KEPASTIAN HUKUM ITSBAT NIKAH_Drs. H. Endang Ali Ma’sum, SH, MH

18
1 KEPASTIAN HUKUM ‘ITSBAT NIKAH’ TERHADAP STATUS PERKAWINAN, STATUS ANAK DAN STATUS HARTA PERKAWINAN Oleh: Drs. H. Endang Ali Ma’sum, SH, MH Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi Agama Banten 1. Pendahuluan Meskipun ulama Indonesia pada umumnya menyatakan setuju atas ketentuan pencatatan perkawinan sebagaimana diatur Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan tidak ada reaksi terbuka atasnya, namun pada kenyataannya masyarakat muslim Indonesia masih mendua sikap. Ada yang menerima dan memahami pencatatan nikah sebagai suatu kemaslahatan yang melahirkan kepastian hukum, namun ada pula yang menanggapinya dengan mempertanyakan apakah perkawinan yang tidak dicatatkan itu menjadi tidak sah dari segi agama. Efek domino dari penolakan ini, melahirkan budaya hukum (meminjam istilah Lawrence Friedman: legal culture) orang Islam Indonesia melakukan kawin di bawah tangan tanpa memperdulikan akibatnya di kemudian hari. Di kalangan teoritisi dan praktisi hukum pun, khususnya hakim peradilan agama, masih bersilang pendapat pengertian yuridis sahnya suatu perkawinan. Pertama, kalangan teoritisi praktisi hukum yang berpendirian bahwa sahnya suatu perkawinan semata-mata hanya harus memenuhi Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, yakni perkawinannya telah dilaksanakan menurut ketentuan syariat Islam secara sempurna (memenuhi rukun dan syarat nikah). Sedangkan pencatatan nikah oleh Pegawai Pencatat Nikah, tidaklah merupakan syarat sahnya nikah, tetapi hanya kewajiban administratif saja. Kedua, kalangan teoritisi dan praktisi hukum yang berpendapat bahwa sahnya suatu akad nikah manakala terpenuhinya ketentuan

Transcript of KEPASTIAN HUKUM ITSBAT NIKAH_Drs. H. Endang Ali Ma’sum, SH, MH

Page 1: KEPASTIAN HUKUM ITSBAT NIKAH_Drs. H. Endang Ali Ma’sum, SH, MH

1

KEPASTIAN HUKUM ‘ITSBAT NIKAH’ TERHADAP STATUS PERKAWINAN, STATUS ANAK DAN STATUS HARTA PERKAWINAN

Oleh: Drs. H. Endang Ali Ma’sum, SH, MH Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi Agama Banten

1. Pendahuluan

Meskipun ulama Indonesia pada umumnya menyatakan setuju atas ketentuan

pencatatan perkawinan sebagaimana diatur Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan tidak ada reaksi terbuka atasnya, namun pada

kenyataannya masyarakat muslim Indonesia masih mendua sikap. Ada yang menerima

dan memahami pencatatan nikah sebagai suatu kemaslahatan yang melahirkan

kepastian hukum, namun ada pula yang menanggapinya dengan mempertanyakan

apakah perkawinan yang tidak dicatatkan itu menjadi tidak sah dari segi agama. Efek

domino dari penolakan ini, melahirkan budaya hukum (meminjam istilah Lawrence

Friedman: legal culture) orang Islam Indonesia melakukan kawin di bawah tangan

tanpa memperdulikan akibatnya di kemudian hari.

Di kalangan teoritisi dan praktisi hukum pun, khususnya hakim peradilan

agama, masih bersilang pendapat pengertian yuridis sahnya suatu perkawinan.

Pertama, kalangan teoritisi praktisi hukum yang berpendirian bahwa sahnya suatu

perkawinan semata-mata hanya harus memenuhi Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang

Perkawinan, yakni perkawinannya telah dilaksanakan menurut ketentuan syariat Islam

secara sempurna (memenuhi rukun dan syarat nikah). Sedangkan pencatatan nikah

oleh Pegawai Pencatat Nikah, tidaklah merupakan syarat sahnya nikah, tetapi hanya

kewajiban administratif saja. Kedua, kalangan teoritisi dan praktisi hukum yang

berpendapat bahwa sahnya suatu akad nikah manakala terpenuhinya ketentuan

Page 2: KEPASTIAN HUKUM ITSBAT NIKAH_Drs. H. Endang Ali Ma’sum, SH, MH

2

Undang-Undang Perkawinan Pasal 2 ayat (1) mengenai tatacara agama dan ayat (2)

mengenai pencatatan nikah oleh PPN secara simultan. Dengan demikian, menurut

kelompok ini, ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) tersebut merupakan syarat

kumulatif, bukan alternatif. Oleh karena itu, perkawinan yang dilakukan sesuai

ketentuan syariat Islam tanpa pencatatan oleh Pegawai Pencatat Nikah, belumlah

dianggap sebagai perkawinan yang sah.

Dalam konteks ini, Prof. Dr. H. Satria Effendi M. Zein,1 membagi ketentuan yang

mengatur tentang pernikahan dalam 2 (dua) kategori, yaitu: 1) peraturan syara’, dan 2)

peraturan tawsiq, yaitu peraturan tambahan yang bermaksud agar pernikahan di

kalangan umat Islam tidak liar, tetapi tercatat dengan memakai surat Akta Nikah

secara resmi yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang.2

2. Perkawinan di bawah tangan

Perkawinan di bawah tangan atau nikah di bawah tangan selalu diidentikkan

dengan pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam

fiqh (hukum Islam) namun tanpa pencatatan resmi dari instansi berwenang

sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Perkawinan di bawah tangan juga sering didefinisikan sebagai suatu

perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang tidak memenuhi

Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan tata cara perkawinan

menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

1Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta: Kencana,

2005, cet. II, hlm. 29. 2Kategori pertama disebut juga dengan nau’ syar’iyah yaitu yang berkaitan dengan ketentuan

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, sedangkan kategori kedua disebut juga dengan nau’ tautsiqiyah yaitu yang berkaitan dengan ketentuan pencatatan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan.

Page 3: KEPASTIAN HUKUM ITSBAT NIKAH_Drs. H. Endang Ali Ma’sum, SH, MH

3

Setidaknya ada tiga alasan orang lebih memilih untuk nikah di bawah tangan: 1)

untuk menghindari pembayaran biaya administrasi dan berbagai pungutan baik resmi

maupun tidak resmi dari pencatatan perkawinan; 2) mencari barokah dari kiyai bagi

pelaku perkawinan baik wali nikah maupun mempelai laki-laki dari kelompok ‘santeri’;

3) pernikahan dalam rangka poligami liar untuk menghilangkan jejak sehingga bebas

dari tuntutan hukum dan hukuman administrasi dari instansinya bagi pegawai negeri

sipil, dan agar tidak diketahui oleh isteri yang sudah ada terlebih dahulu dan

menghindari ijin poligami yang harus diurus di pengadilan.3

Dalam makalah ini, pernikahan di bawah tangan diangkat lantaran nikah model

inilah cikal bakal melonjaknya permohonan itsbat ke pengadilan4 menyertai keluarnya

fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mensahkan pernikahan di bawah tangan.5

Meski pembahasan mengenai masalah ini cukup alot, karena ada peserta ijtima’ yang

semangat sekali mengharamkan dan ada pula yang bergairah untuk menghalalkannya

tanpa catatan harus mendaftarkan ke Kantor Urusan Agama,6 tetapi peserta ijtima’

akhirnya menyepakati bahwa pernikahan di bawah tangan hukumnya sah, karena telah

terpenuhinya syarat dan rukun nikah. Namun dalam forum yang dihadiri sekitar seribu

ulama ini keluar suatu pendapat bahwa nikah di bawah tangan bisa menjadi haram

apabila di kemudian hari terjadi kemudharatan, seperti istri dan anak-anaknya

telantar. Peserta ijtima ulama sepakat bahwa pernikahan harus dicatatkan secara

3Menurut catatan Inspektrat Kota Tangerang, setidaknya 30 pegawai Pemkot di antarany

eselon III dan IV yang beristeri lebih dari satu tanpa prosedur resmi, bahkan terdapat PNS perempuan yang masih bersuami menjadi iateri pejabat. www.radarbanten.com, 4 Mei 2012.

4Di wilayah Pengadilan Tingg Agama Banten, itsbat nikah tahun 2011 berjumlah 2143 perkara.

5Pengesahan ini dihasilkan dari Forum Ijtima’ yang dihadiri lebih dari 1000 ulama dari berbagai

unsur di Indonesia. Acara tersebut digelar di kompleks Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. www.mui.org

6KH Ma'ruf Amin, Ketua Panitia Pengarah Ijtima' Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia II,

www.hukumonline.com

Page 4: KEPASTIAN HUKUM ITSBAT NIKAH_Drs. H. Endang Ali Ma’sum, SH, MH

4

resmi pada instansi berwenang, sebagai langkah preventif untuk menolak dampak

negative mudharat (saddan li al-dzari ‘ah).

Komisi Fatwa MUI sendiri memakai istilah nikah di bawah tangan, selain untuk

membedakan dengan nikah sirri yang sudah dikenal di masyarakat,7 juga istilah ini

lebih sesuai dengan ketentuan agama Islam.8

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) yang dibaca sebagai satu kesatuan,

maka perkawinan di bawah tangan bukan merupakan perkawinan yang sah dalam

perspektif hukum dan Negara. Sehingga, meskipun perkawinan di bawah tangan

dipandang sah secara agama, akan tetapi karena tidak memenuhi syarat administrative

pencatatan, maka pernikahan tersebut dianggap bukan perkawinan yang legal

procedure.

Meskipun dikenal secara sosiologis, ternyata istilah ‘perkawinan di bawah

tangan’ itu sendiri tidak dikenal dalam system hukum Indonesia, sehingga tak heran

jika perkawinan semacam itu tidak diatur secara khusus dalam sebuah peraturan.

3. Akibat Hukum Tidak Dicatatnya Perkawinan

Akibat hukum yang timbul dari perkawinan di bawah tangan dan tidak

dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah antara lain: Pertama, meskipun perkawinan

tersebut dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata negara

perkawinan tersebut dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama

atau Kantor Catatan Sipil. Kedua, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan

7Nikah sirri yang sebenarnya adalah akad antara antara seorang lelaki dengan seorang

perempuan tanpa wali dan tanpa hadirnya saksi. Kalau pengertian sirri itu dianggap hanya berdua saja, tanpa dilengkapi syarat dan rukun nikah lainnya, menurut KH. Ma’ruf Amin, bisa dipastikan pernikahan semacam ini tidak sah.

8Dalam fiqh konvensional, sejatinya tidak dikenal istilah ‘nikah sirri’, sedangkan padanan yang

cocok bagi istilah ‘nikah di bawah tangan’ adalah nikah ‘urfi.

Page 5: KEPASTIAN HUKUM ITSBAT NIKAH_Drs. H. Endang Ali Ma’sum, SH, MH

5

ibu dan keluarga ibu. Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan

yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan

perdata dengan ibu atau keluarga ibu (Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Perkawinan).

Sedang hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada9. Ketiga, baik anak maupun

ibunya tidak berhak atas nafkah dan warisan. Akibatnya, baik isteri maupun anak-anak

yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, tidak berhak menuntut nafkah ataupun

warisan dari ayahnya. Harta yang didapat dalam perkawinan di bawah tangan hanya

dimiliki oleh masing-masing yang menghasilkannya, karena tidak adanya harta

bersama.

Menurut Habiburrahman, Hakim Agung bahwa kawin di bawah tangan tanpa

akta nikah bagaikan pemilik kendaraan yang tidak memiliki BPKB atau STNK yang bebas

menggunakan kendaraannya sepanjang tidak melanggar rambu lalulintas atau

tertimpa kecelakaan. Ketika melanggar rambu lalulintas atau tertimpa kecelakaan,

muncullah masalah yang merepotkan pemiliknya.10

4. Perkawinan yang dimohonkan itsbat.

Ada kesamaan persepsi di kalangan praktisi hukum, khususnya hakim peradilan

agama, bahwa yang dimaksud dengan itsbat nikah merupakan produk hukum

declarative sekadar untuk menyatakan, perkawinan yang dilaksanakan secara sah

menurut hukum agama namun tidak dicatatkan tersebut setelah diisbatkan menjadi

memiliki kepastian hukum (rechtszekerheid). Dalam beberapa event pembinaan dan

9Perkembangan terkini setelah terbitnya Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-

VIII/2010 Tanggal 27 Februari 2012, anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahna.(Pasal 43 ayat (1) UUP baru hasil reviu Mahkamah Konstitusi).

10Dr. H. Habiburrahman, M. Hum, Anak Luar Nikah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, dalam

Varia Peradilan Nomor 317 April 2012, Jakarta: IKAHI, hlm. 29.

Page 6: KEPASTIAN HUKUM ITSBAT NIKAH_Drs. H. Endang Ali Ma’sum, SH, MH

6

bimbingan tehnis hakim peradilan agama, H.M. Tahir Hasan, Ketua Pengadilan Tinggi

Agama Banten menekankan bahwa itsbat nikah tidak identik dengan istilah ‘tashih

nikah’ yang mengesahkan matter peristiwa akadnya atau subsansi nikahnya. Itsbat

nikah hanya sebuah pernyataan (declaratoir) terhadap perkawinan yang secara

substantive telah sah dan memenuhi ketentuan syari’at Islam. Oleh karena hanya

bersifat declaratoir saja, itsbat nikah tak ubahnya bagaikan surat keterangan penting

lainnya semisal surat kematian dan surat kelahiran.

Dari ketentuan Pasal 7 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI)11 dan Pasal 100

KUH Perdata,12 dapat disimpulkan bahwa adanya suatu perkawinan hanya bisa

dibuktikan dengan akta perkawinan atau akta nikah yang dicatat dalam register.

Bahkan ditegaskan, akta perkawinan atau akta nikah merupakan satu-satunya alat

bukti perkawinan. Namun demikian, menurut Undang-Undang Perkawinan itu sendiri,

akta nikah dan pencatatan perkawinan bukan satu-satunya alat bukti keberadaan atau

keabsahan perkawinan. Oleh karena itu, walaupun dipandang sebagai alat bukti, akta

nikah bukan sebagai alat bukti yang menentukan sahnya perkawinan. Hukum

perkawinan agamalah yang menentukan keberadaan dan keabsahan perkawinan.

Kalau demikian, fungsi dan kedudukan pencatatan perkawinan pada Pegawai Pencatat

Nikah Kantor Urusan Agama (bagi pasangan suami istri yang beragama Islam) adalah

untuk menjamin ketertiban hukum (legal order) semata.

Tidak ada yang meragukan ketertiban hukum merupakan instrumen kepastian

hukum. Karena itu, bagi pasangan suami istri yang telah melangsungkan perkawinan

11

Pasal 7 Ayat (1) KHI menyebutkan bahwa Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.

12Pasal 100 KUH Perdata menentukan bahwa adanya perkawinan tidak dapat dibuktikan

dengan cara lain, melainkan dengan akta perlangsungan perkawinan itu, yang telah dibukukan dalam register-register catatan sipil, kecuali dalam hal-hal tertentu.

Page 7: KEPASTIAN HUKUM ITSBAT NIKAH_Drs. H. Endang Ali Ma’sum, SH, MH

7

menurut hukum agamanya,13 tanpa dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) Kantor

Urusan Agama Kecamatan, maka pasangan suami isteri tersebut dapat mengajukan

permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama. Akan tetapi, Itsbat Nikah dimaksud

hanya dimungkinkan bila berkenaan dengan: a) dalam rangka penyelesaian perceraian;

b) hilangnya akta nikah; c) adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu

syarat perkawinan; d) perkawinan terjadi sebelum berlakunya UU Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan; e) perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak

mempunyai halangan perkawinan menurut UU Nomor 1 Tahun 1974.14

Artinya, bila terdapat salah satu dari kelima alasan di atas, dapat mengajukan

permohonan Istbat Nikah ke Pengadilan Agama. Namun demikian, Pengadilan Agama

hanya akan mengabulkan permohonan itsbat nikah, sepanjang perkawinan yang telah

dilangsungkan itu memenuhi rukun dan syarat perkawinan secara syariat Islam dan

tidak melanggar larangan perkawinan yang diatur di dalam Undang-Undang

Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Ditolaknya permohonan itsbat nikah Aisyah

Muchtar alias Machicha Muchtar oleh majelis hakim Pengadilan Agama Tigarakra

meneguhkan pernyataan, selain memenuhi ketentuan syari’at agama juga kepastian

tidak adanya pelanggaran larangan perkawinan menurut Undang-Undang

Perkawinan.15

Perkembangan terakhir, permohonan itsbat nikah diajukan ke Pengadilan

Agama dengan berbagai alasan di antaranya: 1) Itsbat nikah untuk melengkapi

persyaratan akta kelahiran anak; 2) Itsbat nikah untuk melakukan perceraian secara

13

Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan,

“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan keperc ayaannya itu”.

14Pasal 7 ayat (3) KHI.

15Putusan Nomor 46/Pdt.P/2008/PA. Tgrs tanggal 18 Juni 2008.

Page 8: KEPASTIAN HUKUM ITSBAT NIKAH_Drs. H. Endang Ali Ma’sum, SH, MH

8

resmi di pengadilan; 3) Itsbat nikah untuk mendapatkan pensiunan janda; 4) Itsbat

nikah isteri poligami;

Permasalahan yang timbul dari itsbat nikah tersebut adalah berkaitan dengan

ketentuan waktu pelaksanaan perkawinan sebelum berlakunya Undang-Undang

Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana diatur Pasal 7 Ayat 3 (d) KHI,

sedangkan kenyataaannya permohonan Itsbat nikah tersebut diajukan terhadap

perkawinan yang dilaksanakan sesudah atau di atas tahun 1974. Terhadap hal

demikian perlu meramu legal ratio dan mencari alas hukum yang membolehkan

pengadilan agama menerima perkara itsbat nikah meski perkawinan yang dimohonkan

itsbat tersebut terjadi setelah berlakunya Undang-Undang Perkawinan.

Setidaknya terdapat dua alasan pengadilan agama dapat menerima dan

memutus perkara itsbat nikah terhadap perkawinan pasca berlakunya Undang-Undang

Perkawinan. Pertama, berkaitan dengan asas ius curia novit yakni hakim dianggap

mengetehui hukum itsbat nikah, dan asas kebebasan Hakim untuk menemukan

hukumnya terhadap masalah atau kasus yang tidak terdapat peraturan hukumnya

(rechtsvacuum).16 Kedua, pendekatan sosiologis yang mendorong hakim menganalisis

suatu kasus dengan pendekatan sosiologi hukum dan melakukan penafsiran baru

terhadap peraturan lain yang ada hubungannya dengan masalah yang dihadapi supaya

hukum tidak stagnan, melainkan berkembang mengikuti perkembangan masyarakat,

16 Beberapa ketentuan yang menjadi alas hukum argumentasi ini antara lain: 1) Pasal 16 Ayat

1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, berbunyi: ”Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya;“ 2) Pasal 28 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat; 3) Pasal 56 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, berbunyi: “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan memutusnya;”

Page 9: KEPASTIAN HUKUM ITSBAT NIKAH_Drs. H. Endang Ali Ma’sum, SH, MH

9

seperti yang dikemukakan oleh Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah bahwa hukum itu berubah

karena ada perubahan, waktu, tempat, keadaan, adat istiadat.17 Langkah-langkah ini

kemudian dikenal dengan sebutan penemuan hukum (rechtsvinding).

Setidaknya ada tiga karateristik yang sesuai dengan penemuan hukum yang

progresif: 1) Metode penemuan hukum bersifat visioner dengan melihat permasalah

hukum tersebut untuk kepentingan jangka panjang ke depan dengan melihat case by

case; 2) Metode penemuan hukum yang berani dalam melakukan terobosan (rule

breaking) dengan melihat dinamika masyarakat, tetapi tetap berpedoman pada

hukum, kebenaran, dan keadilan serta memihak dan peka pada nasib dan keadaan

bangsa dan negaranya; 3) Metode penemuan hukum yang dapat membawa

kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dan juga membawa bangsa dan Negara

keluar dari keterpurukan dan ketidakstabilan social seperti saat ini.18

Dalam sosiologi hukum, dikenal istilah the maturity of law atau hukum yang

matang yaitu hukum yang benar-benar efektif sebagai busana masyarakat (clothes

body of society), yang bersifat praktis, rasional dan actual sehingga dapat

menjembatani dinamika nilai kesadaran hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat,

tanpa terbelenggu formalistik melaksanakan suatu peraturan. Kalau perlu, dibutuhkan

adanya keberanian untuk melakukan contra legem untuk menghadapi peraturan atau

ketentuan yang kurang logis.19 Dalam kajian hukum Islam, terdapat kaidah ushuliyah

al-hukmu yaduru ma’a illatih wujudan wa’adaman (hukum itu terkait dengan ada

17

Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqi’in, Bairut: Dar al-Fikr, Juz VII, 1397H/1977M,

hlm. 14-15. 18

Ahmad Rifai, SH, MH, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perpektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika, Cet. I, 2010, hlm. 93.

19Abdul Manaf, Refleksi beberapa Materi Cara Beracara di Lingkungan Peradilan Agama,

Bandung: CV.Mandar Maju, Cet.I., 2008, hlm. 215.

Page 10: KEPASTIAN HUKUM ITSBAT NIKAH_Drs. H. Endang Ali Ma’sum, SH, MH

10

tidaknya causalitas hukum), sehingga dapatlah terus diadakan pembaruan hukum

Islam yang menyesuaikan dengan situasi, kondisi serta perkembangan zaman. Ijtihad

untuk melakukan pembaruan hukum Islam bukanlah sesuatu yang terlarang melainkan

suatu yang dianjurkan jika menghadapi suatu permasalahan hukum.20 Dengan

demikian, menolak permohonan itsbat nikah sebelum dilakukan pemeriksaan dengan

alasan tidak ada hukum yang mengaturnya, bukan merupakan pilihan utama.

Selain itu, dalam hal Itsbat nikah pun terdapat kekosongan hukum atau

rechtsvacuum, yakni tidak adanya peraturan itsbat nikah pasca berlakunya Undang-

Undang Perkawinan, yang ditengarai sebagai ‘politik hukum’ agar setiap perkawinan

dicatatkan pada instansi yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan

pencatatan nikah.

Menurut Purnadi Purbatjaraka dan Soerjono Soekanto, sebagaimana dikutip

oleh Ahmad Rifai, hakim mempunyai diskresi bebas, perasaannya tentang apa yang

benar dan apa yang salah merupakan pengarahan sesungguhnya untuk mencapai

keadilan.21 Selanjutnya dikemukakan, ajaran hukum bebas (freirechtslehre)

memberikan kepada hakim kehendak bebas dalam pengambilan keputusan. Hakim

dapat menentukan putusannya tanpa harus terikat pada Undang-Undang. Indonesia

sebagai Negara yang menganut ajaran hukum bebas, memberikan kebebasan kepada

hakim untuk menggali nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat untuk dijadikan

dasar dari pengambilan putusannya.22

20

Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet.I,

2006, hlm. 296.

21 Ahmad Rifai, SH, MH, Op. Cit, hlm. 78.

22Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman.

Page 11: KEPASTIAN HUKUM ITSBAT NIKAH_Drs. H. Endang Ali Ma’sum, SH, MH

11

Karena fungsi dan peran Hakim untuk menggali hukum yang hidup dalam

masyarakat lantaran tidak lengkapnya peraturan perundang-undangan untuk

memenuhi segala peristiwa hukum atau tuntutan hukum, maka dengan mengalaskan

pada ajaran Cicero ubi societas ibi ius (di mana ada masyarakat di sanalah ada hukum),

maka kekosongan hukum pun dipandang tidak pernah ada, dengan reasioning setiap

masyarakat mempunyai mekanisme untuk menciptakan kaidah-kaidah hukum apabila

hukum resmi tidak memadai atau tidak ada.23

Selain bersifat legal, suatu peraturan juga bersifat sociological, empirical yang

tak bisa dipisahkan secara mutlak. Dengan menggunakan pisau interpretasi, hakim

tidak semata-mata membaca peraturan melainkan juga membaca kenyataan yang

terjadi dalam masyarakat sehingga keduanya dapat disatukan. Dari situlah akan timbul

suatu kreatifitas, inovasi serta progresifisme yang melahirkan konstruksi hukum.24

Pola pikir inilah yang mengarahkan Pengadilan Agama untuk dapat menerima

perkara permohonan itsbat nikah untuk keperluan Akta Kelahiran Anak yang belum

memiliki akta meskipun berusia lebih dari satu tahun dengan merujuk pada Pasal 32

ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

yang menyatakan bahwa pencatatan kelahiran yang melampaui batas waktu satu

tahun dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan yang menyatakan anak itu

anak orangtua yang bersangkutan. Dengan demikian itsbat nikah untuk keperluan

membuat akta kelahiran anak merupakan sintesa penyimpangan hukum yang dibina

atas dasar pengisian kekosongan hukum (rechtsvacuum) karena selain tidak ada

23

Abdurrahman dkk, Bagir Manan Ilmuwan dan Penegak Hukum (Kenangan Sebuah

Pengabdian), Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2008, hlm.13. 24

Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta : Genta

Publishing, Cet.I , 2009, hlm. 127.

Page 12: KEPASTIAN HUKUM ITSBAT NIKAH_Drs. H. Endang Ali Ma’sum, SH, MH

12

peraturan yang mengatur tentang Itsbat Nikah untuk keperluan membuat akta

kelahiran anak, juga perkawinan secara syar’iyah tersebut dilaksanakan sesudah

berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974;

Lain halnya dengan itsbat nikah untuk melegalkan perkawinan isteri poligami

liar, karena kasus ini ditengarai sekali lagi ditengarai sarat dengan unsur

penyelundupan hukum. Untuk mencegah dan mengeliminasi penyelundupan hukum

tersebut, maka proses pengajuan, pemeriksaan dan penyelesaian permohonan itsbat

nikah mempedomani petunjuk Buku II khususnya ketentuan pada angka 3 dan 4 yang

berkaitan permohonan Itsbat nikah yang diajukan sepihak maka ketentuannya adalah

sebagai berikut:

Proses pemeriksaan permohonan itsbat nikah yang diajukan oleh salah seorang

suami atau isteri bersifat kontensius dengan mendudukkan isteri atau suami

yang tidak mengajukan permohonan sebagai pihak Termohon, produknya

berupa putusan dan terhadap putusan tersebut dapat diupayakan banding dan

kasasi.

Apabila dalam proses pemeriksaan permohonan itsbat nikah tersebut,

diketahui bahwa suaminya masih terikat dalam perkawinan sah dengan

perempuan lain, maka isteri terdahulu tersebut harus dijadikan pihak dalam

perkara. Jika pemohon tidak mau merubah permohonannya dengan

memasukkan istri terdahulu sebagai pihak, permohonan tersebut harus

dinyatakan tidak dapat diterima.

Oleh karena dalam perspektif global itsbat nikah akan membuka peluang

berkembangnya praktek nikah sirri, maka hakim harus mempertimbangan secara

Page 13: KEPASTIAN HUKUM ITSBAT NIKAH_Drs. H. Endang Ali Ma’sum, SH, MH

13

sungguh-sungguh apakah dengan mengitsbatkan nikah tersebut akan membawa

kebaikan atau justru mendatangkan madharat bagi semua pihak dalam keluarga

tersebut.25

Namun demikian, dalam mengambil suatu keputusan sikap hakim bersifat

bebas dengan pertimbangan dan penafsiran peraturan perundangan demi

kemaslahatan dan keadilan bagi masyarakat. Seperti ketentuan Pasal 6 Ayat (1) KHI

bahwa setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan

PPN, dan pada Ayat (2) disebutkan bahwa perkawinan yang dilangsungkan di luar

pengawasan PPN tidak mempunyai kekuatan hukum. Dengan menggunakan metode

Argumentum a Contra riro (mungkin tidak pas), dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak

mempunyai kekuatan hukum itu tidak berarti bahwa perkawinan tersebut tidak sah

atau batal demi hukum.

Pemikiran ini didasari pada pemahaman bahwa yang menjadi patokan

keabsahan suatu perkawinan itu adalah dilaksanakan berdasarkan hukum Agama

(Islam) dan kepercayaannya itu. Belum ditemukan satu pasal pun yang menyatakan

bahwa pernikahan yang tidak dicatatkan tidak sah atau batal demi hukum.

Prof. DR. Bagir Manan, SH, LLM, salah seorang narasumber dalam Seminar

Sehari Hukum Terapan Peradilan Agama, tanggal 1 Agustus 2009, sebagaimana dikutip

oleh Dr. H. Andi Syamsu Alam, SH, MH, Tuada Uldilag,26 menyimpulkan bahwa

pencatatan perkawinan adalah suatu yang penting saja untuk dilakukan, oleh karena

itu tidak mengurangi keabsahan perkawinan itu sendiri. Sedangkan Prof.DR.Mahfud

25

Prof. Dr. Muchsin, SH, Problematika Perkawinan Tidak Tercatat dalam Pandangan Hukm Islam dan Hukum Positif, Materi Rakernas Perdata Agama Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008, hlm. 21.

26Dr. H. Andi Syamsu Alam (Tuada Uldilag), Beberapa permasalahan Hukum di Lingkungan

Uldilag; Hasil Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung RI, 2009, hlm. 6-7.

Page 14: KEPASTIAN HUKUM ITSBAT NIKAH_Drs. H. Endang Ali Ma’sum, SH, MH

14

MD, SH, Ketua Mahkmah Konstitusi, menyatakan bahwa perkawinan Sirri tidak

melanggar konstitusi, karena dijalankan berdasarkan akidah Agama yang dilindungi

Undang-Undang Dasar 1945. DR.H.Harifin A, Tumpa,SH; MH., Ketua Mahkamah Agung

saat itu berpandangan bahwa kalau perkawinan yang tidak dicatatkan merupakan

gejala umum dan didasarkan atas itikad baik atau ada factor darurat, maka hakim

harus mempertimbangkan.

Dari sinilah hakim mempertimbangkan itsbat nikah apakah akan dikabulkan

atau ditolak dengan pertimbangan yang memadai dan tidak terjebak oleh

onvooldoende gemotiveerd (putusan yang kurang pertimbangan).

Setelah terbit penetapan yang menyatakan sahnya suatu perkawinan, apakah

penetapan tersebut dengan sendirinya sebagai bukti dari sahnya suatu perkawinan

atau berdasarkan penetapan pengadilan tersebut perkawinan dicatatkan di Kantor

urusan Agama. Ada dua pandangan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pertama,

penetapan itsbat nikah merupakan produk hukum pengadilan yang bersifat final,

sehingga berfungsi sebagai alat bukti yang sah bagi suatu perkawinan dan karenanya

tidak perlu dilakukan pencatatan pada kantor Urusan Agama. Masalah yang muncul

dari model ini adalah tetapnya perkawinan tanpa tercatat oleh Pegawai Pencatat

Nikah. Kedua, penetapan pengadilan terhadap itsbat nikah tersebut menjadi alat bukti

yang harus dicatatkan pada Kantor Urusan Agama untuk mendapatkan Akta Nikah.

Dalam hal ini penyaji lebih cenderung pada pendapat yang menyatakan bahwa dengan

penetapan itsbat nikah, pemohon dapat mengajukan ke KUA setempat untuk

mendapatkan Kutipan Akta Nikah. Namun masalah yang timbul adalah peristiwa

perkawinan yang menjadi dasar pencatatan, karena ada perbedaan antara peristiwa

Page 15: KEPASTIAN HUKUM ITSBAT NIKAH_Drs. H. Endang Ali Ma’sum, SH, MH

15

perkawinan dengan peristiwa pencatatan. Itulah sebabnya kemudian Pegawai

Pencatat Nikah melakukan tajdid nikah, dengan memperbaharui pernikahannya. Jika

dilakukan pembaharuan nikah, bagaimana status anak yang dilahirkan sebelumnya?

Terlepas dari kedua model dengan implikasi masalahnya, pencatatan

perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah inilah, maka masing-masing suami

isteri memiliki bukti autentik atas pernikahan sebagai perbuatan hukum yang mereka

lakukan, sehingga hidup tenang dalam kehidupan masyarakat, dan dapat melakukan

upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masing-masing.

Dengan demikian, itsbat nikah sebagai alas hukum dari pencatatan perkawinan,

melahirkan kepastian hukum terhadap status perkawinan, status anak dan harta benda

dalam perkawinan.

Kepastian hukum model apa yang lahir dari itsbat nikah? Kepastian hukum

sesungguhnya merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normative,

bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normative adalah ketika suatu peraturan

dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas

dalam arti tidak menimbulkan keragu-raguan (multi tafsir) dan logis dalam arti ia

menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau

menimbulkan konflik norma berbentuk kentestasi norma, reduksi norma atau distorsi

norma. JIka konstatasi ini parameternya, maka kepastian hukum ‘itsbat nikah’

terhadap status perkawinan, status anak dan status harta bersama, masih terus

menarik gairah untuk mempertanyakan dan membahsanya.

Page 16: KEPASTIAN HUKUM ITSBAT NIKAH_Drs. H. Endang Ali Ma’sum, SH, MH

16

5. Simpul dan saran

Dari uraian di atas dapat ditarik sebuah simpul sebagai berikut:

Perkara itsbat nikah yang akhir ini banyak ditangani oleh pengadilan agama, di

satu sisi sebagai cerminan adanya kesadaran hukum dari pelakunya untuk

mengoreksi kelalaiannya tidak mencatatkan perkawinannya, di sisi lain terbersit

satu harapan kuat akan lahirnya kepastian hukum atas perkawinannya.

Perkawinan di bawah tangan sesungguhnya merupakan pengbangkangan

secara diam-diam terhadap keharusan pencatatan nikah yang dianggap

assesoris dan bukan merupakan keharusan mutlak dari sumber agama,

dipastikan akan menimbulkan madharat di kemudian hari terhadap hak anak

dan status perkawinan, sehingga pencatatan perkawinan disepakati oleh ijtima’

ulama sebagai sesuatu yang harus dilakukan oleh orang yang melaksanakan

perkawinan.

Kepastian hukum dari itsbat nikah masih mengundang diskusi panjang sebagai

akibat dari kekosongan hukum dan imperatifnya ketentuan pencatatan nikah,

sehingga muncul suatu kekhawatiran selain itsbat nikah sebagai pelegalan

penyelundupan hukum, juga itsbat nikahnya itu sendiri bermuatan unsur-unsur

penyelundupan dan penyimpangan hukum walau dengan metode yang benar

dan lumrah dipergunakan dalam memutus suatu perkara.

Dari paparan yang seputar itsbat nikah, perkawinan di luar nikah dan simpul

yang diraikan penyaji, berikut ini penyaji menyampaikan saran-saran berikut:

Perlu adanya payung hukum terhadap kekosongan hukum itsbat nikah, baik

perupa Peraturan Ketua Mahkamah Agung atau berujud Undang-Undang

Page 17: KEPASTIAN HUKUM ITSBAT NIKAH_Drs. H. Endang Ali Ma’sum, SH, MH

17

Terapan Peradilan Agama mengenai kebolehan itsbat nikah yang terjadi setelah

berlakunya Undang-Undang Perkawinan, mengingat semakin banyak peristiwa

perkawinan yang tidak tercatat yang pada saatnya selain merugikan hak sipil

perempuan yang menjadi isteri dalam perkawinan di bawah tangan dan

merugikan hak perdata anak yang lahir dari perkawinan tersebut.

Jika tidak demikian, perlu keberanian para ulama untuk memasukkan

pencatatan perkawinan sebagai salah satu rukun perkawinan ala fiqh

Indonesia, agar jelas status perkawinan yang tidak tercatat meruapakan

perkawinan yang tidak sah sehingga masyaraka muslim Indonesia akan lebih

berhati-hati dalam menyikapinya.

Perlu upaya sosialisasi terhadap pentingnya pencatatan nikah di satu sisi dan

pemahaman terhadap putusan itsbat nikah, apa pun jenisnya, telah melalui

proses secara seksama dengan mengunakan metode interpretasi dan metode

argumentum serta sistem lain yang lazin dipergunakan dalam pengambilan

putusan oleh hakim, agar hakim tidak menjadi sorotan dan bulan-bulanan

masyarakat atas produk putusannya.

Page 18: KEPASTIAN HUKUM ITSBAT NIKAH_Drs. H. Endang Ali Ma’sum, SH, MH

18

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Manaf, Refleksi beberapa Materi Cara Beracara di Lingkungan Peradilan Agama,

Bandung: CV.Mandar Maju, Cet.I., 2008.

Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

Cet.I, 2006.

Abdurrahman dkk, Bagir Manan Ilmuwan dan Penegak Hukum (Kenangan Sebuah

Pengabdian), Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2008.

Ahmad Rifai, SH, MH, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perpektif Hukum Progresif,

Jakarta: Sinar Grafika, Cet. I, 2010.

al-Jauziyah, Ibnu al-Qayyim, I’lam al-Muwaqi’in, Bairut: Dar al-Fikr, Juz VII,

1397H/1977M.

Andi Syamsu Alam, Dr., SH, MH., (Tuada Uldilag), Beberapa permasalahan Hukum di

Lingkungan Uldilag; Hasil Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung RI,

2009.

Habiburrahman, Dr., M. Hum, Anak Luar Nikah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi,

dalam Varia Peradilan Nomor 317 April 2012, Jakarta: IKAHI.

Muchsin, Prof. Dr., SH., Problematika Perkawinan Tidak Tercatat dalam Pandangan

Hukm Islam dan Hukum Positif, Materi Rakernas Perdata Agama

Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008

M. Zein, Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta:

Kencana, 2005, cet. II.

Putusan Nomor 46/Pdt.P/2008/PA. Tgrs tanggal 18 Juni 2008.

Satjipto Rahardjo, Prof. Dr, SH., Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia,

Yogyakarta : Genta Publishing, Cet.I , 2009.

www.hukumonline.com, KH Ma'ruf Amin, Ketua Panitia Pengarah Ijtima' Ulama Komisi

Fatwa MUI se-Indonesia II.

www.mui.org, Nikah Di bahwah tangan sah, Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI si-

Indonesia.

www.radarbanten.com, 4 Mei 2012, Puluhan Pejabat Beristeri lebih dari Satu.