KEKAYAAN POTENSI MANGROVE - mangroveindonesia.com fileUniversitas Indonesia . ii ... buku tanpa izin...
Transcript of KEKAYAAN POTENSI MANGROVE - mangroveindonesia.com fileUniversitas Indonesia . ii ... buku tanpa izin...
i
KEKAYAAN POTENSI MANGROVE
SEGARA ANAKAN, CILACAP: Dengan Latar Belakang Masyarakat Kampung Laut
yang Gigih Berjuang
Penulis:
Prihandoko Sanjatmiko,
Wahyono,
Puji Rahmawati,
M. Romi Bahtiar
Departemen Antropologi,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Indonesia
ii
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku,
Ketentuan Pidana Pasal 72
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
iii
KEKAYAAN POTENSI MANGROVE
SEGARA ANAKAN, CILACAP: Dengan Latar Belakang Masyarakat Kampung Laut yang Gigih Berjuang
iv
Kekayaan Potensi Mangrove Segara Anakan, Cilacap Dengan Latar Belakang Masyarakat Kampung Laut yang Gigih Berjuang
Penulis : Prihandoko Sanjatmiko, Wahyono, Puji Rahmawati, M.
Romi Bahtiar
ISBN : 978-602-73846-8-2
Editor : Prihandoko Sanjatmiko
Penyunting : Wahyu Nur Hidayat
Desain Sampul dan Tata Letak : WND
Penerbit:
Departemen Antropologi, FISIP, Universitas Indonesia
Redaksi:
Gedung B Lantai 1 FISIP-UI, Depok 16424
Telp. +6221 7870328
Fax. +6221 78881032
Email: [email protected]
Distributor Tunggal:
Departemen Antropologi, FISIP, Universitas Indonesia
Gedung B Lantai 1 FISIP-UI, Depok 16424
Telp. +6221 7870328
Fax. +6221 78881032
Email: [email protected]
Cetakan pertama: Juli 2017
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
Dilarang mengutip , memperbanyak sebagian atau seluruh isi
buku tanpa izin tertulis dari penerbit
v
KATA PENGANTAR
Buku ini merupakan tulisan etnografi yang didukung data-data visual tentang
Komunitas Kampung Laut di Cilacap, Jawa Tengah yang memiliki kegigihan
dalam hidup dengan latar belakang keragaman potensi mangrove di kawasan
Segara Anakan. Pengumpulan data untuk menulis buku ini melibatkan beberapa
pihak sesuai dengan bidang dan kompetensi masing-masing, dengan beberapa
teknik utama seperti pengamatan, studi literatur, dan wawancara mendalam.
Pihak-pihak utama yang terlibat dalam proses pengumpulan data, penulisan,
hingga penerbitan buku ini adalah: Kelompok Tani Mangrove Krida Wana
Lestari, Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Indonesia, dan
Pertamina Revenery Unit (RU) IV Cilacap.
Kelompok Tani Mangrove Krida Wana Lestari sebagai stakeholder utama
berkontribusi dalam memberikan pengetahuan yang mereka miliki tentang latar
belakang kondisi masyarakat Kampung Laut dan proses identifikasi keragaman
potensi mangrove yang tumbuh subur secara endemik di kawasan Segara
Anakan. Proses identifikasi mangrove ini meliputi pengambilan foto, penamaan
lokal, deskripsi tanaman, sekaligus manfaat dari tanaman mangrove tersebut.
Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Indonesia
memberikan kontribusi dalam bentuk penulisan ulang data lapangan yang
terkumpul, menyusunnya secara sistematis sebagai data kajian antropologi
visual sekaligus menjadi fasilitas untuk penguatan program kelembagaan, serta
promosi wisata mangrove kawasan Segara Anakan.
Pertamina RU IV Cilacap membeirkan kontribusi dalam bentuk program
Konservasi Mangrove Terintegrasi melalui penanaman mangrove, pembangunan
fisik sarana prasarana di sana, serta program-program pemberdayaan
masyarakat Kampung Laut, Cilacap.
Buku ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama berisi gambaran tentang
keindahan kawasan Segara Anakan, Cilacap beserta kekayaan sumber daya alam
yang menopang kehidupan komunitas Kampung Laut. Sumber daya yang
bergeser dari perikanan ke pertanian dan perkebunan akibat proses sedimentasi
menandai hiruk-pikuk kegiatan warga masyarakat dalam mencari penghidupan
mereka. Selintas terlihat bahwa daya dukung (carrying capacity) alam kawasan
Segara Anakan masih sanggup untuk menopang aktifitas penduduknya. Hal ini
diimbangi dengan kreatifitas dan kegigihan mental mereka.
Bagian kedua berisi tentang deskripsi etnografi komunitas Kampung Laut
yang tinggal di dalam kawasan Segara Anakan. Dimulai dengan sejarah
komunitasnya hingga kondisi masa kini tentang orang-orang di Kampung Laut.
vi
Terdapat juga penjelasan mengenai tradisi ungkapan rasa syukur terhadap Sang
Penguasa Alam serta bentuk-bentuk kolaborasi pihak-pihak dalam membangun
komunitas Kampung Laut. Menarik untuk disimak pada bagian ini bahwa
terdapat kontribusi dunia usaha yang memiliki kepentingan terhadap
pembangunan masyarakat di Kampung Laut. Pertamina RU IV Cilacap
melaksanakan program CSR (Corporate Social Responsibility) sebagai bagian
integral yang tidak terpisahkan dari komunitas Kampung Laut.
Bagian ketiga berisi tentang gambaran kekayaan jenis-jenis mangrove
yang tumbuh dalam habitat Segara Anakan. Kelompok Tani Mangrove Krida
Wana Lestari telah berhasil melakukan identifikasi tidak kurang dari 30 jenis
mangrove yang tumbuh di kawasan Segara Anakan. Identifikasi jenis-jenis
mangrove ini diperkaya dengan data-data berbentuk visual (foto) yang juga
dilengkapi dengan koordinat letak, nama lokal, deskripsi umum, dan manfaat
tanaman yang selama ini digunakan oleh masyarakat setempat.
Temuan hasil identifikasi keragaman mangrove oleh Kelompok Tani
Mangrove Krida Wana Lestari meripakan hak intelektual yang dimiliki oleh
sebuah organisasi dengan anggota para petani desa penggiat konservasi dan
wisata mangrove. Bagian inilah yang menjadi alasan utama buku ini ditulis.
Alasan lain penulisan buku ini adalah mempublikasikan gambaran masyarakat
Kampung Laut yang hidup di tengah-tengah keragaman potensi mangrove dalam
bentuk teks dan visual sehingga dapat dikenali oleh generasi selanjutnya dan
pihak-pihak lain yang terlibat dalam hal pendidikan, pariwisata, ekonomi, serta
jasa lingkungan lainnya.
Seperti kata pepatah, “tidak ada gading yang tak retak”, hasil identifikasi
mangrove dalam buku ini baru sebatas 30 jenis, masih jauh dari potensi
keragaman mangrove sesungguhnya. Proses identifikasi akan terus dilakukan
guna menambah dokumentasi jenis mangrove kawasan Segara Anakan. Oleh
sebab itu perbaikan akan terus dilakukan guna mendapatkan hasil yang optimal.
Selamat membaca!
Tim Penulis
vii
SAMBUTAN KETUA KELOMPOK TANI MANGROVE
KRIDA WANA LESTARI
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan kemudahan sehingga penebritan buku berjudul Kekayaan Potensi
Mangrove Segara Anakan, Cilacap: Dengan Latar Belakang Masyarakat Kampung
Laut yang Gigih Berjuang dapat terselesaikan dengan baik. Buku ini banyak berisi
gambar-gambar tentang kehidupan masyarakat Kampung Laut dengan latar
belakang kekayaan alam Segara Anakan termasuk keanekaragaman jenis
mangrove di dalamnya. Hingga penulisan buku ini selesai dikerjakan, telah
teridentifikasi 30 jenis mangrove sebagai spesies endemik. Jumlah ini
menunjukkan betapa kawasan Segara Anakan sebagai suatu wilayah sedimen
kaya akan keanekaragaman hayati mangrove. Konsekuensi berikutnya adalah
juga munculnya beragam jenis hewan yang berlimpah baik di atas maupun di
bawah permukaan air dan tanah. Dengan demikian, dari sudut biologi, kawasan
mangrove Segara Anak menjadi salah satu paru-paru dunia sebagai penghasil
oksigen seklaigus sumber keragaman makhluk hidup.
Dari segi sosial dan budaya, kawasan Segara Anakan juga didiami oleh
masyarakat Kampung Laut dengan segala keunikannya. Masyarakat yang pada
awalnya banyak bermatapencaharian sebagai nelayan tangkap, kini sebagian
beralih menjadi petani padi dan perkebunan. Sungguh suatu perubahan yang
luar biasa, namun tekanan alam yang terjadi akibat proses sedimentasi ini dapat
dihadapi oleh masyarakatnya dengan sukses melalui kegigihan. Demikian pula
corak budaya religi sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa. Masyarakat Kampung Laut secara rutin menggelar upacara “Sedekah
Laut” dan “Sedekah Bumi”, suatu gambaran dalam mengungkapkan rasa syukur
karena hasil tangkapan ikan dan panen padi yang berlimpah.
Akhirnya kami mengucapkan terima kaish kepada Direktorat Riset dan
Pengabdian Masyarakat, Universitas Indonesia, Pertamina RU IV Cilacap, serta
pihak-pihak yang telah membantu terbitnya buku ini. Semoga Tuhan Yang Maha
Esa memberkati kita semua.
Ketua Kelompok Tani Mangrove Krida Wana Lestari
Wahyono
viii
SAMBUTAN
PIHAK PERTAMINA RU IV CILACAP
Dalam pemenuhan ketahanan energi nasional, Pertamina Refinery Unit (RU) IV
Cilacap sebagai salah satu unit operasi PT. Pertamina (Persero) di bidang
pengolahan minyak dan gas bumi telah hadir di Cilacap sejak tahun 1974.
Operasi yang dilakukan yakni mengolah crude oil yang berasal dari domestik
maupun impor dengan total kapasitas terpasang sebesar 348.000 BPSD. Sebagai
kilang terbesar di Indonesia sekaligus objek vital nasional, RU IV merupakan
salah satu perintis pembangunan industri di wilayah Cilacap yang memasok 34%
kebutuhan bahan bakar minyak nasional atau 60% kebutuhan bahan bakar
minyak di pulau Jawa.
Sesuai dengan visinya, yaitu “Menjadi Kilang Minyak dan Petrokimia yang
Unggul di Asia pada Tahun 2020”, RU IV tidak hanya fokus pada pengelolaan
bisnis (keuntungan), namun juga peduli terhadap lingkungan melalui program
Corporate Social Responsibility (CSR) memberdayakan masyarakat di sekitarnya
untuk berdaya dan mandiri bersama stakeholders lainnya di Cilacap.
Melaksanakan CSR sudah menjadi komitmen manajemen RU IV yang
diimplementasikan melalui kegiatan-kegiatan konkrit dan menyentuh langsung
kehidupan sosial masyarakat. Harapan kami program-program CSR yang
dilakukan dapat memenuhi sasaran yang diinginkan bersama untuk
memberdayakan ekonomi dan kehidupan lingkungan serta sosial masyarakat,
juga dapat sama-sama bersinergi sehingga kehadiran Pertamina di wilayah
Cilacap ini juga benar-benar dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat di
sekitarnya.
Pemenuhan komitmen Pertamina RU IV terhadap lingkungan ditunjukkan
dnegan adanya program CSR Pertamina Sobat Bumi yang memiliki makna bahwa
Pertamina dalam menjalankan operasinya, produk-produk yang dikembangkan
dan jasa yang diberikan peduli terhadap kelestarian lingkungan khususnya bumi
tempat kelangsungan makhluk hidup di atasnya untuk kepentingan generasi
yang akan datang. Hal tersebut dituangkan dalam dua program utama yakni
Rehabilitasi Lahan Kritis dan Konservasi Mangrove Terintegrasi dan Biodiversity.
Semangat ingin berbagi pengetahuan tentang keanekaragaman hayati
yang ada di lingkungan kita khususnya di hutan mangrove Segara Anakan ini
kami tuangkan dalam buku agar menjadi inspirasi berbagai pihak. Semoga buku
Kekayaan Potensi Mangrove Segara Anakan, Cilacap dapat memberikan informasi
kepada stakeholders mengenai gambaran program pemberdayaan masyarakat
pesisir dan jenis-jenis mangrove yang berada di kawasan Segara Anakan. Tak
ix
lupa kami ucapkan terima kasih atas kerja sama dan sumbangsih dari semua
pihak yang telah membantu sehingga buku ini dapat terwujud.
Cilacap, Mei 2017
General Manager Pertamina RU IV Cilacap
Nyoman Sukadana
x
SAMBUTAN KETUA TIM PENGABDIAN MASYARAKAT
DIREKTORAT RISET DAN PENGABDIAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS INDONESIA
Terbitnya buku bejrudul Kekayaan Potensi Mangrove Segara Anakan, Cilacap:
Dengan Latar Belakang Masyarakat Kampung Laut yang Gigih Berjuang
merupakan bukti adanya kolaborasi antara masyarakat, perusahaan, dan
perguruan tinggi yang memiliki komitmen untuk memperbaiki kualitas
lingkungan hidup dan kehidupan yang ada di dalamnya.
Bagi Universitas Indonesia, secara khusus program ini merupakan
implementasi hasil riset yang telah dilakukan di kawasan Segara Anakan, Cilacap
sejak tahun 2015 menjadi program aksi pengabdian masyarakat (Pengmas) pada
tahun 2017. Program yang direncanakan berjalan selama tiga tahun ini
merupakan program kegiatan yang berkesinambungan. Tahun pertama, luaran
kegiatan berupa penguatan kelembagaan dan peningkatan partisipasi
perempuan dalam mengelola organisasi wisata, kemudian ditindaklanjuti pada
tahun kedua, yaitu program promosi wisata yang terintegrasi, sementara itu di
tahun ketiga dilanjutkan dengan eksistensi Kelompok Tani Mangrove Krida
Wana Lestari sebagai pusat penelitian, pendidikan, dan konservasi mangrove di
kawasan Segara Anakan.
Semua program di atas dimaksudkan agar Universitas Indonesia tidak
sekadar menjadi “menara gading”, namun juga dapat berkiprah secara konkrit
menyejahterakan kehidupan masyarakat tentunya bekerja sama dengan pihak-
pihak terkait. Kepercayaan antarpihak merupakan modal sosial yang mendasar
sehingga tujuan dari terbitnya buku ini, yaitu fungsi pendidikan konservasi dapat
tercapai. Semoga sinergi ini dapat berlanjut dalam program-program berikutnya.
Ketua Tim Pengmas DRPM UI,
Kegiatan Kampung Laut, Cilacap
Prihandoko Sanjatmiko
xi
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Sambutan Ketua Kelompok Tani Mangrove Krida Wana Lestari
Sambutan Pertamina RU IV Cilacap
Sambutan Ketua Tim Pengmas DRPM UI
Daftar Isi
Daftar Gambar
Bagian 1. Kawasan Segara Anakan Nan Indah
1.1. Nuansa Surga di Muka Bumi
1.2. Nusa Kambangan – Segara Anakan: Sumber Hidupku
Bagian 2. Komunitas Segara Anakan: Orang Kampung Laut dan Ragam
Corak Budaya yang Unik
2.1. Bermula dari Perkampungan di Tengah Laut
2.2 Orang Kampung Laut Kini
2.3 Tradisi Sedekah Laut dan Sedekah Bumi: Praktik Sinkritisme di
Tengah Perubahan
2.4 Berkolaborasi Membangun Kampung Laut
Bagian 3. Ragam Tanaman Mangrove Segara Anakan: Kekayaan Alam
yang Tak Ternilai Harganya
3.1. Bentang Alam Segara Anakan
3.2. Mangrove di Indonesia
3.3. Mangrove di Wilayah Segara Anakan
3.4. Pemanfaatan Tanaman Mangrove oleh Masyarakat Kampung Laut
3.5. Jenis-jenis Mangrove di Kawasan Segara Anakan
Bagian 4. Penutup
4.1. Menakar Kebaikan Alam Segara Anakan
4.2 Masyarakat Kampung Laut Menatap Masa Depan
Daftar Pustaka
Glosarium
Indeks
v vii viii x xi xii 1
1 9
17
17 22 25 31 39 39 40 40 41 43 105 105 107 108 109 111
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Peta wilayah Segara Anakan dalam konteks wilayah Indonesia
Gambar 2. Pintu gerbang masuk Kabupaten Cilacap
Gambar 3. Perubahan lanskap kawasan Segara Anakan 1987-2006
Gambar 4. Tutupan lahan dan penggunaan lahan tahun 2006 di kawasan Segara
Anakan, Cilacap
Gambar 5. Suasana matahari tenggelam dengan latar belakang hutan mangrove di
Segara Anakan
Gambar 6. Menyusuri perairan di antara pepohonan mangrove Segara Anakan
Gambar 7. Pantai Permisan Nusa Kambangan
Gambar 8. Batuan karst di Pulau Nusa Kambangan
Gambar 9. Nuansa sinkritisme Sangat kentara dalam ajaran Agama Islam
Gambar 10. Hutan mangrove dengan latar belakang LAPAS Kembang Kuning
Gambar 11. Berlimpahnya potensi ikan, udang, dan kepiting di kawasan Segara Anakan
Gambar 12. Jaring Ciker masih digunakan untuk menangkap ikan di perairan sungai
yang sempit dan berarus tenang
Gambar 13. Kegiatan membuat perangkap burung
Gambar 14. Kulit Kerang Totok
Gambar 15. Sejauh mata memandang, tanaman padi tanah sedimen di Segara Anakan
tumbuh dengan subur
Gambar 16. Para petani di Desa Ujung Alang
Gambar 17. Menuai hasil jerih payah
Gambar 18. Perkebunan kelapa sangat intensif diusahakan oleh warga Kampung Laut
Gambar 19. Tanaman Sangon
Gambar 20. Menjaga tanaman kebun yang ada di Pulau Nusa Kambangan
Gambar 21. Susasana Kampoeng Laoet Tempo Doeloe, Tahun 1900
Gambar 22. Ujung Alang, 1908
Gambar 23. Majingklak, 1914
Gambar 24. Anak-anak sekolah di Kampung Laut
Gambar 25. Akses keluar wilayah Kampung Laut
Gambar 26. Pemukiman di Kampung Laut
Gambar 27. Rumah batu di Kampung Laut saat ini
Gambar 28. Akses ke sekolah saat ini di Kampung Laut
Gambar 29. Jembatan Desa Ujung Alang
Gambar 30a, 30b, 30c,. Perahu dalam Sedekah Laut, Kampung Laut
Gambar 31a, 31b,. Larung Sesaji di Segara Anakan
Gambar 32. Keriuhan warga selepas sesaji di larung
Gambar 33. Sedekah bumi untuk sawah dan perkebunan
Gambar 34. Rangkaian upacara Sedekah Laut dan Bumi diakhiri pertunuukan wayang
kulit semalam suntuk
Gambar 35. Bersinergi membangun Kampung Laut
Gambar 36. Tracking untuk menyusuri keindahan kawasan mangrove Segara Anakan
2 3 4 5 5 6 7 7 8 8 11 11 12 12 13 13 14 14 15 15 19 20 21 22 23 23 24 24 25 27 28 29 29 30 32 33
xiii
Gambar 37. Grafik penanaman mangrove
Gambar 38. Konservasi mangrove terintegrasi
Gambar 39. Kegiatan workshop dalam penguatan kelembagaan perempuan Kelompok
Tani Krida Wana Lestari
Gambar 40. Sistem pengelolaan wisata mangroves sebagai dasar implementasi
Gambar 41. Produk olahan lokal yang telah dihaislkan kelompok: Kembang Gula Jawa,
Permen Mangrove, dan Kecap Ikan
Gambar 42. Anggota kelompok menjadi pemandu bagi pengunjung tracking mangrove
Gambar 43. Tanaman mangrove buah Nipah
Gambar 44. Isi buah Nipah seperti Kolang-kaling
33 34 36 37 37 38 42 42
1
BAGIAN SATU
SEGARA ANAKAN NAN INDAH
1.1 Nuansa Surga di Muka Bumi
Berkunjung ke Karesidenan Banyumas, Jawa Tengah tentu belum lengkap bila
tidak sampai ke Segara Anakan, Kabupaten Cilacap. Sejauh mata memandang,
kita dapat menyaksikan hutan mangrove yang terbentang dan menyejukkan
mata serta hati bagi siapa saja yang berkunjung. Tidak sulit untuk menuju ke
wilayah ini. Akses jalan dapat ditempuh melalui udara, darat, dan air. Jika
menggunakan angkutan udara, khususnya dari Jakarta, pesawat reguler tersedia
dari Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta menuju Bandara Tanggul Wulung,
Cilacap. Demikian pula dengan angkutan darat berupa kereta api, rangkaian
kereta Purwojaya melayani trayek yang secara reguler dari Stasiun Gambir
menuju Stasiun Besar Cilacap. Bila menggunakan angkutan mobil, jalan raya
provinsi yang menuju wilayah Cilacap dalam kondisi sangat baik.
Menuju kawasan Segara Anakan, telah tersedia perahu sleko yang
menyediakan jasa angkutan perahu-perahu reguler dan charter (sewa). Perahu
reguler beroperasi antara pukul 08.00 – 14.00 WIB melayani trayek Desa Ujung
Alang dan Klaces, Kecamatan Kampung Laut, menggunakan perahu compreng.
Sementara itu perahu charter beroperasi dalam waktu yang tidak terbatas sesuai
keinginan pihak pengguna/penyewa.
Dari pelabuhan Majingklak ke ibukota Kecamatan Kampung Laut di Desa
Klaces, dapat naik angkutan perahu seharga Rp. 50.000,- per penumpang. Lokasi
antara desa Ujung Alang dan Klaces dapat ditempuh dengan jalan darat
menggunakan motor, namun dengan kondisi jalan berbatu. Dua desa yang
terpisah secara fisik dari kantor kecamatan Kampung Laut adalah Desa Ujung
Gagak dan Desa Panikel. Kedua desa ini dapat ditempuh dengan menggunakan
akses darat dari kota Cilacap, namun dengan kondisi jalan berbatu.
Meskipun akses menuju Kampung Laut dari Pelabuhan Sleko maupun
Majingklak hanya dapat menggunakan jalur air dengan menyusuri Pulau-Pulau
sedimentasi yang ditumbuhi mangrove dan nipah antara Pulau Jawa dan Nusa
Kambangan, perjalanan di malam hari dengan kondisi gelap gulita biasa
dilakukan oleh warga Kampung Laut terutama bila ada keperluan yang amat
mendesak. Namun demikian, mengendarai perahu di malam hari tidaklah mudah.
Bagi warga Kampung Laut sendiri berperahu di malam hari menyebabkan
kekhawatiran akan pelanggaran lokasi Jaring Apong yang ditanam oleh nelayan
di sepanjang alur air di kawasan Segara Anakan. Jika pengendara perahu
2
melanggar lokasi Jaring Apong yang dapat menyebabkan rusaknya jaring
tersebut, maka ia harus mengganti kerugian atas rusaknya jaring yang harganya
dapat mencapai Rp. 1.000.000,- per unit.
Biasanya keberadaan Jaring Apong hanya ditandai dengan pelampung
gabus di atas permukaan air, sehingga pada saat malam hari tidak terlihat tanda
lokasi keberadaan Jaring Apong dalam bentuk lampu, kecuali jika terdapat
nelayan pemilik Jaring Apong tersebut mengambil hasil tangkapan ikan di
jaringnya dengan menggunakan penerangan lampu senter. Kondisi penerangan
yang demikian tidak berbeda dengan perahu-perahu yang tengah melintas,
meskipun mereka sering berlayar di malam hari, lampu penanda tidak mereka
gunakan, akibatnya tidak jarang terjadi tabrakan antara sesama perahu yang
melintas karena tidak digunakannya lampu penerang oleh masing-masing
perahu.
Gambar 1. Peta wilayah Segara Anakan dalam konteks wilayah Indonesia (Sumber: Ardli E. R, et al, 2008)
3
Gambar 2. Pintu gerbang masuk Kabupaten Cilacap akan menyambut wisatawan yang datang. Akses jalur darat yang memadai menarik wisatawan untuk berkunjung
Segara Anakan merupakan perairan yang berada di wilayah Jawa Tengah,
tepatnya di antara Pulau Jawa dan Pulau Nusa Kambangan. Wilayah perairan dan
sebagian daratan ini unik karena terbentuk dari proses sedimentasi yang
menyebabkan perubahan bentang alam . Pada sekitar tahun 1970-an, wilayah ini
masih berupa lautan. Bermuaranya empat sungai besar, yaitu Citanduy,
Cibeureum, Cikonde, dan Cimeneng dengan membawa endapan lumpur dari
wilayah hulu, menyebabkan wilayah perairan menjadi wilayah daratan dan
kawasan mangrove. Kurun waktu berikutnya, terutama sejak tahun 1980-an,
proses sedimentasi menjadi semakin masif. Hal ini dirasakan terutama sejak
meletusnya gunung Galunggung di wilayah Garut, Jawa Barat yang membawa
endapan lahar dingin.
4
Gambar 3. Perubahan lanskap kawasan Segara Anakan 1987-2006
1. Gambar visual proses sedimentasi wilayah Segara Anakan tahun 1987 – 2006
yang mengubah bentang alam (Ardli: 2005, 2008)
2. Proses sedimentasi yang masif secara sosio-ekonomi membawa konsekuensi
perubahan tenurial kawasan Segara Anakan (Prihandoko, 2016)
Menyusuri alur sungai dari pelabuhan Sleko menuju Kampung Laut, di
sepanjang perjalanan akan terlihat hamparan tanaman mangrove dan bangunan
Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Kembang Kuning di Pulau Nusa Kambangan.
Rumah tahanan ini merupakan tempat ditahannya pada narapidana “kelas
kakap”. Bagi orang awam, hamparan perairan dari pelabuhan Sleko menuju
Kampung Laut hanya terlihat berupa tanaman mangrove dengan alur sungai
yang berliku-liku. Keadaan ini sangat membingungkan dan dapat menyebabkan
pendatang baru mudah tersesat. Namun demikian, tidak bagi warga Kampung
Laut. Setiap liku alur sungai memiliki penanda nama khusus sebagai lokasi.
Seperti Sapuregel, Karang Kobar, Kembang Kuning, Lokasi Jaring Apong Bapak X,
dan lain sebagainya. Semua nama itu menunjukkan lokasi tertentu yang sangat
5
akrab bagi warga Kampung Laut. Warga Kampung Laut akan merujuk ke lokasi
tersebut bila mereka mengalami hambatan dalam perjalanan, seperti ketika
mesin perahu rusak atau kehabisan bahan bakar.
Gambar 4. Tutupan lahan dan penggunaan lahan tahun 2006 di Kawasan Segara Anakan, Cilacap (Ardli, 2008)
Gambar 5. Suasana matahari tenggelam dengan latar belakang hutan mangrove di Segara Anakan. Perairan dengan hempasan ombak yang tenang karena berada di selat antara Pulau Jawa dan Pulau Nusa Kambangan
6
Pantai Selatan Pulau Nusa Kambangan yang lebih dikenal dengan Pantai
Permisan memiliki keindahan tersendiri. Deburan ombak Samudera
Indonesia terdengar sayup-sayup hingga Dusun Lempong Pucung, Desa Ujung
Ulang, menghiasi suasana hening di alam pedesaan.
Gambar 6. Menyusuri perairan di antara pepohonan mangrove Segara Anakan memberikan nuansa ketenangan batin tersendiri. Hijau pepohonan diiringi oleh kicauan burung habitat endemik di antara tanaman mangrove. Sesekali burung-burung nan indah dari hutan Pulau Nusa Kambangan juga ikut bertengger menyemarakkan suasana.
7
Gambar 7. Pantai Permisan, Nusa Kambangan dengan deburan ombak Laut Selatan yang penuh misteri memiliki keindahan tersendiri. Pantai ini kerap menjadi “Kawah Candradimuka” bagi penapisan prajurit TNI untuk lolos dalam kesatuan elite mereka.
Gambar 8. Batuan karst yang terdapat di Pulau Nusa Kambangan membentuk gua-gua yang memiliki nuansa magis tersendiri. Gua Masigit Sela di Dusun Lempong Pucung, Desa Ujung Alang merupakan salah satu gua yang banyak dikunjungi oleh wisatawan maupun orang-orang yang mencari “peruntungan”.
8
Gambar 9. Nuansa sinkritisme sangat kentara dalam pelaksanaan ajaran agama Islam Musholla yang berdampingan dengan lokasi Gua Masigit Sela: hening, sepi, dan sejuk sangat terasa di lokasi ini.
Gambar 10. Hutan mangrove dengan latar belakang LAPAS Kembang Kuning di Pulau Nusa Kambangan. Kondisi lingkungan alam yang cukup berat menjadikan Pulau ini layak sebagai lokasi rumah tahanan. Demikian pula lokasi ini kerap digunakan untuk melatih para prajurit TNI Marinir untuk mengasah kemampuan bertahan dan tempurnya.
9
Pulau Nusa Kambangan dikenal pula sebagai Pulau yang diperuntukkan
bagi para tahanan “kelas kakap” dengan masa kurungan minimal 10 tahun
penjara, selain juga bagi tahanan kasus Narkoba. Beroperasinya Pulau Nusa
Kambangan sebagai tempat penahanan sudah berlangsung sejak zaman Belanda,
bahkan para tahanan terpidana mati sudah banyak dikesekusi di Pulau Nusa
Kambangan ini. Kondisi tersebut membeirkan suasana mistis tersendiri
khususnya bagi para wisatawan, namun tidak demikian halnya bagi masyarakat
Kampung Laut.
1.2 Nusa Kambang – Segara Anakan: Sumber Hidupku
Nusa Kambang, demikian masyarakat Kampung Laut menyebut Pulau Nusa
Kambangan yang bagi mereka sangat erat kaitannya dengan perairan Segara
Anakan. Sumber daya alam Segara Anakan telah memberikan kehidupan bagi
masyarakat Kampung Laut yang tinggal di wilayah tersebut. Wilayah perairan
digunakan sebagai sarana transportasi air serta mata pencaharian hidup
berbasis perikanan tangkap. Wilayah daratan berupa pertanian tanah sedimen
dalam bentuk sawah dan kebun. Di Pulau Nusa Kambangan masyarakat
Kampung Laut memanfaatkannya sebagai lahan perkebunan sayur, buah-buahan,
serta perkebunan kayu sangon (Albasia).
Perubahan bentang alam yang disebabkan oleh proses sedimentasi
kawasan perairan menjadi daratan, memberikan warna tersendiri bagi ragam
mata pencaharian komunitas yang tinggal di kawasan Segara Anakan, khususnya
masyarakat Kampung Laut.
Tabel 1. Perubahan Livehood dari 1987 – 2015
Tahun 1988 Tahun 2015 Ragam Pekerjaan Potensi
Penghasilan Ragam Pekerjaan Potensi
Penghasilan Masa
Pekerjaan dalam
Setahun
Ekstraktif
Pengangkut air Rp. 5.000,-/hari
Pengangkut air Rp. 50.000,-/hari
Sepanjang tahun
Penebang mangrove Rp. 5.000,-/hari
Penebang mangrove
Rp. 5.000,-/hari
Sepanjang tahun
Penangkap katak Rp. 4.000,- 4.500,-/hari
Penangkap katak Rp. 100.000,- 150.000,-/hari
Musim penghujan (oktober-April)
Penangkap burung Rp. 3.500,-/hari
Penangkap burung Rp. 20.000,- - 800.000,-/hari
Sepanjang tahun
Penebang nipah Rp. 3.000,-/hari
Penebang nipah Rp. 50.000,-/hari
Sepanjang tahun
10
Pengumpul kayu bakar Rp. 3.000,-/hari
Pengumpul kayu bakar
Rp. 3.000,-/hari
Sepanjang tahun
Pencari belut untuk umpan
Rp. 2.500,-/hari
Pencari belut konsumsi
Rp. 100.000,- - 200.000,-/hari
Sepanjang tahun
Pencari kerang totok Rp. 2.500,-/hari
Pencari kerang totok
Rp. 100.000,-/hari
Sepanjang tahun
Penambang pasir Rp. 2.000,- 2.500,-/hari
Penambang pasir Rp. 100.000,- - 200.000,-/hari
Sepanjang tahun
Penambang batu kapur Rp. 1.500,- Penambang batu kapur
Rp. 100.000,- - 200.000,-/hari
Sepanjang tahun
Pekerja tambak Rp. 1.500,- - 2.000,-/hari
Pekerja tambak Rp. 50.000,-/hari
Sepanjang tahun
Pekerja pertanian/kebun Rp. 1.500,-/hari
Pekerja pertanian/kebun
Rp. 100.000,- - 200.000,-/hari
Sepanjang tahun
Pencari ikan Rp. 1.500,-/hari
Pencari ikan Rp. 100.000,- - 200.000,-/hari
Sepanjang tahun
Jasa Pekerja bangunan Rp. 3.500,- -
4.000,-/hari Pekerja bangunan Rp. 50.000,- -
100.000,-/hari
Sepanjang tahun
Pekerja rumah tangga Rp. 2.000,-/hari
Pekerja rumah tangga
Tidak ditemukan
Sepanjang tahun
Penjahit Rp. 1.500,- - 2.000,-/hari
Penjahit Rp. 50.000,- - 75.000,-/hari
Sepanjang tahun
Pemijat wanita Rp. 1.000,- - 2.000,-/hari
Pemijat wanita Rp. 30.000,- - 50.000,-/hari
Sepanjang tahun
Pemangkas rambut Rp. 500,- - 2.000,-/hari
Pemangkas rambut Rp. 20.000,- - 50.000,-/hari
Sepanjang tahun
Penebang dan pemotong kayu sangon
Rp. 150.000,- - 200.000,-/hari
Sepanjang tahun
Pencari batu akik Rp. 50.000,-/hari
Sepanjang tahun
Pemoles batu akik Rp. 50.000,- - 100.000,-/hari
Sepanjang tahun
Pencari bibit mangrove
Rp. 100.000,-/hari
Sepanjang tahun
Pengemudi compreng
Rp. 100.000,- - 200.000,-/hari
Sepanjang tahun
11
Gambar 11. Berlimpahnya potensi ikan, udang, dan kepiting di kawasan Segara Anakan tidak akan membuat orang yang rajin bekerja menjadi kelaparan. Sejauh ada kemauan untuk berusaha, sumber daya alam berbaik hati kepada manusia
Gambar 12. Jaring Ciker masih digunakan untuk menangkap ikan di perairan sungai yang sempit dan berarus tenang. Dengan menggunakan perahu kayu yang panjang dan ramping, nelayan membentangkan jaring sebagai perangkap ikan.
12
Gambar 13. Selain menangkap ikan, kegiatan bebruru yang menjadi sumber mata pencaharian adalah berburu burung dengan cara membuat perangkap. Jenis burung endemik bukan hanya berasal dari hutan mangrove, tetapi juga berasal dari hutan Pulau Nusa Kambangan.
Gambar 14. Kulit Kerang Totok. Jenis kerang mangrove ini diambil secara ekstraktif di perairan lumpur mangrove Segara Anakan. Daging kerang diambil, cangkakngnya belum dapat dimanfaatkan scara maksimal, kecuali digunakan sebagai bahan timbunan membuat daratan
13
Pertanian di kawasan Segara Anakan muncul melalui proses perjalanan waktu
yang cukup rumit dan panjang. Mengapa demikian? Tidak serta merta perairan laut
yang mengalami proses sedimentasi dapat ditanami padi. Perlu proses yang panjang
agar salinitas lahan menjadi netral sehingga tanaman padi dapat tumbuh di atasnya.
Gambar 15. Sejauh mata memandang, tanaman padi tanah sedimen di Segara Anakan tumbuh dengan subur. Setiap tahun petani dapat melakukan dua kali tanam padi dengan sistem pengairan tadah hujan.
Gambar 16. Para petani di Desa Ujung Alang, sedang melaksanakan kegiatan Tandur. Butuh keuletan sehingga tanah ini dapat ditanam dengan tana-man padi. Persoalan slainitas yang tinggi dapat terbantu dengan intensitas hujan yang tinggi pula sehingga pH tanah menjadi netral untuk bisa ditanami padi.
14
Gambar 17. Menuai hasil jerih payah: bulir-bulir gabah sedang dikeringkan oleh warga masyarakat Lempong Pucung. Alam telah berbuat baik bagi manusia yang senantiasa berusaha tanpa kenal menyerah.
Pertanian di Nusa Kambang meliputi pertanian padi lahan kering, tanaman buah
dan sayuran, perkebunan kelapa, dan tanaman kayu Sangon (Albasia). Warga
masyarakat yang bertani di wilayah tersebut, hanya melaksanakan hak penggunaan
lahan dan penguasaan tanpa hak kepemilikan. Otoritas kepemilikan lahan sepenuhnya
dipegang oleh pihak LAPAS Nusa Kambangan.
Gambar 18. Perkebunan kelapa sangat intensif diusahakan oleh warga Kampung Laut. Pohon kelapa diambil air nira nya sebagai bahan utama pembuatan gula Jawa. Tidak heran Kampung Laut menjadi sentra produksi gula jawa untuk kota Cilacap dan sekitarnya.
15
Gambar 19. Tanaman Sangon (Albasia) sangat intensif ditanam oleh warga di Pulau Nusa Kambangan. Nilai jual yang tinggi dan pertumbuhan yang cepat (3-5 tahun), tanpa batasan pasar, membuat tanaman ini menjadi sumber tabungan bagi warga.
Gambar 20. Demi menjaga tana-
man kebun yang ada di Pulau Nusa Kam-
bangan, warga masyarakat Dusun
Lempong Pucung, Desa Ujung Alang rela
membuat gubuk di dekat kebun. Serangan
hama terutama babi hutan seringkali
memakan tanaman kebun mereka.
16
17
BAGIAN KEDUA
KOMUNITAS SEGARA ANAKAN: “ORANG KAMPUNG LAUT” DAN BERAGAM CORAK BUDAYANYA YANG UNIK
2.1 Bermula dari Perkampungan Di Tengah Laut
Komunitas yang saat ini disebut sebagai komunitas Kampung Laut telah menetap
di wilayah Segara Anakan sejak masa kerajaan Mataram tahun 1600-an. Mereka
memiliki sejarah komunitas tersendiri yang berkaitan dengan nama-nama lokasi
pada saat ini seperti Pejagan, Karang Kobar, dan Motean. Pada tahun 1600-an,
wilayah perairan di antara Pulau Nusa Kambangan dan Pulau Jawa merupakan
perairan yang tenang dari besarnya hempasan ombak Samudera Hindia. Keadaan
ini disebabkan oleh keganasan ombak Samudera Hindia yang menerpa Pulau
Jawa, terhalang oleh Pulau Nusa Kambangan. Tenangnya perairan Segara Anakan
pada masa itu, selanjutnya digunakan oleh para pedangang asing dari Portugis,
Arab, Cina untuk berlindung dari hempasan ombak Samudera Hindia. Banyaknya
para pedagang dan saudagar asing yang berlindung di perairan Segara Anakan,
mengundang para perompak untuk merampok barang dagangan dan harta
benda mereka. Mendengar kejadian yang sangat merugikan pedagang dan warga
setempat, maka sebagai otoritas negara, kerajaan Mataram di Surakarta
mengirim tentara yang dipimpin oleh tiga orang prajurit senior, yaitu Ki Jaga
Laut, Ki Jaga Desa dan seorang lagi prajurit perempuan yang perkasa bernama Ki
Jaga Resmi. Nama-nama para prajurit kerajaan Mataram tersebut seperti Ki Jaga
Laut, Ki Jaga Desa dan Ki Jaga Resmi hingga saat ini masih dikenal oleh warga
Kampung Laut. Bahkan makam Ki Jaga Laut saat ini masih ada di wilayah Pulau
Nusa Kambangan, demikian pula keturunan langsung dari Ki Jaga Laut ada di
desa Ujung Alang dan dapat ditelusuri silsilahnya.
Nama-nama lokasi dusun pada saat ini, juga masih menjadi bagian cerita
tentang sejarah Kampung Laut, seperti wilayah Pejagan di desa Ujung Alang,
merupakan nama lokasi pos penjagaan prajurit Mataram pada masa lalu. Karang
Kobar merupakan nama dusun awal yang ditempat penduduk di Kampung Laut
yang mengalami peristiwa kebakaran sehingga penduduk dusun tersebut harus
pindah ke daerah lain. Motean berupa nama salah satu dusun di Desa Ujung
Alang pada saat ini.
Dari sumber literatur, sejarah Kampung Laut diceritakan tersendiri. Desa
Ujung Alang, Ujung Gagak, Panikel sudah ada saat itu. Sebagai desa-desa tua,
wilayah ini mempunyai dua versi sejarah masyarakatnya, yaitu versi cerita
folklore Sangkuriang Tauri dan versi Sejarah Cilacap. Versi pertama. Pada masa
18
kerajaan Majapahit di tahun 1330, terdapat hubungan yang baik antara Kerajaan
Jawa dan Kerajaan Pasundan. Segara Anakan merupakan wilayah laut yang
merupakan perbatasan antara kedua kerajaan tersebut. Pos pengawasan
perbatasan dibangun di satu daerah desa yang bernama Limus Buntu pada saat
itu. Seiring keruntuhan kerajaan Majapahit saat itu, terjadi gempa bumi yang
menghancurkan desa Limus Buntu di wilayah Pulau Nusa Kambangan.
Sementara itu wilayah Kampung Laut tidak mengalami kehancuran akibat gempa
bumi tersebut, sehingga warga Desa Limus Buntu kemudian membangun
perkampungan baru di wilayah tersebut yang disebut sebagai Pejagan Kampung
Laut. Versi kedua, pada masa Kerajaan Mataram tahun 1600-an, prajurit kerajaan
tersebut ditugaskan untuk menjaga pelabuhan alam Cilacap dari masuknya
bangsa Eropa (Portugis, Spanyol, dan Belanda) untuk meluaskan wilayah
perdagangan mereka.
Prajurit kerajaan Mataram menempati daerah yang disebut Pademangan.
Pimpinan desa tersebut sebagai Demang bernama Wiryoyudan yang kemudian
digantikan oleh Wangsengrana, Udasana dan Wirayusa. Ketika kekuasaan
Kerajaan Mataram mulai runtuh, Pemerintah Belanda menjadikan Pulau Nusa
Kambangan sebagai pulau untuk memenjarakan para tahanan perang. Sebagian
prajurit Mataram kemudian memutuskan untuk membangun pemukiman baru di
perairan Segara Anakan yang saat ini dikenal sebagai wilayah Motean, Klaces dan
Panikel. Daerah ini kemudian dikenal sebagai Kampung Laut dengan empat desa
tua utamanya yaitu Desa Ujung Galang, Ujung Gagak, Panikel dan Pamotan.
Pada awalnya para keturunan Ki Jaga Laut yang memang bukan nelayan,
menempati wilayah Nusa Kambangan yang saat itu sudah menjadi tempat
pembuangan para narapidana oleh Pemerintah Belanda kala itu. Tetapi karena
para istri dari keturunan Ki Jaga Laut ini sering kali diganggu oleh para
narapidana yang berada di sana, sementara para suaminya sedang pergi melaut,
maka mereka pindah ke suatu tempat yang berada di tengah laut antara Pulau
Nusa Kambangan dan Pulau Jawa. Pada saat itu permukiman yang berada di atas
laut tersebut terbakar, sehingga lokasi permukiman tersebut dinamakan Karang
Kobar sampat saat ini. Peristiwa kebakaran yang melalap sebagian besar
perubahan di atas laut tersebut menyebabkan warga pindah ke lokasi lain yakni
Motean dan Peniten (di desa Ujung Alang pada saat ini). Nama Desa Ujung Alang
sendiri, berasal dari informasi karena ujung desa ini jalanannya malang
(melewati) sungai. “Ujungnya malang, jadinya Ujung Alang”.
Hingga tahun 1970 sampai awal tahun 1980-an, rumah-rumah tempat
tinggal di Kampung Laut masih berupa rumah panggung. Rumah-rumah tersebut
wujdunya seperti rumah-rumah Jawa pada umumnya yaitu berbentuk segi empat
dengan atap model Kampung Srotong atau Limasan yang dibangun di atas tiang-
19
tiang kayu tancang yang waktu itu mudah didapat dari Pulau Nusa Kambangan.
Lantai dan kerangka atap (kaso dan reng) umumnya juga dari kayu tancang yang
berukuran kecil dan lurus-lurus. Suatu kampung dapat terdiri dari 4 rumah atau
lebih.
Menjelang tahun 1980-an rumah-rumah panggung tersebut semakin
menghilang. Penyebabnya, selain orang makin sulit mendapatkan kayu tancang
atau kayu-kayu jenis lain yang dipandang baik untuk bangunan rumah, juga
makin cepatnya laju pendangkalan laut sebagai akibat dari sedimentasi lumpur.
Pada sisi yang lain, ada upaya yang dilakukan secara fisik oleh warga Kampung
Laut untuk merubah lahan perairan menjadi lahan daratan untuk dijadikan
sebagai lokasi rumah. Pembuatan tanggul-tanggul dan menimbun kawasan yang
masih berupa perairan dengan cangkang kerang totok dan batu gunung,
merupakan diantara upaya tersebut. Warga juga menimbun kolong-kolong
rumah panggung mereka sehingga sedikit demi sedikit kolong rumah menjadi
tanah daratan. Bahkan kolong-kolong jembatan secara gotong royong juga
diurug. Dewasa ini sulit untuk melihat rumah panggung yang berdiri di atas laut.
Gambar 21. Suasana Kampong Laoet Tempoe Doeloe Tahun 1900
20
Rumah-rumah berjejer yang dihubungkan dengan jembatan kayu
sebagai akses dalam kampung. Dinding dan atap rumah dibentuk dengan
menggunakan bahan kayu dan jerami. Demikian juga dengan tiang pancang
pondasi yang konon dalanya hingga 12 meter ke bawah laut. Pola
permukiman demikian dengan bahan bangunan sepenuhnya dari kayu dan
jerami, sangat rawan terhadap bahaya kebakaran. Hal ini terbukti dengan
terbakarnya permukiman Kampung Laut yang melahap seluruh bangunan,
sehingga saat ini perairan bebas kampung yang terbakar tersebut
dinamakan Karang Kobar. (Dr. Kathleen Schwerdtner, Leibniz Center fr
Tropical Marine Ecology, Bremen, Germany)
Gambar 22. Ujung Alan 1908
Sumber: Karsiyah dan Dr. Kathlen S. Manez
Rumah-rumah di permukiman Kampung Laut saat itu dibangun dengan
menggunakan bahan kayu dan atap nipah. Letak rumah saling berdekatan satu
sama lain. Kondisi ini rawan bila terjadi ekbakaran. Hal ini terbukti dengan
kejadian terbakarnya rumah-rumah di Kampung Laut yang berakibat hancurnya
seluruh bangunan permukiman Kampung tersebut. Sebagai gantinya, warga
kemudian hijrah ke wilayah baru yang sudah menjadi daratan. Daratan tersebut
bernama Motean (sebagai nama Dusun di Desa Ujung Alang pada saat ini).
21
Sementara itu bekas kampung lokasi kebakaran saat ini sudah menjadi daerah
yang disebut sebagai Karang Kobar yang berarti Pulau yang terbakar. Seiring
berjalannya waktu, nama Karang Kobar amsih tetap ada hingga saat ini yang
menandai suatu tempat di Desa Ujung Alang.
Gambar 23. Majingklak 1914.
Sumber: Karsiyah dan Dr. Kathlen S Manez
Penampakan Orang Kampung Laut pada masa lalu, yaitu masyarakat dengan
kebudayaan Jawa Pesisir dengan ciri pakaian bagi laki-laki menggunakan celana
komprang dan topi blankon. Sebagai masyarakat pesisir, mereka menjadi
tangguh karena tekanan lingkungan alam yang mengharuskan bersikap dan
bertindak tegas sebagai pelaut. Hingga saat ini Orang Kampung Laut masih
dikenal sebagai pelaut yang handal meneglilingi sanudera luas. Tidak sedikit
warga Kampung Laut yang bekerja di kapal-kapal penangkap ikan maupun kapal
barang yang melayari rute di dalam dan luar negeri.
Ciri sebagai masyarakat pesisir juga masih terasa hingga saat ini. Selain
bidang pekerjaan sebagian warga masyarakatnya yang berbasis sumber daya
pesisir, mereka juga mengembangkan pengetahuan untuk berupaya ekonomi
22
dalam bidang pertanian dan perkebunan. Secara khusus masyarakat yang mulai
mengusahakan bidang pertanian dan perkebunan terdapat di Desa Klaces, Desa
Ujung Alang dusun Lempong Pucung.
2.2 Orang Kampung Laut Masa Kini
Seiring berjalannya waktu, tidak ada lagi warga masyarakat Kampung Laut yang
tinggal di kampung dengan kondisi rumah bertiang pancang. Semua warga
masayarakat Kampung Laut tengah tinggal dan berumah di daerah daratan
dengan kondisi rumah kayu atau pondasi semen. Orang Kampung Laut saat ini
wilayah permukimannya sudah sama dengan warga komunitas lainnya yang ada
di daratan.
Gambar 24. Anak-anak di Kampung Laut tidak lagi ke sekolah dengan mendayung perahu. Jalan antar kampung yang pada awalnya merupakan tanggul penahan air banjir rob, sudah dikeraskan menjadi .jalanan.
23
Gambar 25. Akses keluar wilayah Kampung Laut khususnya ke Pelabuhan Sleko di Cilacap dan Majingklak masih harus menggunakan perahu kayu yang disebut compreng
Gambar 26. Permukiman di Kampung Laut kini sudah menjadi pola permukinan jalan bata block dengan sarana listrik yang selalu menyala di siang dan malam hari.
24
Gambar 27. Pada saat ini sudah tidak ada lagi rumah di atas air yang menggunakan tiang pancang dari kayu. Hampir semua bangunan telah menggunakan bahan baku semen dan beton, meski biaya untuk menimbun perairan untuk dijadikan tanah daratan dan membangun rumah membutuhkan biaya yang sangat mahal. Untuk menimbun, dibutuhkan ber-perahu-perahu batu kapur yang diambil dari bagian lain Pulau Nusa Kambangan. Demikian pula untuk membangun rumah, dibutuhkan bahan bangunan seperti pasir, semen yang harus didatangkan dari luar Kampung Laut.
Gambar 28. Seiring derap pembangunan di wilayah Kampung Laut, secara fisik wilayah dan ekonomi warga juga telah berkembang. Akses ke sekolah dapat dijalani dengan menggunakan sepeda motor di jalan cor semen.
25
Gambar 29. Tidak hanya membuka akses jalan darat, antarPulau sedimen juga dibangun jembatan besi dengan bentuk khusus yang terdapat di Dusun Motean, Desa Ujung Alang.
2.3. Tradisi Sedekah Laut – Sedekah Bumi: Praktik Sinktrisme di Tengah
Perubahan
Sebagai komunitas yang mengalami perubahan bentang alam dari wilayah laut
menjadi daratan, membawa konsekuensi tersendiri perihal tata cara mereka
bertahan hidup. Salah satu bentuk adaptasi Orang Kampung Laut untuk bertahan
hidup adalah perubahan dalam pola mata pencaharian, yang pada awalnya
sebagai nelayan pencari ikan menjadi petani sawah dan perkebunan.
Perubahan ini tidak hanya merubah bentuk-bentuk alat mereka untuk
mencari sumber kehidupan, namun dalam hal pergeseran “sosok” tempat
mereka meminta “perlindungan”. Pada saat mereka mencari ikan di kawasan
laguna Segara Anakan maupun di Laut Lepas Pantai Selatan, maka perlindungan
mereka ajukan kepada Sang Penguasa Laut beserta folklore dan mitos yang
menyertainya. Mitos tentang Nyi Roro Kidul Sang Penguasa Laut Selatan yang
memberikan perlindungan bagi para nelayan, kental dirasakan dalam
masyarakat Kampung Laut. Ketika mata pencaharian mereka bergeser sebagai
26
petani sawah atau pekebun, maka mitos tentang Dewi Sri sebagai Sang Dewi Padi
yang melindungi tanaman para petani, juga menjadi kental dirasakan. Perubahan
ini terimplementasi dalam bentuk-bentuk wujud permintaan “perlindungan dan
ungkapan rasa syukur” oleh Masyarakat Kampung Laut dalam bentuk upacara
Sedekah Laut dan Sedekah Bumi. Pada satu kawasan Segara Anakan, maka
bentuk upacara yang dilaksanakan oleh masyarakat Kampung Laut adalah
Sedekah Laut dan Sedekah Bumi.
Acara Sedekah Laut dan Sedekah Bumi dilaksanakan rutin setiap tahun
pada Tahun Baru Islam 1 Muharam atau 1 Suro pertanggalan Jawa. Ritual acara
ini saling bercampur antara unsur-unsur yang ada dalam agama Hindu dan
agama Islam. Hal ini ditunjukkan dengan adanya persembahan bagi Sang Maha
Kuasa diiringi dengan bacaan-bacaan shalawat Nabi Muhammad SAW yang biasa
dilakukan dalam agama Islam.
Upacara diadakan secara kolektif mulai dari tingkat RT (Rukun Tetangga),
RW (Rukun Warga), dusun hingga desa. Selain itu upacara juga dilakukan secara
perorangan warga desa yang ingin mengucapkan rasa syukur atas hasil
tangkapan ikan yang berlimpah atau hasil panen tanaman pagi atau kebun.
Rangkaian acara tersebut dimulai dengan iringan-iringan perahu membawa
sesaji yang akan dilarung, kemudian ditutup dengan pertunjukkan wayang kulit
semalam suntuk.
27
Gambar 30a. 30b 30c. Perahu sebagai alat usaha mencari ikan, harus didoakan agar senantiasa memberikan rezeki dan keselamatan dari pemiliknya. Persembahan kepada Yang Kuasa sebagai tanda setia.
28
Gambar 31a, 31b. Sesaji dilarung ke Laut Pantai Selatan sebagai “persembahan” kepada Sang Penguasa Alam, khususnya laut. Warga nelayan Kampung Laut memperebutkan sesaji yang dilarung tersebut dan menyiramkan perahunya dengan air laut yang berasal dari lokasi larungan tersebut. Harapan besar mereka inginkan agar Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan rezeki dalam bentuk hasil tangkapan ikan yang berlimpah, diiringi dengan keselamatan. Ketidakpastian akan hasil dan keselamatan, membuat nelayan Kampung Laut membutuhkan perasaan perlindungan yang nyata dari Sang Penguasa.
29
Pelaksaan larung sesaji sampai ke laut lepas, saat ini hanya dilakukan oleh
masyarakat nelayan yang tinggal di Desa Ujung Gagak. Hal ini disebabkan karena
lebih dari 50% warga desa tersebut bermata pencaharian sebagai nelayan
tangkap ikan dan lobster di laut Selatan dengan menggunakan perahu katir.
Melarung sesaji mereka lakukan di perairan Plawangan Barat (sebagai pintu
masuk air laut Pantai Selatan ke dalam kawasan laguna Segara Anakan).
Gambar 32 Selepas sesaji dilarung, tua, muda, lelaki dan wanita memperebutkan hiasan berupa makanan dan minuman dari perahu yang mengikuti prosesi larung sesaji.
Gambar 33. Sedekah Bumi dilakukan bagi warga Kampung Laut yang bergantung pada sawah dan perkebunan untuk hidup mereka. Tidak dalam bentuk melarang sesaji, tetapi berdoa bersama di lokasi persimpangan jalan kampung.
30
Gambar 34. Rangkaian upacara Sedekah Laut dan Sedekah Bumi diakhiri dengan pertunjukkan wayang kulit semalam suntuk. Pertunjukkan ini disaksikan oleh semua warga masyarakat Kampung Laut. Selain sebagai hiburan, lakon yang dipilih oleh Dalang dalam cerita, juga menceritakan kisah Sang Penguasa Bumi (Dewi Sri) atau Penguasa Laut (Nyi Roro Kidul). Fungsi upacara Sedekah Laut dan Sedekah Bumi, mengingatkan masyarakat Kampung Laut akan kekuasaan Sang Pencipta, selain terciptanya re-distribusi makanan, minuman, hiburan dan sumber daya bagi sesama warga masyarakat Kampung Laut.
Biaya yang harus dikeluarkan untuk menanggap wayang kulit cukup besar
hingga mencapai Rp. 14.000.000,- - Rp 20.000.000,- pada tahun 2016 untuk
harga di sekitar Kabupaten Cilacap. Biaya ini tidak menjadi masalah karena
seluruh warga desa di Kampung Laut dengan sukarela bergotong-royong
menutupinya. Justru warga akan merasa malu bila tidak turut berpartisipasi
dalam acara ini.
31
2.4. Berkolaborasi Membangun Kampung Laut
Masyarakat Kampung Laut meski tinggal dalam wilayah Kabupaten Cilacap, Jawa
Tengah, hidup dalam kondisi lingkungan fisik yang terisolasi. Untuk menuju ke
Klaces (Ibukota Kecamatan Kampung Laut), sedikitnya harus menempuh tiga jam
perjalanan air dengan perahu compreng reguler yang jadwal setiap harinya
terbatas. Sementara bila menyewa perahu, pada tahun 2017 harus mengeluarkan
biaya tidak kurang dari Rp. 500.000,-.
Kondisi demikian yang menyebabkan kepedulian pihak-pihak dari luar
Kampung Laut untuk melakukan program pemberian bantuan maupun
pemberdayaan masyarakat. Pihak-pihak luar tersebut diantaranya adalah
Pertamina RU IV Cilacap dan Universitas Indonesia melalui Direktorat Riset dan
Pengabdian Masyarakat.
2.4.1 Program Pemberdayaan Masyarakat Pertamina RU IV Cilacap, Jawa Tengah.
Keberadaan dan operasional Kilang RU IV yang berdekatan dengan perairan
menjadi prioritas perusahaan dalam melakukan program-program Corporate
Social Responsibility (CSR) untuk masyarakat pesisir. Payung atau tema CSR
Pertamina adalah Pertamina Sobat Bumi, dimana dalam menjalankan operasinya,
produk-produk yang dikembangkan dan jasa yang diberikan selalu peduli
terhadap kelestarian lingkungan khususnya bumi tempat kelangsungan makhluk
hidup diatasnya untuk kepentingan generasi yang akan datang.
Bentuk tanggung jawab sosial Pertamina kepada stakeholders-nya
khususnya terhadap isu yang berkembang menyangkut kehidupan sosial,
lingkungan dan ekonomi masyarakat yaitu melalui Pelibatan dan Pengembangan
Masyarakat (Community Involvement and Development/CID). Pelaksanaan
program CSR Pertamina memiliki beberapa aspek, seperti bidang Pendidikan,
Kesehatan, Lingkungan dan Pemberdayaan Masyarakat.
Program Konservasi Mangrove Terintegrasi
Salah satu wujud komitmen Pertamina RU IV Cilacap untuk melestarikan
lingkungan melalui CSR bidang Lingkungan dengan melakukan penanaman
mangrove dan pemberdayaan masyarakat di Kampung Laut yang bekerja sama
dengan mitra binaan CSR RU IV Kelompok Tani Mangrove Krida Wana Lestari.
Pertamina bersama dengan Kelompok Tani Mangrove Krida Wana Lestari
dan masyarakat melakukan upaya pengembalian lahan kritis melalui beberapa
program CSR yaitu penanaman mangrove sejak tahun 2009 hingga 2017
sebanyak 1.230.000 tanaman, pembibitan mangrove, budidaya ikan dan kepiting,
pemerdayaan ibu-ibu melalui pembuatan olahan mangrove, pemerdayaan batik
32
mangrove. Bantuan renovasi Balai Pertemuan kelompok masyarakat, bantuan
kapal untuk patrol mangrove dan pengembangan area trekking mangrove untuk
kawasan ekowisata.
Gambar 35. Bersinergi membangun Kampung Laut melalui program CSR (Corporate
Social Responsibility) trekking untuk wisata mangrove.
33
Gambar 36. Trekking untuk menyelusuri keindahan kawasan mangrove Segara Anakan, memudahkan para wisatawan dan peneliti untuk menikmati dan belajar betapa kaya potensi mangrove tersebut.
Gambar 37. Grafik penanaman mangrove kolaborasi antara Pertamina RU IV dengan masyarakat Kampung Laut, Cilacap yang dilakukan sejak tahun 2009 hingga 2016. Awalnya 10.000 batang pada tahun 2009 menjadi 1.230.000 batang pada tahun 2016.
34
Kegiatan yang dilaksanakan ini bertujuan untuk membangkitkan
kesadaran masyarakat dalam menjaga ekosistem mangrove, mengubah perilaku
masyarakat yang melakukan penebangan liar terhadap mangrove untuk kayu
bakar serta meningkatkan pendapatan perkapita masyarakat Kampung Laut
untuk menjadi masyarakat yang mandiri dan berkembang. Pertamina RU IV
bersama Pemda dan masyarakat saling bersinergi untuk membangun Kabupaten
Cilacap khususnya Kecamatan Kampung Laut untuk menjadi Kawasan Ekowisata
dengan menerapkan konsep pemberdayaan masyarakat yang berkelanjutan dan
masyarakat yang ramah lingkungan.
Gambar 38. Konservasi mangrove terintegrasi juga melekat bukan hanya untuk kelestarian mangrove, tetapi sejahtera manusianya.
35
2.4.2. Program PENGMAS IPTEKS bagi Masyarakat Universitas Indonesia
Univesitas Indonesia melalui DRPM (Direktorat Riset dan Pengabdian
Masyarakat) sejak tahun 2015 telah melakukan studi terhadap komunitas
Kampung Laut, Cilacap yang lingkungan tempat hidup mereka mengalami
perubahan bentang alam akibat proses sedimentasi. Temuan studi tersebut
menunjukkan bahwa akibat perubahan bentang alam karena porses sedimentasi,
telah terjadi perubahan tenurial kawasan tersebut. Kawasan laguna Segara
Anakan yang pada awalnya merupakan wilayah laut untuk penangkapan ikan
(fishing ground) yang bersifat common property, berubah menjadi kawasan
perairan dangkal dan kawasan daratan mangrove yang bersifat private propert.
Perubahan tenurial ini membatasi akses bagi individu-individu warga
masyarakat Kampung Laut untuk memanfaatkan kawasan tersebut secara
ekonomi. Pada sisi lain daratan sedimen milik privat yang telah menjadi kawasan
mangrove tersebut, tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh pemiliknya alias
menjadi “lahan tidur” (Prihandoko, 2016).
Mendasari pada kondisi tersebut, maka DRPM UI (Direktorat Riset dan
Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia) meluncurkan program aksi
bernama IPTEKS bagi Masyarakat (IbM) yang mendorong pemanfaatan secara
maksimal lahan mangrove yang telah dimiliki secara pribadi-pribadi tersebut
untuk kemaslahatan bersama. Program tersebut bernama Peningkatan
Partisipasi Perempuan dalam Ekonomi Rumah Tangga Pesisir melalui Penguatan
Kelembagaan Kelompok Tani Mangrove dalam Mengelola Kawasan Wisata.
Program ini tidak hanya menyasar pada kelembagaan kelompok Tani
Mangrove dalam mengelola wisata, namun juga berfokus pada peran perempuan
Kampung Laut secara lebih maksimal untuk membantu para suami memenuhi
kebutuhan ekonomi keluarga mereka. Secara berkelanjutan, program ini
dilaksanakan selama 3 tahun dengan luaran yang bersifat komprehensif. Tahun
ke-1, luaran yang ditargetkan adalah penguatan kelembagaan dalam mengelola
kawasan wisata mangrove, maka ditahun ke-2 target luaran program adalah
sistem jejaring pemasaran wisata mangrove secara komprehensif, selanjutnya di
tahun ke-3, luaran target berupa kelompok tani mangrove Krida Wana Lestari
yang mampu menjadi pusat penelitian, pendidikan dan pariwisata mangrove di
kawasan Segara Anakan, Cilacap.
36
Gambar 39. Kegiatan workshop dalam penguatan kelembagaan perempuan Kelompok Tani Krida Wana Lestari, upaya penatupaduan persepsi akan tujuan kegiatan dari setiap anggota dan fasilitator.
Membangun dan Mengimplementasikan Sistem secara Bersama
Penguatan kelembagaan organisasi Kelompok Tani Mangrove Krida Wana Lestari
melalui peran perempuan, merupakan fokus utama di tahun pertama kegiatan
program Pengmas IbM ini. Pada proses selanjutnya pembangunan sistem
pengelolaan wisata mangrove yang memberikan manfaat ekonomi dan sosial
bagi para anggota khususnya dan warga Kampung Laut umumnya. Pada sisi lain,
bagi para wisatawan dan pengunjung yang menikmati jasa lingkungan mangrove
mendapatkan pelayanan prima dan keamanan yang maksimal sejak mereka
memasuki kawasan wisata mangrove hingga keluar kawasan tersebut.
Peningkatan ragam penghasilahn para perempuan anggota kelompiok tani
mangrove Krida Wana Lestari juga dilakukan dengan memanfaatkan
pengetahuan mereka secara maksimal; akan bahan olahan mangrove yang
mendukung pelaksanaan kegiatan wisata. Diantara luaran yang dihasilkan adalah
produk-produk unggulan berbahan baku lokal yang dapat dijadikan sebagai oleh-
oleh bagi para wisatawan yang berkunjung. Sebagai produk unggulan yang
ditujukan bagi para wisatawan sekaligus icon wisata mangrove Kampung Laut,
produk-produk olahan seperti permen mangrove, kembang gula jawa dan kecap
37
ikan harus dioleh dan dikemas secara hygeanis sehingga menjamin keselamatan
orang yang mengkonsumsinya. Bentuk kemasan produk juga mempengaruhi
penampilan keindahan sehingga menambah minat bagi wisatawan yang
berkunjung untuk menjadikan sebagai buah tangan (oleh-oleh). Produk-produk
olahan yang dihasilkan ini secara langsung meningkatkan keberagaman sumber
mata pencaharian dan penghasilan bagi kaum perermpuan.
Gambar 40. Dokumen sistem pengelolaan wisata mangrove, sebagai dasar pelaksanaan dalam implementasinya.
Gambar 41. Produk Olahan Lokal yang Telah Dihasilkan Kelompok, Kembang Gula Jawa, Permen Mangrove, Kecap Ikan
38
Gambar 42. Anggota Kelompok Menjadi Guide bagi pengunjung Trekking Mangrove: Diperlukan Pengetahuan yang Mumpuni
39
BAGIAN KETIGA
RAGAM TANAMAN MANGROVE SEGARA ANAKAN:
KEKAYAAN ALAM YANG TAK TERNILAI HARGANYA
3.1 Bentang Alam Segara Anakan
Segara Anakan, Cilacap terletak di antara S 7035’-7046” dan E 1080 45”-1080
01”. Secara administratif Segara Anakan masuk dalam wilayah Kecamatan
Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, tepatnya di perbatasan antara
provinsi Jawa Barat dan provinsi Jawa Tengah. Kawasan Segara Anakan pada
saat ini sedang mengalami proses sedimentasi sangat cepat yang disebabkan oleh
tingginya erosi endapan lumpur dari sungai-sungai utama yang bemruara di
Segara Anakan yaitu Sungai Citandui, Sungai Cibereum, Sungai Cikonde, dan
Sungai Cemeneng. Luas keseluruhan kawasan Segara Anakan sekitar 24.000
hektar yang meliputi perairan, hutan mangrove, dan daratan lumpur yang
terbentuk karena sedimentasi.
Sebagai sebuah laguna dalam hubungannya dengan Samudera Hindia,
Segara Anakan terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Nusa Kambangan. Akibat
dari adanya Pulau Nusa Kambangan tersebut, maka keganasan ombak Samudera
Hindia yang mengarah ke Pulau Jawa menjadi terhalang, sehingga keadaan
perairan di Segara Anakan relatif tenang. Saat kasus kejadian tsunami pada tahun
2006 yang melanda wilayah Cilacap dan sekitarnya, perairan Segara Anakan
khususnya pemukiman yang berada di Kampung Laut relatif aman karena tidak
terkena dampak dari ombak bencana tsunami. Sebaliknya masyarakat yang
berada di pesisir kota Cilacap mengalami dampak dari kejadian bencana tsunami
tersebut.
Di dalam kawasan Segara Anakan, air laut masuk ke dalam laguna melalui
plawangan atau pintu selat Nusa Kambangan baik yang ada di ujung timur
maupun di ujung barat. Di Segara Anakan, air laut dari Samudera Hindia bertemu
dengan air tawar yang ditumpahkan dari sungai-sungai yang mengalir dari
daratan tinggi di sebelah utara, seperti Sungai Citandui, Sungai Cibereum, Sungai
Cikonde, dan Sungai Cemeneng, dan lain sebagainya. Sungai-sungai tersebut
selain memasok air tawar, juga pada musim hujan membawa lumpur-lumpur
hasil erupsi tanah daratan ke Segara Anakan. Keadaan ini menyebabkan perairan
Segara Anakan semakin hari semakin bertambah dangkal akibat proses
sedimentasi. Di sana-sini kemudian muncul tanah timbul. Di tanah timbul ini
kemudian tumbuh berbagai jenis mangrove. Bila pada tahun 1970-an Desa Ujung
Gagak yang berada di ujung utara daratan Pulau Jawa dapat terlihat secara
langsung dari desa-desa lain, seperti Desa Ujung Alang dan Desa Klaces yang
40
terdapat di Pulau Nusa Kambangan, pada saat ini kedua desa tersebut sudah
tidak dapat terlihat karena telah terhalang oleh pemandangan hutan mangrove di
areal tanah sedimen tersebut (Prihandoko, 2016).
3.2 Mangrove di Indonesia
Hutan mangrove di Indonesia pada saat ini memiliki luas sekitar 8,6 juta hektar
yang terdiri dari 3,8 juta hektar di dalam kawasan hutan dan 4,8 juta hektar di
luar kawasan hutan. Luas tersebut semakin berkurang akibat kerusakan. Laju
kerusakan hutan mangrove di dalam kawasan hutan sekitar 1,7 juta hektar atau
44,73 persen dan kerusakan di luar kawasan hutan 4,2 juta hektar atau 87,50
persen. Pada kurun waktu tahun 1982 – 1993 telah terjadi pengurangan hutan
mangrove seluas 513.670 hektar atau 46.697 hektar pertahunnya (Gunawan dan
Anwar, 2005). Menurut Asian Wetland Bureau, luas hutan mangrove di Indonesia
hanya tersisa 2,5 juta hektar, dan untuk pemulihan fungsi hutan mangrove
diperlukan rehabilitasi atau restorasi. Rehabilitasi hutan mangrove dengan cara
menanam selama ini sangat tidak sebanding dengan laju perusakannya yang
disebabkan oleh rendahnya kemampuan untuk melakukan rehabilitasi. Sejak
tahun 1999 hingga 2003 rehabilitasi baru terealisasi seluas 7.890 hektar atau
kurang lebih 1.578 hektar pertahun (Departemen Kehutanan, 2004).
Mangrove memproduksi nutrien yang dapat menyuburkan perairan laut,
membantu perputaran karbon, nitrogen dan sulfur. Perairan mangrove kaya
akan mutrien, baik organik maupun anorganik. Rata-rata produksi primer
mangrove yang tinggi dapat menjaga keberlangsungan populasi fauna perairan,
seperti ikan, kerang, dan satwa liar lainnya. Mangrove menyediakan tempat
pekembangbiakan dan pertumbuhan bagi beberapa spesies hewan, khususnya
udang, sehingga terdapat ungkapan “tidak ada mangrove berarti tidak ada
udang” (Macnae, 1968). Di antara jasa lingkungan ekosistem hutan yang menjadi
isu penting adalah fungsinya dalam menyerap karbon. Karbon dioksida (CO2)
merupakan salah satu unsur gas rumah kaca dan karena berfungsi sebagai
perangkap panas di atmosfer, menyebabkan terjadinya perubahan iklim
(Bismark, et al)
3.3 Mangrove Kawasan Segara Anakan
Saat kawasan Segara Anakan merupakan kawasan basah yang sebagian besar
lahannya tertutup tanaman mangrove. Hasil identifikais yang dilakukan oleh
Kelompok Tani Mangrove Krida Wana Lestari, tercatat 30 jenis mangrove di
kawasan tersebut. Dengan demikian, hutan mangrove Segara Anakan memiliki
41
komposisi maupun struktur hutan yang terlengkap dan terluas di Pulau Jawa.
Keberadaan mangrove ini sangat berperan penting dalam siklus hidup biota
karena kemampuannya dalam menyediakan nutrisi bagi biota di perairan
sekitarnya. Gambaran tentang 30 jenis mangrove yang tumbuh di kawasan
Segara Anakan dijabarkan pada bagian 3.5.
3.4 Pemanfaatan Tanaman Mangrove oleh Masyarakat Kampung Laut
Sebagai tanaman endemik di kawasan Segara Anakan, masyarakat Kampung Laut
senantiasa memanfaatkan beberapa jenis tanaman mangrove untuk keperluan
sehari-hari mereka. Pemanfaatan kayu mangrove sebagai bahan pembuatan
bangunan atau rumah sudah sejak lama dilakukan pada masa mereka membuat
bangunan di atas air. Kayu Tancang seringkali digunakan sebagai tiang
penyangga rumah, sementara daun nipah mereka gunakan sebagai atap dan
dinding bangunan. Demikian pula kayu mangrove mereka gunakan sebagai
bahan baku arang bakau dan kayu bakar untuk memenuhi kebutuhan sehari-
hari. Penggunaan tanaman mangrove untuk berbagai keperluan tersebut pada
saat ini mulai ditinggalkan sejalan dengan peraturan pemerintah yang melarang
menebang pohon mangrove.
Saat ini pemanfaatan tanaman mangrove lebih digunakan dalam bentuk
ragam olahan untuk meningkatkan pendapatan warga masyarakat Kampung
Laut. Di antara pemanfaatan tanaman mangrove adalah olahan buah nipah yang
dibuat sebagai bahan campuran minuman segar bersama buah kelapa muda dan
gula jawa. Minuman ini sangat menyejukkan saat dinikmati saat udara panas.
Demikian pula olahan tanaman mangrove bandul laut yang dapat digunakan
sebagai bahan pembuatan chess thick mangrove, kembang gula mangrove, dan
ragam olahan lainnya.
42
Gambar 43. Dari tanaman mangrove buah nipah, masyarakat Kampung Laut mengolahnya menjadi bahan kuliner minuman yang sangat lezat dan menyegarkan dahaga mereka.
Gambar 44. Isi buah nipah mangrove yang seperti kolang-kaling, kemudian dicampur potongan buah kelapa muda, air gula jawa, dan es batu. Menu ini merupakan kuliner favorit yang selalu dicari orang bila berkunjung ke Kampung Laut.
43
3.5.
Jenis-jenis Tanaman Mangrove
di Kawasan Segara Anakan
44
(1)
Acanthus ebracteadus
Ditemukan pada lokasi: S 07’ 40.603 E 108’ 54.932
Nama lokal: Jerujon Putih/Jerujon Daun Lebar
Deskripsi Umum:
Hidup di bantaran sungai, bergerombol, pinggir daunnya bergerigi, tapi
tidak terlalu banyak, ujungnya runcing, berukuran 720x410 cm, bunganya
berwarna ungu, bijinya berwarna hijau
Manfaat:
Buah digunakan sebagai pembersih darah serta untuk mengatasi kulit
terbakar. Daunnya dapat digunakan sebagai obat reumatik. Perasan buah
dan akarnya digunakan untuk penawar racun karena gigitan ular. Bijinya
dapat untuk mengobati penyakit cacingan atau gangguan pencernaan.
Daunnya dapat diolah menjadi berbagai makanan, misalnya kerupuk atau
stick, bahan minuman teh, dan sebagai pakan ternak.
45
Acanthus ebracteadus
46
(2)
Acanthus Ilicifolius
Ditemukan pada lokasi: S 07’ 43.064 E 108’ 52.715
Nama lokal: Jerujon Berduri
Deskripsi Umum:
Hidup di daerah rawa di bantaran sungai, bergerombol, daun bergerigi dan
banyak alurnya, ujungnya runcing, ketinggian pohon dapat mencapai dua
meter. Cabang tegak tapi cenderung kurus sesuai dengan umurnya. Akar
udara (layang) muncul dari permukaan di bawah.
Manfaat:
Buah digunakan sebagai pembersih darah serta untuk mengatasi kulit
terbakar. Daunnya dapat digunakan sebagai obat ruematik. Perasan buah
dan akarnya digunakan untuk penawar racun karena gigitan ular. Bijinya
dapat untuk mengobati penyakit cacingan atau gangguan pencernaan.
Daunnya dapat diolah menjadi berbagai makanan, misalnya kerupuk atau
stick, bahan minuman teh, dan sebagai pakan ternak.
47
Acanthus Ilicifolius
48
(3)
Acrostichum aureum
Ditemukan pada lokasi: S 07’ 43.109 E 108’ 52.746
Nama lokal: Warakas Daun Panjang
Deskripsi Umum:
Hidup bergerombol, berbentuk tandan di tanah, tinggi dapat mencapai
empat meter, batang timbul dan lurus, ditutupi oleh urat besar, menebal di
bagian pangkal, berwarna coklat tua dengan peruratan yang luas, pucat,
tipis ujungnya.
Manfaat:
Akar dan daun tanaman yang sudah tua digunakan sebagai obat, daun
muda bisa dikonsumsi sebagai bahan makanan urap atau dibumbui dengan
sambal kacang.
49
Acrostichum aureum
50
(4)
Acanthus speciosum
Ditemukan pada lokasi: S 07’ 43.180 E 108’ 52.734
Nama lokal: Warakas Daun Lebar
Deskripsi Umum:
Hidup bergerombol membentuk tandan yang kasar, ketinggian dapat
mencapai 1,5 meter, sisik akar rimpang, panjangnya hingga delapan meter
Manfaat:
Akar dan daun tanaman yang sudah tua digunakan sebagai obat, daun
muda bisa dikonsumsi sebagai bahan makanan urap atau dibumbui dengan
sambal kacang.
51
Acanthus speciosum
52
(5)
Aegiceras corniculatum
Ditemukan pada lokasi: S 07’ 42.521 E 108’ 52.868
Nama lokal: Gedangan Bunga panjang
Deskripsi Umum:
Pohon kecil yang selalu hijau dan tumbuh lurus dengan ketinggian dapat
mencapai enam meter, akar menjalar di permukaan tanah, warna kulit
kayu abu-abu hingga coklat kemerahan
Manfaat:
Kulit kayu dapat digunakan untuk racun ikan, kayunya dapat digunakan
sebagai arang, daun mudanya dapat digunakan sebagai bahan makanan
urap.
53
Aegiceras corniculatum
54
(6)
Aegiceras floridum
Nama lokal: Gedangan Buah Lancip
Deskripsi Umum:
Pohon kecil yang selalu hijau dan tumbuh lurus dengan ketinggian dapat
mencapai empat meter, akar menjalar di permukaan tanah, warna kulit
kayu abu-abu dan berbentuk lancip
Manfaat:
Kulit kayu dapat digunakan untuk racun ikan, kayunya dapat digunakan
sebagai arang, daun mudanya dapat digunakan sebagai bahan makanan
urap.
55
Aegiceras floridum
56
(7)
Avicennia alba
Ditemukan pada lokasi: S 07’ 42.910 E 108’ 52.735
Nama lokal: Api-api Daun Lebar
Deskripsi Umum:
Pohon yang tumbuh menyebar dengan ketinggian dapat mencapai 25
meter, kumpulan pohon membentuk sistem perakaran horisontal dan akar
nafas yang rumit, akar nafas berbentuk jari (asparagus) kecoklatan, bunga
bergerombol berwarna kuning, buah seperti mete berwarna hijau
kekuningan, ukuran 4x2 cm
Manfaat:
Kayu bakar dan bahan bangunan bermutu rendah, buahnya dapat diolah
menjadi berbagai macam makanan seperti stick dan makanan-makanan
tradisional lainnya.
57
Avicennia alba
58
(8)
Avicennia officinalis
Ditemukan pada lokasi: S 07’ 42.545 E 108’ 53.528
Nama lokal: Api-api Daun Lebar
Deskripsi Umum:
Pohonnya memiliki ketinggian mencapai 12 meter, memiliki akar tunjang,
berbentuk jari, kulit kayu bagian luar memiliki permukaan yang halus berwarna
hijau keabu-abuan sampai kecoklatan, bunga bergerombol muncul di ujung
tandan, baunya menyengat, semakin tua tanaman maka warnanya semakin
hitam, bentuk buah seperti hati, ujungnya berparuh pendek, warananya kuning
kehijauan, tekstur permukaan buah agak keriput dan ditutupi rapat oleh rambut-
rambut halus yang pendek.
Manfaat:
Kayunya dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar dan buahnya dapat diolah
menjadi makanan
59
Avicennia officinalis
60
(9)
Bruguiera cylindrica
Ditemukan pada lokasi: S 07’ 42.917 E 108’ 52.740
Nama lokal: Tancang Putih Bunga Cengkeh
Deskripsi Umum:
Pohon berakar lutut dan akar lebar ke samping, ketinggian pohon dapat
mencapai 23 meter, kulit kayu berwarna abu-abu, bunga berkelompok
muncul di ujung tandan, berbentuk seperti cabe, buah berbentuk silindris
memanjang, berwarna hijau keunguan di bagian ujung, pangkal buah
menempel pada kelopak bunga, panjang 8-15 cm dan diameternya 5-10
mm
Manfaat:
Kayunya dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar dan arang
61
Bruguiera cylindrica
62
(10)
Bruguiera gymnorrhiza
Nama lokal: -
Deskripsi Umum:
Pohon dengan ketinggian dapat mencapai 30 meter, permukaannya halus
hingga kasar, berwarna abu-abu tua sampai kecoklatan, akarnya seperti
papan melebar ke samping, di bagian akar pohon juga memiliki akar lutut,
bunga bergelantungan, buah melingkar spiral, bundar melintang dengan
panjang 2-2,5 cm, tumpul dan berwarna hijau tua
Manfaat:
Kayunya dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar dan arang, buah dapat
diolah menjadi berbagai makanan, mislanya stick mangrove atau dibuat
manisan mangrove
63
Bruguiera gymnorrhiza
64
(11)
Bruguiera parvifiora
Ditemukan pada lokasi: S 07’ 42.571 E 108’ 53.503
Nama lokal: Tanjan
Deskripsi Umum:
Pohon kecil dengan ketinggian dapat mencapai 20 meter, kulit kayu burik,
berwarna abu-abu hingga coklat tua, akar lutut mencapai 30 cm, bunga
mengelompok di ujung tandan, satu tandan bisa mencapai 3-10 bunga,
buah panjang mencapai 2 cm silindris agak melengkung, permukaan halus,
berwarna hijau kekuningan dengan panjang 8-15 cm dan diameternya 0,5 –
1 cm
Manfaat:
Kayunya dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar, zaman dahulu kayu
digunakan untuk bahan pembuatan jembatan atau jeramba/rusuk rumah
65
Bruguiera parvifiora
66
(12)
Bruguiera sexangula
Ditemukan pada lokasi: S 07’ 43.132 E 108’ 52.755
Nama lokal: Tancang Bunga Putih
Deskripsi Umum:
Pohon dengan ketinggian dapat mencapai 30 meter, kulit kayu berwarna
coklat muda dan abu-abu, halus hingga kasar, Daun agak tebal, memiliki
bercak hitam di bagian bawah bunga, soliterasi bunga pertandan kelopak
bunga berwarna kehijauan atau kemerahan, panjang tabung 10-15 mm,
buah bipokotil menyempit di kedua ujung panjang 6-12 cm dan
berdiameter 1,5 cm
Manfaat:
Kayunya dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar, akar serta kayu juga
dapat digunakan untuk mengobati kulit terbakar, buahnya dapat diolah
menjadi makanan
67
‘
Bruguiera sexangula
68
(13)
Ceriops decandra
Ditemukan pada lokasi: S 07’ 43.675 E 108’ 59.061
Nama lokal: Kenyongnyong
Deskripsi Umum:
Pohon kecil dengan ketinggian dapat mencapai 15 meter, kulit kayu
berwarna coklat, permukaan halus dan menggelembung di bagian pangkal,
daunnya berwana hijau mengkilap, sederhana dan berlawanan, elips bulat
memanjang, ukuran 3 – 10 cm x 1 – 4,5 cm, bunga mengelompok dengan
gagang yang pendek. Buah berkelompok dengan jumlah dua hingga empat,
buah hipokotil berbentuk silinder ujungnya bergelembung tajam dan
berbintik, berwarna hijau hingga coklat, dengan panjang 15 cm dan
diameternya 8-12 mm
Manfaat:
Kayunya dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, kayu bakar, dan
arang
69
Ceriops decandra
70
(14)
Ceriops tagal
Ditemukan pada lokasi: S 07’ 43.663 E 108’ 59.045
Nama lokal: Tingi
Deskripsi Umum:
Pohon kecil dengan ketinggian dapat mencapai 25 meter, kulit kayu
berwarna abu-abu hingga coklat, halus dan pangkalnya menggelembung,
pohonnya memiliki akar tunjang yang kecil, daun hijau mengkilap, memiliki
pinggiran yang melingkar ke dalam, bunga bergerombol di ujung tandan,
gagang bunga panjang dan tipis, panjang buah 1,5 – 2 cm dengan tabung
kelopak yang melengkung, hipokotil, kulit halus agak menggelembung dan
seringkali agak pendek.
Manfaat:
Kayunya dapat dimanfaatkan sebagai bahan pewarna tekstil, kayu bakar,
dan arang
71
Ceriops tagal
72
(15)
Excoecaria agallocha
Ditemukan pada lokasi: S 07’ 40.653 E 108’ 55.522
Nama lokal: Buta-buta
Deskripsi Umum:
Pohon kecil dengan ketinggian dapat mencapai 16 meter, kulit kayu abu-
abu, halus, namun memiliki bintil, akar menjalar di permukaan tanah,
batang, dahan, dan daun mempunyai getah (warna putih dan lengket) yang
dapat mengganggu kulit dan mata, daunnya berwarna hijau tua dan akan
berubah menjadi merah bata sebelum rontok, bunganya terdiri dari bunga
jantan dan betina. Bunga jantan tidak memiliki gagang dan lebih kecil. Buah
seperti bola dengan tiga tonjolan berwarna hijau, permukaannya seperti
kulit berisi biji berwarna coklat tua.
Manfaat:
Akar dapat dimanfaatkan untuk obat sakit gigi dan pembengkakan, kayu
untuk bahan ukiran dan bahan kertas, getahnya untuk membunuh ikan
73
Excoecaria agallocha
74
(16)
Heritiera littoralis
Ditemukan pada lokasi: S 07’ 41.342 E 108’ 53.656
Nama lokal: Dungun
Deskripsi Umum:
Pohon dengan ketinggian dapat mencapai 25 meter, akar papan
berkembang dengan sangat jelas, kulit kayu gelap atau abu-abu, bersisik
dan bercelah, bunganya terdiri dari bunga jantan dan betina, bunga jantan
lebih banyak dan lebih kecil, tandan bunga berambut, buahnya berwarna
hijau hingga coklat mengkilat, berkayu, memiliki satu biji dan bergantung
pada tandan
Manfaat:
Kayu digunakan untuk kayu bakar, bahan bangunan, dan buahnya dapat
digunakan sebagai obat diare
75
Heritiera littoralis
76
(17)
Rhizophora mucronata
Ditemukan pada lokasi: S 07’ 43.139 E 108’ 52.758
Nama lokal: Bako Putih
Deskripsi Umum:
Pohon kecil dengan ketinggian dapat mencapai 27 meter, diameter hingga
70 cm, kulit kayu berwarna gelap, mempunyai akar tunjang dan akar udara,
bunga berkelompok (4-8 bunga), daun mahkotah putih, buahnya lonjong
atau panjang seperti telor orak, dengan ukuran 6-7 cm, berwarna hijau
kecoklatan, seringkali kasar di bagian pangkal, berbiji tunggal, hipokotil,
silidris kasar dan berbintil.
Manfaat:
Bahan bakar dan arang, pohon untuk penghijauan di area tambak
77
Rhizophora mucronata
78
(18)
Sarcolobus qlobusa
Ditemukan pada lokasi: S 07’ 41.443 E 108’ 53.545
Nama lokal: Kambingan Sawo
Deskripsi Umum:
Semak memanjat dengan ketinggian dapat mencapai empat meter,
memiliki batang yang halus, bunga berwarna kuning dengan garis-garis
memanjang berwarna jingga, bagian dalam bunga ditutupi rambut-rambut
pendek, bunga terdapat pada tandan yang padat, berkelompok (5-10
bunga) dan memiliki lima daun mahkota, diameternya 12-14 mm, buah
berwarna coklat berbintil, memiliki gagang yang tebal, kaya akan cairan
yang menyerupai susu, berbiji banyak, ukuran buah 8-9 x 7-8 cm, biji 20-25
x 16-18 mm
Manfaat:
(Belum diketahui)
79
Sarcolobus qlobusa
80
(19)
Sonneratia alba
Ditemukan pada lokasi: S 07’ 42.513 E 108’ 52.944
Nama lokal: Bogem Bunga
Deskripsi Umum:
Pohon yang tumbuh tersebar dengan ketinggian dapat mencapai 16 meter,
kayu perwarna putih tua hingga coklat, akar berbentuk menyerupai kabel
di bawah tanah dan muncul ke permukaan sebagai akar nafas yang
berbentuk kerucut, tumpul, dan tinggi mencapai 25 cm. Bunga memiliki
gagang, berkelompok (1-3 bunga), daun mahkota berwarna putih dan
mudah rontok, kelopak bunga 6-8 bagian luar berwarna hijau dan di
dalamnya berwarna kemerahan seperti lonceng, buah seperti bola yang
ujungnya bertangkai dan bagian dasarnya terbungkus kelopak bunga, buah
megandung banyak biji
Manfaat:
Buahnya asam dapat dimakan, dapat diolah menjadi sirup atau dodol.
Kayunya dapat dimanfaatkan untuk kayu bakar
81
Sonneratia alba
82
(20)
Sonneratia caseolaris
Ditemukan pada lokasi: S 07’ 43.134 E 108’ 52.784
Nama lokal: Bogem Bunga Merah
Deskripsi Umum:
Pohon dengan ketinggian mencapai 15 meter, memiliki akar nafas vertikal
seperti kerucut, pucuk bunga berbentuk bulat seperti telur, ketika mekar
penuh tabung, kelopak bunga berbentuk mangkok dan biasanya tanpa urat,
berkelompok (1-3 bunga), daun mahkotah berwarna merah dan mudah
rontok, kelopak bunga berjumlah 6-8, bagian luar berwarna hijau dan di
dalamnya berwarna putih kekuningan hingga kehijauan, memiliki banyak
benang sari, buah berbentuk seperti bola, ujungnya bertangkai dan bagian
dasarnya terbungkus kelopak bunga, ukurannya lebih besar dari
Sonneratia alba, bijinya juga lebih banyak
Manfaat:
Buahnya dapat diolah menjadi makanan, sirup pidada, dibuat rujak karena
rasanya yang asam, kayunya untuk kayu bakar
83
Sonneratia caseolaris
84
(21)
Sxylocarpus granatum
Ditemukan pada lokasi: S 07’ 43.345 E 108’ 53.481
Nama lokal: Nyirih
Deskripsi Umum:
Pohon dengan ketinggian mencapai 10-20 meter, memiliki akar papan yang
lebar ke samping, meliuk-liuk dan membentuk celahan-celahan, batang
seringkali berlubang khususnya pada pohon yang lebih tua, kulit kayu
berwarna coklat muda kekuningan, bunga berkelompok (8-20 bunga),
daun mahkota berjumlah empat dan lonjong tepinya, bundar putih
kehijauan, memiliki empat kelopak bunga cuping, berwarna kuning muda,
panjangnya 3 mm, benang sari berwarna putih krem dan menyatu di dalam
tabung, buahnya seperti kelapa, beratnya 1,5 kilogram dan berkulit,
berwarna hijau kecoklatan dan bergelantungan pada dahan, di dalam buah
terdapat 6-16 biji, buah akan pecah pada saat kering, diameternya 10-20
cm
Manfaat:
Bahan pembuatan perahu
85
Sxylocarpus granatum
86
(22)
Baringtonia asiatica
Ditemukan pada lokasi: S 07’ 44.764 E 108’ 53.026
Nama lokal: Ketapang Laut
Deskripsi Umum:
Pohon berukuran kecil dengan ketinggian 7-20 meter, diameter 25-100 cm,
mahkota pohon berdaun besar dan rimbun, kulit kayu berwarna abu-abu
agak merah muda dan halus, rantingnya tebal, bunga menggantung
berukuran besar dan harum, bergerombol menggantung seperti payung,
daun mahkota berjumlah empat berwarna putih dan kuning, kelopak
bunga berwarna putih kehijauan, memiliki banyak benang sari, buahnya
berukuran besar, halus di bagian luar seperti buah delima, berwarna hijau,
berisi satu biji berukuran besar di setiap buahnya
Manfaat:
Tanaman hias, pohon dan biji mengandung samponen untuk meracuni ikan
87
Baringtonia asiatica
88
(23)
Xylocarpus moluccensis
Ditemukan pada lokasi: S 07’ 43.337 E 108’ 53.385
Nama lokal: Nyuruh
Deskripsi Umum:
Pohon dengan ketinggian dapat mencapai 5-20 meter, memiliki akar nafas
mengerucut dan berbentuk cawan, kulit kayu halus, tandan bunga memiliki
panjang 6-18,5 cm, muncul dari ketiak tangkai, bunga bergerombol (10-35
bunga), mahkota berjumlah empat berwarna putih kekuningan, berbentuk
lonjong dan tepinya bulat, buahnya berwarna hijau, berbentuk bulat
seperti jambu bangkok, permukaan berkulit dan di dalamnya terdapat 4-10
kepingan biji, berbentuk fetrahedral, ukuran diameter buah 8-15 cm
Manfaat:
Kayu dapat digunakan untuk kayu bakar dan membuat rumah, biji dapat
dimanfaatkan untuk obat sakit perut
89
Xylocarpus moluccensis
90
(24)
Finlaysonia maritima
Ditemukan pada lokasi: S 07’ 40.653 E 108’ 288
Nama lokal: Kambingan
Deskripsi Umum:
Tumbuhan memanjat atau perambat, berkayu, mengandung getah
berwarna putih, bunganya berwarna putih dan merah muda, memiliki
panjang sekitar 0,7-1 cm, buahnya berbentuk seperti kapsul atau kantung
perut ayam, buahnya berpasangan, waktu masih muda berwarna hijau,
namun ketika sudah matang warnanya berubah menjadi kemerahan,
ukuran buahnya 7,8 x 2,5-3,5 cm
Manfaat:
(Belum diketahui)
91
Finlaysonia maritima
92
(25)
Ipomoea pes caprae
Ditemukan pada lokasi: S 07’ 44.772 E 108’ 53.031
Nama lokal: Kangkungan
Deskripsi Umum:
Herba tahunan dengan akar yang tebal, memiliki panjang batang 5-30
meter dan akarnya tumbuh menjalar pada ruas batang, batang berbentuk
bulat, basah dan berwarna hijau kecoklatan, bunganya berwarna merah
muda, ungu, dan agak gelap di bagian pangkal bunga, sebelum tengah hari,
bunga akan terbuka penuh, letak bunga berada di ketiak daun pada gagang
yang panjangnya 3-16 cm, daun mahkota berbentuk seperti terompet,
diameter saat bunga terbuka penuh adalah 10 cm, buahnya berbentuk
kapsul bundar hingga agak datar dengan empat biji dengan warna hitam
dan berambut padat, ukuran buah 12-17 meter.
Manfaat:
Bijinya dapat digunakan untuk obat sakit perut dan kram, daunnya untuk
obat reumatik, persendian, wasir. Akarnya untuk obat sakit gigi. Cairan
batangnya untuk mengobati gigitan atau serangan binatang.
93
Ipomoea pes caprae
94
(26)
Pandanus odoratisima
Ditemukan pada lokasi: S 07’ 44.757 E 108’ 53.026
Nama lokal: Pandan Laut
Deskripsi Umum:
Pohon dengan ketinggian mencapai enam meter, daunnya berdurui, bunga
berada di ujung, memiliki banyak benang sari, membentuk formasi seperti
payung, bentuk buah seperti nanas dan ketika matang berwarna merah
Manfaat:
Tanaman hias
95
Pandanus odoratisima
96
(27)
Passiflora foelida
Ditemukan pada lokasi: S 07’ 42.990 E 108’ 52.744
Nama lokal: Nyomblang
Deskripsi Umum:
Tanaman ini tumbuh merambat, memiliki panjang 1,5-5 meter, memiliki
alat pembelit yang beruntaian seperti spiral, daunnya berwarna hijau
mengkilat seperti dilapisi lilin, berambut halus, panjang tangkai 2-10 cm,
memiliki bunga berwarna agak putih, ungu muda, daun mahkota seperti
bulat telur terbalik dengan diameter 5 cm, buahnya berbentuk bulat seperti
kelereng, terkadang agak lonjong, kulit buah berwarna hijau, jika mentah
getas kuning, ketika matang buah dibungkus serabut yang berambut
banyak, di dalam buah terdapat banyak biji
Manfaat:
Daun muda dapat dibuat sayur, buahnya yang manis (seperti markisa)
dapat dimakan, seluruh bagian tanaman dapat digunakan sebagai obat
batuk, korek, dan gorok.
97
Passiflora foelida
98
(28)
Stachytarpheta jamaicensis
Ditemukan pada lokasi: S 07’ 43.776 E 108’ 59.137
Nama lokal: Pecut Kuda
Deskripsi Umum:
Tanaman ini tumbuh tegak terburai ke samping membentuk semak tinggi
mencapai 1 meter, bunga terletak pada tandan yang panjangnya mencapai
4-20 cm berbentuk seperti pecut, bunga duduk tanpa tangkai, bunga mekar
tidak bersamaan, ukurannya kecil, berwarna ungu kebiruan dan putih,
membentuk formasi bulir pada tandan yang panjang
Manfaat:
Sering digunakan sebagai tanaman pagar hidup karena memiliki manfaat
sebagai bahan obat untuk mengobati saluran kencing atau infeksi adanya
batu, reumatik, sakit tenggorokan, datang haid tidak teratur, keputihan,
dan hepatitis.
99
Stachytarpheta jamaicensis
100
(29)
Terminalia catappa
Ditemukan pada lokasi: S 07’ 43.065 E 108’ 52.712
Nama lokal: Ketapang
Deskripsi Umum:
Pohon dengan ketinggian 10-35 meter, memiliki cabang muda yang tebal
dan ditutupi dengan rapat oleh rambut uyang kemudian akan rontok,
memiliki tandan bunga dengan panjang 8-16 cm dan ditutupi oleh rambut
yang halus berwarna putih atau hijau pucat serta tidak bergagang,
penampilan buah seperti buah almond, bersabut dan cangkangnya sangat
keras dengan ukuran 5-7 x 4 x 5,5 cm, kulit buah berwarna hijau hingga
hijau kekuningan, saat tua warnanya berubah menjadi merah tua
Manfaat:
Sering ditanam sebagai pohon peneduh jalanan, digunakan sebagai bahan
bangunan, biji dapat dimakan dan mengandung minyak
101
Terminalia catappa
102
(30)
Callohyllum inophyllum
Ditemukan pada lokasi: S 07’ 44.817 E 108’ 53.060
Nama lokal: Nyamplung
Deskripsi Umum:
Pohon berwarna gelap dan berdaun rimbun, ketinggian dapat mencapai
10-30 meter, biasanya tumbuh agak bengkok, condong, atau bahkan sejajar
dengan tanah, memiliki getah yang lengket, berwarna putih atau kuning,
memiliki tandan bunga yang panjangnya 15 cm, memiliki 5-15 bunga
bergerombol, menggantung seperti payung, daun mahkota berjumlah 4,
berwarna putih kuning dan berbau harum, diameter bunga adalah 2-3 cm,
buahnya berbentuk bulat seperti bola pimpong kecil, memiliki tempurung
kuat yang di dalamnya terdapat 1 biji dengan diameter 2,5-4 cm
Manfaat:
Buah mudanya digarami dan dapat dimakan, dapat digunakan sebagai
bahan pewarna, minyak kayu, dan obat-obatan
103
Callohyllum inophyllum
104
105
BAGIAN KEEMPAT
PENUTUP
4.1 Menakar “Kebaikan Alam” Segara Anakan
Masyarakat Kampung Laut di kawasan Segara Anakan memiliki sumber daya
alam yang saat ini masih dapat menopang kehidupan mereka. Eksploitasi sumber
daya alam yang selama ini dilakukan oleh manusia terhadap alam Segara Anakan
dari waktu ke waktu masih tetap dapat menghasilkan limpahan manfaat di
kawasan tersebut, terutama bagi manusia yang tinggal di dalamnya. Ini
merupakan suatu bukti bahwa Segara Anakan memiliki “rasa kasih” kepada umat
manusia.
Bila dipelajari dengan seksama, perilaku manusia terhadap alam
senantiasa berfokus pada usaha pemanfaatan untuk kepentingan manusia tanpa
memperhatikan bahwa alam juga “membutuhkan perhatian”. Dalam kasus
kawasan Segara Anakan, dinamika perubahan alam yang terjadi semata-mata
dilihat sebagai “alam yang berubah” yang selanjutnya berdampak pada
kehidupan manusia. Proses sedimentasi yang masif sejak tahun 1980-an pada
kawasan tersebut menyebabkan terjadinya perubahan bentang alam yang
memberikan dampak sosial bagi manusia yang tinggal di kawasan itu.
Masyarakat Kampung Laut yang pada awalnya basis mata pencahariannya
sebagai nelayan tangkap pada kawasan communal property, selanjutnya
terkapling-kapling penguasaan dan kepemilikannya dan menyebabkan
berkurangnya akses warga masyarakat Kampung Laut secara umum untuk
memanfaatkan sumber daya alam di kawasan tersebut. Demikian pula dengan
degradasi sumber daya Segara Anakan yang disebabkan karena pembukaan
lahan tambak secara besar-besaran pada tahun 1990-an serta penebangan hutan
mangrove yang dilakukan secara masif, menyebabkan timbulnya konflik vertikal
dan horisontal dalam bidang tenurial.
Bila cara berpikir tersebut dibalik, sebenarnya perubahan bentang alam
Segara Anakan yang tampak menghasilkan petaka bagi manusia sebenarnya
disebabkan karena ulah dan perilaku manusia itu sendiri. Proses sedimentasi
yang masif di Segara Anakan tidak terlepas dari perilaku manusia yang
mengeksploitasi secara besar-besaran di kawasan hutan bagian hulu sungai-
sungai yang bermuara di Segara Anakan. Eksploitasi tersebut menyebabkan
terjadinya erosi yang membawa lumpur dari sungai-sungai besar, seperti Sungai
Citandui, Sungau Cibereum, Sungai Cikonde, dan Sungai Cemeneng.
Dari perspektif ini, sebenarnya dapat disimak bahwa bencana alam yang
terjadi dan menimpa serta dihadapi manusia, sebenarnya terjadi karena manusia
106
tidak menghargai alam secara bijak, sebaliknya jika manusia menjaga alam
Segara Anakan, maka alam akan memberikan “balasan” yang sesuai dengan
tindakan manusia. Peristiwa bencana tsunami yang terjadi pada tahun 2006
menyebabkan wilayah perairan Cilacap dan sekitarnya mengalami kerusakan.
Sebaliknya, kerusakan tersebut tidak dialami oleh penduduk yang tinggal di
kawasan Segara Anakan. Kondisi tersebut disebabkan karena kawasan pesisir
kota Cilacap dan sekitarnya tidak dilindungi dengan baik oleh tanaman
mangrove, sementara tsunami yang juga melanda kawasan Segara Anakan dapat
dicegah karena tanaman mangrove yang tumbuh di sana. Praktis, hanya sebagian
desa Ujung Gagak yang mengalami dampak atau kerusakan dari peristiwa
tsunami tersebut.
Kajian-kajian yang berkaitan dengan lingkungan dan sumber daya alam
selama ini senantiasa menempatkan manusia pada posisi antroposentris, yaitu
dengan menempatkan manusia sebagai agen dari kajian tentang perubahan
lingkungan. Kajian tersebut menempatkan aspek non human hanya sebagai objek
dari perilaku manusia. Mispersepsi dari perspektif ini telah menegasikan peran
alam (non human nature) sebagai subjek dalam hubungannya dengan manusia.
Implikasi metodologis dari hal ini adalah kegagalan dalam mengkalkulasi
kontribusi alam secara valid terhadap persoalan-persoalan kerusakan alam yang
sebenarnya disebabkan oleh manusia sendiri, padahal kawasan biota Segara
Anakan telah berbagi secara ekologi, termasuk dalam dimensi kultural, sejarah,
dan psikologi dengan komunitas manusia (human) yang hidup di dalamnya.
Dimulai pada saat kawasan ini masih sebagai wilayah lautan luas di antara Pulau
Nusa Kambangan dan Pulau Jawa, kemudian mengalami proses sedimentasi yang
masif sejak tahun 1980-an akibat ulah manusia merusak hutan di bagian hulu
sungai-sungai yang bermuara di Segara Anakan. Perjalanan sejarah kawasan
Segara Anakan sebagai agen non human ini telah membawa implikasi yang
kompleks bagi human atau manusia, tidak hanya bagi manusia yang tinggal di
dalam kawasan tersebut, tetapi juga bagi manusia yang membangun jejaring
lintas regional dan internasional.
107
4.2 Masyarakat Kampung Laut Menatap Masa Depan
Merujuk pada penjabaran di atas, sudah selayaknya kita memperlakukan alam
Segara Anakan sebagai subjek dengan manusia hanya sebagai objek. Alam Segara
Anakan selama ini telah “berbaik hati” kepada manusia dengan memberikan
segala kebaikan yang dimilikinya. Bagi masyarakat Kampung Laut khususnya,
kebaikan tersebut mereka rasakan melalui sumber daya alam yang berlimpah
sehingga masih dapat dinikmati hingga saat ini. Upaya menjaga kelestarian
sumber daya alam Segara Anakan merupakan langkah mutlak yang harus
dilakukan manusia sebagai objek agar Segara Anakan sebagai subjek tetap
berbaik hati kepada manusia. Kolaborasi antarpihak seperti yang ditunjukkan
dalam buku ini merupakan salah satu bentuk langkah nyata sehingga alam
Segara Anakan senantiasa “berbaik hati” kepada manusia.
108
DAFTAR PUSTAKA
Ardli, E. R dan M. Wolff. 2008. Assessment of Changes in Trophic Flow Structure of
The Segara Anakan Lagoon Ecosytem Between 1980’s and 2000’s. Wetlands
Ecology and Management Journal.
Bismark, M., Endro Subiandono, dan N. M. Heriyanto. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan.
Direktorat Jenderal Bina Pesisir. 2004. Pedoman Penetapan Kawasan Konservasi
Laut Daerah (KKLD). Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
Gunawan, H. Dan C. Anwar. 2005. Analisis Keberhasilan dan Rehabilitasi
Mangrove di Pantai Utara Jawa Tengah. Info Hutan Vol. II No. 4 hlm. 239-248.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor.
Macane, W. 1968. A General Account of The Fauna and Flora of Mangrove Swamps
and Forest in The Indo-Wesr Pasific Region. Adv.Mar.Biol.
Prihandoko, Sanjatmiko. 2016. Kajian Common Property pada Kawasan Sumber
Daya yang Mengalami Perubahan Bentang Alam Akibat Sedimentasi: Studi Kasus
Komunitas Pesisir Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah. Jakarta: Departemen
Antropologi FISIP, Universitas Indonesia.
109
GLOSARI
Antroposentris :
Cara pandang yang menekankan bahwa manusia sebagai pusat dari dari segalanya
Blangkon:
Tutup kepala (topi) khas Jawa, terbuat dari bahan kain
Celana Komprang:
Pakaian khas Jawa berupa celana panjang longgar hingga panjang semata kaki
Folklore :
Dari kata "folk" (masyarakat) dan "lore" (cerita tidak tertulis). Makna katanya menjadi
cerita yang tidak tertulis dari suatu masyarakat yang memilikinya.
Jaring Apong:
Alat tangkap ikan dan sejenisnya yang terbuat dari jaring. Jaring direntangkan di antara
dua sisi perairan sungai yang airnya mengalir deras
Jaring Ciker:
Alat tangkap ikan dan sejenisnya yang dioperasikan di atas perahu dengan lebar 1
meter dan panjang 3 meter. Jaring ini direntangkan di perairan, sementara nelayan yang
merentangkan jaring tetap berada di atas perahu.
Kayu Tancang:
Kayu yang digunakan sebagai tiang rumah di tengah perairan
Karesidenan:
Perangkat pemerintahan antara kabupaten dan kecamatan. Perangkat pemerintahan ini
scara administratif saat ini sudah tidak berlaku lagi, hanya digunakan untuk menunjuk
suatu lokasi.
Perahu Compreng:
Perahu berbahan dasar kayu berukuran lebar sekitar 3 meter, panjang 12 meter,
penggerak perahu ini berupa mesin 2 tax berbahan bakar solar.
Perahu Katir:
Perahu berbahan dasar fiber berukuran lebar 1 meter dan panjang 12 meter dengan
kayu penyeimbang di sisi kanan dan kiri agar tidak terbalik
Sedimentasi:
proses pengendapan lumpur yang datang akibat erosi di kawasan hulu sungai karena
tertahan lama kelamaan menjadi daratan
110
Sinkritisme:
Perpaduan nilai-nilai keagamaan Islam dan Kejawen yang dipengaruhi oleh Hindu
Wilayah Sedimen:
Wilayah yang muncul akibat proses pengendapan lumpur yang kemudian menjadi
daratan
111
INDEKS
Antroposentris, 103
Blangkon, 20
Celana komprang, 20
CSR, 30
Folklore, 16
Jaring Apong, 1, 2
Jaring Ciker, 11
Kayu pancang, 19, 21, 23
Karesidenan, 1
Ki Jaga Laut, 16, 17
Ki Jaga Resmi, 16
Ki Jaga Desa, 16
Orang Kampung Laut, 20, 21, 24
Perahu Katir, 28
Perahu Compreng, 1, 22, 30
Sedimentasi, 1, 3, 4, 9, 18, 34, 38, 102, 103
Sinkritisme, 8
Sedekah bumi, 24, 25, 28, 29
Sedekah laut, 24, 25, 29
Pertamina, 30, 32, 33
Copy protected with PDF-No-Copy.com