Masail Fiqhiyah

55
Masail Fiqhiyah terurai dari kata mas’alah dalam bentuk mufrad (singular) yang dijamakkan (plural) dan dirangkaikan dengan kata fiqih. Masail fiqihiyah adalah masalah yang terkait dengna fiqih, dan yang dimaksud masalah fiqih pada term masail fiqihiyah ialah persoalan – persoalan yang muncul pada konteks kekinian sebagai refleksi kompleksitas problematika pada suatu tempat, kondisi dan waktu. Dan persoalan tersebut belum pernah terjadi pada waktu yang lalu, karena adanya perbedaan situasi yang melingkupinya. Ruang Lingkup Dengan lahirnya masail fiqihiyah atau persoalan-persoalan kontemporer, baik yang sudah terjawab maupun sedang diselesaikan bahkan prediksi munculnya persoalan baru mendorong kaum muslimin belajar dengan giat mentelaah berbagai metodologi penyelesaian masalah mulai dari metode ulama aklasik sampai ulama kontemporer. Untuk itu tujuan mempelajari masail fiqhiyah secara garis besar diorientasikan kepada mengetahui jawaban dan mengetahiui proses penyelesaian masalah melalui metodologi ilmiah, sistematis dan analisis. Dari sudut fiqh penyelesaian suatu masalah dikembalikan kepada sumber pokok (Al-Qur’an dan Al-Sunnah), ijma’, qiyas dan seterusnya. Sehingga nilai yang dihasilkan senantiasa berada dalam koridor . penetapan hukum akan difokuskan kepada tiga aspek : 1. Memperbaiki manusia secara individu dan kolektif agar dapat menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat. 2. Menegakkan keadilan dalam masyarakat Islam. 3. Hukum Islam terkandung didalamnya sasaran pasti yaitu mewujudkan kemaslahatan. Tidak ada hal yang sia-sia di dalam syari’at melalui Al- Qur’an dan al-Sunnah kecuali terdapat kemaslahatan hakiki di dalamnya. Langkah -Langkah Penyelesaian Masail Fiqhiyah Dasar –dasar penyelesaian masalah dalam bentuk beberapa kaidah penting 1. Menghindari sifat taqlid dan fanatisme Upaya menghindarkan diri dari fanatisme mazhab tertentu dan taqlid buta terhadap pendapat ulama klasik seperti pendapat Umar bin al-Khattab, Zaid bin Tsabit atau pendapat ualama moderen, kecuali ia adalah seorang yang bodoh dan telah melakukan kesalahan. Pelakunya disebut muqallid yang dilawankan dengn muttabi’. Yaitu muttabi’ dengan kriteria sebagai berikut : Menetapkan suatu pendapat yang dianutnya dengan dalil-dalil yang kuat, diakui dan tidak mengundang kontroversi. Memiliki kemampuan untuk mentarjih beberapa pendapat yang secara lahiriyah terjadi perbedaan melalui perbandingan dalil-dalil yang digunakan masing-masing.

Transcript of Masail Fiqhiyah

Page 1: Masail Fiqhiyah

Masail Fiqhiyah terurai dari kata mas’alah dalam bentuk mufrad (singular) yang

dijamakkan (plural) dan dirangkaikan dengan kata fiqih. Masail fiqihiyah adalah

masalah yang terkait dengna fiqih, dan yang dimaksud masalah fiqih pada

term masail fiqihiyah ialah persoalan – persoalan yang muncul pada konteks

kekinian sebagai refleksi kompleksitas problematika pada suatu tempat, kondisi

dan waktu. Dan persoalan tersebut belum pernah terjadi pada waktu yang lalu,

karena adanya perbedaan situasi yang melingkupinya.

Ruang Lingkup

Dengan lahirnya masail fiqihiyah atau persoalan-persoalan kontemporer, baik

yang sudah terjawab maupun sedang diselesaikan bahkan prediksi munculnya

persoalan baru mendorong kaum muslimin belajar dengan giat mentelaah

berbagai metodologi penyelesaian masalah mulai dari metode ulama aklasik

sampai ulama kontemporer.

Untuk itu tujuan mempelajari masail fiqhiyah secara garis besar diorientasikan

kepada mengetahui jawaban dan mengetahiui proses penyelesaian masalah

melalui metodologi ilmiah, sistematis dan analisis. Dari sudut fiqh penyelesaian

suatu masalah dikembalikan kepada sumber pokok (Al-Qur’an dan Al-Sunnah),

ijma’, qiyas dan seterusnya. Sehingga nilai yang dihasilkan senantiasa berada

dalam koridor . penetapan hukum akan difokuskan kepada tiga aspek :

1. Memperbaiki manusia secara individu dan kolektif agar dapat menjadi

sumber kebaikan bagi masyarakat.

2. Menegakkan keadilan dalam masyarakat Islam.

3. Hukum Islam terkandung didalamnya sasaran pasti yaitu mewujudkan

kemaslahatan. Tidak ada hal yang sia-sia di dalam syari’at melalui Al-

Qur’an dan al-Sunnah kecuali terdapat kemaslahatan hakiki di dalamnya.

Langkah -Langkah Penyelesaian Masail Fiqhiyah

Dasar –dasar penyelesaian masalah dalam bentuk beberapa kaidah penting

1. Menghindari sifat taqlid dan fanatisme

Upaya menghindarkan diri dari fanatisme mazhab tertentu dan taqlid buta

terhadap pendapat ulama klasik seperti pendapat Umar bin al-Khattab, Zaid bin

Tsabit atau pendapat ualama moderen, kecuali ia adalah seorang yang bodoh dan

telah melakukan kesalahan. Pelakunya disebut muqallid yang dilawankan

dengn muttabi’. Yaitu muttabi’ dengan kriteria sebagai berikut :

Menetapkan suatu pendapat yang dianutnya dengan dalil-dalil yang kuat,

diakui dan tidak mengundang kontroversi.

Memiliki kemampuan untuk mentarjih beberapa pendapat yang secara

lahiriyah terjadi perbedaan melalui perbandingan dalil-dalil yang digunakan

masing-masing.

Page 2: Masail Fiqhiyah

Diharapkan memiliki kemampuan untuk melakukan kegiatan berijtihad

terhadap hukum persoalan tertentu yang tidak didapati jawabannya pada

ulama terdahulu.

2. Prinsip mempermudah dan menghindarkan kesulitan

Kaedah ini patut diperlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan nash qath’i

atau kaidah syari’at yang bersifat pasti. Dengan dua pertimbangan sebagai

berkut:

Bahwa keberadaan syari’at didasarkan kepada prinsip mempermudah dan

menghindarkan kesulitan manusia seperti sakit, dalam perjalanan, lupa, 

tidak tahu dan tidak sempurna akal. Taklif Allah atas hambanya

disesuaikan dengan kadar kemampuan yang dimiliki.

Memahami situasi dan kondisi suatu zaman yang dialami pada saat

munculnya persoalan. Adapun kriteria maslahat sebagaimana yang biasa

dikenal adalah menrealisasikan lima kepentingan pokok dan disebut

dengan darurat khomsa, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa,

memelihara akal, memelihara harta, memelihara keturunan.

3. Berdialog dengan masyarakat melalui bahasa kondisi masanya dan melalui

pendekatan persuasif aktif serta komunikatif.

Ketentuan hukum yang akan diputuskan harus disesuaikan masyarakat yang

diinginkannya dan menggunakan bahasa layak sebagaimana bahasa masyarakat

dimana persoalan itu muncul. Bahasa masyarakat yang ideal :

bahasa yang dapat dipahami sebagai bahasa sehari-hari dan mampu

menjangkau pemahaman umum.

Menghindarkan istilah-istilah rumit yang mengundang pengertian

kontroversi.

Ketetapan hukum bersifat ilmiah karena didasarkan pertimbangan hikmah,

illat, filisofis dan Islami.

4. Bersifat moderat terhadap kelompok tekstualis dan kelompok kontekstualis.

Dalam merespon persoalan baru yang muncul, ulama bersandar kepada al-nash

sesuai bunyi literal ayat tanpa menginterpretasi lebih lanjut diluar teks itu.

Dipihak lain, kelompok kontekstualis lebih berani menginterprestasikan produk

hukum al-nash dengan melihat kondisi zaman dan lingkungan. Sementara

kelompok ini dinilai terlalu berani bahkan dianggap melampaui kewenangan

ulama salaf yang tidak diragukan kehandalannya dalam masalah ini. Menurut

mereka perbedaan masa, masyarakat, geografis, pemerintahan dan

perkembangan teknologi moderen patut dipertimbangkan serta layak mendapat

perhatian.

5. Ketentuan hukum bersifat jelas tidak mengandung interpretasi.

Page 3: Masail Fiqhiyah

Bahasa hukum relatif tegas dan membutuhkan beberapa butir alternatif

keterangan dan diperlukan pengecualian-pengecualian pada bagian tersebut.

Pengecualian ini merupakan langkah elastis guna menjangkau kemungkinan lain

diluar jangkauan ketentuan yang ada. Misalnya ketentuan hukum potong tangan

terhadap pencuri sebuah barang yang telah mencapai nisab. Umar bin Khatthab

pernah tidak memberlakukan hukum ”had” atau potong tangan terhadap pencuri

barang tuannya, karena sang tuan pelit, dan tidak membayar upah si pelayan,

maka ia memcuri barang sang tuan demi kebutuhan mendesak yaitu kelaparan.

Hikmah percaya kepada takdir

“Tiada suatu bencana pun yg menimpa di bumi dan tiada menimpa dirimu kecuali telah tertulis di dalam kitab sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yg demikian itu adl mudah bagi Allah. Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yg luput darimu dan supaya kamu tidak merasa bangga dgn apa yg telah diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai tiap orang yg sombong lagi membanggakan diri.” . Beriman kepada qadar baik dan buruk adl salah satu rukun iman yg wajib diyakini oleh tiap mukmin. Itu merupakan awal dari tawakal kepada Allah dalam segala usaha yg dilakukannya. Dengan iman pada qadar tiap mukmin akan optimis dan selalu optimis dalam segala tindak tanduk dan perbuatan serta usahanya. Karena setelah ia mencurahkan segala kemampuan yg ada padanya ia akan bertawakkal kepada Allah semata dalam hasil yg akan dicapainya. Allah Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui. Dia tidak melakukan dan menetapkan sesuatu pada hamba-Nya kecuali ada hikmahnya. Lagi pula Dialah yg mengetahui apa yg baik dan buruk bagi hamba-Nya. Dengan modal iman akan qadar baik dan buruk dan bahwa semua itu telah ditulis di al-Lauh al-Mahfuzhseorang mu’min akan siap jiwa raga menerima apa pun hasil yg diraih apa pun yg menimpanya. Jika buruk yg dicapai atau musibah yg menimpa itu tidak akan membuatnya sedih dan larut dalam kesedihan dan duka lara. Jika ia tidak mencapai apa yg diinginkannya walau pun sudah mengerahkan segala daya upaya ia tidak akan berkecil hati karenanya. Ia tahu bahwa apa yg disukainya belum tentu baik baginya dan apa yg dibencinya belum tentu buruk baginya. Sebaliknya jika kesuksesan dan keberhasilan serta untung yg diraihnya ia tidak serta merta merasa bahwa itu semua merupakan hasil jerih payahnya semata. Ia sadar bahwa semua itu adl karunia Allah semata. Ia tidak akan menyombongkan dirinya dgn segala keberhasilan itu. Tentunya dgn menyadari ini semua ia tidak akan kikir atau pelit dalam berbagi dgn sesama sebagian dari keberhasilan dan keuntungan yg diraihnya. Jika iman akan qadar baik dan buruknya kurang mantap hal itu akan membawa dampak negatif pada seseorang dalam menyikapi segala yg terjadi dalam kehidupan dunia ini. Apabila buruk yg diraih dan menimpanya ia akan larut dalam kesedihan dan kepesimisan. Bahkan akan mudah

Page 4: Masail Fiqhiyah

tumbuh subur di hatinya rasa dengki dan iri terhadap orang lain yg berhasil. Namun jika keberhasilan dan kesuksesan yg diraihnya secara perlahan akan tumbuh rasa bangga dan sombong dalam jiwanya krn merasa bahwa apa yg diraihnya adl hasil usahanya semata. Akibatnya ia akan membanggakan diri pada orang lain kikir dan pelit utk berbagi kecuali ada tujuan tertentu. Itulah sifat si Qarun yg dulunya miskin kemudian menjadi kaya raya setelah Allah mengabulkan doa nabi Musa ‘Alaihissalaam utk si Qarun. Kekayaannya melimpah ruah sampai-sampai kunci gudang-gudang penyimpanan hartanya tidak mampu diangkat oleh beberapa orang yg kuat. Tetapi rupanya dia tidak tahu diri dan tidak mau bersyukur. Dia malah membanggakan dirinya bahwa apa yg dimilikinya adl krn kepintarannya. Dia lupa bagaimana dia dulu merengek-rengek kepada nabi Musa‘Alaihissalaam agar didoakan supaya Allah memberinya kekayaan. Dia kikir dan pelit luar biasa krn baginya ia tidak perlu berbagi dgn orang-orang miskin yg bodoh menurutnya. Akhirnya Allah menenggelamkan si Qarun dan seluruh harta kekayaannya ke dalam perut bumi tanpa ada yg tersisa. Itulah salah satu contoh orang congkak akan segala ni’mat yg diraihnya. Ia tidak menyadari bahwa baik dan buruk merupakan qadar yg sudah Allah tetapkan di al-Lauh al-Mahfuzh dan bahwa semua itu adl ujian baginya. Kalaulah seseorang menyadari hal yg demikian ia akan sadar bahwa ia tidak punya alasan utk menyombongkan diri atas orang lain apalagi di hadapan Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Wallahu a’lam. Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Alhamdulillah segala puji bagi Allah yg telah memberikan ni’mat Iman dan Islam kepada kita. Aku bersaksi tiada Tuhan yg wajib disembah kecuali Allah. Tiada sekutu baginya. Dialah yg memiliki kerajaan langit dan bumi. Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad SAW adl utusan Allah. Semoga shalawat dan salam selalu tercurahkan kepadanya kepada shahabat dan kepada kerabatnya. Amma ba’duWahai kaum Muslimin rahimakumullah! Allah SWT telah berfirman yg artinya “Hai orang-orang yg beriman jika datang kepada kamu orang fasik membawa berita periksalah dgn teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yg menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” Allah SWT telah begitu tegas memberikan panduan kepada kaum muslimin di dalam menyikapi suatu informasi telitilah beritayg dibawa atau disiarkan oleh orang-orang fasik. Artinya jangan mudah percaya begitu saja kepada suatu berita kabar opini atau informasi yg disebarkan oleh orang-orang fasik. Siapakah orang-orang yg disebut fasikitu?Kata fasik berasal dari kata dasar al-fisq yg berarti “keluar” . Para ulama mendefinisikan fasik sebagai “orang yg durhaka kepada Allah SWT krn meninggalkan perintah-Nya atau melanggar ketentuannya.” Orang fasik adl orang yg melakukan dosa besar dan sering melakukan dosa kecil. Jika tidak cermat memang tidak mudah bagi kita utk memahami arti kata fasik. Karena di dalam Al-Qur’an kata fasik muncul dalam berbagai konteks. Kategori fasik bisa terjadi akibat dosa besar atau dosa kecil. Adapun kategori kafir hanya terjadi akibat tidak beriman atau dosa besar yg memang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam seperti syirik akbar meyakini bolehnya meninggalkan shalat fardhu lima waktu

Page 5: Masail Fiqhiyah

dan dosa-dosa lain yg memenuhi syarat utk menjadikan pelakunya kafir. Jadi orang fasik belum tentu kafir tetapi orang kafir sudah tentu adl fasik. Sebagian ulama mazhab Syafi’i menyatakan bahwa seseorang dapt dikatakan tidak fasik apabila kebaikannya lbh banyak dari kejahatannya dan tidak terbukti bahwa ia sering berdusta. Kaum Muslimin rahimakumullah!Tigkat penerimaan atau kepercayaan kita terhadap suatu informasi antaraberita atau informasi mengenai masalah agama yaitu yg bersumber Al-Qur’an dan As-Sunnah dgn kabar berita masalah lainnya tidaklah sama. Mengapa dikatakan tidak sama? Bukankah sama-sama kabar/berita/informasi? Islam memiliki mekanisme yg cukup rapi terpercaya dan meyakinkan di dalam konsep penyampaianberita/informasi. Islam menempatkan identifikasi “kefasikan” dan “keadilan” sebagai hal yg penting. Para ulama ahli hadits telah melakukan suatu penelitian dan penilaian terhadap sifat keadaan dan perilaku seseorang yg meriwayatkan sebuah hadits. Al-Mawardi meriwayatkan sebuah hadits Nabi SAW “Umumkanlah orang fasik dgn kondisi yg ada padanya agar masyarakat mewapadainya.” Imam Thabrani juga meriwayatkan sebuah hadits dgn sanad hasan “Sampai kapan kamu enggan menyebut tentang orang pendusta ? Umumkanlah sampai masyarakat mengetahuinya.” Para imam hadits tidak sembarang dalam menerima tiap sanad yg disebutkan orang tetapi mereka menyeleksi tiap perawi yg ada dalam sanad dgn ketat. Para perawi hadits itu diteliti kecerdasannya akhlaknya guru-gurunya dan juga murid-muridnya. Jika tidak jelas hadits yg bersumber dari perawi tersebut ditolak. Para perawi hadits disyaratkan harus jujur kuat hafalan adil dan disiplin. Berdasarkan seleksi para pakar hadits itulah mereka kemudian membuat kategorisasi hadits dan membaginya ke dalam tiga kelompok

Hadits Mutawatir yakni hadits yg diriwayatkan banyak sahabat banyak tabi’in dan seterusnya yg dipastikan mereka tidak mungkin bersepakat berbohong. Hadits tingkat ini dapat diyakini kebenaran secara pasti bahwa kabar atau berita itu berasal dari Nabi SAW.Hadits Masyhur yaitu hadits yg diriwayatkan oleh satu atau dua orang sahabat tetapi tidak sampai mencapai derajat mutawatir lalu diriwayatkan oleh generasi sesudahnya dgn derajat mutawatir.Hadits Ahad yaitu hadits yg seluruh perawinya mulai generasi sahabat tabi’in dan tabi’it tabi’in tidak mencapai derajat mutawatir. Kemudian macam hadits yg ketiga yaitu hadits ahad dikelompokkan lagi menjadi tiga macam yaituHadits Sahih yaitu hadits yg diriwayatkan oleh perawi yg adil sempurna ketelitiannya sanadnya bersambung sampai kepada Nabi SAW tidak mempunyai cacat dan tidak bertentangan periwayatan orang yg lbh terpercaya.Hadits Hasan yaitu hadits yg diriwayatkan oleh perawi yg adil tetapi kurang ketelitiannya sanadnya bersambung sampai Nabi SAW tidak mempunyai cacat dan tidak bertentangan dgn periwayatan orang yg lbh terpercaya. Jadi bedanya dgn hadits sahih terdapat pada ketelitian perawi.Hadits Dha’if yakni hadits yg tidak memenuhi syarat sahih maupun hasan. Adapun hadits dha’if ini banyak jenisnya yaitu maudhu’ mursal munqathi’

Page 6: Masail Fiqhiyah

mu’allaq mudallas mudraj munkar dan mubham. Saudara kaum Muslimin yg berbahagia!Ternyata di dalam agama Islam utk menerima suatu hadits atau kabar yg diterima dari Rasulullah SAW memiliki syarat-syarat yg sangat berat. Ini merupakan suatu mekanisme yg sangat berharga bagi agama yg lurus ini dimana agama-agama lain di dunia tidak memiliki mekanisme sumber-sumber berita keagamaan yg dapat dipercaya. Kalau kita bertanya kepada ummat Nashrani misalnya mengapa kitab injil yg saudara yakini kebenarannya itu terjadi perbedaan di antara kitab-kitab Injil yg ada di dunia? Bagaimana bisa berbeda? Bisakah menelusuri siapa-siapa saja yg telah meriwayatkan ayat-ayat yg ada dalam kitab Injil? Menelusuri siapa yg meriwayatkanberita saja tidak mampu bagaimana mungkin berita itu layak dipercayai apalagi diyakini menjadi suatu keyakinan!? Tetapi di dalam Islam siapa saja yg ingin membuktikan Al-Qur’an dimana pun Anda berada pasti kalimat dan maknanya sama baik Al-Qur’an cetakan Belanda maupun Al-Qur’an Indonesia. Dan lbh menakjubkan lagi jika kita kumpulkan anak-anak remaja yg hafal Al-Qur’an barapa banyak mereka sungguh melimpah ruah apalagi orang-orang dewasa. Mereka hafal Al-Qur’an krn dibimbing oleh gurunya yg hafal gurunya dari guru gurunnya dan seterusnya sambung-menyambung hingga dari Rasulnya Muhammad SAW. Begitulah sekelumit di antara tanda-tanda kebenaran kabar beritayg dibawa Muhammad SAW hingga hari ini dismping seabreg tanda-tanda lainnya jika kita mau memaparkannya. Kaum Muslimin rahimakumullah!Demikianlah kajian dakwah jumat yg singkat ini semoga dapat bermanfaat utk kita semua sebagai bahan renungan bagi kita bahwa nilai kabar mengenai agama kita hingga hari ini detik ini adl suatu kabar yg dapat diyakini dgn pasti kebenarannya. Sehingga dengannya keyakinan kita bertambah mantap bertambah yakin dan bertambah kuat keimanan kita amin.

. Hukum Adopsi Anak

Tidak mengapa bila selama masa penantian dan berdoa itu, anda berniat untuk memelihara anak orang lain. Istilah yang tepat bukan adopsi melainkan hadhanah. Artinya adalah mengasuh atau memelihara.

Hadhanah ini berbeda dengan adopsi. Sebab dalam proses adopsi yang legal itu sampai mengubah nasab anak tersebut di dalam dokumennya. Padahal anak itu punya nasab sendiri, dia punya ayah dan ibu yang sah, tetapi kemudian secara legal hukum diubah sedemikian rupa menjadi anak anda.

Bahkan dalam implemantasinya, anak itu seharinya-hari dibohongi seumur hidup dengan mengatakan bahwa diri anda adalah ayahnya. Bahkan menyapa anda dengan panggilan khas seorang anak kepada

Page 7: Masail Fiqhiyah

ayahnya.

Maka adopsi yang seperti ini tegas diharamkan dalam syariah Islam. Di antara dalilnya adalah firman Allah SWT:

Panggilah mereka dengan nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al-Ahzab: 5).

Dalam ayat di atas kita dilarang untuk memanggil seseorang dengan nama ayah yang bukan ayah kandungnya. Seperti nama orang tua angkat. Dan penisbahan nasab seseorang kepada yang bukan haknya hanya akan melahirkan kerancuan dalam hukum Islam.

Untuk itu bila anda ingin memelihara anak orang lain, pastikan anda tidak mengubah nasabnya, juga tidak membohonginya dengan mengatakan bahwa anda adalah ayahnya. Tidak mengapa sejak awal anak itu tahu bahwa anda bukan ayahnya. Sebab yang menjadi inti masalah bukan status, tetapi bagaimana sikap dan perlakuan anda kepadanya. Sebab memang hal itulah yang secara langsung anak itu rasakan.

Untuk apa anda berbohong mengatakan bahwa anda adalah ayah kandungnya, sementara anda justru tidak pernah punya waktu untuk menemaninya bermain, belajar dan mengisi hari-hari?

2. Bayi Tabung

Pada dasarnya, upaya untuk mengusahakan terjadinya pembuahan yang tidak alami tersebut hendaknya tidak ditem puh, kecuali setelah tidak mungkin lagi mengusahakan terja dinya pembuahan alami dalam rahim isteri, antara sel sperma suami dengan sel telur isterinya.

Dalam proses pembuahan buatan dalam cawan untuk mengha silkan kelahiran tersebut, disyaratkan sel sperma harus milik suami dan sel telur harus milik isteri. Dan sel telur isteri yang telah terbuahi oleh sel sperma suami dalam cawan, harus diletakkan pada rahim isteri.

Hukumnya haram bila sel telur isteri yang telah ter buahi diletakkan dalam rahim perempuan lain yang bukan isteri, atau apa yang disebut sebagai “ibu pengganti” (surrogate mother). Begitu pula haram hukumnya bila proses dalam pembuahan buatan tersebut terjadi antara sel sperma suami dengan sel telur bukan isteri, meskipun sel telur yang telah dibuahi nantinya diletakkan dalam rahim isteri. Demikian pula haram hukumnya bila proses pembuahan tersebut terjadi antara sel sperma bukan suami dengan sel telur isteri, meskipun sel telur yang telah dibuahi nantinya diletakkan dalam rahim isteri.

BID'AH ADOPSI

Islam sangat berusaha keras untuk menjaga harga diri dan keturunan dari kerancuan. Diantara aturan yang ditetapkan oleh syari'at Islam dalam hal ini ialah larangan mengadopsi.

Yang dimaksud dengan adopsi ialah, sepasang suami istri mengambil anak laki-laki atau perempuan dari pasangan suami istri lain untuk dirawat seperti anak kandung sendiri. Bahkan ada beberapa pasangan suami istri yang kemudian menisbatkan nama si anak kepada nama mereka.

Page 8: Masail Fiqhiyah

Adopsi ini dilarang oleh syari'at Islam yang hanif, karena akan menimbulkan kerancuan dalam keturunan dan nasab.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai)saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi MahaPenyayang" [Al-Ahzab : 5]

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah dalam kitab Tafsirnya, III/466 mengatakan "Inilah hukum yang menasakh atau menghapuskan diperbolehkannya mengadopsi anak seperti yang terjadi pada zaman permulaan Islam. Allah menyuruh untuk  mengembalikan nasab anak-anak yang diadopsi tersebut kepada bapak-bapak mereka yang sebenarnya. Dan itulah yang namanya keadilan dan kebaktian".

Terdapat riwayat dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berisi ancaman keras terhadap orang yang mengaku-ngaku nasab keturunan. Beliau bersabda.

"Artinya : Adalah kafir seseorang yang mendakwakan (mengaku-ngaku) nasab keturunan yang tidak ia kenal, atau yang mengingkarinya, walaupun secara  halus" [Hadits Hasan ini diriwayatkan oleh Ibnu Al-Qath Than dalam  tambahannya terhadap kitab Al-Sunan Ibn Majah (2744) dengan sanad yang hasan dari hadits Abdullah bin Amr bin Al-Ash]

Diantara efek buruk adopsi adalah.

1.Anak yang diadopsi mungkin akan melihat apa yang tidak boleh dilihat pada isteri dan puteri-puteri orang yang mengadopsinya, karena statusnya adalah orang lain, sehingga mereka tidak boleh memperlakukan anak yang diadopsi tersebut sebagai mahram.

2. Anak-anak yang diadopsi ikut bersama dalam hak pusaka dan hak-hak lain yang bersifat syar'iyah. Jadi kesannya seolah-olah ia adalah salah seorang anak kandung orang yang mengadopsinya sehingga bisa ikut memakan hak anak-anak kandungannya sendiri.

3. Mengharamkan sesuatu yang tidak ada dalam aturan syari'at Islam, yakni pernikahan anak yang diadopsi dengan puteri-puteri orang yang mengadopsinya.

4. Kemungkinan terjadinya pernikahan anak yang diadopsi dengan saudara-saudara perempuannya dari ibunya yang asli, karena nasab anak yang diadopsi berbeda nasab dengan sauadara-saudara perempuannya tersebut yang sesungguhnya adalah nasab yang sebenarnya.

Dan masih banyak lagi efek-efek negatif lainnya.

[Disalin dari kitab 30 Bid'ah Wanita oleh Amru Abdul Mun'im, hal 122-125,Pustaka Al-Kautsar]

 

ADOPSI DAN HUKUMNYA

OlehAl-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta

Pertama : Adopsi anak sudah dikenal sejak zaman jahiliyah sebelum ada risalah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dahulu anak adopsi dinasabkan kepada ayah angkatnya, bisa menerima waris, dapat menyendiri dengan anak serta istrinya, dan istri anak adopsi haram bagi ayah angkatnya (pengadopsi). Secara umum anak adopsi layaknya anak kandung dalam segala urusan. Nabi pernah mengadopsi Zaid bin Haritsah bin Syarahil Al-Kalbi sebelum beliau menjadi Rasul, sehingga dipanggil dengan nama Zaid bin Muhammad. Tradisi ini berlanjut dari zaman jahiliyah hinga tahun ketiga atau ke empat Hijriyah.

Kedua : Kemudian Allah memerintahkan anak-anak adopsi untuk dinasabkan ke bapak mereka (yang sebenarnya) bila diketahui, tetapi jika tidak diketahui siapa bapak yang asli, maka mereka sebagai saudara seagama dan loyalitas

Page 9: Masail Fiqhiyah

mereka bagi pengadopsi juga orang lain. Allah mengharamkan anak adopsi dinasabkan kepada pengadopsi (ayah angkat) secara hakiki, bahkan anak-anak juga dilarang bernasab kepada selain bapak mereka yang asli, kecuali sudah terlanjur salah dalam pengucapan. Allah mengungkapkan hukum tersebut sebagai bentuk keadilan yang mengandung kejujuran dalam perkataan, serta menjaga nasab dari keharmonisan, juga menjaga hak harta bagi orang yang berhak memilikinya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama-nama bapak mereka, itulah yang lebih baik dan adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadaap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" [Al-Ahzab : 4-5]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda

"Artinya : Barangsiapa yang disebut bukan kepada bapaknya atau berafiliasi bukan kepada walinya, maka baginya laknat Allah yang berkelanjutan" [Hadits Riwayat Abu Daud]

Ketiga : Dengan keputusan Allah yang membatalkan hukum adopsi anak (yaitu pengakuan anak yang tidak sebenarnya alias bukan anak kandung) dengan keputusan itu pula Allah membatalkan tradisi yang berlaku sejak zaman jahiliyah hingga awal Islam berupa.

[1]. Membatalkan tradisi pewarisan yang terjadi antara pengadopsi (ayah angkat) dan anak adopsi (anak angkat) yang tidak mempunyai hubungan sama sekali. Dengan kewajiban berbuat baik antara keduanya serta berbuat baik terhadap wasiat yang ditinggalkan setelah kematian (ayah angkat) pengadopsi selama tidak lebih dari sepertiga bagian dari hartanya. Hukum waris serta golongan yang berhak menerimanya telah dijelaskan secara terperinci dalam syari'at Islam. Dalam rincian tersebut tidak disebutkan adanya hak waris di antara keduanya. Dijelaskan pula secara global perintah berbuat baik dan sikap ma'ruf dalam bertindak.

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama)" [Al-Ahzab : 6]

[b]. Allah membolehkan pengadopsi (ayah angkat) nikah dengan bekas istri anak angkat setelah berpisah darinya, walaupun diharamkan di zaman jahiliyah. Hal tersebut dicontohkan oleh Rasulullah sebagai penguat keabsahannya sekaligus sebagai pemangkas adat jahiliyah yang mengharamkan hal tersebut.

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,

"Artinya : Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya). Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya dari istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi" [Al-Ahzab : 37]

Nabi menikahi Zaenab binti Jahsy atas perintah Allah setelah suaminya Zaid bin Haritsah menceraikannya.

Keempat : Dari uraian diatas, maka menjadi jelas bahwa pembatalan terhadap hukum adopsi bukan berarti menghilangkan makna kemanusiaan serta hak manusia berupa persaudaraan, cinta kasih, hubungan sosial, hubungan kebajikan dan semua hal berkaitan dengan semua perkara yang luhur, atau mewasiatkan perbuatan baik.

[a]. Seseorang boleh memanggil kepada yang labih muda darinya dengan sebutan "wahai anakku" sebagai ungkapan kelembutan, kasih sayang, serta perasaan cinta kasih sayang kepadanya, agar ia merasa nyaman dengannya dan mendengarkan nasehatnya atau memenuhi kebutuhannya. Boleh juga memanggil orang yang usianya lebih tua dengan panggilan, "wahai ayahku" sebagai penghormatan terhadapnya, mengharap kebaikan serta nasehatnya, sehingga menjadi penolong baginya, agar budaya sopan santun merebak dalam masyarakat, simpul-simpul antar individu menjadi kuat hingga satu sama lain saling merasakan persaudaraan seagama yang sejati.

Page 10: Masail Fiqhiyah

[b]. Syari'at Islam telah menganjurkan untuk bertolong menolong dalam rangka kebajikan dan ketakwaan serta mengajak semua manusia berbuat baik dan menebarkan kasih sayang.

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaijkan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran" [Al-Maidah : 2]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Peumpamaan orang-orang mukmin dalam masalah kecintaan dan kasih sayang serta pertolongan di antara mereka bagaikan satu tubuh. Jika salah satu organ mengeluh kesakitan, niscaya seluruh tubuh ikut panas dan tak dapat tidur" [Hadits Riwayat Ahmad dan Muslim]

Dan sabda beliau.

"Artinya : Seorang mukmin terhadap orang mukmin lainnya bagaikan suatu bangunan sebagiannya menopang sebagian yang lain" [Hadits Riwayat Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, dan An-Nasa'i]

Termasuk dalam hal tersebut mengurusi anak yatim, fakir miskin, tuna karya dan anak-anak yang tidak mempunyai orang tua, yaitu dengan mangasuh dan berbuat baik kepadanya. Sehingga di masyarakat tidak terdapat orang yang terlantar dan tak terurus. Karena ditakutkan umat akan tertimpa akibat buruk dari buruknya pendidikan serta sikap kasarnya, ketika ia merasakan perlakuan kasar serta sikap acuh dari masyarakat.

Kewajiban pemerintah Islam adalah mendirikan panti bagi oran tidak mampu, anak yatim, anak pungut, anak tidak berkeluarga dan yang senasib dengan itu. Bila keuangan Baithul Mal tidak mencukupi, maka bisa meminta bantuan kepada orang-orang mampu dari kalangan masyarakat, sabda nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Siapapun seorang mukmin mati meninggalkan harta pusaka, hendaknya diwariskan kepada ahli warisnya yang berhak, siapapun mereka. Tetapi jika meninggalkan utang atau kerugian hendaklah dia mendatangiku, karena aku walinya" [Hadits Riwayat Al-Bukhari]

Inilah yang disepakati bersama, semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan Allah kepada Nabi Muhammad , keluarga serta sahabatnya.

Benarkah adopsi itu anak kita? Jawabnya di bawah

Menjawab pertanyaan ini saya saya mencoba mengkaji dari sisi hukum negara kita.Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Menegaskan adopsi hanya bisa dilakukan demi kepentingan terbaik anak.* Peraturan Per-Undang-undangan :Dalam Staatblaad 1917 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan anak adalah anak tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan menjadi ahli waris orang tua angkat. Artinya, akibat pengangkatan tersebut maka terputus segala hubungan perdata, yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran, yaitu antara orang tua kandung dan anak tersebut.* Berdasarkan konsep Islam, pengangkatan seorang anak tidak boleh memutus nasab antara si anak dengan orang tua kandungnya. Hal ini kelak berkaitan dengan sistem waris dan perkawinan. Dalam perkawinan misalnya, yang menjadi prioritas wali nasab bagi anak perempuan adalah ayah kandungnya sendiri. Dalam waris, anak angkat tidaktermasuk ahli waris. Konsep adopsi dalam Islam lebih dekat kepada pengertian pengasuhan alias hadhanah.* Adopsi menurut hukum adat berbeda-beda. Masyarakat Jawa umumnya masih menganut prinsip yang hampir sama dengan Islam: adopsi tidak menghapus hubungan darah anak dengan orang tua kandung. Tetapi di Bali, misalnya, pengangkatan anak adalah melepaskan anak dari keluarga asal ke keluarga

Page 11: Masail Fiqhiyah

baru. Anak tersebut akan menjadi anak kandung dari orang tua yang mengangkatnya.Saya menegaskan bahwa anak adposi adalah anak yang harus diberi hak untuk mendapatkan yang terbaik bagi kehidupan dan masa depannya, walaupun kita bukan orang tua Biologis darinya.Salam

Adopsi anak dalam pandangan IslamMimbar JumatNASIR

Allah Swt berfirman : Dia (Allah) dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri), yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja, dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu, dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab : 4-5)

Ayat di atas menginformasikan kepada kita tentang anak angkat atau mengadopsi anak orang lain sehingga menjadi seperti anak kandung sendiri, pada gilirannya menimbulkan konsekuensi hukum tertentu dalam pandang Islam seperti perwalian, warisan, mahram dan sebagainya.

Adopsi di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga (2003), diartikan sebagai pengangkatan anak orang lain sebagai anak sendiri, dan di dalam Bahasa Arab disebut dengan istilah attabanni.

Tradisi mengadopsi anak telah terjadi pada zaman jahiliyah di mana seseorang dibolehkan memungut anak orang lain untuk dijadikan sebagai anak kandung sendiri, dan berhak dibangsakan namanya kepada orang tua angkatnya, dan berikut berlaku hukum saling mewarisi antara anak angkat dan orang tua angkat. Hal itu pernah terjadi pada diri Nabi Muhammad Saw dengan mengadopsi Zaid bin Haritsah seorang hamba sahaya yang dihadiahkan oleh isterinya Khadijah kepada Nabi Saw untuk merawatnya. Lalu karena sayangnya Nabi Saw kepada Zaid, beliau angkat menjadi anaknya sendiri, sehingga nama Zaid dipanggil oleh orang banyak menjadi Zaid bin Muhammad. Sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari Muslim, Turmuzi dan Nasai, dari Ibnu Umar radhiallahu‘anhu : Tidaklah kami memanggil Zaid bin Harisah melainkan dengan panggilan Zaid bin Muhammad.

Tradisi jahiliyah tersebut tidak dibatalkan dalam Islam secara keseluruhan, artinya pengangkatan anak orang lain menjadi seperti anak sendiri tetap dianjurkan dalam Islam, akan tetapi hukumnya tidak sama dengan hukum adopsi yang berlaku pada masa jahiliyah, antara lain tidak boleh dinisbahkan namanya kepada orang tua angkatnya, tidak mewarisi, tidak berlaku seperti mahram. Untuk pembatalan kebiasaan jahiliyah tersebut Allah Swt menurunkan ayat 4-5 surah al-Ahzab di atas, dan peristiwa itu dikenal dengan peristiwa ibthaluttabanni (pembatalan hukum anak angkat), maka pembatalan itu direalisasikan oleh Nabi Saw dengan mengawini mantan isteri Zaid bin Haritsah, yang mana sebelumnya orang beranggapan bahwa isteri Zaid bin Haritsah yaitu Zainab binti Jahsy adalah menantu Nabi Muhammad Saw. Dengan kata lain, nikahnya Nabi Saw dengan Zainab binti Jahsy pupuslah anggapan orang tentang Zaid sebagai anak kandung Rasul Saw, dan mulai saat diturunkan ayat di atas Rasul Saw memanggil Zaid bin Harisah dan berkata : Engkau adalah Zaid bin Haritsah bin Syarahil.

Perkawinan Rasul Saw dengan Zainab binti Jahsy adalah atas perintah Allah Swt dalam firman-Nya : Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya, dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. (QS. Al-Ahzab : 37)

Perkawinan Rasul Saw dengan Zainab binti Jahsy setelah diceraikan oleh Zaid dan habis masa tunggunya (iddah), menjadi dasar hukum

Page 12: Masail Fiqhiyah

dalam Fikih Islam untuk tidak memberlakukan anak angkat seperti anak kandung, dan berlakulah seperti orang lain, namun demikian tidak pula menutup kemungkinan untuk berbuat baik kepada anak angkat, atas prinsip tolong menolong, dalam berbuat baik dan ketaqwaan.

Allah Swt berfirman : Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. Al-Maidah : 2). Terutama dalam hal perwarisan, anak angkat tidak mendapat pusaka dari orang tua angkatnya dan tidak ada bagian tertentu dalam harta pusaka yang ditinggalkan ayah angkatnya. Akan tetapi jika orang tua angkat ingin berbuat baik kepada anak adopsinya karena telah diasuhnya sejak kecil, disekolahkan dan memanjakan seperti anak kandungnya sendiri, Islam membolehkan untuk memberikan sebagian hartanya kepada anak angkatnya dengan cara berwasiat secara tertulis atau diucapkan oleh ayah angkatnya sebelum meninggal dunia, dengan ketentuan tidak sepertiga dari harta warisan. Demikian pula hibbah, karena wasiat dan hibbah dalam hukum Islam tidak ditentukan secara khusus orang-orang yang menerimanya. Dasar hukumnya adalah firman Allah Swt : Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu...(QS. Al-Maidah : 106) dan ketentuan untuk tidak melebihkan dari sepertiga. Diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqqashdibolehkan sepertiga dari harta peninggalan. (HR. Bukhari, Muslim)

Selain daripada itu, konsekuensi hukum dari pembatalan anak angkat adalah tidak boleh memanggil nama anak angkat kepada nama orang tua angkat karena dengan status anak angkat tidak memutuskan ketetapan nasab yang sebenarnya yaitu ayah biologisnya sendiri, disamakan dengan memanggil adalah menulis nama anak angkat di dalam KTP, Pasport, Akte Kelahiran, Ijazah, tidak dibenarkan menisbahkannya kepada ayah angkatnya sendiri. Oleh sebab itu Allah Swt berfirman : Semua itu adalah perkataan mulut kamu sendiri dan Allah Swt mengatakan yang sebenarnya, dan menunjukkan kamu ke jalan yang sebenarnya. (QS. Al-Ahzab : 4)

Ayat di atas dipertegas lagi oleh Nabi Saw : Siapa-siapa yang memanggil seseorang kepada yang bukan nama ayahnya, sedangkan dia tau dia bukan ayahnya maka diharamkan kepadanya masuk surga. (HR. Bukhari Muslim dari Sa’ad bin Abi Waqqash)

Senada dengan hadis di atas : Siapa-siapa yang memanggil kepada yang bukan nama ayahnya, atau menghubungkan seseorang kepada yang bukan maulanya, maka atasnya laknat Allah dan malaikat, dan manusia semuanya, Allah tidak menerima sedekahnya dan tidak pula persaksiannya. (HR. Bukhari, Muslim)

Alakullihal, Islam menganjurkan untuk membantu orang-orang yang tidak mampu mengasuh keluarganya dengan cara mengadopsi anaknya, atau menikahi janda-janda yang ditinggal suami, namun tetap memperhatikan aturan-aturan yang ditentukan oleh syariat Islam, antara lain :Tidak mengganggu hubungan keluarga lama, karena dengan mengadopsi anak berarti telah terbentuk keluarga baru berikut hak dan kewajibannya berlaku pada keluarga baru. Tidak menimbulkan permusuhan dan persengketaan terutama dalam hal warisan perwalian dan sebagainya.Tidak terjadi kesalahpahaman, dan pencampuradukan halal haram dalam keluarga, misalnya anak angkat tidak boleh melihat atau menampakkan auratnya kepada keluarga angkatnya. Tetap menegakkan kebenaran, salah satunya sebagaimana dikatakan oleh DR. Wahbah Zuhaily di dalam Fikih Islam wa adillallatuhu ; melarang pengangkatan anak (adopsi) jika merobah prinsip-prinsip hukum Islam seperti merobah keturunan, perwalian, warisan kemahraman dan lain-lain. Wallahua’lam

Hubungan Antara Orang Tua Dan Anak

3.3.1 Islam Memelihara Nasab

Anak adalah rahasia

Page 13: Masail Fiqhiyah

orang tua dan pemegang keistimewaannya. Waktu orang tua masih hidup, anak sebagai penenang, dan sewaktu ia pulang ke rahmatullah, anak sebagai pelanjut dan lambang keabadian.

Anak mewarisi tanda-tanda kesamaan orang tua, termasuk juga ciri-ciri khas, baik maupun buruk, tinggi maupun rendah. Dia adalah belahan jantungnya dan potongan dari hatinya.

Justru itu Allah mengharamkan zina dan mewajibkan kawin, demi melindungi nasab, sehingga air tidak tercampur, anak bisa dikenal siapa ayahnya dan ayah pun dapat dikenal siapa anaknya.

Dengan perkawinan, seorang isteri menjadi hak milik khusus suami dan dia dilarang berkhianat kepada suami, atau menyiram

Page 14: Masail Fiqhiyah

tanamannya dengan air orang lain. Oleh karena itu setiap anak yang dilahirkan dari tempat tidur suami, mutlak menjadi anak suami itu, tanpa memerlukan pengakuan atau pengumuman dari seorang ayah; atau pengakuan dari seorang ibu, sebab setiap anak adalah milik yang seranjang. Begitulah menurut apa yang dikatakan oleh Rasulullah s.a.w.26

3.3.2 Ayah Tidak Boleh Mengingkari Nasab Anaknya

Dari sini seorang suami tidak boleh mengingkari anak yang dilahirkan oleh isterinya yang seranjang dengan dia dalam perkawinan yang sah. Pengingkaran seorang suami terhadap nasab anaknya akan membawa bahaya yang besar dan suatu aib yang sangat jelek, baik terhadap isteri maupun terhadap anaknya itu sendiri. Justru itu seorang

Page 15: Masail Fiqhiyah

suami tidak boleh mengingkari anaknya karena suatu keraguan, atau dugaan atau karena ada berita tidak baik yang mendatang.

Adapun apabila seorang isteri mengkhianati suami dengan beberapa bukti yang dapat dikumpulkan dan beberapa tanda (qarinah) yang tidak dapat ditolak, maka syariat Islam tidak membiarkan seorang ayah harus memelihara seorang anak yang menurut keyakinannya bukan anaknya sendiri; dan memberikan waris kepada anak yang menurut keyakinannya tidak berhak menerimanya; atau paling tidak anak yang selalu diragukan identitasnya sepanjang hidup.

Untuk memecahkan problem ini, Islam membuat jalan ke luar, yang dalam ilmu fiqih dikenal dengan nama li'an. Maka barangsiapa yakin atau menuduh, bahwa

Page 16: Masail Fiqhiyah

isterinya telah membasahi ranjangnya dengan air orang lain kemudian si isteri itu melahirkan seorang anak padahal tidak ada bukti yang tegas, maka waktu itu suami boleh mengajukan ke pengadilan, kemudian pengadilan mengadakan mula'anah (sumpah dengan melaknat) antara kedua belah pihak, yang penjelasannya sebagaimana diterangkan dalam al-Quran:

"Para suami yang menuduh isterinya padahal mereka tidak mempunyai saksi melainkan dirinya sendiri, maka kesaksian tiap orang dari mereka ialah empat kali kesaksian dengan nama Allah, bahwa ia termasuk orang-orang yang benar. Sedang yang kelimanya ialah, bahwa laknat Allah akan menimpa kepadanya jika dia termasuk orang-orang yang

Page 17: Masail Fiqhiyah

berdusta. Dan dihilangkan dari perempuan itu siksaan (dera) lantaran dia bersaksi empat kali kesaksian dengan nama Allah, bahwa dia (laki-laki) termasuk orang-orang yang berdusta. Sedang yang kelimanya: bahwa murka Allah akan menimpa kepadanya (perempuan) jika dia (laki-laki) itu termasuk orang-orang yang benar." (an-Nur: 6-9)

Sesudah itu keduanya diceraikan untuk selama-lamanya, dan anaknya ikut kepada ibunya.

3.3.3 Mengambil Anak Angkat Hukumnya Haram dalam Islam

Kalau seorang ayah sudah tidak dibolehkan memungkiri nasab anak yang dilahirkan di tempat tidurnya, maka begitu juga dia tidak dibenarkan mengambil anak yang bukan berasal dari keturunannya

Page 18: Masail Fiqhiyah

sendiri.

Orang-orang Arab di masa jahiliah dan begitu juga bangsa-bangsa lainnya, banyak yang menisbatkan orang lain dengan nasabnya dengan sesukanya, dengan jalan mengambil anak angkat.

Seorang laki-laki boleh memilih anak-anak kecil untuk dijadikan anak, kemudian diproklamirkan. Maka si anak tersebut menjadi satu dengan anak-anaknya sendiri dan satu keluarga, sama-sama senang dan sama-sama susah dan mempunyai hak yang sama.

Mengangkat seorang anak seperti ini sedikitpun tidak dilarang, kendati si anak yang diangkat itu jelas jelas mempunyai ayah dan nasabnya pun sudah dikenal.

Islam datang, sedang masalah pengangkatan anak ini tersebar luas di masyarakat Arab,

Page 19: Masail Fiqhiyah

sehingga Nabi Muhammad sendiri mengangkat seorang anak, yaitu Zaid bin Haritsah sejak zaman jahiliah. Zaid waktu itu seorang anak muda yang ditawan sejak kecil dalam salah satu penyerbuan jahiliah, yang kemudian dibeli oleh Hakim bin Hizam untuk diberikan bibinya yang bernama Khadijah, dan selanjutnya diberikan oleh Khadijah kepada Nabi Muhammad s.a.w. sesudah beliau kawin dengan dia.

Setelah ayah dan pamannya mengetahui tempatnya, kemudian mereka minta kepada Nabi, tetapi oleh Nabi disuruh memilih. Namun Zaid lebih senang memilih Nabi sebagai ayah daripada ayah dan pamannya sendiri. Lantas oleh Nabi dimerdekakan dan diangkatnya sebagai anaknya sendiri dan disaksikan oleh orang banyak.

Page 20: Masail Fiqhiyah

Sejak itu Zaid dikenal dengan nama Zaid bin Muhammad, dan dia termasuk pertama kali bekas hamba yang memeluk Islam.

3.3.3.1 Bagaimana Pandangan Islam Terhadap Peraturan Jahiliah Ini?

Islam berpendapat secara positif, bahwa pengangkatan anak adalah suatu pemalsuan terhadap realita, suatu pemalsuan yang menjadikan seseorang terasing dari lingkungan keluarganya. Dia dapat bergaul bebas dengan perempuan keluarga baru itu dengan dalih sebagai mahram padahal hakikatnya mereka itu samasekali orang asing. Isteri dari ayah yang memungut bukan ibunya sendiri, begitu juga anak perempuannya, saudara perempuannya atau bibinya. Dia sendiri sebenarnya orang

Page 21: Masail Fiqhiyah

asing dari semuanya itu.

Anak angkat ini dapat menerima waris dan menghalangi keluarga dekat asli yang mestinya berhak menerima. Oleh karena itu tidak sedikit keluarga yang sebenarnya merasa dengki terhadap orang baru yang bukan dari kalangan mereka ini yang merampas hak milik mereka dan menghalang pusaka yang telah menjadi harapannya.

Kedengkian ini banyak sekali membangkitkan hal-hal yang tidak baik, dapat menyalakan api fitnah dan memutus famili dan kekeluargaan.

Justru itu al-Quran menghapus aturan jahiliah ini dan diharamkan untuk selama-lamanya serta dihapusnya seluruh pengaruh-pengaruhnya.

Firman Allah:

"Allah tidak

Page 22: Masail Fiqhiyah

menjadikan anak-anak angkatmu itu sebagai anak-anakmu sendiri, yang demikian itu adalah omongan-omonganmu dengan mulut-mulutmu, sedang Allah berkata dengan benar dan Dialah yang menunjukkan ke jalan yang lurus. Panggillah mereka (anak-anak) itu dengan bapa-bapa mereka, sebab dia itu lebih lurus di sisi Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapa-bapa mereka, maka mereka itu adalah saudaramu seagama dan kawan-kawanmu." (al-Ahzab: 4-5)

Baiklah kita renungkan ungkapan al-Quran yang bersih ini, yaitu kalimat: "Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu itu sebagai anak-anakmu sendiri, yang demikian itu adalah omongan-omonganmu dengan mulut-mulutmu."

Kalimat ini memberi pengertian, bahwa pengakuan anak

Page 23: Masail Fiqhiyah

angkat itu hanya omongan kosong, di belakangnya tidak ada realita sedikitpun.

Perkataan lidah tidak dapat mengganti kenyataan dan tidak dapat mengubah realita, tidak dapat menjadikan orang luar sebagai kerabat, dan orang asing sebagai pokok nasab, dan tidak pula anak angkat sebagai anak betul-betul.

Perkataan mulut tidak dapat mengalirkan darah ke dalam urat dan tidak dapat membentuk perasaan kebapaan ke dalam hati seseorang, dan tidak pula mengalir dalam kalbu anak angkat jiwa kehalusan sebagai anak betul; dia tidak dapat mewarisi keistimewaan-keistimewaan khusus dari ayah angkatnya dan ciri-ciri keluarga, baik jasmaniah, intelek maupun kejiwaannya.

Page 24: Masail Fiqhiyah

Islam telah menghapuskan seluruh pengaruh yang ditimbulkan oleh aturan ini, misalnya tentang warisan dan dilarangnya kawin dengan bekas isteri anak angkat.

Dalam masalah warisan, karena tidak ada hubungan darah, perkawinan dan kerabat yang sebenarnya, maka oleh al-Quran hal itu samasekali tidak bernilai dan tidak menjadi penyebab mendapat warisan. Bahkan al-Quran mengatakan:

"Keluarga sebagian mereka lebih berhak terhadap sebagian, menurut kitabullah." (al-Anfal: 75)

Dan dalam hal perkawinan, al-Quran telah mengumandangkan, bahwa di antara perempuan-perempuan yang haram dikawin ialah bekas isteri anak betul-betul, bukan bekas isteri anak angkat.

Page 25: Masail Fiqhiyah

Firman Allah:

"Dan bekas isteri-isteri anakmu yang berasal dari tulang rusukmu sendiri." (an-Nisa': 24)

Oleh karena itu seseorang dibenarkan kawin dengan bekas isteri anak angkatnya, karena perempuan tersebut pada hakikatnya adalah bekas isteri orang lain. Justru itu tidak salah kalau dia mengawininya apabila telah dicerai oleh suaminya.

3.3.3.2 Lembaga Anak Angkat Dihapus dengan praktek, Setelah Dihapusnya dengan Perkataan

Persoalan ini tidak begitu mudah, sebab masalah anak angkat sudah menjadi aturan masyarakat dan berakar dalam kehidupan bangsa Arab. Oleh karena itu dalam kebijaksanaan Allah untuk menghapus dan memusnahkan pengaruh-pengaruh perlembagaan ini

Page 26: Masail Fiqhiyah

tidak cukup dengan omongan saja, bahkan dihapusnya dengan omongan dan sekaligus dengan praktek.

Hikmah kebijaksanaan Allah dalam persoalan ini telah memilih Rasulullah s.a.w. sebagai pelakunya, untuk menghilangkan setiap keragu-raguan dan demi menolak setiap keberatan orang mu'min tentang dibolehkannya mengawini bekas isteri anak-anak angkatnya; dan supaya mereka yakin, bahwa apa yang disebut halal, yaitu semua yang dihalalkan Allah; dan apa yang disebut haram, yaitu semua yang diharamkan Allah.

Zaid bin Haritsah yang kita kenal sebagai Zaid bin Muhammad, telah dikawinkan dengan Zainab binti Jahsy sepupu Nabi sendiri. Tetapi karena kehidupan mereka berdua selalu goncang dan Zaid

Page 27: Masail Fiqhiyah

sendiri sudah banyak mengadu kepada Nabi tentang keadaan isterinya, sedang Nabi sendiri juga mengetahui keinginan Zaid untuk mencerainya, dan dengan wahyu Allah, Zainab akan dikawin oleh Nabi, tetapi kelemahan manusia tempoh-tempoh sangat mempengaruhi, maka Nabi takut bertemu dengn orang banyak. Oleh karena itu dia katakan kepada Zaid: "Tahanlah isterimu itu dan takutlah kepada Allah!"

Di sinilah ayat al-Quran kemudian turun untuk menegur sikap Nabi. Dan seketika itu beliau menyingsingkan lengan bajunya untuk tampil ke tengah-tengah masyarakat, guna menghapus sisa-sisa aturan kuno dan tradisi yang sudah usang yang mengharamkan seseorang mengawini bekas isteri anak angkatnya yang

Page 28: Masail Fiqhiyah

pada hakikatnya dia adalah orang asing itu. Maka berfirmanlah Allah:

"Dan (ingatlah) ketika engkau berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau juga telah memberi kenikmatan kepadanya (Zaid bin Haritsah): 'tahanlah untukmu isterimu dan takutlah kepada Allah', dan engkau menyembunyikan dalam hatimu apa yang Allah tampakkan, dan engkau takut manusia, padahal Allahlah yang lebih berhak engkau takutinya. Maka tatkala Zaid memutuskan untuk mencerai Zainab, kami (Allah) kawinkan engkau dengan dia, supaya tidak menjadi beban bagi orang-orang mu'min tentang bolehnya mengawini bekas isteri anak-anak angkatnya apabila mereka itu telah memutuskan mencerainya, dan keputusan Allah pasti terlaksana."

Page 29: Masail Fiqhiyah

(al-Ahzab: 37)

Kemudian al-Quran meneruskan untuk melindungi pribadi Nabi Muhammad s.a.w. dalam perbuatan ini dan memperkuat perkenannya serta menghilangkan anggapan dosa karena perbuatannya itu. Maka berkatalah al-Quran:

"Tidak boleh ada keberatan atas diri Nabi dalam hal yang telah diwajibkan oleh Allah kepadanya menurut sunnatullah pada orang-orang yang telah lalu sebelumnya, sebab perintah Allah itu suatu ketentuan yang telah ditentukan, (yaitu) orang-orang yang menyampaikan suruhan Allah dan mereka takut kepadaNya, dan tidak takut kepada siapapun kecuali kepada Allah; dan kiranya cukuplah Allah sebagai pengira. Tidaklah Muhammad itu ayah bagi seseorang dari laki-laki kamu, tetapi dia adalah

Page 30: Masail Fiqhiyah

utusan Allah dan penutup bagi sekalian Nabi, dan Allah Maha Mengetahui tiap-tiap sesuatu." (al-Ahzab: 38-40)

3.3.3.3 Mengangkat Anak dengan Arti Mendidik dan Memelihara

Begitulah pengangkatan anak yang dihapus oleh Islam; yaitu seorang menisbatkan anak kepada dirinya padahal dia tahu, bahwa dia itu anak orang lain. Anak tersebut dinisbatkan kepada dirinya dan keluarganya, dan baginya berlaku seluruh hukum misalnya: bebas bergaul, menjadi mahram, haram dikawin dan berhak mendapat waris.

Di sini ada semacam pengangkatan anak yang diakui oleh beberapa orang, tetapi pada hakikatnya bukan pengangkatan anak yang diharamkan oleh Islam. Yaitu seorang ayah memungut seorang

Page 31: Masail Fiqhiyah

anak kecil yatim atau mendapat di jalan, kemudian dijadikan sebagai anaknya sendiri baik tentang kasihnya, pemeliharaannya maupun pendidikannya; diasuh dia, diberinya makan, diberinya pakaian, diajar dan diajak bergaul seperti anaknya sendiri. Tetapi bedanya, dia tidak menasabkan pada dirinya dan tidak diperlakukan padanya hukum-hukum anak seperti tersebut di atas.

Ini suatu cara yang terpuji dalam pandangan agama Allah, siapa yang mengerjakannya akan beroleh pahala kelak di sorga. Seperti yang dikatakan sendiri oleh Rasululfah s.a.w. dalam hadisnya:

"Saya akan bersama orang yang menanggung anak yatim, seperti ini sambil ia menunjuk jari telunjuk dan jari tengah dan ia renggangkan antara

Page 32: Masail Fiqhiyah

keduanya. (Riwayat Bukhari, Abu Daud dan Tarmizi)

Laqith (anak yangdipungut di jalan) sama dengan anak yatim. Tetapi untuk anak seperti ini lebih patut dinamakan Ibnu Sabil (anak jalan) yang oleh Islam kita dianjurkan untuk memeliharanya.

Apabila seseorang yang memungutnya itu tidak mempunyai keluarga, kemudian dia bermaksud akan memberikan hartanya itu kepada anak pungutnya tersebut, maka dia dapat menyalurkan melalui cara hibah sewaktu dia masih hidup, atau dengan jalan wasiat dalam batas sepertiga pusaka, sebelum meninggal dunia.

(sebelum, sesudah)

Halal dan Haram dalam IslamOleh Syekh Muhammad Yusuf QardhawiAlih bahasa: H. Mu'ammal HamidyPenerbit: PT. Bina Ilmu, 1993

Page 33: Masail Fiqhiyah

Hukum Menikahi Orang Musyrik

Ditulis oleh DR. Amir Faishol FathSenin, 12 May 2008 03:06

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman

Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (Al-Baqarah:221)

< ? َو>َال >نِكDُحBوْا >اِتD َت ِرDَك ?ُمBْش? Pى ْاْل َّت Bْؤ?ِمDَّنP َح> >ِم>ٌةW ُي >ٌةW َو>َأل ?ِرW ِمZْؤ?ِمDن ْي >ٌة^ ِم[َّن َخ> ِرDَك َو> ِمZْش?>و? Bْم? ْل ?ِك >َّت َب >ْع?َج> > َأ Dْيَّن> َو>َال ِرDَك DْشBُم? ?ْاْل BنِكDُحBوْا Pى َت َّت ? َح> Bوْا Bْؤ?ِمDن ?ٌدW ُي >َع>َب ِرW ِمZْؤ?ِمDَّنW َو>ْل ?ffْي ِم[ َخ>ِرDٍ̂ك َّن >و? ِمZْش? Bْم? َو>ْل >ِك َب >ْع?َج> Dَك> َأ >fِئ َو?ْل

B >ٌد?ْعBوَن> َأ Dْل>ى ُي mُهB ِإ PاِرDَو>ْاْلّل >ٌد?ْعBو> ْاْلن Dْل>ى ُي ?َج> ِإ ْاْلDٌةP ِةD ن ?ُم>ْغ?ِفDِر> DُهD َو>ْاْل Dْذ?ِن Dِإ [َّنB ِب >ْي Bَب DُهD َو>ُي >اَت PاِسD آُي Dّلن PُهBْم? ْل >َع>ّل َوَن> ْل BِرP >َذ>َك >َّت ُي

Kata musyrikah atau musyrik dalam ayat di atas artinya seorang yang menyekutukan Allah. Imam Al Ashfahani membagi makna al syirk dua macam:

(a) Al Syirkul adziim (syirik besar) yaitu menetapkan sekutu bagi Allah. Termasuk kategori ini makna firman Allah: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” (An-Nisa:48). Dalam ayat lain: “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah tersesat sejauh-jauhnya”. (An-Nisa:116)

Page 34: Masail Fiqhiyah

(b) Al Syirkush Shaghiir (syirik kecil) yaitu mendahulukan selain Allah dalam tindakan tertentu, seperti riya’ (ingin dipuji orang), termasuk dalam kategori ini pengertian ayat: “Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)” (Yusuf:106), maksudnya mengutamakan kepentingan-kepentingan dunia di atas tujuan-tujuan akhirat (lihat Al Ashfahani, Mufradat alfaadzil Qur’an, h.452).

Para ahli tafsir, dalam menjelaskan kata musyrik selalu mencontohkan dengan agama majusi (penyembah api) dan watsani (penyembah berhala). Ada juga sebagai mufassir yang mendefinisikan musyrik dengan “semua orang kafir yang tidak bergama Islam. Dengan pengertian ini maka umat Yahudi dan Nasrani tergolong musyrik. Dan ayat di atas dengan tegas melarang pernikahan seorang mukmin dengan wanita musyrikah begitu juga sebaliknya seorang mu’minah dengan lelaki musyrik. Mengapa? Karena batasan yang sangat fundamental yaitu perbedaan aqidah. Dari perbedaan aqidah ini akan lahir perbedaan tujuan dan pandangan hidup. Maka tidak mungkin seorang mukmin atau mu’minah yang benar-benar jujur dengan keimanannya rela mengorbankan aqidahnya demi kepentingan dunia. Imam Al Qurthubi menyetir ketetapan ijma’ul ummah bahwa seorang musyrik tidak boleh menikahi seorang mu’minah apapun alasan nya. Imam Asyaukani menyebutkan sebuah riwayat bahwa seorang sahabat bernama Murtsid bin Abi Murtsid pernah didatangi bekas orang yang pernah dicintainya dulu waktu di zaman jahiliyah. Wanita itu lalu minta untuk dizinahi. Murtsid segera menjawab: Wah, itu tidak mungkin, sebab saya sudah masuk Islam, dan Islam telah menjadi penghalang di antara kita. Lalu wanita itu minta agar dinikahi saja. Murtsid berkata: kalau begitu saya akan menemui Rasulullah dulu. Lalu turunlah ayat di atas. (Imam Asy Syaukani, Fathul Qadiir: vol.1, h.244). Dari sini jelas bahwa tidak mungkin seorang yang beriman menikah dengan seorang yang masih kafir. Maka jika ada seorang yang mengaku mu’min atau mu’minah, kemudian ia ternyata rela dan berani melakukan pernikahan dengan seorang yang musyrik atau musyrikah, itu berarti dalam keimanannya ada masalah. Sebab dengan terang-terangan ia telah berani melanggar ketentuan Allah seperti dalam ayat di atas.

Menikahi Wanita Ahlul Kitab (Kitabiyah)

Dalam ayat di atas, hanya disebutkan istilah musyrikah atau musyrik, tetapi belum disebutkan istilah ahlul kitab, sementara di tempat lain Al Qur’an menggunakan istilah ahlul kitab untuk umat Yahudi dan Nasrani. Allah berfirman: “(Kami turunkan Al-Quran itu) agar kamu (tidak) mengatakan: “Bahwa Kitab itu Hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami (yakni orang-orang Yahudi dan Nasrani)” (Al-An’am:156). Pertanyaannya sekarang apakah ahlul kitab termasuk golongan musyrikiin? Menurut definisi di atas maka ahlul kitab termasuk kaum musyrikiin. Jika demikian bolehkah seorang mu’min menikahi wanita ahlul kitab?

Mayoritas ulama (jumhur) membolehkan seorang mu’min menikah dengan wanita ahlul kitab (dari umat Yahudi atau Nasrani). Dan ini pendapat yang kuat (rajih). Bahkan ada sebagian yang mengatakan –seperti Imam Al Jashshash - tidak ada khilaf di dalamnya, kecuali Abdullah bin Umar yang memandangnya makruh (lihat Al Jashshash, Ahkamul Qur’an, vol. 2, h.324). Namun kendati demikian menikah dengan wanita muslimah tetap harus diutamakan. Sebab pada hakekatnya, di antara hikmah dibolehkannya adalah dalam rangka untuk mengislamkannya. Dan seorang suami mu’min sebagai kepala rumah tangga tentu sangat berperan dan menentukan dalam proses tersebut. Berbeda halnya jika sang istri muslimah dan suami non-muslim. Sang istri tentu sangat berat untuk mempengaruhi sang suami, bahkan bisa dipastikan sang istri akan kewalahan. Sebab tabiat seorang istri biasanya selalu ikut apa kata suami. Atas dasar ini mengapa seorang muslimah tidak boleh bersuamikan seorang ahlul kitab.

Page 35: Masail Fiqhiyah

Beberapa alasan yang menguatkan bolehnya seorang muslim beristrikan wanita ahlul kitab sebagai berikut:

(a) Bahwa kata musyrikaat pada ayat di atas tidak termasuk ahlul kitab, dalilnya: Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu” (Al-Baqarah:105) Di sini nampak dibedakan antara orang-orang musyrik dengan ahlul kitab. Begitu juga dalam surat Al Bayyinah Allah berfirman: “Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata”. (Al-Bayyinah:1). Dikatakan bahwa wawu athf menunjukkan perbedaan (almughayarah). Dengan ini jelas bahwa ahlul kitab bukan orang-orang musyrik. Toh kalaupun dikatakan bahwa mereka tergolong musyrik, maka dengan ayat tersebut nampak adanya pengkhususan, seakan dikatakan: “Tidak boleh menikah dengan wanita musyrikah kecuali wanita ahlul kitab.

(b) Allah berfirman: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi” (Al-Maidah:5). Ini menunjukkan bahwa menikah dengan wanita ahlul kitab hukumnya boleh.

(c) Diriwayatkan bahwa Utsman bin Affan ra. menikah dengan Nailah Al Kalbiyah, wanita Yahudi, begitu juga Thalhah bin Ubaidillah ra. menikah dengan wanita Yahudi dari penduduk Syam. Itu pun tidak ada satupun riwayat yang mengatakan bahwa salah seorang sahabat menentang pernikahan tersebut. Dari sini nampak bahwa mereka bersepakat atas bolehnya menikah dengan wanita ahlul kitab.

Walhasil, bahwa sekalipun pernikahan dengan wanita ahlul kitab hukumnya boleh, namun lebih utama seorang muslim tidak melakukannya. Salah seorang alim besar dalam Madzhab Hanafi, Kamal bin Hammam berkata: Memang boleh menikah dengan wanita ahlul kitab, tetapi lebih baiknya seorang muslim tidak melakukannya, kecuali dalam kondisi darurat” (lihat Al kamal bin Hammam, Fathul Qadiir, Syarhul Hidayah fii fqhil hanafiyah, vol.2, h.372). Pesan Kamal bin Hammam ini ternyata ada dasarnya: diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab pernah menyuruh sahabatnya Hudzaifah untuk menceraikan istrinya yang tergolong kaum Yahudi. Hudzaifah bertanya: Apakah kamu melihat bahwa pernikahan seperti ini hukumnya haram? Umar menjawab: Tidak, tetapi saya takut hal ini kelak menjadi contoh yang diikuti banyak orang. Umar benar dalam sikapnya ini, sebab jika kemudian pernikahan seperti tersebut, benar-benar menjadi fenomena umum, bagaimana nantinya nasib wanita-wanita muslimah? Dan perlu diingat bahwa diantara hikmah dibolehkannya menikah dengan kitabiyah adalah supaya wanita kitabiyah itu masuk ke pangkuan Islam melalui pernikahan. Jika diperkirakan itu tidak mungkin terjadi, para ulama memakruhkan. Oleh sebab itu ada kondisi di mana seorang muslim dimakruhkan menikah dengan kitabiyah: Pertama, wanita tersebut harbiyah (mempunyai jiwa menyerang, tidak mungkin dipengaruhi dan bahkan mungkin akan menyebabkan hancurnya moral anak-anak yang dilahirkan, serta tidak mustahil ia akan mempengaruhi sang suami) (lihat, Ibid, vol.2. h. 372). Kedua, adanya wanita muslimah yang bisa dinikahi. Imam Ibn Taymiah mengatakan: “Makruh hukumnya menikah dengan wanita kitabiyah sementara di saat yang sama masih ada wanita-wanita muslimah”(lihat, alikhtiyaraat alfiqhiyah min fatawa syaikhil Islam Ibn Taymiah, h. 217).

Menikah Dengan Laki-laki Ahlul Kitab

Page 36: Masail Fiqhiyah

Ayat di atas menegaskan: dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Dalam konteks ini tidak ditemukan ayat lain yang mengkhususkannya, seperti ayat mengenai menikah dengan wanita kitabiyah. Artinya tidak ada keterangan lain mengenai hukum boleh-tidaknya menikah dengan laki-laki ahlul kitab, kecuali ayat di atas. Bila disebutkan bahwa ahlul kitab tergolong orang-orang musyrik, maka berdasarkan ayat di atas tidak boleh seorang muslimah menikah dengan laki-laki musyrik. Berbeda jika wanitanya ahlul kitab dan calon suamimya muslim, itu dibolehkan karena adanya ayat lain yang menegaskan bolehnya sebagaimana telah diterangkan tadi.

Jelasnya, bahwa seorang wanita muslimah tidak boleh dalam kondisi apapun menikah dengan seorang yang musyrik, termasuk laki-laki Yahudi dan Nasrani, karena al Qur’an telah menyebutkan bahwa mereka tergolong kafir. Allah berfirman: “Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata”. (QS. 98:1). Lebih dari itu mereka juga akan selalu mempengaruhi istrinya agar menjadi kafir, yang dengannya ia bisa masuk neraka, Allah berfirman pada ayat di atas: mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya”.

Kerena itulah Allah menekankan dengan sangat tegas bahwa menikah dengan seorang mukmin tetap lebih utama, sekalipun ia seorang budak: walaamatun mu’minatun khairun min musyrikatin walau a’jabatkum (Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu). Lalu dipertegas lagi pada ayat berikutnya: wala ‘abdun mu’minun khairun min musyrikin walau a’jabakum (Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu). Perhatikan, penegasan ini tidak mengandung penfsiran lain keculai bahwa yang harus diutamakan dalam pernikahan adalah kesamaan akidah. Sebab dari kesamaan akidah akan mudah menentukan kesamaan tujuan sekaligus kesamaan cara hidup. Dan hanya dengan ini kelak upaya untuk saling membantu dalam mentaati Allah (at ta’aawun bil birri wat taqwa) akan lebih tercipta, di mana dari sini kebahagiaan hakiki akan dicapai, tidak saja di dunia melainkan juga di akhirat. Wallhu a’lam bish shawab.

Oleh: DR. Amir Faishol Fath

Pengertian bayi tabung

posted in Pengetahuan, Persiapan, Proses |

Sering kali kita mendengar ‘ikut bayi tabung aja…’ atau ’anaknya dia dari hasil bayi tabung’. Apa sih

sebenarnya definisi atau pengertian bayi tabung itu? Apakah ini adalah cara untuk mendapatkan

anak?

Kalau dilihat dari kata ‘bayi’ & ‘tabung’, mungkin bayi tabung berarti bayi dari hasil pembuahan di

tabung. Ada juga yang bilang bayi tabung adalah bayi dari hasil tabungan … memang benar juga

sih soalnya proses bayi tabung itu tidak murah alias menguras kantong.

Tetapi bayi tabung itu sebenarnya adalah proses pembuahan sel telur dan sperma di luar tubuh

wanita, dalam istilah kerennya in vitro vertilization (IVF).

Page 37: Masail Fiqhiyah

In vitro adalah bahasa latin yang berarti dalam gelas/tabung gelas (nah nyambung juga kan dengan

kata tabung). Dan vertilization adalah bahasa Inggrisnya pembuahan.

Dalam proses bayi tabung atau IVF, sel telur yang sudah matang (seperti masak telur saja ya)

diambil dari indung telur lalu dibuahi dengan sperma di dalam sebuah medium cairan. Setelah

berhasil, embrio kecil yang terjadi dimasukkan ke dalam rahim dengan harapan dapat berkembang

menjadi bayi…