Kel 8_Dayak Benuaq

download Kel 8_Dayak Benuaq

of 45

Transcript of Kel 8_Dayak Benuaq

MAKALAH SUKU DAYAK BENUAQ (Kalimantan Timur) Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Etnografi Indonesia Dosen Pengampu: V. Indah Sri Pinasti, M.Si

Disusun oleh: Kelompok VIII

Aji Setyawan Wahyu Septiyana Fitri Nurkumalasari

09413244003 09413244031 09413244037

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2012

BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang memiliki lingkungan geografis yang sangat kompleks, terdiri lebih dari 17.000 buah pulau-pulau besar kecil, yang satu sama lainnya dipisahkan oleh selat-selat dan lautan yang sangat luas. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor utama terbentuknya suku, bangsa, budaya, dan bahasa. Ada banyak suku bangsa di Indonesia, salah satunya adalah suku Dayak Benuaq yang merupakan salah satu anak suku Dayak di Kalimantan Timur. Tentu banyak suku-suku bangsa di Indonesia yang telah diteliti oleh para Antropolog, yang mana berupa kegiatan pengumpulan bahan keterangan atau data yang dilakukan secara sistematik mengenai cara hidup serta berbagai aktivitas sosial dan berbagai benda kebudayaan dari suatu masyarakat. Berbagai peristiwa dan kejadian unik dari komunitas budaya akan menarik perhatian peneliti etnografi. Peneliti justru lebih banyak belajar dari pemilik kebudayaan, dan sangat respek pada cara mereka belajar tentang budaya. Itulah sebabnya pengamatan terlibat menjadi penting dalam aktivitas penelitian. Berdasar hal tersebut di atas, makalah ini akan sedikit membahas mengenai Suku Dayak Benuaq yang mana keberadaannya belum banyak diketahui oleh masyarakat. Hal ini dilakukan selain sebagai salah satu tugas, juga menjadi daya tarik tersendiri karena apa yang akan dipaparkan masih terbilang unik. Semua suku bangsa tentu memiliki sejarahnya sendiri, tepat dimana mereka tinggal dan beranak pinak agar keturunan mereka tidak habis dan kebudayaan tetap terus berjalan. Selain itu agar kita mengetahui bagaimana unsurunsur kebudayaan yang ada pada masyarakat Suku Dayak Benuaq.

B. Rumusan 1. Dimanakah letak geografis suku Dayak Benuaq? 2. Bagaimanakah asal muasal suku Dayak Benuaq? 3. Bagaimanakah unsur-unsur kebudayaan suku Dayak Benuaq?

BAB II 1

PEMBAHASAN A. Lingkungan Geografis Suku Dayak Benuaq dapat ditemui di sekitar wilayah Sungai Kedang Pahu di pedalaman Kalimantan Timur dan di daerah danau Jempang. Di Kalimantan Timur, sebagian besar mendiami Kutai Barat dan merupakan etnis mayoritas (+/- 60 %). Mendiami di Kecamatan Bongan, Jempang, Siluq Ngurai, Muara Pahu, Muara Lawa, Damai, Nyuwatan, sebagian Bentian Besar, Mook Manar Bulatn serta Barong Tongkok, di Kabupaten Kutai Kartanegara mendiami daerah Jonggon hingga Pondok Labu, Kecamatan Tenggarong, kawasan Jongkang hingga Perjiwa, Kecamatan Tenggarong Seberang. Bahkan Bupati Pertama Kutai Barat adalah putra Dayak Benuaq, termasuk Doktor (DR) pertama Dayak Indonesia dalam studi non-teologi juga dari putra Dayak Benuaq dari Kutai Barat. Karena kedekatan kekerabatan Orang Benuaq dengan Orang Lawangan dan warga di sepanjang Sungai Barito umumnya, maka terdengar selentingan pada Orang Benuaq, mereka merasa layak jika Kabupaten Kutai Barat bergabung dengan wacana Provinsi Barito Raya. Kedekatan orang Benuaq dengan orang Paser dapat disimak dari cerita rakyat Orang Paser "Putri Petung" dan "Mook Manor Bulatn" cerita rakyat orang Tonyoy-Benuaq, kedua-duanya terlahir di dalam "Betukng" atau "Petung" salah satu spesies/jenis bambu. Selanjutnya dialek orang Benuaq yang berdiam di Kecamatan Bongan sama dengan bahasa orang Paser.

B. Sejarah Suku Dayak Benuaq Dayak Benua adalah salah satu anak suku Dayak di Kalimantan Timur. Berdasarkan pendapat beberapa ahli suku ini dipercaya berasal dari Dayak Lawangan sub suku Ot Danum dari Kalimantan Tengah. Lewangan juga merupakan induk dari suku Tunjung di Kalimantan Timur. Benuaq sendiri berasal dari kata Benua dalam arti luas berarti suatu wilayah/daerah teritori tertentu, seperti sebuah negara/negeri. Pengertian secara sempit berarti wilayah/daerah tempat tinggal sebuah kelompok/komunitas. Menurut cerita pula asal kata Benuaq merupakan istilah/penyebutan oleh orang Kutai, yang membedakan dengan kelompok Dayak lainnya yang masih hidup nomaden. Orang Benuaq telah meninggalkan budaya nomaden. Mereka adalah orang-orang yang tinggal di "Benua", lama-kelamaan menjadi Benuaq. Sedangkan kata Dayak menurut aksen Bahasa Benuaq berasal dari kata Dayaq atau Dayeuq yang berarti hulu. 2

Menurut leluhur orang Benuaq dan berdasarkan kelompok dialek bahasa dalam Bahasa Benuaq, diyakini oleh bahwa Orang Benuaq justru tidak berasal dari Kalimantan Tengah, kecuali dari kelompok Seniang Jatu. Masing-masing mempunyai cerita/sejarah bahwa leluhur keberadaan mereka di bumi langsung di tempat mereka sekarang. Tidak pernah bermigrasi seperti pendapat para ahli. 1. Salah satu versi cerita leluhur mereka adalah Aji Tulur Jejangkat dan Mook Manar Bulatn. Keduanya mempunyai keturunan Nara Gunaq menjadi orang Benuaq, Sualas Gunaq leluhurnya orang Tonyoy/Tunjung, Puncan Karnaq leluhurnya orang Kutai. 2. Orang Benuaq di kawasan hilir Mahakam dan Danau Jempang dan sekitarnya hingga Bongan dan Sungai Kedang Pahu mengaku mereka keturunan Seniang Bumuy. 3. Seniang Jatu dipercaya merupakan leluhur orang Benuaq di kawasan Bentian dan Nyuatan. Dikisahkan bahwa Seniang Jatu diturunkan di Aput Pererawetn, tepi Sungai Barito, sebelah hilir Kota Muara Teweh (Olakng Tiwey). Kedatangan suku (mungkin orang Lewangan, Teboyan, Dusun dan sebagainya) dari Kalimantan Tengah justru berasimilasi dengan Orang Benuaq, dan ini menyebabkan Orang Benuaq mempunyai banyak dialek. 4. Sedangkan orang Benuaq di kawasan hulu Kedang Pahu mengaku mereka keturunan Ningkah Olo. Menurut legenda Ningkah Olo pertama kali turun ke bumi, menginjakkan kakinya di daerah yang disebut dalam Bahasa Benuaq, Luntuq Ayepm (Bukit Trenggiling). Tempat ini diyakini sebagai sebuah bukit yang merupakan ujung dari Jembatan Mahakam, Samarinda Seberang, Kota Samarinda. Sisa Suku Dayak Benuaq di Kota Samarinda, akhirnya menyingkir ke utara kota, di kawasan Desa Benangaq, Kelurahan Lempake, Kecamatan Samarinda Utara. Jadi menurut orang Dayak Benuaq justru merekalah yang pertama menjejakkan kaki di Bumi Samarinda jauh sebelum Kerajaan Kutai resmi berdiri di abad 4 M. Selanjutnya sebagian keturunannya berangsung-angsur menuju muara Sungai Mahakam bermukim di Jahitan Layar dan Tepian Batu dan sekitarnya. Sebagian yang menuju muara Mahakam, selanjutnya berlayar/berjalan ke arah selatan (Balikpapan, Paser dan Penajam). Hal ini mungkin bisa menjelaskan hubungan kekerabatan Dayak Benuaq dan Paser. Orang Benuaq di Kecamatan Bongan, Kutai Barat, berbahasa Benuaq berdialeq Paser Bawo. Sebagian lagi menuju pedalaman Sungai Mahakam. Sebagian keturunan yang masih 'tertinggal' di Tenggarong, bermukim di Kecamatan Tenggarong dan Tenggarong Seberang. C. Bahasa

3

Di Dayak menggunakan bahasa Indonesia, bahasa Maanyan, dan bahasa Ngaju sebagai bahasa yang digunakan dalam kesehariannya. Bahasa Benuaq termasuk dalam Bahasa Lawangan dengan kode bahasa. Kata Aab, akuuq Ko Saya Kamu/Anda (tunggal) Ka Kamu/Anda (jamak) Kaiq Uhaq Ulutn Ootn, oon Nceq Klemeq On tulatn Momeq Ituuq Aruuh La duuh La tuuq Bo/mo duuh Bo/mo ituuq Kakatn Monyu Kami Dia (Lk/Pr) Mereka Apa Siapa Bagaimana Mengapa Dimana Ini Itu Ke sana Ke sini Di sana Di sini Mau Suka Sookng Laki-lakeng Sunge Tasik Kenohan Arti Mate Bolupm Danum Tanaa Lati Daya Uteuk Kami Bongkekng Pooq Kokot/Kenekng Bawe Kata Mati Hidup Air Tanah, bumi Hutan Darah Kepala Tangan Punggung Paha Kaki Perempuan/wanita, betina Laki Banci/waria Sungai Laut Danau Arti

D. Sistem Teknologi J.J. Honingman dalam The World of Man (1959: hlm. 290) mengatakan bahwa teknologi itu mengenali ..... segala tindakan baku dengan apa manusia merubah alam, termasuk badannya sendiri atau badan orang lain ....., maka teknologi mengenai cara manusia membuat, memakai, dan memelihara seluruh peralatannya, bahkan mengenai cara manusia bertindak dalam keseluruhan hidupnya.

4

Misalnya saja dalam teknik yang sering dipakai untuk menangkap hewan buruan adalah dengan berburu memakai bantuan anjing untuk mengepung hewan buruan sehingga gampang dibunuh. Selain itu bisa juga dengan memasang jebakan seperti Poti, sengkokoy, sungaq, seriakng, gawaq (tanah yang digali sebagai lobang jebakan), dan juga dengan mengasapi tempat persembunyian hewan yang diburu. Sedangkan untuk menangkap ikan biasanya mereka menggunakan bubu, kalak, empang, unek, pancing, tanggup, tantai dan lain-lain. Ada juga cara menagkap ikan dengan menuba yaitu menggunakan cairan dari akar tuba yang dilarutkan untuk memabukan ikan sehingga gampang ditangkap. Namun orang yang menggunakan cara ini harus memperhatikan norma-norma adat setempat yang berlaku. Jika terjadi pelanggaran, maka ia dapat dikenai sangsi berupa denda adat. Senjata. Suku Dayak pada umumnya memiliki senjata yang dinamakan Mandau Pada jaman dulu jika terjadi peperangan, suku Dayak pada umumnya menggunakan senjata khas mereka, yaitu mandau. Mandau merupakan sebuah pusaka yang secara turun-temurun yang digunakan oleh suku Dayak dan dianggap sebagai sebuah benda keramat. Selain digunakan pada saat peperangan mandau juga biasanya dipakai oleh suku Dayak untuk menemani mereka dalam melakukan kegiatan keseharian mereka, seperti menebas atau memotong daging, tumbuh-tumbuhan, atau benda-benda lainnya yang perlu untuk di potong. Biasanya orang awam akan sering kebingungan antara mandau dan ambang. Orang awam atau orang yang tidak terbiasa melihat atau pun memegang mandau akan sulit untuk membedakan antara mandau dengan ambang karena jika dilihat secara kasat mata memang keduanya hampir sama. Tetapi, keduanya sangatlah berbeda. Namun jika kita melihatnya dengan lebih detail maka akan terlihat perbedaan yang sangat mencolok, yaitu pada mandau terdapat ukiran atau bertatahkan emas, tembaga, atau perak dan mandau lebih kuat serta lentur, karena mandau terbuat dari batu gunung yang mengandung besi dan diolah oleh seorang ahli. Sedangkan ambang hanya terbuat dari besi biasa, seperti besu per mobil, bilah gergaji mesin, cakram kendaraan atau batang besi lain.

5

Mandau atau Ambang Birang Bitang Pono Ajun Kajau harus disimpan dan dirawat dengan baik ditempat khusus untuk penghormatan. Karena suku Dayak yakin bahwa mandau memiliki kekuatan spiritual yang mampu melindungi pemiliknya dari serangan atau niat jahat dari lawan-lawannya. Dan mandau juga diyakini dijaga oleh seorang perempuan, dan jika pemilik mandau tersebut bermimpi bertemu dengan perempuan yang menghuni mandau, berarti sang pemilik akan mendapatkan rejeki. Mandau selain dibuat dari besi batuan gunung lalu diukir, pulang atau hulu mandau (tempat untuk memegang) dibuat berukiran dengan menggunakan tanduk kerbau untuk yang pulang-nya berwarna hitam. Dan menggunakan tanduk rusa untuk pulang yang berwarna putih. Pembuatan pulang dapat juga menggunakan kayu kayamihing. Pada bagian ujung dari pulang diberi atau ditaruh bulu binatang atau rambut manusia. Untuk dapat melengkatkan sebuah mandau dengan pulang dapat menggunakan getah kayu sambun yang terbukti sangat kuat kerekatannya.Setelah itu kemudian diikat lagi dengan jangang, namun jika jangang sulit ditemukan dapat menggunakan uei (anyaman rotan). Besi mantikei yang digunakan untuk bahan baku pembuatan mandau dapat ditemukan didaerah Kerang Gambir, sungai Karo Jangkang, sungai Mantikei anak sungai Samba simpangan sungai Katingan, dan desa Tumbang Atei. Tidak lengkap kiranya jika mandau tidak memiliki kumpang. Kumpang ialah sebutan sarung untuk mandau, kumpang mandau merupakan tampat masuknya mata mandau biasanya dilapisi tanduk rusa. Pada kumpang mandau diberi tempuser undang, yaitu ikatan yang terbuat dari anyaman uei (rotan). Pada bagian depan kumpang dibuat sebuah sarung kecil tempat menyimpan langgei puai. Langgei puai adalah sejenis pisau kecil sebagai pelengkap mandau. Tangkainya panjang sekitar 20 cm dari mata anggei, bentuknya lebih kecil dari pada 6

tangkainya. Fungsi dari langgei puai adalah untuk menghaluskan atau membersihkan benda-benda, contohnya rotan. Sarung atau kumpang langgei selalu melekat pada kumpang mandau. Sehingga dapat dikatakan bahwa antara mandau dan langgei puai adalah sebuah kesatuan yang tidak dapat terpisahkan. Sipet/Sumpitan. Merupakan senjata utama suku dayak. Bentuknya bulat dan berdiameter 2-3 cm, panjang 1,5 - 2,5 meter, ditengahtengahnya berlubang dengan diameter lubang - cm yang digunakan untuk memasukan anak sumpitan (Damek). Ujung atas ada tombak yang terbuat dari batu gunung yang diikat dengan rotan dan telah di anyam. Anak sumpit disebut damek, dan telep adalah tempat anak sumpitan. Lonjo/Tombak. Dibuat dari besi dan dipasang atau diikat dengan anyaman rotan dan bertangkai dari bambu atau kayu keras.

Telawang / Perisai. Terbuat dari kayu ringan, tetapi liat. Ukuran panjang 1 2 meter dengan lebar 30 50 cm. Sebelah luar diberi ukiran atau lukisan dan mempunyai makna tertentu. Disebelah dalam dijumpai tempat pegangan. Dohong. Senjata ini semacam keris tetapi lebih besar dan tajam sebelah menyebelah. Hulunya terbuat dari tanduk dan sarungnya dari kayu. Senjata ini hanya boleh dipakai oleh kepala-kepala suku, Demang, Basir. Pakaian. Sistem teknologi tidak hanya sebatas peralatan saja, namun termasuk didalamnya pakaian. Pakaian dalam arti seluas-luasnya juga merupakan suatu benda kebudayaan yang sangat penting untuk hampir semua suku bangsa di dunia. Dipandang dari sudut bahan mentahnya pakaian dapat diklasifikasikan kedalam: pakaian dari bahan tenun, pakaian dari kulit pohon, dan pakaian dari kulit binatang, dan lain-lain. Teknik pembuatannya pun ada yang dengan cara menenun ataupun

7

memintal, kemudian ada juga cara menghias kain tenun dengan teknik-teknik seperti teknik ikat, teknik celup (batik) dan sebagainya. Tenun doyo adalah kain tradisional hasil kerajinan tangan kaum perempuan suku Dayak Benuaq di Tanjung Isuy (ibukota Kecamatan Jempang), Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur. Tenun yang terbuat dari serat tanaman doyo ini biasa dipakai oleh suku Dayak Benuaq dalam upacara-upacara adat dan digunakan sebagai mahar pada upacara perkawinan. 1. Asal Usul Tenun Doyo Sejak berabad-abad yang silam, suku Dayak Benuaq dikenal sebagai perajin tenun doyo. Namun, tidak diketahui secara pasti sejak kapan mereka mulai mengembangkan seni kriya ini hingga ke daerah Tanjung Isuy, Kabupaten Kutai Barat. Beberapa sumber mengatakan bahwa tenun doyo sebelumnya pernah berkembang di dalam suku Ot Danum dari Kalimantan Selatan (Usman Achmad, et al., 1994/1995:12). Menurut Widjono (1998:77), suku Ot Danum termasuk dalam keluarga Barito. Namun, karena tanaman doyo (curculigo latifolia lend) sebagai bahan baku untuk membuat tenun doyo semakin sukar didapatkan menyebabkan sebagian dari suku Ot Danum pindah ke daerah Kalimantan Tengah (Achmad, et al., 1994/1995:11). Mereka itulah kemudian dikenal dengan suku Lewangan atau suku Luangan. Suku Lewangan tidak begitu lama menetap di Kalimantan Tengah karena tanaman doyo sukar untuk dikembangkan di daerah tersebut. Suku Lewangan kemudian pindah lagi ke daerah Kalimantan Timur dengan melewati alur-alur sungai dan daerah pegunungan (Dalmasius Madrah T., 2002:4). Mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai suku Dayak Benuaq. Suku Dayak Benuaq sebagian besar menempati daerah-daerah yang ada di Kabupaten Kutai Barat, khususnya Kecamatan Jempang. Di kecamatan ini, mereka tersebar lagi ke beberapa desa seperti Tanjung Isuy, Pentat, Muara Nayan, dan Lempunah. Tanjung Isuy yang merupakan ibukota Kecamatan Jempang adalah desa yang paling dikenal sebagai sentral industri rumah tangga tenun doyo di daerah Kalimantan Timur. Sejak akhir 1970-an, desa ini ramai dikunjungi oleh para wisatawan domestik maupun mancanegara untuk berbelanja kain tenun doyo. Tenunan khas suku Dayak Benuaq ini digemari oleh wisatawan karena motif dan bahannya yang alami.

8

Bahan baku yang digunakan untuk membuat tenun doyo diambil dari serat daun tanaman doyo. Maka sebab itulah tenun ini dinamakan dengan tenun doyo. Serat daun doyo diperoleh dengan cara memotong daun tanaman doyo sepanjang 1-1,5 meter, lalu direndam ke dalam air sungai hingga daging daun hancur. Setelah itu, daun yang telah hancur dikerik dengan menggunakan sebilah pisau bambu untuk memisahkannya dari tulang tengah daun doyo sehingga yang tersisa hanya seratnya. Serat itulah yang dibuat benang oleh kaum perempuan suku Dayak Benuaq untuk ditenun, dan kemudian diolah menjadi destar (laukng), baju atau kemeja, celana pendek, kopiah, dompet, tas, hiasan dinding, dan lain sebagainya. Tenun doyo memiliki warna dan motif yang beragam. Warna yang paling menonjol pada tenun ini adalah warna merah, hitam, dan coklat muda. Sementara itu, motif yang sering digunakan adalah motif flora, fauna, dan alam mitologi. Bahan baku untuk pewarna motif tenun doyo biasanya diambil dari batu lado, biji buah glinggam, daun putri malu, umbi kunyit, dan getah akar kayu oter. Salah satu ciri khas tenun doyo dan yang membedakannya dengan tenun tenun ikat di daerah lain adalah adanya titik-titik hitam yang muncul pada bidang yang berwarna terang. Menurut Achmad, et al., penggunaan motif atau ragam hias pada tenun doyo tidak saja mengandung nilai-nilai estetika yang mengagumkan, tetapi juga mengandung nilai-nilai fungsional yang bersifat rohaniah (Achmad, et al., 1994/1995:35). Begitu pula penggunaan warna-warna tertentu pada tenun ini juga memiliki arti simbolik. Misalnya, warna hitam pada laukng (destar) dan tapeh (sarung atau kain panjang) menandakan bahwa pemeliaten atau pemakainya memiliki pengetahuan dan kemampuan menolak sihir hitam. Jika pada warna hitam itu terdapat garis-garis putih, maka hal itu menandakan bahwa pemakainya dapat mengobati segala bentuk sihir dan berbagai macam penyakit (Mohd. Noor, et al., 1990: 134-135). Tenun doyo dapat dipakai oleh kaum laki-laki maupun perempuan dari suku Dayak Benuaq dalam berbagai kegiatan seperti pada upacara-upacara adat, taritarian, dan untuk pakaian sehari-hari. Kain tenun doyo yang dikenakan sehari-hari biasanya berwarna hitam, sedangkan pada upacara-upacara adat, kain tenun diberi hiasan berwarna-warni yang bermotif bunga atau dedaunan. Kaum perempuan biasanya mengenakan baju kebaya tanpa lengan (sape sonakng) dan berlengan

9

panjang, sedangkan kaum pria hanya mengenakan baju kemeja tanpa lengan yang dikombinasikan dengan celana pendek. Pada mulanya, kain tenun doyo tidak diproduksi secara besar-besaran oleh kaum perempuan suku Dayak Benuaq karena kain tenun ini baru merupakan barang antik dan untuk pakaian sehari-hari. Namun, dengan perkembangan teknologi dan komunikasi yang semakin modern, keberadaan tenun doyo di Desa Tanjung Isuy semakin banyak dikenal oleh masyarakat luas. Hingga saat ini, kerajinan tenun doyo merupakan salah satu sumber mata pencaharian bagi suku Dayak Benuaq di Desa Tanjung Isuy. Sedikitnya terdapat lebih kurang 150 kepala keluarga yang berprofesi sebagai perajin tenun doyo di desa tersebut. Dengan menjadikan tenun doyo sebagai sumber ekonomi, suku Dayak Benuaq telah menunjukkan kepeduliaannya dalam melestarikan salah satu warisan budaya bangsa. 2. Bahan-bahan Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat tenun doyo dibagi menjadi dua bagian, yaitu bahan baku dan bahan pewarna. a. Bahan Baku Bahan baku utama yang digunakan untuk membuat tenun doyo adalah serat daun tanaman doyo. Tanaman yang menyerupai tanaman pandan ini banyak tumbuh secara alamiah di Desa Tanjung Isuy dan sekitarnya (Noor, et al., 1990:133). Tanaman yang tumbuh secara berkelompok ini terdiri dari beberapa bagian, yaitu batang induk, tanaman muda yang tumbuh mengelilingi induknya, dan beberapa sulur yang tumbuh pada pangkal batang. Secara umumnya, tanaman doyo memiliki ciri-iri seperti berikut: Daunnya berbentuk panjang dan runcing pada ujungnya Panjang daunnya sekitar 80120 cm, dan lebarnya sekitar 1020 cm Serat daunnya sejajar dan beralur datar Tangkai daun membalut batangnya dengan panjang sekitar 70-112 cm Batang dan daunnya berwarna hijau kekuningan hingga hijau muda (Achmad, et.al., 1994/1995:13). Tanaman doyo yang banyak tumbuh di daerah tersebut memiliki beberapa varietas dan ciri-ciri yang berbeda. Suku Dayak Benuaq menggolongkan tanaman doyo ke dalam 6 (enam) varietas. Namun, dua dari keenam variates 10

tersebut tidak dapat dijadikan sebagai bahan tenun karena tidak memiliki serat. Oleh karena itu, variates yang akan disebutkan berikut ini hanya yang memiliki serat untuk dijadikan sebagai bahan tenun, yaitu: 1) Doyo temoyo Doyo temoyo merupakan varietas tanaman doyo yang paling baik (nomor 1). Ciri-cirinya adalah bentuk daunnya agak langsing dan melengkung, berwarna hijau muda, dan urat daunnya tidak terlalu keras. Varietas ini terdapat di Desa Mencong dan Desa Perigi, Kecamatan Jempang. 2) Doyo pentih Serat doyo pentih hampir sama dengan serat doyo temoyo. Hanya warna daun dan tangkainya yang membedakan kedua varietas tersebut. Daun doyo pentih berwarna hijau kekuningan dan lebih tahan terhadap sinar matahari 3) Doyo biang Ukuran daun dan tangkai daun doyo biang ini lebih panjang dan lebih lebih dari doyo temoyo dan doyo pentih. Panjang daun varietas ini bisa mencapai 150 cm dan lebar 25 cm, sedangkan panjang tangkai daun bisa mencapai 113 cm 4) Doyo tulang Ukuran daun doyo tulang lebih kecil daripada doyo biang dan doyo pentih. Namun, daun varietas ini agak tegak dan lentur karena tulangnya lebih keras. Oleh karena itu, serat daunnya akan pecah-pecah ketika dikerik (Achmad, et al., 1994/1995:15-16). Selain keempat varietas tanaman doyo tersebut di atas, para perajin di Tanjung Isuy juga menggunakan benang katun, serat nanas, dan bahan-bahan tekstil lainnya sebagai kombinasi kain tenun doyo sehingga proses pembuatannya lebih cepat. Penggunaan bahan-bahan tekstil selain tanaman doyo tersebut tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh yang datang dari luar.

b. Bahan Pewarna Pada dasarnya, warna asli serat doyo untuk bahan tenun adalah berwarna putih atau krem. Agar warna kain tenun doyo menjadi bervariasi dengan motifmotif yang indah, maka digunakan berbagai jenis bahan pewarna. Adapun jenis warna dan bahan pewarna yang biasa digunakan dalam tenun doyo adalah sebagai berikut: 11

1) Warna hitam Warna ini diperoleh dari asap hasil pembakaran damar yang dicampur dengan cairan pekat. Selain itu, bahan pewarna hitam juga dapat diperoleh dari daun pohon kebuau yang sudah tua. Serat daun kebuau tersebut direbus bersama dengan serat daun doyo sehingga serat tersebut menjadi berwarna hitam. 2) Warna merah Bahan pewarna merah untuk tenun doyo terdiri dari tiga macam, yaitu: Batu alam atau batu lado. Batu alam yang diperoleh dari Sungai Lawa Bentian Besar di daerah Tanjung Isuy ini hanya merupakan alat untuk memberi warna merah pada tenun. Caranya adalah batu ini digosokkan pada piring putih dengan sedikit campuran air, kemudian dicoletkan pada benang tenun. Biji buah glinggam (annatto bixa orellana) yang agak tua. Caranya adalah beberapa biji buah glinggam yang telah dicampur dengan air diremas di dalam mangkuk hingga mengeluarkan cairan berwarna merah kental. Setelah itu, cairan berwarna merah tersebut dioleskan atau dicoletkan pada benang tenun. Kulit batang pohon uar. Kulit pohon ini dikupas dan dipotong-potong, kemudian ditumbuk hingga air getahnya keluar, dan selanjutnya direndam selama satu malam hingga airnya menjadi merah tua. Setelah itu, serat daun doyo direndam dalam air getah kulit uar selama beberapa jam hingga serat tersebut menjadi merah.

Buah Glinggam untuk pewarna merah pada tenun doyo

12

3) Warna hijau Warna ini dapat diperoleh dari daun putri malu (aminosa pudica) dengan cara terlebih dahulu dilumatkan, kemudian direbus hingga berwarna hijau kental, dan selanjutnya dioleskan pada benang tenun. 4) Warna kuning Warna ini diambil dari umbi kunyit (curcuma longa) dengan cara diparut dan diberi air sedikit, kemudian diperas hingga mengeluarkan cairan berwarna kuning kental, dan selanjutnya dioleskan pada benang tenun. 5) Warna coklat Warna ini diperoleh dari akar kayu oter dengan cara diambil getahnya dan kemudian dioleskan pada benang tenun (Achmad, et al., 1994/1995:22-23). Dewasa ini, para perajin sudah banyak yang menggunakan bahan sepuhan kue sebagai bahan pewarna dan cat warna rhodamine (I.C.I.) untuk pencelupan benang tenun. Hanya saja cat warna yang juga biasa digunakan sebagai bahan pewarna makanan ini daya tahannya terhadap air sangat rendah.

c. Peralatan Peralatan yang digunakan untuk menenun kain doyo terdiri beberapa komponen, yaitu antara lain:1. 2.

pengampat atau ikat pingggang. Alat ini biasa juga disebut band apit atau penjepit, yaitu berfungsi untuk menggulung pangkal tenun. Oleh karena itu, alat ini biasa juga disebut penggulung kain

3. 4. 5. 6.

blira atau penumbuk. Alat ini biasa juga disebut parang-parang. buyun atau sisir, yaitu berfungsi untuk menyusun benang. telonk atau bambu, yaitu berfungsi sebagai pembuka benang parasai merua atau bambu tipis selebar 2 cm, yaitu berfungsi untuk memisahkan benang

7. 8. 9.

gigi, yaitu berfungsi mengatur benang lungsi duat atau bambu, yaitu berfungsi sebagai pengait benang lungsi daag, yaitu berfungsi untuk memasang rangkaian benang tenun atau tangga pijatan kaki, yaitu berfungsi sebagai pengencang benang

10. tukar

tenun11. tukar

tekuat atau sekoci dari kayu, yaitu berfungsi sebagai tempat benang

yang akan ditenun pada benang lungsi (Achmad, et al., 1994/1995:27-28). 13

d. Cara pembuatan Secara garis besar, proses pembuatan tenun doyo terdari dari dua tahap, yaitu tahap pengolahan bahan baku dan tahap penenunan. 1. Pengolahan Bahan Baku Langkah pertama dalam pengolahan bahan baku adalah pengambilan daun doyo di hutan. Proses pengambilan ini biasanya dilakukan oleh kaum lakilaki maupun kaum perempuan dengan menggunakan mandau. Jumlah daun doyo yang dibutuhkan untuk sekali pengambilan sekitar 60-100 lembar dengan waktu sekitar lebih kurang 2 jam. Daun doyo yang dipilih adalah daun yang masih tergolong muda dari varietas doyo temoyo atau pentih. Daun tersebut dipotong sepanjang lebih kurang 1-1,5 meter. Untuk setiap pohon doyo diambil dua atau tiga lembar, dan untuk setiap rumpunnya dipilih tangkai nomor dua hingga nomor lima. Tangkai nomor dua dan tiga digunakan untuk bahan tenun, sedangkan tangkai nomor empat dan lima biasanya digunakan sebagai pengikat serat pada pencelupan serat ke dalam bahan pewarna. Untuk sekali pengambilan Daun serat yang telah dipilih segera dibawa ke sungai untuk diambil seratnya. Sebelum pengambilan serat dilakukan terlebih dahulu daun doyo direndam di dalam air hingga daging daunnya hancur. Setelah itu, serat diambil dengan cara dikerik dengan menggunakan sebilah pisau bambu yang panjangnya sekitar 20 cm dan lebar 4 cm. Pengerikan serat sebaiknya dilakukan pada air sungai setinggi lutut dengan posisi menghadap ke hilir sungai. Selain itu, proses pengerikan diusahakan di aliran air sungai yang 14

deras agar posisi serat tetap lurus ke depan si pengerik dan tidak kusut. Semakin deras aliran air maka semakin baik pula hasilnya.

Pengrajin sedang mengerik daun doyo di sungai

Selama proses pengerikan berlangsung, posisi serat harus tetap berada di dalam air karena jika serat tersebut terkena udara akan berubah menjadi warna merah atau coklat tua. Jika serat tersebut telah berubah menjadi warna merah atau coklat, maka akan sulit untuk dihilangkan (luntur). Serat yang telah dikerik tidak langsung diangkat atau dimasukkan dalam wadah, akan tetapi dikaitkan pada dua batang kayu atau bambu yang ditancapkan di dasar sungai agar sisa-sisa getah pada serat tersebut larut dan hanyut di dalam air sungai. Proses pengerikan ini biasanya membutuhkan waktu sekitar satu jam. Setelah proses pengerikan selesai, serat tersebut dibawa pulang ke rumah untuk dijemur dengan cara digantung hingga benar-benar kering dan siap untuk ditenun (Achmad, et al., 1994/1995:17-22).

Pengrajin sedang menjemur serat daun doyo di depan rumah

15

2. Proses Penenunan Setelah serat dan peralatan disiapkan, maka proses penenunan dapat segera dimulai. Adapun tahap-tahap dalam proses pembuatan tenun doyo adalah sebagai berikut: a. Moyong doyo (memintal) Dalam proses pemintalan, serat-serat doyo dibelah menjadi 2 sampai 3 mm dengan menggunakan pisau. Setelah itu, serat-serat yang dibelah tersebut kemudian dipilin hingga menjadi benang. b. Ngukui (menyambung benang) Proses penyambungan benang ini dapat dikatakan tergolong mudah, namun memerlukan kesabaran. Benang-benang doyo yang telah dipintal disambung dengan satu demi satu dengan cara disimpul rapat hingga sepanjang 100 sampai 200 meter.

Pengrajin sedang menyambung serat doyo untuk dijadikan benang

c. Muntal lawai (menggulung benang) Setelah proses penyambungan selesai, benang-benang tersebut digulung seperti bola sebesar kepalan tangan yang disebut muntal lawai. Benang dengan ukuran panjang 200 meter biasanya mencapai sepuluh gulungan. d. Ngorak uta (menyusun corak) Dalam penyusunan corak dibutuhkan sebuah alat yang disebut ngorak uta. Alat ini digunakan untuk menyusun dan mengencangkan benang-benang hingga rapi. Itulah sebabnya proses penyusunan corak ini disebut juga ngorak uta. Proses penyusunan corak ini memerlukan waktu yang cukup lama, yaitu sekitar 2 sampai 3 minggu agar susunan benang-benang tersebut dapat lebih rapi. 16

e. Telegat (mengikat) Proses pengikatan ini disebut juga telegat karena menggunakan alat yang bernama telegat. Alat ini berfungsi untuk mengikat dan melipat benang yang tidak kencang menjadi dua. f. Nyarau (pewarnaan) Setelah pengikatan selesai, benang-benang dilepas dari telegat untuk selanjutnya diwarnai. Jika sebuah kain tenun akan diberi beberapa warna, maka warna pertama yang harus dituangkan pada benang adalah warna yang paling rendah intensitasnya, seperti warna kuning, hijau, merah, dan hitam. Jika permukan kain tenun tidak terlalu lebar, maka proses pewarnaan cukup dilakukan dengan dicolet pada benang yang masih terpasang di telegat. Kecuali pada proses pewarnaan hitam, benang harus dilepas dari telegat untuk dicelupkan pada bahan pewarna karena warna hitam merupakan warna dasar yang memerlukan bidang yang luas. Proses pewarnaan biasanya memakan waktu selama satu malam (Achmad, et al., 1994/1995:17-22). Setelah diberi warna dan motif-motif tertentu, kain tersebut kemudian dikeringkan. Namun, seluruh ikatan pada telegat tersebut terlebih dahulu dilepaskan. Setelah kering, kain tersebut kembali dipasang pada alat ngorak uta agar benangnya menjadi lebih kencang. Setelah itu, lembaran kain dilepas dari ngorak uta dan motif-motif yang masih kurang jelas atau terputus-putus disambung atau dirapikan sehingga menghasilkan motif yang sempurna. Selanjutnya, pangkal ikatan di pinggir kain dipotong dan dijahit sehingga terbentuklah lembaran kain doyo yang siap untuk diproses menjadi pakaian seperti baju, celana, kopiah, dompet, tas, dan lain sebagainya.

e. Ragam Hias Ragam hias pada kain tenun doyo pada umumnya hampir sama dengan ragam hias yang diterapkan pada kain tenun di daerah lain di Nusantara. Motifmotif yang paling menonjol pada tenun doyo adalah motif dengan gaya swastika, misalnya pada motif timang atau harimau (Achmad, et al., 1994/1995:29). Motif dengan gaya swastika pada tenun doyo diperkirakan mendapat pengaruh dari tenunan Gujarat, India, yang dibawa oleh para pedagang-pedagang Islam yang datang ke Indonesia hingga sampai ke daerah 17

Kalimantan (Achmad, et al., 1994/1995:11). Kini, tenun doyo memiliki puluhan jenis ragam hias atau motif yang sudah banyak dikenal oleh masyarakat luas. Ragam hias atau motif-motif tersebut adalah sebagai berikut: 1. Motif naga, yaitu melambangkan keayuan seorang wanita 2. Motif limar atau perahu, yaitu lambang kerja sama dalam usaha. Perahu dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Dayak Benuaq merupakan alat transportasi yang di sungai dan di danau 3. Motif kimas atau ikan, yaitu bermakna sebagai suatu pertanda atau peringatan berupa nasehat dari leluhur kepada generasi penerusnya 4. Motif timang atau harimau, yaitu melambangkan keperkasaan seorang pria 5. Motif tangga tukar toray atau tangga rebah atau terbalik, yaitu bermakna melindungi usaha dan kerjasama dalam masyarakat 6. Motif tipak mening knowala atau gigi graham, yaitu melambangkan peran orangtua dalam suatu kerjasama atau bermasyarakat 7. Motif timang nuat atau harimau yang tunduk, yaitu melambangkan suatu harapan agar keperkasaan atau keberanian seseorang tidak boleh lemah atau pudar

8.

Motif timang sesat sungkar atau tangga harimau, yaitu melambangkan agar kerjasama dan usaha masyarakat harus senantiasa tegar dan berani untuk mencapai cita-cita

9.

Motif tengkulut tongau atau patung, yaitu sebagai lambang kepercayaan masyarakat setempat tentang kehidupan di alam lain setelah manusia mengalami kematian. Oleh karena itu, patung itu memegang peranan penting dalam upacara kwangkai

10. Motif brabang atau senduk yang bersusun-susun, yaitu melambangkan kemewahan dan kesenangan seseorang 11. Motif upak talang atau kulit bambu, yaitu melambangkan kesuburan 18

12. Motif wahi nunuk atau akar pohon beringin, yaitu melambangkan keberhasilan suatu pekerjaan yang tergantung pada kerjasama di dalam masyarakat 13. Motif tempaku atau pinggiran tenun yang berbentuk tumpal, yaitu melambangkan keberhasilan yang sempurna suatu usaha 14. Motif tekulut atau katak, yaitu melambangkan akhir dari suatu pekerjaan 15. Motif tekuran atau titik-titik hujan, yaitu melambangkan kesuburan lingkungan si perajin tenun 16. Motif tapus tongan atau kembang anggrek, yaitu melambangkan kesuburan generasi muda untuk mencapai cita-cita 17. Motif rakang atau kembang penggerek kelapa, yaitu melambangkan suatu masalah kecil yang lama-kelamaan akan membawa petaka besar 18. Motif pupu atau kupu-kupu, yaitu melambangkan harapan dan kesuburan 19. Motif pucuk rebun atau bambu muda, yaitu melambangkan kekuatan dari dalam dan secara abstrak menggambarkan manusia itu sendiri (Achmad, et al., 1994/1995:30-34).

f. Jenis dan Fungsi Tenun Doyo Berdasarkan jenis dan fungsinya, tenun doyo dibagi menjadi tiga macam yaitu, pakaian untuk upacara-upacara adat, pakaian untuk tari-tarian, dan pakaian sehari-hari. 1. Pakaian untuk Upacara Adat Dalam masyarakat suku Dayak Benuaq dikenal berbagai macam upacara adat. Pelaksanaan setiap upacara adat tersebut berdasarkan pada kepercayaan nenek moyang. Menurut mereka, arwah nenek moyang yang sudah meninggal akan selalu memperhatikan dan melindungi anak cucunya yang masih hidup. Mereka juga meyakini bahwa alam semesta ini dihuni oleh makhluk-makhluk halus yang memiliki roh baik dan roh jahat, yang dapat membahagiakan dan mencelakakan manusia. Itulah sebabnya, mereka sangat menghormati arwah nenek moyang dan arwah makhluk-makhluk halus. Bentuk penghormatan tersebut diwujudkan melalui upacara-upacara adat (Noor, 1990:112-113). Menurut kepercayaan mereka, jika upacara adat tersebut dilaksanakan secara lengkap, maka arwah yang meninggal akan mencapati tempat yang 19

tinggi dan mendapat kebahagiaan di Gunung Lumut. Di samping itu, arwah tersebut akan memberikan kekuatan kepada cucunya untuk berusaha memperoleh kebahagiaan di dunia (Noor, 1990:121). Oleh karena itu, suku Dayak Benuaq selalu berupaya melaksanakan setiap upacara secara lengkap, dalam artian berupaya memenuhi segala perlengkapan upacara yang diperlukan menurut kepercayaan mereka. Salah satu perlengkapan yang memiliki peranan penting dalam upacara tersebut adalah tenun doyo. Tenun doyo dapat dipakai oleh kaum laki-laki maupun kaum perempuan dalam upacara memelas kampung, erau padi, kwangkai, dan perkawinan. Bahkan, tenun doyo sering digunakan sebagai mahar atau mas kawin dalam upacara perkawinan. Jenis pakaian dari tenun doya yang biasa dikenakan kaum laki-laki dalam upacara adat adalah kesapung, sapai, dan belet begamai (cancut). Sementara itu, jenis pakaian dari tenun doyo yang dipakai oleh kaum perempuan adalah sapai atau sape (baju), dan ketau atau tapeh (sarung, kain) yang biasanya dilengkapi dengan hiasan tambahan (Achmad, et al., 1994/1995:13). 2. Pakaian untuk Tari-tarian Adat Masyarakat suku Dayak Benuaq juga mengenal berbagai macam tarian yang biasanya diadakan dalam upacara-upacara adat. Salah satu tarian tersebut adalah tari ngerangkaw. Tari ini biasanya diadakan pada upacara kenyau dan kuangkai. Upacara kenyau adalah upacara kematian yang dilaksanakan selama sembilan hari sembilan malam sedangkan upacara kuangkai adalah upacara penanaman kembali tulang dan tengkorak orang yang telah dikuburkan. Upacara kuangkai ini dilaksanakan selama empat belas hari empat belas malam. Tari ngerangkaw diadakan pada malam kelima dalam upacara kenyau, dan malam keempat dalam upacara kuangkai. Menurut kepercayaan mereka, pelaksanaan tari tersebut bertujuan untuk menghibur meghibur orang-orang yang sudah meninggal (Noor, 1990:121). Tari ngerangkaw biasanya dilakukan oleh kaum laki-laki dan kaum perempuan yang terdiri dari pengawara atau penyentangih (pemimpin upacara), pihak keluarga yang meninggal, dan para tamu undangan. Pada masa sebelum suku Dayak Benuaq mengenal tenun doyo, para penari tersebut mengenakan pakaian dari kulit kayu yang terbuat dari pohon jomoq. Penari laki-laki biasanya dilengkapi dengan topi yang terbuat dari anyaman 20

rotan dan dihiasi dengan kulit pohon jomoq. Khusus pada bagian depan topi yang dikenakan oleh pemimpin penari biasanya dipasang hiasan menyerupai tanduk kerbau yang terbuat dari kayu (Noor, 1990:122). Kini, pakaian para penari telah diganti dengan pakaian yang terbuat dari tenun doyo. Jenis tenun doyo yang dikenakan kaum laki-laki adalah kesapung (topi), sapai atau sape (baju), dan belet begamai. Sementara itu, jenis tenun doyo yang dikenakan para penari perempuan adalah sapai atau sape, dan ketau atau tapeh (Achmad, et al., 1994/1995:14). 3. Pakaian Sehari-hari Sebelum masyarakat suku Dayak Benuaq mengenal tenun doyo, pakaian sehari-hari yang mereka kenakan kebanyakan terbuat dari kayu jomoq. Dalam perkembangannya, saat ini mereka umumnya telah mengenakan pakaian sehari-hari dari tenun toyo. Jenis pakaian sehari-hari yang biasa dipakai kaum laki-laki adalah sapai sonaaq (baju), belet betaaq (cancut atau cawat), dan kesapung (topi). Sementara itu, jenis pakaian sehari-hari untuk kaum perempuan adalah sapai (baju) leher bundar, ketau atau tapeh, dan seraung (tutup kepala) (Achmad, et al., 1994/1995:14). Kini, pakaian sehari-hari suku Dayak Benuaq telah mengalami banyak perubahan, baik bagi mereka yang berdiam di kota-kota maupun yang tinggal di desa-desa. Pakaian tradisional sehari-hari yang dikenakan pada umumnya mengikuti cara dan model suku-suku lain di Indonesia. Perubahan cara berpakaian ini mulai terjadi pada masa sebelum perang dunia II, yakni sekitar tahun 1911. Pada masa itu, para misionaris Khatolik mulai mendirikan sekolah di Laham, Kecamatan Long Ira. Daerah ini merupakan wilayah kediamaan suku Bahau, suku Penihing, suku Long Gelat, dan suku Tunjung. Kemudian mereka memperluas penyebaran agama Kristen hingga ke daerah kediaman suku Dayak Benuaq. Dalam misinya, kaum misionaris tidak saja menyebarkan agama Kristen, tetapi juga berusaha untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, termasuk mengenalkan jenis dan cara berpakaian kepada masyarakat setempat (Noor, 1990:121-122).

g. Nilai-nilai Tenun doyo yang merupakan hasil kerajinan tangan suku Dayak Benuaq tidak saja berfungsi sebagai pelindung dari cuaca panas dan dingin, tetapi juga 21

mengandung berbagai macam nilai. Nilai-nilai tersebut dapat diketahui dengan melihat pada fungsi-fungsi yang lain serta memahami makna corak dan motif tenun ini. Nilai-nilai tersebut adalah nilai budaya, pemanfaatan sumber daya alam, dan nilai ekonomis. 1. Niali Budaya Secara fungsional, tenun doyo merupakan salah satu perlengkapan dalam upacara-upacara adat masyarakat suku Dayak Benuaq, seperti pada upacara kenyau dan kuangkai. Tenun ini memiliki peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan upacara adat tersebut. Oleh karena itu, keberadaan tenun doyo ini merupakan bentuk ekspresi dari keyakinan masyarakat suku Dayak Benuaq. 2. Nilai Kreativitas Dengan melihat pada bahan baku yang digunakan tenun doyo, maka kita dapat mengetahui bahwa masyarakat suku Dayak Benuaq memiliki pemahaman dan penghayatan yang luar biasa terhadap pemanfaatan sumber daya alam yang tersedia di sekitarnya. Melalui tanaman doyo mereka mampu menciptakan lembaran-lembaran kain berupa tenun doyo yang memiliki fungsi dan nilai-nilai estetis tinggi dalam kehidupan mereka. 3. Nilai Pemahaman terhadap Alam Nilai pemhaman terhadap alam dapat dilihat pada motif tenun doyo. Bagi para perajian di Desa Tanjung Isuy, alam merupakan sumber inspirasi untuk menciptakan motif-motif tenun, seperti motif flora, fauna, dan alam. Jadi, dengan melihat dan mempelajari motif-motif yang tertuang dalam tenun doyo, maka kita dapat mengetahui kondisi alam di mana masyarakat suku Dayak Benuaq hidup dan membangun kebudayaannya, serta mengetahui jenis-jenis flora dan fauna yang hidup di sekitar mereka. 4. Nilai Ekonomi Meskipun pada mulanya hanya merupakan barang antik, namun pada perkembangannya tenun doyo mampu mendatangkan nilai ekonomi bagi masyarakat suku Dayak Benuaq, khususnya para perajin yang tinggal di Desa Tanjung Isuy. Kini, tenun hasil kerajinan tangan suku Dayak Benuaq ini telah mampu menembus pasar nasional maupun internasional. Banyak pedagang yang sengaja datang ke Desa tanjung Isuy untuk membeli kerajinan tangan ini dalam jumlah besar untuk dijual ke daerah Pulau Jawa, Bali, dan 22

Malaysia. Oleh karena itu, para perajin dituntut untuk lebih menggali nilainilai ekonomi yang terkandung dalam tenun ini, sehingga keberadaan kain ini dapat memberikan manfaat lebih, tidak hanya bagi masyarakat setempat tetapi juga kepada masyarakat luas. 5. Nilai Pemberdayaan Perempuan Proses pembuatan tenun doyo memerlukan ketukanan, kecermatan, dan ketelitian yang tinggi. Maka sebab itulah pembuatan tenun doyo ini pada umumnya dilakukan oleh perempuan karena mereka dianggap lebih tekun, cermat, dan teliti dibandingkan dengan kaum laki-laki. Mulai dari proses pengolahan bahan baku dan proses penenun hingga menjadi lembaranlembaran kain tenun doyo semuanya dilakukan oleh kaum perempuan. Sementara itu, kaum laki-laki biasanya hanya berladang dan berburu di hutan. Dari sini tampak jelas bahwa melalui potensi yang dimiliki dengan didukung oleh sumber daya alam yang tersedia kaum perempuan suku Dayak Benuaq mampu menghasilkan sebuah kreasi yang bernilai tinggi, yaitu kain tenun doyo. 6. Nilai Pariwisata Keberadaan para perajin tenun doyo di Desa Tanjung Isuy menjadi desa tersebut sebagai salah satu obyek wisata kerajinan di Kalimantan Timur. Setiap tahun, desa ini ramai dikunjungin oleh para wisatawan, baik wisatawan domestik maupun mancanegara. Kedatangan para wisatawan ke desa ini tidak sekedar untuk berbelanja tenun doyo, tetapi juga mereka ingin menyaksikan secara langsung proses pembuatan tenun doyo yang dilakukan oleh kaum perempuan suku Dayak Benuaq tersebut. Oleh karena itu, keberadaan Desa Tanjung Isuy sebagai sentra kerajinan industri kain tenun doyo harus dikembangkan agar tetap memiliki daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Tempat berlindung atau rumah. Rumah-rumah yang ada terdiri dari beraneka macam warna dan bentuk. Biasanya rumah adat yang ada di Indonesia ataupun negara-negara lain terbuat dari serat, jerami, kayu, dan bambu. Dari sudut pemakaiannya, tempat berlindung dapat dibagi kedalam tiga golongan, yaitu (1) tadah angin, (2) tenda atau gubuk yang segera dapat dilepas, dibawa pindah, dan didirikan lagi, dan (3) rumah untuk menetap. Dipandang dari sudut fungsi sosialnya, berbagai macam rumah yang tersebut terakhir dapat dibagi kedalam (1) rumah tempat tinggal 23

keluarga kecil, (2) rumah tempat tinggal keluarga besar, (3) rumah suci, (4) rumah pemujaan, (5) rumah tempat berkumpul umum, (6) rumah pertahanan.

Sebagaimana masyarakat Dayak umummya, Dayak Benuaq juga mempunyai tradisi rumah panjang. Dalam masyarakat Dayak Benuaq, tidak semua rumah panjang: Lo-uu; Lamin ). Rumah panjang dapat disebut lou (lamin) jika mempunyai minimal 8 olakng. Olakng merupakan bagian/unit lou. Dalam satu olakng terdapat beberapa bilik dan dapur. Jadi olakng bukan bilik/kamar sebagaimana rumah besar, tetapi olakng merupakan sambungan bagian dari lou. Banyaknya olakng dalam rumah panjang bagi Suku Dayak Benuaq dapat menunjukkan level/bentuk kepemimpinannya. Itu sebabnya rumah panjang yang besar (lou) sering disebut kampong besar atau benua. Berdasarkan pengertian ini lou seringkali berkonotasi dengan kampong atau benua. Berdasarkan ukuran dan sistem kepemimpinan rumah panjang, masyarakat adat Dayak Benuaq membedakan rumah panjang sekaligus model pemukiman masyarakat sebagai: 1. Lou (lamin) 2. Puncutn Lou / Puncutn Benua 3. Puncutn Kutaq 4. Tompokng 5. Umaq (Huma / Ladang). Alat-alat Transpor. Manusia selalu bersifat mobil, tidak hanya dalam zaman mobil, kereta api, dan jet seperti sekarang ini, tetapi juga zaman prehistori, ektika semua manusia di dunia masih hidup dari berburu. Berdasarkan fungsinya, alat-alat transpor yang terpenting adalah (1) sepatu, (2) binatang, (3) alat seret, (4) kerete beroda, (5) rakit, dan (6) perahu. Pada banyak suku bangsa, sistem jalan sebagai jalur-jalur transpor tidak begitu penting, misalnya saja pada suku-suku bangsa yang tinggal di tepi-tepi sungai. Salah 24

satunya adalah Suku Dayak Benuaq. Pada suku bangsa ini mengenal dua tipe alat untuk bergerak di air, yaitu rakit dan perahu. Rakit dapat dibuat dari berbagai bahan enteng yang dapat mengapung di permukaan air, seperti batang-batang kayu, bambu, serat-serat, rumput-rumputan yang diikat menjadi satu. Perahu dapat juga dibuat dari berbagai macam bahan, seperti yang kita lihat pada bentuk-bentuk perahu dari berbagai suku bangsa di dunia, tetapi bentuk perahu yang paling sederhana adalah perahu lesung, atau dog-out canoe. Perahu ini terdiri dari sebuah balok kayu yang dibelah, kemudian dikeruk bagian dalamnya.

E. Sistem Mata Pencaharian Mata pencaharian atau usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup suatu kelompok masyarakat biasanya dipengaruhi oleh berbagai faktor. Demikian juga mata pencaharian suku Dayak Benuaq di Kalimantan Timur. Faktor geografis yang menyangkut kondisi alam tempat tinggal, latar belakang pendidikan, latar belakang sosial dan pola pikir juga kepercayaan adalah hal-hal yang mempengaruhi mata pencaharian suku Dayak Benuaq. 1. Bertani atau Berladang Jaman dahulu, sebelum pendidikan masuk hingga ke pelosok pemukiman tempat suku Dayak berada, maka kebanyakan masyarakat Dayak melakukan usaha berupa menggarap lahan disekitar tempat tinggal mereka.Tidak seperti masyarakat suku Jawa yang kebanyakan menanam padi di sawah, suku Dayak menanami lahan kebunnya dengan padi enam bulanan, jenis padi empat bulanan, dan juga tanaman penghasil buah misalnya singkong, ubi jalar, dan pisang. Karena kondisi tanah di Kalimantan yang lapisan humusnya tipis, maka cepat sekali lahan perkebunan suku Dayak kehilangan kesuburan. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kesuburan tanah, mereka kerap membakar lahan mereka, lantas membuka lahan baru. Pada kegiatan bertani yang dilakukan suku Dayak, tidak lepas dari perhatian akan pergantian musim, yaitu musim kemarau dan musim hujan. Selain itu mereka juga memperhatikan tanda-tanda alam yang dianggap sebagai waktu yang tepat untuk memulai mengerjakan lahan pertanian mereka. Tanda-tanda itu seperti petunjuk bintang di langit, bulan dan matahari. Masing-masing benda yang diangggap sebagai petunjuk itu memiliki nama dengan keadaan iklim cuaca yang dianggap berkenaan dengan musim menanam.

25

a. Bulan Penunjuk Musim Ada enam bentuk bulan sebagai penunjuk musim yang dihayati orang Benuaq menjadi pertanda kapan harus memulai pekerjaan menggarap ladang yaitu: 1) Nafit tampak pada saat Bintekng Piyuluq masih rendah, sebagai petunjuk orang mulai menugal atau tanam padi di ladang. 2) Karoq, adalah masa yang baik untuk menugal karena bertepatan dengan musim hujan. 3) Ketigaq, juga masa yang baik untuk menugal. 4) Bemanuk, masa yang tidak baik untuk menugal karena biasanya masa itu terjadi musim kemarau atai panas. 5) Lentokng Leokng, masa ini juga tidak bain untuk menugal karena masih berlangsungnya musim kemarau, namun baik untuk merumput yaitu megiatan kaum ibu membersihkan tanaman padi di ladang. 6) Katap Kanam, masa ini tidak baik untuk menugal karena keadaan musim yang tidak menentu berada pada proses peralihan cuaca. b. Bintekng Tautn Orang Benuaq mempunyai pedoman sebagai penunjuk musim dalam melaksanakan kegiatan berladang. Pedoman itu adalah bintang, baik bintang itu tampak secara tunggal maupun dalam rasi atau gugusan tertentu. Bintangbintang itu disebut Bintekng Tautn. Bintang-bintang yang perlu diperhatikan adalah: 1) Bintang Piyuluq (gugusan bintang kecil-kecil yang banyak sekali). Jika bintang itu tampak masih rendah, kira-kira setinggi mata hari pukul 10 atau 11, berarti masih baik untuk menugal atau menanam padi di ladang. 2) Bintekng Poti (Poti adalah alat jebakan babi yang terbuat dari kayu dan buluh diruncingkan salah satu ujungnya). Dikatakan Bintekng Poti karena rasi bintang itu bagaikan poti yaitu alat jebakan seperti di atas. 3) Bintekng Beapm Bawui. Bintang itu dikatakan Beapm Bawui karena bentik atau rasinya bagaikan dagu babi. 4) Bintekng Semuatn Bawui. Semuatn atinya adalah kubangan. Jika bantang itu tampak, maka menandakan akan atau sedang terjadi musim kemarau dimana biasanya kawanan babi hutan sering mandi-mandi dalam kubangan.

26

2. Mencari Buruan Dalam menunggu masa panen dari lahan dan kebun mereka, biasanya mata pencaharian suku Dayak pedalaman adalah berburu di hutan atau mencari ikan di sungai. Berbagai hewan buruan seperti babi hutan, burung, dan hewan lainnya dapat menjadi makanan sehari-harinya. Saat ini, karena pendidikan yang sudah banyak masuk ke kalangan mereka, maka pola berburu mulai berubah menjadi beternak. Biasanya hewan ternak mereka adalah babi, dan juga ayam. Selain untuk bahan makanan, babi juga merupakan binatang yang sering digunakan dalam berbagai upacara adat tradisional suku Dayak. 3. Pegawai dan Karyawan Beberapa putra daerah dari suku Dayak ada yang telah berhasil menempuh pendidikan hingga tingkat sarjana bahkan lebih tinggi lagi. Itu mulai merubah pola mata pencaharian suku Dayak. Mereka sudah banyak yang menjadi pegawai negeri, karyawan swasta, buruh, atau pun pejabat di pemerintahan. Beberapa juga telah kembali kepada sukunya dan mengabdi sebagai guru, kepala desa, atau bidan dan tenaga kesehatan lainnya. Membagi ilmu yang mereka dapat di bangku sekolah, dan menularkannya kepada saudara-saudaranya di kampung. Contoh beberapa putra daerah yang berhasil, seperti Korrie Layun Rampan seorang sastrawan dan Yurnalis Ngayoh, Wakil Gubernur Kalimantan Timur 1998-2003, 2003- 2006, Gubernur Kalimantan Timur 2006-2008.

F. Organisasi Sosial Sistem kekerabatan. Menurut Prof. Lambut dari (Univesitas Lambung Mangkurat), secara rasial, Suku Dayak dapat dikelompokkan menjadi: Dayak [Mongoloid] - Dayak [Melayu|Malayunoid] - Dayak [Australoid|Autrolo-Melanosoid] - Dayak [Heteronoid]. Mengenai nama Kutai, ada pendapat bahwa itu memang bukan menunjuk nama etnis seperti yang menjadi identitas sekarang. Sebaliknya ada yang berpendapat nama Kutai selain menunjuk pada teritori. Sumpah Palapa Patih Gajah Mada di Majapahit sempat menyebutkan Tunjung Kuta, ada pula yang mengatakan tulisan yang benar adalah Tunjung Kutai. Dulu dalam buku sejarah Kutai ditulis Kutei, padahal istilah Kutei justru merupakan istilah dalam Bahasa Tunjung Benuaq, entah kapan istilah tersebut berubah menjadi Kutai. Istilah Kutai erat pula dengan istilah Kutaq-Tunjung Kutaq dalam bahasa Benuaq. Di pedalaman Mahakam terdapat nama pemukiman (kota kecamatan) bernama Kota Bangun sekarang didiami etnis 27

Kutai. Menurut catatan Penjajah Belanda dulu daerah ini diami orang-orang yang memelihara babi, dan mempunyai rumah bertiang tinggi. Menurut Orang Tunjung Benuaq, istilah Kota Bangun yang benar adalah Kutaq Bangun. Demikian pula di sekitar Situs Sendawar ada daerah yang namanya Raraq Kutaq (di Kec. Barong Tongkok, Kota Sendawar ibukota Kutai Barat). Kutaq dalam bahasa Tunjung atau Benuaq berarti Tuan Rumah, jadi orang Tunjung Benuaq lebih dahulu/awal menyebut istilah ini dibandingkan versi lain yang menyebut Kutai berasal dari Bahasa Cina Kho dan Thai artinya tanah yang luas/besar. Nama Tenggarong (ibukota Kutai Kartanegara) menurut bahasa Dayak Orang Benuaq adalah Tengkarukng berasal dari kata tengkaq dan karukng, tengkaq berarti naik atau menjejakkan kaki ke tempat yang lebih tinggi (seperti meniti anak tangga), bengkarukng adalah sejenis tanaman akar-akaran. Menurut Orang Benuaq ketika sekolompok orang Benuaq (mungkin keturunan Ningkah Olo) menyusuri Sungai Mahakam menuju pedalaman mereka singgah di suatu tempat dipinggir tepian Mahakam, dengan menaiki tebing sungai Mahakam melalui akar bengkarukng, itulah sebabnya disebut Tengkarukng, lama-kelamaan penyebutan tersebut berubah menjadi Tenggarong sesuai aksen Melayu. Perhatikan pula nama-nama bangsawan Kutai Martadipura dan Kutai Kartenagara, menggunakan gelar Aji bandingkan dengan nama Aji Tullur Jejangkat pendiri Kerajaan Sendawar (Dayak) ayah dari Puncan Karna leluhur orang Kutai. Sisa kebudayaan Hindu yang sama-sama masih tersisa sebagai benang merah adalah Belian Kenjong, Belian Dewa serta Belian Melas/Pelas. Ketiga belian tersebut syair/manteranya menggunakan bahasa Kutai. Berikut disajikan istilah-istilah kekerabatan dalam Suku Dayak Benuaq. Ayah Ibu Kakek Nenek Adik Bapak (Paman) Adik Bapak (Bibi) Kakak (Lk) Bapak Kakak (Pr) Bapak Adik (Pr) Ibu Adik (Lk) Ibu Ipar Laki-laki Anak Inak Kakah Itak Tuaq Terek Tukan Tuaq Tukan Terek Inaq Tuah Ayu Song Anak dari Kakak Bapak Laki-laki Anaken Song Perempuan Nakate Bawe Anak dari Kakak Ibu Laki-laki Anaken Butung Perempuan Nakate Bawe Anak dari Adik Bapak & Ibu 28

Ipar Perempuan Mertua Laki-laki Mertua Perempuan Hubungan Mertua dengan Mertua Menantu Laki-laki Menantu Perempuan Cucu Laki-laki Cucu Perempuan

Ayu Bawe Tupuan Song Tupuan Bawe Mengacet Nantun Song Nantun Bawe Opon Song Opon Bawe

Perempuan Laki-laki Saudara sepupu sekali Saudara sepupu duakali Saudara sepupu tigakali

Anaknakan Bawe Anaknakan Song Nuar Sinai Nuar Anak Nuar Toluk

Adat istiadat. Masyarakat Suku Dayak Benuaq menganut sistem matrilineal. Dalam rangka pengelolaan alam semesta termasuk hubungan antar mahluk hidup dan kematiannya serta hubungan dengan kosmos, haruslah sesuai dengan adat istiadat dan tata karma yang telah diwariskan oleh nenek moyang orang Benuaq. Adat istiadat dan tata karma diwariskan sama tuanya dengan keberadaan Suku Dayak Benuaq di Bumi. Orang Suku Dayak Benuaq percaya bahwa Sistem Adat yang ada bukanlah hasil budaya, tetapi mereka mendapatkan dari petunjuk langsung dari Letalla melalui para Seniang maupun melalui mimpi. Orang Dayak Benuaq, percaya bahwa sistem adatnya telah ada sebelum negara ini lahir. Itu sebabnya mereka tidak menerima begitu saja, pendapat yang mengatakan bahwa dengan lahir Negara dan aturan dapat menghilangkan aturan Adat Istiadat Suku Dayak Benuaq. Paling tidak ada 5 pilar/tiang adat Suku Dayak Benuaq : 1. Adet 2. Purus 3. Timekng 4. Suket 5. Terasi Kelimanya harus dijalankan / menjadi pegangan dalam melaksanakan adat istiadat di Bumi, jika tidak akan terjadi ketidak adilan dan kekacauan di masyarakat. Selain itu penyimpangan baik sengaja maupun tidak sengaja oleh pemangku adat akan mendapat kutukan dari Nayuk Seniang. Perwujudan dari kutukan ini bisa berbentuk kematian baik mendadak maupun perlahan-lahan, juga bias berbentuk kehidupan selalu mendapat bencana/malapetaka serta susah mendapatkan rejeki. Tanah adat. Tanaa Adeut (Tanah Ulayat - Tanah Adat) dalam pengetahuan orang Dayak Benuaq dibagi menjadi tiga bagian, yaitu tanah adat desa, milik pribadi, 29

dan milik keluarga. Pembagian ini secara khusus ditujukan agar masyarakat dan pemilik tanah adat betul-betul menjaga kelestariannya, karena tanah merupakan sumber kehidupan. 1. Asal-usul Suku Dayak Benuaq adalah salah satu sub suku Dayak yang hidup tersebar di Kalimantan Timur (Anonim, 1997). Sehubungan dengan tanah adat, mereka memiliki pengetahuan khusus untuk mengaturnya. s Hal ini ditujukan agar masyarakat ikut memiliki dan menjaga tanah tersebut. Pengetahuan ini menandakan bahwa mereka sudah memiliki peradaban tanah yang tinggi pada masanya. Hidup dan kehidupan selalu dipersepsikan oleh setiap kelompok manusia di dunia. Hal ini disebabkan oleh pengalaman manusia dalam hidup, rasa akibat sentuhan mereka dengan alam, dan kesimpulan manusia dari perenunganperenungan tentang alam. Bagi manusia yang akrab dengan alam, berdasarkan pengalaman-pengalaman itu, mereka akan berpikir dan mengatur hidup agar berjalan seimbang dengan alam (Alfian, 1985). Model berpikir seperti inilah yang merupakan ciri dari kehidupan manusia Indonesia zaman dulu, ketika ketergantungan terhadap alam dan lingkungan sekitar adalah sebuah keniscayaan. Sebuah ketergantungan yang melahirkan kebudayaan agraris khas tropis (Koentjaraningrat, 1980). Melalui proses seperti ini pula orang Dayak Benuaq memahami tanah adat mereka. Dalam pengetahuan mereka, tanah adat adalah tanah warisan leluhur yang harus dijaga keberadaannya karena tanah adat merupakan sumber kehidupan. Tanah adat yang dimaksud adalah berupa hutan adat, baik milik warga desa maupun yang dimiliki secara pribadi atau keluarga berdasarkan izin dari mantiiq, petugas adat dalam urusan tanah (Dalmasius Madrah T, 2001). Pengetahuan ini mereka pelajari dan dapatkan dari leluhur mereka yang sedari dulu memang akrab dengan alam dan kehidupan hutan. Hutan beserta isinya, seperti pepohonan, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, binatang, ikan yang ada di danau dan sungai, dianggap sebagai sumber hidup dan kehidupan yang tidak hanya diekspoitasi belaka, tetapi juga harus dipahami sebagai ruang bersama yang harus dijaga bersama (Dalmasius Madrah T, 2001). Bagaimanapun, segala apa yang diberikan alam, oleh orang Dayak dianggap memiliki konsekuensi upacara adat tertentu (Yohanes Bonoh, 1985). 30

2. Konsep tentang Tanah Adat Tanah adat dalam pengetahuan orang Dayak Benuaq dan Tonyooi dibagi menjadi tiga bagian, yaitu tanah adat desa, milik pribadi, dan milik keluarga. Ketiga tipe tanah ini secara adat memiliki sangsi adat masing-masing jika ada warga yang merusak segala sesuatu yang ada di dalamnya, seperti pohon, binatang, atau buah-buahan. Pembagian ini secara khusus ditujukan agar masyarakat dan pemilik tanah adat tersebut betul-betul menjaga kelestariannya karena tanah merupakan sumber kehidupan. a. Tanah Adat Desa Tanah adat desa adalah merupakan bagian dari kawasan suatu desa. Status kepemilikannya adalah milik bersama semua warga desa dan pengelolaannnya diserahkan kepada mantiiq. Secara fungsi dan hak kepemilikan, tanah adat desa terbagi menjadi tiga, yaitu tanah kuburan umum, sungai dan danau, dan hutan adat. 1) Tanah Kuburan Umum Dahulu, kuburan atau makam umumnya terletak di belakang rumah panjang (louu). Berdasarkan temponya, orang Dayak Benuaq dan Tonyooi membagi kuburan dalam tiga kategori, yaitu kuburan baru, lama, dan keluhukng (khusus). Apabila kuburan rusak, maka pemiliknya akan didenda adat dengan ketentuan sebagai berikut: kuburan baru dan lama denda adat paling tinggi satu antang per kuburan ditambah tepung tawar. Untuk keluhukng, denda adatnya adalah sejumlah satu mekau (setengah nilai antang) per kuburan ditambah tepung tawar. 2) Sungai dan Danau Tanah yang di dalamnya terdapat sungai dan danau dan ada di kawasan desa, maka dari itu mutlak milik warga desa tersebut. Dan oleh karena itu, kebersihan dan kelestarian sungai dan danau menjadi kewajiban warga desa. Warga tidak boleh sembarangan menuba (mengambil) ikan atau membuang sampah atau bangkai ikan ke sungai karena akan didenda adat paling tinggi lima antang. Denda ini bisa dua kali lipat jika dilakukan pada saat-saat yang ditabukan oleh adat untuk menuba, misalnya saat hari meninggalnya mantiiq. Pada zaman dahulu, lama masa tabu adalah tujuh tahun tujuh bulan tujuh hari. Namun, sekarang diubah menjadi tiga bulan saja. Untuk melepaskan

31

tabu, adat mewajibkan untuk membuat ritual yang disebut pesengkeet puaas utaas. 3) Hutan Adat Hutan adat adalah seluruh rimba yang bukan milik pribadi atau keluarga. Meskipun membuka ladang sudah menjadi tradisi yang turun-temurun, namun warga tidak boleh membuka ladang semaunya karena akan berakibat buruk pada kelestarian hutan dan lingkungan. Hutan adat berisi berbagai jenis kayu, buah-buahan, akar, dan rotan serta dihuni oleh berbagai jenis binatang. Dari sisi fungsinya, hutan adat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu: a) Kelatn Tanyut, artinya hutan adat yang banyak pohon dan disinggahi oleh lebah penghasil madu. Pohon jenis kelatn tanyut menghasilkan beragam manfaat dari lebah, yaitu lebah dan madu, anak lebah, dan lilin lebah. Pohon-pohon ini biasanya tumbuh secara berkelompok dan menjadi milik desa. Namun, pribadi atau keluarga dapat memiliki untuk menjaga dan mengambil manfaatnya asal mendapat izin dari mantiiq. Setiap jenis pohon memiliki memiliki konsekuensi denda adat yang berbeda jika ada warga yang merusaknya. Kelatn tanyut dibedakan dalam dua jenis. Pertama, tanyut peruha yakni pohon tanyut yang dhinggapi oleh empat puluh sampai seratus sarang lebah. Warga yang membakar ladang dan menyebabkan pohon jenis ini layu, gugur, atau patah dahannya, maka dikenakan denda adat paling tinggi satu mekau ditambah tepung tawar. Jika menyebabkan kulit pohon terkelupas, maka denda adat paling tinggi satu antang ditambah tepung tawar. Jika menyebabkan pohon mati, maka denda adat paling tinggi lima antang ditambah tepung tawar. Jika menyebabkan dahan yang tidak produktif patah, maka dendanya satu jie besar ditambah tepung tawar. Kedua, tanyut biasa, yakni pohon yang dihinggapi kurang lebih empat puluh sarang lebah. Jika ada warga yang membakar ladang dan menyebabkan pohon jenis ini layu, gugur, atau patah dahannya, maka denda adat paling tinggi adalah satu jie besar ditambah tepung tawar. Jika menyebabkan kulit pohon terkelupas, maka denda adat paling tinggi adalah satu mekau ditambah tepung tawar. Jika menyebabkan pohon mati, maka denda adat paling tinggi adalah dua antang ditambah tepung tawar. 32

Dan jika menyebabkan dahan yang produktif patah, maka denda paling tinggi adalah satu jie besar ditambah tepung tawar. Sementara itu, untuk pohon yang tidak produktif, maka dendanya satu jie besar. b) Sakaah, adalah kawasan hutan adat tempat kejadian kematian seseorang atau beberapa orang akibat jatuh dari pohon, mati terbunuh, bunuh diri, disambar petir, dan sebagainya. Kawasan ini harus dihormati karena dianggap sebagai lokasi kuburan. Warga yang merusak sakaah maka akan didenda paling tinggi dua antang. Saat ini, perusakan sakaah lebih banyak disebabkan oleh pihak swasta atau negeri yang memiliki izin Hak Penguasaan Hutan (HPH). c) Simpukng Bua Lati, adalah hutan adat dan pohon buah-buahan yang tumbuh secara alami yang disebabkan oleh aktivitas hewan dan air. Setiap warga desa diperbolehkan mengambil buah-buahan dari tanah ini. Bahkan, terkadang warga desa bersama-sama melakukan panen. Hutan adat jenis ini boleh dimiliki secara pribadi atau keluarga asalkan sudah mendapatkan izin dari mantiiq. d) Simpukng Ruyaq, adalah hutan adat yang ditumbuhi berbagai pohon yang baik untuk dijadikan bahan bangunan. Orang Dayak Benuaq dan Tonyooi memandang bahwa tidak semua jenis pohon dapat djadikan bahan bangunan karena terdapat beberapa jenis pohon yang pantang untuk ditebang. Oleh karena itu, tanah ini harus dilestarikan dan warga dilarang membuat ladang di lokasi tanah ini. e) Lati Pingit, adalah hutan adat yang dihuni oleh roh-roh jahat, seperti hantu madakng dan liaaq, di mana keduanya dapat menyebabkan orang sakit. Kawasan ini terdapat di beberapa tempat dan tertutup dari kegiatan warga dan dijadikan tempat untuk bertapa. f) Lati Penyenteru Kuli atau hutan untuk berburu. Tanah ini dapat berupa hutan, sungai, danau, atau apapun yang dijadikan kawasan untuk berburu. Namun, untuk menuba ikan hanya dapat dilakukan sekali dalam setahun dan dilakukan bersama-sama oleh seluruh warga dan dipimpin oleh mantiiq. Seusai menuba, biasanya salah seorang akan memimpin doa agar racun tuba menjadi tawar dan ikan enak dimakan. g) Uluui ketipe Bangkaat Nataakn Delatn, adalah tanah adat yang berisi beragam kekayaan alam, seperti pohon, buah, binatang, dan sebagainya. 33

Oleh karena itu, seluruh masyarakat diwajibkan untuk menjaga dan melestarikannya, dan jika sebaliknya, mereka akan mendapat denda adat. b. Tanah Adat Milik Pribadi Tanah adat milik pribadi adalah tanah adat yang sudah dimiliki secara pribadi atas izin dari mantiiq. Seorang mantiiq adalah orang yang menguasai silsilah dan seluk beluk tanah serta kawasan hutan di desanya yang disebut usuur bentakng. Dengan menguasai ilmu ini, mantiiq akan mudah menyelesaikan sengketa tanah yang ada secara bijaksana. Tanah adat millik pribadi dibagi menjadi lima jenis, yaitu: 1) Uraat bataakn, yakni bekas ladang yang berupa semak belukar setelah pembukaan ladang pertama. Tanah jenis ini dapat dijadikan bukti kepemilikan dan bagi siapa saja yang merampas akan dikenakan denda adat paling tinggi sebesar lima antang dan paling rendah satu piring warna putih. 2) Simpukng munan, yakni kumpulan dari beberapa jenis pohon buah-buahan atau jenis tumbuhan lainnya, seperti pohon pinang, kelapa, dan enau, yang ditanam di sekeliling rumah atau pondok. Pohon-pohon ini dapat dijadikan bukti kepemilikan tanah. Jika ada yang merusaknya, maka terdapat tiga macam denda adat. Pertama, jika memotong sebelah batang dan mematahkan dahan, maka denda adat paling tinggi sebesar satu jie kecil per pohon ditambah tepung tawar. Kedua, perusakan berat, seperti banyak dahan dan batang yang tumbang, maka denda adat paling tinggi satu mekau per pohon ditambah tepung tawar. Ketiga, jika memusnahkan pohon, maka denda adat paling tinggi sebesar satu antang per pohon ditambah tepung tawar. Pada pohon-pohon tersebut biasanya dipasang tanda larangan memetik buah yang disebut pupuh atau tempesaak. Jika larangan ini dilanggar, maka denda adat paling tinggi adalah satu mekau. Jika buah yang diambil seluruhnya, maka denda adatnya satu antang. 3) Keboth dukuh, yakni bermakna sama dengan kebun dalam bahasa Indonesia. Tanah ini biasanya ditanami rotan karena kondisi tanahnya di dataran rendah, di dekat sungai. Rotan dalam kehidupan orang Dayak Benuaq dan Tonyooi biasa diolah menjadi tikar dan tas. Oleh karena itu, rotan penting dalam kehidupan mereka dan bagi siapa saja yang merusaknya, maka sangsi adat akan disesuaikan dengan umur dan jenis rotan. Rotan jenis sega, seletup, dan 34

pulut meaaq yang masih produktif, denda adat maksimal lima antang per rumpun. Rotan jenis jahap denda adatnya maksimal satu jie kecil per rumpun. Adapun jenis pulut pura produktif, denda adatnya maksimal satu antang per rumpun. Jika pelanggaran-pelanggaran tersebut dilakukan dengan sengaja, maka denda adatnya akan digandakan. 4) Kelatn tanyut yang dikerjakan sendiri, artinya di dalam tanah ini diternakkan lebah madu sendiri oleh pemiliknya. 5) Poneeh, yakni rotan yang ditemukan oleh seseorang di kebun tertentu. Oleh karena itu, orang yang pertama kali menemukan rotan tersebut berhak memiliki kebun tersebut. Sebagai buktinya, pemilik akan membuat patok atau batas di sekeliling kebunnya. c. Tanah Adat Milik Keluarga Tanah ini dalam bahasa Dayak Benuaq dan Tonyooi disebut lati tana rempuuq yang berati hutan tanah. Tanah ini bermula dari tanah pribadi yang diwariskan kepada anak keturunannya. Pengelolaan tanah ini diserahkan kepada orang tertua dalam keluarga tersebut. 3. Pengaruh Sosial Pengetahuan Suku Dayak Benuaq tentang tanah ini dalam prakteknya turut mempengaruhi kehidupan sosial mereka. Hal ini antara lain dapat dicermati dalam beberapa hal: a. Melestarikan ajaran leluhur. Pengetahuan ini didapatkan dari ajaran leluhur Dayak Benuaq dan Tonyooi, dengan demikian pelaksanaan pengetahuan ini secara tidak langsung merupakan bentuk usaha mereka dalam melestarikan ajaran leluhur. Meskipun saat ini pengelolaan tanahnya sudah banyak berubah karena harus disesuaikan dengan hukum nasional, namun orang Dayak Benuaq dan Tonyooi masih menjaga aturan adat dalam beberapa hal, misalnya dalam membuka ladang tetap memperhatikan lingkungan sekitarnya dan dilakukan secara tradisional. b. Menguatnya identitas sosial. Masyarakat kedua suku ini memiliki ikatan yang kuat karena memiliki konsep yang sama dalam hal tanah dan dikarenakan nenek moyang mereka masih berasal dari satu hubungan kekerabatan. Dalam konteks identitas, konsep ini berperan penting dalam penguatan identitas kedua suku. Bagi anggota suku yang memiliki masalah dengan tanah, mereka akan

35

selesaikan dengan cara adat yang telah mereka percayai bersama. Dengan ini, tentunya identitas sosial mereka sebagai satu nenek moyang akan semakin kuat. c. Upaya pelestarian alam. Konsep mereka tentang tanah ini tentu saja berakibat pada lestarinya alam tempat mereka tinggal. Hutan mereka olah dengan pengetahuan yang berusaha menyeimbangkan dan menjaga kelestarian alam, seperti terlihat nyata dari aturan dan larangan dalam membuka ladang. Apalagi aturan ini diperkuat dengan larangan dan denda adat bagi warga suku yang menebang pohon sembarangan. d. Menguatnya kepemimpinan adat. Pengetahuan tentang tanah menggambarkan sebuah kepemimpinan adat yang dipercaya dan kuat, dalam hal ini mantiiq yang bertugas menertibkan aturan tanah. Pelaksanaan konsep ini tentu saja menjadikan kepemimpinan adat semakin kuat. Apalagi, mantiiq menjalankan aturan adat dengan bijaksana, di mana setiap sengketa dapat diselesaikan dengan adil. Integritas kepemimpinan adat banyak ditentukan dalam mengatur tanah (Yekti Maunati, 2006).

G. Sistem Pengetahuan Suku Dayak mempunyai kode yang umum dimengerti oleh suku bangsa Dayak, kode ini dikenal dengan sebutan Totok Bakakak. Macammacam Totok Bakakak: 1. Mengirim tombak yang telah di ikat rotan merah (telah dijernang) berarti menyatakan perang, dalam bahasa Dayak Ngaju "Asang". 2. Mengirim sirih dan pinang berarti si pengirim hendak melamar salah gadis yang ada dalam rumah yang dikirimi sirih dan pinang. 3. 4. Mengirim seligi (salugi) berarti mohon bantuan, kampung dalam bahaya. Mengirim tombak bunu (tombak yang mata tombaknya diberi kapur) berarti mohon bantuan sebesar mungkin karena bila tidak, seluruh suku akan mendapat bahaya. 5. 6. Mengirim Abu, berarti ada rumah terbakar. Mengirim air dalam seruas bambu berarti ada keluarga yang telah mati tenggelam, harap lekas datang. Bila ada sanak keluarga yang meninggal karena tenggelam, pada saat mengabarkan berita duka kepada sanak keluarga, nama korban tidak disebutkan. 7. Mengirim cawat yang dibakar ujungnya berarti salah seorang anggota keluarga yang telah tua meninggal dunia. 36

8.

Mengirim telor ayam, artinya ada orang datang dari jauh untuk menjual belanga, tempayan tajau.

9.

Daun sawang/jenjuang yang digaris (Cacak Burung) dan digantung di depan rumah, hal ini menunjukan bahwa dilarang naik/memasuki rumah tersebut karena adanya pantangan adat.

10. Bila ditemukan pohon buah-buahan seperti misalnya langsat, rambutan, dsb, didekat batangnya ditemukan seligi dan digaris dengan kapur, berarti dilarang mengambil atau memetik buah yang ada dipohon itu.

H. Kesenian Dipandang dari sudut cara kesenian sebagai ekspresi hasrat manusia akan keindahan itu dinikamti, maka ada dua lapangan besar, yaitu: (1) seni rupa, atau kesenian yang dinikmati oleh manusia dengan mata, dan (2) seni suara, atau kesenian yang dinikmati oleh manusia dengan telinga. Dalam seni rupa ada seni patung, seni relief (termasuk seni ukir), seni lukis serta gambar, dan seni rias. Seni musik ada yang vokal (menyanyi) dan ada yang instrumental (dengan alat bunyi-bunyian), dan seni sastra lebih khusus terdiri dari prosa dan puisi. Suatu lapangan kesenian yang meliputi kedua bagian tersebut adalah seni gerak atau seni atri, karena kesenian ini dapat dinikamti dengan mata maupun telinga. 1. Lagu a. Bedone 2. Seni Suara a. Bedeguuq b. Berijooq c. Ninga 3. Seni Berpantun a. Perentangin b. Ngelengot c. Ngakey d. Ngeloak

37

4. Seni Tari a. Tari Gantar, tarian ini menggambarkan orang menanam padi. Tongkat menggambarkan kayu penumbuk sedangkan bambu serta biji-bijian di dalamnya menggambarkan benih pada dan wadahnya. Tarian ini cukup terkenal dan sering disajikan dalam penyambutan tamu dan acara-acara lainnya. Tarian ini tidak hanya dikenal oleh suku Dayak Tunjung namun juga dikenal oleh suku Dayak Benuaq. Tarian ini dapat dibagi dalam tiga versi yaitu tari Gantar Rayatn, Gantar Busai dan Gantar Senak/Gantar Kusak b. Tari Ngerangkaw, tarian adat dalam hal kematian dari suku Dayak Tunjung dan Benuaq. Tarian ini mempergunakan alat-alat penumbuk padi yang dibenturbenturkan secara teratur dalam posisi mendatar sehingga menimbulkan irama tertentu. c. Tari Ngeleway

I. Sistem Religi Animisme dan Dinamisme merupakan kepercayaan nenek moyang bangsa Indonesia secara umum. Bagi orang Dayak khususnya kepercayaan Dayak Benuaq lebih dari Animisme dan Dinamisme, tetapi meyakini bahwa alam semesta dan semua makhluk hidup mempunyai roh dan perasaan sama seperti manusia, kecuali soal akal. Oleh sebab itu bagi Suku Dayak Benuaq segenap alam semesta termasuk tumbuhtumbuhan dan hewan harus diperlakukan sebaik-baiknya dengan penuh kasih sayang. Mereka percaya perbuatan semena-mena dan tidak terpuji akan dapat menimbulkan malapetaka. Itu sebabnya selain sikap hormat, mereka berusaha mengelola alam semesta dengan se-arif dan se-bijaksana mungkin. Meskipun sepintas kepercayaan orang Dayak Benuaq seperti polytheisme, tetapi mereka percaya bahwa alam semesta ini diciptakan dan dikendalikan oleh penguasa tunggal yaitu Letalla. Letalla mendelegasikan tugas-tugas tertentu sesuai dengan bidang-bidang tertentu, kepada para Seniang, Nayuq, Mulakng dll. Seniang memberikan pembimbingan, sedangkan Nayuq akan mengeksekusi akibat

pelanggaran terhadap adat dan norma. a. Fungsi Patung (Belontakng) dalam Kepercayaan Dayak Benuaq Terjadi kesalahan anggapan termasuk para ahli, bahwa Suku Dayak membuat patung untuk mereka sembah sebagai symbol sesembahan masyarakat Dayak

38

Benuaq. Oleh karena kesalahan persepsi ini, seringkali masyarakat Dayak Benuaq dianggap suku penyembah berhala. Banyak jenis patung yang dibuat Suku Dayak Benuaq bukan untuk disembah atau dipuja, tetapi justru harus diludahi setiap orang yang melewatinya. Ada juga patung yang dibuat untuk mengelabui roh jahat atau makhluk halus agar tidak menggangu manusia. Jadi patung lebih daripada wujud/tanda peringatan baik untuk berbuat baik atau larangan terhadap perbuatan. b. Prosesi Adat Kematian Prosesi adat kematian Dayak Benuaq dilaksanakan secara berjenjang. Jenjang ini menunjukkan makin membaiknya kehidupan roh orang yang meninggal di alam baka. Orang Dayak Benuaq percaya bahwa alam baqa memiliki tingkat kehidupan yang berbeda sesuai dengan tingkat upacara yang dilaksanakan orang yang masih hidup (keluarga dan kerabat). Alam baka dalam bahasa Benuaq disebut secara umum adalah Lumut. Di dalam Lumut terdapat tingkat (kualitas) kehidupan alam baqa. Kepercayaan Orang Dayak Benuaq tidak mengenal Nereka. Perbuatan-perbuatan jahat yang dilakukan Orang Dayak Benuaq telah mendapat ganjaran selama mereka hidup, baik berupa tulah, kutukan, bencana/malapetaka, penderitaan dll. Itu sebabnya Orang Dayak Benuaq meyakini jika terjadi yang tidak baik dalam kehidupan berarti telah terjadi pelanggaran adat dan perbuatan yang tidak baik. Untuk menghindari kehidupan yang penuh bencana, maka orang Dayak Benuaq berusaha menjalankan adat dengan sempurna dan menjalankan kehidupan dengan sebaik-baiknya.

Secara garis besar terdapat 3 tingkatan acara Adat kematian : 1. Parepm Api 2. Kenyaw 3. Kwangkey Kewotoq (Kwangkey)

39

c. Belian/Penyembuhan penyakit Seluruh aspek kehidupan suku Dayak Benuaq, tak bisa dipisahkan dari keberadaan pawang atau dukun. Eksistensi pawang memainkan peranan sangat dominan dalam setiap kegiatan utama Dayak Benuaq. Mulai dari kegiatan pujipujian kepada Sang Pencipta, memimpin upacara penyembuhan, mengusir roh-roh jahat, yang diyakini masih banyak berkeliaran di hutan-hutan atau berbagai aktivitas seremonial adat lainnya. Pawang juga dipercaya mempunyai kemampuan berkomunikasi dan mendatangkan roh leluhur yang hadir melalui raganya. Tidak mudah untuk bisa menjadi seorang pawang. Contohnya pawang belian atau dukun yang mempunyai kemampuan menyembuhkan orang sakit dan mengusir roh-roh jahat. Cara penyembuhan penyakit secara adat Dayak Benuaq, diawali dengan berbagai persiapan fisik dan rohani. Proses pelaksanaan penyembuhan hingga akhir, dilakukan selama 4 hari. Tapi jika dilakukan secara lengkap, pelaksanaan upacara penyembuhan berlangsung 7 hari dan diakhiri dengan penyembelihan hewan ternak babi. Tujuannya bukan hanya untuk penyembuhan pasien, tapi juga untuk mengusir roh-roh jahat yang sering mengganggu lingkungan permukiman penduduk. Pelaksanaan upacara penyembuhan atau belian, biasanya dilakukan di rumah adat panjang atau lamin. Hiasan janur dalam berbagai bentuk, beras merah, putih, kuning, telur ayam, bunga kelapa dan kain yang menjulur dari atas atap ke bawah, sebagai sarana untuk turunnya roh leluhur. Api dan dupa serta seperangkat musik, tidak pernah bisa dilepaskan dari pelaksanaan upacara belian. Pawang Rayun Sangkang, yang pernah berkunjung ke Italia, Belanda dan Vietnam sebagai duta seni ini, sekarang menjadi pawang paling senior di komunitas Benuaq, kawasan pedalaman Loa Ipuh, Kutai. Rayun berpendapat, keberadaan dan kegiatan pawang, sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama. Rayun menyadari pawang tua tidak akan bisa bertahan terus. Maka para murid pun diambil dan dipilih dari angkatan generasi muda. Rayun mengaku kesulitan untuk memperoleh murid penerus yang berbakat. Kesulitan utamanya terletak pada pelafalan mantra-mantra, yang jumlahnya sangat banyak dan penguasaan pemahaman tata adat. Rayun mengaku tidak pernah ada buku atau catatan tertulis, tentang mantra-mantra tersebut. Mantra-mantra itu didapat secara langsung dari sang guru, secara turun-temurun. 40

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Suku Dayak Benuaq dapat ditemui di sekitar wilayah Sungai Kedang Pahu di pedalaman Kalimantan Timur dan di daerah danau Jempang. Berdasarkan pendapat beberapa ahli suku ini dipercaya berasal dari Dayak Lawangan sub suku Ot Danum dari Kalimantan Tengah. Lewangan juga merupakan induk dari suku Tunjung di Kalimantan Timur. Benuaq sendiri berasal dari kata Benua dalam arti luas berarti suatu wilayah/daerah teritori tertentu, seperti sebuah negara/negeri. Pengertian secara sempit berarti wilayah/daerah tempat tinggal sebuah kelompok/komunitas. Sedangkan kata Dayak menurut aksen Bahasa Benuaq berasal dari kata Dayaq atau Dayeuq yang berarti hulu. Di Dayak menggunakan bahasa Indonesia, bahasa Maanyan, dan bahasa Ngaju sebagai bahasa yang digunakan dalam kesehariannya. Bahasa Benuaq termasuk dalam Bahasa Lawangan dengan kode bahasa. Suku Dayak pada umumnya memiliki senjata yang dinamakan Mandau Pada jaman dulu jika terjadi peperangan, suku Dayak pada umumnya menggunakan senjata khas mereka, yaitu mandau. Mandau merupakan sebuah pusaka yang secara turun-temurun yang digunakan oleh suku Dayak dan diaanggap sebagai sebuah benda keramat. Selain digunakan pada saat peperangan mandau juga biasanya dipakai oleh suku Dayak untuk menemani mereka dalam melakukan kegiatan keseharian mereka, seperti menebas atau memotong daging, tumbuh-tumbuhan, atau benda-benda lainnya yang perlu untuk di potong. Sipet/Sumpitan. Merupakan senjata utama suku dayak. Ujung atas ada tombak yang terbuat dari batu gunung yang diikat dengan rotan dan telah di anyam. Anak sumpit disebut damek, dan telep adalah tempat anak sumpitan. Lonjo/Tombak. Dibuat dari besi dan dipasang atau diikat dengan anyaman rotan dan bertangkai dari bambu atau kayu keras. Telawang / Perisai. Terbuat dari kayu ringan, tetapi liat. Ukuran panjang 1 2 meter dengan lebar 30 50 cm. Sebelah luar diberi ukiran atau lukisan dan mempunyai makna tertentu. Disebelah dalam dijumpai tempat pegangan. Dohong. Senjata ini semacam keris tetapi lebih besar dan tajam sebelah menyebelah. Hulunya terbuat dari tanduk dan sarungnya dari kayu. Senjata ini hanya boleh dipakai oleh kepala-kepala suku, Demang, Basir. 41

Tenun doyo adalah kain tradisional hasil kerajinan tangan kaum perempuan suku Dayak Benuaq. tenun doyo dibagi menjadi tiga macam yaitu, pakaian untuk upacara-upacara adat, pakaian untuk tari-tarian, dan pakaian sehari-hari. Pada pakaian in ijuga terdapat nilainilai tersendiri, seperti nilai budaya, pemanfaatan sumber daya alam, dan nilai ekonomis. Dayak Benuaq juga mempunyai tradisi rumah panjang. Dalam masyarakat Dayak Benuaq, tidak semua rumah panjang: Lo-uu; Lamin ). Rumah panjang dapat disebut lou (lamin) jika mempunyai minimal 8 olakng. Banyaknya olakng dalam rumah panjang bagi Suku Dayak Benuaq dapat menunjukkan level/bentuk kepemimpinannya. Itu sebabnya rumah panjang yang besar (lou) sering disebut kampong besar atau benua. Suku bangsa ini mengenal dua tipe alat untuk bergerak di air, yaitu rakit dan perahu. Rakit dapat dibuat dari berbagai bahan enteng yang dapat mengapung di permukaan air, seperti batang-batang kayu, bambu, serat-serat, rumput-rumputan yang diikat menjadi satu. Perahu dapat juga dibuat dari berbagai macam bahan, seperti yang kita lihat pada bentukbentuk perahu dari berbagai suku bangsa di dunia, tetapi bentuk perahu yang paling sederhana adalah perahu lesung, atau dog-out canoe. Perahu ini terdiri dari sebuah balok kayu yang dibelah, kemudian dikeruk bagian dalamnya. Sistem mata pencaharian pada suku Dayak Benuaq adalah Bertani atau berladang, mencari buruan, dan sebagai pegawai atau karyawan. Menurut Prof. Lambut dari (Univesitas Lambung Mangkurat),secara rasial, Suku Dayak dapat dikelompokkan menjadi: Dayak [Mongoloid]-Dayak [Melayu|Malayunoid] Dayak [Australoid|Autrolo-Melanosoid]-Dayak [Heteronoid]Mengenai nama Kutai, ada pendapat bahwa itu memang bukan menunjuk nama etnis seperti yang menjadi identitas sekarang. Sebaliknya ada yang berpendapat nama Kutai selain menunjuk pada teritori. Setidaknya ada 5 pilar/tiang adat Suku Dayak Benuaq: (1) Adet, (2) Purus, (3) Timekng, (4) Suket, (5) Terasi. Kelimanya harus dijalankan / menjadi pegangan dalam melaksanakan adat istiadat di Bumi, jika tidak akan terjadi ketidak adilan dan kekacauan di masyarakat. Suku Dayak mempunyai kode yang umum dimengerti oleh suku bangsa Dayak, kode ini dikenal dengan sebutan Totok Bakakak. Salah satu kesenian suku Dayak benuaq adalah Tari Gantar, tarian ini menggambarkan orang menanam padi. Tongkat menggambarkan kayu penumbuk sedangkan bambu serta biji-bijian di dalamnya menggambarkan benih pada dan wadahnya. Tarian ini cukup terkenal dan sering disajikan dalam penyambutan tamu dan acara-acara lainnya. Tarian ini tidak hanya dikenal oleh suku Dayak Tunjung namun juga dikenal oleh suku Dayak

42

Benuaq. Tarian ini dapat dibagi dalam tiga versi yaitu tari Gantar Rayatn, Gantar Busai dan Gantar Senak/Gantar Kusak. Bagi orang Dayak khususnya kepercayaan Dayak Benuaq lebih dari Animisme dan Dinamisme, tetapi meyakini bahwa alam semesta dan semua makhluk hidup mempunyai roh dan perasaan sama seperti manusia, kecuali soal akal. Meskipun sepintas kepercayaan orang Dayak Benuaq seperti polytheisme, tetapi mereka percaya bahwa alam semesta ini diciptakan dan dikendalikan oleh penguasa tunggal yaitu Letalla. Letalla mendelegasikan tugas-tugas tertentu sesuai dengan bidang-bidang tertentu, kepada para Seniang, Nayuq, Mulakng dll. Seniang memberikan pembimbingan, sedangkan Nayuq akan mengeksekusi akibat pelanggaran terhadap adat dan norma.

B. Saran Dari apa yang telah dideskripsikan dalam makalah ini, maka diberikan sejumlah saran yang diharapkan dapat berguna bagi beberapa pihak, antara lain: 1. Bagi mahasiswa dan Program Studi Pendidikan Sosiologi sebagai referensi akademik mengenai keberagaman suku bangsa di Indonesia dan pemahaman mengenai etnografi. 2. Bagi pembaca, semoga penelitian ini menjadi literatur yang baik dalam menambah referensi ilmu pengetahuan dan wawasan mengenai keberagaman suku bangsa di Indonesia khusunya Suku Dayak Benuaq. 3. Bagi instansi terkait untuk lebih melestarikan dan membantu menjaga keberlangsungan suku-suku bangsa di Indonesia yang mana kebudayaanya mulai punah. Karena dari apa yang telah dipaparkan cukup tampak bahwasanya perhatian pemerintah masih belum maksimal terhadap suku-suku bangsa di Indonesia. Selain itu, diharapkan programprogram pemerintah harus pro rakyat dan tetap mengikuti hukum adat yang berlaku pada masyarakat setempat, agar tercipta suasana yang aman dan tentram. 4. Semoga apa yang telah disajikan dalam makalah ini mampu menarik perhatian dari para akademisi yang ingin menjadikan ini sebagai bahan ataupun objek penelitian. Agar masyarakat awam tidak salah menilai mengenai suku-suku bangsa di Indonesia (Suku Dayak Benuaq). 5. Perlu diadakan pengabadian terhadap kebudayaan khas yang ada di Indonesia, entah itu dokumen tertulis atau mungkin dikemas dalam film dokumenter, dan sejenisnya.

43

DAFTAR PUSTAKA Buku: Alfian, 1985. Persepsi Manusia tentang Kebudayaan. Jakarta: Gramedia Anonim, 1997. Kaltim dalam Angka. Samarinda: Bappeda Tingkat I Kalimantan Timur. Dalmasius Madrah T, 2001. Adat Suku Dayak Benuaq dan Tonyooi. Jakarta: Puspa Swara. Koentjaraningrat, 1980. Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Djambatan. ______________, 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Mohd. Noor, et al.. 1990. Pakaian adat tradisional daerah Kalimantan Timur. Kutai: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Investasi dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya. Usman Achmad, et al. 1994/1995. Tenun doyo daerah Kalimantan Timur. Kutai: CV. Krisna Agung bekerjasama dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kantor Wilayah Provinsi Kalimantan Timur, Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Kalimantan Timur. Yekti Maunati, 2006. Identitas Dayak, Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. Yogyakarta: LKI Yohanes Bonoh, 1985. Lungun dan Upacara Adat. Kalimantan Timur: Tim Proyek Pengembangan Permuseuman .

Internet: http://www.wisatakaltim.com/sejarah/sejarah-mandau-senjata-khas-dayak/ http://lafadl.wordpress.com/2006/12/09/perempuan-dayak-benuaq/ http://putratonyooi.wordpress.com/2011/08/31/istilah-istilah-kekerabatan-didalam-sukudayak-benuaq/ http://banuahujungtanah.wordpress.com/2010/03/10/seni-tari-dayak/ http://siswa.univpancasila.ac.id/pesona/2010/11/02/suku-benuaq-apa-itu/

44