Kedudukan Kaidah Fiqhiyah Sebagai Metode Istinbath Dalam Hukum

18
KEDUDUKAN KAIDAH FIQHIYAH SEBAGAI METODE ISTINBATH DALAM HUKUM Di Susun oleh: Tri Winarsih 10380050 JURUSAN MUAMALAT FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2012

description

Kedudukan Kaidah Fiqhiyah Sebagai Metode Istinbath Dalam Hukum

Transcript of Kedudukan Kaidah Fiqhiyah Sebagai Metode Istinbath Dalam Hukum

Page 1: Kedudukan Kaidah Fiqhiyah Sebagai Metode Istinbath Dalam Hukum

KEDUDUKAN KAIDAH FIQHIYAH SEBAGAI METODE ISTINBATH DALAM HUKUM

Di Susun oleh:

Tri Winarsih

10380050

JURUSAN MUAMALAT

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2012

Page 2: Kedudukan Kaidah Fiqhiyah Sebagai Metode Istinbath Dalam Hukum

BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Untuk menetapkan hukum atas sebuah persoalan yang dihadapi oleh ummat Islam maka jalan yang ditempuh oleh para ulama untuk menetapkannya adalah dengan melihatnya dalam al-Qur’an, kalau hal tersebut telah diatur dalam al-Qur’an, maka ditetapkanlah hukumnya sesuai dengan ketetapan al-Qur’an. Dan apabila dalam al-Qur’an tidak ditemukan hukumnya, maka para ulama mencarinya

dalam-Al-Hadis. Apabila dalam al-Hadis telah diatur, maka para ulama menetapkan hukumnya sesuai dengan ketentuan al-Hadis. Persoalan baru muncul adalah manakala hukum atas persoalan tersebut

tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan juga dalam al-Hadis, sebab al-Qur’an dan al-Hadis adalah merupakan sumber hukum pokok (primer) dalam ketentuan hukum Islam.

Dalam menghadapi kondisi yang seperti ini maka para ulama mencari sumber hukum lain yang dapat dijadikan patokan dan pegangan dalam memberikan hukum atas persoalan yang timbul, sebab

sebagaimana diketahui bahwa agama Islam itu telah sempurna dan tidak akan ada lagi penambahan hukum yang bersifat Syar’iyyah, hanya saja untuk menjawab persoalan-persoalan hukum yang timbul di kemudian hari telah diberikan rambu-rambu dan ketentuan-ketentuan lainnya dalam

rangka memberikan hukum atas persoalan baru yang timbul.

Sumber hukum baru sebagaimana dimaksudkan di atas, para ulama berbeda pendapat dalam menetapkannya. Ada yang berpendapat bahwa apabila suatu persoalan baru timbul dan itu tidak diatur dalam al-Qur’an dan al-Hadis, maka dikembalikan kepada Ijma’. Dalam hal kembali kepada Ijma’ ini, para ulama nampaknya sepakat, hanya saja yang disepakati secara utuh dalam rangka

Ijma’ adalah Ijma’ yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadis, sedangkan Ijma’ yang bersumber di luar al-Qur’an dan al-Hadis, terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama. Ada yang setuju dan ada juga yang tidak setuju. Yang setuju dengan Ijma’berpendapat bahwa sesuai dengan hadis Nabi yang menyebutkan bahwa, UmmatKu tidak akan bersepakat dalam hal kesesatan. Yang tidak setuju dengan Ijma’ berpendapat bahwa Ijma’ itu adalah hasil pemikiran dan pendapat dari para Ulama, yang namanya hasil pemikiran dan pendapat bisa salah dan juga bisa benar, oleh karena itu tidak

bisa dijadikan sebagai hukum yang pasti.

Apabila dalam ketiga hal tersebut di atas tidak juga ditemukan maka para ulama mengembalikannya kepada sumber-sumber hukum yang lain seperti Qiyas, Istihsan, Istishab, Maslahah Mursalah dan

Syar’u man Qablana. Untuk menetapkan sumber-sumber hukum Islam ini, selain para ulama berbeda pendapat, mereka (para ulama) juga berbeda pendapat dalam menetapkan kaidah-

kaidahnya. Perbedaan dalam kaidah-kaidah ini secara otomatis akan menimbulkan perbedaan-perbedaan dalam bidang produk hukum, sebab kaidah sangat menentukan produk hukum. Namun

satu hal yang pasti adalah kaidah-kaidah sangat menentukan dan sangat membantu seseorang dalam mengistimbathkan hukum.

B. RUMUSAN MASALAH

Sehubungan dengan penulisan makalah ini terdapat beberapa rumusan masalah yang ada.

Page 3: Kedudukan Kaidah Fiqhiyah Sebagai Metode Istinbath Dalam Hukum

1. Mengerti dan memahami pengertian kaidah fiqhiyah.

2. Mengerti dan memahami kedudukan kaidah fiqhiyah sebagai metode istinbath hukum

3. Mengerti dan memahami manfaatb adanya istinbath hukum di masa sekarang ini.

C. TUJUAN PEMBAHASAN

Makalah ini disusun bertujuan agar kita mengetahui, memahami dan mengerti tentang bagaimana kedudukan kaidah fiqhiyah sebagai metode istinbath hukum, juga agar alasan untuk memperkuat

makalah ini yaitu manfaat adanya metode ini sebagai salah satu sumber ijtihad hukum para ulama di masa setelah Rosul sampai saat ini.

Page 4: Kedudukan Kaidah Fiqhiyah Sebagai Metode Istinbath Dalam Hukum

BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN KAIDAH FIQHIYAH

Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad warson menembahkan bahwa,

kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl

ayat 26 :

”Allah akan menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya”.

Secara terminologis, kaidah mempunyai beberapa arti. Dr. Ahmad Muhammad Asy-Syafi’i, dalam bukunya Ushul Fiqh Islami menyatakan bahwa kaidah adalah : hukum yang bersifat universal (kulli)

yang diikuti oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak.

Sedangkan bagi mayoritas ulama ushul fiqh sebagaimana disebutkan oleh Drs. H. Muchlis Usman, MA. mendefinisikan kaidah sebagai berikut : hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian

dengan sebagian besar bagian-bagiannya.

Sedangkan arti fiqhiyah diambil dari kata fiqh yang diberi tambahan “ya’ ” nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan atau membangsakan. Secara etimologi makna fiqh lebih dekat kepada ilmu

sebagaimana yang banya dipahami oleh para sahabat, makna tersebut diambil dari firman Allah : untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama. Dan sabda Nabi Muhammad SAW: barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya diberikan kepadanya kepahaman

agama.

Sedangkan dalam arti istilah sebagaimana disebutkan Al-Jurjani Al-Hanafi, fiqh berarti : ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang amaliyah yang diambil dari dalil-dalil yang tafsili(terperinci),

dan diistinbathkan lewat ijtihad yang memerlukan analisa dan perenungan.

Dan masih banyak lagi definisi lain yang dikemukan oleh para ulama tentang definisi daripada fiqh. Dari definisi-definisi tersebut, secara umum dapat disimpulkan bahwa makna fiqh itu adalah berkisar

pada rumusan sebagai berikut :

1. Fiqh merupakan bagian dari syari’ah.

2. Hukum yang dibahas mencakup hukum yang amali.

3. Objekhukum pada orang-orang mukallaf.

4. Sumber hukum berdasarkan Al Qur’an ataupun As Sunnah atau juga bisa dengan dalil lain yang bersumber pada kedua sumber utamma tersebut.

Page 5: Kedudukan Kaidah Fiqhiyah Sebagai Metode Istinbath Dalam Hukum

5. Dilakukan dengan jalan istinbath atau juga dengan ijtihad sehingga kebenarannya kondisional dan temporer adanya.

Berikut merupakan beberapa rumusan definisi yang telah dipetakan oleh para fuqoha’. Hal ini bisa ditarik kesimpulan bahwa kaidah fiqhiyah merupakan suatu perkara yag kulli yang bersesuaian dengan juz’iyah yang banyak dari padanya di ketahui hukum-hukum juz’iyah itu. Pengertian ini

diungkapkan oleh Imam Tajuddin As Subki. Lain halnya yang dikemukakan oleh Dr. Mustafa Ahmad Az Zarqa’ bahwasanya beliau menyimpulkan bahwa kaidah fiqhiyah yaitu dasar-dasar yang bertalian dengan hukum syara’ yang bersifat mencakup(sebagian besar bagian-bagiannya ) dalam bentuk teks-

teks perundang-undangan yang ringkas yang mengandung penetapan hukum-hukum yang umum pada peristiwa-peristiwa yang dapat dimasukkan pada permasalahannya.

B. SEJARAH PERKEMBANGAN KAIDAH FIQHIYAH

Sejarah perkembangan dan penyusunan Qawaidul Fiqhiyah diklarifikasikan menjadi 3 fase, yaitu :

1. Fase pertumbuhan dan pembentukan

Masa pertumbuhan dan pembentukan berlangsung selama tiga abad lebih. Dari zaman kerasulan hingga abad ke-3 hijrah. Periode ini dari segi pase sejarahhukumi islam, dapat dibagi menjadi tiga zaman Nabi muhammad SAW, yang berlangsung selama 22 tahun lebih (610-632 H / 12 SH-10 H), dan zaman tabi’in serta tabi’ tabi’in yang berlangsung selama 250 tahun (724-974 M / 100-351 H). Tahun 351 H / 1974 M, dianggap sebagai zaman kejumudan, karena tidak ada lagi ulama pendiri

maazhab. Ulama pendiri mazhab terakhir adalah Ibn Jarir al-Thabari (310 H / 734 M), yang mendirikan mazhab jaririyah.

Dengan demikian, ketika fiqh telah mencapai puncak kejayaan, kaidah fiqh baru dibentuk dab ditumbuhkan. Ciri-ciri kaidah fiqh yuang dominan adalah Jawami al-Kalim (kalimat ringkas tapi

cakupan maknnya sangat luas). Atas dasar ciri dominan tersebut, ulama menetapkan bahwa hadits yang mempunyai ciri-ciri tersebut dapat dijadikan kaidah fiqh. Oleh karena itulah periodesasi sejarah

kaidah fiqih dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW.

Sabda Nabi Muhammad SAW, yang jawami al-Kalim dapat ditinjau dari dua segi, yaitu :

a. Segi sumber : Ia adalah hadits, oleh karena itu, ia menjadi dalil hukum islam yang tidak mengandung al-Mustasnayat

b. Segi cakupan makna dan bentuk kalimat : Ia dikatakan sebagai kaidah fiqh karena kalimatnya ringkas, tapi cakupan maknanya luas.

Beberapa sabda Nabi Muhammad SAW yang dianggap sebagai kaidah fiqh, yaitu :”pajak itu disertai imbalan jaminan”, ”Tidak boleh menyulitkan (orang lain) dan tidak boleh dipersulitkan.

Demikian beberapa sabda Nabi Muhammad SAW, yang dianggap sebagai kaidah fiqh. Generasi berikutnya adalah generasi sahabat, sahabat berjasa dalam ilmu kaidah fiqh, karena turut serta

membentuk kaidah fiqh. Para sahabat dapat membentuk kaidah fiqh karena dua keutamaan, yaitu

Page 6: Kedudukan Kaidah Fiqhiyah Sebagai Metode Istinbath Dalam Hukum

mereka adalah murid Rasulullah SAW dan mereka tahu situasi yang menjadi turunnya wahyu dan terkadang wahyu turun berkenaan dengan mereka.

Generasi berikutnya adalah tabi’in dan tabi’ tabi’in selama 250 tahun. Diantara ulama yang mengembangkan kaidah fiqh pada generasi tabi’in adalah Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim (113-182), dengan karyanya yang terkenal kitab Al-Kharaj, kaidah-kaidah yang disusun adalah : ”Harta setiap

yang meninggal yang tidak memiliki ahli waris diserahkan ke Bait al- mal”

Kaidah tersebut berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul Mal sebagai salah satu lembaga ekonomi umat Islam dapat menerima harta peninggalan (tirkah atau mauruts), apabila yang

meninggal dunia tidak memiliki ahli waris. Ulama berikutnya yang mengembangkan kaidah fiqh adalah Imam Asy-Syafi’i, yang hidup pada fase kedua abad kedua hijriah (150-204 H), salah satu

kaidah yang dibentuknya, yaitu : ”Sesuatu yangh dibolehkan dalah keadaan terpaksa adalah tidak diperbolehkan ketika tidak terpaksa”. Ulama berikutnya yaitu Imam Ahmad bin Hambal (W. 241 H), diantara kaidah yang dibangun oleh Imam Ahmad bin Hambal, yaitu : ”Setiap yang dibolehkan untuk

dijual, maka dibolehkan untuk dihibahkan dan digadaikan”

2. Fase perkembangan dan kodifikasi

Dalah sejarah hukum islam, abad IV H, dikenal sebagai zaman taqlid. Pada zaman ini, sebagian besar ulama melakukan tarjih (penguatan-penguatan) pendapat imam mazhabnya masing-masing. Usaha kodifikasi kaidah-kaidah fiqhiyah bertujuan agar kaidah-kaidah itu bisa berguna bagi perkembangan

ilmu fiqh pada masa-masa berikutnya.

Pada abad VIII H, dikenal sebagai zaman keemasan dalam kodifikasi kaidah fiqh, karena perkembangan kodifikasi kaidah fiqh begitu pesat. Buku-buku kaidah fiqh terpenting dan termasyhur

abad ini adalah :

a. Al-Asybah wa al-Nazha’ir, karya ibn wakil al-Syafi’i (W. 716 H)

b. Kitab al-Qawaid, karya al-Maqarri al-maliki (W. 750 H)

c. Al-Majmu’ al-Mudzhab fi Dhabh Qawaid al-Mazhab, karya al-Ala’i al-Syafi’i (W. 761 H)

d. Al-Qawaid fi al-Fiqh, karya ibn rajab al-Hambali (W. 795 H)

3. Fase kematangan dan penyempurnaan

Abad X H dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah fiqh, meskipun demikian tidak berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fiqh pada zaman sesudahnya. Salah satu kaidah yang disempurnakan di abad XIII H adalah “seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain,

kecuali ada izin dari pemiliknya”

Kaidah tersebut disempurnakan dengan mengubah kata-kata idznih menjadi idzn. Oleh karena itu kaidah fiqh tersebut adalah : “seseorang tidak diperbolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin”.

Page 7: Kedudukan Kaidah Fiqhiyah Sebagai Metode Istinbath Dalam Hukum

C. PEMBAGIAN KAIDAH FIQHIYAH

1. Kaidah fiqh menurut fungsinya

Dari segi fungsi, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sentral dan marginal. Kaidah fiqh yang berperan sentral, karena kaidah tersebut memiliki cakupan-cakupan yang begitu luas. Kaidah

ini dikenal sebagai al-Qawaid al-Kubra al-Asasiyyat, umpamanya :

”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”

kaidah ini mempunyai beberapa turunan kaidah yang berperan marginal, diantaranya :

”Sesuatu yang dikenal secara kebiasaan seperti sesuatu yang telah ditentukan sebagai syarat”

”Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan seperti ditetapkan dengan naskh”

Dengan demikian, kaidah yang berfungsi marginal adalah kaidah yang cakupannya lebih atau bahkan sangat sempit sehingga tidak dihadapkan dengan furu.

2. Kaidah fiqh mustasnayat

Dari sumber pengecualian, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : kaidah yang tidak memiliki pengecualian dan yang mempunyai pengecualian.

Kaidah fiqh yang tidak punya pengecualian adalah sabda Nabi Muhammad SAW. Umpamanya adalah : ”Bukti dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan kepada tergugat”

Kaidah fiqh lainnya adalah kaidah yang mempunyai pengecualian kaidah yang tergolong pada kelompok yang terutama diikhtilafkan oleh ulama.

3. Kaidah fiqh segi kwalitasnya

a. Kaidah kunci

Kaidah kunci yang dimaksud adalah bahwa seluruh kaidah fiqh pada dasarnya, dapat dikembalikan kepada satu kaidah, yaitu : ”Menolak kerusakan (kejelekan) dan mendapatkan maslahat”

Kaidah diatas merupakan kaidah kunci, karena pembentukan kaidah fiqh adalah upaya agar manusia terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya ia mendapatkan kemaslahatan.

b. Kaidah asasi

Adalah kaidah fiqh yang tingkat kesahihannya diakui oleh seluruh aliran hukum islam. Kaidah fiqh tersebut adalah : ”Perbuatan / perkara itu bergantung pada niatnya”

”Kenyakinan tidak hilang dengan keraguan”

”Kesulitan mendatangkan kemudahan”

”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”

c. Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni

Page 8: Kedudukan Kaidah Fiqhiyah Sebagai Metode Istinbath Dalam Hukum

Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni adalah ” majallah al-Ahkam al-Adliyyat”, kaidah ini dibuat di abad XIX M, oleh lajnah fuqaha usmaniah.

D. KEGUNAAN KAIDAH FIQHIYAH

Imam Abu Muhammad Izzuddin Ibn Abbas Salam menyatakan bahwa Kaidah Fiqhiyah mempunyai kegunaan sebagai suatu jalan untuk mendapat suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta

bagaimana cara mensikapi kedua hal tersebut. Sedangkan Al-Qarafi dalam al-Furu’nya menulis bahwa seorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang kepada kaidah fiqhiyah, karena jika tidak berpegang pada kaidah itu maka hasil ijtihadnya banyak bertentangan dan berbeda antara furu-furu’ itu. Dengan berpegang pada kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu’-furu’nya.

Lebih lanjut berbicara tentang kegunaan Kaidah Fiqhiyah ini adalah sebagaimana disebutkan oleh Ali Ahmad al-Nadwi sebagai berikut :

1. Mempermudah dalam menguasai materi hukum karena kaidah telah dijadikan patokan yang mencakup banyak persoalan.

2. Kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan, karena kaidah dapat mengelompokkan persoalan-persoalan berdasarkan illat yang dikandungnya.

3. Mendidik orang yang berbakat fiqih dalam melakukan analogi (ilhaq) dan tahkrij untuk mengetahui hukum permasalahan-permasalahan baru.

4. Mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti(memahami) bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari thema yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topik

tertentu.

5. Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bahwa hukum dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling berdekatan ataupun menegakkan maslahat yang lebih besar.

6. Pengetahuan tentang kaidah merupakan kemestian karena kaidah mempermudah cara memahami furu’ yang bermacam-macam.

Demikian kegunaan kaidah yang disampaikan oleh Ali Ahmad al-Nadwi. Secara sederhana, kegunaan kaidah fiqh adalah sebagai pengikat (ringkasan) terhadap beberapa persoalan fiqh. Menguasai suatu kaidah berarti menguasai sekian bab fiqh. Oleh karena itu, mempelajari kaidah dapat memudahkan

orang yang berbakat fiqh dalam menguasai persoalan-persoalan yang menjadi cakupan fiqh.

E. URGENSI KAIDAH FIQHIYAH

Kaidah fiqh dikatakan penting dilihat dari dua sudut :

1. Dari sudut sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fiqh Islam untuk memahami dan menguasai muqasid al-Syari’at, karena dengan mendalami beberapa nashsh, ulama dapat

menemukan persoalan esensial dalam satu persoalan

2. Dari segi istinbath al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai salah satu alat dalam menyelesaikan

persoalan yang terjadi yang belum ada ketentuan atau kepastian hukumnya.

Page 9: Kedudukan Kaidah Fiqhiyah Sebagai Metode Istinbath Dalam Hukum

Abdul Wahab Khallaf dalam ushul fiqhnya bertkata bahwa hash-nash tasyrik telah mensyariatkan hokum terhadap berbagai macam undang-undang, baik mengenai perdata, pidana, ekonomi dan undang-undang dasar telh sempurna dengan adanya nash-nash yang menetapkan prinsip-prinsip

umum dan qanun-qanun tasyrik yang kulli yang tidak terbatas suatu cabang undang-undang.

Karena cakupan dari lapangan fiqh begitu luas, maka perlu adanya kristalisasi berupa kaidah-kaidah kulli yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu’ menjadi beberapa kelompok.

Dengan berpegang pada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah dalam mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah yang serupa di

bawah lingkup satu kaidah.

Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abbas Salam menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah fiqhiyah adalah sebagai suatu jlan untuk mendapatkan suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan

serta bagaimana menyikapi kedua hal tersebut. Sedangkan al-Qrafy dalam al-Furuqnya menulis bahwa seorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang pada kaidah fiqhiyah, karena jika tidak berpegang paa kaidah itu maka hasil ijtihatnya banyak pertentangan dan berbeda antara furu’-furu’ itu. Dengan berpegang pada kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu’nya dan

mudah dipahami oleh pengikutnya.

Page 10: Kedudukan Kaidah Fiqhiyah Sebagai Metode Istinbath Dalam Hukum

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Kaidah Fiqhiyah (hukum) adalah dasar-dasar yang bertalian dengan hukum syara’ yang bersifat mencakup (sebahagian besar bahagian-bahagiannya) dalam bentuk teks-teks perundang-undangan

yang ringkas (singkat padat) yang mengandung penetapan hukum-hukum yang umum pada peristiwa-peristiwa yang dapat dimasukkan pada permasalahannya.

Sejarah Perkembangan Kaidah Fiqhiyah mengalami tiga fase, yaitu Fase Pertumbuhan dan Pembentukan (1-3 H); Fase Perkembangan dan Kodifikasi dan Fase Kematangan dan

Penyempurnaan.

Kaidah Fiqhiyah memiliki kegunaan yang sangat besar bagi ahli fiqh sebab kaidah fiqh adalah sebagai pengikat (ringkasan) terhadap beberapa persoalan fiqh. Menguasain suatu kaidah berarti menguasai

sekian bab fiqh.

Kaidah Fiqhiyah dapat dibagi kepada tiga bahagian besar, yaitu Kaidah Fiqh dari segi fungsinya; Kaidah Fiqh dari segi Mustasnayatnya (pengecualaiannya); dan Kaidah Fiqh dari segi Kualitasnya.

Dari sudut sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fiqh Islam untuk memahami dan menguasai muqasid al-Syari’at, karena dengan mendalami beberapa nashsh, ulama dapat

menemukan persoalan esensial dalam satu persoalan

Dari segi istinbath al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai salah satu alat dalam menyelesaikan

persoalan yang terjadi yang belum ada ketentuan atau kepastian hukumnya.

B. SARAN

Penulis tulisan ini hanya manusia yang dangkal ilmunya, yang hanya mengandalkan buku referensi dan beberapa data dari internet. Maka dari itu penulis menyarankan agar para pembaca yang ingin

mendalami masalah kedudukan kaidah fiqhiyah dijadikan sebagai metode istinbath hukum, agar setelah membaca makalah ini, juga membaca sumber-sumber lain yang lebih lengkap, tidak hanya sebatas membaca makalh ini saja. Penulis sadar bahwa dalam penulisan terdapat kesalahan baik

yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun juga sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tulisan ini.

Page 11: Kedudukan Kaidah Fiqhiyah Sebagai Metode Istinbath Dalam Hukum

KAIDAH-KAIDAH HUKUM ISLAM

Oleh : Drs. H. Ahmad Supardi Hasibuan, MA.

Pendahuluan

Untuk menetapkan hukum atas sebuah persoalan yang dihadapi oleh ummat Islam maka jalan yang ditempuh oleh para ulama untuk menetapkannya adalah dengan melihatnya dalam al-Qur’an, kalau hal tersebut telah diatur dalam al-Qur’an, maka ditetapkanlah hukumnya sesuai dengan ketetapan al-Qur’an. Dan apabila dalam al-Qur’an tidak ditemukan hukumnya, maka para ulama mencarinya dalam-Al-Hadis. Apabila dalam al-Hadis telah diatur, maka para ulama menetapkan hukumnya sesuai dengan ketentuan al-Hadis. Persoalan baru muncul adalah manakala hukum atas persoalan tersebut tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan juga dalam al-Hadis, sebab al-Qur’an dan al-Hadis adalah merupakan sumber hukum pokok (primer) dalam ketentuan hukum Islam.Dalam menghadapi kondisi yang seperti ini maka para ulama mencari sumber hukum lain yang dapat dijadikan patokan dan pegangan dalam memberikan hukum atas persoalan yang timbul, sebab sebagaimana diketahui bahwa agama Islam itu telah sempurna dan tidak akan ada lagi penambahan hukum yang bersifat Syar’iyyah, hanya saja untuk menjawab persoalan-persoalan hukum yang timbul di kemudian hari telah diberikan rambu-rambu dan ketentuan-ketentuan lainnya dalam rangka memberikan hukum atas persoalan baru yang timbul.

Sumber hukum baru sebagaimana dimaksudkan di atas, para ulama berbeda pendapat dalam menetapkannya. Ada yang berpendapat bahwa apabila suatu persoalan baru timbul dan itu tidak diatur dalam al-Qur’an dan al-Hadis, maka dikembalikan kepada Ijma’. Dalam hal kembali kepada Ijma’ ini, para ulama nampaknya sepakat, hanya saja yang disepakati secara utuh dalam rangka Ijma’ adalah Ijma’ yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadis, sedangkan Ijma’ yang bersumber di luar al-Qur’an dan al-Hadis, terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama. Ada yang setuju dan ada juga yang tidak setuju. Yang setuju dengan Ijma’ berpendapat bahwa sesuai dengan hadis Nabi yang menyebutkan bahwa, “UmmatKu tidak akan bersepakat dalam hal kesesatan”. Yang tidak setuju dengan Ijma’ berpendapat bahwa Ijma’ itu adalah hasil pemikiran dan pendapat dari para Ulama, yang namanya hasil pemikiran dan pendapat bisa salah dan juga bisa benar, oleh karena itu tidak bisa dijadikan sebagai hukum yang pasti.

Apabila dalam ketiga hal tersebut di atas tidak juga ditemukan maka para ulama mengembalikannya kepada sumber-sumber hukum yang lain seperti Qiyas, Istihsan, Istishab, Maslahah Mursalah dan Syar’u man Qablana. Untuk menetapkan sumber-sumber hukum Islam ini, selain para ulama berbeda pendapat, mereka (para ulama) juga berbeda pendapat dalam menetapkan kaidah-kaidahnya. Perbedaan dalam kaidah-kaidah ini secara otomatis akan menimbulkan perbedaan-perbedaan dalam bidang produk hukum, sebab kaidah sangat menentukan produk hukum. Namun satu hal yang pasti adalah kaidah-kaidah sangat menentukan dan sangat membantu seseorang dalam mengistimbathkan hukum.

Page 12: Kedudukan Kaidah Fiqhiyah Sebagai Metode Istinbath Dalam Hukum

Atas dasar hal-hal tersebut di atas, maka penulis merasa berkepentingan untuk membahas tentang Kaidah-Kaidah Fiqhiyah (Hukum) sebagai suatu alat bantu dalam mengistimbathkan hukum Islam. Kaidah-Kaidah ini ditelorkan oleh para ulama-ulama mujtahid pelopor mazhab-mazhab seperti Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, Imam Hambali dan imam-imam lainnya yang cukup banyak, hanya saja mazhab-mazhabnya tidak berkembang lagi pada masa sekarang ini. Para imam-imam ini mempunyai kaidah-kaidah tersendiri di dalam menetapkan ataupun mengistinbathkan hukum atas suatu persoalan yang timbul.

Pengertian Qaidah Fiqhiyah

Qaidah dalam bahan Indonesia dikenal dengan istilah kaidah (sesuai dengan judul makalah) yang berarti aturan atau patokan. Secara terminologis, kaidah mempunyai beberapa arti. Dr. Ahmad Muhammad Asy-Syafi’i, dalam bukunya Ushul Fiqh Islami menyatakan bahwa kaidah adalah :

Artinya : Hukum yang bersifat universal (kulli) yang diikuti oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak.

Sedangkan bagi mayoritas ulama ushul fiqh sebagaimana disebutkan oleh Drs. H. Muchlis Usman, MA. mendefinisikan kaidah sebagai berikut :

Artinya : Hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagian-bagiannya.

Sedangkan arti fiqhiyah diambil dari kata fiqh yang diberi tambahan ya’ nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan atau membangsakan. Secara etimologi makna fiqh lebih dekat kepada ilmu sebagaimana yang banya dipahami oleh para sahabat, makna tersebut diambil dari firman Allah :

Artinya : Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama. Dan sabda Nabi Muhammad SAW :

Artinya : Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya diberikan kepadanya kepahaman agama.

Sedangkan dalam arti istilah sebagaimana disebutkan Al-Jurjani Al-Hanafi, fiqh berarti :

Artinya : Ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang amaliyah yang diambil dari dalil-dalil yang tafshili (terperinci), dan diistinbathkan lewat ijtihad yang memerlukan analisa dan perenungan.

Dan masih banyak lagi definisi lain yang dikemukan oleh para ulama tentang definisi daripada fiqh. Dari definisi-definisi tersebut, secara umum dapat disimpulkan bahwa makna fiqh itu adalah berkisar pada rumusan sebagai berikut :

1. Fiqh merupakan bahagian dari syari’ah.2. Hukum yang dibahas mencakup hukum yang amali.3. Obyek hukum pada orang-orang mukallaf.4. Sumber hukum berdasarkan

Page 13: Kedudukan Kaidah Fiqhiyah Sebagai Metode Istinbath Dalam Hukum

al-Qur’an atau As-Sunnah atau dalil lain yang bersumber pada kedua sumber utama tersebut.5. Dilakukan dengan jalan istinbath atau ijtihad sehingga kebenarannya kondisional dan temporer adanya.

Dari ulasan tersebut di atas, baik poengertian kaidah maupun pengertian fiqh, maka yang dimaksud dengan Kaidah Fiqhiyah adalah sebagaimana dikemukakan oleh Imam Tajuddin As-Subki, sebagai berikut :

Artinya : Suatu perkara yang kulli yang bersesuaian dengan juz’iyah yang banyak yang daripadanya diketahui hukum-hukum juz’iyat itu.

Ataupun pengertian Kaidah Fiqhiyah itu adalah sebagaimana disebutkan oleh Dr. Mustafa Ahmad Az-Zarqa’ sebagai berikut :

Artinya : Dasar-dasar yang bertalian dengan hukum syara’ yang bersifat mencakup (sebahagian besar bahagian-bahagiannya) dalam bentuk teks-teks perundang-undangan yang ringkas (singkat padat) yang mengandung penetapan hukum-hukum yang umum pada peristiwa-peristiwa yang dapat dimasukkan pada permasalahannya.

Kaidah Fiqhiyah sebagaimana tersebut dalam pembahasan di atas adalah berfungsi untuk memudahkan para mujtahid atau para fuqoha’ yang ingin mengistinbathkan hukum yang bersesuaian dengan tujuan syara’ dan kemaslahatan manusia. Oleh karena itulah maka sangat tepat apabila pembahasan tentang Kaidah Fiqhiyah ataupun Kaidah Hukum termasuk dalam pembahasan Filsafat Hukum Islam, sebab Filsafat Hukum Islam adalah sebuah metode berpikir untuk menetapkan hukum Islam dan sekaligus mencari jawaban ada apa yang terkandung dibalik hukum Islam itu sendiri.

Selain dikenal adanya istilah Kaidah Fiqh, dikenal juga istilah Kaidah Ushul Fiqh. Para ulama membedakan pengertian dari kedua istilah ini, sebab Kaidah Fiqh adalah satu ilmu yang berdiri sendiri pada satu pihak dan Kaidah Ushul Fiqh juga adalah merupakan satu ilmu yang berdiri sendiri di lain pihak. Ibnu Taimiyah membedakan di antara kedua ilmu ini yaitu, Kaidah Ushul Fiqh adalah dalil-dalil yang umum (ad-Dilalatu al-Ammah), sedangkan Kaidah Fiqh adalah patokan hukum secara umum (Ibaratu ‘an ahkam al-ammah).

Kegunaan Kaidah Fiqh

Imam Abu Muhammad Izzuddin Ibn Abbas Salam menyatakan bahwa Kaidah Fiqhiyah mempunyai kegunaan sebagai suatu jalan untuk mendapat suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana cara mensikapi kedua hal tersebut. Sedangkan Al-Qarafi dalam al-Furu’nya menulis bahwa seorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang kepada kaidah fiqhiyah, karena jika tidak berpegang pada kaidah itu maka hasil ijtihadnya banyak bertentangan dan berbeda antara furu-furu’ itu. Dengan berpegang pada kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu’-furu’nya.

Lebih lanjut berbicara tentang kegunaan Kaidah Fiqhiyah ini adalah sebagaimana disebutkan oleh Ali Ahmad al-Nadwi sebagai berikut :

Page 14: Kedudukan Kaidah Fiqhiyah Sebagai Metode Istinbath Dalam Hukum

1. Mempermudah dalam menguasai materi hukum karena kaidah telah dijadikan patokan yang mencakup banyak persoalan.2. Kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan, karena kaidah dapat mengelompokkan persoalan-persoalan berdasarkan illat yang dikandungnya.3. Mendidik orang yang berbakat fiqih dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk mengetahui hukum permasalahan-permasalahan baru.4. Mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari thema yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topik tertentu.5. Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bahwa hukum dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling berdekatan atau menegakkan maslahat yang lebih besar.6. Pengetahuan tentang kaidah merupakan kemestian karena kaidah mempermudah cara memahami furu’ yang bermacam-macam.

Demikian kegunaan kaidah yang disampaikan oleh Ali Ahmad al-Nadwi. Secara sederhana, kegunaan kaidah fiqh adalah sebagai pengikat (ringkasan) terhadap beberapa persoalan fiqh. Menguasai suatu kaidah berarti menguasai sekian bab fiqh. Oleh karena itu, mempelajari kaidah dapat memudahkan orang yang berbakat fiqh dalam menguasai persoalan-persoalan yang menjadi cakupan fiqh.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Asjmuni, Prof. Drs. H., Qawa’id Fiqhiyah : Arti, Sejarah dan Beberapa Qaidah Kulliyah, (Yogyakarta : Suara Muahammadiyah, 2003).Al-Jauziyyah, Ibnu Qoyyim, I’lamu al-Muwaqqi’ien ‘An Rabbi al-‘Alamien, (Beirut : Darul Jail, t.t), III. An-Nadwi, Ali Ahmad, Al-Qowa’idul Fiqhiyah, Mafhumuha, Nisya’atuha, Tathowwuruha, dirasatu Muallifatiha, adillatuha, Muhimmatuha, Tathbiqatuha, (Damaskus, Daru al-Qalam, 1414 H / 1994 M).Mahmashshanni, Subhi, Falsafatu al-Tasyri’ al-Islami, (Beirut : Darul ‘Ilmi Lil Malayin, 1961).Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh, Sejarah dan Kaidah Asasi, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002).Mujib, Abdul, Drs. H., Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih : Al-Qawa’idul Fiqhiyyah, (Jakarta : Kalam Mulia, 2004). Usman, Muchlis, Drs. MA. H., Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah : Pedoman Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002).