Rangkuman Materi Pendidikan Pancasila Untuk Perguruan Tinggi
Kebijakan Pendidikan Tinggi Dalam Pelaksanaan Pendidikan Di Perguruan Tinggi
-
Upload
rizaaztaga -
Category
Documents
-
view
641 -
download
17
Transcript of Kebijakan Pendidikan Tinggi Dalam Pelaksanaan Pendidikan Di Perguruan Tinggi
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang pendidikan
nasional pasal 3, dijelaskan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi sebagai
pengembang kemampuan dan pembentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Di samping itu, pendidikan pada dasarnya merupakan suatu usaha
pengembangan sumber daya manusia, walaupun usaha pengembangan SDM tidak
hanya dilakukan melalui pendidikan khususnya pendidikan formal dalam hal ini
sekolah, tetapi sampai detik ini, pendidikan masih dipandang sebagai sarana dan
wahana utama untuk pengembangan SDM yang dilakukan dengan sistematis,
programatis, dan berjenjang.
Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia kini berada di posisi dibawah
Negara Vietnam, padahal, seperti yang diketahui bahwa Vietnam adalah negara
yang baru saja merdeka. Indikasi pemicu dari keterpurukan ini disebabkan oleh
banyak faktor, akan tetapi yang paling bertanggung jawab adalah bidang
pendidikan, khususnya Perguruan Tinggi ( PT ).
Untuk mengatasi setiap masalah pendidikan seperti yang telah
dikemukakan di atas, maka pemerintah melalui lembaga kepemerintahannya,
khususnya Menteri Pendidikan berusaha membuat berbagai kebijakan yang
dituangkan dalam Undang-Undang. Saat ini, peraturan yang mengatur tentang
sistem pendidikan tinggi di indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 20
tahun 2003 bagian keempat.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana gambaran kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia sesuai dengan
Undang-Undang No.20 tahun 2003?
2. Bagaimana paradigma penataan sistem perguruan tinggi di Indonesia?
3. Bagaimana peran kebijakan pendidikan tinggi dalam peningkatan mutu
pendidikan di Indonesia, khususnya dalam ruang lingkup perguruan tinggi?
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Kebijakan Pendidikan Tinggi dalam UU No. 20 tahun 2003
Banyak usaha yang dilakukan pemerintah dalam rangka meningkatkan
mutu dan mengatur pendidikan perguruan tinggi. Salah satunya dengan
dikeluarkannya Undang-Undang no. 20 tahun 2003.
Secara umum, Undang-Undang ini memuat beberapa aspek. Aspek-aspek
tersebut di antaranya yaitu
1. Maksud Undang-Undang (pasal 1)
2. Dasar, fungsi dan tujuan Undang-Undang (Pasal 2 s.d 3)
3. Prinsip penyelenggaraan pendidikan (Pasal 4)
4. Hak dan kewajiban warga negara, orang tua, masyarakat, dan
pemerintah (Pasal 5 s.d 11)
5. Jalur, jenjang, dan jenis pendidikan (Pasal 13 s.d 32)
Di dalam aspek inilah, Undang-Undang mengenai kebijakan pendidikan
tinggi diutarakan. Secara spesifik, undang-undang mengenai kebijakan
pendidikan tinggi diatur dalam pasal 19 sampai dengan pasal 25.
Pada pasal 19, dijelaskan bahwa perguruan tinggi diselenggarakan dengan
sistem terbuka dan terdiri dari beberapa program pendidikan, yaitu diploma,
sarjana, magister, spesialis dan doktor. Sedangkan pada pasal 20, dijelaskan
bahwa perguruan tinggi berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut
atau universitas serta kewajiban perguruan tinggi untuk mengabdi kepada
masyarakat.
Pasal 21 dijelaskan tata cara perguruan tinggi dalam memberikan gelar
kepada para peserta didik mereka. Pada pasal 22 dijelaskan tentang pemberian
gelar doktor kehormatan. Pasal 23 menjelaskan tentang undang-undang
pengangkatan guru besar.
Pasal 24 menjelaskan tentang hak otonomi perguruang tinggi dalam
menyelenggarakan proses pendidikan. Pada Pasal 25, dijelaskan tentang
ketentuan mengenai persyaratan kelulusan dan pencabutan gelar
B. Paradigma Penataan Sistem Perguruan Tinggi di Indonesia
Apapun yang akan dinyatakan sebagai tujuan pendidikan, fungsi dasarnya
di setiap masyarakat adalah sosialisasi, dalam arti menyiapkan generasi muda
untuk menghadapi dan mengatasi masalah-masalah pembangunan masyarakat di
kemudian hari.
Masyarakat Indonesia tidak terkecuali dari masalah-masalah yang
dihadapi oleh masyarakat dunia, di mana pergaulan antar bangsa akan dilandasi
oleh mekanisme pasar yang disertai mobilitas barang dan jasa secara global.
Dengan penataan sistem pendidikan tinggi dimaksud dapat dikembangkan
suatu pola manajemen yang akan dipergunakan sebagai acuan dasar untuk:
1. Penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagai bagian dari sistem pendidikan di
Indonesia.
2. Pelaksanaan pembangunan dan pengembangan masing-masing perguruan
tinggi.
Pada dasarnya, penataan tersebut tidak dapat dianggap sebagai tujuan
dalam arti harafiah, karena yang patut dijadikan indikator pencapaian
keberhasilan, bukanlah penataan itu sendiri, melainkan keluaran (baik hasil
maupun dampak) yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan
pembangunan, sebagai akibat penataan tersebut.
Pada tingkat penyelenggaraan sistem pendidikan tinggi, penataan
menghasilkan kerangka landasan atau kerangka acuan yang dapat digunakan
untuk mengembangkan seperangkat peraturan, pengaturan dan kesepakatan, yang
pada tingkat pelaksanaan perguruan tinggi digunakan sebagai acuan untuk
merencanakan program pembangunan dan kegiatan dengan tujuan untuk
meningkatkan kualitas keluarannya.
Penataan sistem pendidikan tinggi sewajarnya bertolak dari hal-hal yang
secara idiil melandasi penyelenggaraannya, dan secara normatif juga sesuai
dengan perundangan yang berlaku di Indonesia.
Suatu perguruan tinggi selalu bercirikan suatu organisasi profesional,
dimana hasil dan dampak yang tersalurkan ke masyarakat sangat ditentukan oleh
kemampuan dan kinerja sivitas akademika yang dilandasi oleh kreativitas dan
ingenuitas.
Hal tersebut memerlukan adanya suasana kerja yang berbeda dari
organisasi yang bergerak di bidang manufaktur, di mana kualitas kerja sangat
ditentukan oleh ketepatan melaksanakan prosedur, yang menyangkut cara, urutan,
dan waktu.
Penelaahan dan pengalaman lapangan tentang organisasi kerja
menyimpulkan bahwa kreativitas, ingenuitas, dan produktivitas suatu organisasi
profesional lebih terangsang oleh pola kerja yang luwes dan mandiri dari pada
pola kerja yang terstruktur secara kaku. Hal ini dapat dijadikan salah satu alasan
kuat agar perguruan tinggi dapat dikelola berdasarkan asas otonomi.
Namun perguruan tinggi tidak diselenggarakan dalam 'suatu ruang hampa',
perguruan tinggi selalu terkait dan tergantung pada lingkungan dan masyarakat
sekitarnya. Hal tersebut mengakibatkan bahwa tata nilai, norma, perundangan dan
peraturan yang menjadi rambu-rambu dan memandu perkembangan masyarakat,
selalu harus diperhatikan dan menjadi acuan dalam pengelolaan perguruan tinggi.
Sehingga asas otonomi yang diberlakukan dalam pengelolaan perguruan tinggi,
selalu harus disertai dengan pertanggung jawaban atau akuntabilitas.
Perguruan tinggi memiliki fungsi tertentu di masyarakat, yang dapat
disimpulkan sebagai kegunaan bagi masyarakat. Beberapa fungsi yang dianggap
melekat pada perguruan tinggi adalah pendidikan, penelitian serta pengabdian
kepada masyarakat, yang apabila dilaksanakan akan menghasilkan lulusan yang
terdidik, ilmu pengetahuan baru (hasil penelitian) dan jasa pembangunan
masyarakat (hasil pengabdian kepada masyarakat).
Masyarakat sebagai penyandang aliran sumberdaya yang memungkinkan
terselenggaranya perguruan tinggi, berhak untuk memperoleh informasi dan
menuntut kualitas kinerja perguruan tinggi. Untuk hal itu diperlukan adanya suatu
badan yang secara mandiri dapat menilik dan mem-'verifikasi' kinerja setiap
perguruan tinggi yang diselenggarakan di masyarakat.
Di hampir semua negara terdapat badan seperti itu, dan untuk keperluan
tersebut pemerintah sudah membentuk Badan Akreditasi Nasional.
Untuk dapat menyelenggarakan pengelolaan perguruan tinggi yang baik,
pengambilan keputusan manajerial di perguruan tinggi harus dapat ditunjang dan
dilandasi oleh fakta, data dan informasi yang dikumpulkan, diolah dan
disimpulkan melalui proses evaluasi.
Kelima hal yang disebutkan di atas : kualitas, otonomi,
akuntabilitas/pertanggungjawaban, akreditasi dan evaluasi dapat digunakan
sebagai lima komponen acuan dasar atau Paradigma Penataan Sistem Pendidikan
Tinggi sebagai berikut :
1. Hasil dan kinerja perguruan tinggi harus selalu mengacu pada kualitas yang
berkelanjutan.
2. Kualitas berkelanjutan, yang dilandasi kreativitas, ingenuitas dan
produktivitas pribadi sivitas akademika dapat dirangsang oleh pola
manajemen yang berasaskan otonomi.
3. Otonomi perguruan tinggi harus senafas dengan
akuntabilitas/pertanggungjawaban mengenai penyelenggaraan, kinerja dan
hasil perguruan tinggi.
4. Hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang handal dan syahih
mengenai penyelenggaraan, kinerja dan hasil perguruan tinggi, diaktualisasi
melalui proses akreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional.
5. Tindakan manajerial utama yang melandasi pengambilan keputusan dan
perencanaan di perguruan tinggi adalah proses evaluasi.
Secara visual Paradigma Manajemen Pendidikan Tinggi itu dapat
digambarkan sebagai suatu tetrahedron dengan Otonomi, Akuntabilitas,
Akreditasi dan Evaluasi masing-masing sebagai salah satu dari ke-empat
sudutnya, dan kualitas di titik pusat badan tetrahedron.
Kelima komponen paradigma tersebut di atas, secara tersirat dan tersurat
disebut dalam UU No. 2/1989 dan PP No. 30/1990. Di samping itu kelima
komponen tersebut pada umumnya secara mondial juga menjadi acuan dalam
penyelenggaraan dan pelaksanaan pendidikan tinggi yang dianggap baik.
Paling tidak, berdasar hal-hal di atas, kesyahihan Paradigma Manajemen
Pendidikan Tinggi dengan empat unsurnya (otonomi, akuntabilitas, akreditasi dan
evaluasi) yang ditujukan kepada peningkatan kualitas secara berkelanjutan dapat
digunakan sebagai titik tolak penataan Sistem Pendidikan Tinggi.
C. Upaya Pemerataan Pendidikan Tinggi di Indonesia
Penyelenggara pendidikan tinggi bertanggungjawab melaksanakan
kebijakan dalam meningkatkan pemerataan pendidikan tinggi agar mampu
memenuhi tuntutan untuk memperoleh kesempatan mengikuti pendidikan tersier,
dengan mengusahakan penyebaran geografis lembaga pendidikan tinggi secara
memadai di wilayah tanah air.
Tanggung jawab tersebut bertopang pada Asas Adil dan Merata yang
harus diterapkan dalam perencanaan Pembangunan Nasional seperti digariskan
dalam GBHN 1993; yaitu asas bahwa pembangunan nasional yang
diselenggarakan sebagai usaha bersama harus merata di semua lapisan masyarakat
di seluruh tanah air.
Pemerataan pendidikan tinggi diselenggarakan dengan meluaskan sistem
secara kuantitatif meliputi dua segi berikut:
1. Pemerataan kesempatan dalam memperoleh pendidikan tinggi. Hal ini
berhubungan dengan peran pendidikan tinggi sebagai wahana mobilitas sosial;
2. Pemerataan dalam penyebaran pendidikan tinggi secara geografis, yang terkait
dengan peran pendidikan tinggi sebagai sumberdaya pembangunan di wilayah
kedudukannya.
Meskipun bersifat kuantitatif, ada beberapa hal kualitatif yang harus
dipertimbangkan dalam merencanakan dan melaksanakan perluasan sistem, yaitu:
jenis program studi, jalur pendidikan tinggi, dan mutu program, yang diperlukan
sebagai bekal pengetahuan dan keterampilan lulusan untuk memasuki dunia kerja.
Perlunya pertimbangan segi kualitatif di atas adalah karena alasan berikut:
1. Bagi peserta, adalah harapan bahwa setelah lulus dirinya dapat memperoleh
nafkah dari peran produktif yang dijalankannya di dunia kerja sesuai dengan
tingkat dan bidang pendidikan yang telah ditempuh; dan
2. Bagi keseluruhan masyarakat yang membiayai pendidikan tinggi, adalah
tingkat pengembalian investasi serta manfaat makro-ekonomik para lulusan
dalam penyelenggaraan kegiatan di sektor produktif.
Berkenaan dengan segi kualitatif di atas dalam menanggapi pemerataan
kesempatan mengikuti pendidikan tinggi, harus diusahakan agar proporsi populasi
mahasiswa baik menurut bidang keahlian maupun jalur pendidikan sesuai dengan
keperluan bidang dan jenjang keahlian dalam dunia kerja, tepatnya kesesuaian
dalam:
1. Proporsi antara populasi mahasiswa yang mempelajari bidang teknologi dan
eksakta lain dibandingkan dengan bidang sosial dan pendidikan; dan sekaligus
2. Proporsi antara jumlah mahasiswa jalur S-1 dibandingkan dengan jumlah
mahasiswa jalur diploma
Berbagai bentuk langkah dapat ditempuh dalam upaya memeratakan
kesempatan untuk memperoleh pendidikan tinggi, di samping perluasan kapasitas
tampung perguruan tinggi yang telah ada, atau pendirian perguruan tinggi yang
baru sama sekali, kebijakan yang menuju ke pemerataan pendidikan tinggi dapat
berbentuk antara lain:
1. Perluasan penyelenggaraan program-program pendidikan berjangka waktu
kurang dari 3 tahun di jalur pendidikan diploma di masa depan untuk
persiapan kerja di luar sektor publik, seperti di industri manufaktur dan jasa.
2. Pendidikan jarak jauh yang lebih rendah biayanya dibandingkan dengan
penyebaran lembaga pendidikan tinggi dapat efektif dalam meningkatkan
akses ke pendidikan tersier kepada kelompok penduduk yang kurang terwakili
di perguruan tinggi.Pendidikan jarak-jauh yang mampu menarik kelompok
usia 19-24 tahun perlu dikaji lagi sebagai wahana penting dalam meluaskan
akses ke pendidikan tinggi.
3. Perluasan perguruan tinggi swasta paling potensial dalam meningkatkan akses
ke pendidikan tinggi. Perkembangannya dapat didukung dengan penerapan
sistem akreditasi, dan insentif untuk membuka program S-1 atau diploma
dalam bidang-bidang relevan yang memerlukan investasi besar, seperti
umpamanya bidang teknologi.
4. Pinjaman dan beasiswa untuk mengikuti pendidikan tinggi khusus bagi
peserta dan calon peserta dengan latar belakang kemampuan ekonomi yang
terbatas.
D. Peran Kebijakan Pendidikan Tinggi Bagi Perguruan Tinggi
Kebijakan pendidikan tinggi yang diatur dalam Undang-Undang No. 20
tahun 2003 pasal 19 s. d 25 memiliki peran yang yang cukup penting bagi
perguruan tinggi. Peran-peran tersebut yaitu bahwa kebijakan-kebijakan itu
mengatur tentang tata cara pelaksanaan sistem pendidikan di pergurun tinggi.
Kebijakan itu cukup membantu perguruan tinggi, terutama dalam memberi
perlindungan hukum bagi pelaksanaan sistem pendidikan perguruan tinggi.
Perguruan Tinggi sendiri memiliki peran yang besar dalam upaya
mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Melalui fungsi transformasi
sumber daya manusia, IPTEKS, sosial dan budaya, perguruan tinggi menepati
posisi yang strategis dalam perubahan masyarakat.
Peran pendidikan tinggi juga memiliki posisi strategis dalam menjaga
persatuan dan kesatuan bangsa. Sejarah Indonesia telah mencatat kontribusi
pendidikan dan gerakan mahasiswa dalam membentuk dan mempertahankan
Indonesia sebagai negara bangsa yang majemuk.
Bangsa Indonesia saat ini sedang menghadapi tantangan besar dengan
datangnya era globalisasi dan liberalisasi ekonomi. Oleh karena itu, perguruan
tinggi harus mampu menjawab tantangan masa depan tersebut dengan
melaksanakan peran yang sebaik-baiknya.
PENUTUP
A. Simpulan
Dari pembahasan yang telah disampaikan di atas dapat disimpulkan
bahwa:
1. Peraturan mengenai kebijakan Pendidikan tinggi tercantum dalam Undang-
Undang No. 20 tahun 2003 pasal 19 sampai dengan pasal 25. undang-undang
ini memuat tentang dasar arah kebijakan yang dapat digunakan oleh
perguruan tinggi.
2. Penataan sistem pendidikan tinggi di Indonesia tidak dapat dianggap patut
dijadikan indikator pencapaian keberhasilan, bukanlah penataan itu sendiri,
melainkan keluaran (baik hasil maupun dampak) yang lebih sesuai dengan
kebutuhan masyarakat dan pembangunan, sebagai akibat penataan tersebut.
3. Penyelenggara pendidikan tinggi bertanggungjawab melaksanakan kebijakan
dalam meningkatkan pemerataan pendidikan tinggi agar mampu memenuhi
tuntutan untuk memperoleh kesempatan mengikuti pendidikan tersier, dengan
mengusahakan penyebaran geografis lembaga pendidikan tinggi secara
memadai di wilayah tanah air.
4. Kebijakan Pendidikan tinggi cukup berperan bagi berlangsungnya sistem
pendidikan dan perlindungan hukum perguruan tinggi
5. Pendidikan bukan saja patut mendapat perhatian amat serius, tetapi juga harus
menjadi perhatian utama seluruh bangsa. Dengan demikian, pendidikan akan
berkontribusi secara signifikan dalam memantapkan nasionalisme baru.
B. Saran
1. Sebaiknya dilakukan perbaikan sistem pendidikan tinggi di indonesia,
khususnya dalam HAL pengelolaan sumber daya manusia
2. Sebaiknya pemerintah lebih tanggap akan kebutuhan masyarakat dalam
pemenuhan pendidikan di tingkat pendidikan tinggi dan lebih memperhatikan
akan peningkatan sarana dan prasarana demi peningkatan kualitas sumber
Daya Manusia indonesia sehingga tidak tertinggal dengan bangsa lain.
MAKALAH
KEBIJAKAN PENDIDIKAN TINGGI DALAM PELAKSANAAN
PENDIDIKAN DI PERGURUAN TINGGI
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Ilmu Pendidikan
Dosen Pengmpu : Drs. Sawa Suryana
Disusun Oleh:
1. Eko Sandhi Purnomo 7101406059
2. Syaeful Rizal 7101406072
3. Fariza Budi M. 7101406075
4. Alvian Ega Nugraha 7101406092
5. Jangkung Riyanto 7101406098
Pendidikan Koperasi Reg. II
EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2007
DAFTAR PUSTAKA
www.dikti.go.id
www.dikti.org
www.pikiran-rakyat.go.id
www.wikipedia.org.id
UU NO. 20 TAHUN 2003
Pendidikan Tinggi
Pasal 19
(1) Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi.
(2) Pendidikan tinggi diselenggarakan dengan sistem terbuka.
Pasal 20
(1) Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas.
(2) Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
(3) Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi.
(4) Ketentuan mengenai perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 21
(1) Perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan pendirian dan dinyatakan berhak menyelenggarakan program pendidikan tertentu dapat memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi sesuai dengan program pendidikan yang diselenggarakannya.
(2) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang bukan perguruan tinggi dilarang memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi.
(3) Gelar akademik, profesi, atau vokasi hanya digunakan oleh lulusan dari perguruan tinggi yang dinyatakan berhak memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi.
(4) Penggunaan gelar akademik, profesi, atau vokasi lulusan perguruan tinggi hanya dibenarkan dalam bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan.
(5) Penyelenggara pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau penyelenggara pendidikan bukan perguruan tinggi yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa penutupan penyelenggaraan pendidikan.
(6) Gelar akademik, profesi, atau vokasi yang dikeluarkan oleh penyelenggara pendidikan yang tidak sesuai dengan ketentuan ayat (1) atau penyelenggara
pendidikan yang bukan perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan tidak sah.
(7) Ketentuan mengenai gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 22
Universitas, institut, dan sekolah tinggi yang memiliki program doktor berhak memberikan gelar doktor kehormatan (doktor honoris causa) kepada setiap individu yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan, atau seni.
Pasal 23
(1) Pada universitas, institut, dan sekolah tinggi dapat diangkat guru besar atau profesor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Sebutan guru besar atau profesor hanya dipergunakan selama yang bersangkutan masih aktif bekerja sebagai pendidik di perguruan tinggi.
Pasal 24
(1) Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan.
(2) Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat.
(3) Perguruan tinggi dapat memperoleh sumber dana dari masyarakat yang pengelolaannya dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas publik.
(4) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 25
(1) Perguruan tinggi menetapkan persyaratan kelulusan untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi.
(2) Lulusan perguruan tinggi yang karya ilmiahnya digunakan untuk memperoleh gelar akademik, profesi, atau vokasi terbukti merupakan jiplakan dicabut gelarnya.
(3) Ketentuan mengenai persyaratan kelulusan dan pencabutan gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.