KEJAWAAN DAN KEKRISTENAN : NEGOSIASI IDENTITAS … · 2017-12-17 · ii tesis kejawaan dan...
Transcript of KEJAWAAN DAN KEKRISTENAN : NEGOSIASI IDENTITAS … · 2017-12-17 · ii tesis kejawaan dan...
i
KEJAWAAN DAN KEKRISTENAN :
NEGOSIASI IDENTITAS ORANG KRISTEN JAWA
DALAM PERSOALAN DI SEKITAR TRADISI
ZIARAH KUBUR
TESIS
Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
Oleh :
Emmanuel Satyo Yuwono
116322006
Program Pasca Sarjana
Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
2014
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
TESIS
KEJAWAAN DAN KEKRISTENAN :
NEGOSIASI IDENTITAS ORANG KRISTEN JAWA
DALAM PERSOALAN DI SEKITAR TRADISI
ZIARAH KUBUR
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
TESIS
KEJAWAAN DAN KEKRISTENAN :
NEGOSIASI IDENTITAS ORANG KRISTEN JAWA DALAM
PERSOALAN DI SEKITAR TRADISI ZIARAH KUBUR
Oleh :
Emmanuel Satyo Yuwono
116322006
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Tesis dan dinyatakan telah
memenuhi syarat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Emmanuel Satyo Yuwono
NIM : 116322006
Program : Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya
Institusi : Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis
Judul : KEJAWAAN DAN KEKRISTENAN :
NEGOSIASI IDENTITAS ORANG KRISTEN JAWA DALAM
PERSOALAN DI SEKITAR TRADISI ZIARAH KUBUR
Pembimbing : 1. Dr. Albertus Bagus Laksana, S.J.
2. Dr. Benedictus Hari Juliawan, S.J.
Tanggal diuji : 23 Januari 2014
Adalah karya dan penelitian saya pribadi.
Di dalam tesis ini tidak pernah terdapat karya yang pernah diajukan untuk
memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi. Peminjaman karya
sarjana lain adalah semata-mata adalah untuk keperluan ilmiah sebagaimana diacu
secara tertulis di dalam catatan kaki maupun daftar pustaka.
Yogyakarta, Februari 2014
Emmanuel Satyo Yuwono
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan dibawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma,
Nama : Emmanuel Satyo Yuwono
NIM : 116322006
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya berjudul :
KEJAWAAN DAN KEKRISTENAN :
NEGOSIASI IDENTITAS ORANG KRISTEN JAWA DALAM
PERSOALAN DI SEKITAR TRADISI ZIARAH KUBUR
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
pada Universitas Sanata Dharma untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk
media lain, mengelolanya dalam bentuk perangkat data, mendistribusikannya
secara terbatas dan mempublikasikan di internet atau media lain untuk
kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan
royalti kepada saya selama tetap mencantumkan saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Yogyakarta, Februari 2014
Emmanuel Satyo Yuwono
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
MOTTO
Ngelmu iku kalakone kanthi laku
Lekase lawan kas
Tegese kas nyantosani
Setya budya pangkese dur angkara
(Serat Wedhatama, KGPAA Mangkunagoro IV)
Ilmu itu baru bisa terlaksana jika disertai penghayatan
Pelaksanaannya juga harus secara sungguh-sungguh
Bersungguh-sungguh berarti akan memberikan kesentosaan
Kesadaran diri untuk memusnahkan nafsu jahat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
PERSEMBAHAN
Karya ini saya persembahkan kepada mereka yang hadir dalam perjalanan hidup
saya.
Kedua orang tuaku, Bapak FX Hartanto dan ibu Indi Prihatini
Kakaku, Yulis Wicaksono Adi, Astri Mahareni dan juga si kecil Andhira Christy
Renadita
Serta Rininta Cintya Sari yang hadir dalam perjalanan hidup saya, karya ini
kupersembahkan untukmu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
KATA PENGANTAR
Gagasan penelitian ini berawal dari kegelisahan peneliti. Pada waktu itu,
pembicaraan mengenai peristiwa kematian menjadi perdebatan yang tidak
terselesaikan. Kematian merupakan sebuah fenomena yang hadir di tengah
masyarakat, namun peristiwa kematian akhirnya hanya menjadi wacana yang di
setiap agama dan kebudayaan memiliki pandangan masing-masing. Pembicaraan
mengenai arwah leluhur setelah persitiwa kematian memiliki dua pemaknaan,
yang pertama berkeyakinan bahwa arwah leluhur sudah langsung berada di surga,
di lain pihak menganggap bahwa arwah leluhur masih perlu didoakan.
Peneliti cukup terkejut ketika mendengar ucapan dari jemaat Kristen
demikian “berziarah kubur berarti berdoa di depan bangkai”. Pada waktu itu,
peneliti sebagi orang Jawa tidak bisa menerima pernyataan itu dan terjadi
perdebatan yang tidak terselesaikan dan bahkan mengarah pada konflik sosial.
Kendati demikian, setelah mengikuti perkuliahan di Kajian Ilmu Religi dan
Budaya dan mengenal beberapa teori sosial, peneliti bisa sedikit meraba mengapa
hal demikian bisa terjadi.
Berawal dari kegelisahan tersebut, lalu peneliti ingin melihat bagaimana
kemudian jemaat GKJ sendiri menegosiasikan identitasnya. Dalam penelitian ini
bukan mengungkap tentang kebenaran yang terjadi setelah peristiwa kematian,
namun bagaimana peristiwa kematian yang tergambar dalam tradisi ziarah kubur
ikut membentuk identitas seseorang. Bagaimana mekanisme pembentukan
identitas terjadi, sehingga bisa mengarah pada pengetahuan dan pembenaran yang
tertanaman kuat dalam dirinya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
Saya perlu mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu menyelesaikan penulisan penelitian ini. Ucapan terimakasih yang
setulus-tulusnya kepada Romo Bagus Laksana, S.J sebagai pembimbing utama,
kehadirannya dalam memberikan saran dan kritik sangat membantu terselesainya
tesis ini. Kesediaannya membaca dan mencorat-coret setiap lembar tesis ini, tanpa
adanya campur tangannya saya yakin tesis ini tidak akan terselesaikan seperti ini.
Banyak konsep pemikiran Romo Bagus yang tertulis dalam tesis ini. Perspektif
penulisan ini juga tidak terlepas dari campur tangan Romo Benny Hari Juliawan,
S.J yang menjadi guru teladan saya. Diskusi bersamanya selalu menghidupkan
semangat dan mempertajam untuk mendalami setiap permasalahan baik secara
teoritis maupun praktis. Cara mengajar dan kesederhanaanya menginspirasi saya
untuk selalu menjadi manusia yang sederhana. Tanpa bantuan dan segala
perhatian yang dia berikan, saya tidak tahu apa jadinya tesis ini.
Terimakasih yang sebesar-besarnya juga kepada para pengajar di
Program Ilmu Religi dan Budaya USD, Romo G. Budi Subanar S.J, Bapak St.
Sunardi, Bapak Supratiknya, Romo Budi Susanto S.J, Romo Baskara S.J, Romo
Haryatmoko S.J, Ibu Katrin, dan juga Ibu Devi yang semuanya telah menyediakan
kesempatan bagi saya untuk mengenal dan mengembangkan pemikiran tentang
persoalan religi, budaya, dan juga kemanusiaan. Terimakasih pula saya ucapkan
kepada mbak Desy dan juga Pak Mul yang telah ikut membantu dalam bentuk
apapun selama kuliah maupun penulisan tesis.
Saya juga mengucapkan terimakasih kepada N. Gogor Seta Dewa yang
telah bersedia menyediakan tempat saya untuk singgah dan juga berdiskusi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
bersama, dari teori filsafat yang rumit, permasalahan politik, permasalahan di
kelas, bahkan gosip selebritis. Saya juga beruntung berada di antara teman-teman
yang senantiasa memberikan waktu untuk berdiskusi bersama dan memberikan
masukan, terimakasih saya ucapkan kepada: Pak Ismulyadi (kata yang tak
terlupakan: sing penting pasedulurane ojo nganti pedot), Pak Daryadi (pejuang
yang tangguh, melintasi gunung merbabu dan telomoyo sampai di Banyubiru
hanya untuk meminjam buku, mantap pakdhe), Putro (Nggitar karo nglekar2,
seniman sejati tenan), Mbak Kurniasih (Sahabat teladan yang selalu berada di
Perpus, lanjutkan mbak..hehe), Alm. Mbak Julia (Banyak sekali pengalaman yang
tak terlupakan, ujian tesis di hari yang sama namun sekarang engkau telah bahagia
bersamaNya, doakan kami budhe yang masih berziarah di dunia ini), Pak Marsius
(Sahabat yang luar biasa, selalu semangat), Imran (sahabat satu perguruan di
padepokan romo Bagus, semangat pak ustad), Alut (Intelektual muda ternate
kamu bro, salam buat marlon), Mbak Vini (wanita yang “tangguh”..hehe, Arham
(ini dia calon profesor IRB), Doni (tetap berkarya bro), Frans (halo pak pendeta,
gimana kerbaunya sehat?) Lamzer (mantap bro), Wahmuji (warung kopi lidah
ibu) dan juga teman-teman IRB lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu
persatu.
Terimakasih juga saya tujukan kepada para responden saya, Bapak Pdt.
Setyo Utomo, Bapak Sudarman, Bapak Ratno, Ibu Giyati, Daniel, Valerian, dan
juga Bapak Siswantoro dengan keiklasan mau bercerita tentang Kekristenan yang
mereka alami dan ketahui. Terimaksih juga saya ucapkan kepada beberapa
responden warga Desa Banyubiru, terutama Bapak Ki Adi Samidi sesepuh desa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
Banyubiru, Bapak Sri Anggoro Sisiwaji Kepala Desa Banyubiru, Bapak
Supridaryono, dan Bapak Martoyo juru kunci pemakaman di Desa Banyubiru.
Tidak berlebihan pula apabila saya berterimakasih kepada kedua orang tua
saya, Bapak FX. Hartanto dan Ibu Indi Prihatini yang memberikan dukungan
dalam bentuk apapun, dan juga kepada kakak saya Y. Wicaksono Adi dan Astri
Mahareni. Tidak lupa saya juga mengucapkan terimaksih kepada Rininta Cintya
Sari yang tidak henti-hentinya memberikan semangat untuk menyelesaikan tesis
ini.
Dorongan dan bantuan yang langsung dan tidak langsung dari berbagai
pihak sangat berarti untuk proses belajar saya dan terselesainya tesis ini. Akhirnya
saya hanya bisa berharap semoga tesis ini berguna secara positif untuk semua
pihak.
Emmanuel Satyo Yuwono
2014
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
Abstrak
Ziarah kubur merupakan tradisi yang melekat dalam tradisi masyarakat
Jawa. Tradisi ini tidak hanya menjadi wujud hormat bagi leluhur mereka, namun
memiliki pemaknaan akan peristiwa kematian. Bagi orang Jawa persitiwa
kematian tidak berarti kepunahan melainkan kesuburan. Orang-orang melakukan
ritual ziarah kubur untuk mendoakan dan menyelipkan harapan atau berkah
pangestu melalui leluhur mereka. Permohonan ini dipanjatkan tidak hanya melalui
leluhur mereka secara pribadi, namun juga leluhur mereka secara komunal yang
sering disebut dengan pepunden. Sebagai wujud nyata penghormatan leluhur
secara komunal, maka dikenal adanya tradisi slametan, merti desa, dan bahkan
dihadirkan melalui pertunjukan wayang kulit. Semua tradisi ini menjadi ritual di
sekitar ziarah kubur karena terdapat wujud hormat dan permohonan melalui
leluhur mereka, yang semuanya mengarah pada penunjukan identitas manusia
Jawa.
Tradisi di sekitar ziarah kubur ini tergambar di tengah masyarakat Desa
Banyubiru Kabupaten Semarang, sebuah desa yang terletak di lereng gunung
Telomoyo dan di dekat Rawa Pening. Kondisi alam semacam ini menyebabkan
konsepsi ritual penghormatan leluhur semakin kuat. Namun, di tengah masyarakat
Banyubiru muncul usaha purifikasi agama yang hadir melalui ajaran Gereja
Kristen Jawa. Ajaran Kristen memandang bahwa setelah kematian tidak ada
keterhubungan antara yang masih hidup dengan roh orang meninggal. Orang yang
meninggal sudah langsung berada di Surga. Pemahaman ini didasarkan atas teks
Alkitab dan tafsiran dari para Pendeta.
Jemaat Gereja Kristen Jawa akhirnya harus menegosiasikan identitasnya
antara kejawaan dan kekristenan. Untuk melihat mekanisme negosiasi identitas,
kajian ini menggunakan pendekatan Foucault tentang panoptikon. Dari hasil
kajian yang telah dilakukan ternyata teori panoptikon Foucault masih terbatas.
Foucault melihat adanya pengawasan berasal dari satu titik saja atau bersifat
tunggal. Dalam kajian ini ternyata ada dua pengawasan yang mempengaruhi
negosiasi identitas. Tuhan yang dihadirkan melalui Alkitab sebagai usaha
purifikasi dan aturan komunal dalam masyarakat. Akhirnya penelitian ini
menunjukkan bahwa usaha purifikasi tidak berhasil. Kegagalan purifikasi ini
disebabkan karena pengetahuan jemaat GKJ yang dipengaruhi oleh kekuasaan di
sekitarnya, dalam hal ini kekuatan tradisi lokal. Jemaat GKJ tetap melakukan
ziarah kubur namun disisi lain tidak melakukan ritual dan pemaknaan seperti
dalam tradisi Jawa.
Kata Kunci : Negosiasi, identitas, Kejawaan, Kekristenan, ziarah kubur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
Abstract
Ziarah kubur (tomb visitation) is an established tradition in Javanese
society. This tradition is not only a manifestation of respect for their ancestors, but
also a discernment of death. For Javanese people, death does not mean extinction
but fertility. People do ziarah kubur to pray and gain pangestu (blessing) through
their ancestors. This prayer is not only communicated through their blood
ancestors, but also through their communal ancestors or pepunden. As a
manifestation of communal ancestor veneration and remembrance, there are
traditions such as slametan, merti desa, and shadow puppet show. All of these
traditions become rituals around ziarah kubur because forms of respect and
invocation through their ancestors can be found there, which refer to the identity
of Javanese people.
These traditions around ziarah kubur are observable in the village of
Banyubiru, located at the slope of mount Telomoyo near Rawa Pening, Semarang
Regency. This natural condition helps the flourishing of the practice of ancestor
veneration and remembrance rituals. However, there is an effort of religious
purification coming from the teachings of Javanese Christian Church (GKJ).
Christian teachings believe that there is no connection between the living and the
spirits of the dead. The dead is already in heaven. This understanding is based on
the Scripture and the ministers’ interpretation.
The Javanese Christian Church’s faithful ultimately have to negotiate their
identities of being Javanese and Christian. This analysis uses Foucault’s approach
on panopticon to see the mechanism of identity negotiation. From the analysis that
had been done, it turns out that Foucault’s panopticon theory is still limited.
Foucault thinks that surveillance comes only from a single source. This research
shows that there are two kinds of surveillance that affect identity negotiation: God
from the Scripture as an effort of purification and communal rules in the society.
In the end, this research shows that the purification did’nt succeed completely.
The failure of this purification is caused by the knowledge of GKJ faithful that is
affected by power around it, which is the power of local tradition. The GKJ
faithful still do ziarah kubur but on the other hand do not do the rituals and
discernment like in Javanese tradition.
Keywords: Negotiation, identity, being Javenese, being Christian, ziarah kubur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………….………………………………....... i
HALAMAN PERSETUJUAN………………………………............….. ii
HALAMAN PENGESAHAN………………………........................….. iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN...…………………...…....... iv
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI........................................... v
MOTTO...................................................................................................... vi
PERSEMBAHAN…………………………………............……………. vii
KATA PENGANTAR…………………………………………………... viii
ABSTRAK………………………………………………………..……... xii
ABSTRACT………………………………………...………………........ xiii
DAFTAR ISI…………………………………………………..……….... xiv
BAB I: PENDAHULUAN
I. Latar Belakang ................................................................................ 1
II. Tema ............................................................................................... 15
III. Rumusan Masalah .......................................................................... 15
IV. Tujuan Penelitian ............................................................................ 15
V. Pentingnya penelitian ..................................................................... 16
VI. Konsep Penelitian dan Kajian Pustaka ........................................... 17
VII. Metode Penelitian ........................................................................... 25
VIII. Sistematika penulisan ..................................................................... 26
BAB II : “IDENTITAS KEJAWAAN” MASYARAKAT DESA BANYUBIRU
I. Desa Banyubiru sebagai Wilayah Kejawaan .................................... 30
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xv
1. Sejarah Banyubiru sebagai Bumi Perdikan .......................... 30
2. Kondisi Geografis Desa Banyubiru ...................................... 39
3. Keadaan Penduduk ............................................................... 40
II. Kondisi Sosial dan Budaya ............................................................... 45
1. Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Banyubiru ... 45
2. Tradisi Sedekah Bumi di Banyubiru ................................... 48
3. Tradisi Ziarah Kubur di Desa Banyubiru ..............................58
BAB III : KEKRISTENAN DI JAWA: WACANA AJARAN KRISTEN
SEBAGAI KEKUATAN AGAMA DALAM MEMBENTUK IDENTITAS
I. Munculnya Gereja Kristen di Jawa ................................................. 72
1. Sejarah Kristenisasi di Jawa : Berawal dari Kolonialisme .. 72
1.1. Krisen “Jawa” dan “Landa”.......................................... 73
1.2. Usaha Kristenisasi di Jawa Tengah .............................. 81
2. Muncul dan Berkembangnya GKJ di Banyubiru ................ 85
II. Pengaruh dan Proses Pembentukan Identitas Kristen Jawa ............ 88
1. Hadirnya Gereja Kristen Jawa di Banyubiru........................ 88
1.1. Peran Penyebar Ajaran Kristen ................................ 89
1.2. Cara penyebaran........................................................ 93
2. Kekristenan sebagai Cara Pandang....................................... 95
BAB IV: TARIK ULUR IDENTITAS: KEJAWAAN DAN KEKRISTENAN DI
SEKITAR TRADISI ZIARAH KUBUR
I. Konsepsi ajaran Kristen yang hadir dalam usaha purifikasi ........... 100
1. Pemaknaan akan Tradisi Jawa dalam Persoalan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvi
di Sekitar Ziarah Kubur ......................................................... 101
1.1 Slametan .................................................................. 101
1.2 Penghormatan Leluhur dalam Tradisi
Ziarah Kubur ............................................................ 109
2. Wacana akan Kematian ....................................................... 113
II. Kekristenan dan Kejawaan: Usaha Memberikan Kepatuhan ......... 117
1. “Alkitab” Sebagai Panoptik ................................................ 119
2. Aturan komunal masyarakat Jawa ...................................... 122
BAB V : PENUTUP
I. Kesimpulan ...................................................................................... 126
II. Signifikansi Penelitian ..................................................................... 133
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Kehidupan manusia tidak bisa terlepas dari dua peristiwa, yaitu
peristiwa kelahiran dan kematian. Tanpa kelahiran tidak akan ada kehidupan,
sedangkan kematian menjadi batas akhir kehidupan manusia di dunia ini.
Kematian dihadapi semua orang tanpa terkecuali dan tidak bisa diingkari.
Selain itu kematian menjadi sebuah misteri karena berada di luar pengalaman
manusia, yang bisa dilihat dan dirasakan adalah peristiwa lain yang hadir saat
kematian. Ketakutan dan kepasrahan muncul dalam peristiwa kematian.
Perasaan ini muncul karena adanya perpisahan secara fisik dengan orang
yang meninggal.
Di satu pihak, kematian membawa kepunahan yang nampak dari
tubuh yang berangsur-angsur hancur membusuk dan akhirnya lenyap ditelan
tanah. Sedangkan di lain pihak, orang mengangan-angankan cahaya kekal.
Agama dan kepercayaan menjanjikan pemeluknya tentang kehidupan yang
tidak musnah ditelan kematian.
Peristiwa kematian dalam berbagai tradisi dan agama tentu memiliki
praktek ritual masing-masing. Ritual tersebut memiliki makna-makna yang
mendalam dan sulit untuk dilepaskan sebagai sebuah tradisi. Ritual tersebut
tidak hanya ketika perawatan jenazah, tetapi juga kelanjutan setelah itu.
Seperti apa yang dilakukan dalam tradisi Jawa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
Manakala kita membicarakan mengenai Jawa, kata Jawa cenderung
diasosiasikan dengan gagasan terhadap usaha-usaha menjaga dan meneruskan
tradisi leluhurnya. Di sini dapat dikatakan bahwa dalam masyarakat Jawa
tradisi dipandang berasal dari naluri yang berada di luar pengalaman sehari-
hari. Tradisi ini tidak muncul begitu saja, namun rupanya bersumber dari
pengetahuan orang mengenai kebiasaan-kebiasaan yang telah berlangsung
semenjak jaman kuno yang kini tidak secara tepat dipahami dan diurai
kembali. Oleh karena itu dalam menjalankan tradisi, orang sering
mendengarkan pertimbangan orang tua atau tetangga yang dianggap tahu
(Subagyo, 2004 : 63)
Salah satu tradisi Jawa yang berkaitan dengan peristiwa kematian dan
usaha untuk menjaga tradisi leluhurnya adalah tradisi ziarah kubur. Peneliti
tertarik untuk melihat tradisi ziarah kubur karena begitu melekat dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan. Bagi masyarakat Jawa, ziarah kubur
menjadi tradisi yang dilakukan secara turun menurun sebagai wujud
penghormatan terhadap leluhurnya. Masyarakat Jawa melakukan ziarah kubur
yaitu dengan melakukan bersih-bersih makam dan juga mendoakan baik itu
leluhur atau sanak saudaranya yang dimakamkan di situ.
Dalam tradisi Jawa hal semacam itu sudah dikenal sejak jaman dulu,
bahkan ada berbagai macam cara untuk mendoakan para leluhur atau
saudaranya yang sudah meninggal, yaitu dengan menabur bunga di atas
makamnnya, mendoakan, atau dengan ritual lainnya. Salah satu bukti bahwa
ziarah kubur merupakan tradisi Jawa adalah, adanya penghormatan terhadap
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
makam-makam raja-raja Jawa, baik itu berkaitan dengan letak makam yang
cenderung lebih tinggi ataupun adanya ritual-ritual lainnya. Bahkan bagi
masyarakat Jawa mengenal waktu yang sering dilakukan saat ziarah, yaitu
malam Jumat Kliwon ataupun Selasa Kliwon.
Kuburan merupakan salah satu tanda dari identitas orang yang sudah
meninggal yang dibangun oleh orang-orang yang masih hidup baik itu
keluarga ahli waris atau orang yang memiliki kedekatan hubungan dengan
almarhum. Kuburan juga menjadi tanda kehadiran di dunia yang tersisa dari
orang yang dikuburkan di situ. Pendirian nisan atau tanda kubur
menunjukkan bahwa ingatan yang mereka miliki tidak ikut terkubur di situ.
Untuk memperbaiki kubur atau misalnya pasang nisan tukang batu selalu
minta agar dijawabke (dimintakan izin) oleh orang tua dan setelah selesai
orang tua itu diminta mbalekake (mengembalikan). Orang Jawa menjadikan
tradisi ziarah kubur menegaskan bahwa kematian tidak berarti kepunahan
melainkan kesuburan. Orang-orang yang menjalankan ziarah kubur
menyelipkan harapan bahwa kesulitan hidupnya sehari-hari dapat terbantu
oleh rahmat atau berkah pangestu yang memberi kekuatan dan menjanjikan
kesejahteraan serta keselamatan dari segalanya (Subagyo, 2004: 146).
Pangestu mengalir dari status yang lebih tinggi ke status yang lebih
rendah dan bukan sebaliknya. Sikap orang berdoa di depan nisan atau
memberi bunga memperlihatkan bagaiamana posisi pangestu dipandang.
Mereka dalam posisi sungkem, berjongkok di sebelah makam atau duduk
bersila dengan tangan mengenadah sambil mengungkapkan seluruh isi hati
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
atau doa-doa. Posisi semacam ini dapat ditemui juga ketika upacara
perkawinan, yaitu saat mempelai bersujud mencium lutut orang tua mereka.
Sikap sungkem dan sembah memperlihatkan tanda hormat dari pihak yang
melakukannya (Pemberton, 1989:324).
Pangestu dan bentuk bakti hormat kepada leluhur melalui ziarah
kubur menjadi gagasan yang terkonstruksikan secara sosial. Masyarakat Jawa
meyakini bahwa tidak hanya terjadi relasi antara orang mati dengan orang
yang ditinggalkannya. Namun, individu terlibat dalam hubungan dengan
individu lain dan pranata sosial komunitasnya. Sebagai wujud nyata adanya
ziarah kubur secara bersama-sama, yaitu sering disebut dengan nyadran1 atau
mreti desa.
Secara sosio-kultural, implementasi dari ritus nyadran tidak hanya
sebatas membersihkan makam-makam leluhur, selamatan (kenduri), membuat
kue apem, kolak, dan ketan sebagai unsur sesaji sekaligus landasan ritual doa.
Nyadran juga menjadi ajang silaturahmi keluarga dan sekaligus menjadi
transformasi sosial, budaya, dan keagamaan. Nyadran merupakan ekspresi
dan ungkapan kesalehan sosial masyarakat di mana rasa gotong- royong,
solidaritas, dan kebersamaan menjadi pola utama dari tradisi ini. Ungkapan
ini pada akhirnya akan menghasilkan sebuah tata hubungan vertikal-
horizontal yang lebih intim. Dalam konteks ini, maka nyadran akan dapat
meningkatkan pola hubungan dengan Tuhan dan masyarakat, sehingga
1 Mengenai tradisi Nyadran Ward Keeler (1987: 83-84) menguraikan bahwa pola yang mendasari
merupakan versi ideal hubungan ayah dengan anak laki-laki yang diasimilasikan hubungan antara
seseorang dengan leluhurnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
akhirnya akan meningkatkan pengembangan kebudayaan dan tradisi. Dalam
konteks sosial dan budaya, nyadran dapat dijadikan sebagai wahana dan
medium perekat sosial, sarana membangun jati diri bangsa, rasa kebangsaan
dan nasionalisme. Orang Jawa memandang diri manusia dengan konsep
sarira satunggal atau sari rasa tunggal dan nagara satunggal atau naga rasa
tunggal sebagai makhluk sosial (Astiyanto, 2006:452).
Dalam prosesi ritual atau tradisi nyadran masyarakat akan berkumpul
bersama tanpa ada sekat-sekat dalam kelas sosial dan status sosial, tanpa ada
perbedaan agama dan keyakinan, golongan ataupun partai. Tradisi
kepercayaan nyadran demikian sejalan dengan makna kata bersih desa yang
senada dengan mreti desa. Bersih desa, berarti membersihkan desa baik lahir
maupun batin. Sedangkan kata merti desa berasal dari kata merti aslinya dari
kata mreti, dan bisa juga berasal dari kata dasar preti. Kata preti bisa jadi
aslinya dari bahasa Jawa Kuna pitre (metatesis). Pitrekarya dalam karya
sastra Jawa Kuna ada kata artinya memiliki hajat memberi pada arwah para
leluhur. Orang Jawa jelas memiliki tradisi menghormati arwah leluhur,
dengan jalan ritual, seni spiritual, maupun semedi. Seluruh pekerti ini
dilaksanakan dengan keyakinan ada kontak batin antara dunia roh dan dunia
manusia (Endraswara, 2006).
Menurut Darusuprapta (1988:48) mreti desa kemungkinan besar
masih berkaitan dengan tata cara memberikan makanan (pengorbanan)
kepada roh leluhur sebagai cikal bakal yang menjaga desa majupat maju lima
pancer. Arwah tersebut, memang pantas dimintai berkah agar membantu anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
cucu. Roh leluhur tersebut dianggap yang menjadi penjaga (backing)
sajawining wangon dan salabeting wangon, artinya di luar pekarangan dan di
dalam pekarangan. Hal ini berarti orang Jawa masih percaya dan mengaitkan
kehidupan di dunia ini dengan roh leluhur mereka.
Orang Jawa menghormati roh leluhur dan berupaya manunggal
dengan Tuhan, dilakukan secara mistik. Berbagai ritual mistik selalu
dilakukan secara individu maupun kolektif. Namun tingkatan masing-masing
pada saat melakukan sangat berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.
Tolstoy (James, 2003:512) berpendapat bahwa mistik bersifat tak tertandingi,
di dalamnya menancap iman. Keimanan menyebabkan seseorang hidup.
Ritual mistik dalam menghormati roh leluhur tersebut nampak dalam tradisi
ziarah kubur. Berbagai ritual dilakukan dengan penuh keyakinan akan
memperoleh pengestu atau sebagai wujud hormat pada leluhur. Berbagai
sesaji disiapkan sebagai sarana seperti bunga, kemenyan, air, dan lain-lain
yang diyakini memiliki makna dan fungsi tertentu.
Praktek tradisi Jawa tersebut di dalam masyarakat berjalan beriringan
dengan agama-agama wahyu terlepas dari gerakan agama yang menentang
berlakunya tradisi semacam itu. Secara yuridis-formal orang Jawa mengakui
keyakinan agama wahyu tersebut. Hal itu antara lain ditunjukkan dalam
berbagai dokumentasi atau biodata pribadi, semacam kartu tanda penduduk
(KTP) yang biasanya mencantumkan agama tertentu (Mulyana, 2006).
Hardjowirogo (1989:17) bahkan menilai, orang Jawa yang secara
resmi memeluk agama tertentu, Islam, Kristen, atau Katolik, nyatanya tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
pernah menunjukkan kesungguhan dalam beragama. Orang beragama
seharusnya banyak yang religius, dan seharusnya memang demikianlah,
paling tidak diandaikan seorang agamawan sepantasnya sekaligus homo
religious juga. Tetapi kenyataannya tidak selalu begitu. Dapat juga orang
menganut agama tertentu karena motivasi jaminan material atau karir politik,
ingin memperoleh jodoh yang beragama lain atau karena tidak ada pilihan
lain; cukup beragama “statistik” belaka (Mangunwijaya, 1988:13). Dengan
kata lain, sama sekali tidak lahir sikap fanatisme beragama. Persoalannya
adalah, sejak pertama, cara beragama orang jawa bersifat lentur, tidak fanatik.
Mereka tidak berpijak pada satu agama tertentu saja. Sehingga semuanya
bersifat heterogen (campuran); baik dalam keyakinan atau opersionalnya.
Kedua, orang Jawa beranggapan bahwa “beragama” tidak harus semata-mata
menjalankan hal-hal ritual yang bersifat dogmatis (Mulyana, 2006). Bagi
orang Jawa, menjalankan kehidupan sehari-hari sudah merupakan bagian dari
beragama Y.B Mangunwijaya (1988:13) dengan jelas menyatakan bahwa
semua yang diyakini, dilakukan, dan dibenarkan oleh orang Jawa dalam
kehidupan sehari-hari mengandung nilai-nilai yang sarat semangat
spiritualisme. Kelenturan dalam beragama inilah yang membuat berbagai
tradisi tetap ada, termasuk tradisi ziarah kubur tetap diyakini, dilakukan, dan
dibenarkan oleh orang Jawa dan memiliki nilai spiritualitas yang tinggi.
Saat ini muncul permasalahan bagi orang Jawa ketika berkembang
atau bangkitnya agama-agama wahyu. Perkembangan agama menjadi
polemik atau permasalahan di tengah kehidupan sosial masyarakat, karena
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
tidak sejalan dengan tradisi-tradisi budaya Jawa. Cara beragama orang Jawa
yang semula lentur menjadi sedikit kaku. Ini dipengaruhi oleh usaha
purifikasi agama yang hadir melalui ajaran-ajaran agama, mereka ingin
menjalankan agama secara utuh dan murni.
Salah satu usaha purifikasi sebagai wujud kebangkitan agama tersebut
adalah ajaran agama Kristen yang melarang melakukan praktek ziarah kubur
dengan berbagai ritualnya. Pemeluk agama Kristen tidak perlu melakukan
ziarah kubur karena memiliki keyakinan bahwa arwah orang meninggal
tersebut telah masuk surga, sehingga tidak perlu berdoa di depan makam.
Orang Kristen memiliki wacana tersebut didapat dari apa yang diungkapkan
oleh para pemuka agama mereka melalui dogma-dogma. Sering kali dogma
sebagaimana yang dirumuskan itu dianggap sebagai kekuatan yang paling
benar dan sempurna (Hardjana, 2005). Bagi mereka antara orang yang sudah
meninggal dengan yang masih hidup sudah tidak memiliki hubungan apapun.
Konsep ini berbeda dari tradisi Jawa. Orang Jawa masih memiliki keyakinan
adanya hubungan antara dunia roh leluhur dengan dunia mereka, baik dalam
wujud pangestu atau wujud hormat pada leluhur.
Kebangkitan dan kekuatan agama ini menjadi tarik ulur akan identitas
orang Jawa yang beragama Kristen. Di satu sisi dalam kelompok sosial
masyarakat, mereka harus menjalin relasi-relasi sosial2, salah satunya dengan
mengikuti tradisi nyadran atau merti dusun karena melalui segala perilaku
sosial itulah manusia dapat terpenuhi berbagai kebutuhannya untuk
2 Dalam bahasa Latin manusia juga disebut homo socius, atau manusia yang selalu berkawan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
melangsungkan hidupnya (Kusumohamidjojo, 2009 :72). Namun di sisi lain
kebangkitan dan kekuatan agama membawa mereka untuk tidak melakukan
tradisi ziarah kubur, ajaran kebenaran sebuah agama secara murni.
Agama Kristen di Jawa sendiri atau di Indonesia tidak muncul begitu
saja. Berkembangnya agama Kristen di Indonesia tentu tidak bisa dilepaskan
dari sejarahnya. Yaitu sejarah kolonialisme di Indonesia. Dalam perang intern
antara orang-orang Belanda, Portugis, Inggris, dan raja-raja pribumi, pada
tahun 1619, Belanda memenangkan perang dan secara definitif mendirikan
kekuasaan Belanda di Batavia, tempat kedudukan gubernur jenderal VOC.
Melalui kemenangan-kemenangan itu, VOC tidak hanya merebut monopoli
perniagaan, tetapi juga agama.
Gereja Kristen Belanda menganggap sebagai tugasnya adalah
mendampingi hidup rohani para pedagang dan pelaut Belanda. Sekaligus
gereja tersebut menyadari panggilannya untuk mengembangkan kegiatan-
kegiatan perutusannya (zending) di tengah bangsa-bangsa yang mereka
hadapi. Sinodhe di Dordrecht menyatakan bahwa umat Kristen Gereformed
diutus oleh Allah untuk mewartakan iman kepada semua orang yang belum
mendengarnya (Boelaars, 1991).
Kegiatan-kegiatan perutusan atau zending berlangsung sampai saat ini.
Orang Kristen mencoba mewartakan imannya, sehingga tidak mengherankan
ketika keyakinan akan kematian di peroleh melalui berbagi perutusan atau
melalui ajaran-ajaran dalam bahasa yang diberikan oleh para pewarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
Sehingga pewartaan tentang iman tersebut menjadi wacana sosial, salah
satunya wacana akan kematian dalam hal ini kaitannya dengan ziarah kubur.
Wacana dilihat sebagai produksi pengetahuan melalui bahasa, dan
bahasa lebih dalam kaitannya dengan praksis sosial. Karena praksis sosial
memerlukan makna dan makna mempertajam serta mempengaruhi apa yang
kita lakukan, maka semua praktik sosial mengandung dimensi wacana
(Haryatmoko, 2010:10). Maka ajaran Kristen yang menjadi praktik sosial
merupakan sebuah wacana dalam menyikapi tradisi ziarah kubur. Maka
dalam penelitian ini yang menjadi permasalahan adalah ketika adanya dua
wacana yang bertabrakan. Wacana kebangkitan agama yang berupa larangan
ziarah kubur oleh agama Kristen dengan tradisi Jawa yang meyakini dan
menjadikan ziarah kubur sebagai bentuk bakti hormat kepada leluhur melalui
gagasan yang terkonstruksikan secara sosial.
Fenomena tarik ulur akan identitas ini terjadi di lingkungan sosial
masyarakat Desa Banyubiru. Sebuah desa yang terletak di Kabupaten
Semarang Provinsi Jawa Tengah ini masih memegang teguh ajaran tradisi
Jawa, salah satunya tradisi ziarah kubur.
Desa Banyubiru secara geografis terdiri dari daerah persawahan,
pegunungan, dan juga daerah rawa, kebanyakan mata pencaharian penduduk
adalah sebagai petani, nelayan, atau sebagai buruh. Sehingga setiap tahun
Desa Banyubiru melaksanakan tradisi nyadran dengan sebutan sedekah bumi,
supaya hasil alam sebagai sumber kehidupannya tumbuh subur. Dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
kegiatan sedekah bumi tersebut dilaksanakan ziarah kubur bersama-sama
untuk mendoakan dan mohon pangestu leluhur mereka.
Warga masyarakat di Desa Banyubiru melaksanakan tradisi tersebut
secara turun temurun dan sudah terkonstruksikan secara sosial. Dalam tradisi
sedekah bumi ini, tidak hanya melakukan ziarah kubur saja. Tetapi mereka
juga melakukan selamatan bersama di makam pepunden3 dan juga menutup
acara tersebut dengan menggelar pertunjukkan wayang kulit sebagai
ungkapan syukur.
Tradisi tersebut dilaksanakan oleh semua warga di Desa Banyubiru
tanpa memandang golongan atau agama tertentu. Meskipun ketika selamatan
doa yang digunakan adalah secara Islam sebagai agama mayoritas, namun
semua waraga berkumpul bersama. Mereka berdoa bersama untuk leluhur
mereka dan juga mohon pangestu untuk kelangsungan hidup mereka.
Selain berziarah kubur secara kolektif seperti pada tradisi sedekah
bumi tersebut, masyarakat di Desa Banyubiru setiap malam Jumat Kliwon
atau Selasa Kliwon secara pribadi atau dalam kelompok keluarga mereka
melakukan tradisi ziarah kubur. Mereka biasanya datang ke makam leluhur
mereka dengan membawa sesaji seperti bunga, air, dll. Mereka memanjatkan
doa dan membersihkan makam.
Pemakaman yang ada di Banyubiru merupakan pemakaman umum
yang tidak hanya satu keyakinan agama saja, sehingga yang datang di situ
adalah semua warga masyarakat, tanpa memandang golongan atau keyakinan
3 Pepunden adalah sesuatu yang dihormati biasanya berkaitan dengan leluhur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
agama tertentu. Ini terjadi karena mereka meyakini bahwa tradisi ziarah kubur
adalah tradisi Jawa bukan tradisi agama tertentu. Keragaman tersebut tampak
dari bentuk makam yang ada. Simbol-simbol makam yang ada menunjukkan
tidak hanya satu keyakinan agama saja yang ada di situ.
Desa Banyubiru dipilih sebagai lokasi penelitian karena desa ini bisa
menggambarkan permasalahan dalam penelitian ini. Selain adanya tradisi
ziarah kubur tersebut, saat ini di Desa Banyubiru juga berkembang Gereja
Kristen Jawa (GKJ) yang memiliki keyakinan untuk tidak perlu berziarah
kubur. Meskipun ada identitas “Jawa”, namun di satu sisi dia tetap memegang
teguh ajaran Kristen yang meyakinkan pengikutnya bahwa tidak perlu
mendoakan leluhur yang telah meninggal atau bahkan mohon pangestu.
GKJ sendiri lahir di awal abad ke-20, melintasi zaman kolonial,
penjajahan Jepang dan perjuangan kemerdekaan. GKJ tumbuh untuk pertama
sekali di Banyumas dengan dibaptiskannya menjadi Kristen dari beberapa
orang Jawa yang berprofesi sebagai pembatik dari Ny.van Oostrom Phillips.
Mereka dibaptis oleh misionaris utusan NZV, W.Hoezoo, pada 10 Oktober
1958. Pada awalnya sejarah Krsitenisasi di Jawa sebenarnya cukup panjang,
karena begitu banyak tokoh yang berkarya sebagai penyebar ajaran Kristen.
Salah satu tokoh yang berpengaruh adalah Bruckner, seorang misionaris dari
London. Dialah yang menerjemahkan Perjanjian Baru (Injil) ke dalam bahasa
Jawa (Guillot, 1985: 5). Dari terjemahan Injil inilah nantinya orang Jawa bisa
memahami ajaran Kristen, dan juga digunakan misionaris selanjutnya untuk
melakukan zending.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
Di Banyubiru GKJ berdiri sekitar tahun 1983. Sebagai Gereja kecil di
sebuah desa, GKJ Banyubiru cukup berkembang baik dari segi kuantitas
ataupun kulaitas. Perkembangan sebagai wacana kebangkitan ini tampak dari
jumlah pengikut yang semakin bertambah dan juga berbagai kegiatan yang
sering dilakukan. Setiap minggu melakukan ibadah bersama di Gereja, mulai
dari anak-anak, remaja hingga orang tua berkumpul bersama untuk berdoa
atau melakukan kegiatan rohani lainnya. Kebangkitan di sini tidak hanya dari
segi kuantitas tetapi juga ajaran melalui zending atau perutusan. Kebangkitan
ini membuat jemaat semakin taat untuk beribadah dengan menjalankan segala
ajaran gereja.
Gereja Kristen Jawa di Banyubiru tidak bisa dilepaskan dari jaringan
penyebaran Agama Kristen Salatiga. Kota Salatiga yang letaknya tidak jauh
dari Banyubiru merupakan daerah misi ajaran Kristen. Universitas Kristen
Satya Wacana Salatiga menjadi salah satu tonggak atau kekuatan penyebaran
ajaran Kristen tersebut. Pengaruh ajaran tersebut berkembang di wilayah
sekitar Salatiga. Salah satunya adalah daerah Banyubiru, sebagai wujud
nyatanya adalah banyak kegiatan yang dilakukan di Banyubiru oleh jemaat
Salatiga.
Perkembangan dan kekuatan ajaran agama inilah yang memunculkan
permasalahan bagi jemaat yang tinggal di Banyubiru. Ketika mereka harus
mengikuti tradisi nyadran atau sedekah bumi yang sudah terkonstruksikan
sebagai tradisi Jawa. Ada tarik ulur akan identitasnya, disatu sisi menjalankan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
Kekristenanya dan di sisi lain identitas kejawaanya. Kedua kekuatan politis
inilah menjadi permasalahan bagi dirinya.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin melihat bagaimana negosiasi
atau posisi orang Jawa yang beragama Kristen Jawa dalam menyikapi tradisi
ziarah kubur. Ketika mereka hidup di tengah masyarakat yang memiliki nilai
sosial masyarakat cukup tinggi dan juga masyarakat tersebut meyakini bahwa
ziarah kubur sebagai wujud hormat bakti, mohon pangestu pada orang yang
telah meninggal atau leluhur, dan juga memiliki nilai spiritual yang tinggi,
namun di sisi lain ada wacana yang berbeda dalam menyikapi ziarah kubur
yakni wacana pemurnian agama dengan usaha untuk menjalankan ajaran
agama secara murni dan seutuh mungkin, sehingga melarang melakukan
tradisi ziarah kubur.
Banyak penelitian yang telah meneliti tentang fenomena kematian dan
ziarah kubur dalam tradisi jawa dan juga identitas etnis dan agama dari
berbagai sudut pandang. Baik dari aspek psikologis, antropologi, dan
teologis. Penelitian ini lebih fokus pada kajian budaya, di mana ada
pertarungan kekuasaan antara pemaknaan terhadap wacana.
Posisi penelitian ini lebih ingin melihat bagaimana kekuatan agama
yang muncul mempengaruhi identitas orang di dalam suatu masyarakat.
Perkembangan dan kekuatan agama ini muncul dalam tradisi di sekitar ziarah
kubur dan menjadi pertarungan yang memunculkan negosiasi dalam diri
seseorang untuk memilih identitasnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
II. Tema
Negosiasi Identitas orang Jawa yang beragama Kristen dalam menyikapi
Tradisi Ziarah Kubur.
III. Rumusan Masalah
a. Bagaimana masyarakat memahami tradisi Jawa?
b. Bagaimana perkembangan dan kekuatan agama yang bertabrakan dengan
tradisi ikut membentuk identitas seseorang?
c. Bagaimanakah orang Jawa yang beragama Kristen dan hidup di
lingkungan sosial tradisi Jawa yang tinggi melakukan negosiasi terhadap
identitasnya dalam menyikapi tradisi di sekitar ziarah kubur?
IV. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini yang hendak dicapai adalah melihat bagaimana
tradisi di sekitar ziarah kubur membentuk pengalaman langsung pada orang
Jawa yang beragama Kristen. Ketika tradisi Jawa berkaitan dengan ziarah
kubur menjadi sesuatu yang diyakini oleh suatu masyarakat sebagai sebuah
bentuk bakti kepada leluhur bersinggungan dengan adanya larangan ziarah
kubur karena adanya pemurnian ajaran Kristen, sehingga dalam penelitian ini
ingin melihat sejauhmana dan bagaimana negosiasi atau strategi orang Jawa
yang beragama kristen muncul dalam kehidupan sosial masyarakat ketika
menghadapi tradisi ziarah kubur. Cara yang digunakan untuk mencapai tujuan
tersebut yaitu dengan menganalisis “dari luar” perbedaan wacana tersebut
membentuk identitas dan perilaku orang Jawa yang beragama Kristen,
menganalisis dari dalam bahwa peneliti juga dibentuk oleh wacana tentang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
ziarah kubur, peneliti dan yang diteliti melakukan refleksi kritis berkaitan
dengan wacana yang membentuk mereka.
Selain itu, nantinya dalam penelitian ini tidak hanya sekedar akan
melihat negosiasi orang dalam menyikapi ziarah kubur, tetapi lebih pada
identitas yang terbentuk karena keterbangkitan agama di tengah sebuah
tradisi. Melihat bahwa perkembangan dan kebangkitan agama ikut
membentuk identitas ketika bertabrakan dengan tradisi.
V. Pentingnya Penelitian
Pentingnya penelitian ini dilakukan tidak bisa dilepaskan dari latar
belakang penelitian ini. Dalam latar belakang dijelaskan bagaimana tradisi
ziarah kubur bagi orang Jawa menjadi sesuatu yang begitu penting karena
sebagai wujud hormat, kirim doa, dan mohon pangestu pada leluhur dan
sudah berlangsung sejak lama secara turun temurun. Tetapi, ketika larangan
ziarah kubur sebagai akibat dari usaha purifikasi agama muncul, maka terjadi
pertarungan sebuah wacana yang berbeda. Dalam penelitian ini ingin melihat
negosiasi identitas yang terbentuk oleh orang Jawa yang beragama Kristen
ditengah masyarakat.
Pentingnya penelitian ini bagi masyarakat yaitu supaya masyarakat
melihat adanya perbedaan bukan menjadi suatu kehancuran, atau tidak
berpikir akan kebenaran mutlak. Di luar kebenaran yang diyakininya masih
ada kebenaran-kebenaran lain yang perlu dilihat. Dalam hal ini berkaitan
dengan kebenaran pemakanaan wacana ziarah kubur. Menyadari adanya
pihak lain yang berbeda dengan pikirannya sendiri merupakan sesuatu yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
wajar dalam hidup ini. Kesadaran terhadap yang lain ini diharapkan akan
melahirkan kesadaran tentang keragaman manusia yang saling menghargai
(Takwin, 2003)
Selain itu penelitian ini juga penting dalam ilmu sosial kemanusiaan,
ketika orang harus tarik ulur karena kekuatan kekuasaan dapat melihat dan
menentukan strategi yang nyaman dalam kehidupan sosial masyarakat. Orang
tidak merasa terasing karena identitasnya, identitas yang mungkin dibentuk
oleh kekuasaan-kekuasaan tertentu.
VI. Konsep Penelitian dan kajian pustaka
Untuk melihat bagaimana posisi atau negosiasi (identitas) orang,
maka politik identitas relevan tepat. Politik identitas merupakan topik
strategis untuk membicarakan masyarakat. Berbicara tentang masyarakat
tentu akan muncul berbagai macam perbedaan. Dari perbedaan tersebut orang
menentukan pilihan akan identitasnya. Bicara identitas berarti bicara tentang
interaksi, bicara tentang tarik ulur, bicara tentang komunikasi, bicara tentang
representasi.
Karakteristik individu yang berakar pada identitas dasar semenjak
lahir seperti adanya merupakan suatu anugerah yang tidak bisa dihindari.
Identitas dasar itulah yang kemudian membentuk “keakuan” dan
membedakan dengan yang lain (kamu, mereka, dan dia). Hakikat dasar
individu maupun kelompok tercermin dan terbentuk dari beberapa unsur yang
melekat atau sengaja dilekatkan pada tubuh menjadi objek dan subjek politik.
Akar-akar politik identitas dapat ditemukan asalnya dari pemikiran filsafat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
Foucouldian (Michel Foucault) tentang politik tubuh, dari sejarah seksualitas
dan relasi-relasi kekuasaan yang mengelilinginya (Abdilah, 2002: 12).
Foucault dikenal sebagai filsuf Perancis yang menjadi salah satu
tokoh pelopor posmodernisme. Michel Foucault lahir di Poitiers, Perancis,
pada tahun 1926. Selain mendapatkan gelar kesarjanaan dalam bidang
filsafat, Foucault juga mendapatkan pendidikan dalam bidang psikologi. Dia
pernah bekerja sebagai dosen di Uppsala, Swedia (1954), di Warsawa,
Polandia (1958), di Hamburg, Jerman (1959), dan di Tunis, Tunisia (1966-
1968). Foucault meninggal pada tahun 1984 akibat penyakit yang terkait
dengan gejala AIDS (Lechte, 2001:177).
Foucault memandang bahwa ideologi merupakan hasil hubungan
kekuasaan di mana saja. Menurut Eagleton hubungan kuasa bukan hanya
muncul pada tataran negara saja, namun juga dalam kehidupan sehari-hari.
Setiap hubungan selalu merupakan usaha saling menguasai, usaha saling
menekan. Hubungan kekuasaan ini menghasilkan cerita yang oleh Foucault
disebut discourse (sering dipandang sebagai “diskursus” atau “wacana”)
(Takwin, 2003: 109).
Setiap wacana bukanlah kebenaran mutlak, bukan representasi dari
realitas sesungguhnya, melainkan reaksi manusia terhadap apa yang terjadi
padanya, sebagai reaksi manusia terhadap kekuasaan yang mengekangnya
(Foucault, 1981; Hawkes, 1996). Foucault tidak berambisi untuk melakukan
pembebasan masyarakat dari pengaruh wacana. Ia Justru melihat wacana
muncul sebagai hasil hubungan kuasa dan pengetahuan yang bergabung
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
bersama (Foucault 1978: 100). Setiap wacana mengasumsikan pengetahuan
akan kebenaran masing-masing yang tidak dapat diklaim sebagai yang paling
benar. Dalam penelitian ini berdiri dua kebenaran yang menjadi wacana,
meskipun bukanlah kebenaran mutlak. Kebenaran akan tradisi ziarah kubur
maupun kebenaran dalam pemurnian agama dalam wujud larangan berziarah
kubur.
Identitas politik tidak bisa terlepas dari kekuasaan. Manusia dalam
perkembangannya dipenuhi dengan agenda-agenda politik, yang membentuk
identitasnya. Foucault menjelaskan kekuasaan bukanlah sesuatu yang nyata,
yang harus dimiliki oleh seorang individu atau lembaga . Sebaliknya,
kekuasaan merupakan sistem yang kompleks dari hubungan kekuatan yang
berlaku di tengah masyarakat pada suatu titik waktu tertentu. Sejauh
masyarakat terus-menerus terjebak dalam hubungan kekuatan politik,
pengaruh kekuasaan tidak mungkin terhindarkan, karena kekuasaan
dihasilkan dari satu waktu ke waktu berikutnya, di setiap titik, atau lebih
tepatnya dalam setiap hubungan dari satu titik ke titik lain. Kekuasaan berasal
dari manapun, bukan karena kekuasaan mencakup segala sesuatu, tetapi
karena kekuasaan berasal dari manapun (Foucault, 1978: 93). Dalam
penelitian ini ada dua kekuasaan yang menimbulkan perbedaan pandangan
dalam menyikapi wacana ziarah kubur, yaitu antara tradisi jawa sebagai
kekuatan lokal dengan ajaran Kristen sebagai Agama. Persinggungan
perbedaan ini yang kadang menentukan pilihan akan identitas seseorang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
Realitas keragaman penciptaan manusia hadir dengan membawa
identitas dasar yang bermacam-macam, dengan bentukan karakter dan fungsi-
fungsi fisiologis tubuh yang berbeda pula. Pada tataran praksis, pembacaan
dan penerimaan terhadap pluralitas memunculkan beberapa pandangan,
pemakluman, kalau tidak penolakan dan pengingkaran. Dalam hal ini,
pandangan terhadap keragaman etnis dipengaruhi oleh berbagai macam faktor
dan paradigma. Ketika timbul kesadaran individu akan dunianya dan
kesadaran kolektif akan identitasnya, terbentuk identitas kelompok dasar dari
anugerah dan pengenalan diri setiap individu itu, bersama-sama orang lain
yang diperolehnya sejak lahir, di dalam keluarga tempat dilahirkan pada saat
itu dan tempat itu juga. Muncul “kesadaran lain”, dalam bahasa Harold Isaac
sebagai “pemujaan” terhadap identitas-identitas tersebut. Pemujaan ini
menumbuhkan suatu kekuatan, pemicu pembangunan suatu komunitas,
meneguhkan atau sebaliknya, mencerai beraikan (Abdilah, 2002: 9-10).
Dalam hal ini, hadirnya wacana dalam tradisi Jawa berkaitan dengan
ziarah kubur tidak muncul dengan sendirinya begitu saja. Ada kesadaran
kolektif akan identitasnya. Ziarah kubur sebagai perilaku sosial dalam
masyarakat menunjukan identitas kolektifnya sebagai orang Jawa. Kesadaran
ini muncul dari pengenalan dirinya dengan lingkungan dan orang-orang
sebelumnya. Kebiasaan-kebiasaan inilah yang mengantar terciptanya tradisi
dalam masyarakat dan menumbuhkan suatu kekuatan. Maka di sini bisa
terlihat, muncul permasalahan ketika orang tidak sesuai dengan tradisi yang
telah diyakininya atau telah menjadi kesadaran kolektifnya. Begitupula
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
wacana kematian dalam ajaran Kristen yang tidak bisa dilepaskan dari
kolonialisme, juga menjadi kekuatan dalam membentuk identitas seseorang.
Foucault memandang agama tersebut sebagai bagian dari mekanisme
untuk mengontrol fungsi kehidupan manusia. Gagasan-gagasan ini,
belakangan akan berkembang dalam konseptualisme Foucault terhadap
agama sebagai kekuasaan politis. Ini menunjukkan bagaimana Foucault lebih
tertarik pada agama sebagai praktik atau fungsi agama, ketimbang agama
sebagai keyakinan (Carrette, 1999: 50). Dari sini dapat dilihat, bahwa
Foucault tidak ingin melihat sebuah kebenaran agama tetapi agama sebagai
kekuasaan yang mengontrol pengikutnya.
Teori Foucault dirasa tepat untuk membidik permasalahan berkaitan
dengan pertarungan kekuasaan tersebut. Kuasa sering kali dianggap subyek4
yang berkuasa dan subyek itu dianggap menindas. Namun, menurut Foucault
kuasa tidak bersifat subyektif. Kuasa juga tidak bekerja dengan cara negatif
dan represif, melainkan dengan cara positif dan produktif. Kuasa
memproduksi realitas, kuasa memproduksi lingkup obyek, dan ritus-ritus
kebenaran (Bertens, 2006). Dari kekuasaan ini obyek merasa tidak dikuasai,
justru semakin mengamini kekuasaan itu tanpa disadari. Salah satunya
kekuasaan itu hadir melalui agama.
Lembaga produksi kekuasaan pengetahuan yang dahsyat adalah
agama. Agama tidak bisa dipisahkan dari mekanisme dan teknik kekuasaan
4 Subyek dalam arti sesustu yang berkuasa seperti raja, pemerintah,ayah, laki-laki, dan kehendak
umum.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
normatif dan disipliner. Agama mengatur individu dan masyarakat melalui
teknik penyeragaman baik perilaku, bahasa, pakaian, maupun ritus. Dengan
teknik itu akan dihasilkan identitas, yang akan memudahkan untuk
mendapatkan kepatuhan dari pemeluknya (Haryatmoko, 2010:99).
Dari konsep penelitian ini dapat dilihat bagaimana etnis dalam hal ini
tradisi jawa yang memberikan sebuah kesadaran kolektif dalam masyarakat
yang menjadi kekuatan yang meneguhkan dalam membangun komunitas
berhadapan dengan agama yang menuntut kepatuhan pengikutnya. Orang
Jawa yang beragama Kristen akhirnya harus menentukan identitasnya. Secara
sadar atau tidak, ada pertarungan kekuasaan dengan membawa wacana yang
bertabrakan yang mengarah pada pembentukan identitas subjek. Ini sejalan
dengan apa yang menjadi pemikiran Foucault dengan mengeksplorasi
praktik-praktik wacana serta wujud-wujud kekuasaan yang membentuk
subjek. Bukan kebenaran akan wacana tersebut, tetapi justru menggagas teori
tentang hubungan antara kebenaran dan kekuasaan (Beilharz, 2005).
Penelitian ini bukan melihat kebenaran akan tradisi ziarah kubur baik dari
sudut pandang teologi kristen atau kebenaran yang diyakini orang Jawa.
Tetapi lebih melihat Identitas yang terbentuk ketika ditempati dua kebenaran
yang bertabrakan.
Dalam menentukan identitasnya berkaitan dengan kekuasaan politik,
untuk menciptakan kepatuhan ada konsep yang perlu diperhatikan yaitu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
panoptikon5 yang dikembangkan oleh Foucault. Panoptik bisa berfungsi
sebagai usaha menciptakan penyeragaman dalam hubungan dengan orang di
tengah kehidupan sehari-hari (Foucault, 1995: 205). Panoptik dalam hal ini
adalah agama yang dihadirkan melalui ajaran alkitab, orang takut melanggar
larangan agama karena takut akan dosa. Jemaat Kristen dalam menyikapi
wacana ziarah kubur takut untuk melanggar ajaran agama. Begitu pula
sebaliknya, pengucilan diri dari lingkungan masyarakat juga menjadi
panoptikon, ketika tidak melakukan ziarah kubur secara kolektif ataupun
individu takut dikucilkan oleh masyarakat karena dianggap melanggar tradisi
yang sudah ada.
Konsep ini mempengaruhi seseorang dalam menentukan identitasnya,
meskipun hukumannya belum nyata (dosa dan anggapan akan dikucilkan)
menjadi pertimbangan dalam menentukan negosiasi dalam dirinya. Terjadi
negosiasi akan identitasnya, baik itu tetap teguh dalam tradisi jawa, yakin
dengan agamanya, atau mungkin ada identitas baru yang muncul.
Ada beberapa penelitian berkaitan denagan identitas politik dalam
kebangkitan Agama dan wacana ziarah kubur. Yang pertama adalah
penelitian dari Titi Mumfangati (2007) yang meneliti tentang Tradisi Ziarah
5 Panotik adalah sistem penjara yang ditemukan oleh Jeremy Bentham (1748-1832). Panoptik
pada intinya adalah upaya pendisiplinan berbasis (tanpa) pengawasan. Panoptik dilakukan
dengan mengancamkan pengawasan yang disertai hukuman bagi perilaku tertentu;
kemudian menciptakan keyakinan bahwa seseorang sedang diawasi setiap saat, meskipun
sebenarnya tidak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
Makam Leluhur Pada Masyarakat Jawa.6 Penelitian ini melihat bagaimana
motivasi orang jawa mengunjungi atau berziarah kemakam leluhurnya. Hasil
penelitian ini memperlihatkan bagaimana ziarah makam dimanfaatkan untuk
kepentingan-kepentingan tertentu, misalnya mencari ketenangan, mencari
rejeki, keberuntungan. Penelitian ini lebih melihat bagaimana aspek
psikologis orang yang berziarah kubur. Sementara itu Y. Tri Subagyo (2005)
juga melihat bagaimana peristiwa kematian dan juga setelah kematian yaitu
seperti ziarah kubur menjadi pengalaman bagi orang yang berada
disekitarnya. Penelitian etnografis ini melihat bagaimana realita yang ada
berkaitan dengan misteri kematian. Ziarah kubur dalam penelitian Asep
Ma’mun (2007) dilihat secara teologis yaitu melihat persepsi masyarakat
terhadap ziarah kubur: sebuah studi kasus atas masyarakat Aeng Panas.
Dalam penelitian ini melihat bagaiamana tradisi ziarah kubur dalam ajaran
islam menjadi sumber keselamatan atau untuk mengingatkan akan kematian.
Martin Lukito Sinaga (2004) meneliti Identitas poskolonial gereja
suku, penelitian ini melihat Identitas seseorang yang terbentuk melalui
representasi diri berhadapan dengan resistensi terhadap representasi pihak
yang kuat atas diri suatu komunitas. Dalam penelitian ini terkandung proses
perjumpaan dan negoisasi sebagai hasil proses kolonialisme yang panjang,
menemukan identitas sama dengan mengajukan ikhtiar perubahan sosial atau
perluasan kebebasan dalam ruang publik. Selain itu Yendri A.H. (2007) juga
6 Mumfangati, Titi. Tradisi Ziarah Makam Leluhur Pada Masyarakat Jawa. Dalam Jantra Vol. II No
03, Juni 2007
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
melihat bagaimana identitas seseorang ketika berhadapan dengan agama.
Yakni, Identitas penganut Merapu berhadapan dengan Gereja dan
Pemerintah. Kedua penelitian tersebut melihat bagaimana identitas seseorang
berkaitan dengan wacana tentang agama ketika mengalami perjumpaan
dengan wacana lain.
Dalam penelitian ini, akan lebih melihat bagaimana wacana
kebangkitan agama mempengaruhi identitas seseorang. Hal ini berkaitan
bagaiman negosiasi identitas orang Jawa yang beragama Kristen ketika
berdiri dalam dua wacana yang berbeda. Jadi bukan pada pemaknaan ziarah
kubur dari aspek teologis, psikologis, ataupun antropologi, tetapi lebih pada
pengalaman terhadap ziarah kubur yang akhirnya menentukan identitas saat
berada dalam dua kekuatan.
VII. Metode Penelitian (Sumber data dan pengumpulannya)
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah Lived Experience,
yaitu, pengalaman hidup secara langsung orang Jawa yang beragama Kristen
dalam menyikapi wacana tentang ziarah kubur. Seperti yang disampaikan
Paula Saukko, penelitian dalam kajian budaya meliputi pengalaman hidup,
wacana, dan juga konteks sosial (Saukko, 2003:33). Wacana di sini lebih
berkaitan dengan kebangkitan agama, yaitu kebangkitan agama Kristen dalam
menyebarkan ajarannya tentang larangan melakukan ziarah kubur atau usaha
purifikasi. Pengumpulan data yang digunakan adalah dengan wawancara dan
observasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
Subjek dalam penelitian ini adalah orang Jawa yang beragama
Kristen. Sedangkan lokasi penelitian adalah Desa Banyubiru, Kecamatan
Banyubiru, Kabupaten Semarang Jawa tengah. Lokasi ini dipilih karena yang
pertama berdekatan langsung dengan kehidupan peneliti, kedua masyarakat
Desa Banyubiru masih menjunjung tinggi tradisi ziarah kubur, bahkan
setahun sekali diadakan ziarah kubur masal atau tradisi nyadaran. Selain itu
saat ini berkembang juga Gereja Kristen Jawa di daerah Banyubiru.
VIII. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan tesis tentang Kejawaan dan Kekristenan yang
berjudul Negosisasi identitas orang Kristen Jawa dalam persoalan di sekitar
ziarah kubur, akan terdiri dari lima bab. Bab pertama adalah pendahuluan
yang berisi tentang latar belakang permasalahan, tema, rumusan
permasalahan, tujuan penelitian, pentingnya penelitian, konsep penelitian dan
juga kajian pustaka.
Pemilihan judul di sekitar ziarah kubur ingin menggambarkan bahwa
ada tradisi atau ritual lain di sekitar ziarah kubur yang sangat mempengaruhi
tradisi ziarah kubur itu sendiri. Tradisi lain tersebut antara lain slametan atau
genduren, merti desa, dan juga ritual penghormatan leluhur serta pemaknaan
kematian itu sendiri. Sebelum membahas tentang negosiasi identitas orang
Kristen Jawa perlu dikaji dulu bagaimana orang Jawa sendiri menyikapi
tradisi-tradisi Jawa yang sangat mempengaruhi identitas Kejawaan. Desa
Banyubiru sebagai wilayah perjumpaan identitas Kejawaan dan Kekristenan
digambarkan dalam bagian kedua (Bab II). Di bagian kedua ini yang pertama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
melihat bagaimana sejarah Banyubiru sendiri berkaitan dengan bumi
perdikan. Pemaknaan bumi perdikan menjadi persoalan yang perlu dibahas
karena konsepsi ini mengarah pada penghormatan leluhur, baik secara
individu maupun komunal. Pemahaman ini juga mengantar pada tradisi
sedekah bumi perdikan Banyubiru yang di dalamnya ada ritual slametan,
pertunjukan wayang kulit, dan ziarah kubur yang semuanya mengarah pada
permohonan pangestu leluhur mereka. Di bagian kedua, juga digambarkan
kondisi gegografis dan juga keadaan penduduk, hal ini sangat mempengaruhi
pola pembentukan identitas Kejawaan. Ketergantungan hidup masyarakat
terhadap alam turut mendorong masyarakat untuk melakukan ritual
permohonan kesuburan dan juga keselamatan hidup melalui leluhur mereka.
Usaha purifikasi agama Kristen yang hadir di tengah masyarakat Desa
Banyubiru akan dikaji di bagian ketiaga (Bab III). Bagian pertama akan
terlebih dahulu menjelaskan sejarah Kristenisasi di Jawa, bagaimana proses
muncul dan berkembangnya ajaran Kristen yang tidak bisa dilepaskan dari
kolonialisme. Muncul dinamika pertarungan wacana yang mengantar pada
pembentukan identitas biner, antara Kristen “Jawa” dan Kristen “landa”.
Sejarah menjadi hal yang penting untuk melihat dinamika Kekristenan di
Desa Banyubiru. Bagian kedua dalam bab ini lebih menjelaskan tentang
proses dan pengaruh pembentukan identitas Kristen Jawa di Banyubiru.
Pembentukan identitas ini mulai dari peran penyebar ajaran, cara penyebaran,
dan keadaan umat yang ada. Konsepsi atau ajaran Kristen yang diajarkan
merupakan usaha purifikasi untuk meyakini bahwa arwah roh leluhur sudah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
berada di Surga, sehingga tidak perlu adanya ritual ziarah kubur, slametan,
dan juga ritual penghormatan leluhur lainnya. Ajaran ini diajarkan tanpa ada
unsur pemaksaan dan kekerasan, namun bersifat produktif.
Perbedaan konsepsi atau ajaran tentang kematian ini mengarah pada
proses negosiasi identitas Jemaat GKJ (Bab IV). Bagian pertama memberikan
gambaran tentang konsepsi ajaran Kristen yang hadir dalam usaha purifikasi
(berkaitan dengan tradisi Jawa seperti slametan,dan ziarah kubur), konsepsi
akan kematian. Mekanisme yang mempengaruhi negosiasi identitas adalah
adanya usaha memberi kepatuhan disetiap ajaran, sehingga bagian kedua
lebih menjelaskan bagaimana Kekristenan dan Kejawaan dalam usaha
memberikan kepatuhan, bagaimana Alkitab dan juga “aturan” komunal
masyarakat memberikan kepatuhan pada masyarakat.
Bagian terakhir (Bab V) adalah kesimpulan. Pada bagian kesimpulan
penelitian ini, ingin melihat apakah purifikasi agama Kristen berhasil secara
total, atau jemaat GKJ masih tetap melakukan tradisi di sekitar ziarah kubur
dengan pemaknaan yang berbeda. Apakah mereka merasa dirinya adalah
orang Jawa namun juga sebagai orang Kristen, sehingga terbentuk identitas
yang kreatif, sehingga tradisi Jawa digunakan bentuknya saja untuk menjaga
identitasnya sebagai manusia Jawa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
BAB II
“IDENTITAS KEJAWAAN” MASYARAKAT DESA BANYUBIRU
Dari ritual yang memuat sesaji, mitos, dan
seni yang dilaksanakan bersamaan (serentak)
berarti orang Jawa masih meyakini bahwa
ada makna dan fungsi tertentu bagi
keselamatan hidupnya (Endraswara, 2006)
Pergumulan orang Jawa dengan agamanya yang serba lentur, serba baik,
dan terbuka, mengarah pada sejumlah tata hidup yang dianggap bermuatan
spiritualitas. Hal ini dapat terlihat dari berbagai ritual hidup perjalanan manusia,
dalam peristiwa kelahiran hingga peristiwa kematian. Berbagai ritual dan sesaji
merupakan simbol semangat spiritualisme yang intinya mempercayai bahwa ada
kekuatan lain yang lebih tinggi atas kekuatan manusia, tidak lain adalah ingin
menyandarkan pada kekuatan Tuhan yang maha kuasa.
Sosok manusia utama dalam konsep manusia Jawa berdimensi pada dua
wilayah, kepada Tuhan (vertikal) dan kepada sesama manusia (horisontal)
(Mulyana, 2006). Tuhan sebagai sandaran manusia yang dihadirkan melalui
berbagai ritual dan sesaji ini menjadi dimensi vertikal manusia sedangkan pada
taraf horisontal tergambar dalam simbol bahasa bisa ajur ajer (mampu
beradaptasi dan menyeleksi). Konsep ini menganjurkan kepada orang Jawa agar
selalu dapat menempatkan dirinya secara adaptif di manapun berada.
Dua dimensi ini membawa manusia Jawa untuk bisa menempatkan dirinya
baik secara komunal maupun secara vertikal. Maka pada bagian ini akan di
jelaskan bagaimana Desa Banyubiru sebagai masyarakat Jawa menunjukkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
berbagai identitas kejawaannya, baik dalam laku kehidupan secara sosial
maupun dalam berbagai tradisi.
Bagian pertama ingin memberikan gambaran Desa Banyubiru sebagai
bumi perdikan. Pemaknaan akan bumi perdikan mengantar pada keyakinan
warga Banyubiru akan identitas kejawaan yang begitu kuat. Selain sejarah,
kosmologi Desa Banyubiru juga menjadi hal yang perlu dibicarakan.
Keberadaan rawa, gunung, sawah, dan juga sungai berkaitan dengan laku ritual
sebagai manusia Jawa.
Pada bagian kedua memberikan penjelasan berkaitan dengan kondisi
sosial dan budaya Desa Banyubiru. Kondisi ini berpengaruh pada pola
masyarakat Jawa yang terbentuk. Ini tergambar dari bagaimana kehidupan sosial
ekonomi Mayarakat Desa Banyubiru, tradisi Sedekah Bumi, dan tradisi ziarah
kubur di Desa Banyubiru.
I. Desa Banyubiru sebagai Wilayah Kejawaan
1. Sejarah Banyubiru sebagai Bumi perdikan
Berbagai upaya terus dilakukan manusia untuk menjangkau realitas
dirinya, tidak sekedar memahami keberadaan dirinya secara individu tetapi juga
secara komunal. Pencarian identitas secara komunal tidak bisa dilepaskan dari
sebuah sejarah, baik tempat maupun pelaku sejarah. Namun, sebelum sampai
pada pencarian identitas secara komunal manusia selalu mencoba mencari
identitas akan dirinya.
Pergumulan orang Jawa akan jati dirinya tergambar dalam berbagai
permenungan yang cukup mendalam. Orang Jawa selalu mencari asal-usal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
hidupnya. Asal-usul keberadaan manusia yang sering dikenal dengan sangkan
paraning dumadi, yaitu sebuah pemahaman masyarakat Jawa tentang asal
muasal kejadian manusia.
Tentang asal-usuling dumadi ini merupakan sebuah pertanyaan yang
sangat mendasar, karena setiap perilaku orang Jawa selalu ingin mengetahui
bibit kawit (asal mula), atau wiji (biji). Pemahaman ini melahirkan lakon wayang
yang cukup terkenal, yaitu Dewa Ruci. Sebuah lakon wayang yang
menggambarkan tercapainya kebahagiaan sejati dengan cara menunggalnya
kawula (Bima) dengan Gusti (Dewaruci). Lebih dalam lagi, Magnis (1988:116-
117) memberi penafsiran, bahwa Dewaruci yang kerdil dan mirip dengan Bima
tiada lain adalah “batin Bima sendiri”. Oleh karena itu, sesudah memasuki
batinnya sendiri, Bima teringat bahwa pada hakikatnya ia berasal dari unsur
Illahi. Dalam hal itu, ia kembali menghayati kesatuan hakikinya dengan asal-
usulnya itu, kesatuan hamba dan Tuhan (kawula Gusti). Melalui kesatuan itu
manusia mencapai apa yang oleh orang Jawa disebut kawruh sangkan paraning
dumadi: pengetahuan (kawruh) tentang asal (sangkan) dan tujuan (paran) segala
apa yang diciptakan (dumadi). Oleh sebab itu, ritus kejadian desa yang sering
dikaitkan dengan sejarah desa atau bersih desa merupakan tindakan introspeksi
akan asal kehidupan manusia, yang didalamnya terkandung rasa syukur dan
harapan bagi masa depan. Rasa syukur atas asal mula kehidupan melalui leluhur
atau cikal bakal desa mereka. (Hidajat, 2006)
Manusia Jawa dalam perilakunya untuk mengetahui asal mula dan akhir
kehidupannya selalu dilakukan dengan berbagai cara. Tidak hanya berhenti pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
sebuah tradisi bersih desa saja, namun mencoba mencari lebih mendalam sejarah
leluhur mereka. Usaha inilah yang dilakukan oleh masayarakat Desa Banyubiru,
usaha untuk mempertahankan identitas kejawaannya melalui rasa hormat pada
leluhur mereka, usaha untuk mengetahui leluhur mereka. Oleh sebab itu,
sebelum sampai pada tradisi bersih desa dan juga tradisi ziarah kubur, penting
pula mengetahui sejarah Banyubiru sebagai Bumi Perdikan, karena dengan
Bumi Perdikan ini ada usaha untuk mempertahankan identitasnya sebagai
manusia Jawa.
Berdasarkan cerita rakyat atau cerita babad, Banyubiru merupakan salah
satu daerah yang memiliki sebutan daerah “Bumi Perdikan”. Meskipun saat ini
sebenarnya sebutan tersebut secara resmi dalam pemerintahan sudah tidak
dipakai, namun Banyubiru masih mempertahankan identitas tersebut, seperti
yang tertulis di Gapura Desa Banyubiru dengan tulisan Bumi Perdikan
Banyubiru. Usaha mempertahankan identitas tersebut sebagai wujud hormat
bakti kepada leluhur di Banyubiru, masyarakat menyadari bahwa Bumi Perdikan
merupakan penghargaan atas jasa leluhur mereka.7
Bumi Perdikan sendiri pada waktu itu merupakan daerah yang
dibebaskan atau tidak perlu membayar pajak atau asok gelondong pengareng-
areng kepada kerajaan penguasa sebagai suatu kewajiban. Pembebasan ini
karena beberapa alasan, yang pertama karena Banyubiru sering terkena bencana
banjir bandang. Bencana banjir ini terjadi karena di desa Banyubiru pada saat itu
dilalui sungai yang cukup besar dengan sebutan Klegung atau Kali Agung.
7 Berdasarkan wawancara dengan Bapak Sri Anggoro (Kepala Desa Banyubiru) tanggal 2 Maret
2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
Sungai itu saat ini masih ada namun sudah tidak sebesar dahulu. Banjir bandang
ini membuat masyarakat menderita, sehingga sudah selayaknya jika tidak
dikenakan wajib pajak. Kedua, warga Desa Banyubiru ikut menjaga tempat-
tempat suci. Beberapa tempat suci tersebut diantaranya adalah Candi yang
terletak di sekitar Rawa Pening. Candi ini bernama Candi Dukuh yaitu sesuai
dengan nama lokasi candi ini berada. Menurut penduduk sekitar, candi ini adalah
peninggalan Prabu Brawijaya V sehingga kadang candi ini disebut juga dengan
Candi Brawijaya. Namun saat ini kondisi candi hanya tinggal reruntuhan saja
dan tidak diketahui bagaimana bentuk dari candi ini sebelumnya.8
Selain candi, masih banyak tempat suci lainnya yang dilindungi namun
keberadaannya sudah tidak bisa dilacak karena tidak ada peninggalan yang pasti.
Namun, berdasarkan nama seperti Dusun Lembu, diyakini masyarakat sekitar
dahulu ditemukan candi berupa lembu. Selain itu, Dusun Pundan diyakini
merupakan tempat pepunden atau boleh dikatakan tempat pemujaan. Semua
daerah tersebut berada di Banyubiru.9
Penyebutan atau pemberian status bahwa Banyubiru sebagai Bumi
Perdiakan ini berdasarkan penemuan candi yang diperkirakan sejak jaman
Majapahit. Meskipun sulit memastikan, namun ini didasarkan dari keberadaan
Candi Gedong Songo yang bercorak Hindu. Banyak peninggalan Sejarah
8 Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak Ki Adi Samidi (sesepuh Desa Banyubiru & Pelaku
kebatinan Jawa) tanggal 14 Februari 2013 9 Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak Ki Adi Samidi (sesepuh Desa Banyubiru & Pelaku
kebatinan Jawa) tanggal 14 Februari 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
Banyubiru yang tidak bisa dilepaskan dari Candi Gedong Songo yaitu situs-situs
Hindu.10
Masyarakat Desa Banyubiru dalam usahanya mempertahankan identitas
Bumi Perdikan ternyata muncul sebuah permasalahan. Beberapa Ulama Islam di
Desa Banyubiru tidak sepakat bila Desa Banyubiru masih mempertahankan
identitasnya sebagai Bumi Perdikan. Beberapa alasannya adalah, sudah tidak
tepat untuk mengatakan Banyubiru sebagai Bumi perdikan, yang kedua mereka
berpendapat bahwa pemberian tanah perdikan merupakan sesuatu gambaran
daerah yang tidak baik, karena dianggap sebagai daerah yang tidak berbakti pada
tanah air.11
Para Ulama Islam menganggap bahwa bukan saatnya lagi berbicara
tentang masa lalu, saat ini yang terpenting menjadi manusia beragama. Seperti
apa yang diungkapkan oleh Bapak H. Basuki berikut:
“Jangan sebut lagi Banyubiru sebagai Bumi perdikan, karena itu
masa lalu yang tidak baik. Dibebaskan pajak berarti kita tidak setia
pada Tanah air kita. Yang terpenting saat ini adalah beribadah dan
menyembah Allah. Sehingga saya tidak sepakat bila Bersih Desa di
Banyubiru menggunakan nama Sedekah Bumi Perdikan”.
Perbedaan akan pemaknaan Bumi Perdikan menjadi sebuah perdebatan
yang tidak terselesaikan. Namun, dipihak lain identitas Bumi Perdikan tetap
dipertahankan. Sampai saat ini nama Bumi Perdikan tetap digunakan, bahkan
dalam acara bersih desa menggunakan sebutan Sedekah Bumi Perdikan
10
idem 11
Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak H. Basuki (Ulama Desa Banyubiru) tanggal 30
Maret 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
Banyubiru. Beberapa faktor yang mempengaruhi tetap digunakannya istilah ini
karena Kepala Desa Banyubiru saat ini lebih nasionalis atau bukan dari golongan
ulama dan ingin menunjukan identitasnya sebagai orang Jawa.
Wacana kebenaran tentang Sejarah Banyubiru sebagai Bumi Perdikan
menjadi pertarungan. Meskipun setiap wacana sebenarnya bukanlah kebenaran
mutlak, bukan representasi dari realitas sesungguhnya, melainkan reaksi
manusia terhadap apa yang terjadi padanya, sebagai reaksi manusia terhadap
kekuasaan yang mengekangnya. Wacana tentang kebenaran akan sejarah Bumi
Perdikan Banyubiru mampu menjadi kekuatan dalam pembentukan identitas
manusia jawa, namun disisi lain juga bisa berakibat sebaliknya yaitu
menghancurkan. Ini sesuai dengan ungkapan Foucault “Wacana menghasilkan
kekuatan yang memperkuat, tetapi juga bisa menghancurkan, membuat rapuh
dan memungkinkan untuk menggagalkan” (Foucault, 1978: 101).
Wacana yang hadir melalui cerita akan Bumi Perdikan terkonstruksikan
di dalam masyarakat melalui cerita-cerita yang hadir secara turun menurun dari
leluhur mereka dan masih menjadi perdebatan yang panjang untuk mencari
kebenarannya. Kekuasaan mempunyai kekuatan untuk menentukan kebenaran
tersebut. Wacana kebenaran tentang Bumi perdikan pada akhirnya tetap
dipertahankan hingga saat ini. Berbagai usaha dilakukan, selain pemasangan
tulisan Gapura Bumi Perdikan juga acara Sedekah Bumi Perdikan Banyubiru.
Di lain pihak, beberapa Ulama yang tidak sepakat dengan Bumi Perdikan
hanya berhenti pada tataran ketidaksetujuannya tanpa tindakan yang konkret.
Usahanya untuk mempengaruhi masyarakat tidak berhasil. Justru sebaliknya,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
Kepala Desa Banyubiru dan beberapa tokoh Masyarakat bahkan mencoba untuk
mencari cerita tentang leluhur di Banyubiru sebagai Bumi Perdikan. Usaha
pencarian identitas ini tidak lain ingin memperkuat identitas masyarakat
Banyubiru sebagai masyarakat Jawa yang dalam sejarahnya pernah tinggal para
tokoh-tokoh besar dalam sejarah kerajaan-kerajaan Jawa.
Daerah Bumi Perdikan Banyubiru tidak bisa dilepaskan dari para leluluhr
atau tokoh-tokoh besar yang berjasa atau pernah singgah di Banyubiru. Tokoh
tersebut salah satunya adalah Laksamana Sora Dipoyono. Dia adalah seorang
panglima perang dibawah sultan Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor pada
waktu perang Malaka mengusir penjajah Portugis. Pada waktu itu jatuhnya
Malaka ke tangan orang Portugis dalam tahun 1511, Demak justru mencapai
kejayaannya. Daerah-daerah pesisir di Jawa Tengah dan Jawa Timur mengakui
kedaulatan Demak dan mengibarkan panji-panjinya. Pati Unus sangat giat
memperkuat dan memperluas kedudukan Kerajaan Demak sebagai Kerajaan
Islam. Tahun 1513 Kerajaan Demak bahkan memberanikan diri mengusir
Portugis. Sayang bahwa usaha ini gagal, karena Portugis ternyata lebih unggul
(Efendy, 1987; Purwadi, 2005).
Laksamana Sora Dipoyono berdasarkan cerita masyarakat diyakini
sebagai salah satu panglima parang penyerangan tersebut. Namun, karena di
dalam Kerajaan Demak terjadi pertengkaran dalam tubuh keluarga Keraton
maka Sora Dipoyono mengasingkan diri atau menyepi di daerah Banyubiru.
Beberapa Masyarakat meyakini bahwa Sora Dipoyono meninggal di Banyubiru
dan dimakamkan di daerah Banyubiru. Meskipun petilasan makam tersebut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
sudah tidak ada, namun ada sebuah gumuk dimana masyarakat meyakini di situ
dimakamkan Sora Dipoyono yaitu Gumuk Bolodewo.12
Selain Sora Dipoyono yang hadir pada waktu kerajaan Demak, tokoh lain
adalah Kyai Joyoproyo yang keberadaannya saat perang Diponegoro atau perang
Jawa. Kyai Joyoproyo adalah nama sesinglon atau samaran, nama sesungguhnya
adalah Pangeran Tejokusumo.13
Dia adalah salah satu pengikut setia pangeran
Diponegoro. Ketika pangeran Diponegoro ditangkap, para pengikutnya
melarikan diri, salah satunya Pangeran Tejokusumo yang mengasingkan diri Ke
Banyubiru. Masyarakat meyakini bahwa Kyai Joyoproyo ikut membangun
Banyubiru dan wafat di Banyubiru. Sebagai wujud penghormatan, di Desa
Banyubiru terdapat makam Kyai Joyoproyo. Pemakaman tersebut tidak seperti
pemakaman yang lainnya karena pemakaman tersebut berada di suatu
pemukiman penduduk dan dibangun cungkup14
.
Perang Diponegoro, yang disebut Belanda sebagai Perang Jawa (1825-
1830) menjadi salah satu peristiwa yang menentukan sejarah Pulau Jawa. Perang
Diponegoro dianggap Belanda sebagai perang yang mengesahkan kedudukan
mereka di Jawa. Sebaliknya orang Indonesia memandang perang ini sebagai
perlawanan besar yang terakhir seorang pangeran terhadap kekuasaan Belanda.
12
Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak Ki Adi Samidi (sesepuh Desa Banyubiru & Pelaku
kebatinan Jawa) tanggal 14 Februari 2013 13
Sejarah ini diketahui dari wawancara dengan Ki Adi Samidi yang menceritakan berdasarkan
buku tentang sejarah Banyubiru yang menggunakan tulisan jawa gagrak alas jadi bukan tulisan
jawa kuno yang bisa membaca hanya beberapa orang. Dalam buku tersebut diceritakan tentang
Pepunden Banyubiru yaitu Mbah Joyoproyo dahulu trah Ngayogyokatro yang bernama Pangeran
Tejokusumo pengikut Pangeran Diponegoro.
14 Cungkup merupakan sebuah bangunan diatas makam bisa berupa rumah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
Baru kelak dalam abad ke-20, dengan munculnya pergerakan-pergerakan yang
disebut nasionalisme, kekuasaan Belanda sekali lagi ditentang dalam skala
nasional (Carey, 1986:7).
Desa Banyubiru merupakan daerah yang sangat strategis yang digunakan
Belanda untuk Benteng pertahanan di mana di Banyubiru dibangun Asrama
Kaveleri Belanda dan masyarakat Banyubiru juga andil pada perjuangan
melawan penjajah Belanda, setelah perang kemerdekaan Desa Banyubiru seperti
desa – desa di sekitarnya yang diakui secara yuridis.15
Sehingga mulai pada saat
itu telah melakukan penataan dan pembangunan di segala bidang sampai saat ini,
dan perlu diketahui bahwa di Desa Banyubiru pernah dipimpin Kepala Desa atau
sebutan lain seperti Demang atau Lurah atau sebutan lainnya.
Banyubiru sebagai Bumi Perdikan selalu dimaknai berbeda di setiap
periode kepemimpinan. Setelah Masa Kemerdekaan ketika Banyubiru dipimpin
oleh Dasono Soemaryadi tradisi bersih desa sudah dilakukan dengan menggelar
wayang kulit. Begitu pula pada waktu kepemimpinan Sunyoto tradisi tersebut
tetap dilakukan. Namun, tradisi bersih desa tahun 2000-2007 berhenti, yaitu
pada waktu kepemimpinan Suwandi. Baru tahun 2008 masa kepemimpinan Sri
Anggoro mencoba mengembalikan tradisi yang sudah ada sebelumnya.16
Bahkan
usaha menghargai leluhur sebagai Sejarah akan Desa Banyubiru mencoba untuk
15
Dibawah Pemerintahan Republik Indonesia yang secara umum termuat dalam Undang –
undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah – daerah Kabupaten dalam lingkup
Propinsi Jawa Tengah dan Undang – undang Nomor 67 tahun 1958 tentang Pembentukan
Wilayah Kotapraja Salatiga Dan Daerah Swatantra Tingkat II semarang.
16 Berdasarkan wawancara dengan Bapak Sri Anggoro (Kepala Desa Banyubiru) tanggal 2 Maret
2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
di angkat sebegai identitas kejawaannya melalui Sedekah Bumi Perdikan yang
dalam kegiatan tersebut muncul slametan, ziarah kubur masal, dan juga
wayangan. Bapak Sri Anggoro mencoba mengangkat kembali tradisi dan ritual-
ritual ini dengan harapan kembalinya jati diri manusia Jawa, yang saat ini mulai
tergerus kehidupan yang modern. Selain itu juga ada harapan desanya akan
selalu mendapat berkah dan kemakmuran dengan menjalankan tradisi-tradisi
leluhurnya.
2. Kondisi Geografis Desa Banyubiru
Secara geografis Desa Banyubiru merupakan salah satu dari 10 Desa
yang berada di wilayah Kecamatan Banyubiru Kabupaten Semarang Propinsi
Jawa Tengah yang berpenduduk 8496 jiwa dengan luas wilayah Desa : 677.087
Ha. Kondisi wilayah Desa Banyubiru mempunyai curah hujan rata-rata 2.000 –
3.250 mm/tahun dan berada di 450 ASL ( atau 450 M dari permukaan air Laut )
dan koordinat kantor Desa 7º17’30.06” S - 110º24’16.02” E.
Penghayatan masyarakat Desa Banyubiru berkaitan dengan Kejawaan,
sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis. Desa Banyubiru sendiri merupakan
daerah pedesaan yang terdiri daerah persawahan, pegunungan, rawa, dan juga
dataran biasa sebagai daerah pemukiman. Kondisi geografis ini mempengaruhi
matapencaharian penduduk di Desa Banyubiru, yaitu sebagai petani di
persawahan, petani di daerah pegunungan atau ladang, dan juga nelayan.
Meskipun banyak pula warga juga bekerja sebagai buruh pabrik, pegawai negri
sipil, dan lain-lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
Kehidupan warga masyarakat di Desa Banyubiru masih sangat
tergantung dengan alam, baik di daerah pegunungan maupun di sekitar rawa. Di
daerah pegunungan mereka menanam cengkeh, aren, pohon sengon, dan hasil
perkebunan lainnya. Mereka bertahan hidup dari hasil bumi di daerah
pegunungan. Sedangkan daerah rawa para warga mencari ikan, enceng gondok
untuk kerajinan, atau hasil-hasil rawa lainnya.
Kesinambungan hidup yang bergantung dari alam menuntut masyarakat
untuk selalu mensyukuri dan memohon kesuburan akan hasil bumi. Sikap
tersebut kemudian menimbulkan kebiasaan masyarakat di Desa Banyubiru untuk
menyatakan syukur dan terima kasih dengan menyelenggarakan kegiatan bersih
desa. Penyatuan diri dengan alam ini dibarengi dengan sikap menghormati
leluhur, agar mudah ditolong dalam berbagai kesulitan hidup.
Hal demikian, sejalan dengan pendapat Bratasiswara (2000:123) bahwa
bersih desa adalah kegiatan bersama masyarakat desa untuk menghormat,
mengenang, dan memelihara desanya setahun sekali seusai panen. Bagi
masyarakat yang bermata pencaharian bercocok tanam, musim panen menjadi
suatu harapan yang didambakan. Oleh karena itu, pada setiap musim panen
mereka merasa menerima kebahagiaan tahunan, sehingga menimbulkan gerakan
hati untuk mengenang dan menghormat desa yang telah berjasa menjadi tempat
hunian dan tumpuan hidup.
3. Keadaan Penduduk
Keadaan penduduk sangat berpengaruh pada pemaknaan akan Kejawaan.
Mulai dari usia, mata pencaharian, tingkat pendidikan, dan juga agama. Keadaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
penduduk di Desa Banyubiru berdasarkan usia di masing-masing kelompok
umur hampir merata. Berkaitan dengan identitas Kejawaan, masa remaja sering
merupakan suatu titik pencarian akan identitasnya, meskipun ini klise karena
pencarian identitas tidak akan pernah berhenti. Berdasarkan data di atas, usia
remaja di Desa Banyubiru (usia 16-20 th) yaitu 9,84 % dan juga usia peralihan
(usia 21-25th) yaitu 9,93% pada usia inilah pencrian identitas akan entiitas
pertama kali terjadi. Walaupun anak-anak sadar akan beberapa perbedaan etnis
dan kebudayaan, kebanyakan secara sadar menghadapi etnisitas untuk pertama
kalinya pada usia remaja. Berbeda dengan anak-anak, remaja memiliki
kemampuan untuk meginterpretasikan informasi etnis dan kebudayaan, untuk
merefleksikan masa lalu, dan berspekulasi tentang masa depan (Harter, 1990
dalam Santrock, 2002:60).
Dalam penelitian ini, masa Dewasa dan usia lanjut (26 tahun ke atas)
menjadi subyek penelitian. Hal ini dikarenakan, pada usia tersebuut manusia
sudah bisa memaknai akan realitas kehidupannya. Beradasarkan data di atas,
masyarakat di Desa Banyubiru yang berusia di atas 26 tahun berjumlah sekitar
50,96 % dari seluruh jumlah penduduk.17
Identitas Kejawaan selain dipengaruhi oleh usia, juga dipengaruhi oleh
mata pencaharian. Seperti telah disinggung di bagian sebelumnya, mata
pencaharian menjadi suatu bagian dari sebuah pola hidup dalam masyarakat,
salah satunnya seperti pertanian yang membuat masyarakat menghayatinya
melalui tradisi bersih desa.
17
Sumber berdasarkan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Desa Banyubiru Tahun 2011
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
Desa Banyubiru secara geografis sebagian besar berupa daerah pertanian
dan juga daerah rawa, namun berdasarkan data di atas mata pencaharian yang
bergantung pada alam dan berprofesi sebagai petani berjumlah 4,9%, Peternak
berjumlah 0,43%, Buruh tani berjumlah 4,13%, Nelayan berjumlah 1,31% lebih
kecil dibanding dengan buruh Pegawai Swasta yang berjumlah 19,06% dan juga
Buruh Industri berjumlah 25, 13%.18
Banyak faktor yang mempengaruhi jenis
pekerjaan ini, salah satunya usia dan juga jenjang pendidikan. Seperti yang
diungkapkan Bapak Supri Daryono sebagai berikut
“Saat ini, hanya sedikit yang mau mengoleh lahan pertanian.
Sekian banyak petani hanya beberapa orang yang anak muda,
mereka yang berpendidikan minimal SMA jarang atau bahkan
tidak ada yang mau turun ke sawah, meskipun sebenarnya tanah
di Banyubiru ini adalah tanah pertanian yang sangat subur.
Namun tidak hanya itu saja, faktor lain adalah tanah pertanian di
Banyubiru bukan semua milik warga tetapi juga milik TNI AD.
”19
Tingkat Pendidikan sangat mempengaruhi jenis pekerjaan di Desa
Banyubiru, sehingga secara tidak langsung berpengaruh pada pemaknaan akan
tradisi bersih desa atau pemaknaan hidup mereka sebagai orang Jawa.
Masyarakat Desa Banyubiru masih banyak yang tidak pernah berada di bangku
sekolah yaitu berjumlah 12,9 % sedangkan yang menyelesaikan pendidikan pada
tingkat SLTA berjumlah 10,69%, tamat Akademi/Diploma berjumlah 9,06%,
18
Idem.
19 Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Supri Daryono tanggal 9 April 2013 (Kadus dan
Ketua Kelompok Tani Dusun Kampung Rapet Desa Banyubiru)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
Sarjana ke atas berjumlah 8,61%. Dari prosentase tersebut terlihat bahwa di
Desa Banyubiru masih banyak warga yang tidak mengenyam pendidikan.20
Faktor lain yang sangat mempengaruhi identitas Kejawaan adalah agama.
Bila mendengar agama, banyak pemikiran yang muncul dengan gambaran yang
berbeda-beda. Ada yang menganggap agama sebagai jalan dan cara hidup,
agama adalah kepercayaan pada hal atau realitas yang lebih luhur dari pada
manusia, agama adalah rangkaian tindakan khas seperti doa, ibadat, dan upacara.
Agama juga dianggap sebagai perasaan tergantung secara mutlak pada suatu
realitas yang mengatasi dirinya. (Hardjana 2005:50)
Orang Jawa sendiri dalam memandang agamanya menurut Mulyana
(2006) terdiri dari tiga aspek, yang pada gilirannya telah melahirkan paling tidak
tiga kelompok besar: beragama secara murni, beragama campuran atau hibrid,
dan beragama kejawen asli. Kelompok pertama selalu mencoba menghayati
agamanya secara murni yaitu mengamalkan sesuai dengan ajaran agamanya,
biasanya tidak memberi ruang bagi amalan yang berbau takhayul atau
sejenisnya. Kelompok kedua, mereka yang melaksanakan agamanya atau
bercampur dengan keyakinan-keyakinan Jawa atau agama lain. Kelompok
ketiga, yaitu orang-orang Jawa yang benar-benar meyakini agama Jawa semdiri.
Inilah agama Jawa asli yang disebut agama Kebatinan atau Kejawen.
Meskipun demikian, secara yuridis-formal orang Jawa memiliki dan
mengakui keyakinan agama tertentu. Masyarakat Desa Banyubiru sebagian besar
20
Sumber berdasarkan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Desa Banyubiru Tahun
2011
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
memeluk agama Islam yakni sebesar 88,06%.21
Pemeluk Islam di Desa
Banyubiru juga “terpecah” menjadi dua, yakni Nahdhatul Ulama (NU) yang
disebut-sebut sebagai kelompok Islam yang bisa mengakomodasi agama dengan
tradisi Jawa. Sementara Muhammadiyah berjuang demi tegaknya kemurnian
Islam. Meskipun demikan, secara kuantitatif di Desa Banyubiru lebih banyak
Islam “campuran” yang masih memberikan ruang pada tradisi Jawa, bahkan
menjadikan sesuatu yang cukup penting, terlihat adanya tradisi slametan, bersih
desa, dan tradisi-tradisi Jawa lainnya.22
Penduduk Desa Banyubiru yang memeluk agama Katholik 8,36%23
cenderung lebih bisa mengakomodasi tradisi Jawa. Keterbukaan tersebut terlihat
dari berbagai kegiatan yang dilakukan berkaitan dengan tradisi Jawa, yaitu
adanya ibadah dalam upacara pernikahan baik prosesi sebelum pernikahan
ataupun saat pernikahan. Seperti pada malam midodareni24
, biasanya diadakan
sembahyangan atau doa bersama yang dipimpin oleh pemuka agama atau
prodiakon.
Agama Kristen di Desa Banyubiru sebesar 3,46%25
terbagi kedalam dua
kelompok, yaitu Gereja Kristen Jawa dan Gereja Betel. Desa Banyubiru yang
21
Sumber berdasarkan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Desa Banyubiru Tahun
2011 22
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Yusup soleh (Modin Dusun Kmapung Rapet Desa
Banyubiru) tanggal 5 April 2013 23
Sumber berdasarkan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Desa Banyubiru Tahun
2011
24 Midodareni adalah malam hari sebelum upacara perkawinan dilangsungkan keluarga pihak
mempelai perempuan mengadakan tirakatan semalam suntuk. 25
Sumber berdasarkan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Desa Banyubiru Tahun
2011
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
terletak tidak jauh dari Salatiga mempengaruhi perkembangan umat atau jemaat.
Salatiga merepukan salah satu tanah misi Kristenisasi yang sering disebut
dengan Salatiga zending.
Menjadi persoalan, munculnya titik perbedaan antara ajaran Kristen
dengan tradisi Jawa. Pemaknaan yang berbeda akan peristiwa kematian. Bagi
orang Jawa peristiwa kematian dimaknai tidak hilang begitu saja, namun ada
ritual dan tradisi-tradisi yang menyertaunya, salah satunya ziarah kubur. Bagi
Jemaat Kristen, berbagai ritual tentang kematian seperti ziarah kubur tidak perlu,
karena orang meninggal tidak butuh doa. Sehingga di sini terlihat jemaat Kristen
memiliki titik keberatan akan tradisi Jawa dalam soal ziarah kubur dan menjadi
menarik untuk diteliti bagaimana negosiasi identitas mereka.
II. Kondisi Sosial dan Budaya
1. Kehidupan Sosial Ekonomi Mayarakat Desa Banyubiru
Memayu hayuning bawana (berperilaku selaras demi keindahan dunia),
menjadi konsep atau motto hidup orang Jawa yang cukup penting. Orang Jawa
lebih merasa nyaman dengan perilaku dunia yang serba baik, kepada alam
maupun kepada sesama manusia. Memayu hayuning bawana menjadi nilai
kearifan dalam menanggapi dunia terkecil dalam lingkaran pengaruh masyarakat
(Amrih, 2008:74). Konsep hidup ini membawa warga Desa Banyubiru sebagai
orang Jawa secara komunal menghargai sesamanya.
Desa Banyubiru dalam kehidupan bermasyarakat masih sangat
menghargai sesama warga. Sebagai contoh ketika ada orang meninggal, mulai
dari perawatan jenasah dan penggalian makam dilakukan oleh warga dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
sukarela. Ibu-ibu berkumpul untuk menyiapkan makan sedangkan bapak-bapak
dan juga remaja menggali makam bersama.26
Tradisi semacam ini menuntut warga masyarakat untuk hidup secara
komunal, hidup di tengah masyarakat. Hukum sosial dalam masyarakat masih
sangat berlaku, seperti yang diungkapkan Bapak Supri Daryono berikut:
“Di sini warga takut untuk tidak hidup bersosial di tengah
masyarakat. Mereka takut kalau nanti mengalami kesusahan tidak
akan dibantu, karena warga selalu niteni atau mengingat-ingat siapa
yang tidak pernah hidup bersosial atau membantu warga lain.” 27
Hukum sosial menjadi suatu pengontrol bagi dirinya, manusia selalu
merasa diawasi ketika hidup bersosial di tengah masyarakat. Inilah menurut
Foucault menjadi panoptik, yaitu sebagai alat pendisiplinan yang memberikan
efek kepatuhan bagi kehidupan sosial masyarakat. Menurut Foucault “Panoptik
bisa berfungsi sebagai usaha menciptakan penyeragaman dalam hubungan
dengan orang di tengah kehidupan sehari-hari” (Foucault, 1995: 205). Disadari
atau tidak, dalam kehidupan sehari-hari muncul ketakutan ketika tidak bersosial
di tengah masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh Cahyo berikut28
:
“Saya takut kalau tidak ikut membuat makam, nanti kalau ada
keluarga saya yang meninggal tidak ada yang membantu yang
susah akhirnya ya saya sendiri. Lebih baik semacam ini saling
membantu, ini bagi saya sudah aturan hidup bermasyarakat.”
Aturan hidup bermasyarakat menjadi usaha pengontrolan dan
penyeragaman perilaku sosial masyarakat Desa Banyubiru. Muncul perasaan
26
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Supri Daryono (perangkat Desa Banyubiru) tanggal
16 Februari 2013 27
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Supri Daryono (perangkat Desa Banyubiru) tanggal
16 Februari 2013 28
Berdasarkan hasil wawancara dengan Cahyo (Warga Banyubiru) tanggal 15 April 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
takut ketika tidak hidup bersosial di tengah masyarakat. Selain itu kehidupan
secara komunal tampak dalam gotong royong atau kerja bakti. Dalam sebuah
pembangunan Desa, warga masyarakat bersama-sama bekerja dengan sukarela.
Begitu pula ketika salah satu warga membangun rumah. Ketika pekerjaan itu
cukup berat maka dilakukan sambatan yaitu dengan meminta bantuan pada
seluruh warga untuk melakukan pekerjaan tersebut.29
Tradisi semacam ini tidak muncul dengan sendirinya begitu saja, namun
terkonstruksikan sejak jaman leluhurnya dahulu. Sehingga ada usaha untuk tetap
melestarikan dan menjaga kehidupan sosial masyarakat tersebut. Kelanggengan
kehidupan sosial masyarakat ini juga dipengaruhi oleh mata pencaharian dan
kehidupan ekonomi mayarakat Desa Banyubiru.
Mata pencaharian dan keadaan ekonomi ini menimbulkan keinginan
untuk saling membantu sesama warga. Untuk iuran pembangunan desa
misalnya, secara nominal tidak disama ratakan tetapi disesuaikan dengan kondisi
ekonomi. Begitu pula ketika ada yang perlu dibantu secara ekonomi warga akan
bersama-sama suka rela membantu.30
Secara Ekonomi masyarakat di desa Banyubiru masih banyak yang
berkekurangan. Masih banyak warga yang menerima bantuan dari pemerintah.
Berikut data keluarga yang menerima bantuan social dari pemerintah31
:
a. Penerima Raskin : 543 KK32
29
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Supri Daryono (perangkat Desa Banyubiru) tanggal
16 Februari 2013 30
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Supri Daryono (perangkat Desa Banyubiru) tanggal
16 Februari 2013 31
Berdasarkan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Desa Banyubiru Tahun 2011
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
b. Penerima Jamkesma data tahun 2011 : 944 orang
c. Penerima Program Keluarga Harapan : 30 orang
Memayu hayuning bawana (berperilaku selaras demi keselamatan dunia)
sebagai nilai kearifan lokal membawa warga Desa Banyubiru untuk meciptakan
kesejahteraan bagi sesamanya. Saling membantu baik secara sosial maupun
ekonomi menjadi kewajiban bagi dirinya. Hukum sosial seperti pengucilan
menjadi alat kekuasaan yang produktif, bagi pihak yang merasa diuntungkan,
baik itu instansi maupun pribadi.
2. Tradisi Sedekah Bumi di Desa Banyubiru
Desa Banyubiru merupakan daerah agraris, sehingga masih memiliki
ketergantungan alam yang cukup besar. Sebagai ungkapan syukur atas alam
sekitar yang telah memberikan kesinambungan terhadap kehidupan masyarakat,
mereka mengungkapkannya melalui sebuah tradisi bersih desa. Bersih desa
biasanya juga disebut merti desa, artinya memelihara desa secara batiniah dan
lahiriah. Secara batiniah, menjalankan ritual mistik, baik berupa slametan
maupun pertunjukan seni. Secara lahiriah, mereka juga membersihkan makam
dan tempat-tempat khusus yang dianggrap sakral. Tempat-tempat tersebut
dianggap sebagai warisan leluhur yang harus dilestarikan. Tempat yang sakral
itu dianggap memiliki tuah dan daya tertentu, karenanya harus diberi sesaji pada
saat bersih desa. Tradisi semacam ini dikatakan sebagai wujud pengorbanan
anak cucu kepada para leluhur yang telah sumare (meninggal).
32
Kepala Keluarga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
Banyubiru mengadakan tradisi bersih desa tersebut dengan istilah
Sedekah Bumi Perdikan Banyubiru. Tradisi ini menjadi hajatan besar Desa
Banyubiru. Hajatan dilakukan secara kolektif, dengan biaya ditanggung
bersama. Kegiatan dilakukan oleh seluruh warga desa, tua-muda, pria-wanita,
bersama pamong dan sesepuh desa. Kegiatan bersih desa ini dilakukan dengan
sasaran fisik maupun spiritual, secara fisik bersih-bersih desa, secara spiritual
slametan, wayangan, dan juga ziarah kubur sebagai ungkapan penghormatan
pada leluhur mereka.
Tradisi Sedekah Bumi Perdikan Banyubiru dilakukan masyarakat di
Desa Banyubiru belum lama. Namun, sebelumnya setiap Dusun di Desa
Banyubiru melakukan tradisi bersih desa tersebut dengan istilah masing-masing,
mulai dari nyadaran, merti dusun, ataupun sedekah dusun. Dalam tradisi
tersebut masyarakat berkumpul bersama, mereka membersihkan sendang atau
mata air dan juga membersihkan lingkungan mereka. Hal ini diharapkan sebagai
pralambang bahwa warga masyarakat ingin membersihkan kehidupan fisik dan
juga batinnya. Puncaknya adalah Selametan.33
Dusun Kampung Rapet sebagai bagian dari desa Banyubiru rutin
melakukan tradisi tersebut secara turun menurun. Selametan dilakukan dengan
menggunakan tumpeng nasi kuning sebagai ungkapan syukur dan juga tumpeng
putih sebagai permohonan. Selain kedua sarana tadi ada berbagai sarana lain,
seperti ingkung, nasi gudangan, air kopi dan air putih. Semua sarana ini sebagai
33
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Supri Daryono (perangkat Desa Banyubiru) tanggal
16 Februari 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
simbol, karena manusia membutuhkan perantara untuk mengekspresikan sesuatu
yang melampui dirinya. Erwin Goodenough dalam telaah panjang lebar, Jewish
Symbols in Graeco-Roman Period, mendefinisikan simbol sebagai barang atau
pola yang apapun sebabnya bekerja pada manusia, dan berpengaruh pada
manusia, melampui pengakuan semata-mata tentang apa yang disajikan secara
harafiah dalam bentuk yang diberikan (Dillistone, 2002 : 19).
Berbagai sarana dalam ritual tersebut hadir sebagai usaha untuk
menggerakan cara berpikir dan juga perilaku warga masyarakat. Selain itu dari
ritual yang memuat sesaji yang dilaksanakan bersamaan (serentak) berarti ada
keyakinan akan makna dan fungsi tertentu bagi keselamatan hidupnya.
Makna dan fungsi tersebut hadir dengan ungkapan yang berbeda, antara
lain kegiatan bersih desa untuk mendekatkan diri dengan Tuhan, meningkatkan
kecintaan masyarakat kepada daerahnya, mempererat persauadaraan antar warga
desa, wujud hormat dan terimakasih pada leluhur mereka.
Masyarakat Desa Banyubiru merasa takut jika tidak menjalankan tradisi
bersih desa, berharap agar mendapat keselamatan. Fenomena gagal panen yang
pernah terjadi di Banyubiru membuat masyarakat semakin menghayati perlu
tidaknya melakukan bersih desa. Mulai tahun 2000 sampai sekarang, Desa
Banyubiru sering gagal panen karena hama tikus, bahkan di tahun 2011
mengalami gagal panen yang luar biasa, hampir 90% sawah di Desa Banyubiru
tidak panen.34
34
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Sri Anggoro (Kepala Desa Banyubiru) tanggal 2 Maret
2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
Kegagalan ini dikaitkan oleh masyarakat karena tidak lagi melakukan
tradisi bersih desa di tingkat Desa Banyubiru. Seperti yang diungkapkan oleh
Bapak Hartanto berikut :
“Bersih desa tidak hanya wayangan dan berdoa, tetapi ada unsur
bersyukur atas apa yang diberikan Tuhan, baik itu tanah, udara,
maupun air. Maka bagi saya kegagalan panen yang luar biasa yang
terjadi di Banyubiru karena di desa sudah tidak lagi ada merti desa,
tidak ada rasa syukur yang diwujud nyatakan dan penghormatan
pada leluhur kita, jadi ya jangan kaget kalau bumi juga tidak
memberikan sesuatu yang baik kepada kita.” 35
Fenomena ini mengantar masyarakat Desa Banyubiru dibawah
kepemimpinan Kepala Desa Bapak Sri Anggoro Siswaji untuk kembali
mengadakan tradisi bersih desa. Mereka memiliki harapan selain untuk
ungkapan syukur dan keselamatan hidupnya, ada harapan kehidupan sosial
masyarakat antar dusun di Desa Banyubiru semakin guyub rukun, sehingga
dengan tradisi bersih desa masyarakat semakin menyadari bahwa manusia hidup
diantara alam dan sesama manusia.36
Konflik antar dusun tidak terjadi lagi,
seperti yang terjadi pada waktu pemilihan Kepala Desa Banyubiru tahun 1999.
Pemicu konflik yang berakibat pada perkelahian tersebut adalah ketidakpuasan
warga Dusun Demakan yang tidak menerima kekalahan calon Kepala Desa dari
daerahnya.
Kegiatan bersih desa dilakukan oleh banyak desa di Jawa, dengan cara
dan nama yang tidak selalu sama. Ada yang menyebutnya sedekah desa, karena
di dalam acara tersebut diadakan sedekah massal. Ada pula yang menyebut
35
Berdasarkan hasil wawancara Bapak FX. Hartanto (ketua Panitia Sedekah Bumi 2012 & 2013)
tanggal 27 Februari 2013 36
idem
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
rasulan, karena dalam kendurinya disajikan selamatan rasulan (nasi gurih dan
lauk ingkung ayam). Ada lagi yang menyebutnya memetri desa, karena dalam
kegiatannya dilakukan pembenahan dan pemeliharaan desa, baik mengenai
semangat maupun acara kegiatannya. Dari sekian ragam istilah bersih desa,
esensinya merupakan fenomena untuk mencari keselamatan hidup.
Waktu penyelenggaraan bersih desa pun bisa berbeda-beda. Perbedaan
ini didasarkan atas pemaknaan konsep ruang dan waktu. Hal ini dapat dipahami,
namun satu-satunya kesamaan dalam bersih desa adalah waktu pelaksanaanya
satu tahun sekali, biasanya sesudah musim panen. Sedangkan bulan, hari
tanggal, dan cara pelaksanaannya tidak selalu sama antara satu desa dengan desa
lainnya. Setiap desa tentu memiliki waktu pilihan, kegiatan pilihan, sesuai
dengan kegiatan setempat, misalnya bersih desa dijatuhkan pada hari dimulainya
pemukiman di desa tersebut, atau dilaksanakan pada hari lahir atau
meninggalnya cikal bakal desa.
Masyarakat Banyubiru sendiri melakukan sedekah bumi setahun sekali.
Pemilihan istilah sedekah bumi perdikan Banyubiru memiliki harapan bahwa
masyarakat lebih mudah memaknai rasa syukur atas bumi tempat mereka
tinggal. Sedekah bumi juga sebagai wujud hormat dan penghargaan bagi leluhur
di Banyubiru seperti mbah Joyoproyo maupun Suro Dipoyono.37
Tradisi sedekah bumi perdikan Banyubiru ini, di samping memiliki
makna spiritualitas bagi kesejahteraan masyarakat, sebenarnya secara sosial
menjadi sarana solidaritas. Sebelum puncak acara wayang kulit ada berbagai
37
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Sri Anggoro (Kepala Desa Banyubiru) tanggal 2 Maret
2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
macam kegiatan, mulai dari gotong royong membersihkan lingkungan tempat
tinggal masing-masing hingga jalan sehat massal.
Rangkaian Sedekah Bumi diawali dengan kegiatan gropyokan tikus,
dimana warga bersama-sama berburu tikus di sawah, karena telah menjadi hama.
Banyaknya tikus membuat para petani di Banyubiru merugi, sehingga dengan
berbagai cara warga menangkap tikus bersama-sama pada hari dan jam yang
ditentukan.
Kegiatan berikutnya adalah ziarah kubur massal. Seluruh warga, tanpa
memandang keyakinan agama tertentu bersama-sama berziarah kubur di makam
leluhur mereka masing-masing. Pemakaman yang biasa menjadi tempat
berziarah adalah pemakaman silanceng yang berada di Desa Banyubiru. Setelah
berziarah pada leluhur mereka masing-masing, warga masyarakat berkumpul di
makam pepunden Kyai Joyoproyo. Di tempat itu mereka mengadakan
selamatan, yaitu berdoa bersama.
Ziarah kubur merupakan cara pandang beberapa masyarakat di Desa
Banyubiru sebagai wujud bakti dan hormat pada leluhur mereka, seperti yang
diungkapkan oleh Bapak Martoyo berikut:
“Nyekar (ziarah kubur) itu menandakan kalau yang dimakamkan
ada yang ngopeni (merawat), karena orang tua saya sudah
meninggal saya mendoakan didepan makam tersebut, njaloke
ngapuro tinebihno seko siksa neraka dicaketke karo Gusti Allah
(memintakan maaf atas dosa dan dijauhkan dari neraka, didekatkan
pada Gusti Allah). Dan pasti nanti leluhur kita akan juga
mendoakan dan melindungi kita yang masih hidup” 38
38
Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak Martoyo (Juru Kunci Makam Kyai Joyoproyo)
tanggal 15 Februari 2014
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
Ziarah kubur menjadi cara pandang yang kuat bagi masyarakat Jawa
seperti di Desa Banyubiru. Dengan ziarah kubur ini masyarakat memiliki
keyakinan, arwah tersebut memang pantas dimintai berkah agar membantu anak
cucu. Roh leluhur dianggap yang menjadi penjaga bagi kehidupannya.
Kegiatan lain selain ziarah kubur adalah, jalan sehat. Sasaran kegiatan
tersebut adalah seluruh warga yang menggunakan bumi Banyubiru. Berbagai
tujuan diharapkan dari kegiatan tersebut, yaitu selain menjadi hiburan bagi
masyarakat juga menjadi sarana pemersatu.
Puncak Sedekah Bumi ini adalah pertunjukan wayang kulit. Sebagai
bentuk simbolis, kehadiran wayang kulit dalam tradisi Sedekah Bumi
mengandung suatu maksud di balik bentuk atau wujudnya, yaitu ekspresi
penghormatan kepada Tuhan maupun leluhurnya. Wayang Kulit sebagai simbol
kehidupan mengandung nilai-nilai yang berharga bagi masyarakat. Dalam hal
ini, sikap dan tindakan pada dasarnya mencermikan perilaku bijaksana.
Kebijaksanaan hidup manusia yang dimaksud merupakan cara ataupun sarana
untuk menciptakan kehidupan yang selaras dan harmonis, sehingga tercipta
kesejahteraan hidup. Dalam hal ini wayang kulit secara simbolis memberi
konstribusi pada pembentukan sikap hidup manusia dalam upaya mencapai
kehidupan yang selaras dengan lingkungannya.
Wayang kulit menjadi berarti dan memiliki makna yang lebih ketika
menjadi satu kesatuan yaitu di dalam suatu pertunjukan atau pementasan.
Pertunjukan di sini ketika wayang diberi suara, iringan (gamelan), cerita, dan
faktor lainnya seperti rasa, peristiwa, dan juga karakter yang dipertunjukan oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
dalang (Mrázek, 2005:16). Penikmat wayang selalu terhanyut ke dalam sebuah
rangkaian kesatuan pertunjukan wayang kulit. Bagi mereka, wayang kulit
membawa hiburan yang memiliki nilai seni tinggi. Seperti apa yang
diungkapkan oleh Bapak Agung berikut:39
“Saya itu kalau melihat wayang, tidak tahu kenapa bisa merasa
nyaman, ayem tentrem, ning ati iso adem (dihati merasa dingin).
Bagi saya menonton wayang tidak hanya sekedar nonton seperti
nonton dangdut, tetapi lebih dari itu dibutuhkan hati dan pikiran
untuk merasakan dan memahami pertunjukan wayang tersebut”
Hal tersebut senada dengan Amir (1991:77) yang mengatakan bahwa
wayang sebagai teater memberikan santapan-santapan yang bersifat psikologis,
intelektual, religius, filosofis, estetis, dan etis. Suatu pertunjukan wayang adalah
suatu package deal yang lengkap dari seluruh aspek-aspek itu. Wayang
memberikan hiburan yang sehat bagi para penonton. Unsur-unsur tragedi,
komedi, dan tragikomedi ada dalam wayang.
Meskipun asal usul wayang sendiri, belum dapat ditentukan dengan
pasti, namun penulis-penulis Indonesia cenderung mengikuti teori Hazeau yang
mengatakan wayang berasal dari suatu upacara keagamaan untuk memuja
arwah nenek moyang yang disebut Hyang. Selain itu, Kats (1923:37-38 dalam
Amir 1991:28) juga mempunyai teori yang menyerupai teori Hazeu, Kats
mengatakan bahwa wayang merupakan suatu kebudayaan yang amat tua,
wayang memiliki hubungan erat dengan praktik keagamaan, wayang juga
digunakan dalam upacara-upacara tertentu yang erat hubungannya dengan
39
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agung (penikmat wayang kulit) tanggal 10 April
2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
penyembahan terhadap nenek moyang. Pemahaman ini mengantar pada sebuah
pertunjukan wayang kulit sebagai tradisi bersih desa diberbagai tempat.
Pertunjukan wayang kulit dalam puncak sedekah bumi perdikan di
Desa Banyubiru merupakan representasi simbolik dari kesadaran atau
ketaksadaran warga. Berbagai harapan dan mimpi tentang keselamatan dan
juga kesejahteraan hidup dalam kaitannya hasil panen, mereka lukiskan melalui
pertunjukan. Seperti apa yang diungkapkan oleh Bapak Hartanto berikut:
“Bagi saya kalau merti desa tapi tidak wayangan belum sempurna,
karena tidak ada puncak harapan akan doa-doa selama ini. Wayang
kulit tidak hanya sekedar tontonan tetapi juga tuntunan. Dengan
wayangan bisa merubah cara pandang atau cara pikir, merubah
rasa, dan juga bagaimana menghargai leluhur kita. Menghargai
wayang kulit berarti juga mengahargai dan menghormati leluhur
atau nenek moyang kita”40
Ketika pertunjukan wayang kulit dijadikan sebuah harapan dan panutan
dalam kehidupan manusia, maka setiap lakon juga sangat memiliki peran
penting. Tema-tema pokok dalam lakon wayang itu menggariskan masalah-
masalah utama yang dihadapi manusia. Tema bahwa manusia dilahirkan dengan
kodrat kebinatangan dan kemalaikatan menggariskan masalah utama manusia
sebagai makhluk pribadi. Sebagai pribadi masalah yang paling utama adalah
bagaiamana menyempurnakan hidup pribadinya, sehingga dengan demikian bisa
menguasai fitrah kebinatangannya dan mengembangkan kodrat
kemalaikatannya. Sedangkan secara sosial manusia memiliki tugas
“mempercantik” negara, bangsa, dan kemanusiaan pada umumnya, yang
40
Berdasarkan hasil wawancara Bapak FX. Hartanto (ketua Panitia Sedekah Bumi 2012 & 2013)
tanggal 27 Februari 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
menurut wayang digariskan dalam ajaran memayu hayuning praja, memayu
hayuning bangsa, dan memayu hayuning bawana. Paling utama dalam ajaran
pewayangan adalah memberantas kejahatan dengan ajaran sura dira jayaningrat
lebur dening pangastuti. (Amir, 1991: 67)
Setiap lakon memiliki harapan masing-masing yang berkaitan dengan
kehidupan manusia. Hal ini sejalan dengan gagasan Redfield (Coote dan
Shelton, 1992:15-16), bahwa seni sebagai sebuah pengalaman yang diperluas.
Dengan kata lain seni memiliki makna yang tidak terbatas. Di dalamnya ada
pemaknaan yang begitu luas. Seperti dalam pertunjukan wayang kulit, untuk
bersih desa berbeda dengan untuk pertunjukan biasa. Seni pertunjukan wayang
kulit dalam bersih desa biasanya melukiskan tema spiritual yang mengarah pada
keselamatan dan anugerah rejeki.
Keselarasan manusia dengan lingkungan dirasakan oleh masyarakat
Banyubiru. Setelah pertunjukan wayang kulit dalam puncak Sedekah Bumi,
tikus yang jumlahnya begitu banyak dan menjadi hama di Sawah hilang
seketika.41
Fenomena ini menjadi cara pandang tersendiri bagi masyarakat di
Banyubiru. Tradisi Sedekah Bumi ternyata menjadi sesuatu yang penting
sebagai ungkapan syukur dan permohonan akan hasil panen dan juga kehidupan
mereka.
Pertunjukan Wayang Kulit ternyata secara sosial diyakini sebagai sarana
mempererat persaudaraan warga desa tetangga. Oleh karena tidak sedikit warga
desa lain yang berbondong-bondong, menonton, berjualan, dan bahkan ada yang
41
Berdasarkan hasil wawancara Bapak FX. Hartanto (ketua Panitia Sedekah Bumi 2012 & 2013)
tanggal 27 Februari 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
hadir untuk “berjudi Klutuhuk”, di sekitar arena pertunjukan. Tidak ada sekat
perbedaan di antara warga masyarakat, yang ada hanyalah adanya sebuah
pertunjukan bagi dirinya.42
Sesuai dengan teori Turner (1988:74-75) sebenarnya
pertunjukan ritual memiliki fungsi hiburan bagi audiensnya. Hiburan bisa hadir
dalam bentuk apapun, tidak hanya dalam pentas wayang itu saja, namun juga
hiburan lain yang hadir di situ. Bahkan ada kebutuhan interaktif antarwarga
masyarakat sebagai kebutuhan sosial dapat terpenuhi. Sedekah Bumi Perdikan
Banyubiru menjadi sebuah tradisi yang mencoba untuk terus dipertahankan,
tidak hanya berhenti sebagai hiburan dalam kebutuhan sosial, namun juga seni
spiritual sebagai manusia Jawa. Ziarah kubur ke makam pepunden atau leluhur
mereka, serta pertunjukan wayang kulit merupakan usaha warga Desa Banyubiru
untuk menunjukan atau mempertahankan identitasnya sebagai manusia Jawa.
3. Tradisi Ziarah kubur di Desa Banyubiru
Orang Jawa seperti halnya orang-orang dari kebudayaan lain
membedakan alam kehidupan sebelum dan sesudah mati secara tegas (Lehman
dan Myers, 1985: 284-287; Zoetmoelder 1991:207; Subagya 2005-87). Alam
kehidupan sebelum mati disebut alam wadag, tempat manusia dilahirkan dan
menjalani hidup hingga masa kematiannya. Sedangkan alam sesudah mati
disebut akhirat atau alam kelanggengan. Alam wadag dihuni manusia dalam
ujud fisiknya yang nyata dan dipandang sebagai dunia kasar yang penuh nafsu
dan dosa. Sementara alam kelanggengan merupakan alam halus tempat para roh
yang suci.
42
Idem
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
Bagi orang Jawa peristiwa kematian menjadi suatu peristiwa
berpindahnya alam wadag menjadi alam kelanggengan atau kekal. Karena itu
bagi orang jawa peristiwa kematian itu tidak musnah, yang musnah hanyalah
raganya namun jiwa atau sukmanya masih hidup. Ini sesuai dengan pandangan
mereka bahwa setelah meninggal tiga hari masih di dalam rumah, tujuh hari di
sekitar lingkungan, empat puluh hari sudah jalan di desanya, dan seratus hari
sudah menjauh.43
Selepas seratus hari ada ritual seribu hari atau ngentek, biasanya selain
mengadakan genduren atau selametan, keluarga yang sering disebut ahli waris
membangun nisan atau ngijing, kemudian mereka sering melakukan ziarah
kubur atau yang sering disebut tilik kubur atau nyekar. Bagi orang Jawa yang
berhak atau bisa ngijing untuk leluhurnya adalah keturunan yang sudah
mengawinkan atau pernah melakukan hajat pernikahan anaknya. Tidak ada
alasan yang logis mengapa ini bisa terjadi, namun ini didasarkan atas wacana
dan juga fenomena yang terjadi. Apabila melanggar biasanya terjadi musibah
bagi dirinya atau keluarganya, seperti apa yang diungkapkan oleh bapak FX.
Hartanto berikut44
:
“Miturut cerita mbah-mbahe dewe (menurut leluhur kita), yang
boleh ngijing atau membangun nisan untuk keluarga yang sudah
meninggal adalah yang sudah pernah menikahkan anaknya, saya
tidak tau alasannya, ini sudah menjadi cerita bahkan keyakinan
secara umum. Banyak kejadian yang terjadi ketika melanggar ini
biasane mati rejekine (hilang rejekinya), atau mungkin mati
badannya.”
43
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Joko Nur (Pelaku spiritual jawa atau kejawen) tanggal 16 Februari 2013 44
Berdasarkan hasil wawancara Bapak FX. Hartanto (ketua Panitia Sedekah Bumi 2012 & 2013)
tanggal 27 Februari 201
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
Wacana merupakan sekelompok pernyataan yang menyediakan bahasa
untuk membuat pernyataan. Wacana dilihat sebagai produksi pengetahuan
melalui bahasa, dan bahasa lebih dalam kaitannya dengan praksis sosial. Karena
praksis sosial memerlukan makna dan makna mempertajam serta mempengaruhi
apa yang kita lakukan, maka semua praktik sosial mengandung dimensi wacana
(Haryatmoko, 2010:10). Warga masyarakat di Banyubiru menjadikan cerita
tentang larangan membangun nisan bagi yang belum menikah menjadi sebuah
wacana yang hadir melalui bahasa. Wacana larangan ini menjadi praktik dalam
kehidupan Orang Jawa.
Berbagai keyakinan hadir dalam masyarakat Jawa selain membangun
nisan pada makam leluhurnya, mereka yakin dengan mengirim doa dan menabur
bunga, hidupnya senantiasa akan beroleh keselamatan. Orang yang sudah
meninggal dikenang sebagai leluhur yang memiliki Alam kelanggengan dan
memiliki status lebih tinggi dibanding alam wadag, seperti yang diungkapkan
Cahyo berikut:45
“Saya sebagai orang Jawa sudah menjadi kewajiban kalau harus
nyekar (ziarah kubur) yaitu dengan berdoa di depan makam dan
menabur bunga, apalagi ketika menghadapi kesulitan hidup, saya
pasti nyekar supaya diberi kelancaran. Tradisi ini sudah tertanam
sejak orangtua saya, untuk selalu diajarkan hormat pada leluhur.
Ada suatu keyakinan kalau kita melupakan leluhur kita (tidak
nyekar) bisa kualat atau sering sial, tetapi sebaliknya kalau kita
sering nyekar akan selalu mendapat keselamatan dan
keberuntungan”
45
Berdasarkan hasil wawancara dengan Cahyo (Warga Banyubiru) tanggal 15 April 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
Keselamatan dan keberuntungan mengacu pada usaha mengatasi
kesulitan hidup sehari-hari seperti agar lancar dalam perolehan rejeki, sukses
menempuh ujian, mendapatkan jodoh, mohon restu sebelum menikah, dan
sebagainya. Mereka menaruh hormat saat nyekar, yaitu dengan membersihkan
makam dan memanjatkan doa, bahkan ketika doa itu dalam bahasa Jawa
diucapkan dengan bahasa Jawa krama.
Tradisi ziarah kubur tidak hanya berziarah pada makam leluhur mereka
masing-masing, namun juga pada makam pepunden. Orang-orang yang
menjalankan ziarah kubur tidak hanya mendoakan leluhur mereka yang
dimakamkan disitu namun juga menyelipkan harapan bahwa kesulitan hidupnya
sehari-hari dapat terbantu oleh rahmat atau berkah pangestu yang memberi
kekuatan dan menjanjikan kesejahteraan serta keselamatan dari segalanya (
Subagyo, 2004: 146). Demikian pula yang terjadi pada orang-orang di Desa
Banyubiru. Mereka melakukan ziarah pada makam pepunden mereka yaitu Kyai
Joyoproyo, Kebo Ijo ataupun Ki Sora Dipoyono dan juga leluhur mereka
masing-masing. Seperti apa yang diungkapkan oleh Bapak Martoyo berikut46
“Orang berziarah ke Mbah Joyoproyo dari berbagai tempat, tidak
hanya warga Banyubiru saja, biasanya mereka ngoyak barokah,
sing dagang gen laris, ono sing nggayuh mulya (mencari berkah,
yang dagang supaya laku, ada yang mencari kesuksesan)”
Makam Kyai Joyoproyo atau Pangeran Tejokusuma menjadi tempat
ziarah ataupun menjadi tempat untuk tirakat bagi beberapa orang. Peziarah yang
hadir tidak hanya dari daerah Banyubiru dan sekitarnya, namun juga dari luar
46
Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak Martoyo (Juru Kunci Makam Kyai Joyoproyo)
tanggal 15 Februari 2014
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
kota misalnya Solo, Demak, Kudus, Surabaya, dll. Para Peziarah ini biasanya
bertirakat sampai dua atau tiga hari, mereka yang berziarah di tempat itu adalah
para pedagang, pengusaha, atau wiraswasta. Berziarah dimakam Kyai Joyoproyo
dilakukan karena sebagai ucapan syukur atau mohon kelancaran dalam
usahanya.47
Masyarakat di Desa Banyubiru meyakini bahwa Kyai Joyoproyo menjadi
pepunden bagi daerah mereka. Sehingga ketika merti desa, mereka berkumpul
dan melakukan selametan ditempat itu. Tidak ada perbedaan satatus sosial
mapun keyakinan pada waktu mengadakan selametan. Mereka berkumpul
bersama dalam sebuah upacara yang dipimpin oleh seorang modin. Sebagaimana
dekripsi Andrew Beatty tentang masalah slametan di Banyuwangi, Beatty
menemukan sebuah realitas yang di dalamnya terdapat berbagai latar belakang
golongan sosio-kultural dan ideologi yang berbeda. Mereka ternyata dapat
bersatu di dalam satu tradisi yang disebut selametan (Beatty, 2001: 43).
Kyai Joyoproyo diyakini menjadi lantaran bagi doa-doa mereka karena
diyakini sebagai orang yang memiliki kelebihan atau linuwih dalam hal kebaikan
selama hidupnya.48
Mereka memiliki harapan bahwa daerahnya bisa makmur
gemah ripah loh jinawi. Selain memiliki harapan-harapan warga di Desa
Banyubiru berziarah di tempat itu sebagai wujud hormat atau bakti mereka,
47
Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak Bina (Warga di sekitar makam Kyai Joyoproyo)
tanggal 14 Februari 2013 48
Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak Ki Adi Samidi (sesepuh Desa Banyubiru & Pelaku
kebatinan Jawa) tanggal 14 Februari 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
karena diyakini Kyai Joyoproyo ketika masa hidupnya banyak berjasa bagi
kehidupan sekitar.49
Wujud Hormat dan Bakti pada Kyai Joyoproyo hadir dalam cara
pandang mereka. Warga di sekitar Makam Kyai Joyoproyo tidak berani untuk
membangun rumah susun atau bertingkat. Mereka meyakini akan mendapatkan
musibah atau bahkan pagebluk.50
Cara pandang ini semakin nyata bagi mereka,
ketika ada orang yang membangun rumah susun seketika terjadi malapetaka
yaitu usahanya bangkrut dan juga terkena musibah kecelakaan hingga meninggal
dunia. Selain itu ada peristiwa lain ketika membangun rumah susun menderita
lumpuh dan juga warga sekitar mengalami gagal panen.51
Sulit membuktikan
apakah kejadian ini akibat dari rumah susun yang di bangun di sekitar makam
Kyai Joyoproyo, namun ini semakin menguatkan cara pandang warga
masyarakat sekitar. Sehingga sampai saat ini tidak dijumpai rumah susun di
sekitar makam Kyai Joyoproyo. Rumah susun dianggap tidak menghormati
karena posisinya lebih tinggi.
Selain makam Kyai Joyoproyo, makam pepunden yang ada di Banyubiru
adalah makam Suro Dipoyono. Namun yang berziarah dimakam ini tidak begitu
ramai karena hanya beberapa orang saja yang meyakini keberadaan makam
49
Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak Martoyo (Juru Kunci Makam Kyai Joyoproyo)
tanggal 15 Februari 2014 50
Pagebluk adalah bencana (disaster) dalam skala luas dan serius, tingkatan terberat yang
dikenal masyarakat desa. Pagebluk bisa menjungkirkan suatu peradaban ke titik nol. 51
Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak Martoyo (Juru Kunci Makam Kyai Joyoproyo)
tanggal 15 Februari 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
tersebut. Beberapa orang meyakini bahwa makam Surodipoyono berada di
gumuk Bolodewo.52
Para pelaku spiritualitas Jawa atau kejawen di sekitar Banyubiru
meyakini bahwa selain dua makam tersebut ada makam pepunden lain yaitu
Kebo Ijo. Mereka meyakini bahwa Kebo Ijo adalah Kebo Kenanga, yaitu
pangeran Hadayaningrat seorang adipati pengging atau ayah dari Jaka Tingkir.53
Berdasarkan catatan sejarah Kebo Kenanga adalah penganut agama Hindu. Ada
benarnya jika makam itu adalah makam Kebo Kenanga karena makam yang ada
di situ bercorak Hindu.
Masyarakat yang bertirakat atau berziarah di situ tidak banyak, karena
tempatnya yang berada di dataran tinggi sehingga untuk menjangkau tempat itu
harus berjalan kaki. Tidak mengherankan jika yang berziarah di situ adalah
mereka yang memiliki niat untuk laku prihatin secara sungguh-sungguh. Seperti
yang diungkapkan oleh Bapak Supridaryono berikut54
:
“Yang saya rasakan pada waktu berziarah di Kebo Ijo secara
batinah lebih tentrem. Biasanya yang ke sana tergantung dari
tingkatan yang berziarah. Pada tataran awal memekakan rasa
batiniah, tataran selanjutnya ada yang mempunyai keyakinan
mengambil pusaka, mereka memiliki harapan yang berbeda-beda.”
Orang Jawa nyekar atau berziarah kubur tentu memiliki harapan-harapan
tersendiri pada orang yang dimakamkan atau sumare dimakam tersebut. Harapan
tersbut tentu berbeda, tergantung pada siapa yang dimakamkan disitu.
52
Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak Ki Adi Samidi (sesepuh Desa Banyubiru & Pelaku
kebatinan Jawa) tanggal 20 Februari 2013 53
Idem 54
Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak Supri Daryono (Pamong Desa Banyubiru) tanggal 15 Februari 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
Masyarakat Banyubiru juga meyakini hal tersebut, seperti yang diungkapkan
oleh Bapak Supridaryono berikut55
:
“Kalau ingin usaha dagang atau rejeki lancar ya nyekar di makam
Mbah Joyoproyo, kalau ingin drajat pangkat (kedudukan jabatan)
ya ke makam Kebo Ijo. Tapi kalu ingin keselamatan hidup menurut
saya ya kemakam leluhur kita masing-masing”
Selain harapan-harapan tersebut, ziarah kubur bagi orang Jawa
mengingatkan akan peristiwa kematian itu sendiri, dengan kata lain selalu ingat
dengan sang maha kuasa atau Eling Sangkan Paraning Dumadi.56
Secara
harafiah Eling Sangkan Paraning Dumadi bisa diartikan untuk ingat terhadap
sesuatu yang menyebabkan semua ini terjadi, sebuah kearifan bagi manusia
untuk selalu ingat Tuhan, sang pencipta manusia ini. Kearifan ini juga membawa
pada logika berpikir bahwa semua hal berawal dari Tuhan dan semua juga akan
berakhir kepada Tuhan. (Amrih, 2008: 50) Dalam filosofi permenungan
kejawen, manusia Jawa tidak pernah melupakan leluhurnya. Sehingga setiap
doa biasanya mengucapkan dumateng Gusti Ingkang Murbehing Dumadi
nyuwun berkah pangestu lantaran kemudian menyebut leluhur orang yang
berdoa atau didoakan.
Dalam tradisi ziarah kubur, orang Jawa melakukan beberapa ritual. Mulai
dari menabur bunga, membakar kemenyan, dan juga memberikan air. Bunga
yang ditabur saat berziarah kubur bagi orang Jawa dimaknai sebagai lambang
sesuatu yang baik. Sehingga bunga yang digunakan adalah bunga yang beraroma
55
idem 56
Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak Ki Adi Samidi (sesepuh Desa Banyubiru & Pelaku kebatinan Jawa) tanggal 14 Februari 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
harum seperti mawar, kenanga, kantil, dll. Hal ini merupakan simbol bahwa
mereka menghormati orang yang dimakamkan di situ.57
Batas-batas sosial rupanya dihadirkan pula di suatu pemakaman. Hal itu
terlihat dari berbagai tanda kubur yang ada di pemakaman Banyubiru. Perbedaan
nisan tidak hanya menunjukan perbedaan agama, seperti Islam menggunakan
maejan, sedangkan Katolik dan Kristen ditandai dengan salib. Namun lebih dari
itu, muncul pembedaan dari segi bahan untuk membuatnya. Ada yang terbuat
dari kayu, porselin, semen, dan bahkan ada yang terbuat dari marmer.
Pembedaan ini berdasarkan dari status sosial ekonomi semasa hidupnya,
seperti yang diungkapkan juru kunci pemakaman umum di Banyubiru berikut58
“Bentuk makam itu berdasarkan sugih lan orane uwong kuwi (kaya
dan tidaknya orang itu). Nek sing sugih kuburane terbuat dari
keramik atau marmer, tapi nek uwong ora duwe (tidak punya) ya
hanya diberi maejan (nisan) biasa dari kayu. Bahkan kalau orang
itu terpandang, biasanya dibuatkan cungkup yaitu bangunan yang
ada atapnnya, kalau disini ya seperti makamnya Kyai Bachrodin.”
Kuburan-kuburan yang terawat cenderung bertahan lebih lama.
Masyarakat tidak berani menggusur kuburan tersebut karena dirasa masih ada
ahli waris yang melakukan penghormatan terhadap orang yang dimakamkan di
situ, apalagi pemakaman yang ada cungkupnya seperti yang diungkapkan oleh
juru kunci makam tersebut.
Berbeda dengan kuburan yang sudah tidak terawat, masyarakat melihat
bahwa kuburan ini sudah tidak pernah dikunjungi oleh keluarganya atau bahkan
57
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Joko Nur (Pelaku spiritual jawa atau kejawen) tanggal 16 Februari 2013 58
Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak Martoyo (Juru Kunci Makam Kyai Joyoproyo)
tanggal 15 Februari 2014
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
sudah terlupakan. Kuburan yang tidak terawat biasanya digantikan dengan
kuburan yang baru, karena luas pemakaman tidak bertambah namun jumlah
yang dimakamkan semakin bertambah. Hal ini memperlihatkan bahwa
implementasi ziarah kubur tidak hanya berhubungan dengan arwah leluhur atau
pepunden, namun juga secara sosial.
Masyarakat Banyubiru memandang bahwa dirinya sebagai orang Jawa
memiliki kewajiban melakukan penghormatan pada leluhur, tidak hanya ketika
masih hidup tetapi juga ketika sudah meninggal. Maka, ketika ada ahli waris
yang tidak merawat makam leluhurnya atau saudaranya yang sudah meninggal
dia dianggap bukanlah orang Jawa, seperti yang diungkapkan oleh Bapak Cahyo
berikut59
“Kalau ada orang yang tidak pernah merawat kuburan leluhur atau
saudaranya, baik itu bersih-bersih makam ataupun mendoakan
berarti dia bukan orang Jawa. Bagi saya orang Jawa itu mempunyai
keyakinan bahwa orang meninggal yang meninggal hanya raganya
sedangkan sukmanya masih ada, maka ya tetap perlu dihormati
dengan cara mendoakan dan juga bersih-bersih makamnya.”
Identitas Kejawaan tergambar dalam tradisi ziarah kubur atau nyekar,
bahkan muncul pembedaan antara yang Jawa dan juga “orang Jawa kehilangan
Kejawaannya” ketika tidak berziarah kubur. Ketika lebih mendalam mengetahui
bagaimana pemahaman ini terbentuk, mereka mengungkapkan pengetahuan ini
berdasar atas keyakinan nenek moyang mereka, seperti yang diungkapkan oleh
Bapak Cahyo berikut :
“Pemahaman tentang kematian dan juga nyekar tersebut saya dapat
ya dari mbah-mbahku mbiyen (Nenek moyangku), Masalah
59
Berdasarkan hasil wawancara dengan Cahyo (Warga Banyubiru) tanggal 15 April 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
kebenarannya ya saya yakin, karena semuanya ke arah yang lebih
baik. Bagi saya ya seperti itulah orang Jawa memandang sebuah
misteri kematian, yaitu seperti tadi tidak musnah setelah mati jadi
kita masih perlu menghormati, kalau orang sudah tidak nyekar
berarti uwong jawa sing ilang jawane (orang Jawa yang hilang
Jawanya).”60
Pemahaman tentang misteri kematian dan tradisi ziarah kubur menjadi
sebuah pengetahuan akan kebenaran yang dibentuk melalui wacana. Menurut
Foucault “wacana merupakan kekuasaan dan pengetahuan yang bergabung
bersama” (Foucault, 1978:100 ). Dalam hal ini pemaknaan dan pengetahuan
berkaitan dengan berbagai simbol, mulai dari nyekar atau ziarah kubur, sedekah
bumi, selametan, dan juga pertunjukan wayang kulit tidak bisa dilepaskan dari
kekuasaan yang mengelilinginya yaitu cerita leluhur atau nenek moyang mereka.
Identitas Kejawaan terbentuk dari konstruksi wacana dalam masyarakat.
Kehidupan sosial dalam masyarakat tidak bisa dilepaskan oleh sebuah
wacana. Wacana tentang berbagai macam pemaknaan misteri kematian dan
berbagai tradisi yang menyertainya. Wacana dilihat sebagai produksi
pengetahuan melalui bahasa, dan bahasa lebih dalam kaitannya dengan praksis
sosial. Karena praksis sosial memerlukan makna dan makna mempertajam serta
mempengaruhi apa yang kita lakukan, maka semua praktik sosial mengandung
dimensi wacana (Haryatmoko, 2010:10).
Kekuasaan yang ada di sekitar masyarakat Desa Banyubiru, baik itu
leluhur, cerita-cerita, dan juga tradisi mengantar pada pembentukan identitas
Kejawaan. Muncul rasa bangga akan identitasnya yang menumbuhkan suatu
60
Berdasarkan hasil wawancara dengan Cahyo (Warga Banyubiru) tanggal 15 April 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
kekuatan, pemicu pembangunan suatu komunitas, meneguhkan atau sebaliknya
mencerai beraikan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
BAB III
KEKRISTENAN DI JAWA:
WACANA AJARAN KRISTEN SEBAGAI KEKUATAN
AGAMA DALAM MEMBENTUK IDENTITAS
Ada tiga jalan menuju ke
kepercayaan akan Tuhan: akal,
kebiasaan, dan wahyu.
(Blaise Pascal)61
Pada bab sebelumnya telah diperlihatkan bagaimana identitas Kejawaan
terbentuk dalam sebuah masyarakat. Wilayah Banyubiru sebagai masyarakat Jawa
masih meletakkan tradisi Jawa (ziarah kubur), sedekah bumi perdikan, dan
pertunjukan wayang kulit sebagai suatu kebenaran yang terkonstruksi secara turun
menurun. Keyakinan akan tradisi jawa (tradisi ziarah kubur) berdampak pada cara
hidup mayarakat, baik secara pribadi mapun komunal. Bab ini lebih menjelaskan
tentang Kekristenan di Jawa: Bagaimana Kristen hadir sebagai kekuatan dalam
membentuk identitas. Muncul berbagai “kekuasaan” yang menyelimuti setiap
pengikutnya. Kekuasaan yang tidak hanya bersifat konkret: raja dan rakyat atau
pendeta dan jemaat, namun lebih kekuasaan yang produktif, baik berupa
pengetahuan atau praktik-praktik lain. Kekuasaan ini memunculkan tarik ulur
akan identitasnya sebagai manusia Kristen atau Jawa.
Bagian pertama akan menjelaskan sejarah Kristenisasi di Jawa, bagaimana
proses muncul atau hadirnya ajaran Kristen yang tidak bisa dilepaskan dari
61 Hardjana, Agus M. 2005. Religiositas, Agama, dan Spiritualitas. Yogyakarta: Kanisius, hlm 47
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
kolonialisme, dan juga perkembangannya hingga terbentuk Gereja Kristen Jawa di
Jawa Tengah hingga merambah di Salatiga dan juga Desa Banyubiru. Pada bagian
ini akan terlihat bagaimana proses perkembangan ajaran dan jumlah jemaat
Kristen menjadi sebuah fenomena perkembangan agama. Muncul dinamika
pertarungan wacana yang mengantar pada pembentukan identitas biner, antara
Kristen Jawa dengan Kristen “landa”. Sejarah menjadi hal penting, karena dari
awal terlihat bagaimana terjadi perbedaan atau pertentangan antara Jawa dan
Kristen. Ini mempengaruhi pola pembentukan identitas Kekristenan saat ini, tidak
terkecuali GKJ di Banyubiru. Perbedaan cara pandang ini mempengaruhi
perpecahan di dalam jemaat GKJ Banyubiru sendiri. Mereka mempertahankan
kebenarannya masing-masing, sehingga beberapa jemaat memutuskan untuk
pindah dari GKJ Banyubiru ke GKJ Ngampin Ambarawa, dalam berbagai
kegiatan seperti pendalaman Alkitab maupun ibadat mingguan.
Bagian kedua menjelaskan tentang pengaruh dan proses pembentukan
identitas Kristen Jawa: bagaimana hadirnya Gereja Kristen Jawa di Banyubiru
tidak ada unsur kekerasan dan pemaksaan. Ajaran Kristen Jawa hadir melalui
peran para penyebar ajaran, cara penyebaran, dan juga keadaan umat yang ada.
Sehingga nanti dapat dilihat bagaimana Kekristenan menjadi cara pandang, baik
peran Gereja Kristen dalam pembentukan diri maupun pemahaman diri sebagai
orang Kristen Jawa dalam memandang segala hal baik di dalam diri maupun di
luar dirinya. Semuanya menjadi kekuatan sebuah agama dalam mengatur,
memberikan kepatuhan, atau menyeragamkan perilaku dan cara pikir seseorang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
Bagaimana agama menjadi mekanisme yang produktif dalam membentuk
pengetahuan dan kepatuhan bagi para pengikutnya.
I. Munculnya Gereja Kristen Jawa
1. Sejarah Kristenisasi di Jawa : Berawal dari kolonialisme
Awal munculnya ajaran Kristen di Nusantara tidak bisa dilepaskan
dari kolonialisme. Usaha Kristenisasi dilakukan oleh orang Portugis, terutama
di daerah Maluku pada abad XVI. Pada abad XVII, saat Belanda berhasil
menghalau Portugis dari wilayah tersebut, maka mengembangkan Calvinisme
di antara orang-orang Maluku yang ketika itu sudah beragama Katolik.
Banyak orang Maluku yang bergama Kristen supaya tercatat, mereka
menjadi serdadu yang diperbantukan pada pasukan Belanda. Mereka dikirim
ke kawasan militer Belanda yang utama, seperti Batavia, Semarang, dan
Surabaya. Berarti merekalah yang pertama-tama membentuk jemaah Kristen
pribumi di Pulau Jawa. Akhir abad XVIII, jumlah mereka mencapai 5000
jiwa, walaupun menurut laporan para misionaris hanya 8 % yang mengikuti
kebaktian di Gereja-gereja (Müller-Krüger, 1959; Guillot, 1985: 4)
Meskipun hasilnya minim, tidak dapat dikatakan bahwa tidak ada
kegiatan dalam bidang agama pada zaman VOC. Selama berkuasa dua ratus
tahun di Nusantara, Belanda telah mengirim 245 pendeta ke Hindia Belanda,
terutama ke daerah bekas koloni Portugis dan Spanyol di Maluku, Minahasa,
dan lain-lain. Dari Jumlah yang cukup berarti ini, beberapa orang
ditempatkan di Jawa pada kota-kota yang didiami orang-orang Eropa, seperti
Batavia, Semarang, dan Surabaya. Tugas mereka pertama-tama melayani
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
orang-orang Eropa di samping orang-orang pribumi yang masuk Kristen.
Minimnya hasil Kristenisasi di jawa dapat diterangkan dengan berbagai
alasan. Berbeda dengan Portugis yang mencantumkan propaganda agama
sebagai salah satu ekspansi mereka. Orang-orang Belanda terutama VOC
mempunyai tujuan yang lebih bersifat duniawi. Jawa bagi VOC bukanlah
penghasil rempah-rempah, sehingga tidak begitu penting dibanding daerah-
daerah lain. Selain itu kesulitan yang dihadapi para pendeta adalah kondisi
yang sulit dan bahkan kadang-kadang sangat buruk, tidak berdaya mengatasi
suasana ketamakan dan keinginan hidup gampang di tempat itu (Guillot,
1985:4). Meskipun demikian usaha Kristenisasi terus dilakukan dengan
mengirim misionaris baik dari Belanda ataupun asli orang Jawa. Ada banyak
misonaris yang hadir di Jawa, namun hanya beberapa tokoh yang banyak
berperan yang akan dijelaskan di bagian berikutnya.
1.1. Kristen “Jawa” dan “Landa”
Gereja Kristen Jawa berkembang pertama kali di Jawa Timur. Para
penginjil awam seperti Coenard Laurens Coolen (lahir tahun 1773), Yohanes
Emde (lahir tahun 1774), dan Kyai Ibrahim Tunggul Wulung (1885)
melakukan pekabaran Injil di Jawa Timur. Pada awal mulanya terjadi
ketegangan antara Kristen “Jawa” dan juga Kristen “Landa” (Soekotjo,
2009: 100).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
Perbedaan ini sangat dipengaruhi oleh penginjil atau misionaris yang
membawa ajaran tersebut. Pada tahun 1827 Coenraad Laurens Coolen62
adalah penginjil yang mendapat izin dari pemerintah kolonial63
untuk
membuka lahan hutan Ngoro di kawasan Wirosobo seluas 2000 bau sebagai
persil. Bersama keluarganya Coolen melakukan pekbaran Injil di daerah
tersebut dengan merubah daerah tersebut yang awalnya banyak pencuri,
perampok, penyamun, pembunuh menjadi daerah penuh ketenangan.
Coolen menyebut ajarannya sebagai Kristen “Jawa” bukan Kristen
“Landa”. Dalam ajaran ini Kekristenannya sangat kental dengan kejawaan,
tembang, wayang, dan rapal, bahkan dengan yang berbau Islam seperti dzikir.
Kekristenan tidak membuang unsur-unsur Jawa dari para pengikutnya, oleh
sebab itu sakramen yang dianggap menjadi unsur Kristen Landa tidak
diberikan kepada pengikutnya supaya jemaatnya tidak terhanyut menyamakan
diri dengan orang Belanda dan meninggalkan cara hidup kejawaannya
sendiri. Prinsipnya, sebagai orang Kristen, orang Jawa itu harus tetap Jawa.
Di daerah tersebut kebudayaan Jawa-Hindu masih banyak tersisa.
Terdapat gunung keramat, seperti Kawi dan Kelud di selatan. Peninggalan
arkeologi banyak dijumpai, karena di daerah ini terletak di dekat ibu kota
62
C. L. Coelen lahir di ungaran pada tahun 1773 dari ayah seorang Rusia dengan ibu putri
keturunan Pangeran Kajoran. C.L. Coolen berpendidikan ELS, masuk dinas militer, dan dipercaya
membuat peta Jawa. Terakhir ditugaskan dibagian artileri di Surabaya dan menikah dengan
seorang perempuan Indo, memproleh lima orang anak. Dari Surabaya ia pindah pekerjaan
sebagai Bos Opzichter (sinder blandong) di Wirosobo (Mojoagung). Di sini dia menikah lagi
dengan Sadiyah, pelayannya, dan mendapat tiga orang anak. 63
Coolen beberapa waktu bersekolah di Semarang, beberapa tahun kemudian bekerja sebagai
pelukis yang diperbantukan pada kantor pemerintahan. Kemudian Coolen masuk tentara dan
bertugas sebagai pengawas hutan di daerah terpencil. Sehingg dia perlu ijin untuk membuka
sebidang persil (Guillot,1985:31)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
bekas kerajaan Majapahit. Tidak mengherankan jika masyarakat di daerah
tersebut masih kental dengan budaya Jawa. Sebagai misionaris awal, tentu
Coolen berupaya untuk mengembangkan ajarannya dengan tetap
memasukkan ajaran sebelumnya, supaya ajaran Kristen bisa di terima.
Dari sebidang lahan perizinan tersebut tidak ditanami nila, tebu, kopi,
dan tanaman lain jenis ekspor sebagaimana dianjurkan pemerintah Belanda.
Coolen justru menanam padi seperti yang dilakukan orang Jawa. Inilah salah
satu alasan juga Coolen masuk sebagai golongan orang Jawa. Bahkan pada
paruh terakhir usianya, dia memutuskan untuk memilih suatu kebudayaan:
hidup seperti orang Jawa, di antara orang Jawa tanpa melupakan status
Belanda-nya yang merupakan pertanda kehebatannya.
Coolen menjadi kepala desa di daerah tersebut, dan terpanggil untuk
mengkristenkan orang-orang di daerahnya. Diajarkannyalah agama Kristen
dengan mengambil contoh-contoh yang terdapat dalam wayang atau legenda
setempat. Dia membangun Gereja, di sana dia memimpin kebaktian,
membaca dan menjelaskan kitab suci. Pada masyarakat kecil yang teokratis
ini, Coolen mengeluarkan larangan untuk bekerja hari minggu dan
mempunyai beberapa istri. Setiap orang beragama Krsiten atau Islam, di desa
tersebut harus mematuhi aturan. Coolen juga menghormati kebebasan
beragama. Secara pribadi dia pun mengawasi supaya kaum muslimin di desa
tersebut menjalankan kewajiban ibadat agama Islam. Coolen boleh dikatakan
dikelilingi oleh pemuka Islam dan Kristen bagaikan raja Majapahit yang di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
dampingi oleh pemuka Hindu dan Budha. Jellesma64
menggambarkan Coolen
sebagai “raja tanpa mahkota” (Guillot, 1985: 33)
Puncak dari pengarahan ini Coolen mengadakan kebaktian Minggu.
Di situ Coolen bercerita tentang Tuhan Yesus serta isi Kitab Suci, dan
mengajak berdoa bersama. Bahkan Coolen juga membuka pedebatan,
sehingga ketika tidak seorang pun mampu mengalahkan argumentasi Coolen,
maka ngelmu bab Gusti Yesus akhirnya diakui sebagai ngelmu tertinggi yang
patut mereka ikuti, meskipun masih diperbolehkan untuk melakukan tradisi
Jawa seperti wayangan, tetembangan, dan rapal (Soekotjo, 2009: 101)
Percampuan antara Kristen, Islam dan Jawa dalam rapal dan juga
tembang tampak dalam beberapa ajarannya. Salah satunya ajaran syahadat
Kristen: La ilah illa Allah, Yesus Kristus yo Roh Allah (Tiada Tuhan selain
Allah, Yesus itu Roh Allah). Teknik dakwah ini memperlihatkan bagaimana
Coolen mencoba memasukan ajaran yang sudah ada sebelumnya, baik itu
Islam maupun Jawa. Selain itu Coolen juga mengajarkan beberapa tembang,
yang di dapat dari kalimat-kalimat injil, seperti tembang berikut ini.
O, Gunung Semeru, Kau tertinggi di tanah Jawa, kepada
engkau ditujukan lagu pujaan ini.
Berkatilah hasil karya tangan kami ini. Berkatilah mata
bajak yang menggemburkan tanah yang patut disebari
benih dan menyebarlah benih. Berkatilah garu penghalus
tanah ini. Di tanah inilah Dewi Sri akan bersuka hati, dewi
padi yang memberi kami kemakmuran. Dan di atas
segalanya, kami mendambakan kasih dan kekuatan dari
Yesus yang maha kuasa.
64
Jellema adalah misionaris perintis, tugasnya boleh dikatakan memelihara dan mempertebal
akidah orang-orang Kristen daripada mengkristenkan orang. Dia menjadi misionaris di daerah
sidokare dan wiung (selatan Surabaya) dan Mojowarno.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
Tidak hanya berhenti pada tembang atau lagu saja, Coolen juga
melukis. Semua lukisannya mempunyai satu tema: Coolen membawa
kebajikan bagi orang Jawa. Salah satu lukisannya itu menggambarkan dia di
belakang bajak yang ditarik oleh dua ekor kerbau. Dia memakai topi jerami,
pantalon tetapi tanpa sepatu. Tangannya yang satu memegang ujung bajak
dan lain menunjuk kelangit. Pada kiri kanan kerbau berdiri para petani
(Guillot, 1985: 34).
Baik dalam soal persil maupun dalam masalah agama Coolen terlihat
memainkan peran ganda, sebagai orang Belanda dan orang Jawa. Cara-cara
Coolen baik berdakwah maupun mengajarkan ajaran Kristen dapat diterima
dengan baik oleh jemaatnya.
Jemaat tanpa sakramen ini akhirnya harus menghadapi kenyataan
yang lain ketika bertemu dengan kelompok jemaat Johannes Emde, mereka
harus mau menerima baptisan. Akibatnya, beberapa orang pengikut Coolen
seperti Singotaruno, Tosari, Kunto, dan Anip mencari dan mendapatkan
sakramen baptis. Kejadian ini memicu kemarahan Coolen, yang berhujung
pengusiran terhadap para pengikutnya. Pengusiran ini justru membuat ajaran
Kristen berkembang ke beberapa daerah, seperti Kyai Jakobus Singotaruna
dan Paulus Tosari tinggal di Sidokare dekat Sidoarjo. Abisai Ditotaruna
membuka pemukiman di Mojowarno dan menjadi lurahnya.
Johanes Emde lahir tahun 1774 di Jerman dari keluarga petani. Pada
saat pemerintahan Daendels dia masuk tentara, ketika Raffles memerintah dia
mengundurkan diri dari dinas militer. Sejak saat itu dia tinggal di Surabaya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
dan menikah dengan gadis Jawa dari kalangan ningrat, yang berasal dari
kraton Solo. Mulai saat itu, bersama keluarganya Emde menyebarkan ajaran
Kristen dengan menyebarkan brosur. Dalam kalimat awal bertuliskan
“wiwitaning Injile Yesus Kristus Putrane Allah...” (permulaan Injil Yesus
Kristus, Putra Allah..). Beberapa orang menerima brosur bertanya-tanya
bagaimana Tuhan bisa punya anak. Salah satunya seorang Modin yang
bernama Pak Dasimah. Pada tahun 1838 Pak Dasimah berdasarkan informasi
yang dia peroleh bersama dengan sembilan orang lainnya justru menemui
Coolen. Dari Coolen dia mendapatkan dasar-dasar agama Kristen seperti
Syahadat, Bapa Kami, dan Sepuluh Firman Tuhan (Guillot, 1985: 23).
Akhirnya beberapa tahun kemudian Dasimah memperoleh
kesempatan bertemu dengan Emde. Darisitulah Emde tahu bahwa ternyata
sudah ada Jemaat Kristen di daerah Ngoro. Akhirnya Emde mengunjungi
desa tersebut pada tahun 1842.
Orang-orang pengikut Coolen mengerti bahwa agama yang diajarkan
Emde berbeda dengan yang diterangkan Coolen. Lebih berbau barat, tidak
bercampur Dewi Sri dan Semeru dengan Yesus. Akhirnya melalui Emde,
mengetahui bahwa Coolen seolah-olah telah mengelabuhi mereka dengan
tidak mengatakan bahwa perlu dipermandikan untuk menjadi pemeluk
Kristen sepenuhnya seperti orang-orang Belanda. Pada tanggal 12 Desember
1843 di Gereja Belanda Surabaya terdiri dari 35 orang, 18 lelaki, 5
perempuan, dan 5 anak-anak. Lahirlah jemaat “betul-betul” Kristen yang
pertama. Diberitahukan pula bahwa kemudian, beberapa santri di daerah itu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
juga masuk Kristen, tetapi ada juga orang Islam yang mengejek orang-orang
Kristen itu dengan sebutan “Belanda tanpa sepatu” atau “Belanda minus
Topi” (Guillot, 1985: 24)
Johannes Emde sebagai penginjil sangat mempengaruhi ajaran Kristen
di Jawa. Berbeda dengan Coolen yang tidak bersedia membuang budaya Jawa
dari kekristenan pengikutnya, Johannes Emde justru sebaliknya. Mereka patut
disebut jemaat “Kristen Landa” karena perilaku budaya mereka diatur
menurut budaya orang Belanda. Mereka diharuskan berambut pendek,
dilarang memakai ikat kepala saat ke Gereja, jangan mendengarkan gamelan,
jangan menonton wayang, jangan melakukan khitanan, jangan
menyelenggarakan selamatan, jangan menyanyikan tembang (Jawa), jangan
merawat pekuburan, dan dilarang menabur bunga di makam. Oleh sebab itu,
sangat sesuai jika mereka dijuluki sebagai “Kristen Landa”.
Terbentuknya sebuah praktik dengan demikian sangat dipengaruhi
oleh kekuasaan. Berbagai wacana hadir dalam pembentukan identitas, baik
Kristen Jawa maupun Kristen Landa. Semua kembali bagaimana dogma
tentang larangan maupun keharusan yang hadir sebagai sebuah wacana itu
menjadi cara pandang mereka. Hal ini sesuai dengan pandangan Foucault
pada gagasan antara kekuasaan-pengetahuan, suatu pasangan yang secara
dramatis mengekspresikan terikatnya wacana secara erat pada relasi antara
kekuatan dan kekuasaan, maupun mengekspresikan kapasitas produktif
kekuasaan untuk menciptakan wacana (Beilharz, 2005).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
Ajaran Kristen Jawa maupun Kristen Landa, tidak bisa dilepaskan
begitu saja dengan misionaris dan agenda tujuan yang dibawanya. Kristen
Jawa yang dibawa oleh Coolen yang mencoba memadukan budaya Jawa
dengan tujuan supaya manusia Jawa tidak hilang kejawaannya, maupun
ajaran Kristen Landa yang dibawa oleh Emde yang mencoba melepaskan
budaya Jawa, kesemuanya menjadi sebuah cara pendang mereka yang
terbentuk secara produktif. Coolen memanfaatkan kepercayaan Jawa yang di
belokan ke agama Kristen. Cara ini bukan untuk menghilangkan tetapi malah
sesuai dengan mentalitas petani yang dipengaruhi oleh kehidupan
berhubungan dengan alam. Meskipun orang Belanda namun melarang
jemaatnya untuk dibaptis dengan alasan supaya tidak menjadi orang Belanda.
Muncul kontradiksi adanya kekuatan dua pengaruh ini. Saat itu orang-orang
memilih meninggalkan Ngoro serta ajaran Coolen dan bergabung dengan
Emde. Mereka ingin meninggalkan dunia tradisional untuk masuk ke sistem
baru yang dikelola orang Belanda. Coolen ingin bersikap seperti orang Jawa
tatkala orang Jawa sendiri ingin menjadi “orang Belanda”.
Tanpa disadari identitas ini terbentuk karena wacana yang saat itu
berkembang. Ajaran Coolen dianggap tradisional dan perlu ditinggalkan.
Justru sebaliknya identitas asing dianggap lebih kuat,ini karena tidak terlepas
dari kedudukan Belanda yang lebih tinggi dibanding penduduk pribumi.
Awal kontradiksi ini justru melahirkan banyak penyebar ajaran
Kristen. Mereka merasa terpanggil menjadi penginjil dan penyebar ajaran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
Kristen. Inilah nantinya yang memunculkan perkembangan Agama Kristen
kususnya di Jawa.
1.2. Usaha Kristenisasi di Jawa Tengah
Awal pertumbuhan jemaat Kristen di Jawa tidak bisa dilepaskan dari
perjuangan para misionaris baik Belanda maupun pribumi. Para misionaris
ini memiliki peran yang begitu besar dalam usaha Kristenisasi di dalam
masyarakat Jawa. Beberapa diantaranya adalah Kyai Tunggul Wulung (1885)
yang menumbuh kembangkan jemaat-jemaat Kristen di Bondo, Banyutowo,
Tegalombo, dan Salatiga. Johannes Vrede dan Laban menumbuhkan jemaat
Muara Tuwa Tegal. Nyonya Philips Stevens melahirkan jemaat Tuksongo.
Nyonya Oostrom membangun jemaat di Banyumas, dan yang paling
spektakuler adalah Kyai Sadrach yang menumbuhkan jemaat Karangjoso dan
sekian puluh jemaat lainnya. Merekalah para penginjil yang melahirkan
jemaat-jemaat Kristen di Jawa Tengah yang nantinya berkembang menjadi
Gereja Kristen Jawa. (Soekotjo, 2009: 105)
Kyai Sadrach (1835-1924) menjadi catatan penting dalam
perkembangan ajaran Kristen di Jawa Tengah. Meskipun dia bukan orang
pertama yang mengajarkan ajaran Kristen di Jawa Tengah. Menjadi catatan
penting bukan hanya pengikutnya yang banyak namun cara penyebaran yang
dilakukan oleh Sadrach.
Seperti apa yang diungkapkan Guillot cara penyebaran agama Kristen
yang dilakukan Sadrach adalah sebagai berikut: dia selalu berjalan ke mana-
mana dan mengunjungi guru-guru yang terkemuka di daerah itu serta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
berusaha meyakinkan mereka akan kepercayaan Kristen. Jika tidak berhasil,
maka dilancarkan tantangan untuk mengadakan perang tanding di depan
umum, untuk mengetahui siapa diantara mereka yang lebih hebat ilmunya.
Kadang-kadang perdebatan itu bersifat dramatis, kedua tokoh tersebut
berhadapan, murid-murid duduk beberapa langkah di belakang sang guru.
Sebelum dimulai ditetapkan aturan permainannya. Sadrach berjanji andai kata
kalah, ia akan kembali masuk Islam. Jika ia menang, ia menuntut lawannya
agar masuk Kristen dan tunduk kepadanya. Karena Sadrach memiliki ngelmu
Jawa dan pernah sedikit belajar paling sedikit pada dua pesantren, lagi pula
sudah menerima “ilmu baru” yakni ajaran Kristen, tambahan lagi ia sama
sekali tidak bodoh, maka sedikitpun tidak ada yang ditakutinya. Begitu kalah,
sang lawan langsung mengucapkan semacam pangakuan takluk kulo merguru
(saya berguru). Para murid Kyai yang kalah bersama sang guru mengikuti
ajaran Kristen. Demikianlah cara Sadrach mengkristenkan beberapa Kiai65
dalam tempo beberapa tahun.
Dalam usaha penyebaran ajaran Kristen, Sadrach kelihatan
memelihara tradisi Jawa sebaik mungkin sejauh tradisi Jawa itu dapat di
Kristenkan. Seperti contohnya ketika Sadrach menyebutkan bahwa Yesus itu
Ratu Adil. Dia menyembuhkan orang sakit dengan membacakan mantra
sambil memberikan kepada mereka air suci, bahkan air seninya sebagai obat.
Kemenyan dibakar dalam upacara. Dia menggunakan air yang
65
Beberapa Kyai yang menurut Guillot dapat dikristenkan oleh Sadracah : Ibrahim,
Kanmentaram, Coyontani, dan Ronokusuma
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
dipermukaannya mengapung daun-daun bunga. Bahkan dia juga membagi-
bagikan keris kepada murid-muridnya, namun terlebih dahulu keris itu
diberkatinya.
Mengenai apa yang mendorong Sadrach “mengkristenkan” tradisi
Jawa tersebut, dapat diketengahkan beberapa alasan. Guillot menyebutkan
beberapa alasannya antara lain pengkristenan upacara merupakan jalan paling
mudah meskipun resikonya besar namun efektif untuk memasukkan ajaran-
ajaran baru yang masih asing bagi penduduk. Sadrach juga berusaha sebisa
mungkin tidak mengasingkan pengikutnya. Pada dasarnya, dibalik semua itu
ada keinginan untuk tetap men-Jawa. Seperti kalimat yang banyak
diungkapkan oleh Sadrach: penyebutan Kristen Jawa atau Pasamuan Kristen
Jawa Mardika, serta ucapan Sadrach “adatipun tiyang Jawi kedah dipun
lampahi” (tradisi jawa harus dilakukan).
Identitas Kristen Jawa terbentuk pada zaman itu karena kekuasaan
yang terus berkembang dimasyarakat, kekuasaan yang sangat dipengaruhi
Kyai Sadarch. Ia berusaha memberikan pengetahuan baru dengan strategi
tidak menghilangkan tradisi lama. Pengetahuan ajaran Kristen yang dibalut
dalam tradisi Jawa. Usaha Sadrach ternyata cukup berhasil, ribuan jemaat
mengikuti ajaran Kristen. Ini sesuai dengan pandangan Foucault tentang
kekukasaan yang tidak terlepas dari pengetahuan. Menurut Foucault
“Kekuasaan dan ilmu pengetahuan bergabung bersama” (Foucault, 1978:
100). Dalam hal ini, pengetahuan yang di tanamkan oleh Sadrach dan juga
misionaris lain menjadi kekuasaan yang produktif. Banyak orang bersedia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
dibaptis dan menjadikan dirinya sebagai pemeluk Kristen. Tanpa disadari
mereka di kuasai oleh pengetahuan yang mereka dapat. Mereka menjadi
orang Kristen seperti apa yang digambarkan atau diinginkan oleh Kyai
Sadrach.
Penyebaran Gereja Kristin Jawa tidak bisa dilepaskan dari pengaruh
Belanda dan juga tokoh pribumi bahkan dari kalangan santri. Muncul tarik
ulur akan kekuasaan yang mengelilingi penyebaran ajaran Kristen.
Banyaknya bentuk ajaran dan juga wilayah penyebaran berakibat pada
munculnya dinamika tarik ulur akan kekuasaan, pengetahuan dan kebenaran.
Kristen sebagai agama hadir sebagai hasil kekuasaan dan kebenaran.
Seperti apa yang diungkapkan Foucault (Haryatmoko, 2010:99) bahwa
lembaga produksi kekuasaan-pengetahuan yang dahsyat adalah agama.
Agama tidak bisa dipisahkan dari mekanisme dan teknik kekuasaan normatif
dan disipliner. Agama mengatur individu dan masyarakat melalui teknik
penyeragaman baik perilaku, bahasa, pakaian, maupun ritus. Dengan teknik
itu akan dihasilkan identitas, yang akan memudahkan untuk mendapatkan
kepatuhan dari pemeluknya.
Seperti penjelasan sebelumnya pembentukan identitas Gereja Kristen
Jawa memiliki perjalanan yang panjang. Mulai tarik ulur antara “Kristen
Jawa” dengan “Kristen Landa” yang akhirnya mengarah pada kekuasaan
zending baik itu atara Salatiga Zending di Jawa Tengah Utara (Gereja Kristen
Djawa Tengah Utara-Parepatan Agung (GKJTU-PA), Gereja Jawa hasil
pekerjaan Doopgezinde Zendingsvereninging di sekitar Muria (kini GITJ),
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
atau gereja Jawa di Jawa Timur hasil penginjilan Nederlands
Zendelinggenootschap (Gereja Kristen Jawi Wetan), yang berakhir pada
pembentukan jati diri Gereja Kristen Jawa yang beraliran Gereformeerd.
2. Muncul dan Berkembangnya Gereja Kristen Jawa di Banyubiru
“Kekuasaan berasal dari manapun, bukan karena kekuasaan mencakup
segala sesuatu, tetapi karena kekuasaan berasal dari manapun” (Foucault,
1978: 93). Bagi Foucault kekuasaan bisa datang dari manapun, begitu pula
hadir dan berkembangnya Gereja Kristen di Jawa karena pengaruh kekuasaan
yang ada disekitar Banyubiru. Perkembangan Gereja Kristen Jawa Banyubiru
tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Salatiga dan juga instansi seperti SPN
dan juga Yon Zipur. Salatiga dan instansi di Banyubiru memiliki kekuasaan
yang mempengaruhi berkembangnya ajaran Kristen di Banyubiru, karena
Salatiga adalah basis kristenisasi di Jawa, bahkan keberadaan Sinode Gereja
Kristen Jawa yang berada di Salatiga memiliki pengaruh cukup besar bagi
daerah-daerah sekitar. Selain itu, di Salatiga juga berdiri Universitas Kristen
Satya Wacana yang didalamnya terdapat Fakultas Teologi sehingga cukup
berpengaruh terhadap perkembangan dan penyebaran ajaran Kristen.
Banyubiru adalah salah satu daerah yang tidak jauh dari Salatiga,
hanya dipisahkan oleh Rawa Pening. Dari Salatiga Membutuhkan jarak waktu
15 menit untuk sampai di Banyubiru. Posisi Geografis ini membuat daerah
Banyubiru tidak bisa dilepaskan dari ajaran Kristen, kususnya Gereja Kristen
Jawa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
Gereja Kristen Jawa (GKJ) Banyubiru berdiri tanggal 22 Desember
1987. Meskipun sebenarnya tahun 1975 perhimpunan orang-orang Kristen
Jawa sudah ada di Banyubiru seperti apa yang diungkapkan oleh Bapak
Siswantoro berikut:
“GKJ Banyubiru adalah pepantan atau bagian dari GKJ
Ambarawa. Pada waktu itu Banyubiru belum ada bangunan
Gereja sehingga berada di rumah salah satu tokoh GKJ yaitu
Pak Witono sekitar tahun 1975 dengan jumlah kepala keluarga
sekitar 10 orang”66
Perhimpunan atau kelompok ini awalnya hanyalah kelompok doa.
Berkembangnya waktu mereka memiliki inisiatif untuk membeli tanah di
Dusun Randusari Desa Banyubiru untuk didirikan bangunan gereja di tahun
1987. Salah satu tokoh yamg memperjuangkan adalah pendeta GKJ
Ambarawa Bapak Pdt Pinoejadi.
Saat ini keberadaan GKJ Banyubiru cukup berkembang dibanding
awal-awal berdiri. Ini karena pengaruh Salatiga dan juga banyaknya
pendatang dari asrama SPN dan juga Yon Zipur. Ibadat mingguan selalu
dilakukan pada hari Minggu, dengan mendatangkan pendeta dari Ambarawa
atau daerah lainnya. Selain ibadat mingguan juga diadakan pendalaman
Alkitab dari rumah ke rumah setiap hari Kamis. Pendalaman Alkitab tersebut
66
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Siswantoro (Jemaat GKJ Banyubiru) tanggal 22
Maret 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
mencoba menafsirkan bacaan Alkitab dengan berbagi pendapat sesama
jemaat, jadi di sini tidak ada pendeta yag memimpin.67
Selain kegiatan pendalaman Alkitab, kegiatan pemuda GKJ
Banyubiru cukup berkembang. Perkembangan ini tidak bisa dilepaskan dari
keberadaan Universitas Kristen Satya Wacana. Banyak kaum muda dari
Salatiga baik itu mahasiswa atau jemaat lain yang melakukan anjangsana atau
kunjunganke daerah Banyubiru.
“Kami sering berkunjung ke desa-desa untuk melakukan
kegiatan, salah satunya Desa Banyubiru. Tidak bisa ditentukan
waktunya kapan, yang penting kami sering melakukan kegiatan
bersama. Baik itu Futsal atau olahraga lain antar Gereja, atau
melakukan ibadat bersama. Harapannya supaya kaum muda di
daerah-daerah juga memiliki kegiatan dan bisa berkembang
dalam kehidupan menggerejanya.”68
Dengan demikian muncul dan berkembangnya GKJ Banyubiru yang
mengarah pada pembentukan identitas Kristen Jawa tidak semata-mata
begitu saja. Ada berbagai macam pengaruh baik dari Salatiga ataupun
misionaris yang membawa ajaran tersebut. Dalam bagian berikutnya akan
lebih diperjelas bagaimana misionaris tersebut berkarya dan ajaran apa yang
dibawa bagi pembentukan jemaat GKJ Banyubiru. Sehingga terbentuk
penyeragaman perilaku dan cara pandang tersendiri bagi jemaatnya baik itu
dalam memandang tradisi Jawa maupun hal-hal lainnya.
67
Berdasrkan hasil wawancara dengan Bapak Sudarman (Majelis GKJ Banyubiru) tanggal 20
Maret 2013
68 Berdasarkan hasil wawancara dengan Valerian (Jemaat Muda GKJ Salatiga) tanggal 5 April 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
II. Pengaruh dan Proses Pembentukan Identitas Kristen Jawa
1. Hadirnya Gereja Kristen Jawa di Banyubiru
Perkembangan Gereja Kristen Banyubiru dipengaruhi oleh berbagai
macam faktor. Tidak hanya letaknya yang berdekatan dengan Salatiga
sebagai basis perkembangan ajaran Kristen, namun juga karena faktor-
faktor lain. Berbagai faktor tersebut mencakup Misonaris dan cara
penyebaran. Kedua faktor ini menjadi kekuasaan yang tidak mendominasi,
namun lebih menjadi kekuasaan yang produktif dalam menciptakan
pengetahuan.
Foucault memandang bahwa “Dalam kekuasaan tidak ada unsur
penaklukan dalam bentuk kekerasan atau aturan” (Foucault, 1978: 92).
Pengaruh dan proses pembentukan identitas Kristen Jawa hadir tanpa
adanya proses pemaksaan maupun kekerasan. Namun penaklukan
kekuasaan ini hadir melalui dogma yang dibawa oleh para penyebar ajaran
Kristen.
Di bawah ini akan dibahas bagaimana peran misionaris dalam
menciptakan identitas bagi Jemaat GKJ di Banyubiru. Peran misionaris
ataupun penyebar ajaran agama dan juga cara penyebaran sangat
mempengaruhi keadaan jemaat. Misionaris atau penyebar ajaran Kristen di
sini tidak hanya hadir dari kalangan pendeta namun juga kaum awam.
Semuanya menjadi kekuasaan yang mempengaruhi pengetahuan jemaat
GKJ di Banyubiru, tanpa ada unsur kekerasan dan pemaksaan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
1.1. Peran Penyebar Ajaran Kristen
GKJ Banyubiru sebagai Gereja pepantan yang menginduk pada GKJ
Ambarawa, tentu sangat tergantung dari peran para tokoh GKJ Ambarawa,
baik itu pendeta maupun kaum awam. Sekitar tahun 1970an GKJ Banyubiru
belum mempunyai bangunan Gereja, pada waktu itu hanya berkumpul di
rumah Bapak Witono69
. Sebagai orang awam pak Witono bersama istri
cukup memiliki peran besar dalam membangun jemaat di GKJ Banyubiru.
Sebagai seorang jemaat biasa Pak Witono merelakan sebagian rumahnya
untuk “gereja”, bahkan untuk mempersiapkan tempat dan persiapan lainnya
dilakukan sendiri.
Bapak Witono bersama istrinya memiliki peran cukup besar dalam
memberi semangat kepada jemaat yang lain. GKJ Banyubiru pada waktu itu
hanya memiliki sekitar 20 jemaat, namun berkat kegigihan Bapak Witono
tahun 1987 GKJ Banyubiru bisa memiliki tanah dan membangun Gereja di
Dusun Randusari Desa Banyubiru.
Berdirinya bangunan Gereja tidak terlepas dari peran jemaat yang
memiliki semangat untuk membangun sebuah tempat untuk beribadah.
Berbagai tantangan dihadapi oleh jemaat terutama Bapak Witono. Dalam
mendirikan Gereja mengalami berbagai permasalahan, namun karena
69
Bapak Witono adalah salah satu tokoh pendiri Gereja Kristen Jawa di Banyubiru. Dia adalah
seorang Mantri Kesehatan, lahir di daerah Jogjakarta dan meninggal di Banyubiru sekitar tahun
1983. Dia memiliki pandangan yang teguh terhadap iman Kristen, bahkan cenderung memliki
pandangan tertutup terhadap tradisi Jawa yang bertentangan dengan ajaran Kristen.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
berbagai pihak yang membantu semua bisa teratasi, terutama usaha yang
dilakukan oleh keluarga Bapak Witono. Seperti apa yang diungkapkan oleh
salah satu jemaat di Banyubiru berikut:
“Bu dan Pak Witono ki sing golek donatur (yang mencari
penyumbang dana), saudara-saudaranya dimintai dana. Bagi
saya keluarga pak Witono ya aktifis Gereja awal berdirinya GKJ
di Banyubiru.”70
Selain Bapak Witono sebagai kaum awam yang berperan dalam
berdirinya GKJ di Banyubiru, hadir seorang Pendeta GKJ Ambarawa yaitu
Bapak Pdt Pinoejadi. Warna ajaran GKJ Banyubiru sangat dipengaruhi oleh
Bapak Pdt Pinoejadi. Hadirnya pendeta di Banyubiru cukup mempengaruhi
perkembangan dan juga cara pandang jemaat akan pemaknaan Kekristenan.
Pembentukan identitas sangat dipengaruhi oleh rezim pengetahuan.
Penafsiran Bapak Pdt Pinoejadi tentang ajaran Kristen memunculkan cara
pandang bagi jemaat di Banyubiru. Agama yang kongkrit adalah yang
dihayati oleh pemeluknya dengan sistem ajaran, norma moral, institusi,
ritus, simbol, dan para pemukanya. Penghayatan Kekristenan jemaat di
Banyubiru sangat di pengaruhi hasil penafsiran teks-teks Alkitab oleh Bapak
Pdt Pinoejadi, yang menurut para jemaat, tafsiran Bapak Pdt Pinoejadi lebih
bersifat dogmatis atau selalu berdasarkan Kitab Suci tanpa dikontekskan
dalam kehidupan masyarakat.71
Bapak Pdt Pinoejadi bertugas menjadi Pendeta di Ambarawa dalam
periode waktu yang cukup lama, yaitu sekitar tahun 1970 samapai 1997.
70
Berdasarkan wawancara dengan Bu Giyati (Jemaat GKJ Banyubiru) tanggal 10 Juni 2013
71 Idem
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
Bagi para jemaat beliau terkenal sangat kaku, kolot, dan juga sangat disiplin
dalam pemahaman akan ajaran Kristen. Hal yang paling ditekankan adalah
larangan untuk melakukan tradisi-tradisi lokal, seperti ziarah kubur,
memperingati meninggalnya saudara (3 hari, 7 hari, 40 hari, dan juga 1000
hari), dan juga larangan untuk melakukan hajatan besar untuk syukuran
sunatan. Ini semua di dasarkan atas ajaran Alkitab bahwa Allah telah
menyelamatkan semua yang mengikutinya.
Kekakuan ini memunculkan perpecahan bagi jemaat di Banyubiru,
sehingga beberapa jemaat yang berusia lanjut memutuskan untuk bergabung
dengan GKJ Ngampin dalam berbagai kegiatan dan juga ibadah. Perpecahan
ini ini dipicu karena perbedaan pandangan secara teologis antara Bapak Pdt
Pinoejadi dengan Bapak Margotono. Perbedaan teologi semacam ini kurang
bisa dimengerti oleh beberapa jemaat, namun beberapa jemaat
mengungkapkan bahwa Pdt Pinoejadi ini memiliki sifat keras kepala.
Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Giyati tentang karakter Bapak Pdt
Pinoejadi berikut “Nek ngunekne umate ki rodo keras, kolot, nek sing ra
cocok yo pindah, tapi Pak Witono dan Bu Witono tetap bertahan.”72
Berkat perjuangan dan ketaatan Bapak Witono GKJ Banyubiru tetap
berdiri dan tetap mengembangkan ajaran Kristen dan mencoba
mempertahankan keutuhan GKJ di Banyubiru. Bapak Witono tetap bertahan
karena memiliki cara pandang yang sama dengan Bapak Pendeta Pinoejadi,
memiliki iman Kristen yang teguh. Dalam artian, tidak memberi ruang bagi
72
Berdasarkan wawancara dengan Bu Giyati (Jemaat GKJ Banyubiru) tanggal 10 Juni 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
tradisi Jawa yang bertentangan dengan ajaran Kristen. Salah satu contoh
yang diungkapkan jemaat GKJ bahwa “Pak Witono tidak pernah
mengadakan genduren, baik pada waktu nyunatke atau peringatan kematian
saudaranya”73
Saat ini GKJ Banyubiru dibawah GKJ Ambarawa dipimpin oleh
Bapak Pdt Setyo Utomo74
. Usianya yang muda, lebih bisa menerima tradisi-
tradisi lokal. Ini karena secara teologis sudah memiliki cara pandang yang
berbeda. Inilah alasan mengapa ajaran yang dibawanya berbeda, dibanding
pendeta angkatan sebelumnya:
“Dahulu para pendeta menjaga pemurnian, itu karena masih
pertumbuhan atau rintisan jadi harus dijaga dan didoktrinasi
dengan kuat. Dalam konteks sekarang tidak bisa harus dianggap
dewasa jadi sudah bisa mengambil keputusan etis sendiri.”75
Berangkat dari situ, maka corak Gereja dahulu dengan sekarang
berbeda. Gereja yang dewasa di era saat ini seharusnya bisa menerima
tradisi lokal yang ada. Maka peran pemuka agama menjadi sangat penting
dalam membentuk sebuah tradisi baik sebagai suatu cara pandang pribadi
maupun secara hidup bermasyarakat. Gereja yang dewasa menurut Bapak
Pdt Setyo Utomo ini tidaklah mudah, kenyataannya dalam diri jemaat tetap
73
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Sisiwantoro (Jemaat GKJ Banyubiru) tanggal 18 Oktober
2013
74 Bapak Setyo Utomo lahir di Tuban, Jawa Timur tahun 1968. Ketertarikannya pada bidang
Teologi membuat Pak Setyo memutuskan untuk belajar di Universitas Kristen Duta Wacana,
menyelesaikan pendidikan Teologinya pada tahun 1994. Berkarya di GKJ Ambarawa sejak tahun
1996, sedangkan menjadi pendeta tahun 1997 sampai sekarang.
75 Berdasarkan wawancara dengan Bapak Setyo Utomo (pdt GKJ Ambarawa) tanggal 6 Juni 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
muncul sebuah tarik ulur akan identitas. Pengetahuan yang berbeda antara
Kekristenan dan Kejawaan pada akhirnya tetap membuat jemaat GKJ
menegosiasikan identitasnya.
1.2. Cara penyebaran
Pembentukan identitas Kristenan Jawa di Banyubiru selain
dipengaruhi oleh peran para penyebar ajaran juga cara penyebaran. Cara
penyebaran di sini berkaitan dengan bagaimana caranya ajaran Kristen bisa
hadir dan berkembang di tengah Desa Banyubiru. Secara garis besar ada
dua cara yaitu berdasarkan dogma melalui Alkitab yang ditafsirkan Pendeta
dan juga berbagai kegiatan dari daerah sekitar Banyubiru.
Pembentukan dan perkembangan Kekristenan hadir melalui
pendalaman Alkitab. Setiap hari Kamis jemaat GKJ Banyubiru berkumpul
bersama dengan berpindah-pindah tempat untuk mengadakan pendalaman
Alkitab. Kegiatan tersebut diharapkan dapat membentuk jati dirinya sebagai
orang Kristen dengan mencoba menafsirkan teks-teks Alkitab. Inilah salah
satu ungkapan jemaat GKJ yang rutin mengikuti pendalaman Alkitab:
“Pendalaman Alkitab semakin bisa menunjukan bagaimana
orang Kristen yang benar berdasarkan ajaran Alkitab, dengan
cara bertukar pengalaman berdasar atas firman Tuhan, kalau ada
kesulitan baru tanya Bapak Pendeta.” 76
Penunjukan kebenaran akan identitas Kekristenannya selain di
hadirkan melalui peran Pendeta ataupun misionaris, ternyata juga atas
76
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Suratno (Jemaat GKJ Banyubiru) tanggal 20 Mei
2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
tafsiran Alkitab yang dilakukan oleh jemaat sendiri. Tafsiran teks Alkitab
menjadi kekuatan cara pandang mereka dalam hidup di tengah msayarakat.
Tafsiran teks Alkitab menjadi pembenaran yang berfungsi tidak hanya
sekedar berfungsi sebagai aturan hidup, namun menjadi cara hidup dan
perjuangan hidup, singkat kata hidup demi Tuhan. Permasalahan dalam
kehidupan masyarakat sering dibicarakan dalam Pendalaman Alkitab
dengan dicari kebenarannya berdasar atas Alkitab. Mereka menjadikan
Alkitab sebagai panutan atau kebenaran dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti apa yang diungkapan oleh Jemaat GKJ berikut:
“Ada dua kegiatan yaitu pendalaman Alkitab dan sarasehan,
bedanya kalau pendalaman Alkitab sumbernya dari Alkitab
tetapi dihubungkan dengan dunia, kalau sarasehan sumbernya
dari luar dihubungkan dari Alkitab. Jadi dari pengalaman jemaat
terus dicari di Alkitab bersama-sama.”77
Tafsiran teks Alkitab ini akan memiliki pembenaran yang lebih kuat
ketika ditafsirkan oleh seorang Pendeta. Dengan demikian ketika diskusi
sesama jemaat mengalami kebuntuan, tafsiran Bapak Pendeta yang memiliki
kekuatan penuh akan kebenaran. Hal ini karena seorang pendeta diyakini
memiliki pemahaman teologis yang lebih dibanding dengan kaum awam.
Ajaran Kristen di Banyubiru juga tidak bisa dilepaskan dari
keberadaan Sinode GKJ di Salatiga. Jarak yang dekat antara Salatiga dengan
Banyubiru membuat banyak kegiatan di Banyubiru yang dilakukan oleh
jemaat dari Salatiga. Misalnya kaum muda sering mengadakan kunjungan
dan juga berbagai macam kegiatan di daerah Banyubiru. Dari kegiatan
77
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Darman (Majelis GKJ Banyubiru) tanggal 20 Mei 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
tersebut kaum muda merasa memiliki semangat untuk hidup dalam
komunitas GKJ
“Kegiatan anjangsana selain untuk meningkatkan iman, bagi
saya juga menjadi suatu wadah atau tempat bertemunya kaum
muda, bisa bertambah teman atau mungkin ketemu pasangan
hidup.”78
Kegiatan kaum muda ini memperlihatkan bagaimana
mempertahankan identitas Kekristenannya. Jemaat muda merasa nyaman
dan bangga menjadi orang Kristen, dan juga memiliki harapan yang besar
untuk kelangsungan masa depannya. Seperti harapan memiliki banyak
teman dan juga menemukan pasangan hidup.
Cara penyebaran ajaran Kristen di sini bukan hanya berkaitan
dengan perkembangan atau sejarah penyebaran GKJ, namun lebih pada
ajaran akan kekristenan sendiri yang membuat jemaat semakin menghayati
keberadaan dirinya sebagai orang Kristen maupun komunitas Kristen.
2. Kekristenan sebagai Cara Pandang
Peran misionaris dengan misinya mengantar pada pembentukan
identitas Kekristenan. Hal ini karena pengetahuan dan pemahaman yang
mereka peroleh. Dengan demikian Kekristenan akhirnya menjadi cara
pandang mereka dalam memandang segala sesuatu yang berkaitan dengan
kehiupan para jemaat. Jemaat GKJ di Banyubiru tidak lagi menjadi dirinya
secara pribadi, namun sudah dipengaruhi oleh ajaran Kristen yang mereka
terima.
78
Berdasarkan wawancara dengan Daniel (Kaum Muda GKJ Banyubiru) tanggal 1 Juni 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
Pembentukan cara pandang ini tidak bisa terlepas dari peran Gereja,
baik peran misionaris atau kegiatan dalam Gereja tersebut. Pembentukan
diri ini menjadi kekuatan bagi komunitas Gereja Kristen Jawa, karena
adanya keyakinan dan ajaran yang menyatu menjadi tindakan.
Keyakinan dan ajaran yang telah diterima melalui ajaran seorang
misionaris ataupun penafsiran Alkitab merupakan sebuah wacana yang tentu
mempunyai klaim kebenaran. Keyakinan dan ajaran ini menjadi kekuasaan
yang selalu berimplikasi pada pengetahuan. Begitupun sebaliknya, tidak ada
pengetahuan yang tidak berkorelasi dengan kekuasaan (Foucault, 1995: 27).
Foucault ingin menegaskan bahwa penguasaan kekuasaan menciptakan
objek-objek baru pengetahuan dan sistem informasi. Pengetahuan ketika
digunakan sebagai suatu kebenaran yang akhirnya membatasi, mengatur,
dan bahkan mendisiplinkan, maka secara tidak langsung akan menjadi cara
pandang seseorang. Seperti salah satu cara pandang jemaat GKJ demikian:
“Nek wis yakin ki yo kudu diugemi (kalau sudah yakin ya
dipercaya). Saya yakin kalau ajaran Alkitab menjadi kebenaran
bagi jalan hidup saya, karena bagi saya Alkitab tidak hanya
sekedar tulisan, melainkan lebih menjadi sabda yang hidup.
Makanya ya menjadi panutan dalam hidup saya atau boleh
dikata dadi sarana uripku (menjadi sarana hidup).”79
Di sini terlihat bagaimana fungsi ideologis agama berperan sebagai
pembenaran hidupnya, baik hidup dalam keluarga maupun bermasyarakat.
Mayarakat yang terdiri dari berbagai keyakinan dan pandangan yang
79
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Suratno (Jemaat GKJ Banyubiru) tanggal 20 Mei
2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
berbeda menjadikan jemaat GKJ memiliki cara pandang hidup yang
berbeda, dalam meyakini peristiwa kematian dalam tradisi Jawa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
BAB IV
TARIK ULUR IDENTITAS:
KEJAWAAN DAN KEKRISTENAN
DI SEKITAR TRADISI ZIARAH KUBUR
Keterbatasan cara pandang
menganjurkan kita untuk tidak
hanya percaya pada hal-hal yang
terlihat, tetapi kita biasanya juga
hanya melihat apa yang sudah kita
percayai.80
Desa Banyubiru sebagai wilayah perjumpaan antara Kejawaan dan
Kekristenan menyajikan sebuah fenomena tarik ulur akan identitas. Kehidupan
masyarakat Desa Banyubiru yang penuh kebersamaan, baik dengan sesama
manusia maupun dengan alam, ini menjadi sebuah gambaran yang kuat berkaitan
dengan tradisi Jawa. Berbagai tradisi masih dijalankan, misalnya sedekah bumi,
pertunjukan wayang kulit, dan juga ziarah kubur.
Ziarah kubur dan sedekah bumi perdikan tetap berkembang di tengah
masyarakat Banyubiru, karena adanya keterkaitan fungsi dan makna dalam suatu
sistem sosial budaya. Hal demikian terlihat dari kesinambungan antar warga satu
dengan yang lainnya. Kesinambungan ini secara sosial merupakan forum
interaktif antarwarga masyarakat yang pada gilirannya akan membangun
solidaritas sosial. Hal demikian meneguhkan pendapat Radcliffe Brown (1979:
157) bahwa ritual dan adat istiadat dapat berlangsung terus menerus karena
memiliki fungsi sosial. Ritual merupakan pernyataan simbolik yang teratur.
80
Donald W. Thomas, Semiotics, Communication, Codes & Culture (Lexington Massachusetts:
Ginn Custom, 1982), hlm 179
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
Tradisi ini memiliki fungsi sosial yang tetap, apabila ritual itu memiliki kesan
dalam mengatur, mengekalkan, dan menurunkan masyarakat dari generasi ke
generasi.
Di sisi lain, ajaran Kristen juga menjadi usaha untuk mengatur dan
diturunkan kepada jemaat generasi berikutnya. Usaha ini dilanggengkan melalui
ajaran sebagai suatu wacana dan juga sistem panoptik. Hal ini mengarah pada
usaha purifikasi atau pemurnian, yaitu adanya usaha untuk menjalankan ajaran
agama secara murni, terlepas dari berbagai tradisi lokal dan sesuai dengan ajaran
Alkitab.
Permasalahan bukan hanya terletak pada percampuran atau pertentangan
antara budaya Jawa dengan ajaran Kristen, melainkan bagaimana tarik ulur
identitas para pengikutnya, karena orang Kristen Jawa selain orang Kristen, juga
orang Jawa dengan berbagai karakteristik ajaran yang berbeda seperti dijelaskan
pada bagian sebelumnya.
Keterbatasan cara pandang membuat manusia hanya percaya apa yang
terlihat dan juga apa yang sudah dipercayai. Cara pandang ini yang membuat
manusia memiliki kebenaran-kebenaran yang berbeda, kebenaran akan
pengetahuan yang terbentuk karena kekuatan-kekuatan yang telah tertanam dalam
dirinya yang berasal dari luar. Karena itu bab ini akan lebih melihat bagaimana
tarik ulur identitas yang terbentuk ketika ada kekuatan-kekuatan akan
pengetahuan di luar dirinya, yaitu kekuatan Kekristenan dan Kejawaan.
Pada bagian pertama melihat bagaimana bentuk tarik ulur identitas jemaat
GKJ Banyubiru ketika usaha pemurnian atau purifikasi Agama berbenturan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
dengan tradisi Jawa. Dalam hal ini, berkaitan dengan pemaknaan tradisi Jawa
slametan (tradisi ziarah kubur) dan wacana kematian. Bagian kedua berbicara
tentang usaha melanggengkan identitas dengan menghadirkan sistem panoptik:
sistem pengawasan yang mempunyai daya mengatur. Dalam hal ini, ajaran
Kristen dengan tafsiran Alkitab yang menghadirkan Tuhan, surga, dan dosa.
Namun, disisi lain adanya penghalang dalam diri jemaat GKJ yang diselimuti
aturan-aturan tradisi lokal (kosmologi Jawa).
I. Konsepsi ajaran Kristen yang hadir dalam usaha purifikasi
Konsepsi ajaran Kristen mengantar pada perubahan hidup. Muncul
kesadaran yang mendorong untuk merubah hidupnya. Dorongan itu di alami
sebagai sesuatu dorongan yang bukan berasal dalam dirinya sendiri,
melainkan juga berasal dari luar dirinya, yaitu seperti ajaran-ajaran Kristen
yang hadir melalui dogma atau teks-teks Alkitab.
Perubahan ini mengarah pada usaha purifikasi atau pemurnian, yaitu
adanya usaha untuk menjalankan ajaran agama secara murni yang tidak
terpengaruh ajaran lain baik itu tradisi lokal ataupun ajaran-ajaran lain.
Menurut Bruno Latour purifikasi adalah sebuah usaha yang total untuk
membuat pemisahan manusia dari nonhumans seperti alam dan juga benda-
benda yang memiliki kaitan dengan subjek transenden (Keane, 2007: 23).
Purifikasi ini merupakan usaha untuk menjadi manusia yang lebih
baik di hadapan Tuhan sesuai dengan ajaran-ajaran yang diterimanya.
Lonergan (Prasetya (1993: 76) menjelaskan Agama adalah salah satu bentuk
cinta yang radikal dan total kepada Tuhan. Kemampuan untuk memilih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
Tuhan secara radikal, entah dalam taraf akal budi, moral dan cinta ini
digerakkan oleh kebebasannya untuk memilih apa yang paling bernilai, dan
oleh kehendak untuk mewujudkan nilai tertinggi tersebut dalam hidupnya.
Usaha purifikasi hadir dalam Kristen Calvinis yang datang bersama
dengan para penjajah Belanda. Bagi Calvinisime, praktek purifikasi agama
berjalan seiring dengan rasionalisme. Beragama yang baik berarti perlu
rasional. Dia perlu menjauhkan diri dari tahayul dan juga pemberhalaan atas
benda. Sejauh ini, Kekristenan menjadi panduan dan juga ekspresi purifikasi
atau pemurnian (Keane, 2007: 77)
Bagian ini ingin memperlihatkan bagaimana usaha pemurnian ajaran
yang diterima oleh jemaat GKJ Banyubiru baik secara radikal, entah dalam
taraf akal budi, moral dan cinta yang berkaitan dengan tradisi-tradisi Jawa,
mulai dari slametan, penghormatan pada leluhur (ziarah kubur), dan juga
tradisi-tradisi lainnya. Selain itu juga pemaknaan akan kematian.
Kesemuanya mengarah pada tarik ulur sikap penentuan identitas Jemaat GKJ,
antara Kejawaan dan Kekristenan.
1. Pemaknaan akan Tradisi Jawa dalam Persoalan di Sekitar Ziarah
Kubur
1.1 Slametan
Tradisi ziarah kubur tidak bisa dilepaskan dari peristiwa
kematian. Ziarah kubur dilakukan untuk menghormati orang yang telah
meninggal. Bagi orang Jawa peristiwa kematian dan juga peristiwa-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
peristiwa yang menyertai kematian dari waktu ke waktu selama tiga
tahun atau seribu hari selalu dikaitkan dengan slametan.
Slametan dalam tradisi Jawa tidak bisa begitu saja dilepaskan
dari ajaran Islam. Slametan merupakan sebuah contoh yang oleh Beatty
merupakan "ambiguitas yang teratur" di mana unsur-unsur
multivokalnya tidak hanya tindakan atau simbol-simbol material, tetapi
kata-kata yang hanya akan bermakna apabila diucapkan selama upacara
berlangsung. Orang-orang dengan orientasi yang berbeda secara
bersama-sama mendatangi suatu ritual dan merajut kesepahaman.
Signifikansi ritual ini bergantung pada apa dan bagaimana peserta
slametan menggunakan konsep-konsep kunci yang sebagian berasal
dari Islam (seperti pembacaan ayat al-Qur'an dan pemujaan atau
Shalawat pada Nabi Saw) (Beatty, 2001: 38).
Implikasi adanya ajaran Islam dalam tradisi Jawa tampak di
Desa Banyubiru. Orang berkumpul dari berbagai agama atau
kepercayaan, namun doa yang dilakukan menggunakan ajaran Islam
(Tahlil dan pembacaan ayat al-Quran). Doa ini dipimpin oleh modin di
Desa Banyubiru, dan diikuti oleh warga yang beragama Islam,
sedangkan yang beragama lain berdoa dalam hati menurut
keyakinannya masing-masing.
Manusia Jawa menjadikan Slametan sebagai sesuatu tradisi
yang penuh makna. Tradisi ini hadir karena adanya sifat manusia yang
memiliki ketergantungan terhadap sesuatu yang gaib, alam dan sesama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
manusia. Sifat ketergantungan ini membawa konsekuensi logis dalam
diri manusia Jawa untuk senantiasa melakukan slametan atau “laku
ritual” (Harsapandi, 2005:13). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Geertz (1981:17) berkaitan dengan makna slametan. Menurut Geertz
karena orang melakukan slametan, arwah setempat tidak akan
mengganggu, membuat orang merasa sakit, sedih atau bingung.
Keadaan yang digambarkan slamet (selamat), yang oleh orang Jawa
didefinisikan sebagai “gak ana apa-apa” (tidak ada apa-apa), atau
lebih tepat “tidak akan ada sesuatu yang akan menimpa seseorang.”
Setiap kejadian yang dialami di dunia selalu dihubungkan dengan roh-
roh gaib (leluhur). Pemikiran masyarakat Jawa tersebut turut mendasari
perilaku masyarakat sehari-hari, sehingga masyarakat Jawa senantiasa
berusaha agar roh-roh leluhur selalu berkenan dengan manusia. Oleh
karena itu, slametan menjadi ritual menjaga keselarasan dan
keharmonisan hubungan dengan roh gaib (leluhur) (Wisnumurti, 2012:
150).
Pemaknaan akan tradisi lokal bagi Jemaat GKJ di Banyubiru
memiliki perbedaan ketika dipimpin oleh Bapak Pdt Pinoejadi dengan
Bpk Pdt Utomo. Pebedaan ini tampak dari kelunakan dan juga
pemahaman terhadap berbagai tradisi lokal yang berkaitan dengan
slametan, seperti hajatan nyunatke, nyadaran, genduren, dan juga
slametan memperingati meninggalnya saudara.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
Pada saat GKJ dipimpin oleh Bapak pdt Pinoejadi kekakuan
sangat dirasakan, tidak ada kelenturan untuk menjalankan tradisi lokal.
Bahkan laku prihatin dalam tradisi Jawa seperti berpuasa Senin Kamis
dilarang. Larangan ini didasarkan atas teks Alkitab dalam usaha
purifikasi. Inilah salah satu ajaran yang diungkapkan oleh Bapak Pdt
Pinoejadi :
“Bagi keluarga Kristen tidak perlu untuk berpuasa karena
sudah diwakili Tuhan Yesus yang berpuasa 40 hari lamanya.
Jadi kita cukup bertekun dan memohon pada Tuhan Yesus.”81
Pernyataan ini memperlihatkan adanya kekakuan terhadap
tradisi lokal. Teks Alkitab menjadi lebih kuat bagi para Jemaat ketika
ditafsirkan oleh pendeta. Tidak mengherankan jika Jemaat pada saat itu
tidak pernah melakukan puasa seperti dalam tradisi Jawa. Selain itu
juga larangan untuk melakukan hajatan ketika sunatan. Menurut Pdt
Pinoejadi yang terpenting bukan hajatan sunatannya tetapi sunatan
karena faktor kesehatan. Tidak ada unsur slametan dalam bentuk
genduren seperti yang dilakukan oleh warga Banyubiru secara umum.
Begitu juga peringatan leluhur mereka, baik 3 hari, 7 hari, 40
hari, dan seterusnya tidak diperkenankan. Hanya dilakukan doa
penghiburan, karena semua telah diselamatkan Tuhan bagi yang
percaya.82
Dogma semacam ini menghadirkan sebuah tradisi yang
berbeda dari tradisi Jawa yang menganggap sesuatu penghormatan dan
81
Berdasarkan wawancara dengan Bu Giyati (Jemaat GKJ Banyubiru) tanggal 10 Juni 2013
82 Berdasarkan wawancara dengan Bu Giyati (Jemaat GKJ Banyubiru) tanggal 10 Juni 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
mendoakan leluhur menjadi sesuatu yang penting. Bagi orang Jawa
dalam ritual slametan ada unsur tolong menolong dan bekerjasama
antara yang hidup dan leluhur yang telah meninggal. Seperti hasil
penelitian Geertz berkaitan dengan slametan:
“Slametan adalah versi Jawa dari apa yang barangkali
merupakan upacara keagamaan yang paling umum di dunia;
ia melambangkan kesatuan mistis dan sosial mereka yang
ikut serta di dalamnya. Handai taulan, tetangga, rekan
sekerja, sanak keluarga, arwah setempat, nenek moyang yang
sudah mati, dan dewa-dewa yang terlupakan, semuanya
duduk bersama menngelilingi satu meja dan karena itu terikat
ke dalam satu kelompok sosial tertentu yang diwajibkan
untuk tolong-menolong dan bekerja sama” (Geertz, 1981:
13).
Ini memperlihatkan bagaimana leluhur memiliki peran penting
dalam masyarakat Jawa. Di sisi lain Bapak Pendeta Pinoejadi memiliki
ajaran yang berbeda dalam menyikapi wacana ini. Tidak ada unsur
pentingnya leluhur. Tuhan menjadi jalan utama bagi diri mereka. Ini
sesuai dengan pusat dari teologi Calvin, yang memusatkan semua
kehidupan pada Allah bukan manusia (Lukito, 2009:26)
Perbedaan dirasakan oleh Jemaat GKJ Banyubiru di bawah Pdt
Setyo Utomo. Ada kelenturan akan tradisi lokal, yaitu dengan
meletakan tradisi lokal sebagai sebuah kehidupan sosial masyarakat.
Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Ratno berikut :
“Pak Setyo Utomo lebih modern, lebih lunak dibanding
dengan pak Pinoejadi yang ditaktor meskipun sama-sama
sarjana teologi. Kalau Pak Setyo Utomo memperbolehkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
dan bahkan mau dipanggil untuk berdoa ketika ada hajatan 40
hari, 100 hari atau hajatan-hajatan lainnya.”83
Meskipun dalam tingkat pemaknaan tidak sama dengan penganut
tradisi Jawa. Perbedaan ini tampak dari penghayatan slametan dalam
ritual Jawa. Ini sesuai dengan pandangan Beatty, setiap orang akan
memaknai slametan secara berbeda. Slametan mencerminkan suatu
fungsi kritis dari simbolisme dalam tatanan yang secara ideologis
beranekaragam, dan mendorong kesadaran kolektif menuju satu kesatu
an, sehingga symbol multivokal dengan sendirinya menjadi sarana bagi
sinkretisme (Beatty, 2001: 38). Inilah pemaknaan Bapak Setyo sebagai
seorang pendeta memperbolehkan jemaatnya mengikuti slametan:
“Jadi segala sesuatu menurut saya baik, entah bentuk ritual
apapun dalam ritual Jawa. Saya katakan baik karena semata-
mata menghormati, karena kosmologi ini dibangun dalam
proses yang lama. Di satu sisi saya mempunyai kepentingan
agamawi, kosmologi Jawa sedikit demi sedikit diganti
dengan ajaran Kristen.”84
Di balik kelenturan dalam menjalankan tradisi lokal ternyata ada
makna atau tujuan yang berbeda. Muncul unsur menggantikan
pemahaman akan tradisi Jawa menjadi ajaran Kristen. Konsep agency
tetap berbeda dari pandangan Jawa: kekuatan roh dan kosomologi Jawa
tetap tidak diakui. Meskipun demikian mengapa harus sesuai dengan
ritual Jawa, mengapa harus ada peringatan orang meninggal. Inilah
ungkapan dari Bapak Setyo berkaitan dengan peringatan kematian:
83
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Suratno (Jemaat GKJ Banyubiru) tanggal 20 Mei
2013
84 Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Pdt Setyo Utomo tanggal 9 September 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
“Mengapa harus sesuai 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan
1000 hari, ya karena manusia Jawa. Menjaga rasa was
sumelangnya (kekawatiran) tetap harus kita hargai. Di satu
sisi kita yang penting tidak menggunakan kosmologi Jawa
lagi, tetapi perasaan-perasaan seperti itu harus kita jaga.
Seolah-olah memang terkesan mengikuti kosmologi Jawa,
sebenarnya tidak.” 85
Strategi menempatkan identitas antara Jawa dan Kristen tampak
dalam perilaku peringatan kematian ini. Tetap menjalankan ritual
slametan sesuai dengan ritual Jawa, namun dimaknai secara berbeda.
Bagi jemaat GKJ tidak ada unsur arwah leluhur, yang didoakan justru
yang masih hidup atau yang ditinggalkan. Seperti apa yang diungkapan
salah satu jemaat GKJ Banyubiru berikut:
“Ada kegiatan mengenang dan mengucap syukur, yang juga
diikutkan dalam tradisi Jawa, misal 40 hari, 100 hari, dan
bahkan 1000 hari. Intinya di sana hanya ngumpul dari jemaat,
diungkapkan ucapan syukur karena masih diperbolehkan
untuk mengenang segala kebaikannya. Kita tidak mendoakan
arwah yang meninggal tapi berdoa untuk yang ditinggalkan
supaya diberi kekuatan dan penghiburan.”86
Inilah bentuk negosiasi identitasnya, jemaat GKJ masih
menyadari bahwa mereka adalah orang Jawa namun disisi lain dia juga
orang Kristen. Sehingga dalam tradisi slametan, mereka tetap
melakukan namun merubah maknanya. Orang dari luar akan tetap
melihat bahwa mereka menjalankan ritual dalam tradisi Jawa seperti
kelompok masyarakat Jawa yang lain.
85
idem
86 Berdasarkan wawancara dengan Bapak Sisiwantoro (Jemaat GKJ Banyubiru) tanggal 22 Maret
2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
Jemaat GKJ saat mengadakan slametan (genduren) secara
umum memiliki kesamaan seperti warga masyarakat lainnya. Mereka
berkumpul bersama, mengundang tetangga satu rukun tetangga (RT),
atau mungkin satu rukun warga (RW). Keluarga yang mempunyai hajat
menyiapkan sejumlah makanan untuk dibagikan, biasanya dimasukan
ke dalam keranjang yang dibungkus dengan plastik. Satu kepala
keluarga akan mendapatkan satu bagian.
Perbedaan terletak dari ujub doa dan pemimpin doa. Jika yang
mempunyai hajat warga beragama Islam maka dipimpin oleh seorang
modin, Katolik dipimpin oleh prodiakon, Kristen oleh pendeta. Ujub
doa yang diungkapkanpun berbeda, orang Islam dan Katolik selalu
memohon ampun atas dosa dan juga mohon ketenangan arwah bagi
yang telah meninggal. Warga yang beragama Kristen justru tidak
pernah mendoakan orang yang telah meninggal tersebut, namun dalam
doanya mohon keselamatan dan penghiburan bagi keluarga yang
ditinggalkan.
Setelah slametan atau genduren biasanya keluarga yang
memiliki hajat akan melanjutkan dengan kelompok seagamanya.
Sebagai contoh untuk upacara mengenang kematian, warga muslim
akan mengadakan pengajian, Katolik dengan sembahyangan,
sedangkan Kristen doa penghiburan atau biston. Mereka memiliki ujub
masing-masing, yang intinya berdoa bersama dalam satu imannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
Wujud slametan lain yang diadakan di Banyubiru adalah Merti
Desa. Slametan tersebut diadakan satu tahun sekali dengan nama
Sedekah Bumi Perdikan Banyubiru. Jemaat Kristen juga menerima
tradisi tersebut. Ini terlihat dari keterlibatan beberapa Jemaat GKJ,
mulai dari kegiatan ziarah Kubur bersama, slametan, bahkan
menghadiri saat pertunjukan wayang kulit. Keterlibatan ini karena
adanya keinginan Jemaat untuk terlibat dalam lingkungan sosial
masyarakat. Namun, disisi lain mereka meyakini bahwa keselamtan
datang dari Tuhan bukan melalui leluhur mereka, jadi yang mereka
lakukan hanya datang dalam ritual tersebut sebagai wujud tanggung
jawabnya sebagai warga masyarakat. 87
1.2 Penghormatan Leluhur dalam Tradisi Ziarah Kubur
Masyarakat Jawa mencoba menghormati dan mendoakan
leluhur mereka dengan berbagai cara, salah satunya melalui tradisi
ziarah kubur. Berbagai sesaji dihadirkan saat ziarah kubur, mulai dari
bunga, air, dan juga kemenyan. Tradisi semacam ini boleh dikatakan
sebagai wujud pengorbanan anak-cucu kepada para leluhur yang telah
sumare (meninggal) (Endraswara, 2006). Bahkan lebih dari sekedar
sebuah penghormatan dan pengorbanan bagi leluhur mereka,
masyarakat Jawa meyakini bahwa para leluhur yang telah meninggal
pantas dimintai berkah agar membantu anak cucu yang masih hidup di
dunia (Darusuprapta 1998:48).
87
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Darman (Majelis GKJ Banyubiru) tanggal 20 Mei 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
Konsep ini berbeda dari pemahaman Krsiten tentang
penghormatan pada leluhur. Meskipun pada dasarnya Jemaat GKJ juga
melakukan penghormatan kepada leluhur mereka namun hanya sebatas
mengenang segala kebaikan mereka, tanpa ada unsur mendoakan
leluhur mereka. Seperti apa yang diungkapkan oleh salah satu jemaat
GKJ berikut:
“Ke kuburan bagi orang Kristen, khususnya Kristen Jawa itu
tidak tabu. Bukan juga karena rikuh (sungkan) dengan
tetangga, tetapi biasanya memiliki motivasi tersendiri, yaitu
ingin mengenang kebaikan orang yang dimakamkan, tetapi
tidak mendoakan yang dimakamkan disitu. Kita hanya nguri-
nguri (melestarikan) budaya saja, tetapi kita mendoakan
hanya keluarga yang ditinggalkan, karena kalau arwah sudah
di tangan Tuhan.”88
Jemaat GKJ nguri-nguri (melestarikan) budaya Jawa, ini
memperlihatkan adanya usaha untuk menunjukkan diri mereka sebagai
manusia Jawa. Negosiasi identitas Jawa dan Krsiten terlihat dari ritual
ziarah kubur. Meskipun mereka memakanai kegiatan ini secara berbeda
dari tradisi Jawa, namun tetap melakukan ziarah kubur. Inilah makna
ritual ziarah kubur bagi jemaat GKJ di Banyubiru:
“Dilaksanakan tidak apa-apa tapi hanya untuk mengingat
saja, mengingat kembali peristiwa dalam keluarga itu, doanya
ya tetap kepada yang di atas. yang terpenting tertuju pada
Tuhan, jangan sampai terpusat justru pada upacara adatnya”89
88
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Sisiwantoro (Jemaat GKJ Banyubiru) tanggal 22 Maret
2013
89 Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Suratno (Jemaat GKJ Banyubiru) tanggal 20 Mei
2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
Penghormatan ini memperlihatkan konsep yang berbeda dengan
pemaknaan masyarakat Jawa. Bagi orang Jawa mendoakan leluhur
memiliki esensi yang penting, bahkan memohonkan ampun atas
kesalahan orang yang telah meninggal tersebut dan juga memohon
pangestu untuk anak-cucu yang masih hidup.
Penghormatan juga diwujudkan melalui simbol-simbol tertentu,
misal tabur bunga. Jemaat GKJ menjadikan bunga yang ditabur saat
nyekar sebagai wujud kasih mereka, terlepas dari ungkapan-ungkapan
lain seperti doa atau bahkan pangestu. Seperti apa yang diungkapkan
oleh salah satu jemaat GKJ berikut:
“Tabur bunga menurut saya wujud katresnane (cinta) pada
orang yang dimakamkan, kita memberikan sesuatu pada yang
meninggal disimbolkan melalui bunga, ya intinya
mewujudkan rasa kasih.”90
Bunga menjadi pralambang wujud cintanya kepada orang yang
dimakamkan di situ. Tidak ada unsur permohonan atau mendoakan orang
yang dimakamkan. Saat menabur bunga tidak ada harapan yang
didambakan atau orang Jawa sering mengatakan mohon pangestu.
Ritual menabur Bunga ini tidak bisa dilepaskan begitu saja dari
tradisi Jawa. Jemaat GKJ menabur bunga juga ingin menunjukan bahwa
mereka juga manusia Jawa. Meskipun esensinya berbeda dari tradisi
Jawa. Seperti apa yang diungkapkan oleh salah satu jemaat GKJ berikut:
90
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Suratno (Jemaat GKJ Banyubiru) tanggal 20 Mei
2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
“(Jemaat GKJ) kalau ke makam tetap membawa dan menabur
bunga, secara pribadi saya memberikan penghormatan pada orang
yang meninggal. Tetapi tidak memohon pada yang meninggal
misalnya pangestu semacam itu”91
Ungkapan ini memperlihatkan bagaimana jemaat GKJ di satu sisi
masih melakukan ziarah kubur namun memiliki esensi yang berbeda.
Tradisi menabur bunga hanya sebagai wujud penghormatan tanpa ada
makna yang tertuju pada roh leluhur, seperti pangestu dan mendoakan
leluhur mereka.
Sikap ini dilakukan tidak bisa dilepaskan dari pengetahuan yang
mereka dapatkan. Pengetahuan yang diperoleh dari berbagai kekuasaan
di sekeliling mereka. Kekuasaan di sini tidak datang dari perorangan atau
kelompok pemimpin. Menurut Foucault “Kekuasaan bukan sesuatu
dominasi baik perorangan atau kelompok, seperti penguasa ataupun raja.
Kekuasaan ada di mana-mana dan juga datang dari manapun” (Foucault,
1998: 63). Kekuasaan lebih bersifat produktif, baik berupa pengetahuan
atau praktik-praktik yang mereka yakini sebagai kebenaran. Jemaat GKJ
Banyubiru sebagai orang Kristen dan juga orang Jawa, dalam menyikapi
soal ziarah kubur dan juga tradisi Jawa lainnya memunculkan berbagai
macam strategi. Pengetahuan yang mereka peroleh mengantar pada
pilihan identitas antara Jawa dan Kristen.
Ziarah Kubur dan juga tradisi slametan tidak bisa dilepaskan dari
pemahaman akan peristiwa kematian atau setelah kematian. maka pada
91
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Sisiwantoro (Jemaat GKJ Banyubiru) tanggal 22 Maret
2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
bagian selanjutnya akan lebih menjelaskan bagaimana knsepsi ajaran
akan kematian yang dihadirkan di jemaat GKJ Banyubiru. Dari ajaran
tersebut dapat dilihat bagaimana implikasinya dalam kehidupan nyata di
masyarakat (tradisi Jawa).
3. Wacana akan Kematian
Setiap manusia mengalami peristiwa kematian. Tidak ada yang
tahu kapan kematian itu datang dan apa yang terjadi setelah kematian.
Singkat kata kematian berada diluar pengalaman manusia. Hampir semua
kebudayaan menyikapi kematian dengan ritual, walaupun wujud ritual
tersebut berbeda-beda. Dalam berbagai tradisi, kematian juga tidak
dianggap sebagai bentuk akhir atau titik lenyap dari kehidupan. Peristiwa
kematian ditangkap dengan sudut pandang dan pengertian yang berbeda-
beda oleh setiap orang, baik dengan ketakutan, kecemasan, pasrah,
maupun keikhlasan.
Agama-agama semitic yakni Yahudi, Kristen, Katolik, dan Islam,
selalu menekankan ajaran bahwa setelah kematian ada kehidupan lagi
(Wisnumurti, 2012: 64). Ajaran yang memberi gambaran setelah
kematian ini bukanlah sebuah kenyataan karena berada di luar
pengalaman manusia, maka segala dogma yang ada merupakan sebuah
wacana. Setiap wacana bukanlah kebenaran mutlak, bukan representasi
dari realitas sesungguhnya, melainkan reaksi manusia terhadap apa yang
terjadi padanya, sebagai reaksi manusia terhadap kekuasaan yang
mengekangnya (Foucault, 1981; Hawkes, 1996).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
Wacana tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan, di sini bagaimana
kekuatan agama sebagai kekuasaan menciptakan pengetahuan tentang
kematian. Semua agama memiliki gambaran setelah kematian, salah
satunya ajaran Kristen.
Ajaran Kristen meletakkan teks Alkitab sebagai dasar gambaran
setelah kematian. “Sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-
sama dengan aku di dalam Firdaus” (Lukas 23:39-43). Teks lain ada
yang tertulis “Sebab pada waktu tanda diberi, yaitu pada waktu penghulu
malaikat berseru dan sangkakala berbunyi, maka Tuhan sendiri akan
turun dari surga dan mereka yang mati dalam Kristus akan lebih dahulu
bangkit. Sesudah itu kita yang hidup, yang masih tinggal, akan diangkat
bersama-sama dengan mereka dalam awan menyongsong Tuhan di
angkasa. Demikianlah kita akan selama-lamanya bersama-sama dengan
Tuhan.” (I Tes 4:16-17). Dua ayat ini menjadi contoh bagi jemaat GKJ
untuk memahami bahwa orang yang meninggal dalam Kristus
memperoleh kehidupan kekal bersama Tuhan.
Dengan demikian dalam tradisi Ziarah Kubur Jemaat GKJ
memiliki keyakinan untuk tidak mendoakan orang yang sudah
meninggal. Salah satu jemaat GKJ memiliki gambaran akan kematian
demikian:
“Bagi keyakinan Kristen orang yang sudah meninggal sudah
berada digenggaman Tuhan, jadi yang kita doakan bukan
orang yang meninggal tetapi keluarga yang meninggal.”92
92
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Suratno (Jemaat GKJ Banyubiru) tanggal 20 Mei
2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
Dogma ini tentu tidak muncul begitu saja, tetapi ada proses dan
juga sarana. Pengetahuan tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan. Dalam
hal ini adalah peran pendeta sebagai pembawa firman menjadi sangat
penting, karena ajaran-ajaran ini diperoleh dari peran pendeta yang
didasarkan dari teks Alkitab.
“Ada beberapa ayat rujukan tentang kematian. Misalnya
peristiwa penyaliban “Sesungguhnya hari ini juga engkau akan
ada bersama-sama dengan aku di dalam Firdaus (Lukas 23:39-
43)”, dan masih banyak rujukan yang lain. Pada intinya menuju
pada keselamatan.”93
Wacana yang hadir melalui ajaran ini menjadi kekuatan bagi
agama untuk membentuk identitas. Ini terlihat dari strategi jemaat GKJ
dalam menyikapi persoalan tentang kematian. Dari keyakinan itulah
maka muncul praktik-praktik yang mungkin berbeda secara komunal.
Keyakinan ini berbeda dari masyarakat Jawa.
Masyarakat Jawa meyakini bahwa arwah orang meninggal
masih perlu didoakan, baik saat berziarah kubur maupun Slametan
mulai dari 3 hari bahkan sampai 1000 hari, yang tujuannya untuk
mengirim doa atau mohon pangestu bagi anak cucu yang masih hidup.
Maka ketika berziarah kubur, orang Jawa tidak hanya membersihkan
makam dan juga melakukan penghormatan, namun juga mengirim doa
yang di hayati melalui genduren atau slametan.
93
idem
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
Orang Jawa meyakini, upacara slametan memiliki makna yang
terkait dengan kepergian roh orang yang meninggal dunia. Orang Jawa
memaknai upacara slametan tersebut berkaitan dengan upaya
penyempurnaan roh dan jasad manusia. Ngesur tanah bermakna bahwa
jenasah yang dikebumikan telah berpindah dari alam fana ke alam baka.
Manusia berasal dari tanah, selanjutnya kembali ke tanah. Kemudian
diadakan slametan nelung dina (tiga hari) yang bertujuan untuk
memberi penghormatan kepada roh orang yang meninggal dunia.
Masyarakat Jawa berkeyakinan bahwa roh tersebut masih berada di
dalam rumah, namun sudah mulai berkeliaran mencari jalan untuk
meninggalkan rumah. Pada hari ketujuh, diadakan upacara slametan
mitung dina (tujuh hari) untuk menghormati roh yang mulai keluar
rumah. Setelah itu, pada hari keempat puluh kematian, diadakan
upacara slametan matang puluh dina yang bertujuan untuk memberi
penghormatan kepada roh yang sudah keluar dari pekarangan rumah.
Kemudian, upacara slametan nyatus dina dilaksanakan untuk
menghormati yang sudah berada di alam kubur. Pada hari keseribu,
juga diadakan slametan nyewu. Di samping itu, biasanya setiap tahun
diadakan slametan (Wisnumurti, 2012: 144).
Orang Kristen memiliki keyakinan yang berbeda, menurut
mereka orang yang meninggal sudah terselamatkan, sehingga tidak
perlu mengirim doa bagi arwah saudara atau orang yang sudah
meninggal. Seperti apa yang diungkapkan oleh Pendeta GKJ berikut:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
“Orang yang sudah meninggal dimuliakan, otomatis sudah
dibangkitkan, jadi disitulah akhir kebebasan manusia. Sehingga
ketika dimaknai sebagai akhir kebebasan manusia, maka orang
Kristen meyakini bahwa sudah tidak ada lagi kesempatan untuk
mendoakan atau menyucikan, memuliakan, karena sudah
terselematkan.”94
Pada dasarnya ajaran Kristen hanya menggunakan wadahnya
untuk melakukan ziarah kubur namun memiliki tujuan dan pemaknaan
yang berbeda. Dari sini terlihat sebagai sebuah tradisi yang berbeda
dari tradisi Jawa. Tarik ulur akan idetitas tidak bisa dilepaskan dari
segala ajaran yang selalu menjadi pengontrol. Jemaat GKJ meletakkan
ajara Kristen sebagai cara pandang dalam hidup ditengah masyarakat.
Namun, disisi lain secara komunal dalam masyarakat Jawa sudah
memiliki tradisi secara turun menurun. Maka pada bagian selanjutnya
akan menjelaskan, bagaimana mekanisme tarik ulur identitas.
Kekristenan dengan Alkitab yang menghadirkan “Tuhan” sebagai
panotiknya, di satu sisi jemaat GKJ juga hidup ditengah masyarakat
Jawa yang lekat dengan kosmologi Jawa. Kekuatan panotik ini
memberikan kepatuhan yang akan membawa Jemaat GKJ pada dua
kebenaran yang berbeda
II. Kekristenan dan Kejawaan: Usaha Memberikan Kepatuhan
Salah satu usaha memberikan kepatuhan adalah dengan
menggunakan mekanisme panoptik. Panopticon adalah sistem penjara
yang dikembangkan oleh Bentham, berbentuk lingkaran, dimana ditengah
94
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Setyo Utomo (Pendeta GKJ Ambrawa) tanggal 6
Juni 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
berdiri menara pengawas. Dari menara tersebut di desain supaya pengawas
dapat melihat tahanan dengan jelas, namun tahanan tidak bisa melihat
pengawas. Sehingga sistem panoptik ini menstimulasi tahanan secara
sadar dan permanen untuk selalu terawasi (Foucault, 1995 :200-201).
Panopticon ini menjadi mekanisme pengawasan yang sangat
efektif, secara otomatis ada kekuatan untuk mengontrol tubuh, perilaku,
dan berbagai kegiatan. Setiap orang dapat menggunakan mekanisme ini
dalam kehidupan seperti dalam perusahaan, keluarga, masyarakat, dan
juga sekolah. Pada dasarnya panoptikon memiliki kekuatan dalam usaha
memberikan kepatuhan dan penyeragaman (Faucault, 1995: 202).
Jemaat GKJ dalam melakukan negosiasi identitas Kejawaan dan
Kekristenan yang telah terlihat pada bagian sebelumnya sangat
dipengaruhi oleh berbagai usaha penyeragaman atau kepatuhan, dan juga
pendisiplinan seperti dalam mekanisme panoptik. Ajaran Alkitab yang
menghadirkan “Tuhan” dan berbagai ajaran dogmatis menjadi pengawasan
mereka dalam hidup sehari-hari. Dalam hal ini keterkaitannya memandang
kematian dan berbagai ritual kematian dalam tradisi di sekitar ziarah
kubur. Hal ini sesuai dengan pandangan Foucault bahwa “Panopticon
adalah sebuah mekanisme luar biasa yang digunakan untuk meletakkan
atau menghasilkan kekuasaan yang homogen” (Foucalut, 1995:202).
Jemaat GKJ dalam menegosiasikan identitasnya, tidak hanya
Alkitab sebagai ajaran Kristen yang menjadi panoptik dalam dirinya,
namun juga aturan komunal dalam masyarakat juga menjadi panoptik bagi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
dirinya. Ada usaha untuk memberi kepatuhan secara komunal. Ada
berbagai pemahaman kosmologi Jawa dan juga aturan dengan berbagai
hukuman yang tidak tertulis di tengah masyarakat Banyubiru.
Dalam hal ini analisis Foucault tentang panopticon bersifat terbatas
ketika diterapkan dalam kasus Banyubiru, karena ada dua panoptik yang
muncul untuk di negosiasikan. Namun analisa Panoptik Foucault tetap
digunakan untuk membidik mekanisme negosiasi yang khas dari jemaat
GKJ Banyubiru.
1. “Alkitab” Sebagai Panoptik
Dalam ajaran Kristen, jemaat didorong untuk bersikap baik dan
mengikuti ajaran Alkitab supaya terhindar dari “hukuman” Tuhan. Mereka
juga menjamin perdamaian atau kehidupan abadi di surga setelah
kematian. Gagasan ini sesuai dengan mekanisme panoptikon yang dibahas
oleh Foucault. Orang-orang dalam penjara dengan sistem panopticon takut
akan hukuman yang setiap saat diberikan karena para tahanan tidak bisa
melihat ketika penjaga sedang mengawasi. Hal ini karena, menara tersebut
di desain supaya pengawas dapat melihat tahanan dengan jelas, namun
tahanan tidak bisa melihat pengawas (Foucault, 1995: 201). Sistem
panoptik ini menstimulasi tahanan secara sadar dan permanen untuk selalu
merasa terawasi. Tuhan yang dihadirkan melalui Alkitab sama dengan
penjaga, memiliki kekuatan yang selalu mengawasi para tahanan. Para
tahanan dengan demikian akan menjadi pengikut agama yang selalu
merasa terawasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
Ajaran Kristen meletakkan Alkitab dengan menghadirkan “Tuhan”
sebagai usaha atau teknik mengatur individu. Ajaran Alkitab memberikan
aturan-aturan yang melekat pada individu atau terinternalisasi oleh
individu. Teks Alkitab bahkan semakin memiliki kekuatan ketika
ditafsirkan oleh pendeta. Ajaran yang didapat oleh Jemaat GKJ melalui
Alkitab ataupun tafsiran pendeta melekat dalam kehidupan sehari-hari,
salah satunya dalam menyikapi dimensi kematian, dalam hal ini soal
tradisi ziarah kubur.
Menurut Foucault “Panoptikon berfungsi sebagai semacam
laboratorium kekuasaan. Berkat mekanisme pengamatannya, panoptikon
memiliki efisiensi dan kemampuan untuk masuk ke dalam perilaku
manusia; ilmu pengetahuan bergerak sejalan dengan kekuasaan,
menemukan objek-objek pengetahuan baru di permukaan tempat
kekuasaan dipergunakan” (Foucault, 1995: 204). Tuhan dihadirkan sebagai
panoptik dalam menciptakan penyeragaman baik perilaku, ritus, dan juga
keyakinan. Jemaat Kristen menyadari bahwa Tuhan selalu hadir di tengah
kehidupan mereka, karena kuasa Tuhan yang maha kuasa. Ajaran bahwa
Tuhan adalah satu-satunya tujuan hidup baik dunia maupun setelah
kematian, memunculkan pengetahuan dan keyakinan bahwa setelah
kematian seseorang sudah ada bersama Tuhan. Keyakinan inilah yang
memunculkan pengetahuan baru akan larangan untuk mendoakan orang
yang sudah meninggal dan bahkan mohon pangestu, seperti dalam tradisi
Jawa. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu jemaat GKJ demikian :
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
121
“Ajaran semacam ini didapat dari penafsiran Alkitab, intinya
berbahagialah orang yang ikut Tuhan sampai akhir. Jadi akhir di sini
barang tentu sampai mati sudah ikut Tuhan, yang punya kuasa itu kan
Tuhan, kita orang ya semestinya harus percaya dan itu pasti.”95
Agama dalam perannya membentuk dan mempertahankan identitas
menghadirkan Tuhan. Hadirnya Tuhan yang memiliki segala “kuasa”
menjadikan Jemaat merasa didampingi dalam hidupnya. Dalam diri
manusia muncul kegembiraan ketika menjalankan ajaran dalam hal ini
“surga”.
Inilah yang menjadikan agama sebagai sebuah identitas memiliki
praktik dan juga keyakinan. Agama sendiri tidak bisa dilepaskan dari
mekanisme dan teknik kekuasaan normatif dan disipliner. Agama
mengatur individu dan masyarakat melalui berbagai teknik, salah satunya
dengan penyeragaman baik perilaku, bahasa, pakaian, maupun ritus
(Haryatmoko, 2010: 101). Sehingga kehidupan komunal disini memiliki
karakteristiknya tersendiri. Maka dari itu, fungsi agama sebagai pengatur
hidup manusia dengan menghadirkan Tuhan sebagai panoptik bagi
penganutnya mempunyai tingkat efektifitas yang tinggi. Masyarakat
bertekun dalam identitasnya sebagai kaum beragama. Ini semakin
memperlihatkan bagaimana agama menjadi kekuatan dalam membentuk
identitas seseorang.
95
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Suratno (Jemaat GKJ Banyubiru) tanggal 20 Mei
2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
2. Aturan komunal masyarakat Jawa
Kalau agama Kristen meletakan Alkitab sebagai teks sucinya
dalam aturan hidup sehari-hari, orang Jawa mengambil dunia sehari-hari
sebagai teks kunci dan tubuh manusia sebagai kitab sucinya (Beatty, 2001:
219). Ini memberikan gambaran bahwa aturan hidup manusia Jawa lebih
didasarkan atas kehidupan sehari-hari (ajaran dari para leluhur) dibanding
dengan teks tertulis.
Di Desa Banyubiru, mayoritas penduduknya beragama Islam
namun masih meyakini tradisi Jawa. Di antara penduduk Muslim ini hanya
sedikit orang yang pandai melafalkan Al-Quran ataupun ajaran-ajaran
Islam. Dengan demikian boleh dikatakan Islam di Banyubiru adalah Islam
Jawa.
Menurut Woodward keunikan Islam Jawa bukan karena ia
mempertahankan aspek-aspek kebudayaan agama pra-Islam, tetapi karena
konsep-konsep sufi menganai kewalian, jalan mistik, dan kesempurnaan
manusia diterapkan dalam suatu formasi kultus kraton (imperial cult).
Islam Jawa itu merupakan suatu model konsepsi Jawa tradisional
mengenai aturan sosial, ritual, dan bahkan aspek-aspek kehidupan sosial
seperti bentuk-bentuk kepribadian, hati dan penyakit (Woodward , 2006:
364). Seperti misalnya sifat manusia berdasarkan hari weton, ataupun
adanya berbagai ritual untuk menyembuhkan penyakit yang kadang
diyakini sebagai sengkala.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
Pemaknaan masyarakat Banyubiru terhadap tradisi ziarah kubur,
sedekah bumi, dan juga penghormatan pepunden seperti pada penjelasan
bab sebelumnya, memperlihatkan bahwa Banyubiru masih menjadikan
ritual dan tradisi Jawa sebagai hal yang penting. Seperti misalnya dalam
tradisi ziarah kubur, masyarakat di Desa Banyubiru meletakan tradisi ini
menjadi sesuatu yang sangat penting, ada berbagai ritual untuk mendoakan
dan menghormati leluhur mereka. Ini sesuai dengan gambaran bahwa
orang Jawa menjadikan tradisi ziarah kubur menegaskan bahwa kematian
tidak berarti kepunahan melainkan kesuburan. Orang-orang yang
menjalankan ziarah kubur menyelipkan harapan bahwa kesulitan hidupnya
sehari-hari dapat terbantu oleh rahmat atau berkah pangestu yang memberi
kekuatan dan menjanjikan kesejahteraan serta keselamatan dari segalanya.
(Subagyo, 2004: 146).
Pengetahuan yang didapat secara turun temurun ini menjadikan
pegangan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga ini menjadi sistem
panoptik karena masyarakat Jawa merasa terkontrol oleh pengetahuan ini.
Menurut Foucault “Panoptik bisa berfungsi sebagai usaha menciptakan
penyeragaman dalam hubungan dengan orang di tengah kehidupan sehari-
hari” (Foucault, 1995: 205). Pengetahuan di sekitar ziarah kubur
mengontrol perilaku masyarakat dalam kesehariannya, mereka memiliki
rasa bersalah ketika tidak melakukan ziarah kubur. Rasa bersalah ini
muncul karena tidak mengirim doa dan mohon pangestu pada roh leluhur.
Tidak terkecuali Jemaat GKJ, sebagai manusia Jawa juga merasa terawasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
124
dengan pemahaman ini. Mereka masih melakukan slametan sesuai dengan
hitungan atau petungan Jawa. Seperti apa yang diungkapkan oleh Pdt
Setyo Utomo “Mengapa harus sesuai 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan
1000 hari, ya karena manusia Jawa. Menjaga rasa was sumelangnya
(kekawatiran) tetap harus kita hargai.”96
Ungkapan ini memperlihatkan,
ternyata jemaatnya (GKJ Banyubiru) masih ada rasa was sumelang
(ketakutan) ketika tidak sesuai atau melanggar tradisi Jawa. Secara tidak
langsung memperlihatkan bahwa pemahaman akan tradisi Jawa berkaitan
dengan tradisi ziarah kubur atau penghormatan leluhur sudah tertanam
dalam diri jemaat GKJ.
Slametan kematian ataupun ziarah kubur dalam tradisi Jawa, selain
petungan hari, juga harus ada uburampe. Hal ini berkaitan dengan
pralambang atau simbol yang digunakan oleh masyarakat Jawa. Misalnya
uburampe yang harus ada saat genduren memperingati arwah adalah
pisang dan juga kue apem. Orang Jawa meyakini pisang menjadi
pralambang tongkat, sedangkan apem adalah payung. Tongkat payung ini
akan digunakan leluhur yang telah meninggal sebagai sarana perjalanan
mereka setelah kematian.
Jemaat GKJ dalam ritual genduren ternyata juga menggunakan
sarana tersebut, namun dengan pemaknaan yang berbeda. Seperti apa yang
diungkapkan salah satu jemaat GKJ berikut:
96
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Pdt Setyo Utomo tanggal 9 September 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
Uburampe dalam slametan saya maknai hanya sebagai simbol saja,
dengan simbol orang bisa lebih mendekat. Kita sebagai orang Kristen
bisa juga menerima budaya atau tradisi di daerah itu. Hanya menerima
dengan makna yang berbeda karena bagaimanapun orang Kristen
hidup di tengah masyarakat. Dengan kata lain jaga rasa dengan warga
lain.97
Jemaat GKJ menggunakan uburampe dalam tradisi jawa karena
ingin menjaga perasaan dengan warga lain. Mereka masih memiliki
ketakutan untuk begitu saja meninggalkan tradisi Jawa. Ada ketakutan
yang muncul di tengah masyarakat, sehingga ada usaha untuk tetap
menjalankan tradisi Jawa sebagai usaha jaga rasa, namun dilakukan
dengan pemaknaan yang berbeda dari keyakinan dalam tradisi Jawa.
Dua kekuatan pengetahuan antara “kebenaran” akan Alkitab dan
juga aturan komunal masyarakat Jawa ini menjadi pertarungan untuk
menegosiasikan identitas Jemaat GKJ. Pada akhirnya Jemaat GKJ harus
mengambil sikap tetap menjadi orang Jawa namun tetap meyakini ajaran
Kristen. Tetap menjadi orang Jawa, meskipun tidak semua pemahaman
dan keyakinan Jawa tradisional menjadi cara pandang mereka. Dalam
persoalan ziarah kubur dan juga slametan tetap dilakukan dengan esensi
dan pemaknaan yang berbeda.
97
Berdasarkan wawancara dengan bapak siswantoro (Jemaat GKJ Banyubiru) tanggal 12
September 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
126
BAB V
PENUTUP
I. Kesimpulan
Kesimpulan dalam penelitian ini dibagi dalam tiga bagian yang saling
berkaitan. Bagian pertama menyimpulkan pemahaman masyarakat Banyubiru
berkaitan dengan tradisi Jawa (ziarah kubur). Bagaimana identitas kejawaan
terbentuk di tengah masyarakat? Bagian kedua lebih melihat ajaran Kristen
sebagai usaha purifikasi yang hadir di tengah masyarakat Banyubiru yang
bertabrakan dengan tradisi Jawa dan ikut membentuk identitas seseorang.
Bagian ketiga melihat negosiasi identitas jemaat GKJ dalam menyikapi
tradisi di sekitar ziarah kubur. Berikut uraian kesimpulan penelitian ini:
Pertama, Desa Banyubiru memiliki identitas Kejawaan yang begitu
kuat. Ini terlihat dari berbagai tradisi dan pemaknaan akan sejarah Banyubiru
sendiri. Meskipun kebenaran akan sejarah Banyubiru sebagai bumi perdikan
masih menjadi perdebatan, namun masyarakat Banyubiru menjadikan wacana
tentang bumi perdikan menjadi suatu kekuatan atau gambaran dirinya sebagai
manusia Jawa. Berbagai ritual ditunjukan mulai dari sedekah bumi, slametan,
pertunjukan wayang kulit, dan juga tradisi ziarah kubur, ini semua sebagai
ungkapan penghormatan dan juga permohonan kepada leluhur mereka.
Sedekah Bumi Perdikan Banyubiru menjadi suatu usaha untuk
mencari realitas dan menjalin hubungan dengan leluhurnya. Usaha mencari
kebenaran leluhur ini menjadi wacana yang hadir di tengah masyarakat
Banyubiru. Wacana tentang sejarah dan juga keberadaan para tokoh yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
127
menjadi pepunden seperti Sora Dipoyono, Kyai Joyoproyo, dan juga Kebo
Kenanga. Para tokoh ini semakin memperkuat identitas Kejawaan masyarakat
Banyubiru karena semasa hidupnya menjadi pahlawan bagi kerajaan-kerajaan
di Jawa, bahkan sampai saat ini diyakini oleh masyarakat Banyubiru masih
memiliki kekuatan untuk membantu atau menjaga keadaan Desa Banyubiru
seperti semasa hidupnya. Keyakinan ini mengantar pada ritual slametan dan
ziarah kubur yang senantiasa hadir sebagai wujud penghormatan baik
dilakukan secara individu maupun komunal.
Penghayatan masyarakat Desa Banyubiru berkaitan dengan kejawaan
juga dipengaruhi oleh kondisi geografis. Desa Banyubiru sendiri merupakan
daerah pedesaan yang terdiri dari daerah persawahan, pegunungan, rawa, dan
juga dataran biasa. Kondisi alam ini membuat sebagian besar masyarakat
Banyubiru menggantungkan hidupnya pada alam. Kesinambungan hidup
yang bergantung dari alam menuntut masyarakat untuk selalu mensyukuri
dan memohon kesuburan akan hasil bumi. Penyatuan diri dengan alam ini
dibarengi dengan sikap menghormati leluhur, agar mudah ditolong dalam
berbagai kesulitan hidup.
Perbedaan agama di tengah masyarakat tidak menjadi permasalahan.
Mereka ternyata bisa bersatu dalam tradisi slametan, meskipun dalam tradisi
ini doa yang dilafalkan dalam ajaran Islam namun tidak menghalangi
keterlibatan pemeluk agama lain. Ini sesuai dengan penelitian Beatty yang
melihat realitas slametan sebagai sebuah hubungan antara sinkretisme
sebagai proses sosial, multivokal ritual, dan hubungan antara Islam dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
128
tradisi lokal (Beatty, 2001:43). Tradisi Islam tidak bisa dilepaskan dari tradisi
slametan. Unsur Islam tetap hadir dalam tradisi lokal, kemenyan, tumpeng,
ingkung, dan bunga hadir sebagai simbol lokalitas namun doa yang dilafalkan
dalam ajaran Islam.
Masyarakat di Desa Banyubiru sebagai manusia Jawa tidak hanya
meletakkan slametan sebagai satu-satunya wujud penghormatan, doa, dan
harapan dari leluhur mereka, akan tetapi juga dalam tradisi ziarah kubur.
Adanya praktik ritual atau ziarah kubur yang khas dalam budaya Jawa
merupakan struktur mendasar yang menyusun sistem spiritualitas masyarakat
Jawa. Meskipun terminologi ziarah kubur sendiri berasal dari bahasa Arab,
ziarah berasal dari kata ziyara yang berarti mendatangi atau mengunjungi,
sedangkan kubur berasal dari kata qubr. Jadi ziarah kubur artinya mendatangi
atau mengunjungi pekuburuan.98
Praktik tersebut seolah-olah telah
dirumuskan dalam “busana” Hindu, Buddha, atau Islam, tetapi sesungguhnya
tetap berstruktur nalar kosmologi dan spiritualitas Jawa.
Masyarakat Jawa memandang kematian bukan akhir dari segala-
galanya. Peristiwa kematian menjadi suatu peristiwa berpindahnya alam
wadag menjadi alam kelanggengan atau perjalanan kembali ke asal mula
keradaan (sangkan paraning dumadi). Oleh karena itu dalam masyarakat
Jawa setelah kematian diadakan genduren saat tiga hari, empat puluh hari,
seratus hari, dan juga seribu hari sebagai usaha mendoakan perjalanan roh
leluhur mereka.
98
Kamus besar Bahasa Indonesia, 1982:1155.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
129
Berdasarkan penelitian ini, pemahaman peristiwa kematian ini di
dapat secara turun temurun melalui cerita di masayarakat sekitar atau orang-
orang terdahulu. Wacana kematian semacam ini menjadikan praktik ziarah
kubur menjadi sesuatu yang sangat penting bahkan menjadi suatu kewajiban.
Mereka menjadikan ziarah kubur memiliki kebenaran yang kuat dan harus
dijalankan. Bahkan muncul ketakutan ketika tidak melakukan ziarah kubur,
baik ketakutan karena terasing secara komunal ataupun akan menerima
pagebluk. Kekuatan wacana ziarah kubur sebagai wujud penghormatan juga
nampak dalam simbol yang dihadirkan seperti bunga, kemenyan, dan juga
bentuk maejan (nisan).
Masyarakat Banyubiru tidak hanya berhenti berziarah pada leluhur
mereka masig-masing, namun juga berziarah pada makam pepunden. Mereka
meyakini para pepunden menjadi lantaran atau perantara harapan-harapan
mereka. Dalam pandangan masyarakat yang sering melakukan ziarah kubur
di makam pepunden, meyakini bahwa roh orang suci itu memiliki daya
melindungi manusia maupun alam. Orang suci yang meninggal, arwahnya
tetap memiliki daya sakti, yaitu dapat memberikan pertolongan kepada orang
yang masih hidup, sehingga anak cucu yang masih hidup senantiasa berusaha
untuk tetap berhubungan dan memujanya.
Kedua, di tengah masyarakat Banyubiru muncul usaha purifikasi
melalui ajaran Gereja Kristen Jawa yang bertentangan dengan tradisi lokal
(ziarah kubur dan slametan) tersebut. Penyebutan Jawa dalam Gereja Kristen
ini ternyata bertentangan dengan tradisi Jawa sendiri, dalam hal ini persoalan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
130
di sekitar tradisi ziarah kubur. Jemaat GKJ tidak mengenal tradisi ziarah
kubur. Jemaat GKJ memiliki keyakinan bahwa roh leluhur orang yang
meninggal sudah langsung berada di surga, tidak perlu ada usaha mendoakan
atau bahkan mohon pangestu seperti yang dikenal dalam tradisi Jawa.
Perbedaan pandangan ajaran Kristen terhadap lokalitas sudah terjadi
sejak pertama kali ajaran Kristen mulai hadir di tanah Jawa. Perbedaan antara
Kristen “Jawa” dan Kristen “landa” sudah terlihat. Kristen “Jawa” dengan
tokoh seperti Coolen, Kyai Sadrach, Tunggul Wulung memberi kelonggaran
pada tradisi Jawa, salah satunya ziarah kubur. Hal ini berbeda dari Kristen
“Landa” yang tidak memberi ruang terhadap tradisi Jawa. Di Banyubiru
sendiri perkembangan Gereja Kristen Jawa berkaitan dengan tradisi ziarah
kubur sangat dipengaruhi peran pemimpin Gereja.
Pengaruh dan proses pembentukan identitas Gereja Kristen Jawa hadir
di Banyubiru tanpa adanya proses pemaksaan. Menurut Foucault kekuasaan
hadir dari manapun dan tidak ada unsur kekerasan dan pemaksaan.
Penaklukan kekuasaan ini lebih produktif dengan hadir melalui ajaran yang
dibawa oleh para penyebar ajaran Kristen. Para penyebar ini terdiri dari
pendeta, misionaris, dan juga keterlibatan jemaat GKJ dari Salatiga.
Cara penyebaran hadir melalui pendalaman Alkitab. Ajaran Alkitab
ditafsirkan Jemaat GKJ sebagai jalan kebenaran dalam kehidupan. Tafsiran
ini semakin memiliki kekuatan ketika disampaikan oleh pendeta, bagi jemaat
GKJ pendeta memiliki pengetahuan akan tafsiran Alkitab yang melebihi
kaum awam. Ajaran atau dogma yang hadir melalui teks Alkitab ini menjadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
131
pedoman dalam menyikapi tradisi di sekitar ziarah kubur, dengan kata lain
menjadi cara pandang hidup mereka.
Tidak ada unsur kekerasan atau pemaksaan dalam menyeragamkan
perilaku jemaat Krsiten. Ajaran Kristen Jawa sebagai sebuah agama mengatur
individu dan masyarakat melalui teknik penyeragaman baik perilaku, bahasa,
pakaian, maupun ritus. Dengan teknik itu akan dihasilkan identitas, yang akan
memudahkan untuk mendapatkan kepatuhan dari pemeluknya. Jemaat GKJ
bertekun dan patuh dalam ajaran Kristen yang didasarkan atas teks Alkitab.
Ketiga, usaha Gereja Kristen Jawa dalam menciptakan identitas
Kekristenan sebagai usaha purifikasi ternyata tidak berhasil secara total. Hal
ini sesuai dengan pandangan Bruno Latour bahwa purifikasi tidak pernah
berhasil (Latour, 1993; Keane, 2007:80). Usaha purifikasi yang hadir dalam
Kristen Calvinis yang datang bersama dengan para penjajah Belanda tidak
bisa sepenuhnya dilaksanakan di Desa Banyubiru. Menurut pandangan
Calvinis, beragama yang baik berarti perlu menjauhkan diri dari tahayul dan
juga pemberhalaan atas benda. Harapan jemaat GKJ untuk bertekun dan
patuh dalam ajaran Kristen yang didasarkan atas teks alkitab tidak sesuai
harapan.
Kegagalan purifikasi ini disebabkan karena pengetahuan jemaat GKJ
yang dipengaruhi oleh kekuasaan di sekitarnya. Pengetahuan dalam
menyikapi persoalan berkaitan dengan tradisi Jawa (ziarah kubur) tidak bisa
dilepaskan dari peristiwa kematian. Bagi orang Jawa peristiwa kematian
bukan suatu akhir dari segalanya, mereka memiliki keyakinan bahwa arwah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
132
orang yang meninggal masih perlu didoakan. Hal ini berbeda dengan
pandangan Kristen yang meyakini setelah kematian otomatis arwah sudah
berada bersama Tuhan di surga.
Muncul tarik ulur identitas antara Kejawaan dan Kekristenan. Jemaat
GKJ meletakkan ajaran Kristen sebagai cara pandang dalam kehidupan di
tengah masyarakat. Namun disisi lain, secara komunal dalam masyarakat
Jawa sudah memiliki tradisi Jawa (ziarah kubur) secara turun menurun.
Berdasarkan penelitian ini muncul strategi dalam menyikapi persoalan ziarah
kubur. Pada dasarnya jemaat GKJ hanya menggunakan wadahnya untuk
melakukan ziarah kubur namun memiliki tujuan dan pemaknaan yang
berbeda. Tidak ada unsur mendoakan, penghayatan, serta pemaknaan seperti
dalam tradisi Jawa.
Tarik ulur akan identitas tidak bisa dilepaskan dari segala ajaran yang
selalu menjadi pengontrol seperti dalam mekanisme panoptik. Jemaat GKJ
menjadikan ajaran Alkitab yang menghadirkan “Tuhan” dan berbagai ajaran
dogmatis menjadi pengawasan mereka dalam hidup sehari-hari. Namun, di
sisi lain ada aturan komunal dalam masyarakat yang juga menjadi panoptik
bagi jemaat GKJ.
Berdasarkan penelitian ini terlihat jemaat GKJ memiliki keraguan
untuk begitu saja meninggalkan tradisi Jawa, sehingga ada usaha untuk tetap
menjalankan ziarah kubur, di sini terlihat adanya bentuk perlawanan terhadap
wacana purifikasi. Pada kenyataannya Purifikasi agama tidak berhasil secara
total. Jemaat GKJ dalam menegosiasikan identitasnya, tetap menjalankan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
133
tradisi Jawa dengan pemaknaan yang berbeda. Negosiasi identitas jemaat
GKJ bersifat kreatif. Secara personal mereka menggunakan bentuk tradisi
ziarah kubur sebagai wujud hormat bakti pada leluhurnya, sedangkan secara
komunal ziarah kubur tetap dilakukan sebagai usaha penerimaan identitasnya
sebagai manusia Jawa. Pada dasarnya jemaat GKJ tetap tidak mendoakan
leluhur atau mohon pangestu seperti yang terjadi dalam tradisi Jawa. Ziarah
kubur hanya digunakan bentuknya saja, untuk menjaga identitasnya sebagai
manusia Jawa.
II. Signifikansi Penelitian
Banyak penelitian yang berkaitan dengan tradisi ziarah kubur.
Penelitian ini lebih menitik beratkan pada proses pembentukan identitas
dalam memaknai tradisi di sekitar ziarah kubur. Meskipun penelitian ini
dalam studi kajian budaya, namun tidak menghilangkan penelitian dari aspek
antropologi dan juga sejarah. Wacana sebagai suatu kebenaran dilihat
berdasarkan sejarah dan pemaknaan subjek. Tanpa melihat sejarah dan
pemaknaan subjek, kita tidak akan sampai pada negosiasi identitas itu sendiri.
Arti penting penelitian ini bagi masyarakat adalah untuk melihat
proses pembentukan identitas yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah
satu faktor yang kuat adalah wacana. Melalui wacana, masyarakat merasa
memiliki pengetahuan akan kebenaran secara mutlak. Seperti pada awal
penelitian telah disinggung pentingnya penelitian ini dilakukan supaya
masyarakat melihat adanya perbedaan bukan menjadi suatu kehancuran, atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
134
tidak berpikir akan kebenaran mutlak. Di luar kebenaran yang diyakininya
masih ada kebenaran-kebenaran lain yang perlu dilihat.
Kebenaran tidak muncul begitu saja. Kebenaran dibentuk melalui
kekuasaan yang ada di sekitarnya. Bahkan ada usaha untuk tetap menjaga
kebenaran itu melalui sistem panoptik. Dalam kasus negosiasi ini, sistem
panoptik ternyata tidak hanya bersifat tunggal. Pengawasan tidak hanya hadir
dalam satu titik saja, namun ada pengawasan lain yang ikut mempengaruhi
pembentukan identitas atau menjadikan subjek merasa terawasi.
Teori Foucault tentang panoptikon perlu diperluas. Dalam kajian ini
terlihat, ternyata pengawasan dalam menciptakan kepatuhan tidak hanya
datang dari satu titik saja, begitupula yang terjadi dalam proses pendisiplinan,
baik di penjara, rumah sakit, institusi militer, maupun sekolah tidak hanya
satu subjek atau satu titik saja yang mengawasi seperti yang digambarkan
dalam sistem panopticon. Ada faktor lain yang turut mengawasi dan ikut
menciptakan pola hidup seseorang dalam sistem pendisiplinan tersebut.
Pentingnya penelitian ini juga mengungkapkan bahwa ternyata
masyarakat bisa kreatif dalam menegosiasikan identitasnya. Ketika harus
tarik ulur karena kekuatan kekuasaan, seseorang dapat menentukan strategi
yang nyaman dalam kehidupan bermasyarakat. Seseorang tidak harus menjadi
terasing karena identitasnya.
Di Indonesia saat ini, kita sangat mudah menemukan usaha purifiksai
yang mengantar pada pemilihan identitas. Salah satu contoh adalah fenomena
kewajiban memakai hijab dan juga sholat Jumat di daerah tertentu, seperti di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
135
daerah Aceh. Pada kenyataannya purifikasi ini menuai pro dan juga kontra,
tidak bisa berjalan dengan lancar. Pada akhirnya masyarakat harus memilih,
menjadi Islam sesuai aturan atau muncul usaha lainnya.
Dalam penelitian ini melihat bahwa kebenaran yang diciptakan tidak
bisa dilepaskan dari kekuasaan yang menciptakan wacana tersebut. Menutup
tulisan ini, ada kisah semacam ini:
“Seorang kepala suku mempunyai kebiasaan membawa seekor
kera saat rapat. Kera itu diikat di bawah meja rapat. Setelah kepala suku
itu meninggal, kera itu tetap diikat di bawah meja saat rapat berlangsung,
sebagai usaha mengenang kepala suku tersebut. Setelah kera itu mati,
kebiasaan itu digantikan kera lain. Setelah beberapa generasi, kera
menjadi syarat adanya rapat. Bahkan pada generasi berikutnya, kera itu
yang menentukan hasil rapat.”
Sebagai manusia kita sering mengagungkan sebuah tradisi atau
kebiasaan-kebiasaan sebagai kebenaran mutlak, meskipun tidak tahu sejarah
dan makna dibalik ritus tersebut. Harapan penelitian ini, semoga dalam
menjalankan tradisi atau beribadah tidak merasa diri paling benar, yang
terpenting menemukan makna dalam ritus tersebut, bukan hanya melengkapi
aturan atau ajaran yang harus terpenuhi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Sumber Pustaka
Abdilah, S. 2002. Politik Identitas Etnis; pergulatan Tanda Tanpa Identitas.
Magelang: Indonesiatera
Amir, Hazim. 1991. Nilai-nilai Etis dalam Wayang. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan
Amrih, Pitoyo. 2008. Ilmu Kearifan Jawa. Yogyakarta: Pinus Book Publisher
Astiyanto, Heniy. 2006. Filsafat Jawa: Menggali Butir-Butir Kearifan Lokal.
Yogyakarta: Warta Pustaka
Beatty, Andrew. 2001. Variasi Agama di Jawa: Suatu Pendekatan Antropologi,
(terj). Achmad Fedyani Saefuddin, dari judul Asli, Varieties of Javanese
Religion, Jakarta: PT. RadjaGrafindo Persada
Beilharz, P. 2005. Teori-teori Sosial. Yogyarkata: Pustaka Pelajar
Bertens, K. 2006. Filsafat Barat Kontemporer Perancis. Jakarta: Gramedia
Bratasiswara, Harmanta, R. 2000. Bauwana Adat Tatacara Jawa. Jakarta:
Yayasan Sumirat
Boelaars, H. 2005. Indonesianisasi: dari Gereja Katolik di Indonesia menjadi
Gereja Katolik Indonesia. Yogyakarta: Kanisius
Carrette, Jeremy R. 1999. Agama, Seksualitas, Kebudayaan, Esai, Kuliah, dan
Wawancara Terpilih Michel Foucault. Yogyakarta: Jalasutra
Carey, Peter. 1986. Asal-usul Perang Jawa. Jakarta: Putaka Azet
Coote, Jermy dan Anthony Shelton. 1992. Anthropology Art and Aesthetic.
Oxford: Clarendon Press
Darusuprapta. 1988. Sarasehan Kebudayaan Jawi dalam Yatmana, Tuntutan
Kagem Pranatacara Tuwin Pamedhar Sabda. Semarang: Aneka Ilmu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dillistone, F.W. 2002. The Power Of Symbol. Yogyakarta: Kanisius
Endraswara, Suwardi. Mistisme dalam Seni Spiritual Bersih Desa di Kalangan
Penghayat Kepercayaan. Yogyakarta: Jurnal Kebudayaan Jawa Kejawen,
Vol. 1, No. 2., Agustus 2006. Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah Fak.
Bahasa Seni UNY & Narasi Yogyakarta
Foucault, Michel. 1978. The history of Sexulity: Volume I An Introduction, New
York: Pantheon Books
Foucault, Michel . 1995. Discipline & Punish: The Birth of the Prison (New
York: Vintage Books) translated from the French by Alan Sheridan
Foucault, Michel. 1984. The Foucault reader, edited by Paul Rabinow. New
York;Pantheon Books
Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, Priyayi, dalam Masyarakat Jawa (terj),
Aswab Mahasin, dari judul asli, The Religion of Java. Jakarta: Dunia
Pustaka Jaya
Guillot, C. 1985. Kiai Sadrach; Riwayat Kristenisasi di Jawa. Jakarta: Temprint
Hardjana, Agus M. 2005. Religiositas, Agama, dan Spiritualitas. Yogyakarta:
Kanisius
Hardjowirogo, Marbangun. 1989. Orang Jawa. Jakarta: Haji Masagung
Harsapandi. 2005 Suran: Antara Kuasa Tradisi dan Ekspresi Seni. Yogyakarta:
Pustaka Marwa
Haryatmoko. 2010. Dominasi Penuh Muslihat akar kekerasan dan Diskriminasi.
Jakarta : Gramedia
James, William. 2003. The Verieties of Religious Experience. Alih bahasa Luthfi
Anshari. Yogyakarta: Jendela
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Keane, Webb. 2007. Christian Moderns: Freedom and Fetish in the mission
encounter. Los Angels: University of California Press
Kusumohaimdjojo. 2009. Filsafat Kebudayaan Proses Realisasi Manusia.
Yogyakarta: Jalasutra
Lechte, John. 2001. 50 Filsuf Kontemporer: dari Strukturalisme sampai
Postmodernitas. Yogyakarta: Kanisius
Lukito, Lucas. 2009. 500 Tahun Yohanes Calvin: Pengetahuan Tentang Allah
adalah Testing Ground untuk Mengenal Manusia. Veritas-Jurnal Teologi
dan Pelayanan, SAAT Malang
Mangunwijaya, Y.B. 1988. Sastra dan Religiositas. Yogyakarta: Kanisius
McNeill, John T. 1954. The History and Character of Calvinism. United States
of America: Oxford University Press
Mrázek, Jan. 2005. Phenomenology of A Puppet Theatre. Leiden: KITLV Press
Mulyana. Spiritualisme Jawa: Meraba Dimensi dan Religiusitas Orang Jawa.
Yogyakarta: Jurnal Kebudayaan Jawa Kejawen, Vol. 1, No. 2., Agustus
2006. Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah Fak. Bahasa Seni UNY &
Narasi Yogyakarta
Pemberton, J. 1989. The Appearance of Order: A Politics of Cultural in Colonial
and Postcolonial Java. Ithaca: Cornell University
Pokok-Pokok ajaran Gereja Kristen Jawa edisi 2005. Salatiga: Sinode GKJ
Prasetya, F. Mardi. 1993. Psikologi Hidup Rohani 1. Yogyakarta: Kanisius
Radcliffe-Brown, A.R. 1979. Structure and Function in Primitive Society:
Essays and Adresses. London dan Henley: Routledge & Kegan Paul
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Saukko, Paula. 2003. Doing Research in Culturas Studies: An Introduction to
Classical and New Methodological Approaches. London: Sage
Publications
Santrock, John W. 2002. Life-Span Development (terj. Juda Damanik). Jakarta:
Erlangga
Sinaga, M. 2004. Identitas Poskolonial “Gereja Suku” dalam Masyarakat Sipil.
Yogyakarta: LkiS
Soekotjo, S.H. 2009. Sejarah Gereja-Gereja Kristen Jawa (GKJ) Jilid 1: Di
Bawah Bayang-Bayang Zending (1868-1948). Yogyakarta: Taman
Pustaka Kristen
Soekotjo, S.H. 2010. Sejarah Gereja-Gereja Kristen Jawa (GKJ) Jilid 2:
Merajut Usaha Kemandirian (1950-1985) Yogyakarta: Taman Pustaka
Kristen
Subagya, T.L. 2004. Menemui Ajal; Etnografi Jawa tentang Kematian.
Yogyakarta: KEPEL Press
Suseno, Franz Magnis.1988. Etika Jawa: Sebuah analisa falsafi tentang
kebijaksanaan hidup Jawa. Jakarta: Gramedia
Takwin, Bagus. 2003. Akar-akar Kajian Konsep Ideologi dari Plato hingga
Bourdieu. Yogyakarta: Jalasutra
Turner, Victor. 1988. The Anthropology of Performance. New York: PAJ
Publications
Wisnumurti, Rangkai. 2012. Sangkan Paraning Dumadi: Konsep Kelahiran dan
Kematian Orang Jawa. Yogyakarta: Diva Press
Woodward, Mark R. 2006. Islam Jawa: Kesalehan normatif Versus Kebatinan,
(terj), Hairus Salim. Dari judul asli, Islam in Java; Normative Pietu and
Misticism. Yogyakarta: LkiS
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI