlu ditanamkan ke dalam setiap domain

pembelajaran sehingga dapat menciptakan kesadaran mengenai pentingnya

kepemimpinan inovatif dan dapat memberikan kontribusi strategis dalam rangka

menunjang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.3

Penelitian ini ditujukan untuk menggali isu-isu terkait dengan kepemimpinan

transformasional (transformational leadership) serta keberadaan neuroscience

terapan sebagai salah satu pendekatan yang efektif dalam mendorong

transformational leadership. Secara khusus, pertanyaan penelitian yang akan

dijawab adalah: (i) Mengapa diperlukan transformational leadership? (Why); (ii)

Apakah keunggulan relatif neuroscience terapan dibandingkan dengan pendekatan

lain? (What); dan (iii) Bagaimana mekanisme transmisi neuroscience terapan dalam

3 Bank Indonesia di 2014 mulai melaksanakan Program Transformasi menyeluruh untuk memastikan fungsi, tugas, dan wewenang Bank Indonesia dalam mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah dapat dilaksanakan secara berkelanjutan, dengan dukungan penguatan nilai-nilai strategis yang dimiliki (trust and integrity; professionalism; excellence; public interest; coordination and teamwork). Sejalan dengan itu, program transformasi Bank Indonesia juga dilaksanakan untuk mewujudkan visi Bank Indonesia sebagai bank sentral yang kredibel dan terbaik di regional.

Page 7: KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MELALUI NEUROSCIENCE TERAPAN …

4

mendorong transformational leadership? (How). Dalam kaitan ini, akan disampaikan

juga beberapa contoh aplikasi neuroscience terapan dalam lingkungan organisasi.

Pendalaman kajian ini dilakukan dengan pendekatan studi literatur dan focus group

discussion (FGD) dengan para pakar dan pelaku kepemimpinan. Adapun lingkup

transformational leadership dalam konteks aplikasi neuroscience terapan

digeneralisasi pada kepemimpinan publik dan swasta.

Dari hasil kajian awal dapat disimpulkan bahwa transformational leadership

sangat dibutuhkan karena merupakan suatu kepemimpinan yang tidak hanya

mampu memotivasi dan menggerakkan organisasi secara vertikal dan horizontal,

namun juga mewujudkan kapasitas organisasi untuk senantiasa agile di setiap

keadaan. Dalam kaitan ini, sebagai suatu pendekatan, neuroscience terapan dapat

memberikan pemahaman aktivitas dan cara kerja otak manusia yang membantu

pemimpin untuk memimpin transformasi organisasi. Dalam hal ini, neuroscience

terapan, melalui beberapa jalur dalam mekanisme transmisinya, mampu secara

efektif membantu transformational leader dan anggota mencapai keadaan physically,

emotionally, and mentally safe, serta mendorong organisasi untuk bertransformasi

secara efektif. Selain berusaha memberikan perspektif baru dalam kajian

kepemimpinan, penelitian ini memberikan kontribusi yang sangat penting dalam

pengaplikasian ilmu/sains terapan dalam konteks kepemimpinan, khususnya

mengenai pemetaan mekanisme kerja transmisi, dalam hal ini cara kerja otak dalam

memengaruhi reaksi tubuh, baik secara internal (emosi dan hormon) maupun

secara eksternal (reaksi atau tindakan), yang pada gilirannya memengaruhi perilaku

kepemimpinan.

Paparan dalam penelitian ini terdiri dari empat bagian. Menyambung bagian

pendahuluan ini, bagian kedua akan menguraikan landasan teori sekaligus

kerangka pemikiran mengenai transformational leadership dan beberapa

pendekatan terkait, khususnya neuroscience terapan. Bab ini juga akan

menyinggung cara kerja otak dalam memengaruhi pola kepemimpinan. Bagian

ketiga akan berisi analisis yang ditujukan untuk menjawab ketiga pertanyaan

utama dalam penelitian, yaitu menyangkut urgensi transformational leadership,

keunggulan relatif, mekanisme transmisi neuroscience terapan dalam mendorong

kepemimpinan, dan beberapa contoh aplikasi neuroscience terapan dalam

lingkungan organisasi. Bagian terakhir berupa kesimpulan dan rekomendasi untuk

pengembangan kegiatan penelitian selanjutnya.

Page 8: KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MELALUI NEUROSCIENCE TERAPAN …

5

2. Perspektif Teoritis

2.1. Transformational Leadership: Definisi, Kompetensi, dan Tools

Definisi Transformational Leadership

Kepemimpinan/leadership merupakan sebuah proses ketika seseorang

memengaruhi sekelompok individu untuk mencapai sebuah tujuan bersama

(Northouse, 2007). Berdasarkan tipenya, leadership dapat dikategorikan ke dalam

dua kelompok yaitu kepemimpinan transaksional (transactional leadership) yang

menggunakan hadiah/reward dan hukuman/punishment sebagai sarana untuk

memotivasi followers dan kepemimpinan transformasional (transformational

leadership) yang menginsipirasi followers untuk bertransformasi dengan motivasi

internal (Bass, 1990).

Transformational leadership merupakan sebuah proses ketika leader dan

followers saling membantu untuk meningkatkan moral dan motivasi kedua belah

pihak (Burns, 1978). Sementara itu, Yammarino dan Bass (1990) menyatakan

bahwa transformational leadership merupakan sebuah gaya kepemimpinan ketika

leader mengartikulasikan visi masa depan dari organisasi yang realistis,

menstimulasi followers dengan cara yang intelektual, dan menaruh perhatian pada

perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh followers. Pada tahun 2012, Simola

mendefinisikan transformational leadership sebagai terjadinya interaksi antara dua

belah pihak dalam suatu organisasi dengan adanya tujuan kolektif ketika leader

mentransformasi, memotivasi, dan mengembangkan perilaku dan aspirasi etis

followers. Dari definisi yang dikemukakan para ahli tersebut, dapat disimpulkan

bahwa transformational leadership merupakan sebuah gaya kepemimpinan

partisipatif yang meningkatkan moral, motivasi internal, dan performa followers

sehingga menghasilkan perubahan mindset dan perilaku followers serta efektivitas

organisasi.

Menurut Bass (1990), terdapat empat komponen yang membentuk sebuah

gaya transformational leadership, yang dapat diuraikan sebagai berikut: (i)

idealized/charismatic influence, yaitu leader memiliki visi dan misi yang sejalan

dengan organisasi, pendirian kokoh, serta berkomitmen dan konsisten pada setiap

keputusan sehingga followers dengan sukarela mengikuti leader; (ii) inspirational

motivation, yaitu menetapkan standar yang tinggi sekaligus mendorong

pencapaiannya; (iii) intellectual stimulation, yaitu mendorong followers untuk

Page 9: KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MELALUI NEUROSCIENCE TERAPAN …

6

memiliki budaya belajar dan selalu mengembangkan ide; serta (iv) individualized

consideration, yaitu kemampuan leader untuk memahami perbedaan setiap

followers dan memfasilitasi pengembangannya.

Kompetensi Transformational Leader

Untuk dapat melakukan transformasi dalam sebuah organisasi, seorang

leader tentunya harus memiliki beberapa kompetensi dasar yang kemudian dapat

dikelompokkan ke dalam klaster inner, others, dan outer atau dikenal dengan The

Triple Focus (Goleman dan Senge, 2014). Pembagian ke dalam tiga klaster ini

menunjukkan bahwa sebuah transformasi harus diawali dari dalam diri leader

terlebih dahulu (inner/leading self); kemudian ke orang lain di dalam organisasi,

yaitu dalam hal ini followers (others/leading people); dan yang terakhir adalah

transformasi organisasi itu sendiri (outer/leading organization).

Inner focus diperlukan agar leader sadar nilai, perasaan, dan intuisi diri

sendiri (intrapersonal) serta memahami cara mengelolanya dengan baik. Others

focus menuntut leader untuk mampu membaca, memahami, dan mengelola

hubungan interpersonal dengan baik. Hubungan dengan orang lain memiliki seni

tersendiri yang harus dimiliki oleh setiap leader. Sedangkan, outer focus menuntut

leader untuk memahami kekuatan dan sistem yang lebih luas. Leader dituntut

untuk mampu menavigasi dan menentukan strategi terbaik yang dituju.

Berdasarkan rujukan dari penelitian terdahulu mengenai kompetensi yang

harus dimiliki seorang leader dan penelitian mengenai skill yang harus dimiliki

leader masa depan, terdapat sembilan kompetensi transformational leadership.

Kompetensi tersebut dibagi dalam tiga klaster (i) inner/leading self yaitu kompetensi

breakthrough, agility, kecerdasan emosional (emotional intelligence); (ii)

others/leading people yaitu kompetensi kecerdasan sosial (social intelligence),

kemampuan berkomunikasi (communication skill), kemampuan memengaruhi orang

lain (influence others); dan (iii) outer/leading organization yaitu kompetensi memiliki

visi (visionary), pemecahan masalah (problem solving), dan pengambilan keputusan

(decision making).

Transformational Leadership Tools

Transformasi dalam sebuah organisasi dapat dilakukan dengan berbagai alat

bantu/pendekatan (tools) yang berfungsi untuk membantu leader dalam

menciptakan maupun melakukan percepatan transformasi. Beberapa pendekatan

Page 10: KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MELALUI NEUROSCIENCE TERAPAN …

7

transformational leadership tersebut, beserta karakteristiknya, dapat dilihat dalam

tabel 1.

2.2. Neuroscience Terapan: Teori dan Aplikasi

Neuroscience Terapan dan Perspektif Teori mengenai Otak

Dari sudut pandang keilmuan, neuroscience merupakan sebuah ilmu

mengenai sistem saraf. Neuroscience mempelajari struktur saraf-saraf manusia dan

cara terbentuknya, cara saraf-saraf tersebut bekerja, malfungsi-malfungsi yang

mungkin terjadi pada otak, serta cara saraf-saraf tersebut dapat berubah. Secara

umum, pandangan mengenai otak dapat dibedakan menjadi brain-based dan

thinking-based. Brain-based memahami struktur anatomi otak, sedangkan thinking-

based memahami fungsi dan proses berpikir yang terjadi pada otak. Sesuai dengan

relevansinya, paparan pada bagian ini akan berfokus pada thinking-based theory.

Salah satu teori yang terkemuka yang tergolong dalam kelompok thinking-

based theory adalah split brain theory. Teori ini mulai dikenal ketika Roger W. Sperry

mendapatkan hadiah Nobel di tahun 1981 atas eksperimen “split brain” yang

dilakukan terhadap pasien epilepsi. Sperry mengungkapkan bahwa otak manusia

terdiri dari dua bagian (hemisfer), yaitu hemisfer kanan dan hemisfer kiri, yang

dihubungkan oleh sebuah jembatan bernama corpus callosum. Sperry

mengungkapkan bahwa hemisfer kanan dan hemisfer kiri manusia memiliki fungsi

yang berbeda. Hemisfer kiri berkaitan dengan kemampuan menulis, berbahasa,

berbicara, serta berhitung, sedangkan hemisfer kanan memiliki fungsi yang

berkaitan dengan kemampuan spasial, konstruksi, ideasi, kreativitas, kemampuan

bahasa sederhana, kemampuan nonverbal, serta kemampuan komprehensi.

Page 11: KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MELALUI NEUROSCIENCE TERAPAN …

8

*Keterangan: DRA (Driving, Resisting, and Attracting Forces)

Tabel 1. Ringkasan Pendekatan Transformational Leadership

No. Aspek

Metode

DRA* Kubler-Ross' Jack Welch's Kotter's Neuroscience

terapan

1 Fokus

Pemicu/trigger yang

mendorong transformasi.

Fase-fase yang

dilewati organisasi untuk menuju

transformasi.

Keterlibatan followers.

Adanya rasa

keterdesakan untuk transformasi.

Pemahaman otak leader dan followers

dalam implementasi

TL.

2 Peran Leader

Memunculkan trigger,

mengelola resistensi,

dan mengelola reaksi

dari transformasi

organisasi.

Mengelola setiap fase

menuju transformasi.

Mengajak followers

ikut berpartisipasi

dalam mencapai

visi.

Menciptakan rasa

keterdesakan untuk

bertransformasi.

Menggerakkan followers melalui

pemahaman

mengenai otak followers dan leader.

3 Pendekatan

Mengelola risiko yang

muncul terhadap

pemicu perubahan.

Melalui kompetensi

kepemimpinan

Menghilangkan

birokrasi yang

rumit dan

menyederhanakan

visi.

Memaparkan akibat-

akibat yang bisa

ditimbulkan apabila

transformasi tidak

dilakukan.

Pemahaman reward

& threat agar

followers termotivasi.

4 Kompetensi leader

Tidak ditingkatkan

secara spesifik.

Tidak ditingkatkan

secara spesifik.

Tidak ditingkatkan

secara spesifik.

Tidak ditingkatkan

secara spesifik.

Ditingkatkan dengan neuroscience terapan.

5 Langkah-

langkah

1. Transformasi terjadi

apabila diawali

dengan trigger (driving force).

2. Akan selalu ada gaya

resisten organisasi dalam menjalani

transformasi, baik itu

kebijakan-kebijakan

atau posisi status quo (resisting force).

3. Akan selalu muncul reaksi akibat dari

transformasi yang berjalan (attracting

force).

Menekankan pada

tahapan yang terjadi

ketika perubahan

eksternal terjadi dan

menuntut adanya

transformasi 1. Rasa terkejut

2. Penolakan

3. Frustasi dan kem arahan

4. Depresi

5. Eksperimen dan keputusan

6. Penerimaan dan

integrasi

7. Siap

bertransformasi

Jack Welch

menerapkan 25 hal

yang dapat

membawa

organisasi pada

transformasi, di antaranya

mengartikulasikan

visi dengan

sederhana,

memberi

kebebasan dalam bekerja,

menciptakan

budaya belajar,

berfokus pada

inovasi, dll.

1. Rasa

keterdesakan.

2. Menciptakan guiding coalition.

3. Menciptakan visi

dan strategi. 4. Mengomunikasika

n perubahan visi.

5. Aksi meluas.

6. Kemenangan

jangka pendek.

7. Konsolidasi kemajuan dan

menciptakan

perubahan.

8. Pendekatan baru

budaya organisasi.

Neuroscience terapan

memberikan

pemahaman

mengenai cara

menggerakkan followers tanpa

paksaan dan meningkatkan

kompetensi transformational leadership.

Page 12: KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MELALUI NEUROSCIENCE TERAPAN …

9

Teori Sperry banyak dikembangkan menjadi teori mengenai proses berpikir

manusia. Beberapa ahli neuroscience terapan seperti Ned Herrmann, Steve Peters,

serta Waytz dan Mason, telah mengembangkan model berpikir (thinking-based brain

modelling) seperti tabel 2 berikut.

Tabel 2. Brain Modelling

Model Pembagian Keterangan

Ned Herrmann The Whole Brain Thinking System

Area biru (goal driven)

Logis, analitis, kuantitatif,

berdasarkan fakta

Area kuning (vision driven)

Holistik, intuitif, integrasi,

sintesis

Area hijau (task driven)

Organisasi, sekuensial, terencana, detil

Area merah (people driven)

Interpersonal, berdasarkan perasaan, kinestetik,

emosional

Steve Peters Mind Management Model

Human Brain Fungsi kognitif otak

Chimp Brain Fungsi afektif otak

Computer Brain Fungsi nilai dan

kepercayaan

Physical Brain Kemampuan otak secara

keseluruhan

Waytz dan

Mason4

Brain network at work

Default network Introspeksi dan imajinasi

dalam waktu, tempat dan realitas

Reward network Respon terhadap kesenangan (pleasure)

Affect network Peran sentral dalam emosi

Control network Memahami konsekuensi,

merangsang kontrol dan

perhatian selektif

Berdasarkan model tersebut, fungsi otak secara umum dapat dibagi menjadi

fungsi rasional dan fungsi emosional. Fungsi rasional diatur pada human brain

(disebut juga prefrontal cortex) sedangkan fungsi emosional diatur oleh chimp brain

(sistem limbik). Human brain dan chimp brain ini memiliki kepribadian, cara

berpikir, dan cara kerja yang berbeda. Bukan berarti human brain bekerja murni

tanpa adanya pengaruh dari chimp brain, dan sebaliknya. Namun, ketika otak

bertindak rasional, emosi akan ditekan, dan sebaliknya. Leader yang baik harus

mengetahui saat yang tepat untuk mengaktivasi human brain dan/atau chimp brain.

Walaupun pada dasarnya setiap keputusan yang rasional sekalipun tidak bisa lepas

dari emosi, leader harus mampu menekan otak emosional dan mengedepankan otak

rasional sehingga keputusan yang diambil lebih tepat sasaran dan dapat

dipertanggungjawabkan.

4 Dalam Swart (2015)

Page 13: KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MELALUI NEUROSCIENCE TERAPAN …

10

Secara aplikatif, neuroscience terapan merupakan sebuah pendekatan untuk

mengetahui aktivitas otak seorang individu pada saat individu tersebut membuat

sebuah keputusan untuk melakukan sebuah perilaku. Dengan mengetahui fungsi

dan aktivitas dari otak, leader diharapkan mampu mengambil keputusan, menjalin

relasi dengan efektif, sekaligus mengakomodasi perubahan dalam suatu lingkungan

organisasi.5 Secara umum, pembahasan mengenai fungsi dan aktivitas otak pada

paparan ini akan mengacu pada Mind Management Model yang dipaparkan oleh

Steve Peters (2012) yang akan dijelaskan dalam tabel 3 berikut.

Tabel 3. Mind Management Model

No Fungsi Otak Bagian Otak Tantangan Mitigasi

1 Human Brain (eksekutif) Prefrontal Cortex/PFC

Bias tak sadar SEEDS Model of Bias

Amygdala Hijack Affect Labelling

2 Chimp Brain (emosi) Sistem Limbik Stimulus threat &

reward SCARF Model

Emotional Driver

Model

3 Computer Brain

(nila dan kepercayaan)

Lobus Parietal Fixed mindset Growth mindset

4 Physical Brain

(plastisitas otak,

hormon, dan fungsi

secara fisik lainnya)

Seluruh bagian

otak beserta saraf-

saraf dan

kandungan

kimiawi

Stres Asupan otak dan

Olahraga

Keterangan: SEEDS (Similarity, Experience, Expedience, Distance, dan Safety).

SCARF (Status, Certainty, Autonomy, Relatedness, dan Fairness).

Sumber : Steve Peters (2012)

Beberapa studi menunjukkan bahwa peningkatan kompetensi leaders dapat

dilakukan melalui intervensi neuroscience terapan (Swart, 2015; Sinek, 2015).

Beberapa contoh intervensi neuroscience terapan yang telah banyak dikenal, seperti

relaksasi, olah raga dan olah otak, affect labelling, mindfulness, interaksi,

pemahaman preferensi komunikasi, regulasi SCARF, chunking strategies,

pencapaian momen AHA, dan mitigasi bias dapat digunakan untuk mengelola emosi

yang dikeluarkan terhadap suatu hal. Emosi yang terkelola dengan baik sehingga

memicu keluarnya hormon yang berdampak positif terhadap reaksi atau perilaku

kepemimpinan seseorang.

5 Sejalan dengan perkembangan teori dan praktik di lapangan, penerapan neuroscience sudah meluas ke berbagai bidang keilmuan, diantaranya bidang ekonomi (neuroeconomics), keuangan (neurofinance), hukum (neurolaw), komunikasi (neurocommunication), kewirausahaan (neuropreneurship), psikologi (neuropsychology), pemasaran (neuromarketing), digital (neurodigital), medis (neurohealing), dan kepemimpinan (neuroleadership).

Page 14: KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MELALUI NEUROSCIENCE TERAPAN …

11

3. Kepemimpinan Transformasional Berbasis Neuroscience

Terapan

3.1. Urgensi Kepemimpinan Transformasional (Transformational

Leadership)

Dalam teori dan praktik manajemen konvensional, telah banyak istilah yang

merepresentasikan gaya-gaya kepemimpinan yang telah dipelajari dan dipraktikkan,

seperti otokratis, demokratis, delegatif, birokratis, laissez faire, otoriter, spititual,

situasional, dan lain-lain. Walaupun secara umum terdapat beberapa karakteristik

dasar yang sama-sama dimiliki oleh setiap gaya, gaya kepemimpinan akan terus

berkembang sesuai dengan tantangan zaman. Bass (1990) menyatakan bahwa

terdapat dua gaya kepemimpinan, yaitu gaya transactional leadership dan gaya

transformational leadership. Transformational leadership sampai saat ini dinilai

paling tepat dan efektif untuk diterapkan di era VUCA. Urgensi transformational

leadership sekaligus keunggulannya dibandingkan dengan gaya kepemimpinan lain

dapat dilihat dalam tabel 4 berikut.

Tabel 4. Ringkasan Gaya Kepemimpinan Transaksional dan Transformation

No Gaya transactional leadership Gaya transformational leadership

1 Memotivasi dengan memenuhi keinginan pribadi followers.

Memotivasi dengan mendorong followers

untuk meletakkan kepentingan

organisasi di atas kepentingan kelompok.

2 Followers mencapai tujuan dengan

adanya reward dan hukuman.

Followers mengalami transformasi diri

melalui idealisme dan nilai-nilai yang

dikembangkan dalam mencapai tujuan

sehingga kinerja baik.

3 Langkah responsif dan cenderung

kaku.

Langkah proaktif dan adaptif terhadap

perubahan.

4 Fokus pada hal yang terjadi saat ini. Memiliki tujuan (goal) jangka panjang.

5 Tepat digunakan pada organisasi yang

stabil.

Tepat digunakan pada organisasi yang

sedang mengalami turbulensi.

6 Bekerja dalam budaya organisasi yang

sudah terbentuk.

Bekerja untuk mengubah budaya organisasi dengan mengajukan ide-ide

baru.

7 Tidak mengakomodasi kreativitas dan

inovasi.

Tepat digunakan pada organisasi yang

membutuhkan kreativitas dan inovasi.

8 Pengambilan keputusan bersifat

birokratis.

Pengambilan keputusan cenderung lebih

praktis karena mengandalkan agilitas

dan pengaruh pemimpin.

9

Sudut pandang neuroscience terapan: followers tidak akan pernah puas

dengan reward yang diberikan

sehingga reward harus selalu

ditambahkan.

Sudut pandang neuroscience terapan: followers memahami alasan harus

bertransformasi sehingga transformasi

tersebut bersifat berkelanjutan

Page 15: KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MELALUI NEUROSCIENCE TERAPAN …

12

Berdasarkan tabel rangkuman tersebut, dapat ditarik suatu pemahaman

bahwa transactional leadership kurang efektif untuk diimplementasikan di era

VUCA. Organisasi membutuhkan leader yang fleksibel serta adaptif. Fleksibilitas

dan adaptabilitas hanya dimiliki oleh transformational leader. Birokrasi dan

peraturan pada transactional leadership cenderung kaku sehingga tidak dapat

mengakomodasi kreativitas, inovasi, serta kebutuhan organisasi untuk memiliki visi

yang baru. Transformational leadership muncul dengan gaya kepemimpinan yang

mampu mengakomodasi aspek-aspek yang menjadi kekurangan dalam transactional

leadership. Dari uraian sebelumnya juga dapat dilihat bahwa kompetensi

transformational leadership sangat (atau cukup) lengkap, mencakup juga beberapa

kompetensi gaya-gaya kepemimpinan konvensional. Sebagai gaya kepemimpinan

masa depan, transformational leadership pada akhirnya diyakini dapat

mentransformasi paradigma dan nilai-nilai dalam organisasi untuk mencapai visi

dan misi secara optimal.

3.2. Analisis Matriks Kompetensi dan Transformational Leadership Tools

Berdasarkan beberapa referensi sebelumnya, terdapat setidaknya lima

pendekatan (tools) yang dapat digunakan dalam mengimplementasikan

transformational leadership, yaitu Driving Force - Resisting Force - Attracting Force

(DRA), Kubler-Ross’ Change Curve, transformasi Jack Welch, transformasi Kotter,

dan transformasi berbasis neuroscience terapan. Masing-masing pendekatan

transformational leadership akan menyasar beberapa kompetensi transformational

leadership. Hal tersebut dapat dilihat dalam tabel 5.

Tabel 5. Keunggulan Neuroscience Terapan

No. Tools

Kompetensi Transformational Leader dan Kemampuan Leadership Lain

Bre

akth

rou

gh

Agilit

y

Em

oti

on

al

Inte

llig

en

ce

Socia

l

Inte

llig

en

ce

Infl

uen

ce

Oth

ers

Com

mu

nic

ati

on

Vis

ion

ary

Pro

ble

m

Solv

ing

Decis

ion

Ma

kin

g

Em

pa

thy

Spir

itu

ality

Coa

ch

ing,

Cou

nselin

g,

dan

Men

tori

ng

Vib

ran

t

1 DRA ✓ ✓ ✓ ✓

2 Kubler-Ross'

✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓

3 Jack Welch's

✓ ✓ ✓ ✓ ✓

4 Kotter's ✓ ✓ ✓

5 Neuroscience Terapan

✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓

Page 16: KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MELALUI NEUROSCIENCE TERAPAN …

13

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa, dibandingkan dengan pendekatan

lainnya, pendekatan neuroscience terapan menyasar lebih banyak aspek kompetensi

dalam transformational leadership, yaitu breakthrough, agility, kecerdasan emosi,

kecerdasan sosial, kemampuan memengaruhi, komunikasi, visioner, problem

solving, dan pengambilan keputusan, serta beberapa aspek lain yaitu empati,

spiritualitas, coaching, counselling, dan mentoring, serta vibrant. Sementara itu,

pendekatan yang dikemukakan oleh Kubler-Ross dan Jack Welch masing-masing

berada pada urutan kedua dan ketiga dalam menyasar kompetensi transformational

leadership. Dengan demikian, secara umum dapat disimpulkan bahwa pendekatan

neuroscience terapan lebih unggul (superior) dibandingkan dengan pendekatan-

pendekatan lain dalam mendorong transformational leadership.

3.3. Mekanisme Transmisi Proses Berpikir

Seperti telah dibahas pada bagian sebelumnya mengenai sembilan

kompetensi transformational leadership, pada sub-bab ini akan dibahas manfaat

dan cara/mekanisme kerja neuroscience terapan dalam meningkatkan kompetensi

tersebut. Diasumsikan bahwa apabila neuroscience terapan dapat menyasar

kompetensi transformational leadership dengan baik maka tujuan akhir organisasi

yang efektif dapat diupayakan dengan lebih maksimal. Isu utama yang muncul di

tataran operasional adalah banyaknya cara atau jalur transmisi dari intervensi

neuroscience terapan dapat menyasar kompetensi tersebut. Hal ini terkait dengan

cara kerja otak dapat memengaruhi reaksi tubuh, baik secara internal (emosi dan

hormon) maupun secara eksternal (reaksi atau tindakan), yang pada gilirannya

memengaruhi perilaku kepemimpinan.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, pemenuhan kompetensi

transformational leadership, sebagai tujuan antara, dapat dicapai dengan adanya

intervensi neuroscience terapan, seperti relaksasi, aktivitas fisik dan otak, affect

labelling, mindfulness, mengelola interaksi, pemahaman preferensi komunikasi,

regulasi SCARF, chunking strategies, pencapaian momen AHA, serta mitigasi bias,

yang dilakukan terhadap pengendalian emosi yang dikeluarkan. Emosi yang

terkelola baik akan memicu keluarnya hormon yang berdampak positif terhadap

reaksi atau perilaku kepemimpinan seseorang.

Page 17: KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MELALUI NEUROSCIENCE TERAPAN …

14

Gambar 1. Mekanisme Pengaruh Neuroscience Terapan dalam

Transformational Leadership

Di mana:

x: Spektrum dasar emosi (Swart, 2015)

y: Hormon (Sinek, 2015)

z: Impact terhadap leadership

Bagian berikutnya akan menguraikan masing-masing mekanisme

neuroscience terapan menyasar kompetensi-kompetensi transformational leadership.

(i). Breakthrough

Dunia yang sarat dengan perubahan menuntut leader untuk selalu

melakukan inovasi agar organisasi dapat bertahan. Inovasi hanya dapat dibuat oleh

seorang leader apabila memiliki kompetensi breakthrough dan mampu memfasilitasi

anggotanya untuk melahirkan breakthrough. Dengan intervensi neuroscience

terapan, leader akan lebih mudah untuk membuat breakthrough.

Gambar 2. Intervensi Neuroscience Terapann untuk Meningkatkan Kompetensi

Breakthrough

Teknik relaksasi seperti berada pada area bernuansa berwarna biru dan

melamun dapat membuat emosi positif, yaitu joy/excitement (kebahagiaan),

terbentuk dan menurunkan emosi fear (ketakutan). Emosi bahagia akan membuat

otak memproduksi hormon dopamin serta menurunkan hormon kortisol pada tubuh

yang berdampak pada munculnya kreativitas serta kemampuan untuk memfasilitasi

perubahan.6 Kedua kemampuan tersebut merupakan indikasi bahwa seorang leader

telah mampu menghasilkan breakthrough.

6 Hormon dopamin pada otak berfungsi sebagai zat kimia pembawa pesan antara sel saraf. Hormon ini dapat meningkat ketika terjadi aktivitas tertentu yang berkaitan dengan hal bahagia atau dipicu beberapa jenis obat-obatan. Dopamin berpengaruh pada rasa menyenangkan dari jatuh cinta, gembira,

Intervensi

Neuroscience

Terapan

Emosi (x) Hormon (y)Impact

terhadap Leadership (z)

Kompetensi TL

Organisasi Efektif

Tujuan Antara Tujuan Akhir Pendekatan Jalur Transmisi

Page 18: KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MELALUI NEUROSCIENCE TERAPAN …

15

(ii). Agility

Seorang leader seringkali dihadapkan pada situasi-situasi baru yang

mengharuskan dirinya untuk selalu dapat menyesuaikan diri. Kemampuan untuk

menyesuaikan diri ini sulit dimiliki oleh leader yang tidak memiliki agility

(kelenturan) baik dalam bersikap maupun dalam belajar dan mengembangkan diri.

Neuroscience terapan memberikan pemahaman mengenai langkah-langkah efektif

untuk mengembangkan agility yang harus dimiliki seorang leader.

Gambar 3. Intervensi Neuroscience Terapan untuk Meningkatkan Kompetensi

Agility

Aktivitas fisik, seperti olahraga ataupun menari dapat membuat seseorang

merasakan emosi bahagia yang berdampak pada produksi hormon endorfin serta

menurunnya kadar hormon kortisol pada tubuh.7 Perubahan kedua hormon

tersebut menyebabkan leader memiliki kesanggupan untuk memfasilitasi

perubahan, yaitu sebuah kemampuan yang dapat membuat seseorang memiliki

agility. Selain aktivitas fisik, aktivitas otak, seperti permainan melatih otak, juga

dapat membuat otak merasakan emosi bahagia sehingga memicu produksi hormon

dopamin serta menurunkan produksi hormon kortisol. Hal tersebut berdampak pada

kemampuan dan kemauan leader untuk memfasilitasi perubahan yang membuat

leader memiliki agility.

(iii). Emotional Intelligence

Kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk memahami emosi,

meregulasi emosi untuk tujuan tertentu, dan memiliki empati kepada orang lain.

motivasi, dan rasa percaya diri. Sementara itu, Hormon kortisol atau juga dikenal secara luas sebagai hormon stres, karena hormon ini akan diproduksi lebih banyak saat tubuh mengalami stres, baik fisik maupun emosional. Saat merasa terancam, maka bagian dari otak akan menyalakan alarm tubuh. Hal itu kemudian akan memicu kelenjar adrenal mengeluarkan hormon adrenalin, hal ini bersamaan dengan hormon kortisol.

7 Hormon endorfin adalah pembunuh rasa sakit alami yang dihasilkan oleh otak, hormon ini juga dapat menimbulkan rasa senang atau euforia. Meningkatnya jumlah hormon endorfin akan mengurangi efek buruk dari stres dan rasa sakit, menambah nafsu makan, dan meningkatkan respons kekebalan tubuh.

Page 19: KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MELALUI NEUROSCIENCE TERAPAN …

16

Leader yang tidak memahami cara kerja emosi cenderung bersikap reaktif dalam

menghadapi suatu pemasalahan, spontan terhadap situasi yang dihadapi, dan

emosional dalam mengambil keputusan. Dengan mengetahui cara kerja otak, leader

akan sadar ketika chimp brain (fungsi emosional otak) sedang bekerja, sehingga

leader dapat menekan emosi yang terjadi saat itu dan memiliki pikiran lebih jernih

dan rasional.

Gambar 4. Intervensi Neuroscience Terapan untuk Meningkatkan Kompetensi

Emotional Intelligence

Affect labelling, yaitu kegiatan mengidentifikasi emosi yang dirasakan, serta

mindfulness meditation merupakan intervensi neuroscience terapan yang dapat

dilakukan untuk meningkatkan kecerdasan emosi seorang leader. Kedua kegiatan

tersebut dapat menetralkan emosi dengan meningkatnya emosi bahagia dan

menurunnya emosi-emosi negatif yaitu fear, anger, shame, disgust, dan sad.

Perubahan emosi akan memengaruhi produksi hormon yaitu terproduksinya

hormon dopamin serta turunnya kortisol, sehingga leader memiliki kemampuan

untuk meregulasi emosi serta memiliki kontrol diri. Kedua hal tersebut merupakan

indikator bahwa seorang leader memiliki kecerdasan emosi yang baik.

(iv). Social Intelligence

Kecerdasan sosial memiliki peran yang esensial terhadap proses

kepemimpinan. Dengan memahami situasi kemudian mengaktivasi bagian otak

yang tepat untuk digunakan dalam menghadapi setiap situasi, leader akan mampu

berkolaborasi secara efektif dan mencapai tujuan organisasi secara bersama-sama.

Gambar 5. Intervensi Neuroscience Terapan untuk Meningkatkan Kompetensi

Social Intelligence

Page 20: KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MELALUI NEUROSCIENCE TERAPAN …

17

Kecerdasan sosial dapat ditingkatkan dengan melakukan interaksi dengan

orang lain, misalnya dengan melakukan gathering atau sekadar bercengkrama

dengan rekan kerja. Interaksi positif dengan orang lain menyebabkan otak

merasakan emosi bahagia serta cinta dan kepercayaan. Emosi-emosi positif tersebut

memicu produksi hormon oksitosin yang berfungsi dalam mendorong seseorang

untuk berkolaborasi dengan orang lain serta meregulasi emosi, sekaligus

menyebabkan turunnya kadar hormon kortisol.8 Adanya kemampuan untuk

berkolaborasi dan meregulasi emosi merupakan indikator bahwa seseorang memiliki

kecerdasan emosi yang baik. Selain interaksi positif, pemimipin harus tahu cara

menempatkan diri terhadap posisi SCARF yang dihadapi oleh followers dan rekanan.

Dengan mengetahui suatu stimulus yang diberikan dipandang threat atau reward

oleh followers dan rekanan maka leader akan dapat mengelolanya sehingga hasil

dari situasi tersebut efektif dan dapat diterima.

(v). Communication Skill

Komunikasi adalah suatu proses yang dilakukan dua atau lebih individu

untuk menangkap pesan berupa informasi, pengetahuan, dan lain-lain. Komunikasi

berperan penting dalam hubungan leader dan followers. Komunikasi yang baik

adalah ketika individu yang berinteraksi menangkap informasi yang disampaikan

secara utuh dan berpikiran terbuka tanpa adanya mental block. Mental block yang

terjadi ketika berkomunikasi akan menyebabkan informasi yang didapat menjadi

tidak utuh karena otak secara tidak sadar melakukan deletion (penghapusan)

terhadap informasi yang akan diterima.

Gambar 6. Intervensi Neuroscience Terapan untuk Meningkatkan Kompetensi

Communication Skill

Leader harus mampu memahami karakter dan mengetahui preferensi

komunikasi followers dan rekanan. Terdapat lima tipe komunikator. Masing-masing

tipe komunikator ini memiliki cara masing-masing dalam menyampaikan maupun

8 Hormon oksitosin berpengaruh pada tingkah laku dan respons emosi juga terlihat dalam membangun ketenangan, kepercayaan, dan stabilitas psikologi.

Page 21: KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MELALUI NEUROSCIENCE TERAPAN …

18

menerima pesan. Melakukan komunikasi yang sesuai dengan preferensi followers

dan rekanan akan mendorong terciptanya emosi positif joy (kebahagiaan) dan

love/trust (cinta/kepercayaan) yang memicu produksi hormon oksitosin dan

menurunkan kadar hormon stres kortisol seseorang. Hal ini membuat leader

memiliki kontrol diri yang baik dan mendorong untuk berkolaborasi. Sehingga,

leader akan memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik.

(vi). Influencing Skill

Kemampuan untuk memengaruhi orang lain merupakan salah satu

komponen esensial dalam proses kepemimpinan. Leader harus mampu membuat

followers mau melaksanakan tujuan bersama dengan sepenuh hati dan usaha

penuh. Dengan memahami neuroscience terapan, leader akan paham cara mendapat

simpati dari followers sehingga mereka mau melakukan tujuan bersama dengan

antusias.

Gambar 7. Intervensi Neuroscience Terapan untuk Meningkatkan Kompetensi

Influencing Skill

Agar mampu memengaruhi orang lain, leader harus mampu mengelola posisi

SCARF orang lain dengan cara mendekatkan posisi tersebut ke arah reward. Hal

tersebut akan berdampak pada emosi leader yang merasakan love dan trust serta

hilangnya emosi negatif yaitu fear dan anger. Perubahan emosi tersebut akan

memicu otak untuk memproduksi hormon oksitosin yang membantu leader dalam

memfasilitasi perubahan serta berkolaborasi serta menurunkan kadar hormon

kortisol. Leader yang mampu melakukan kedua hal tersebut akan mampu

memengaruhi orang lain dengan efektif.

(vii). Vision

Leader harus mampu menerjemahkan visi jangka panjang ke dalam strategi

jangka pendek dan menengah secara eksplisit. Otak akan menjadi fokus dan

tertantang (excitement) terhadap visi tersebut secara sadar maupun tidak sadar.

Fokus untuk mencapai suatu hal ini akan mendorong produksi hormon endorfin

tubuh. Membagi visi ke dalam strategi jangka pendek dan menengah akan membuat

Page 22: KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MELALUI NEUROSCIENCE TERAPAN …

19

fear (ketakutan) terhadap ketidakpastian masa depan akan menurun. Kadar kortisol

pun akan menurun. Capaian jangka pendek dengan beban yang lebih rendah

dipandang sebagai reward yang meningkatkan kadar hormon dopamin. Hal tersebut

akan membantu leader dalam pengambilan keputusan, memfasilitasi perubahan,

dan berkolaborasi sehingga akan mendorong kompetensi transformational

leadership memiliki visi.

Gambar 8. Intervensi Neuroscience Terapan untuk Meningkatkan Kompetensi

Visionary

Visi yang hanya dimiliki oleh seorang leader tanpa ditularkan kepada

followers akan membuat followers menjadi setengah hati dalam melakukan

pekerjaan yang diamanatkan. Followers akan berpendapat bahwa kepentingan

menjalankan tugas, dan keberhasilan yang didapat hanya menjadi milik leader.

Mereka hanya sebagai pekerja yang harus memenuhi target yang ditetapkan oleh

leader. Transformational leadership menuntut leader untuk mampu menggerakkan

followers dengan membuat suatu visi bersama yang menuntun setiap entitas

organisasi untuk beriringan, dengan ritme yang sama, mencapai tujuan bersama.

(viii). Problem Solving

Problem solving adalah kemampuan untuk menemukan solusi-solusi yang

sebelumnya tidak terpikirkan. Problem solving dapat dicapai apabila otak berada

dalam kondisi rileks. Hal ini dapat pula menjelaskan alasan logis di balik momen

AHA/eureka yang sudah ditemukan sejak dahulu kala. Momen AHA dapat terjadi

ketika seseorang sedang mandi, memasak, maupun melakukan hal-hal lainnya yang

tidak berhubungan dengan masalah yang sedang dihadapi. Ketika melakukan hal-

hal seperti tersebut di atas tadi, otak sebenarnya merasa rileks.

Gambar 9. Intervensi Neuroscience Terapan untuk Meningkatkan Kompetensi

Problem Solving

Page 23: KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MELALUI NEUROSCIENCE TERAPAN …

20

Langkah pertama dalam mencapai pemecahan masalah (problem solving)

adalah mengumpulkan data dan informasi mengenai masalah tersebut sebanyak-

banyaknya. Kemudian leader harus berusaha mencapai gelombang alfa dengan cara

melupakan masalah tersebut sejenak dan merasa rileks. Ketika otak sudah merasa

rileks, maka pada saat itulah PFC akan bekerja dengan membuat koneksi-koneksi

dari informasi yang telah dikumpulkan tanpa disadari. Pencapaian momen AHA ini

akan mendorong emosi positif dan menurunkan segala emosi negatif sehingga kadar

hormon dopamin akan meningkat dan kadar hormon kortisol menurun. Hal ini

membuat kreativitas dan kemampuan pengambilan keputusan meningkat dan

mendorong kemampuan problem solving.

(ix). Decision Making Skill

Dalam menentukan suatu pilihan dari berbagai alternatif, dibutuhkan

kemampuan untuk mengidentifikasi nilai-nilai dan preferensi. Keputusan yang baik

merupakan hasil dari kalkulasi, probabilitas kesuksesan, efektivitas, dan

kesesuaian pilihan dengan tujuan dan nilai yang dianut. Dalam membuat

keputusan leader terkadang melakukan bias yang berdampak pada organisasi. Bias

dalam pengambilan keputusan ini dapat dimitigasi dengan melakukan

pertimbangan rasional melalui the SEEDS Model of Bias yang dikembangkan oleh

David Rock. Pengambilan keputusan yang tepat dan minim bias akan memberikan

hasil efektif. Selain dengan mengurangi bias, kemampuan untuk membuat

keputusan dapat ditingkatkan dengan meditasi mindfulness. Meditasi ini hanya

membutuhkan waktu sekitar lima menit. Meditasi mindfulness didasari oleh

pemahaman neuroscience terapan mengenai aktivasi PFC dan nonaktivasi sistem

limbik.

Gambar 10. Intervensi Neuroscience Terapan untuk Meningkatkan

Kompetensi Decision Making

Mitigasi bias dan mindfulness ini meningkatkan emosi positif joy/excitement

yang mendorong produksi dopamin dan serotonin dan meminimalisasi emosi negatif

Page 24: KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MELALUI NEUROSCIENCE TERAPAN …

21

fear yang mendorong turunnya kadar hormon kortisol.9 Keadaan tersebut akan

berdampak pada pengambilan keputusan seorang leader.

Secara ringkas, mekanisme transmisi pendekatan neuroscience terapan

dalam menyasar setiap kompetensi transformational leadership dapat dipaparkan

melalui gambar 11.

9 Keseimbangan kadar hormon serotonin akan memengaruhi suasana hati yang selanjutnya berperan memicu atau meredakan depresi.

Page 25: KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MELALUI NEUROSCIENCE TERAPAN …

22

Gambar 11. Ringkasan Jalur Transmisi dalam Intervensi Neuroscience Terapan

Page 26: KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MELALUI NEUROSCIENCE TERAPAN …

23

3.4. Aplikasi Neuroscience Terapan dalam Organisasi

Bagian ini menyampaikan beberapa contoh aplikasi neuroscience terapan

dalam lingkungan organisasi, antara lain sebagai berikut:

(i). Rekrutmen dan Seleksi

Agar performa individu dan organisasi menjadi efektif, suatu pekerjaan harus

diberikan sesuai dengan passion dan interest individu tersebut. Hal ini akan

mendorong neurotransmitter mengeluarkan hormon kebahagiaan dan energi

sehingga individu akan mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengerjakan

pekerjaan yang diberikan. Motivasi yang berasal dari diri sendiri, karena kepedulian

terhadap pekerjaan tersebut (freewill), akan mendorong individu untuk

mengeluarkan usaha maksimal sehingga performanya pun akan maksimal. Apabila

hal ini terjadi maka selain performa organisasi akan terangkat, aktualisasi diri

individu pun akan tercapai.

(ii). Penilaian Kinerja (performance review)

Sifat dasar manusia adalah takut akan ketidakpastian dan perubahan.

Ketidakpastian dan perubahan dipandang manusia sebagai threat (ancaman). Hal

tersebut yang dihadapi followers ketika penilaian kinerja dilakukan. Dalam

melakukan penilaian kinerja, leader harus mampu menurunkan fairness dan status

threat pada followers. Leader harus mampu menurunkan tensi dan mengelola emosi

followers ketika penilaian kinerja berlangsung. Hal ini akan membuat followers

terhindar dari mental block dan defense mechanism sehingga komunikasi menjadi

lebih efektif. Interaksi dua arah yang terjadi akan meminimalisasi peluang

demotivasi followers karena followers merasa didengarkan dan muncul motivasi

untuk melakukan pekerjaan dengan lebih baik.

(iii). Pendidikan dan Pelatihan

Pengembangan pendidikan dan pelatihan dapat dipahami dengan cara otak

merespon aktivitas tertentu. Menurut ilmu neuroscience terapan, olahraga aerobik

merupakan suatu cara efektif untuk meningkatkan keterikatan dan kelengketan

pembelajaran yang diberikan, meningkatkan motivasi, serta menghilangkan stres.

Olahraga secara alami meningkatkan hormon seperti serotonin, dopamin, dan

endorfin, yang merupakan hormon energetik dan bahagia yang dapat mengurangi

depresi dan kecemasan. Selain melalui olahraga, pembelajaran dapat dilakukan

dengan sistem gamification. Gamification membantu menciptakan perasaan bahagia

dan menurunkan kecemasan, sehingga hormon dopamin dan oksitosin terproduksi

Page 27: KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MELALUI NEUROSCIENCE TERAPAN …

24

dan hormon kortisol turun. Hal ini berpengaruh pada ingatan dari hal yang

dipelajari, kemampuan interaksi, serta penurunan stres.

(iv). Remunerasi

Remunerasi dapat diberikan melalui reward finansial dan non-finansial.

Namun, penelitian neuroscience terapan menjelaskan faktor finansial bukanlah

faktor utama yang membuat followers tetap loyal dan performs. Faktor non-finansial

memegang peranan lebih penting dalam motivasi kerja followers. Reward non-

finansial dapat diberikan dengan mendekatkan posisi SCARF ke arah reward.

Reward finansial maupun non-finansial akan membuat otak memproduksi hormon

serotonin dan oksitosin sehingga followers dapat bekerja dengan rileks dan bahagia.

Followers yang menikmati pekerjaan dan bekerja dengan bahagia akan meningkat

performa dan produktivitasnya.

(v). Perumusan Kebijakan

Dalam merumuskan kebijakan yang berkualitas, para leader dapat

menerapkan prinsip neuroscience terapan dan juga kompetensi-kompetensi

transformational leadership yang dapat mendukung kebijakan tersebut. Dalam

kaitan ini, neuroscience terapan dapat membantu leader dengan memberikan

pemahaman mengenai pentingnya perasaan rileks dalam usaha untuk

mendapatkan insight. Neuroscience terapan juga memberikan pemahaman bahwa

seorang leader harus memiliki kesiapan yang baik dan selalu terbuka terhadap

berbagai kemungkinan. Dalam kondisi yang rileks dan penuh persiapan, leader

dapat mengelola potensi ancaman maupun dukungan (reward) dengan baik,

sehingga dapat memberikan kontribusi positif bagi pengembangan kompetensi

transformational leadership. Dalam kaitan ini, perumusan kebijakan berkaitan

dengan tiga kompetensi outer/leading organization, yaitu visionary, problem solving,

dan decision making.

Kemampuan untuk menciptakan visi dibutuhkan dalam merumuskan

sebuah kebijakan yang berkualitas. Neuroscience terapan memberikan pemahaman

bahwa kebijakan yang menyasar pada sebuah visi yang besar harus dipecah menjadi

rencana-rencana strategis yang lebih kecil. Hal ini akan menyebabkan adanya

capaian-capaian jangka pendek yang akan dipersepsikan capaian sebagai reward

sehingga otak memproduksi hormon dopamin yang terasosiasi dengan memori dan

juga motivasi. Leader juga harus mampu menghindari bias-bias yang dapat terjadi

ketika merumuskan kebijakan. Bias-bias tersebut dapat dimitigasi dengan model

Page 28: KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MELALUI NEUROSCIENCE TERAPAN …

25

SEEDS seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Ketika merumuskan sebuah

kebijakan, seorang leader juga harus menghindari amygdala hijack10 yang dapat

dimitigasi dengan melakukan affect labelling.

(vi). Pembentukan Budaya Kerja

Neuroscience terapan memberikan pemahaman bahwa perubahan tidak bisa

dilakukan dengan rangsangan awal yang berupa threat. Rangsangan awal yang

berupa threat akan mengaktifkan sistem fight or flight pada sistem limbik yang justru

akan membuat followers semakin resisten terhadap pembentukan perilaku yang

baru. Jurnal yang ditulis oleh Steven Tompson (2015) menunjukkan bahwa

rangsangan awal yang berupa pesan pribadi (tailored message) lebih efektif dalam

mengaktifkan ventral medial prefrontal cortex (vmPFC) yaitu bagian yang berfungsi

untuk menentukan seseorang mau melakukan perubahan perilaku atau sebaliknya.

Perilaku yang sudah terbentuk harus dilakukan terus menerus secara konsisten.

Hal ini bertujuan untuk memperkuat sinapsis (sambungan antar saraf) yang

berkaitan dengan pembiasaan perilaku tersebut. Setelah perilaku dapat menjadi

kebiasaan, hal tersebut harus dirayakan dengan reward agar hormon dopamin

terproduksi dan followers termotivasi untuk melakukan perilaku tersebut secara

terus-menerus. Hal yang perlu diperhatikan adalah reward yang diberikan tidak

boleh berupa reward moneter. Reward yang diberikan misalnya dapat berupa

apresiasi.

(vii). Antisipasi Tantangan Masa Depan

Dalam mengantisipasi suatu permasalahan dalam dunia yang VUCA dan

berada di lingkup unknown-unknown ini, diperlukan kesadaran untuk bersifat agile

dan adaptif. Leader harus mampu melihat potensi permasalahan masa depan.

Leader yang bijaksana akan sadar untuk tidak menggunakan cara pikir yang sama

ketika permasalahan berada dalam lingkup known-known. Kunci dalam

menghadapi perubahan adalah learning dan menggunakan growth mindset. Leader

harus mau belajar dan mencari tahu dari berbagai perspektif permasalahan yang

akan dihadapi dan mampu merumuskan visi dan berbagai skenario strategi dalam

menghadapi permasalahan tersebut. Leader dituntut untuk mampu menggerakan

motivasi internal followers sehingga strategi tersebut dapat diterima dan dijalankan.

Strategi yang dijalankan oleh seluruh entitas organisasi akan bersifat inklusif dan

berkelanjutan.

10 Reaksi emosional terhadap suatu stimulus tanpa melalui pertimbangan rasional.

Page 29: KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MELALUI NEUROSCIENCE TERAPAN …

26

4. Kesimpulan dan Rekomendasi

4.1. Kesimpulan

Berdasarkan kajian yang dilakukan, dapat ditarik beberapa kesimpulan

sebagai berikut. Pertama, transformational leadership sangat dibutuhkan karena

merupakan suatu kepemimpinan yang tidak hanya mampu memotivasi dan

menggerakkan organisasi secara vertikal dan horizontal, namun juga mewujudkan

kapasitas organisasi untuk senantiasa agile terhadap dinamika perubahan sesuai

kebutuhan. Dalam kaitan ini, untuk menghadapi tantangan di era VUCA, organisasi

membutuhkan leader yang fleksibel serta adaptif mengingat dunia berubah begitu

cepat. Leader harus senantiasa belajar serta memperbarui visi dan strategi

organisasi apabila tidak ingin tertinggal dari kemajuan zaman. Fleksibilitas dan

adaptabilitas hanya dimiliki oleh transformational leader. Dengan demikian, sebagai

gaya kepemimpinan masa depan, transformational leadership pada akhirnya

diyakini dapat mentransformasi paradigma dan nilai-nilai dalam organisasi dalam

mencapai visi dan misinya secara optimal.

Kedua, secara umum dapat disimpulkan bahwa pendekatan neuroscience

terapan relatif lebih unggul (superior) dibandingkan dengan pendekatan-

pendekatan lain dalam mendorong transformational leadership. Sebagai suatu

pendekatan, neuroscience terapan dapat memberikan pemahaman aktivitas dan

cara kerja otak manusia yang membantu leader untuk memimpin transformasi

organsisasi. Dibandingkan dengan pendekatan lainnya, pendekatan neuroscience

terapan menyasar lebih banyak aspek kompetensi dalam transformational

leadership, yaitu breakthrough, agility, kecerdasan emosi, kecerdasan sosial,

kemampuan memengaruhi, komunikasi, visioner, problem solving, pengambilan

keputusan, serta beberapa aspek lain kepemimpinan yaitu empati, spiritualitas,

coaching, counselling, dan mentoring, serta vibrant.

Ketiga, neuroscience terapan, melalui beberapa jalur dalam mekanisme

transmisinya, mampu secara efektif membantu transformational leader dan anggota

mencapai keadaan physically, emotionally, and mentally safe, serta mendorong

organisasi untuk bertransformasi secara efektif. Dalam hal ini, pemenuhan

kompetensi transformational leadership, sebagai tujuan antara, dapat dicapai

dengan adanya intervensi neuroscience terapan, seperti relaksasi, aktivitas fisik dan

otak, affect labelling, mindfulness, interaksi, pemahaman preferensi komunikasi,

Page 30: KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MELALUI NEUROSCIENCE TERAPAN …

27

regulasi SCARF, chunking strategies, pencapaian momen AHA, serta mitigasi bias,

yang dilakukan terhadap pengendalian emosi yang dikeluarkan. Emosi yang

terkelola baik akan memicu keluarnya hormon yang berdampak positif terhadap

reaksi atau perilaku leadership seseorang.

Terakhir, dari beberapa contoh aplikasi neuroscience terapan dalam

lingkungan organisasi, antara lain rekrutmen, pelatihan, penilaian kinerja,

remunerasi, perumusan kebijakan, pembentukan budaya kerja, dan antisipasi

tantangan masa depan dapat ditunjukkan kelayakan neuroscience terapan sebagai

pendekatan yang handal, tidak hanya dari perspektif keilmuan, namun juga praktik

leadership dalam suatu organisasi.

4.2. Rekomendasi

Untuk mewujudkan visi dan misi organisasi secara efektif di tengah-tengah

tantangan zaman yang semakin berat di masa depan, transformational leadership

perlu diterapkan atau diamalkan oleh semua lapisan pemimpin organisasi, baik

dalam lingkup kecil (pemimpin perusahaan), maupun lingkup luas (pemimpin

masyarakat di tingkat daerah dan nasional). Sebuah organisasi akan siap

bertransformasi apabila dipimpin oleh para leader yang sudah bertransformasi dan

terdapat anggota-anggota yang juga sudah bertransformasi di dalamnya. Terkait

dengan hal tersebut, pemahaman mengenai neuroscience terapan dapat membantu

seorang leader dalam menciptakan sebuah transformasi pada dirinya sendiri, pada

para followers, serta pada organisasi. Pemahaman mengenai neuroscience terapan

dapat dilakukan dengan memanfaatkan cara kerja alamiah keempat bagian otak,

yaitu human brain, chimp brain, computer brain, dan physical brain. Oleh karena itu,

melalui berbagai pelatihan secara terstruktur dan bertahap, para pemimpin di setiap

lapisan organisasi direkomendasikan untuk dapat memaksimalkan kinerja keempat

bagian otak tersebut.

Terlepas adanya klaim bahwa kajian ini secara analitis memberikan

kontribusi yang sangat penting dalam pengaplikasian ilmu/sains dalam konteks

kepemimpinan, khususnya pemetaan mengenai mekanisme kerja transmisi

neuroscience terapan dalam memengaruhi perilaku kepemimpinan, penulis

memandang perlu dilakukan validasi lebih lanjut atas klaim tersebut. Hal ini

sekaligus untuk memastikan kesesuaian, tidak hanya antara aspek teoretis dan

praktik di organisasi, namun juga dengan potret cara otak manusia secara fisik

bekerja. Oleh karena itu, untuk memperkuat hasil kajian mengenai peran penting

Page 31: KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MELALUI NEUROSCIENCE TERAPAN …

28

neuroscience terapan dalam transformational leadership ini, langkah selanjutnya

perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, khususnya dengan memperhitungkan hasil

validasi yang dapat dilakukan melalui pengujian di lapangan, antara lain melalui

medical brain-based test dan executive brain assessment. Dalam kaitan ini, penulis

sedang memperdalam kajian ini melalui tes-tes pendukung, yang diharapkan

mampu meyempurnakan berbagai penelitian terkait bidang neuroscience terapan

ini.

Page 32: KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MELALUI NEUROSCIENCE TERAPAN …

29

Referensi

Bass, B. M. (1990). From Transactional to Transformational Leadership: Learning to

Share the Vision. Organizational Dynamics. Vol. 18 (3), 19-31.

Burns, J. M. (1978). Leadership. New York: Harper & Row.

Deloitte. (2015). Leading in the New World of Work Human Capital Trends 2015.

Goleman, D. dan Senge, P. (2014). The Triple Focus: A New Approach to Education.

Florence: More Than Sound Productions.

Koteinkkov, V. (2007). 25 Lessons from Jack Welch Creating the World’s Most

Competitive Enterprise [powerpoint slides]. Diunduh dari

https://www.google.com/search?q=25+lessons+from+jack+welch+ppt&rlz=

1C1CHBD_enID734ID734&oq=25+jack+wel&aqs=chrome.2.69i57j0l3.8351

j0j4&sourceid=chrome&ie=UTF-8.

Kourdi, J. (2015), The Big 100: The 100 Business Tools You Need to Success. UK:

Hachette.

KPMG (2014). Future State 2030: The Megatrend globals Shaping Governments.

Northouse, G. (2007). Leadership Theory and Practice (3rd Edition). Thousand Oak:

London, New Delhe. Sage Publications, Inc.

Peters, S. (2012). The Chimp Paradox: The Science of Minds Management for Success

in Business and in Life. London: Vermilion.

Shahid, S. (2015). Lack of Leadership. Diunduh 23 Maret 2017 dari

http://reports.weforum.org/outlook-global-agenda-2015/top-10-trends-of-

2015/3-lack-of-

leadership/?doing_wp_cron=1500980728.5477719306945800781250.

Simola, S., Barling, J., Turner, N. (2012). Transformational Leadership and Leaders’

Mode of Care Reasoning. Journal of Business Ethics. Vol. 108, 229-237.

Sinek. S. (2015). Leaders Eat Last. Portfolio Penguin.

Susanto, I. (2016). Strategy-Led Transformation Kombinasi Pengetahuan Praktis dan

Praktik Terbaik untuk Keberhasilan Transformasi. Jakarta: Elex Media

Komputindo.

Swart, T., Chisholm, K., dan Brown, P. (2015). Neuroscience for Leadership:

Harnessing the Brain Gain Advantage. New York: Palgrave Macmillan.

Yammarino, F. J., & Bass, B. M. (1990). Transformational Leadership and Multiple

Levels of Analysis. Human Relations. Vol. 43, 975-995.

Page 33: KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MELALUI NEUROSCIENCE TERAPAN …

30

Glosarium

Agile: bergerak dengan cepat dan lincah.

Disruptive: mengacaukan.

Magnitude: kekuatan.

Leadership Pipeline: proses kerja yang kritikal untuk menyediakan leader

berkualitas dan berkelanjutan guna menjawab tantangan masa kini dan masa

depan bagi organisasi.

Engagement: keterikatan, janji/kontrak.

Beyond conventional wisdom: di luar kearifan/cara berpikir konvensional.

Inner: dalam diri.

Others: diri orang lain.

Outer: sistem/lingkungan.

Leading Self: memimpin diri sendiri.

Leading People: memimpin orang lain.

Leading Organization: memimpin sistem/organisasi.

Mind-set: pola pikir.

Brain-based: berdasarkan otak.

Thinking-based: berdasarkan proses berpikir.

Goal-driven: dorongan tujuan.

Vision-driven: dorongan visi.

Task-driven: dorongan orientasi

People-driven: dorongan dari individu.

Default network: jaringan yang bertugas berpikir kreatif di luar kebiasaan.

Reward network: jaringan yang mengaktivasi respon terhadap kesenangan.

Affect network: jaringan yang memiliki peran utama pada emosi.

Control network: jaringan yang terlibat dalam memahami konsekuensi.

Fixed mind-set: pola pikir bahwa kompetensi manusia merupakan bawaan dari

lahir.

Growth mind-set: pola pikir bahwa kompetensi manusia dapat ditingkatkan dengan

dedikasi dan kerja keras.

Laissez faire: jenis kepemimpinan yang memberikan kebebasan bawahan

mengerjakan tugas.

Mindfulness: kondisi kesadaran penuh pada hal yang terjadi saat ini.

Page 34: KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MELALUI NEUROSCIENCE TERAPAN …

31

Chunking strategies: memenggal visi yang besar menjadi strategi/capaian yang

lebih kecil.

Mental block: keadaan ketika seseorang menghadapi hambatan mental dan

psikologis sehingga tidak mampu menghasilkan yang terbaik.

Defense mechanism: strategi yang dipakai individu untuk melawan rangsangan

dari luar yang dianggap sebagai ancaman.

Neurotransmitter: senyawa organik yang membawa sinyal antar saraf.

Gamification: menggunakan permainan dalam suatu aktivitas atau area untuk

meningkatkan motivasi partisipan.

Medical brain-based test: tes yang digunakan untuk melihat aktivitas otak dengan

alat medis/kedokteran.

Executive brain assessment: tes berbasis psikometri yang digunakan untuk

melihat aktivitas otak yang tercermin dari perilaku.