Kelainan Muskuloskeletal Akibat Kerja

download Kelainan Muskuloskeletal Akibat Kerja

of 6

Transcript of Kelainan Muskuloskeletal Akibat Kerja

KELAINAN (WMSD)

MUSKULOSKELETAL

AKIBAT

KERJA

Kelainan muskuloskeletal (musculoskeletal disorder, MSD) mengacu pada kondisikondisi yang melibatkan saraf, tendon, otot, dan struktur pendukung tubuh lainnya. Dikatakan terjadi kelainan karena terdapat perbedaan antara keadaan struktur penyangga tubuh tersebut dengan keadaan yang seharusnya. Sedangkan kelainan muskuloskeletal akibat kerja (work related musculoskeletal disorder, WMSD) tentunya mengacu pada kondisi kelainan pada saraf, tendon, otot, dan struktur penyangga tubuh lainnya akibat suatu pekerjaan yang dilakukannya. Istilah kelainan muskuloskeletal akibat kerja juga dikenal dengan beberapa nama lain, seperti cummulative trauma disorders, repetitive trauma disorders (oleh OSHA, USA), repetitive strain injuries (oleh British & Commonwealth), overuse syndrome (oleh Sport medicine), dan regional musculoskeletal disorders (oleh Rheumatologist). Namun, pada dasarnya semua mengacu pada hal yang serupa. Keadaan timbulnya WMSD pada pekerja umumnya diketahui dari keluhan pada otot pekerja tersebut. Secara garis besar, keluhan pada otot dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu: Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi akibat otot dikenai suatu beban, dan keluhan ini akan hilang bila pembebanan dihentikan. Keluhan menetap (irreversible), yaitu keluhan otot yang walaupun pembebanan telah dihentikan, sakit atau nyeri pada otot masih terasa. Ada beberapa contoh diagnosa kelainan muskuloskeletal akibat kerja (WMSD), yang di antaranya adalah sebagai berikut: Myalgia Myofacial pain syndrome Tendinitis (Peritendinitis, Tenosynovitis, De Quervains disease, Epicondylitis, Trigger finger) Carpal tunnel syndrome Cubital tunnel syndrome Carpet Layers knee Raynauds syndrome atau white finger disease Thoracic outlet syndrome Guyons canal syndrome Hypothenar hammer syndrome Vibration hand arm syndrome Low Back Pain

a. b.

a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l.

Carpal Tunnel Syndrome (CTS) atau sindrom terowongan carpal mungkin merupakan contoh WMSD yang paling dikenal. CTS ini merupakan kondisi WMSD di area pergelangan tangan hingga ujung jari. CTS terjadi akibat gerakan repetitif dari pergelangan tangan yang menekuk, memegang benda kerja atau perkakas dengan sangat erat, atau secara terusmenerus menekankan pergelangan tangan pada benda kerja yang keras. Gejala-gejala umum pada CTS ini adalah pergelangan tangan yang mati rasa, terasa kebas, terasa seperti terbakar, dan nyeri. Dalam beberapa kasus, bahkan timbul tonjolan otot di dasar ibu jari, telapak tangan yang kering dan memucat, serta keadaan tangan yang sulit digerakkan. Raynauds syndrome atau yang lebih dikenal dengan white finger disease merupakan masalah WMSD di saraf dan pembuluh darah tangan. Sindrom ini sering disebabkan oleh penggunaan peralatan kerja yang menimbulkan getaran. Akibat getaran ini serta rendahnya temperatur lingkungan kerja, pekerja kemudian mengalami mati rasa dan kebas pada jarijari tangannya. Jemari pekerja kemudian berubah menjadi putih pucat, kemudian biru, dan akhirnya merah. Keadaan mati rasa dan lemas pada tangan ini kemudian membatasi gerakan pekerja untuk memegang benda kerja dengan baik dan turut mengganggu kemampuan pekerja secara keseluruhan untuk bekerja dengan baik. Kondisi pekerja yang merokok dapat memperburuk kondisi ini dengan mengurangi pasokan oksigen ke dalam jari-jari tangan. Tendinitis merupakan radang dan luka di tendon, yang disebabkan oleh pergerakan berulang dari sambungan tulang dan otot (joint). Beberapa nama diberikan pada sindrom ini, tergantung dari lokasi cedera yang muncul, antara lain: a. Tenosynovitis, yaitu tendinitis di pergelangan tangan. b. Trigger finger, yaitu tendinitis di bagian telapak jari-jari tangan selain ibu jari. c. De Quervains disease, yaitu tendinitis di ibu jari. d. Epicondylitis, yaitu tendinitis di siku. Gejala-gejala yang muncul dari WMSD ini adalah nyeri seperti terbakar, tendon yang membengkak, jari yang menggeretak atau berderik (crepitus), dan Ganglionic cysts. Tendonitis berkaitan erat dengan pekerjaan yang memerlukan gerakan berulang (seperti penggunaan staple gun), serta gerakan memutar atau memelintir (contohnya pada penggunaan obeng). Peralatan atau perkakas kerja yang terlalu kecil atau terlalu besar untuk ukuran tangan pekerja juga turut menambah tekanan pada tendon. Thoraris outlet syndrome, merupakan diagnosa WMSD lainnya. Sindrom ini berupa pengurangan aliran darah di daerah bahu dan lengan, yang disebabkan oleh pekerjaan di atas kepala atau membawa beban berat di tangan dengan posisi lengan yang lurus ke bawah terus-menerus. Diagnosa lainnya adalah Carpet layers knee, yaitu sindrom WMSD yang disebabkan oleh lutut yang berulang kali bertumpu di lantai, saat melakukan pekerjaan menggelar karpet. Low back pain (LBP) atau rasa sakit di area bawah punggung merupakan salah satu penyebab utama ketidaknyamanan dalam bekerja. Selain itu, gejala ini juga dapat timbul dari kegiatan sehari-hari, seperti berkebun, menyetir, dan melakukan pekerjaan rumah lainnya. Umumnya, sumber rasa sakit berasal dari posterior ligament dan jaringan tipis lainnya (Bridger, 1995). Kumar dalam Bridger (1995) mengemukakan bahwa pembebanan secara mekanik merupakan faktor risiko LBP.

Secara khusus, cedera tulang belakang (back pain) merupakan fenomena yang mendapat banyak perhatian, terutama dari bidang kesehatan. Cedera ini dapat menyebabkan seseorang mengalami disfungsi. Berikut adalah beberapa istilah mengenai cedera tulang belakang yang disampaikan oleh dr. Ahmad Toha Muslim pada Simposium Ergonomi tahun 1998 (Salmiah, 2001): 1. Back pain, adalah nyeri yang timbul di sepanjang tulang belakang, mulai dari leher sampai pinggang. Umumnya back pain dibagi atas dua daerah, yaitu neck pain yang merupakan nyeri di daerah leher yang menyebar hingga tangan dan low back pain yang merupakan nyeri di daerah pinggang yang menyebar hingga kaki. 2. Back pain impairment, adalah kondisi berkurangnya atau hilangnya kemampuan seseorang untuk melakukan aktivitas sistem otot tulang belakang. 3. Back pain disability, adalah kondisi back pain impairment yang menyebabkan hilangnya jumlah jam kerja, sehingga orang yang bersangkutan hanya dapat bekerja dengan waktu terbatas. 4. Back pain compensation, adalah besarnya penggantian uang yang telah digunakan untuk mengobati back pain sesuai dengan peraturan yang berlaku di tempat kerja. Posisi tubuh seorang pekerja (postur kerja) dan pergerakannya dapat mempengaruhi terjadinya risiko WMSD, karena posisi tubuh yang kurang baik saat bekerja dapat menyebabkan terjadinya ketidaknyamanan dan akan menimbulkan kelelahan jika postur kerja ini dipertahankan dalam periode waktu yang lama. Gejala ketidaknyamanan dan kelelahan ini muncul karena adanya kelainan pada sistem otot atau struktur penyangga tubuh lainnya. Karenanya, dapat dikatakan bahwa postur tubuh yang kurang baik saat bekerja dapat mempertinggi kemungkinan seorang pekerja mengalami kelainan muskuloskeletal akibat pekerjaannya.Sebagai contoh, postur tubuh berdiri saat bekerja. Posisi tubuh berdiri merupakan suatu posisi tubuh alami, dan karena itu tidak akan menimbulkan risiko kesehatan tertentu. Namun, jika seseorang bekerja untuk periode waktu yang lama dengan posisi berdiri, akan timbul rasa sakit pada kaki, kelelahan otot umum, dan sakit punggung. Hal ini dapat diperparah lagi dengan adanya tata ruang area pekerjaan yang tidak ergonomis, sehingga menjadikan posisi kerja kurang nyaman karena para pekerja berdiri dengan tidak wajar. Selain postur tubuh berdiri, masih banyak postur tubuh lain yang dapat menimbulkan gejala-gejala WMSD (awkward posture)

OHSCOs (2007) memberikan panduan tahapan untuk melakukan program pencegahan MSD di lingkungan kerjayang meliputi: 1. Membangun pondasi menuju sukses Untuk melakukan program pencegahan MSD diperlukan penetapan komitmen oleh manajemen, menentukan tujuan pelaksanaan, sasaran dan ruang lingkup pelaksanaan, membuat aturan dan tanggung jawab pada seluruh lapisan karyawan, membentuk komite pelaksana dan bergabung dengan organisasi kesehatan dan keselamatan kerja.

1. Mengidentifikasi faktor -faktor yang menimbulkan MSD dan faktor lainnya yang terkait. Proses identifikasi dilakukan dengan menanyakan kepada pekerja gangaguan MSD yang dialami, menanyakan jenis tugas yang sulit dan menyebabkan ketidaknyamanan, mengevaluasi catatan kecelakaan kerja yang pernah terjadi, mengamati jenis pekerjaan yang membutuhkan waktu yang lama, pengulangan, tenaga dan postur kerja serta menggunakan instrument-instrumen pencegahan MSD 1. Lakukan evaluasi faktor-faktor yang menyebabkan MSD Evaluasi faktor-faktor yang telah ditemukan dengan melibatkan pekerja untuk mencari akar masalahnya dan buat kesepakatan untuk melakukan tindakan perbaikan. 1. Memilih dan melaksanakan program perbaikan untuk pencegahan MSD Lakukan perubahan metode kerja, menata ulang peralatan dan area kerja untuk mengurangi resiko MSD, Libatkan karyawan untuk memberikan ide-ide agar system kerja menajdi lebih baik dan gunakan ide yang dianggap baik, hati hati memilih solusi yang pertama kali karena solusi tersebut disebut desain yang ergonomis. 1. Evaluasi kesuksesan penerapannya dan lakukan peningkatan secara berkelanjutan Tanyakan kepada pekerja apakah perubahan yang dilakukan memberikan dampak yang lebih baik dan memberika rasa nayaman dalam bekerja. Tingkatkan dan ulangi penerapan setelah 3 -6 bulan. 1. Menyebarluaskan kesuksesan pencegahan MSD Umumkan hasil yang telah dicapai dan usaha-usaha yang telah dilakukan dalam pencegahan MSD kepada seluruh pekerja dan semua departemen

artikel terkait: Nyeri muskuloskeletal yang umum dijumpai dalam masyarakat seringkali tidak mudah didiagnosis. Suatu data dari poliklinik Reumatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI / RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 1992 bahkan menunjukkan ketidaktepatan diagnosis pada kasus ini mencapai lebih dari 70%. Hal ini dikemukakan dr. Yoga Iwanoff Kasjmir, SpPD-KR pada acara Simposium Current Diagnosis and Treatment In internal Medicine 2004 beberapa waktu lalu di Jakarta. Yoga mengemukakan bahwa pendekatan diagnosis, dimulai dari anamnesis dan dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik serta penunjang yang sesuai seperti artrosentesis, sangat diperlukan pada masalah nyeri muskuloskeletal. Dalam mengetahui riwayat penyakit, pasien sebaiknya diminta untuk mendeskripsikan rasa nyerinya dengan visual analogue scale (VAS) yang berguna dalam penetapan strategi serta evaluasi pengobatan yang diberikan. Seminar yang diprakarsai oleh Pendidikan Kedokteran Berkesinambungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI / RSCM dan dihadiri oleh para dokter umum, dokter spesialis, tersebut diadakan dalam rangka meningkatkan pengetahuan para dokter, baik dokter umum maupun dokter spesialis di Jakarta dan sekitarnya. Topik yang disajikan beraneka ragam, dengan menampilkan banyak pembicara terkemuka dari Indonesia. Pegangan Evaluasi Awal Lebih lanjut, Yoga menekankan beberapa pegangan dalam evaluasi awal kelainan nyeri muskuloskeletal akut pada pasien dewasa yakni : Adanya trauma perhatikan luka jaringan lunak atau fraktur. Panas atau sendi yang membengkak, lihat kemungkinan adanya infeksi, penyakit reumatik sistemik, arthritis gout atau pseudogout. Gejala sistemik atau kostitusional yang menonjol, curigai infeksi, sepsis atau penyakit rematik sistemik autoimun. Adanya kelemahan fokal seperti pada nerve entrapment, mononeuritis dan sebagainya atau kelemahan difus sebagaimana dijumpai pada miositis, miopatik metabolic, sindrom paraneoplastik dan sebagainya. Nyeri neurogenik asimetrik dapat dijumpai pada nerve entrapment, radikulopati atau chronic regional pain syndrome (CRPS). Pada nyeri neurogenik simetrik perhatikan adanya mielopati atau neuropati perifer. Nyeri klaudikasio lebih banyak dijumpai pada penyakit vaskular perifer, giant cell arthritis atau berupa stenosis spinal terutama daerah lumbal. Pada acara yang dihadiri sekitar 500 peserta ini Yoga juga memaparkan beberapa pandangan sehubungan dengan manifestasi artikular

beberapa penyakit reumatik dengan manifestasi nyeri : Monoartralgia/artritis atau oligoartralgia/arthritis. Umumnya nyeri atau peradangan pada satu sendi dapat merupakan tanda dari penyakit reumatik inflamatif, trauma atau infektif dan akibat deposisi kristal. Pada monoartritis akut, langkah terpenting adalah menyingkirkan kemungkinan infeksi dipastikan dengan melakukan aspirasi sendi, diikuti dengan pembuktian mikrobiologis. Poliartralgia atau poliartritis. Kasus nyeri muskuloskeletal dengan manifestasi poliartritis memerlukan penangan yang khusus karena seringkali melibatkan banyak penyakit reumatik yang berat seperti SLE dan artritis reumatoid. Umumnya, ditetapkan ada tidaknya sinovitis, keterlibatan tulang belakang, gejala sistemik serta gangguan neurologis. Sumber: http://sandiwaraja.blogspot.com/2011/01/kelainan-muskuloskeletal-akibat-kerja.html diakses pada 17 maret 2012 20:01 wib