Mangrove 2

38
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu bagian terpenting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan pesisir dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Wilayah pantai dan pesisir memiliki arti yang strategis karena merupakan wilayah interaksi/peralihan (interface) antara ekosistem darat dan laut yang memiliki sifat dan ciri yang unik, dan mengandung produksi biologi cukup besar serta jasa lingkungan lainnya. Kekayaan sumber daya yang dimiliki wilayah tersebut menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan secara langsung atau untuk meregulasi pemanfaatannya karena secara sektoral memberikan sumbangan yang besar dalam kegiatan ekonomi misalnya pertambangan, perikanan, kehutanan, industri, pariwisata dan lain-lain. Wilayah pesisir merupakan ekosistem transisi yang dipengaruhi daratan dan lautan, yang mencakup beberapa ekosistem, salah satunya adalah ekosistem hutan mangrove. Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan penting di wilayah pesisir dan kelautan. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan (nursery ground) berbagai macam biota, 1

description

wawasan wilayah kepulauan

Transcript of Mangrove 2

Page 1: Mangrove 2

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Salah satu bagian terpenting dari kondisi geografis Indonesia sebagai

wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan pesisir dengan garis pantai

sepanjang 81.000 km. Wilayah pantai dan pesisir memiliki arti yang strategis

karena merupakan wilayah interaksi/peralihan (interface) antara ekosistem darat

dan laut yang memiliki sifat dan ciri yang unik, dan mengandung produksi biologi

cukup besar serta jasa lingkungan lainnya. Kekayaan sumber daya yang dimiliki

wilayah tersebut menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk

memanfaatkan secara langsung atau untuk meregulasi pemanfaatannya karena

secara sektoral memberikan sumbangan yang besar dalam kegiatan ekonomi

misalnya pertambangan, perikanan, kehutanan, industri, pariwisata dan lain-lain.

Wilayah pesisir merupakan ekosistem transisi yang dipengaruhi daratan dan

lautan, yang mencakup beberapa ekosistem, salah satunya adalah ekosistem hutan

mangrove. Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan

penting di wilayah pesisir dan kelautan. Selain mempunyai fungsi ekologis

sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan

(nursery ground) berbagai macam biota, penahan abrasi pantai, amukan angin

taufan dan tsunami, penyerap limbah, pencegah interusi air laut, hutan mangrove

juga mempunyai fungsi ekonomis yang tinggi seperti sebagai penyedia kayu,

obat-obatan, alat dan teknik penangkapan ikan.

Mangrove merupakan salah satu ekosistem langka, karena luasnya hanya

2% permukaan bumi. Indonesia merupakan kawasan ekosistem mangrove terluas

di dunia. Ekosistem ini memiliki peranan ekologi, sosial-ekonomi, dan sosial -

budaya yang sangat penting; misalnya menjaga menjaga stabilitas pantai dari

abrasi, sumber ikan, udang dan keanekaragaman hayati lainnya, sumber kayu

bakar dan kayu bangunan, serta memiliki fungsi konservasi, pendidikan,

ekoturisme dan identitas budaya. Tingkat kerusakan ekosistem mangrove dunia,

termasuk Indonesia sangat cepat akibat pembukaan tambak, penebangan hutan

mangrove, pencemaran lingkungan, reklamasi dan sedimentasi, pertambangan,

1

Page 2: Mangrove 2

sebab-sebab alam seperti badai/tsunami, dan lain-lain. Restorasi mangrove

mendapat perhatian luas mengingat tingginya nilai sosial-ekonomi dan ekologi

ekosistem ini. Restorasi dapat menaikkan nilai sumber daya hayati mangrove,

memberi mata pencaharian penduduk, mencegah kerusakan pantai, menjaga

biodiversitas, produksi perikanan, dan lain-lain (Setyawan, 2002).

Pesisir memiliki peranan sangat penting bagi berbagai organisme yang

berada di sekitarnya. Kawasan pesisir memiliki beberapa ekosistem vital seperti

ekosistem terumbu karang, ekosistem padang lamun dan ekosistem hutan

mangrove (Souhoka, 2009). Ekosistem mangrove secara ekologis memiliki

produktivitas yang tinggi untuk mendukung lingkungan sekitar. Tingginya

produktivitas ekosistem mangrove disebabkan oleh produksi serasah yang

dihasilkan dari vegetasi mangrove (Hogart, 1999). Kerusakan wilayah pesisir

berdampak pada terjadinya erosi di daerah hilir, kerusakan ekosistem pesisir, dan

sedimentasi yang membahayakan kehidupan di lingkungan pesisir. Hutan

mangrove sebagai salah satu ekosistem yang terdapat di wilayah pesisir memiliki

peranan yang besar dalam mempertahankan wilayah pesisir. Beberapa fungsi

hutan mangrove antara lain, secara fisik hutan mangrove dapat mencegah

terjadinya abrasi pantai dan meredam gelombang dan angin laut serta sebagai

perangkap sedimen (Pramudji, 2004). Secara kimia hutan mangrove berperan

dalam penyerapan bahan pencemar (polutan), sumber energi serta pensuplai bahan

organik bagi lingkungan di sekitarnya (Pramudji, 2002). Sedangkan secara

biologis hutan mangrove berfungsi sebagai daerah pemijahan (spawning ground),

daerah asuhan (nursery ground) dan daerah pencarian makan (feeding ground)

serta sebagai habitat bagi berbagai jenis organisme (Tomlinson, 1994;

Supriharyono, 2009). Ekosistem hutan mangrove memiliki fungsi ekologis,

ekonomis dan sosial yang penting di wilayah pesisir (Rawana, 2002). Hutan

mangrove juga merupakan habitat bagi berbagai organisme baik darat maupun

laut seperti kepiting, udang, ikan, reptilia, monyet dan lain sebagainya.

Luas hutan mangrove di Indonesia pada tahun 1982 adalah 4,25 juta ha,

namun pada tahun 1987 luasnya berkurang menjadi 3,24 juta hektar, dan menjadi

2,5 juta hektar pada tahun 1993 (Widigdo, 2000). Nur (2002) menyebutkan bahwa

kerusakan ekosistem mangrove terjadi karena pengaruh dua faktor, yakni faktor

2

Page 3: Mangrove 2

alam dan faktor manusia. Faktor alam yang menyebabkan kerusakan mangrove

yaitu terjadinya badai, pemanasan global dan kenaikan muka air laut. Kerusakan

yang diakibatkan oleh faktor manusia antara lain adanya penebangan yang tidak

bertanggung jawab, konversi lahan yang tidak terkendali serta pemanfaatan

wilayah pesisir yang tidak sinkron antar satu wilayah dengan wilayah yang lain.

Hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem wilayah pesisir dan lautan

yang sangat potensial bagi kesejahteraan masyarakat baik dari segi ekonomi,

sosial dan lingkungan hidup, namun sudah semakin kritis ketersediaannya. Di

beberapa daerah wilayah pesisir di Indonesia sudah terlihat adanya degradasi dari

hutan mangrove akibat penebangan hutan mangrove yang melampaui batas

kelestariannya. Hutan mangrove telah dirubah menjadi berbagai kegiatan

pembangunan seperti perluasan areal pertanian, pengembangan budidaya

pertambakan, pembangunan dermaga dan lain sebagainya. Hal seperti ini terutama

terdapat di Aceh, Sumatera, Riau, pantai utara Jawa, Sulawesi Selatan, Bali, dan

Kalimantan Timur. Kegiatan pembangunan tidak perlu merusak ekosistem pantai

dan hutan mangrovenya, asalkan mengikuti penataan yang rasional, yaitu dengan

memperhatikan segi-segi fungsi ekosistem pesisir dan lautan dengan menata

sempadan pantai dan jalur hijau dan mengkonservasi jalur hijau hutan mangrove

untuk perlindungan pantai, pelestarian siklus hidup biota perairan pantai (ikan dan

udang, kerang, penyu), terumbu karang, rumput laut, serta mencegah intrusi air

laut. Salah satunya model pendekatan pengelolaan sumberdaya alam termasuk

didalamnya adalah sumberdaya hutan mangrove adalah pendekatan pengelolaan

yang berbasis masyarakat. Selama ini, kebijakan pengelolaan sumberdaya alam

dikontrol kuat oleh negara yang pengelolaannya selalu didelegasikan kepada

pengusaha besar, jarang kepada rakyat kecil. Pemerintah sepertinya

kurangpercaya bahwa rakyat mampu mengelola sumberdaya alam yang ada di

lingkungannya (Sallatang dalam Golar, 2002). Berdasarkan hal di atas, maka

tulisan ini mencoba menguraikan bagaimana pemulihan mangrove berdasarkan

pendekatan kepada masyarakat yang berada di kawasan ekosistem mangrove.

3

Page 4: Mangrove 2

1.2. Tujuan Pengelolaan

Berkaitan dengan semakin menurunnya kondisi dan luas area hutan

mangrove di berbagai kawasan pesisir di Indonesia, maka perlu ada suatu

pemikiran tentang langkah-langkah penahapan program yang sangat urgen bagi

keberadaan hutan mangrove. Adapun tujuan dari pengelolaan hutan mangrove

tersebut ada dua, yaitu tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang.

Gambaran dari masing-masing tujuan pengelolaan tersebut, secara terperinci

dibahahas antara lain sebagai berikut:

Tujuan jangka pendek

Melakukan evaluasi eksistensi hutan mangrove di seluruh kawasan pesisir

Indone-sia, merehabilitasi hutan mangrove yang sudah rusak serta mengelola

hutan mangrove dengan mengacu pada peraturan yang ada dan sekaligus unruk

melindungi biota yang hidup pada ekosistem mangrove. Untuk mencapai tujuan

program jangka pendek pengelolaan dan rehabilitasi hutan mangrove ini, dapat

dilakukan dengan cara antara lain sebagai berikut:

a. Melakukan koordinasi dengan berbagai institusi negeri dan swasta dalam

menginventarisir dan mengelola hutan man-grove.

b. Membuat jaringan kerja untuk mengelola hutan mangrove.

c. Mensosialisasikan peran dan manfaat hutan mangrove kepada masyarakat.

d. Memberikan pendidikan dan training yang berkaitan dengan cara untuk

merehabilitasi dan pengelolaan utan mangrove.

e. Memberikan sanksi hukum yang tegas bagi pelanggar.

Tujuan jangka panjang

Sedangkan tujuan jangka panjang program pengelolaan dan rehabilitasi

hutan mangrove di Indonesia adalah untuk menjaga dan mempertahankan fungsi,

serta manfaat ekosistem hutan mangrove melalui jaringan kerja yang baik. Untuk

mendukung agar tujuan program tersebut tercapai, perlu melakukan koordinasi

kepada institusi pemerintah terkait, antara lain Departemen Kehutanan,

Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Menteri Negara Riset dan Teknologi

(RISTEK), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Menteri Negara

Lingkungan Hidup dan Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional

(BAKOSURTANAL). Selain itu, perlu juga melakukan koordinasi dengan pihak

4

Page 5: Mangrove 2

swasta dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). misalnya Yayasan Terangi,

Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) dan WWF Indonesia,

maupun LSM yang lain yang ada di seluruh Indonesia, khususnya yang

menangani tentang kawasan pesisir.

5

Page 6: Mangrove 2

BAB II

PERMASALAHAN, POTENSI DAN STRATEGI PELESTARIAN

2.1. Permasalahan

Pemanfaatan kawasan hutan mangrove di Indonesia yang selama ini

dikonversi sebagai lahan pertambakan, kenyataannya telah memberikan

sumbangan yang sangat besar terhadap menurunnya luas areal hutan man-grove di

Indonesia, baik itu secara kualitatif maupun kuantitatif. Permasalahan lain yang

terkait dengan rusaknya hutan mangrove adalah konversi hutan mangrove yang

diperuntukkan sebagai lahan pertanian, lahan perkebunan, kawasan pemukiman,

bangunan dermaga dan berbagai kegiatan penambangan serta bangunan lainnya

yang semakin semarak di kawasan pesisir. Namun demikian, kontribusinya masih

jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan dengan kegiatan pertambakan udang

dan ikan.

Disamping permasalahan di atas, dampak dari kegiatan pembangunan

dermaga di berbagai wilayah secara tidak langsung akan memicu munculnya

bangunan pertokoan dan pemukiman, sehingga pada akhirnya juga akan semakin

menambah perambahan hutan man-grove. Selanjutnya, dengan berkembangnya

kota dan pemukiman penduduk semakin bertambah tentunya akan menyebabkan

semakin banyak sampah rumah tangga dan berbagai bahan polutan yang dibuang

ke kawasan perairan pesisir. Oleh karena itu, dengan menurunnya areal hutan

mangrove yang cukup drastis pada beberapa dekade terakhir ini, akan

menimbulkan dampak yang cukup rumit dan sangat kompleks, antara lain adalah

terjadinya erosi garis pantai, intrusi air laut, banjir, menurunnya kualitas perairan

dan selanjutnya menyebabkan menurunnya produksi perikanan.

Kegiatan manusia, pola pemanfaatan sumberdaya alam dan pola

pembangunan dituding sebagai faktor penyebab penting yang menyebabkan

terjadinya kerusakan ekosistem hutan mangrove. Tindakan manusia seperti

membuka lahan untuk tambak yang melampaui batas daya dukung maupun

memanfaatkan hutan mangrove secara berlebihan tanpa melakukan rehabilitasi

akan menyebabkan terjadinya degradasi ekosistem hutan mangrove. Pola

6

Page 7: Mangrove 2

pemanfaatan lahan yang bersifat tidak ramah lingkungan juga akan mengancam

keberadaan ekosistem hutan mangrove. Demikian pula pola pembangunan yang

dijalankan di daerah akan mempengaruhi kelestarian sumberdaya hutan

mangrove. Pada saat ini ada indikasi bahwa kerusakan ekosistem hutan mangrove

dan ancaman kepunahan spesies mangrove di wilayah pesisir semakin meningkat.

Faktor penyebab kerusakan dan akar permasalahannya cukup komplek. Namun

inti dari semua permasalahan degradasi hutan mangrove itu pada hakekatnya

bersumber pada manusia beserta perilaku nya, dalam hal ini adalah masyarakat

yang ada disekitarnya. Persepsi dan partisipasi merupakan unsur perilaku manusia

yang akan mempengaruhi bagaimana seorang manusia bertindak. Guna menjamin

fungsi ekosistem berjalan dengan baik bagi lingkungan secara keseluruhan di

wilayah pesisir maka sangat diperlukan suatu strategi kebijakan pengelolaan

ekosistem hutan mangrove yang efektif yang berlandaskan prinsip-prinsip

pengelolaan lingkungan secara berkelanjutan yaitu pengelolaan yang dilakukan

secara terpadu (integral) dan menyeluruh (holistik) dari aspek-aspek lingkungan

terkait yang mencakup aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Perumusan strategi

kebijakan itu sendiri memerlukan sejumlah data dan informasi yang memadai agar

menghasilkan arahan kebijakan pengelolaan ekosistem hutan mangrove yang

jelas. Dalam konteks sosial budaya masyarakat, maka perlu dilakukan studi

komprehensif mengenai aspek sosial budaya masyarakat yang ada di sekitar hutan

mangrove. Komponen sosial budaya yang diteliti meliputi persepsi dan partisipasi

masyarakat.

Berbagai upaya pemerintah dalam mensosialisasikan dan mengelola

sumberdaya mangrove telah banyak dilakukan, namun hasilnya hingga saat ini

kurang optimal. Hal ini terlihat di lapangan bahwa sebagian besar hutan mangrove

di Indonesia, kondisinya semakin menurun dan sebagian besar dikonversi menjadi

usaha pertambakan. Disamping itu, berbagai upaya yang berkaitan dengan

program rehabilitasi juga sudah banyak dilakukan, namun hingga saat ini hasilnya

belum optimal, kecuali di daerah Benoa Bali yang dilakukan oleh Departemen

Kehutanan dan JICA (Japan International Cooperation Agency), Jepang.

Sedangkan program yang dilakukan oleh pemerintah di beberapa daerah seperti di

pantai utara Jawa, Sinjai (Sulawesi Selatan) dan Penajam (Kalimantan Timur)

7

Page 8: Mangrove 2

kelihatannya tidak seperti yang kita inginkan. Kelemahan dari program yang

selama ini diterapkan adalah hanya untuk memenuhi target program, tetapi bukan

difokuskan kepada upaya yang serius agar dapat memperoleh hasil yang baik.

Masalah kebijaksanaan perlindungan sumberdaya mangrove yang terkait

dengan pengelolaan sumberdaya alam secara lestari, hingga saat ini kurang efektif

atau bahkan tidak berfungsi. Penyebab kurang efektifnya kebijaksanaan tersebut

antara lain adalah kebijaksanaan yang telah disepakati tidak disertai dengan

penegakan hukum yang semestinya, serta masih ada kebijaksanaan dari lembaga

pemerintah yang berbeda dan sering kurang koordinatif, sehingga dampaknya

menimbulkan perbedaan interpretasi khususnya pada tingkat pelaksana lapangan.

Selain hal tersebut, kebijakan pemerintah yang diterapkan kurang mengakomodasi

terhadap berbagai kepentingan dari "stakeholders".

Dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa permasalahan riil yang

ada sekarang terhadap hutan mangrove baik di dunia maupun di Indonesia secara

khusus adalah terjadinya kerusakan akibat pemanfaatan yang melebihi kebutuhan

dan meninggalkan asas keberlanjutan. Faktor penyebab terjadinya kerusakan pada

hutan mangrove diantaranya;

1. Pemanfaatan yang tidak terkontrol, karena ketergantungan masyarakat yang

menempati wilayah pesisir sangat tinggi.

2. Konversi hutan mangrove untuk berbagai kepentingan (perkebunan, tambak,

pemukiman, kawasan industri, wisata dll.) tanpa mempertimbangkan

kelestarian dan fungsinya terhadap lingkungan sekitar.

Atas dasar pemikiran tersebut, maka perlu adanya strategi dan kebijaksanaan

pengelolaan dari berbagai stakeholder yang terkait berdasarkan potensi, peranan

secara terintegrasi, sehingga akan memberikan hasil yang mampu memulihkan

fungsi hutan mangrove baik secara ekologis maupun ekdnomis yang berorientasi

kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat pesisir yang

hidup disekitar kawasan hutan mangrove.

8

Page 9: Mangrove 2

2.1.1. Faktor Penyebab Kerusakan Hutan Mangrove

Walaupun memiliki sangat banyak fungsi, umumnya hutan mangrove

mengalami kerusakan yang sangat parah.

Faktor-faktor penyebab kerusakan hutan mangrove, adalah sebagai berikut :

1. Substrat mangrove pada umumnya lumpur berpasir atau lempung

berpasir, manakala substrat berganti menjadi dominan pasir atau sampah

padat, maka pertumbuhan mangrove akan menjadi kerdil dan

berkemungkinan menuju pada kepunahan.

2. Eksploitasi yang berlebihan tidak akan memberikan kesempatan

tumbuhan mangrove sampai pada umur optimal, sehingga di sana sini

dapat meloloskan gempuran ombak sampai ke batas terdalam.

3. Konversi hutan mangrove menjadi areal tambak yang berlebihan sampai

ke batas areal terluar akan memberikan kesempatan pada :

- Ombak untuk mengubah posisi garis pantai

- Arus untuk memindahkan volume pasir /sedimen ke tempat lain

Proses perusakan hutan mangrove dapat dilihat dari penyebab perusakan

secara fisis dan non fisis, seperti berikut :

a. Aspek Fisik

1. Adanya pemanfaatan kayu bakau secara berlebihan atau tidak terkendali,

baik oleh masyarakat setempat maupun oleh pihak luar dan swasta.

2. Pembukaan lahan mangrove untuk kegiatan pertambakan, pembangunan

industri, permukiman dan lain-lain

3. Hilangnya terumbu karang sebagai peredam ombak alami

4. Adanya sebaran pencemaran seperti tumpahan minyak, limbah bahan

organik, sampah padat.

b. Aspek Non Fisik

1. Rendahnya tingkat pemahaman masyarakat termasuk pemda dan dunia

usaha tentang manfaat keberadaan kawasan mangrove.

2. Tidak jelasnya tata ruang dan pemanfaatan wilayah pesisir

3. Belum adanya penetapan jalur hijau

9

Page 10: Mangrove 2

4. Tidak tersosialisasinya dengan baik segala peraturan perundangan yang

berkaitan dengan perlindungan wilayah pesisir.

5. Masih rendahnya penegakan hukum dalam upaya mengambil tindakan

terhadap setiap kegiatan ilegal yang terjadi disekitar kawasan pesisir dan

laut.

Kerusakan terhadap hutan mangrove dapat terjadi secara alamiah atau

adanya tekanan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar hutan mangrove.

Secara alamiah timbul karena adanya peristiwa alam seperti adanya

topan badai atau iklim yang berkepanjangan yang menyebabkan

akumulasi garam dalam tanaman mangrove (Murdiyanto, 2003).

Menurut Simbolon (1990), gangguan yang serius terhadap kelestarian

hutan mangrove yaitu terjadinya perombakan hutan dan penebangan liar.

Gangguan lainnya adalah pelanggaran dalam pelaksanaan pengusahaan

hutan dan adanya sedimentasi.

Ada tiga faktor utama penyebab kerusakan hutan mangrove (Kusmana, 2002)

yaitu :

1. Pencemaran.

Pencemaran yang terjadi pada areal hutan mangrove terutama disebabkan oleh

minyak dan logam berat. Dua sumber utama pencemaran areal mangrove ini

merupakan dampak negatif dari kegiatan pelayaran, industri serta kebocoran

pada pipa/tanker industri dan tumpahan dalam pengangkutan.

2. Konversi lahan hutan mangrove.

Konversi hutan mangrove untuk budidaya perikanan, lahan pertanian, jalan

raya, industri, perkotaan, pertambangan, penggalian pasir dan sebagainya.

3. Penebangan yang berlebihan.

Penebangan kayu mangrove secara legal maupun ilegal untuk produksi kayu

bakar, arang dan chip telah berlangsung lama. Eksploitasi tersebut dilakukan

secara berlebihan sehingga telah menimbulkan kerusakan dan menurunkan

fungsi atau potensi produksi hutan mangrove.

10

Page 11: Mangrove 2

Selanjutnya, Kusmana (2002) mengemukakan adanya faktor – faktor

pendukung penyebab kerusakan hutan mangrove yang antara lain adalah

pertumbuhan ekonomi memerlukan tersedianya sarana dan prasarana

transportasi terutama jalan raya, terminal, pelabuhan dan prasarana lainnya,

urbanisasi dan sebagainya merupakan indikator terjadinya peningkatan

aktivitas perekonomian. Peningkatan aktivitas perekonomian seperti ini ikut

mempercepat terjadinya kerusakan areal hutan mangrove.

2.1.2. Akibat / Dampak Kerusakan Hutan Mangrove

Kerusakan hutan mangrove mengakibatkan beberapa hal diantaranya:

1. Instrusi air laut

Instrusi air laut adalah masuknya atau merembesnya air laut ke arah

daratan sampai mengakibatkan air tawar sumur/ sungai menurun mutunya,

bahkan menjadi payau atau asin (Harianto, 1999). Dampak instrusi air laut

ini sangat penting, karena air tawar yang tercemar intrusi air laut akan

menyebabkan keracunan bila diminum dan dapat merusak akar tanaman.

2. Turunnya kemampuan ekosistem mendegradasi (pengikisan) sampah

organik, minyak bumi dll.

3. Menurunnya keanekaragamanhayati di wilayah pesisir

4. Meningkatnya abrasi pantai

5. Turunnya sumber makanan, tempat pemijah & bertelur biota laut. Akibatnya

produksi tangkapan ikan menurun.

6. Turunnya kemampuan ekosistem flora pesisir pantai dalam menahan tiupan

angin, gelombang air laut dlll.

7. Meningkatnya pencemaran pantai.

Selain beberapa hal diatas, dampak kerusakan hutan mangrove juga

mempengaruhi beberapa bidang, diantaranya sebagai berikut :

a. Dampak Biofisis

1. Tidak ada pelemah energi ombak alami, sehingga perairan akan sangat

dinamik dan membahayakan posisi garis pantai

11

Page 12: Mangrove 2

2. Tekanan air pasang akan memperkuat laju instruksi air asin dalam air

tanah, instrusi air laut yang akan mencemari sumber air permukaan yang

umumnya dimanfaatkan oleh penduduk setempat baik untuk memenuhi

kebutuhan air rumah tangga maupun untuk keperluan pertanian.

3. Tidak ada produksi unsur hara yang diperlukan biota pantai

4. Terputusnya siklus hidup biota perairan laut, misalnya berbagai jenis

ikan, kerang-kerangan, kepiting, udang dan lain-lain

b. Dampak Sosial Ekonomi

1. Hilangnya sumber-sumber penghidupan bagi masyarakat

2. Bergesernya nilai-nilai kearifan tradisional

3. Bergesernya perilaku kebersamaan dalam pengelolaan mangrove

4. Menimbulkan konflik sosial akibat perebutan lahan sumberdaya

mangrove yang semakin menipis

5. Menimbulkan perusakan pada habitat lain sebagai pengganti alternatif

sumber daya mangrove.

2.2. Potensi Hutan Mangrove

Indonesia adalah satu-satunya negara dengan wilayah hutan mangrove

terluas yaitu mencapai 27.072 km2 (19.5% dari total wilayah hutan mangrove

dunia). Hasil penelitian terbaru yang diterbitkan dalam situs Proceedings of the

National Academy of Sciences (PNAS), Senin (30/7) mengungkapkan, jika

lestari, potensi hutan mangrove secara ekonomi, ekologis dan sebagai tempat

penyimpanan karbon sangat besar.

Penelitian ini disusun oleh tiga orang peneliti yaitu Juha Siikamäkia, James

N. Sanchiricoa dan Sunny L. Jardinec dari tiga lembaga yaitu Resources for the

Future; Department of Environmental Science and Policy; dan Department of

Agricultural and Resource Economics, University of California, Davis. Mereka

berhasil mengungkap potensi ekonomi, ekologis dan penyimpanan karbon dari

hutan mangrove guna memromosikan pelestarian sumber daya alam yang

berharga ini. Hutan mangrove selain sebagai tempat berkembangbiaknya ikan,

kerang, burung dan mamalia laut, juga berfungsi sebagai penahan abrasi dan

melindungi penduduk dari gelombang air laut. Selain fungsi ekologis di atas,

12

Page 13: Mangrove 2

ketiga peneliti menyimpulkan, setiap hektar hutan mangrove, mampu menyimpan

karbon dalam jumlah yang lebih banyak dibanding hutan tropis di dataran tinggi

(upland tropical forests). Peran ini penting untuk mengurangi jumlah emisi CO2,

penyebab pemanasan global yang saat ini terus meningkat.

Walau luas hutan mangrove hanya 0.7% (sekitar 140.000 km2) dari luas

hutan tropis dunia, hutan mangrove mampu menyimpan emisi karbon dioksida

hingga 20 miliar ton (20 Pg C) atau 2,5 kali lipat lebih banyak dari emisi CO2

yang dihasilkan dunia setiap tahun. Dan upaya menghindari emisi CO2 dengan

menjaga kelestarian hutan mangrove bisa dilakukan dengan biaya antara US$4-10

per ton CO2 – relatif lebih murah jika dibandingkan upaya yang sama pada hutan

tropis lain yang mencapai US$10-20 per ton CO2.

Jika mangrove dijaga akan tetap lestari, kemampuan ini akan terus

meningkat, namun jika tren kerusakan hutan mangrove saat ini terus berlanjut,

maka potensi akumulasi penyimpanan karbonnya akan musnah. Salah satu sistem

yang bisa digunakan untuk mempromosikan upaya konservasi hutan mangrove

adalah program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD).

Menurut para peneliti, potensi pasar karbon dengan melindungi hutan mangrove

ini masih belum banyak digali sebagaimana potensi penyimpanan karbon di hutan

tropis.

Untuk itu, penting mengetahui dan menghitung potensi penyimpanan

karbon di atas, di bawah dan di dalam tanah hutan mangrove. Kecepatan

kerusakan yang terjadi di hutan mangrove juga harus diperhitungkan guna

melindungi hutan mangrove dan mencegah pelepasan emisi CO2. Dengan

mengetahui semua informasi tersebut, penduduk dan negara bisa memperoleh

manfaat ganda yaitu manfaat ekonomi melalui pasar karbon dan peluang ekologis

guna memromosikan konservasi hutan mangrove dan keanekaragaman hayati

yang ada di dalamnya.

13

Page 14: Mangrove 2

2.3. Strategi Pelestarian Hutan Mangrove

Strategi pelestarian hutan mangrove yang digunakan adalah pelestarian

dengan melibatkan masyarakat. Pelestarian hutan mangrove adalah merupakan

suatu usaha yang sangat kompleks untuk dilaksanakan, karena kegiatan tersebut

sangat membutuhkan suatu sifat akomodatif terhadap segenap elemen yang berada

di sekitar kawasan maupun di luar kawasan.

Salah satu strategi yang dapat diterapkan dalam konteks pengelolaan

ekosistem hutan mangrove adalah pengelolaan berbasis masyarakat (Community

Based Management). Dahuri (2001) mengemukakan bahwa pengelolaan berbasis

masyarakat mengandung arti keterlibatan langsung masyarakat dalam mengelola

sumberdaya alam di suatu kawasan. Tujuan mendasar dari pengelolaan ekosistem

mangrove adalah untuk meningkatkan konservasi, rehabilitasi dan pemanfaatan

berkelanjutan ekosistem mangrove (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2005).

Tujuan ini dapat dicapai melalui prinsip :

1. Pengelolaan ekosistem mangrove yang mengedepankan prinsip kehati – hatian

(precautionary) dengan mempertimbangkan praktek yang sudah ada, kearifan,

keyakinan dan kebiasaan masyarakat setempat.

2. Pengelolaan mangrove yang didasarkan pada pendekatan ekosistem dengan

mempertimbangkan kegiatan dan dampaknya baik di kawasan hulu dan hilir.

3. Pengelolaan kawasan mangrove yang berorientasi pada keberlanjutan fungsi

lingkungan dan nilai – nilai ekologi untuk mendukung kesejahteraan

masyarakat, utamanya masyarakat pesisir.

4. Upaya mitigasi dampak lingkungan akibat aktivitas pembangunan di kawasan

ekosistem mangrove.

5. Pengelolaan ekosistem mangrove merupakan proses berulang (interative

process) yang terdiri atas perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan dan

pemanfaatan lestari serta didukung dengan upaya – upaya pembinaan dan

pengendalian yang konsisten dan berkelanjutan.

6. Pengelolaan ekosistem mangrove yang berlandaskan pada asas keterpaduan,

keberlanjutan, desentralisasi, dan perencanaan berbasis masyarakat.

14

Page 15: Mangrove 2

2.4. Pengelolaan dan Pelestarian Hutan Mangrove

Dalam pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove, menurut Bengen (2001)

terdapat dua konsep utama yang dapat diterapkan yaitu perlindungan hutan

mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove.Salah satu cara yang dapat dilakukan

dalam rangka mengupayakan perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove

adalah dengan menunjuk suatu kawasan mangrove untuk menjadi kawasan hutan

konservasi, dan suatu bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai.

Bentuk perlindungan hutan mangrove seperti ini cukup efektif dilakukan dan

membawa hasil, contohnya seperti yang dapat dilihat di Pulau Rambut dan Pulau

Dua, Jawa Barat yang telah ditunjuk sebagai suatu kawasan suaka

margasatwa(Dahuri, 2001).

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang

didominasi oleh tanaman jenis Avicenia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiriera,

Xylocarpus, serta tanaman Nipa. Jenis yang disebut terakhir ini bukan merupakan

salah satu jenis mangrove, tetapi merupakan vegetasi yang juga bisa ditemukan di

hamparan areal mangrove. Areal mangrove tumbuh di wilayah pesisir yang

tergenang oleh air pasang dan berada pada teluk, kuala (estuaria) pantai-pantai

yang dangkal, pantai sekitar muara berdelta dan daerah pantai yang terlindung.

Selain bergantung pada morfologi pantai, areal mangrove biasa tumbuh pada

pantai yang memiliki substrat berlumpur. Daerah yang terdekat ke perairan laut

dengan substrat agak berpasir sering ditumbuhi oleh Avicennia Sp dan biasanya

berasosiasi dengan jenis Sonneratioa spp. Untuk jenis Rhizophora Spp biasanya

menempati zona berikutnya ke arah darat dengan substrat berlumpur.

Persyaratan tumbuh bagi hutan mangrove adalah sebagai berikut :

1. Mangrove tumbuh dengan baik pada wilayah pesisir yang susbstratnya

lumpur berpasir atau lempung berpasir.

2. Hamparannya tergenang air laut pada saat pasang secara berkala, apakah

harian, setengah harian, atau campuran.

3. Kedalaman genangannya menerima pasokan air tawar yang cukup

4. Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat

5. Perairannya bersalinitas payau (2-22 permil) hingga asin (mencapai 38

permil).

15

Page 16: Mangrove 2

Hutan mangrove memiliki banyak fungsi. Fungsi-fungsi tersebut antara lain :

a. Fungsi Ekologi

Hutan mangrove yang merupakan habitat dari suatu ekosistem peralihan darat

dan perairan yang mempunyai peranan ekologi yang sangat vital di daerah

perairan tersebut. Secara umum fungsi ekologi mangrove untuk semua

kawasan tersebut, antara lain :

1. Habitat bagi aneka ragam biota darat dan perairan yang berperan dalam

keberlangsungan ekosistem pantai

2. Daerah asuhan (Nursey ground) berbagai larva biota perairan seperti

ikan, udang dan biota lainnya

3. Penghasil sejumlah besar detritus dari daun dan dahan mangrove

4. Sumber produktivitas perairan seperti sumber makanan, moluska sesuai

dengan rantai makanan yang ada

b. Fungsi Fisik

Keberadaan mangrove ditepi pantai memerlukan fluktuasi genangan air laut

antara satu sampai dua meter. Pada saat angin berhembus kencang, maka air

laut bergelombang menjalarkan ombak ke tepi pantai. Mangrove dengan

genangan air laut dapat mereduksi tinggi ombak, sehingga dinamika air

kurang energik. Kondisi seperti ini memungkinkan proses-proses

pengendapan partikulat yang melayang dalam badan air berlangsung sangat

intensif.

Berdasarkan dinamika air genangan dalam areal mangrove tersebut, maka

dapat diturunkan faedah-faedah mangrove sebagai berikut :

1. Mereduksi tinggi ombak atau melemahkan energi ombak

2. Menahan tekanan air pasang sehingga mengurangi laju instrusi air asin

3. Mengendapkan partikulat yang melayang dalam badan air pada saat

kecepatan arus pasang terhenti

4. Menyebarkan unsur hara ketika badan air sedang surut

5. Menjaga dan memelihara posisi garis pantai dari bahaya erosi

16

Page 17: Mangrove 2

c. Fungsi Ekonomi

Bagi masyarakat lokal keberadaan hutan Mangrove dapat memberikan

berbagai pencarian penghidupan alternatif atau bahkan yang utama :

1. Menyuburkan habitat untuk peningkatan perolehan hasil tangkapan

seperti kepiting, udang dan ikan baik untuk kepentingan keluarga

maupun komersial

2. Memanfaatkan Mangrove sendiri untuk kepentingan bahan bakar

maupun industri kerajinan rumah tangga (pembuatan atap nipa,

minuman tuak, gula merah)

3. Sebagai sumber pemenuhan sebagian variasi makanan seperti sayur yang

belum terindifikasi nama latin dan Indonesia

4. Pemenuhan bibit untuk tambak (nener benur)

5. Lahan budidaya (Empang parit)

Bagi masyarakat pengusaha areal hutan mangrove menjadi areal yang sangat

menarik untuk melakukan investasi dalam berbagai kegiatan ekonomi

diantaranya adalah :

1. Pengusahaan komoditi bahan bakar (arang) untuk pemenuhan

permintaan eksport maupun domestik

2. Pengusahahan komoditi udang dengan pembukaan areal hutan mangrove

sebagai areal tambak

3. Pengusahaan komoditi biota selain udang seperti kepiting, ikan, dan bibit

baik untuk pemenuhan eksport maupun domestik

4. Pengusahaan kayu mangrove sebagai bahan baku industri (kosmetik,

kertas dan lain-lain)

d. Fungsi Sosial

Hutan Mangrove memberikan lahan yang baik dibagian terdalamnya untuk

areal permukiman, karena kemudahan perolehan air tawar, keterlindungan

dari hembusan angin kencang dan gempuran ombak. Tumbuhnya permukiman

akan memberikan peluang kepada setiap individu untuk berinteraksi,

bersosialisasi dan membangun kelembagaan sosial. Secara rinci fungsi sosial

tersebut diurut seperti berikut :

17

Page 18: Mangrove 2

1. Menciptakan rasa aman bagi masyarakat akibat terlindung dari abrasi

maupun terpaan angin.

2. Mengundang proses keterhubungan antar individu yang kuat karena

masyarakat setempat memiliki rasa kecemasan dan kebutuhan yang sama

3. Motivasi masyarakat untuk mendapatkan penghargaan lingkungan

4. Menciptakan dinamika musyawarah antar warga dalam kaitan

pengelolaan dan pemanfaatan keberadaan Mangrove

5. Melalui musyawarah akan terungkap proses sejarah kemudian

penyamaan persepsi melahirkan konsep dan pada gilirannya

mengukuhkan kearifan-kearifan tradisional misalnya falsafah assidiang

dan abbulo sibatang

6. Dengan kearifan tradisional maka warga setempat menemukan

karakteristik yang sekaligus sebagai daya saing untuk meningkatkan

kesejahteraan.

2.4.1. Pengelolaan Berbasis Masyarakat

Salah satu komponen penting dalam upaya rehabilitasi mangrove adalah

masyarakat pesisir. Masyarakat sekitar hutan mangrove mempunyai peranan yang

sangat penting bagi kelestarian hutan. Mereka dapat berperan sebagai perusak

atau penjaga hutan mangrove dari berbagai ancaman. Mansyarakat sekitar hutan

mangrove memanfaatkan berbagai produk hutan mangrove guna mencukupi

kebutuhan hidup dan memerlukannya untuk mempertahankan stabilitas

lingkungan. Untuk itu diperlukan pengembangan peranserta masyarakat yang

dapat melakukan usaha konservasi hutan mangrove guna menjaga kestabilan

ekosistem mangrove tersebut.

Usaha reklamasi hutan mangrove dengan pendekatan sistem keproyekan

yang selama ini dilakukan oleh pemerintah melalui Departeman Kehutanan

maupun Departemen Perikanan dan Kelautan tingkat keberhasilannya cenderung

kecil dan sangat tidak sebanding dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan. Jika

dilihat lebih mendalam dan ditelusuri dengan teliti ternyata salah satu penyebab

kegagalannya adalah kurangnya peran serta masyarakat dalam rehabilitasi hutan

mangrove dan masyarakat masih dianggap sebagai obyek bukan sebagai subyek.

18

Page 19: Mangrove 2

Pelaksanaan proyek dengan pendekatan top–down tentu saja kurang

memberdayakan masyakakat sekitar hutan mangrove. Pemerintah hanya berperan

sebagai penyedia dana, pengontrol dan fasilitator. Akibatnya setelah selesai

proyek tersebut dan dana telah habis maka pelaksana proyek merasa sudah habis

pula tanggung jawabnya. Disisi lain masyarakat tidak ikut merasa memiliki (tidak

punya sense of belonging). Akhirnya masyarakat beranggapan hutan magrove

tersebut milik pemerintah bukan milik mereka sehingga mereka acuh tak acuh

dengan kerusakan mangrove disekitar mereka.

Masyarakat pesisir hendaknya dijadikan sebagai ujung tombak dalam

program rehabilitasi mangrove yang dilakukan pemerintah. Pemerintah

diposisikan sebagai penyandang dana, sedang untuk perencanaan, pelaksanaan,

evaluasi keberhasilan dan pemanfaatan kedepan diserahkan oleh masyarakat

dengan pelibatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), perangkat desa,

pemimpin umat, ketua adat dan lain-lain. Dengan pendekatan semacam ini proses

rehabilitasi mangrove yang dimulai dari pembibitan, penanaman, perawatan,

penyulaman dilakukan oleh masyarakat. Melalui mekanisme ini masyarakat tidak

merasa dianggap sebagai buruh tapi masyarakat merasa sebagai pemilik dari hutan

mangrove itu sendiri. Secara tidak langsung masyarakat jadi mempunyai rasa

tanggung jawab untuk turut menjaga kelestarian dari hutan mangrove di sekitar

mereka.

Upaya reklamasi mangrove sudah berjalan sedemikian lama. Untuk

pelaksanaan kedepan hendaknya pemerintah meggunakan sistem pendekatan

bottom up dengan meletakkan mayarakat sebagai subyek bukan sebagai obyek.

Tugas pemerintah lebih pada pemberian pengarahan secara berkelanjutan agar

kedepan tidak terjadi konflik kepentingan diantara mereka.

2.4.2. Rehabilitasi

Karena umumnya hutan Mangrove mengalami kerusakan, maka harus

dilakukan upaya rehabilitasi. Rehabilitasi hutan Mangrove adalah kegiatan

penghijauan yang dilakukan terhadap hutan-hutan mangrove yang telah telah

mengalami kerusakan, yang bertujuan untuk mengembalikan fungsi ekologis,

ekonomis, sosial, fisis dan aestetis. Kegiatan rehabilitasi dilakukan dikawasan

19

Page 20: Mangrove 2

hutan mangrove yang telah ditebas dan dialih fungsikan untuk kegiatan lain.

Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove telah dirintis sejak tahun 1960, dikawasan

pantai utara Pulau Jawa.

Berbagai pihak berkepentingan dan terkait dengan keberadaan, pengelolaan

dan pemanfaatan mangrove. Pihak-pihak tersebut yang biasa disebut Stakeholder,

adalah sebagai berikut :

1. Pemerintah : melahirkan kebijakan – kebijakan yang menjamin

perlindungan dan pengembangan hutan mangrove.

2. Pengusaha : Memanfaatkan keberadaan mangrove secara ekonomis

tanpa mengabaikan aspek ekologis

3. Masyarakat lokal : untuk memanfaatkan secara ekonomis sehingga

menjamin dinamika sosial

4. Perguruan tinggi : menjadi regulator (manajemen) atau sebagai

konsultan masyarakat untuk memanfaatkan hutan bakau secara lestari.

5. ORNOP : sebagai konsultan pengembangan masyarakat.

Untuk melakukan rehabilitasi, harus dipenuhi beberapa persyaratan.

Persyaratan tersebut antara lain :

a. Oceanografi

Untuk penanaman kembali areal mangrove diperlukan beberapa

persyaratan oceanografi pantai guna mendukung keselamatan bibit

mangrove yang ditanam. Persyaratan itu antara lain :

1. Areal pesisir yang datar sampai landai agar membentangkan lahan yang

luas

2. Tergenang secara berkala dengan periode harian atau setengah harian

oleh campuran air asin dan air tawar, atau air asin saja.

3. Substrat yang baik adalah lumpur berpasir

4. Bibit ditanam ketika musim ombak kecil, dan disiapkan APO untuk

mengantisipasi musim ombak besar, agar perakaran bibit tetap berada

pada substrat yang tidak terkikis.

20

Page 21: Mangrove 2

b. Habitat

Syarat pertama yang harus dipenuhi dalam menentukan lokasi

kegiatan rehabilitasi mangrove adalah bahwa lokasi yang ditunjuk

merupakan bekas habitat tanaman mangrove, yang memiliki ciri :

1. Lokasi yang dimaksud harus merupakan wilayah pesisir yang

dipengaruhi oleh pasang surut air laut.

2. Perairan yang menggenanginya harus memenuhi salinitas untuk

pertumbuhan mangrove.

3. Jenis tanahnya sebagai substrat harus merupakan lumpur berpasir atau

lumpur berlempung jenis tanah ini harus diketahui untuk menentukan

jenis tanaman mangrove yang akan ditanam.

Apabila lokasi rencana rehabilitasi setelah penilaian dinyatakan telah sesuai

dengan habitatnya, maka penilaian berdasarkan syarat kedua yaitu “motivasi”

dapat dilanjutkan.

2.5. Kebijakan dan Peraturan Pelestarian Hutan Mangrove

Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan (2005), terdapat beberapa

kebijakan – kebijakan dasar dalam pengelolaan hutan mangrove yang antara lain,

meliputi :

1. Untuk kawasan mangrove yang masih asli atau mendekati kondisi asli,

harus dilakukan pengelolaan dengan tujuan pelestarian dan konservasi.

Pengelolaan dengan tujuan pelestarian dan konservasi ini terus

dipertahankan sebelum tersedia data dan informasi untuk menganalisis

dampak bentuk pengelolaan lainnya.

2. Untuk kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan pemanfaatan, misalnya

untuk budidaya ramah lingkungan, pariwisata, maka harus

mengedepankan pendekatan kehati – hatian (precautionary approach),

khususnya apabila tidak tersedia informasi tentang pemanfaatannya secara

berkelanjutan.

3. Apabila direncanakan pemanfaatan ekonomi, khususnya yang

menyebabkan hilangnya mangrove seperti industri, permukiman, pertanian

dan pertambakan, maka perlu diambil seperti analisis dampak lingkungan,

21

Page 22: Mangrove 2

audit lingkungan dan rencana pengelolaan lingkungan.

Untuk kawasan mangrove yang berfungsi sebagai jalur hijau, berada pada

pantai yang rawan erosi, bantaran sungai dan mengurangi dampak negatif

fenomena alam seperti badai tropis, maka harus dilakukan pengelolaan

untuk perlindungan dan konservasi.

22

Page 23: Mangrove 2

BAB III

KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan

Permasalahan wilayah pesisir pantai khususnya hutan mangrove sangat

kompleks. Di satu sisi terdapat hutan mangrove yang mutlak harus dijaga dan

dilestarikan, tapi di sisi lain ada masyarakat yang berkepentingan untuk bertahan

hidup dan menggunakan lahan mangrove sebagai mata pencahariannya. Tarik

menarik pemerintah dengan warga setempat mengenai penggunaan lahan masih

sulit mencapai titik temu, karena tidak ada pemahaman dari kedua belah pihak

terhadap kepentingan masig-masing.

Pembukaan tambak yang dilakukan masyarakat di kawasan hutan bakau

bukan semata-mata karena masyarakat gemar dan ingin bertambak, melainkan

masyarakat tidak punya banyak pilihan untuk meneruskan kelangsungan

hidupnya. Masyarakat pesisir yang semula bekerja sebagai nelayan, sekarang

mereka sudah tidak sanggup lagi melaut karena populasi ikan semakin berkurang

akibat sedimentasi, untuk sehari melaut para nelayan terkadang tidak

mendapatkan sepeser pun, bahkan mereka merugi. Jika melihat dari aksi-aksi

yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah, fenomena tersebut belum

difahami oleh pemerintah. Terbukti belum ada penyelesaian hingga saat ini.

Hal yang terpenting dari permasalahan ini adalah bagaiamana agar habitat

mangrove bisa kembali normal dan masyarakat sekitar pesisir pantai dapat

mencari nafkah dan mendekati kehidupan yang sejahtera menuju kondisi ideal,

karena bagaiamanapun juga kehidupan masyarkat pesisir sangat berkaitan dengan

kawasan Mangrove, jika tanaman Mangrove dalam kondisi kritis maka secara

tidak langsung kehidupan masyarakat pesisir pun terancam. Hal ini memang

menjadi tanggung jawab bersama, tetapi pemerintah mendapat porsi yang besar

dalam mewujudkan kondisi ideal tersebut. Tidak perduli bagaimana kaitan dan

bagaimana konflik di antar instansi yang mengelola kawasan Mangrove, karena

konflik dan tidak jalannya fungsi-fungsi yang dimiliki oleh instansi terkait bukan

kesalahan masyarakat, bukan kesalahan LSM, bukan kesalahan Negara tetangga,

23

Page 24: Mangrove 2

melainkan kesalahan daripada instansi-instansi tersebut, dan merupakan kesalahan

pemerintah sebagai penyelenggara Negara.

3.2. Saran

Sebaiknya untuk melakukan pelestarian dan pengelolaan Hutan Mangrove

Pemerintah harus melibatkan masyarakat. Jika pemerintah bekerja dengan benar

dan memberi perhatian yang cukup kepada daerah pesisir, niscaya fenomena

pengrusakan hutan mangrove serta alih fungsi hutan mangrove dapat

diminimalisir. Penyelesaian permasalahan hutan mangrove menuntut suatu

manajemen terbuka yang menjamin keberlangsungan proses koordinasi antar

lembaga. Partisipasi masyarakat dalam penyusunan rencana, pelaksanaan,

monitoring dan evaluasi harus disertakan. Pemerintah harus memiliki kekuatan

untuk menjalankan apa yang harus dijalankan demi kesejahteraan rakyat.

24

Page 25: Mangrove 2

DAFTAR PUSTAKA

Alil. Hutan Mangrove, Permasalahan dan Solusinya.

http://farchantp049.blogspot.com/2012/04/hutan-mangrove-permasalahan-

dan.html 2012.

BPPP. Strategi Pelestarian Hutan Mangrove.

http://www.bppp-tegal.com/v1/index.php?

option=com_content&view=article&id=238:strategi-pelestarian-hutan-

mangrove&catid=44:artikel&Itemid=85 2012.

Novesha, Neneng. Pelestarian Hutan Mangrove dan Peraturan Perundang

undangan tentang Lingkungan Lidup.

http://nnovesha.blogspot.com/2012/10/makalah-plh-hutan-mangrove-dan-

undang.html 2012.

Setiawan, Heru. Potensi Pengembangan Hutan Mangrove.

https://seputarmangrove.wordpress.com/2011/01/11/potensi-pengembangan-

hutan-mangrove/ 2011.

25