Microsoft Word - Putusan Itsbat Nikah Sebagai Diskresi

download Microsoft Word - Putusan Itsbat Nikah Sebagai Diskresi

of 22

Transcript of Microsoft Word - Putusan Itsbat Nikah Sebagai Diskresi

PUTUSAN PENGADILAN AGAMA TENTANG PERMOHONAN DISPENSASI NIKAH SEBAGAI SEBUAH DISKRESILatar Belakang Perkawinan realita terbentuk merupakan umat yang peristiwa manusia. merupakan yang penting dalam

kehidupan keluarga

Dengan unit

perkawinan dari

terkecil

bangunan masyarakat. Ketertiban keluarga akan menentukan ketertiban dalam masyarakat. Oleh karena itu, sejak

adanya manusia sudah ditentukan aturan perkawinan untuk membentuk keluarga dengan tertib, agar tata kehidupan

masyarakat dapat dicapai. awal pun, Nabi Adam

Dalam masa manusia yang paling membuat aturan perkawinan. anak Sesuai selalu dengan

sudah nabi

Seperti

diketahui, kembar

Adam dan

mempunyai

berpasangan

laki

perempuan.

wahyu, anak kembar tersebut tidak bisa dikawinkan dengan pasangan kembarnya, melainkan harus di silang dengan

pasangan kembar saudaranya. Tetapi dalam sejarah terlihat kisah anak Adam Qabil dan habil melawan aturan perkawinan yang menjadi sebab terjadinya tragedy berdarah yang

pertama tumpah atas nama keadilan perkawinan.

1

Sejalan aturan

dengan

perkembangan berkembang.

peradaban Aturan

manusia, perkawinan

perkawinan

telah

dibentuk pada dan oleh setiap unit entitas masyarakat, baik dengan berdasarkan pada wahyu maupun berdasarkan

pada kesepakatan sosial (hukum adat) sesuai dengan tempat teritorialnya perkawinan masing-masing. diatur Bagi oleh entitas Hukum umat Islam Islam yang

Indonesia

dirumuskan dari Al Quran dan Al Sunnah. Hukum Islam yang berlaku bagi msyarakat islam

Indonesia telah disusun dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam kedua aturan hukum tersebut perkawinan telah diatur secara lengkap. Salah satu ketentuan batasan perkawinan yang diatur adalah yang 7

mengenai

minimum

usia

seseorang Menurut jo. Pasal

diperbolehkan Undang-undang perkawinan

melakukan nomor 1

perkawinan. tahun 1974

pasal 15

KHI, suami

hanya

boleh

dilakukan

apabila

calon

sekurang-kurangnya mencapai umur 19 tahun dan perempuan mencapai umur 16 tahun. Pembatasan minimum usia

perkawinan oleh pembentuk undang-undang dimaksudkan untuk menciptakan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga.

Pembatasan usia dalam perkawinan oleh poembuat undang-

2

undang dapat

dimaksudkan mencapai

agar

rumaah

keluarga

yang

dibentuk

tujuan

perkawinan.

Tujuan

perkawinan

adalah untuk membentuk rumah tangga yang bahagian dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Meskipun pembatasan usia telah ditetapkan, akan

tetapi dalam masyarakat sering ditemukan pasangan yang belum mencapai batas usia minimum perkawinan berkehendak untuk melakukan perkawinan. Berbagai alasan diajukan

untuk membenarkan kehendak perkawinan tersebut, seperti calon sudsah sedemian akrabnya atau bahkan telah hamil pra nikah. Kenyataan sosial yang diantisipasi oleh pembuat demikian rupanya telah undang-undang, dengan

memberikan dispensasi nikah. Dispensasi nikah yang diberikan kepada calon suami isteri yang beragama Islam yang belum mencapai batas

usia minimum, harus dimohonkan kepada kepada pengadilan agama. Permohonan dispensasi nikah yang telah didaftar sebagai perkara, oleh hakim akan diterima dan diputus dengan membuat penetapan yang mengabulkan atau menolak permohonan tersebut. Untuk membuat penetapan mengabulkan

atau menolak permohonan dispensasi nikah, hakim dengan kemerdekaan dan otortas yang dimiliknya akan melakukan

3

konstruksi melakukan memilah

hokum

terhadap

alasan

permohonan

sekaligus dan

penerjemahan yang

hukum, paling

penafsiran, tepat dan

memilih

aturan nikah yang perkara Karena

relevan

dengan

dispensasi aktifitas menolak hukum.

yang

sedang hakim

dihadapi. untuk

Keseluruhan atau

dilakukan

mengabulkan

dispensasi diskresi

nikah

merupakan

diskresi sebagai

hokum

diformulasikan

kemerdekaan dan otoritas

sesorang/institusi untuk secara

bijaksana dan penuh pertimbangan dalam menetapkan pilihan untuk melakukan tindakan yang tepat. Berdasarkan latar belakang sebagaimana uraian

diatas, penulis ingin membahas diskresi hokum oleh hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi nikah.

Rumusan Masalah Sejalan dengan pengertian diskresi hukum tersebut, dan aktifitas hakim dalam membuata penetapan disepensasi nikah, timbul masalah yang dapat dirumuskan dalam

pertanyaan sebagai berikut : a. Adakah landasan hokum bagi hakim untuk melakukan

diskresi ?

4

b.

Bagaimana

penerapan

diskresi

hokum

hakim

dalam

membuat penetapan dispensasi nikah?. c. Apa factor yang melatar belakangi diskresi hakim?

Pembahasan a. Landasan Hukum Diskresi Hakim. Esensi dari diskresi adalah kemerdekaan dan otoritas. Kemerdekaan sebegai esens dsikresi hokum adalah

kemandirian dan keluasaan untuk melakukan tindakan yang tepat. Sedangkan otoritas adalah kewenangan mengambil

pilihan dalam menetapkan hokum yang hendak diterapkan. Esensi diskresi yang demikian sesungguhnya sejalan dengan kedudukan dan kewenangan hakim sebagai pelaksana

kekuasaan kehakiman. Karena dalam konstitusi dengan tegas dijelaskan, hakim adalah pelaksana kekuasaan kehakiman

yang merdeka(ex pasal 24 UUD 1945 jo. Pasal 21 UU No. 4 tahun 2004). Berbeda dengan ketiga pilar penegak hukum lainnya: polisi, jaksa dan pengacara, hanya hakim yang kemerdekaan dan otoritasnya disebutkan dalam konstitusi. Atas dasar kemerdekaan mempunyai bertindak yang diberikan dalam konstitusi, hakim

otoritas

penuh

melaksanakan

tugasnya.

5

Dalam melaksanan tugasnya, hakim adalah individu tidak dapat dipengaruhi oleh institusi lain, termasuk atasan

dalam dinasnya. Dalam melaksanakan tugasnya, Hakim hanya tunduk pada hukum Kemerdekaan akan tampak dan keadilan. otoritas dalam yang membuat dimiliki putusan yang akan dan hakim atau

dan

jelas

penetapan kepadanya.

untuk Pada

menyelesaikan satu sisi

perkara

diajukan

hakim

mengadili

berdasarkan

hukum dan wajib menggali nilai hukum dan keadilan yahng hidup dalam masyarakat. Pada sisi lain hakim tidak boleh menolak untuk mengadili dengan alasan hukum tidak ada

atau hukumnya tidak jelas. Bahkan menurut pasal 22 AB (algemene bepalingen van wetgeving voor Indonesie) yang masih berlalu bersadar pasal II aturan peralihan UUD

1945, hakim dapat dituntut karena menolak mengadili. Oleh karena itu ketika hukum undang-undang (legislatives law) tidak ada, konstitusi hakim dengan kemerdekaan yang diberikan oleh mempunyai otoritas untuk membuat hukum

sendiri, yang dikenal dengan istilah rechterrechts/ judge made law. Meskipun Indonesia tidak menganut common law system tetapi menganut statute law system. Hakim mempunyai

6

mempunyai otoritas membuat hukum (judge made law) yang kemudian mempunyai pengertian yang sama denmgan hukum

yurisprudensi. Pembuatan hukum oleh hakim terutama pada kasus yang sama sekali belum ada hukumnya. Dalam proses mengadili perkara yang tidak ada hukumnya, hakim wajib menemukan hukum dengan menggali nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dan pada saat yang sama, hakim juga diperkenankan untuk melakukan contra legem, apabila relevan ketentuan lagi dan dalam dapat undang-undang menciderai dinilai rasa tidak

keadilan

masyarakat. Meskipun dalam melakukan contra legem, hakim harus membuat pertimbangan yang radikal dari berbagai

aspeknya. Kemerdekaan melakukan tanggung dan otoritas yang dimilki sendirinya hukum dan hakim untuk

contra jawab

legem,

dengan

melahirkan keadilan.

untuk

menegakkan

Semula popoler adagium hakim sebagai corong undang-undang (la bounche de la loi). Adagium tersebut sudah tidak

relevan lagi, karena undang-undang yang merupakan hasil legislative power, selalu ketinggalan dengan perkembangan hukum yang terjadi ditengah masyarakat. Oleh karena itu tanggungjawab hakim dalam menegakkan keadilan memerlukan

7

kebebasan

dan

otoritas

untuk

melakukan

penafsiran

terhadap undang-undang, mencari dan menemukan asas hukum, meciptakan hukum baru yang benar-benar mencerminkan

keadilan masyarakat. Di samping itu, dalam membuat putusan harus

mempertimbangan segala aspek dan factor yang melingkupi dalam fakta yang ditemukan dalam persidangan. Semua aspek dan factor tersebut harus dipertimbangkan untuk

selanjutnya dijadikan pertimbangan untuk menentukan hukum yang akan diterapkan. Dalam hukum acara, pasal 132

HIR/RBg, hakim yang tidak mempertimbangkan hukum dengan cukup, maka putusan/penetapannya dapat diancam untuk

dibatalkan. Untuk dapat mempUntuk dapat memptimbangkan fakta dan mempertimbangkan memilih ratio hukum, Hakim dan harus dapat memilah dan

decidendi factor menuju

obitter

dicta.

Ratio

decidendi adalah pertimbangan hukum

yang esensial pada satu

sebagai dasar tertentu.

putusan

Apabila factor tersebut berbeda maka pertimbangan hukum hakim akan berbeda dan putusannya pun akan berbeda pula. Dengan meminjam rumus matematika, ratio decidendi dapat dicontohkan, apabila dalam suatu perkara terdapat factor

8

esesial a, b dan

factor tidak esensial c maka hakim akan

menjatuhakan putusan x. Oleh karena itu apabila dalam suatu perkara ditemukan faktro esensial a, b dan d, maka putusan hakim tidak mungkin x lagi. Sedangana obitter dicta adalah kebalikan dari ratio decidendi. essensial, Artinya, tetapi obitter dicta bukan factor dalam yang satu

hanya

faktror

menegaskan

perkara. Obitter dicta tidak menjadi dasar pertimbangan hakim untuk menjatuhkan putusan. Dalam kasus perceraian obiter dicta misalnya suami sering pergi untuk bekerja adanya jalinan cinta suami dengan pihak ketiga. Untuk

sampai kepada putusan cerai, hakim akan mempertimbangkan adanya perselisihan dan pertengkaran atau tidak, dengan memperhatikan factor esesial. Dalama kasus sini, factor esesial adalah adanya pihak ketiga sedangkan serinya

pergi merupakan obitter dicta. Sebab ternyata dterungkap dalam persidangan suami memang selama sering pergi ke luar kota untuk berbisnis, akan tetapi sejak berhubungan cinta dengan wanita lain, suami isteri sering terjadi perselisihan dan pertengkaran. Setelah memilah mana ratio decidensi dan mana obiter dicta, hakim memilih hukum yang tepat untuk perkara ini yang menjadi factor esesial

9

terjadinya pertimbangan

perselisihan terhadap

dan ratio

pertengkaran. decidendi

Atas

dasar maka

tersebut,

hakim menemukan hukum apabila rumah tangga yang sudah terjadi perselisihan yang tidak mungkin dirukunkan, maka hakim memutus menceraikan suami isteri tersebut. Putusan hakim tersebut merupakan putusan yang

bijaksana. Karena berdasarkan fakta yang ditemukan suami isteri tersebut tidak mungkin untuk disatukan lagi dalam rumah tangga. Hakim dengan bijaksana mengambil putusan

yang tepat, untuk menghindari kemudaratan suami isteri yang terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran tersebut. Dari uraian di atas, tergambar dengan jelas bahwa

peraturan perundang-undangan telah memberikan kemerdekaan dan otoritas kepada hakim untuk memilah dan memilih

sebelum menjatuhkan putusan hukumnya. Dengan kata lain undang-undang telah memberikan landasan hukum bagi hakim untuk melakukan diskresi hukum. 2. Penerapan Diskresi Hukum dalam Dispensasi Nikah Hakim berupaya melainkan dalam menemukan dan putusannya hukum bagi sebenarnya suatu tiudak hanya

perkara

tertentu, hukum.

sekaligus

mengembangkan

aturan

10

Karena tidak jarang ditemukan suatu persitiwa yang tidak ditemukan membuat hukumnya, hukum. Oleh karena itu, hakim haruslah hakim

Dalam

membuat

hukum

tersebut,

melakukan diskresi hukum. Penerapan diskresi hakim dapat dilihat dalam proses pembuatan faktanya putusan. dan Mula-mula, hakim lalu berusaha menemukan menemukan hukumnya

mengkonstatirnya,

untuk diterapkan dalam perkara yang bersangkutan. Dalam dispensasi nikah, maka berdasarkan bukti, hakim akan

memastikan faktanya yaitu adanya alasan alasan yang sah menurut Setelah hukum untuk dispensasi adanya nikah alasan telah maka dipenuhi. hakim

terbukti

mempertimbangkan hukumnya. Pada umumnya hakim akan menggunakan syllogisme dengan merumuskan premis mayor, premis minor dan konklusi. Untuk sampai kepada konklusi yang benar maka premis mayor dan premis minor. Ketika salah satu premis salah, akan

menghasilkan konklusi yang salah. Premis mayor dalam proses pembuatan putusan adalah berbentuk perkara aturan hukum yang berlaku dan melingkupi adalah

yang

diajukan.

Sedangkan

premis

minor

fakta-fakta yang ditemukan dalam persidangan. Sedangkan

11

konklusi

adalah

putusan

hakim

mengenai

perkeara

yang

diajukan padanya. Dalam perkara disepensai nikah, premis mayor berupa aturan batasan Pasal usia 7 UU seseorang No. 1 dibolehkan 1974, melakukan menyebutkan

perkawinan.

Tahun

bahwa bila seseorang (yang beragama Islam) belum mencapai usia minimum, dapat mengajukan dispensasi nikah kepada pengadilan (agama). Aturan lain yang mengatur dispensasi nikah aladah pasal 15 Kompilasi Hukum Islam, yang

maksudnya sama dengan pasal 7 UU No. 1 tahun 1974. Namun demikian mengajukan aturan hukum hukum tersebut tidak merinci itu, alasan dengan

dispensasi

nikah.

Untuk

kemerdekaan dan otoritas yang dimilikinya, hakim harus menemukan sehingga alasan hukum melalui menafsirkan, pemaknaan nikah.

dirumuskan

alasan

hukum

dispenasi

Berdasarkan pada penafsiran pada umumnya hakim merumuskan alasan dispenssasi antara lain adanya kemudlaratan bila tidak dilakukan pernikahan meskipun calon mempelai belum mencapai usia minimum. Karena menurut hukum Islam,

menolak kemudharatan harus didahulukan dari pada meraih manfaat ( darul mafasid muqadamun ala jalbil mashalih).

12

Premis minor adalah fakta persidangan berupa alasan alasan yang diajukan oleh pemohon dispensai nikah. Untuk menemukan fakta adanya alasan yang sah hakim memilah dan memilih factor mana yang relevan dan benar-benar menjadi alasan disepensai nikah. Pemilahan dan pemilihan faktor yang relevan dan menjadi fakta kata dilakukan lain oleh factor bukti hakim yang

melalui diajukan

bukti-bukti. sebagai

Dengan

alasan

harus

didukung

sebagai

dasar hakim melakukan konstatir fakta. Setelah fakta, premis Ini premis akan yang hakim minor ditemukan melalui konstatir dengan

hakim mayor

menganalisis berupa akan

fakta

tersebut

peraturan menilai

perundang-undangan. fakta berupa

berarti

adanya

kemudharatan yang diduga keras dapat terjadi, sekiranya pernikahan tidak dilakukan meskipun batas usia minimum belum terpenuhi. Apabila hakim yakin adanya kemdularatan yang diduga keras terjadi, berarti sejalan dengan premis mayor. berupa Dengan demikian yang hakim itu akan membuat konklusi

putusan,

mengabulkan

permohonan

disepensasi nikah yang diajukan kepadanya. Sebaliknya apabila dari fakta dipersidangan hakim

tidak yakin adanya kemudharatan yang diduga keras akan

13

timbul, maka berarti premis minor tidak sejalan dengan premis premis putusan mayor. minor Sesuai tidak dengan sesuai logika dengan syllogisme, premis ketika maka

mayor,

hakim

sebagai

konkluusinya

akan

menolak

permohonan dispensasi nikah. Dengan berarti pola putusan telah yang telah diuraikan yang di atas,

hakim

mengambil

tindakan

bijaksana fakta yang

berupa putusan berdasarkan hukum dan keadaan

sebenarnya. Artinya, apabila fakta telah sesuai dengan hukumnya, hakim akan mengabulkan permohonan dispensasi

nikah. Dan sebaliknya, apabila fakta tidak sesuai dengan hukumnya, kebijakan permohonan tindakan dispensasi hakim akan ditolak. Itulah dan

berdasarkan

kemerdekaan

otoritas yang dimiliknya, dan inilah diskresi hakim dalam putusan permohonan dispensasi nikah.

c.

Faktor yang Melatarbelakangi Diskresi Hakim Hakim adalah pelaksanan kekuasaan yang merdeka dari

pengaruh bekerja,

dan

direcktiva hakim tidak

bahkan

oleh

atasnnya. adanya

Dalam

mengenal

hirarchi karena hukum dan

pertanggungjawaban pertanggungjwabannya

hasil adalah kepada

kerja, tuhan,

14

keadilan. Oleh karena itu, dalam melaksanakan tugasnya, diberikan tindakan kebebasan yang dan otoritas -yang untuk mengambil inti dari

bijaksana

merupakan

diskresi hukum, dalam bentuk membuat putusan yang adil berdasarkan ketuhanan yang mahaesa. Berbeda dengan penegak hukum lainnya, seperti polisi dan jaksa, factor yang melatar belakangi diskresi hakim tidaklah banyak. Hanya ada dua factor yang melatar

belakangi diskresi hakim, yaitu faktor legal dan factor professional individual.

1. Faktor Legal. Factor legal yang melatar belakangi diskresi hakim merupakan faktor yang berkaitan dengan peraturan

perundang-undangan. Diskresi hakim dilatar belakangi oleh peraturan perundang-undangan yang ada. Karena berangkat dari perundang-undnagan itulah diskresi hakim dimulai. Seperti tujuan sesuai untuk dengan diketahui undang-undang keadaan dan dan dibentuk tatanan dengan tertentu tetapi

memantapkan ruang,

waktu,

tempat.

Akan

segera setelah undang-undang itu disahkan keberlakuannya ia langsung menjadi konservatif. Sebab ternyata banyak

15

peristiwa baru yang belum diatur di dalamnya, padahal peristiwa itu membutuhkan hukum. Akibatnya hukum dalam undang-undang itu menjadi beku dan mati, tertimbun oleh peristiwa yang muncul kemudian. Oleh karena itu sering disebutkan bahwa laju kecepatan hukum seperti deret

hitung dan kecepatan perubahan masyarakat seperti deret ukur. Disamping juga tidak sifatnya sempurna. yang konservatif, pruduk undang-undang undang-

Sebagai

politik,

undang seringkali tidak menjangkau semua hal bahkan hal yang sangat mendasar yang harus diatur, karena di

dalamnya politik.

bertarung Meskipun

kepentingan-kepentingan undang-undang sudah

(partai) dari

dikaji

berbagai sudutnya dan oleh para ahlinya, tetapi pada saat diundangkan akan segera tampak kekurangannya. Menghadapi kenyataan yang demikian, hakim yang

mempunyai peran sentral dan paling bertanggungjawab dalam menegakkan hukum dan keadilan, sangat beralasan melakukan diskresi hukum. Dengan kemerdekaan dan otoritas yang

dimilikinya hakim harus melakukan penafsiran, agar hukum diterapkan dengan bijaksana, yaitu memenuhi nilai

kepastian hukum, keadilan hukum dan kemanfaatan hukum.

16

Tanpa

melakukan

diskresi

hakim

tidak

akan

mencapai

tujuannya dalam menegakkan

hukum dan keadilan sekaligus.

Boleh jadi hakim akhirnya terjebak pada penegakan hukum tetapi mengabaikan keadilan. Padahal inti hukum adalah keadilan, sehingga pada ketika keadilan, undang-undang maka tidak lagi harus

mengantarkan diterjemahkan.

undang-undang

2. Factor Professional Individual Undang-undang merupakan produk (politik) dari lembaga legislative, akan tetapi hakim yang akan menerapkannya terhadap kasus yang bersifat individual. Dalam

prakteknya, aturan hukum dalam

undang-undang (hukum in

abstracto) tidak selalu sama persis denga peristiwa yang membutuhkan dilakukan penegekan oleh hakim, hukum. kemudian Diskresi hukum yang

diperlukan

keahlian

profesi agar dapat mencapai tujuannya, untuk menegakkan hukum dan keadilan. Berdasarkan kenyataan obyektif tersebut, penerapan

undang-undang sebagai hukum in concreto, kemerdekaan dan otoritas penerapan hakim hukum untuk dengan dapat melakukan penafsiran dan

bijaksana

memerlukan

pengetahun

17

dan

keahlian

professional.

Dengan

kata

lain, Ini

diskresi berarti sangat

ternyata latar

memerlukan dan

keahlian

professional.

belakang

pengalaman

intelektual

berpengaruh ketika hakim melakukan diskresi hukum. Urgensi latar belakang professional individual hakim untuk melakukan diskresi, tampak dalam ketentuan syarat menjadi hakim. kaitannya dengan umum syarat

Secara

menjadi hakim adalah individu yang well studied dan well moralized. Dengan well studied pendidikan yang baik,

hakim akan mampu membaca memahami dan menafsirkan hukum dengan tepat. Disamping itu, pendidikan konkret pula, yang baik

memungkinkan Dengan

hakim

peristiwa yang baik

dengan akan

cermat. mampu

pendidikan

hakim

mengkonstruksi dengan

hukum

berkaitan sehingga

dengan

suatu

peristiwa akan

bijaksana,

peristiwa

tersebut

diputus dengan tepat, bijaksana dan adil. Dengan well spirutal dan well moralized, dengan agama yang baik dan akhlaq yang luhur, hakim mampu melaksanakan tugas tanpa ada pamrih social dan finasial. Karena agama baik dan akahlak yang luhur menuntun berada hakim untuk selalu

dalam track yang benar dan lurus, yakni menegakan

18

hukum hanya maha esa.

demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang

Kesimpulan 1. Hakim dalam melakukan diskrsi hukum mempunyai landasan yuridis, pasal 24 UUD 1945, 28 UU No. 2004 dan pasal 132 HIR/148 RBg. Pasal 24 UUD 1945 yang menegaskan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka. Sedangkan pasal 28 UU No. 4 tahun 2004 memberikan

otoritas kepada yang hidup

hakim untuk menggali nilai keadilan masyarakat. Kedua aturan tersebut yang

dalam

memberi

hakim

kemerdekaan

dan

otoritas

yang

merupakan inti dari diskresi hukum. Bersamaan dengan itu pasal 132 HIR/R.Bg yang yang mewajibkan cukup dalam hakim membuat dan

memberikan putusan, otoritas diskresi dalam

pertimbangan bila yang dikaitkan dimiliki mempunyai

dengan hakim

kemerdekaan

semakin hukum yang

menjelaskan yang berlaku kuat di

hakim

landasan

peraturan

perundang-undangan

Indonesia. 2. Penerapan nikah diskresi hukum dalam penetapan dispensasi hakim

dapat

dilihat

dari

proses

analisis

19

memahami dan menafsirkan 7 UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 15 kompilasi Hukum Islam. tidak Kedua peraturan alasan

perundang-undangan

tersebut

menjelaskan

seseorang yang belum sampai kepada batas usia minimum kawin diberi dispensasi untuk melakukan pernikahan. Di samping itu, hakim melakukan pemilahan fakta-fakta

yang diajukan seseorang sehingga dapat dipilih fakta yang relevan dan benar-benar menjadi alasan. Dengan

penafsiran peraturan perundang-undangan dan pemilahan serta pemilihan yang unsure fakta akhirnya hakim dapat membuat yang dan

keputusan memenuhi

bijaksana, keadilana,

yaitu

keputusan hukum

kepastian

kemanfaatan hukum. 3. Faktor yang melatar belakangi diskesi hukum oleh hakim adalah karena factor peraturan perundang-undangan dan factor peraturan profesionalitas individu hakim. dengan Factor sifat

perundnag-undnagan yang

berkaitan dan

undang-undang Sedangkan berkaitan

konvservatif

tidak

lengkap. hakim

factor dengan

profesionalitas kemapanan,

individu

pengalaman

intelektual,

dan kemurnian akhlak dan moralitas hakim. Dengan kedua factor tersebut diskresi yang dilakukan hakim akan

20

mendukung keadilan.

pencapaian

mencapai

tujuannya

hukum

yaitu

Pekalongan, Awal Januari 2009

Daftar Pustaka : 1. Abdul Manan, Sekitar Puutusan Pengadilan, Mimbar

Hukum No.21, Yayasan Al hikmah Jakarta, 1995; 2. Ahmad Kamil dan Fauzan, Kaidah-kaidah Jakarta, Hukum Cet 2,

Yurisprudensi, 2004

Prenada

Kencana,

3. Erlyn Indarti, Diskresi Kepolisian, Akpol Semarang, 2004; 4. Kusumadi Pudjosewojo, Tata Hukum

Diktat untuk

Indoensia,

Sinar

Grafika, Cet.X, Jakarta 2004. 5. R. Tresna, Komentar HIR, 1978; 6. Setiawan, Muhammad Publikasi Pustaka Putusan Haskim, Jilid dalam Din Pradnya Paramita, Jakarta,

Peradilan

VIII,

Mahkamah

Agung, Jakarta, 1997;

21

7. Yahya

Harahap,

Pengembangan

Yurisprudensi

Tetap,

dalam Din Muhammad Pustaka Peradilan Jilid VIII, Mahkamah Agung, Jakarta, 1997 8. Zainal Abidin Abubakar, di Kumupulan Peraturan Agama,

Perundnag-undnagan

Lingkungan

Peradilan

Yayasan Al Hikmah, Jakarta, 1992;

22