Kel.14 jualah

17
MAKALAH JU’ALAH Diajukan sebagai salah satu tugas kelompok pada mata kuliah Akuntansi Lembaga Keuangan SyariahDisusun Oleh : Siti Maesaroh (081400142) Candra Karmila Sari (081400141) EKIS A/VI

Transcript of Kel.14 jualah

Page 1: Kel.14 jualah

MAKALAH

JU’ALAH

Diajukan sebagai salah satu tugas kelompok pada mata kuliah

“ Akuntansi Lembaga Keuangan Syariah”

Disusun Oleh :

Siti Maesaroh (081400142)

Candra Karmila Sari (081400141)

EKIS A/VI

FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

“SULTAN MAULANA HASANUDDIN” BANTEN

2011 M / 1432 H

Page 2: Kel.14 jualah

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat-Nya dan hidayah-

Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah pada mata kuliah

“Akuntansi Lembaga Keuangan Syariah”.

Shalawat beserta salam mari kita curahkan dan panjatkan kepada junjungan Nabi

Muhammad SAW beserta keluarganya dan para sahabat-sahabatnya yang telah

mengantarkankan kita selaku umatnya dari zaman jahiliyah atau zaman kebodohan hingga ke

zaman yang terang benderang menembus cakrawala ilmu-ilmu pengetahuan yang dicari oleh

umat-umatnya.

Penulis telah menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Ju’alah”.

Makalah ini masih banyak kekurangannya, terutama mengenai pembahasannya.

Seiring dengan perjalanan itu penulis terus berusaha semaksimal mungkin untuk

menyempurnakannya.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi penulis dan

umumnya bagi pembaca.

Serang, 10 Maret 2011

Penulis

Page 3: Kel.14 jualah

I. PENDAHULUAN

Ju’alah adalah jenis akad atas manfaat sesuatu yang diduga kuat akan diperolehnya.

Misalnya seseorang yang menjadikan Ju’alah atas suatu pekerjaan yaitu menemukan kembali

yang hilang, atau ternaknya yang lepas, atau pembuatan dinding, atau menggali sumur hingga

menemukan air, atau mengafalkan al-Qur’an untuk anaknya, atau menyembuhkan orang yang

sakit hingga sembuh, atau memenangkan suatu kompetisi tertentu dan sebagainya. Terkait

dengan masalah diatas, kita harus memahami definisi Ju’alah sendiri, dasar hukum, jenis

akad, persyaratan dan pembatalan Ju’alah itu sendiri

Page 4: Kel.14 jualah

II. PEMBAHASAN

A. Pengertian Ju’alah

Ju’alah artinya janji hadiah atau upah.

Pengertian secara etimologi berarti upah atau hadiah yang diberikan kepada

seseorang, karena orang tersebut mengerjakan atau melaksanakan suatu pekerjaan tertentu.

Secara terminologi fiqih berarti “suatu iltizam (tanggung jawab) dalam bentuk janji

memberikan imbalan upah tertentu secara suka rela terhadap orang yang berhasil melakukan

perbuatan atau memberikan jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan atau dihasilkan sesuai

dengan yang diharapkan.”1

umpamanya , seseorang berkata: “siapa saja yang dapat menemukan SIM atau KTP

saya yang hilang, maka saya beri imbalan upah ima puluh ribu rupiah’,

dalam masyarakat di Indonesia ini, biasanya diiklankan di surat kabar supaya dapat dibaca

orang.2

Ju’alah berasal dari kata Ja’ala yang memiliki banyak arti : Jumlah imbalan, meletakkan,

membuat, menasabkan. Menurut Fiqih diartikan sebagai suatu tanggung jawab dalam bentuk

janji memberikan hadiah tertentu secara sukarela terhadap orang yang berhasil melakukan

perbuatan atau memberikan jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan atau dihasilkan sesuai

dengan yang diharapkan. Jika dikaitkan dengan hukum positif maka akad Ju’alah bisa

dianalogikan dengan sayembara, imbalan, upah atau perlombaan.

Para ahli Fiqih sepakat bahwa akad Ju’alah merupakan hal yang boleh (jaiz), termasuk

mazhab Maliki, Syafi’i, Hambali, serta Syi’ah. Walaupun para imam mazhab berbeda

pendapat penggunaan akad Ju’alah untuk melakukan mu’amalah, mazhab Hanafi dan Zhahiri

melarang penggunaan akad ini untuk mu’amalah dengan alasan adanya gharar karena dalam

akad Ju’alah boleh saja tidak disebutkan secara jelas batas waktu, bentuk atau cara

melakukannya.3

Mazhab Maliki mendefinisikan ju’alah: “suatu upah yang dijanjikan sebagai imbalan atas

suatu jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan oleh seseorang.

1 Muhamad Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada 2003, hal. 2652 Http:// luqmannomic. Wordpress. Com/2008/01/02/Ju’alah. Akses 1 Maret 2011. 12.003 Sri Nurhayati-Wasilah, Akuntansi Syariah di Indonesia, Jakarta: Salemba 2011, hal. 270.

Page 5: Kel.14 jualah

Mazhab Syafi’i mendefinisikannya: seseorang yang menjanjikan suatu upah kepada orang

yang mampu memberikan jasa tertentu kepadanya.

Definisi pertama (Mazhab Maliki) menekankan segi ketidakpastian, berhasilnya

perbuatan yang diharapkan. Sedangkan definisi kedua (Mazhab Syafi’i) menekankan segi

ketidakpastian orang yang melaksanakan pekerjaan yang diharapkan.4

Ju’alah adalah janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan

(reward/’iwadh/ju’l) tertentu atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu

pekerjaan.

Ju’alah adalah akad dengan pihak pertama menjanjikan imbalan tertentu kepada pihak

kedua atas pelaksanaan suatu tugas atau pelayanan yang dilakukan oleh pihak kedua untuk

kepentingan pihak pertama. Prinsip ini diterapkan oleh bank dalam menawarkan pelayanan

dengan mengambil fee dari nasabah. Contoh referensi bank, dukungan bank.5

Meskipun Ju’alah berbentuk upah atau hadiah sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu

Qudamah (ulama Mazhab Hambali), ia dapat dibedakan dengan ijarah (transaksi upah) dari

lima segi:

1. Pada Ju’alah upah atau hadiah yang dijanjikan, hanyalah diterima orang yang

menyatakan sanggup mewujudkan apa yang menjadi obyek pekerjaan tersebut, jika

pekerjaan itu telah mewujudkan hasil dengan sempurna. Sedangkan pada ijarah, orang

yang melaksanakan pekerjaan tersebut berhak menerima upah sesuai dengan ukuran

atau kadar prestasi yang diberikannya, meskipun pekerjaan itu belum selesai

dikerjakan, atau upahnya dapat ditentukan sebelumnya, apakah harian atau mingguan,

tengah bulanan atau bulanan sebagaimana yang berlaku dalam suatu masyarakat.

2. Pada ju’alah unsur gharar, yaitu penipuan (spekulasi) atau untung-untungan karena di

dalamnya terdapat ketidaktegasan dari segi batas waktu penyelesaian pekerjaan atau

cara kerjanya disebutkan secara tegas dalam akad (perjanjian) atau harus dikerjakan

sesuai dengan obyek perjanjian itu. Dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa dalam

Ju’alah yang dipentingkan adalah keberhasilan pekerjaan, bukan batas waktu atau

cara mengerjakannya.

3. Pada Ju’alah tidak dibenarkan memberikan upah atau hadiah sebelum pekerjaan

dilaksanakan dan mewujudkannya. Sedangkan dalam ijarah, dibenarkan memberikan

upah terlebih dahulu, baik keseluruhan maupun sebagian, sesuai dengan kesepakatan

besama asal saja yang memberi upah itu percaya.4 Opcit, Muhamad Ali Hasan, hal. 2665 Http://Sharianomics. Wordpress. Com/category/bank/03-jasa-surat-berharga/jualah. Akses:1 Maret 2011. 12.00

Page 6: Kel.14 jualah

4. Tindakan hukum yang dilakukan dalam Ju’alah bersifat suka rela sehingga apa yang

dijanjikan boleh saja dibatalkan, selama pekerjaan belum dimulai, tanpa menimbulkan

akibat hukum. Apalagi tawaran yang dilakukan bersifat umum seperti mengiklankan

di surat kabar. Sedangkan dalam akad ijarah, terjadi transaksi yang bersifat mengikat

semua pihak yang melakukan perjanjian kerja. Jika pekerjaan itu dibatalkan, maka

tindakan itu akan menimbulkan akibat hukum bagi pihak bersangkutan. Biasanya

sanksinya disebutkan dalam perjanjian (akad).

5. Dari segi ruang lingkupnya Mazhab Maliki menetapkan kaidah, bahwa semua yang

dibenarkan menjadi obyek akad dalam transaksi Ju’alah, boleh juga menjadi obyek

dalam transaksi ijarah. Namun tidak semua yang dibenarkan menjadi obyek dalam

transaksi ijarah, dibenarkan pula menjadi obyek dalam transaksi Ju’alah. Dengan

demikian, ruang lingkup ijarah lebih luas dari pada ruang lingkup Ju’alah.

Berdasarkan kaidah tersebut, maka pekerjaan menggali sumur sampai menemukan air,

dapat menjadi obyek dalam akad ijarah, tetapi tidak boleh dalam akad Ju’alah. Dalam ijarah,

orang yang menggali sumur itu sudah dapat menerima upah, walaupun airnya belum

ditemukan. Sedangkan pada Ju’alah, orang itu baru dapat mendapat upah atau hadiah sesudah

pekerjaan itu sempurna.6

Menurut Az-Zuhaili dalam Maksum (2008), perbedaan antara akad Ju’alah dengan upah

bekerja (ijarah dalam tenaga kerja) adalah:

1. Ju’alah diberikan jika pekerjaan telah selesai, sedangkan upah sesuai dengan ukuran

tertentu.

2. Ju’alah tidak dibatasi oleh waktu, sedangkan upah ditentukan batas waktunya.

Walaupun mazhab Hambali dan Syafi’i membolehkan menentukan batas waktu.

3. Ju’alah tidak bisa dibayar dimuka, sedangkan upah bisa dibayar di muka.

4. Ju’alah dapat dibatalkan meskipun upaya telah dilakukan aslakan belum selesai,

sedangkan upah tidak dapat dibatalkan karena mengikat.

5. Upah lebih luas ruang lingkupnya dari Ju’alah.7

6 Lokcit, Muhamad Ali Hasan, hal. 2677Lokcit, Sri Nurhayati-Wasilah, hal. 270

Page 7: Kel.14 jualah

B. Dasar Hukum Ju’alah

Mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali berpendapat, bahwa Ju’alah boleh dilakukan dengan

alasan:

1. Firman Allah:

Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat

mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku

menjamin terhadapnya". (QS. Yusuf:72)

2. Dalam hadits diriwayatkan, bahwa para sahabat pernah menerima hadiah atau upah

dengan cara Ju’alah berupa seekor kambing karena salah seorang di antara mereka

berhasil mengobati orang yang dipatok kalajengking dengan cara membaca surat Al-

Fatihah. Ketika mereka menceritakan hal itu kepada Rasulullah, karena takut hadiah

itu tidak halal. Rasulullah pun tertawa seraya bersabda: “Tahukah anda sekalian,

bahwa itu adalah jampi-jampi (yang positif). Terimalah hadiah itu dan beri saya

sebagian.” (HR. Jamaah, mayoritas ahli Hadits kecuali an-Nasai).

3. Secara logika Ju’alah dapat dibenarkan, karena merupakan salah satu cara untuk

memenuhi keperluan manusia, sebagaimana halnya dengan ijarah dan mudharabah

(perjanjian kerja sama dagang).

Mazhab Hanafi tidak membenarkan Ju’alah, karena dalam Ju’alah terdapat unsur gharar,

sebagaimana telah dikemukakan di atas. Perbuatan yang mengandung gharar itu merugikan

salah satu pihak dan dilarang dalam Islam.

Page 8: Kel.14 jualah

C. Ucapan yang digunakan

Mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali berpendapat, bahwa agar perbuatan hukum yang

dilakukan dalam bentuk Ju’alah itu dipandang sah, maka harus ada ucapan (sighah) dari

pihak yang menjanjikan upah atau hadiah, yang isinya mengandung izin bagi orang lain

untuk melaksanakan perbuatan yang diharapkan dan jumlah upah yang jelas tidak seperti

iklan dalam surat kabar yang biasanya tidak menyebutkan imbalan secara pasti.

Ucapan tersebut tidak mesti, keluar dari orang yang memerlukan jasa itu, tetapi boleh

juga dari orang lain seperti wakilnya, anaknya, atau bahkan orang lain yang bersedia

memberikan hadiah atau upah.

Kemudian Ju’alah dipandang sah, walaupun hanya ucapan ijab saja yang ada, tanpa ada

ucapan Kabul (cukup sepihak).

D. Persyaratan Ju’alah

Agar pelaksanaan Ju’alah dipandang sah, harus memenuhi syarat-syarat:

1. Orang yang menjanjikan upah atau hadiah harus orang yang cukup untuk melakukan

tindakan hukum, yaitu: Baligh berakal dan cerdas. Dengan demikian anak-anak, orang

gila dan orang yang berada dibawah pengampuan tidak sah melakukan Ju’alah.

2. Upah atau hadiah yang dijanjikan harus terdiri dari sesuatu yang bernilai harta dan

jelas juga jumlahnya. Hartanya yang haram tidak dipandang sebagai harta yang

bernilai (Mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali)

3. Pekerjaan yang diharapkan hasilnya itu harus mengandung manfaat yang jelas dan

boleh dimanfaatkan menurut hukum syara’

4. Mazhab Maliki dan Syafi’i menambahkan syarat, bahwa dalam masalah tertentu,

Ju’alah tidak boleh dibatasi dengan waktu tertentu, seperti mengembalikan

(menemukan) orang yang hilang. Sedangkan Mazhab Hambali membolehkan

pembatasan waktu.

Page 9: Kel.14 jualah

5. Mazhab Hambali menambahkan, bahwa pekerjaan yang diharapkan hasilnya itu, tidak

terlalu berat, meskipun dapat dilakukan berulang kali seperti mengembalikan binatang

ternak yang lepas dalam jumlah yang banyak.8

E. Rukun dan Ketentuan Syari’ah

Rukun Ju’alah ada empat, yaitu:

1. Pihak yang membuat sayembara/penugasan (al-qaid/al-ja’il)

2. Objek akad berupa pekerjaan yang harus dilakukan (al-maj’ul)

3. Hadiah yanga kan diberikan (al-ji’l)

4. Ada sighat dari pihak yang menjanjikan (ijab)

Ketentuan Syari’ah

1. Pihak yang membuat sayembara: cakap hukum, baligh dan dapat juga dilakukan

oleh orang lain.

2. Objek yang harus dikerjakan:

a. Harus mengandung manfaat yang jelas,

b. Boleh dimanfaatkan sesuai syari’ah.

3. Hadiah yang diberikan harus sesuatu yang bernilai (harta) dan jumlahnya harus

jelas.

4. Sah dengan ijab saja tanpa ada Kabul.

F. Perlakuan Akuntansi

Bagi pihak yang membuat janji

Saat membuat janji tidak diperlukan pencatatan apa pun karena belum pasti hasil atas

sayembara tersebut.

Setelah sayembara tersebut terpenuhi, maka dijurnal:

Dr. beban Ju’alah xxx

Kr. Kas/Asset non kas lain xxx

Jika yang diberikan adalah asset nonkas lain maka harus dinildi dengan harga wajar,

setelah sebelumnya nilai asset nonkas tersebut dinilai sejumlah harga wajarnya.

8 Lokcit, Muhamad Ali Hasan, hal. 270

Page 10: Kel.14 jualah

Bagi pihak yang menerima janji

Saat mendengar janji tidak diperlukan pencatatan apapun karena belum pasti hasil

atas syembara tersebut.

Setelah sayembara tersebut terpenuhi, maka dijurnal:

Dr. kas/Asset nonkas lain xxx

Kr. Pendapatan Ju’alah xxx

Jika yang diberikan adalah asset nonkas lain maka harus dinilai dengan harga pasar.9

G.pembatalan

Mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali memandang, bahwa Ju’alah adalah perbuatan

hokum yang bersifat suka rela. Dengan demikian, pihak pertama yang menjanjikan upah atau

hadiah, dan pihak kedua, yang melaksanakan pekerjaan dapat melakukan pembatalan.

Mengenai waktu pembatalan terjadi perbedaan pendapat

Mazhab Maliki berpendapat, bahwa Ju’alah hanya dapat dibatalkan oleh pihak pertama

sebelum pekerjaan dimulai oleh pihak kedua.

Mazhab Syafi’i dan Hambali berpendapat, bahwa pembatalan itu dapat dilakukan oleh

salah satu pihak setiap waktu, selama pekerjaan itu belum selesai dilaksanakan, karena

pekerjaan itu dilaksanakan atas dasar suka rela. Namun menurut mereka, apabila pihak

pertama membatalkannya, sedangkan pihak kedua belum selesai melaksanakannya, maka

pihak kedua harus mendapatkan imbalan yang pantas sesuai dengan volume perbuatan yang

dilaksanakannya. Kendatipun pekerjaan itu dilaksanakan atas dasar suka rela, tetapi

kebijaksanaan perlu diperhatikan.10

9 Lokcit, Sri Nurhayati-Wasilah, hal. 27110 Lokcit, Muhamad Ali Hasan, hal. 270

Page 11: Kel.14 jualah

III. PENUTUP   

Ju’alah adalah akad yang terkait dengan kinerja atau keberhasilan.

Ada beberapa madzhab ulama seperti: Madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali

berpendapat, bahwa Ju’alah boleh dilakukan, dan ada pula yang mengharamkan Ju’alah

karena mengandung unsur Gharar, salah satunya Mazhab Hanafi tidak membenarkan Ju’alah

karena didalam Ju’alah terdapat unsur Gharar, dan perbuatan yang mengandung unsur gharar

itu merugikan salah satu pihak dan dilarang dalam Islam. Dengan pembahasan diatas kita

dapat mengetahui seperti apakah Ju’alah itu, dan apa saja yang menyebabkan boleh atau tidak

diperbolehkannya Ju’alah. Wallahu a’lam bis shawab. 

Page 12: Kel.14 jualah

DAFTAR PUSTAKA

- Ali Hasan, Muhamad, “Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat)”,

PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003.

- Nurhayati Sri, wasilah, “Akuntansi Syariah di Indonesia”, Jakarta Salemba Empat,

2011

- Http:// Sharianomics. Wordpress. Com. /category/bank/03-jasa-surat-berharga/jualah/

Akses:1 Maret 2011. 12.00

- Http://luqmannomics . Wordpress. Com/2008/01/02/jualah. Akses:1 Maret 2011.

12.00