TUGAS MASAIL AL-FIQHIYAH

27
TUGAS KELOMPOK EUTHANASIA Dosen Pembimbing: Disusun Oleh: Misbahul Munir Andi Pranoto JURUSAN TARBIYYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) AL-FATAH JAYAPURA 2010

Transcript of TUGAS MASAIL AL-FIQHIYAH

Page 1: TUGAS MASAIL AL-FIQHIYAH

TUGAS KELOMPOK

EUTHANASIA

Dosen Pembimbing:

Disusun Oleh:

Misbahul Munir

Andi Pranoto

JURUSAN TARBIYYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)

AL-FATAH JAYAPURA

2010

Page 2: TUGAS MASAIL AL-FIQHIYAH

BAB I

EUTHANASIA

A. PENDAHULUAN

Setiap makhluk hidup, termasuk manusia akan mengalami siklus kehidupan

yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai

permasalahannya, dan diakhiri dengan kematian. Dari berbagai siklus kehidupan di

atas, kematian merupakan salah satu yang masih mengandung misteri yang sangat

besar. Mati sesungguhnya masalah yang sudah pasti terjadi, akan tetapi tidak pernah

diketahui dengan tepat kapan saatnya terjadi.

Pengertian tentang kematian itu sendiri mengalami perkembangan dari waktu

ke waktu sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Kematian dapat dibagi

menjadi 2 fase, yaitu: somatic death (Kematian Somatik) dan biological death

(Kematian Biologik). Kematian somatik merupakan fase kematian dimana tidak

didapati tanda tanda kehidupan seperti denyut jantung, gerakan pernafasan, suhu

badan yang menurun dan tidak adanya aktifititas listrik otak pada rekaman EEG.

Dalam waktu 2 jam, kematian somatik akan diikuti fase kematian biologik yang

ditandai dengan kematian sel. Kurun waktu 2 jam diantaranya dikenal sebagai fase

mati suri. Dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan seperti alat respirator (alat

bantu nafas), seseorang yang dikatakan mati batang otak yang ditandai  dengan

rekaman EEG yang datar, masih bisa menunjukkan aktifitas denyut jantung, suhu

badan yang hangat, fungsi alat tubuh yang lain seperti ginjalpun masih berjalan

sebagaimana mestinya, selama dalam bantuan alat respirator tersebut.  Tanda tanda

kematian somatik selain rekaman EEG tidak terlihat. Tetapi begitu alat respirator

tersebut dihentikan, maka dalam beberapa menit akan diikuti tanda kematian

somatik lainnya. Walaupun tanda tanda kematian somatik sudah ada, sebelum terjadi

kematian biologik, masih dapat dilakukan berbagai macam tindakan seperti

pemindahan organ tubuh untuk transplantasi, kultur sel ataupun jaringan dan organ

atau jaringan tersebut masih akan hidup terus, walaupun berada pada tempat yang

berbeda selama mendapat perawatan yang memadai.

Jadi dengan demikian makin sulit seorang ilmuwan medik menentukan

terjadinya kematian pada manusia. Apakah kematian somatik secara lengkap harus

Page 3: TUGAS MASAIL AL-FIQHIYAH

terlihat sebagai tanda penentu adanya kematian, atau cukup  bila didapati salah satu

dari tanda kematian somatik, seperti kematian batang otak saja, henti nafas saja atau

henti detak jantung saja sudah dapat dipakai sebagai patokan penentuan kematian

manusia. Permasalahan penentuan saat kematian ini sangat penting bagi

pengambilan keputusan baik oleh dokter maupun keluarganya dalam kelanjutan

pengobatan. Apakah pengobatan dilanjutkan atau dihentikan. Dilanjutkan belum

tentu membawa hasil, tetapi yang jelas akan menghabiskan materi, sedangkan bila

dihentikan pasti akan membawa kefase kematian. Penghentian tindakan pengobatan

ini merupakan salah satu bentuk dari euthanasia.

B. EUTHANASIA MENURUT PANDANGAN ISLAM

1. Pengertian Euthanasia

Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang berarti indah, bagus,

terhormat atau gracefully and with dignity, dan thanatos yang berarti mati. Jadi

secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Jadi

sebenarnya secara harafiah, euthanasia tidak bisa diartikan sebagai suatu

pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa seseorang. Menurut Philo (50-20

SM) euthanasia berarti mati dengan tenang dan baik, sedangkan Suetonis penulis

Romawi dalam bukunya yang berjudul Vita Ceasarum mengatakan bahwa

euthanasia berarti “mati cepat tanpa derita’.Sejak abad 19 terminologi euthanasia

dipakai untuk penghindaran rasa sakit dan peringatan pada umumnya bagi yang

sedang menghadapi kematian dengan pertolongan dokter.1 Sedangkan pengertian

euthanasia menurut istilah terdapat beberapa pendapat para ahli.

Menurut Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, bahwa “eauthanasia

adalah suatu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan

pertolongan dokter.” Yang dimaksud dengan pertolongan atau dokter dalam

euthanasia ini adalah pemberian suntikan yang dapat mempercepat kematian

pasien, sedangkan tanpa bantuan dokter ialah pasien penderita gawat

darurat/kritis itu dibiarkan begitu saja tanpa diberikan pelayanan medis sehingga

ia meninggal karenanya.

1Aris Wibudi, Euthanasia (http://www.rudyct.com/PPS702-ipb/04212/aris_wibudi.htm)

Page 4: TUGAS MASAIL AL-FIQHIYAH

Dalam istilah medis, dijelaskan bahwa euthanasia adalah “usaha tenaga

medis untuk membantu pasien supaya meninggal dengan baik tanpa penderitaan

yang terlalu berat.” Dari pengertian ini menunjukan bahwa menurut istilah

medis, euthanasia dititik beratkan kepada usaha pertolongan yang dilakukan oleh

dokter atau tenaga medis lainnya terhadap seorang pasien yang mengalami

kondisi gawat darurat agar cepat diakhiri penderitaannya melalui kematian.2

Dari pengetian yang lain juga mengatakan bahwa euthanasia sering disebut

dengan “ Mercy killing “ yang diartikan sebagai suatu cara mengambil

kehidupan klien untuk menghentikan penderitaaan yang dihadapi klien tersebut.3

Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti,

yaitu:

1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan,

buat yang beriman dengan nama Allah di bibir.

2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan sisakit dengan

memberikan obat penenang.

3. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas

permintaan pasien sendiri dan keluarganya.

Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa euthanasia adalah

usaha mempercepat kematian seorang pasien penderita penyakit kritis yang

dilakukan/petugas medis lainya berdasarkan permintaan pasien sendiri dan atau

keluarganya.

2. Macam-macam dan bentuk-bentuk Euthanasia

Dalam dunia medis/kedokteran,euthanasia dibagi dalam dua katergori,

yaitu euthanasia pasif atau authanasia tidak langsung, dan euthanasia aktif atau

euthanasia langsung.

Euthanasia pasif dilakukan terhadap seorang penderita gawat darurat

dengan cara tidak diberikan obat sama sekali, ataupun dengan cara memberikan

2 La Jamaa’, Euthanasia Menurut Tinjauan Hukum Islam. Jurnal JABAL HIKMAH, STAIN AL-FATAH JAYAPURA. No.2, Vol.1 Januari-Juni 2008.3 NS. Rohmani, Masalah-masalah Etik Dalam Keperawatan. STIKES. Jayapura papua. 2009. Hlm. 3.

Page 5: TUGAS MASAIL AL-FIQHIYAH

pil-pil analgetik kepada seorang pasien yang menderita kanker ganas untuk

mengurangi rasa sakitnya. Euthanasia semacam ini biasanya dikenal dengan

euthanasia tidak langsung karena pemberian pil-pil analgetik dapat sedikit

mempercepat datangnya kematian. Disebut euthanasia tidak langsung juga kerena

kematian pasien sebenarnya tidaklah dikehendaki oleh tenaga medis yang

memberikan obat penenang tersebut.

Euthanasia pasif adalah tindakan dokter berupa penghentian pengobatan

pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi

dapat disembahkan. Penghentian pemberian obat ini berakibat mempercepat

kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan ialah kerena keadaan ekonomi

pasien terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk biaya pengobatan cukup

mahal, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak

efektif lagi. Termasuk juga euthanasia pasif ialah upaya dokter menghentikan

pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin bisa

disembuhkan. Umum alasannya adalah ketidakmampuan pasien dari segi

ekonomi padahal biaya pengobatan yang dibutuhkan sangat tinggi.

Salah satu contoh kasus euthanasia pasif ialah penderita kanker yang

sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan

pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh, atau orang yang terkena

serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati akan dapat mematikan

penderita. Dalam hal ini, jika pengobatan terhadapnya dihentikan akan dapat

mempercepat kematiannya.

Sedangkan euthanasia aktif ialah tindakan dokter mempercepat kematian

pasien dengan memberikan suntikan kedalam tubuh pasien. Suntikan dilakukan

pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada

stadium akhir, yang menurut perkiraan medis sudah tidak mungkin lagi bisa

sembuh atau bertahan lama. Alasan yang lazim dikemukakan ialah bahwa

pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien, tidak

mengurangi keadaan sakitnya yang memang sudah parah. Disebut euthanasia

langsung karena pemberian suntikan ataupun obat yang melebihi dosis kedalam

Page 6: TUGAS MASAIL AL-FIQHIYAH

tubuh pasien itu secara langsung bertujuan kepada kematian pasien atau cara-cara

yang digunakan itu secara langsung akan menyebabkan kematian.

Salah satu contoh kasus euthanasia pasif adalah, seorang menderita kanker

ganas dengan rasa sakit yang luar biasa hingga penderita sering pingsan. Dalam

hal ini, dokter yakin bahwa yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian

dokter memberikan memberikan obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang

sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernafasan

sekaligus.

Dalam kaitannya dengan pembagian euthanasia, Imron Halimy membagi macam

dan bentuk menjadi dua, yaitu :

1. Euthanasia atas permintaan

2. Euthanasia tidak atas permintaan

Kemudian kita kenal pula :

1. Euthanasia aktif, baik atas permintaan maupun tanpa permintaan.

2. Euthanasia pasif, baik atas permintaan maupun tanpa permintaan.

Selanjutnya dalam euthanasia aktif dapat dibedakan lagi menjadi :

1. Euthanasia aktif secara langsung

2. Euthanasia aktif secara tak langsung.

Dengan demikian dapat diungkapkan bahwa euthanasia aktif adalah suatu

kejadian dimana dokter atau tenaga medis lainya secara sengaja melakukan suatu

tindakan untuk memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien. Sedangkan

euthanasia pasif adalah suatu kejadian dimana dokter atau tenaga medis lainnya

secara sengaja tidak memberikan bantuan medis terhadap pasien yang akhirnya

menyebabkan pasien meninggal dunia.

Euthanasia pasif atas permintaan sendiri biasanya disebut pula auto

euthanasia, yaitu situasi dimana seorang pasien dengan sadar menolak secara

tegas untuk menerima perawatan medis, bahkan ia telah menyadari bahwa hal itu

akan dapat memperpendek atau mengakhiri hidupnya sendiri.

Dalam kaitannya dengan masalah euthanasia ini J.E. Sahetapy membagi

euthanasia dalam tiga jenis, yaitu :

Page 7: TUGAS MASAIL AL-FIQHIYAH

1. Kematian yang terjadi karena pasien dengan sungguh-sungguh dan

secara cepat menghendaki untuk mati;

2. Kematian yang terjadi karena kelalaian/kegagalan dari dokter dalam

mengambil suatu tindakan untuk mencegah adanya kematian;

3. Kematian yang terjadi karena tindakan positif dari donter untuk

mempercepat kematian.4

C. ANALISIS HULUM ISLAM

Agama Islam sangat menekankan perlindungan terhadap jiwa manusia secara

konsisten. Hak hidup adalah hak asasi setiap orang yang tidak boleh dihilangkan

tanpa alasan yang sah. Ketentuan ini berlaku umum tanpa membedakan pembunuhan

yang terjadi tanpa persetujuan korban maupun dengan persetujuan korban sendiri,

termasuk juga tindakan bunug diri dengan alasan apapun.

Pembunuhan juga dilarang terdahap anak sendiri, seperti ditegaskan dalam firman

Allah SWT.

Artinya : “ Janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan”

(Q.S. Al-Isra’: 31 )

Tegasnya, bahwa kemiskinan atau alasan lainnya bukanlah menjadi legitimasi

terhadap suatu tindakan pembunuhan. Dalam syariat Islam memang ada alasan sah

yang membolehkan mengakhiri hidup orang lain, yaitu karena yang bersangkutan

membunuh orang lain secara melawan hukum, orang yang sudah menikah melakukan

perzinaan atau murtad. Rasulullah SAW bersanda :

لميحلدمامرىمسلميشهدانالاله

اللهوانيرسولاللهاالباحدىثالثال

نفسبالنفس والثيبال

4 La Jamaa’, op.cit., hlm.270-174

Page 8: TUGAS MASAIL AL-FIQHIYAH

انيوالمارقمنالدينالتاركللجما

عةArtinya : “ Tidak dihalalkan darah seorang muslim yang mengakui bahwa tidak ada

Tuhan selain Allah dan Aku (Muhammad) itu utusan Allah, kecuali oleh satu sebab

dari tiga alasan, yaitu orang yang (diqisas) karena membunuh orang lain, berzina

sedang ia sudah kawin, dan keran meninggalkan agamanya serta memisahkan diri

dari jama’ah (kaum muslimin).” (HR. Buhkari)

Berdasarkan ayat dan hadits diatas dapat dikatakan bahwa larangan pembunuhan

tanpa hak itu bersifat umum dan mutlak. Dengan demikian dokter yang memberikan

suntikan obat berdosis tinggi dengan tujuan untuk mempercepat kematian pasiennya

adalah termasuk tindakan pembunuhan yang terlarang. Karena yang berhak

menentukan cepat atau lambatnya ajal adalah merupakan hak prerogatif Allah, seperti

diungkapkan dalam firman Allah yang berbunyi :

Artinya : “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang

waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat

(pula) memajukannya.” (Q.S. Al-A’raf :34)

Namun demikian ayat diatas tidak bertentangan dengan Q.S. Yunus : 107.

Artinya : “Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada

yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan

bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurniaNya. Dia memberikan kebaikan

itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah

Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Yunus : 107)

Page 9: TUGAS MASAIL AL-FIQHIYAH

Pada ayat diatas Hamka menafsirkannya bahwa “ kalau suatu mala petaka atau

mara bahaya menimpa diri, tak ada yang lain berkuasa atau berkesanggupan

menghidarkan mala petaka itu melainkan Tuhan Allah jua dengan hukum sebab

akibat.

Dengan demikian tindakan dokter itu bertentangan dengan kehendak Allah. Sebab

mungkin saja Allah hendak mencoba hamba-Nya itu dengan penyakit yang

dideritanya tadi. Sehingga walaupun niat dokter dalam memberikan obat berdosis

tinggi itu untuk “kebaikan” (agar penderitaan pasiennya cepat berakhir), namun cara

yang ditempuhnya berdampak kematian bagi pasien. Sehingga euthanasia tersebut

tetap dilarang, sebab perbuatan haram tak akan menjadi halal lantaran niat baik. Islam

memandang tindakan yang bermanfaat adalah caranya benar secara syara dan niatnya

pun benar secara syara pula.

Niat baik dalam euthanasia pada hakekatnya termasuk dalam kategori pemberian

bantuan dalam perbuatan yang dilarang Tuhan sebab menginginkan kematian lantaran

suatu penderitaan hidup – termasuk penyakit yang kunjung sembuh adalah dilarang

oleh Allah. Nabi SAW bersabda :

فاعال فانكانالبد اليتمنيناحدكمالموتمنضراصابه

فليقلاللهماحينيماكانت

وتوفنياذاكانتالوفاةخيرالي خيرالي الحياةArtinya : “Janganlah seorang kamu mengharapkan kematian karena sesuatu musibah

yang menimpanya, tetapi jika terpaksa ia harus berbuat begitu maka katakanlah: Ya

Allah biarkanlah aku hidup jika hidup ini lebih baik bagiku dan matikanlah aku jika

mati itu lebih baik bagiku.” (HR. Bukhari dari Anas)

Terhadap makna hadits ini Husaini A. Majid Hasyim menjelaskan, bahwa

“mengharapkan-harapkan mati karena alasan apapun tidak boleh, baik karena

musibah yang menimpa dirinya, hartanya, ataupun anaknya. Dikecualikan

mengharapkan mati karena rindu kepada Allah karena ingin syahid atau karena takut

fitnah dengan satu keyakinan, bahwa kematian itu lebih baik. Namun itupun tidak

boleh secara pasti mengharapkan niat.

Page 10: TUGAS MASAIL AL-FIQHIYAH

Tindakan euthanasia berbeda dengan berdoa memohon tunjukan kepada Allah

agar dipilihkan yang terbaik antara hidup dengan mati karena tindakan ini merupakan

cerminan sikap hidup yang optimis dan bukan keputusasaan. Sedangkan

mengharapkan kematian yang diwujudkan melalui euthanasia merupakan sikap

keputusan yang dibenci oleh Tuhan, sesuai Q.S. Yusuf (12) : 87.

Artinya : “Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada

berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”. (Q.S. Yusuf : 87)

Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa sikap putus asa dikategorikan sebagai

sikap kekufuran apalagi keputusasaan yang menjurus kepada kematian melalui

euthanasia. Bahkan tindakan euthanasia dalam hal ini mengakibatkan dosa yang

berlipat ganda yaitu dosa karena putus asa dari rahmat Allah dan dosa karena

membunuh diri sendiri baik secara langsung maupun tidak langsung.

Dalam hal ini tindakan dokter yang membantu mempercepat kematian pasien

melalui euthanasia juga pada hakekatnya turut menanggung dosa dan perbuatannya

itu termasuk kategori haram. Niat “baik” dokter dalam kasus ini tetap haram karena

cara yang ditempuh adalah salah sehingga berakibatkan kematian juga salah menurut

hukum Islam. Sebab dalam kondisi kritis itu seharusnya dokter berusaha semaksimal

mungkin untuk memberikan pengobatan kepada pasiennya, bukannya diberikan obat

yang dapat mempercepat kematian pasien. Dalam kaidah fiqh dijelaskan, bahwa al-

dararu la yuzalu bi al-darar (bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya yang

lain).

Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa memudahkan proses kematian pasien

secara euthanasia aktif, seperti pada contoh yang telah dikemukakan di atas, tidak

dibolehkan. Sebab tindakan aktif dengan tujuan membunuh si pasien dan

mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis atau cara

lainnya. Tindakan ini tetap dalam kategori pembunuhab, walaupun yang mendorong

itu rasa kasihan kepada pasien dan untuk meringankan penderitaannya. Karena

Page 11: TUGAS MASAIL AL-FIQHIYAH

bagaimanapun dokter tidak lebih pengasih dan penyayang daripada Allah. Manusia

harus menyerahkan hidup dan matinya kepada Allah. Dalam euthanasia menandakan

manusia terlalu cepat menyerah kepada (fatalis), padahal Allah menyuruh manusia

untuk selalu berusaha / berikhtiar sampai akhir hayatnya.

Sedangkan memudahkan proses kematian pasien dengan euthanasia pasif ini

adalah boleh dan dibenarkan syara, bila keluarga penderita mengizinkannya dan

dokter diperbolehkan melakukannya untuk meringankan penderitaan si sakit dan

keluarganya. Hal ini berlaku juga terhadap tindakan dokter menghentikan alat

pernapasan buatan dari si sakit, yang menurut pandangan dokter dia dianggap sudah

“mati” atau “dihukumi telah mati” karena jaringan otak atau sumsun yang dengannya

seorang dapat hidup dan merasakan sesuatu, telah rusak. Apabila.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa euthanasia aktif haram hukumnya

sedangkan euthanasia pasif dibolehkan karena pada hakekatnya tidak ada keterlibatan

langsung dokter dalam kasus terjadinya kematian penderita. Kematian yang

dialaminya disebabkan oleh penyakit yang dideritanya, bukan karena akibat tindakan

dokter.5

D. ANALISIS MENURUT HUKUM POSITIF

Sesuai dengan KUHP pasal 304 “ Barangsiapa dengan sengaja menempatkan

atau membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang

berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan

atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam pidana penjara paling lama dua tahun

delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”6

Pasal 306

1) “Jika salah satu perbuatan berdasarkan pasal 304 dan 305 mengakibatkan luka-

luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh

tahun enam bulan”.

2) “ Jika mengakibatkan kematian pidana penjara paling lama sembilan tahun”.7

5 Ibid., hlm.277-2836 KUHP & KUHAP (Pertama Press, 2007), hlm.1067 Ibid., 107.

Page 12: TUGAS MASAIL AL-FIQHIYAH

Pasal 344: “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang sendiri

yang jelas dinyatakan dengan kesunguhan hati, diancam dengan pidana penjara

paling lama dua belas tahun.”

Pasal 345 : “ Barang siapa yang mendorong orang lain untuk membuntuh diri,

menolongnya dalam perbuatan ini atau memberi sarana kepada untuk itu,

diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun kalau orang itu menjadi

bunuh diri.”8

Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana diatas hanya melihat dari

dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap

sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa

seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang

dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya

euthanasia tersebut. Tidak perduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien

itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan

sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di

lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar

bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan bukan menghendaki kematiannya

seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat oleh pasal pasal dalam

undang undang yang terdapat dalam KUHP Pidana.9

E. PENGARUH EUTHANASIA TERHADAP KEWARISAN

Kematian berimplikasi terhadap kewarisan karena dengan meninggalnya

seseorang, maka harta yang ditinggalkannya menjadi hak ahli warisnya. namun

demikian ahli waris dapat dicabut haknya jika terbukti membunuh pemilik hartta

warisan. jelasnya, bahwa para ahli waris tidak mutlak berhak atas harta yang

ditinggalkan simayit. dalam hal ini para ulama sepakat bahwa, status seseorang

karena berbeda agama, sebab membunuh dan perbudakan merupakan penghalang

terjadinya pewarisan.

Dari analisis hukum islam diatas, kelas bahwa yang termasuk eutanisia aktif.

dengan demikian tindakan euthanasia aktif yang dilakukan baik keluarga korban

8 Ibid., 1169 Aris Wibudi, op.cit.

Page 13: TUGAS MASAIL AL-FIQHIYAH

maupun dokter dapat dikategorikan pembunuhan. kasus pembunuhan yang dilakukan

keluarga korban secara euthanasia tidak dapat dilihat dari kaca mata kedokteran

semata. namun perlu dilihat pula kemungkinan adanya ambisi keluarga korban untuk

secepatnya memperoleh harta warisan. padahal harta warisan hanya dapat diperoleh

dan dimiliki para ahli waris jika pemiliknya sudah meninggal dunia. maka euthanasia

bisa dijadikan aat untuk mewujudkan maksud tersebut. apalagi pegakhiran hidup

seseorang terjadi secara rahasia serta sulit diketahui oleh orang banyak sehingga trasa

aman sekaligus dapat mewujudkan ambisi ahli waris. karena itulah kaidah fiqhiyah

menetapkan, orang yang menyegerakan sebelum waktunnya, niscaya dihukum

dengan tidak diberikan kepadanya apa yang ingin segera dia terima.

Adanya sanksi hukum itu mengandung hikmah bahwa jika sipembunuh tidak

dicabut haknya menerima warisan, tentulah banyak ahli waris yang membunuh pemilik

harta warisannya. sehingga akan berkembang pembunuhan antara kerabat yang dekat

dengan yang tidak dekat agar prosentase yang dia peroleh pembagian harta warisan

menjadi meningkat lantaran berkurangnya bahkan habisnya ahli waris selain diri

pembunuh. dengan demikian euthanasia aktif merupakan salah satu bentuk

pembunuhan yang menjadi penghalang dalam kewarisan. dalam kaitan ini para ahli

waris yang meminta/menyetujui dokter melakukan euthanasia terhadap pasien (pemilik

harta warisan), tidak mendapat peninggalan harta warisan yang ditinggalkan korban

euthanasia. demikian juga dokter, bila mempunyai hubungan kewarisan dengan

sikorban tidak mendapat bagian warisan.

F. HUKUMAN BAGI PELAKU EUTHANASIA

Berdasarkan pembahasan diatas eutanasai aktif yang dilkukan dokter secara diam-

diam dapat dikategorikan pembunuhan yang disengaja jadi haram hukumnya. sebab

pembunuhan disengaja adalah suatu perbuatab yang disertai niat (direncanakan

sebelumnya) untuk membunuh orang lain dengan menggunakan alat-alat yang

mematikan. karena itu dokter harus bertanggung jawab terhadap tindakan euthanasia

yang dilakukannya. sebab tindakan yang menyebabkan kematian seseorang tanpa

alasan sah sangat dilarang oleh Allah seperti diungkapkan dalam Q.S. al-An`am (6):151

Page 14: TUGAS MASAIL AL-FIQHIYAH

Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang

nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa

yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang

benar.” (Q.S. AlAn-am :151)

Selaras dengan hal itu untuk melindungi hak hidup setiap individu maka islam

menetapkan hukuman qiyas yaitu hukuman yang sebanding dengan kejahatan yang

dilakukan, seperti yang dijelaskan dalam QS. al-Maidah (5): 45

Artinya : “Dan kami telah tetapkan terhadap mereka didalamnya (at-Taurat)

bahwasanya jiwa(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung,

telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qiyasnya.”

(Q.S.al-Maidah : 45)

Jadi, dokter yang melakukan euthanasia aktif secara diam-diam

(sepengetahuan/izin kelurga pasien) dijatuhi hukuman qiyas. sedangkan euthanasia

aktif yang dilakukan dokter dengan sepengetahuan keluarga dan atau korban termasuk

pembunuhan semi sengaja sehingga pelakunnya dijatuhi hukuman diyat (membayar

denda). berbeda dengan euthanasia pasif karena ditolerir ileh syara (boleh). sehingga

pelaku euthanasia pasif /negatif tidak dikenai sangsi pidana.10

10 la Jamaa’, op.cit., hlm.283-286

Page 15: TUGAS MASAIL AL-FIQHIYAH

BAB II

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Euthanasia adalah usahaa mempercepat kematian seorang pasien penderita

penyakit kritis yang dilakuakan oleh dokter/petugas medis lainnya baik

berdasarkan permintaan pasien sendiri dan atau keluarganya maupun tidak, karena

merasa kasihan dengan penderita pasien. euthanasia terbagi dua macam, yakni

euthanasia aktif/positif dan euthanasia pasif/negaitif;

2. Euthanasia aktif/positif haram hukumnya, sedangkan euthanasia pasif atau

negative dibolehkan oleh syara. euthanasia memiliki akibat hukum trhadap

kewarisan. sehingga pelaku euthanasia aktif/pasif dicabut haknya sebagai ahli

waris, baik keluarga korban maupun dokter (yang memiliki hubungan keluarga

dengan korban) sedangkan pelaku euthanasia pasif/negatif tetap menjadi ahli

waris dari harta yang ditinggalkan korban;

3. Euthanasia menimbulkan dilema karena disatu sisi euthanasia dilakukan dengan

rasa kasihan terhadap penderitaan pasien yang tak kunjung sembuh sehingga

terkesan selaras dengan rasa kemanusiaan tetapi disatu sisi euthanasia dapat

melanggar hukum baik dari etika kedokteran, hukum positif maupun hukum

Islam;

4. Pelaku euthanasia aktif/positif dijatuhi hukuman qisas jika euthanasia itu

dilakukan diam-diam oleh dokter tanpa sepengaetahuan keluarga dan atau korban.

pelaku euthanasia aktif/positif dijatuhi hukuman diyat (membayar denda) jika

dokter melakukan euthanasia aktif dengan sepengetahuan keluarga dan atau

korban. sedangkan pelaku euthanasia pasif/negatif tidak dijatuhi hukuman

pidana.

Page 16: TUGAS MASAIL AL-FIQHIYAH

B. SARAN

1. Meningkatnya ilmu pengetahuan

khususnya dibidang kedokteran diharapkan tidak membuat pola piker medis

untuk membuat sesuatu yang bertentangan dengan kode etik kedokteran, agama

dan hukum yang berlaku ;

2. Untuk menghindari keputus asaan

kepada pasien dalam menghadapi cobaan yang diberi oleh Allah berupa penyakit,

diharapkan tenaga medis selain berperan sebagai orang yang mengobati juga

berperan sebagai motivasi kepada pasien untuk dapat sembuh dari penyakitnya

walaupun sebenarnya penyakitnya sudah tidak dapat disembuhkan;

3. Untuk menghindari hal-hal yang

melanggar peraturan agama dan hukum, maka diharapkan adanya

…………..khususnya terhadap tindakan medis.

Page 17: TUGAS MASAIL AL-FIQHIYAH

DAFTAR PUSTAKA

La Jamaa’. Euthanasia Menurut Tinjauan Hukum Islam. Jurnal JABAL HIKMAH, STAIN AL-FATAH JAYAPURA. No.2, Vol.1 Januari-Juni 2008.

http://www.rudyct.com/PPS702-ipb/04212/aris_wibudi.htm

KUHP & KUHAP. 2007. Permata Press

NS. Rohmani. (2009). Masalah-masalah Etik Dalam Keperawatan. STIKES. Jayapura Papua.