Kearifan lokal kabupaten nganjuk

8
Daerah Kabupaten Nganjuk Beberapa Ulasan Budaya Asal Kabupaten Nganjuk

Transcript of Kearifan lokal kabupaten nganjuk

Page 1: Kearifan lokal kabupaten nganjuk

Daerah Kabupaten NganjukBeberapa Ulasan Budaya Asal Kabupaten Nganjuk

Page 2: Kearifan lokal kabupaten nganjuk

KEARIFAN LOKAL KABUPATEN NGANJUK

Arti Lambang Kabupaten Nganjuk

Makna Gambar dalam Lambang Kabupaten Nganjuk :

Perisai bersudut lima berdasar biru dan bertepi putih melambangkan jiwa kerakyatan, kesetiaan dan kesucian masyarakat Nganjukyang selalu siaga dalam menghadapi segala tantangan.

Bintang bersudut lima berwarna emas melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa, cita-cita luhur dan suci sebagai pedoman perjuangan untuk mewujudkan cita-cita masyarakat adil dan makmur.

BASWARA YUDHIA KARANA artinya cemerlang karena perjuangan.

Rantai berbentuk lingkaran melambangkan kebulatan tekad rakyat Nganjuk, yang dilandasi semangat perjuangan dan persatuan.

Tiga puncak gunung berwarna hitam memiliki arti filosofis Tri Dharma Amerta dan secara historis menunjukkan Jaman Kejayaan Nasional, Jaman Penjajahan dan Jaman Kemerdekaan.

Gunung, malambangkan sumber kekayaan alam air terjun sedudo adalah air suci pemberian Tuhan Yang Maha Esa, yang merupakan rahmat untuk dinikmati oleh umat-Nya.

Sawah mengandung makna kemakmuran, dan sungai juga bermakna kemakmuran dan kesuburan.

Gunung berpuncak tiga, sawah dan sungai digambarkan dalam rantai yang berbentuk lingkaran, itu mempunyai makna : Dengan tekad yang bulat dan kekayaan alam yang melimpah memberikan keyakinan kepada masyarakat Nganjuk untuk berjuang mewujudkan tercapainya masyarakat adil dan makmur.

Padi dan kapas melambangkan pangan dan sandang yang menjadi kebutuhan pokok rakyat sehari-hari. Jumlah padi 17 butir, kapas 8 buah, daun padi 4 helai, daun kapas 5 helai mencerminkan semangat dan jiwa proklamasi 17-8-45.

Pohon beringin berdaun lima kelompok dalam segi lima beraturan bermakna : pengayoman, perlindungan dan perdamaian, serta juga menggambarkan adanya lima wilayah kerja pembantu bupati.

Sayap dengan 20 helai bulu berwarna emas melambangkan wilayah daerah terdiri dari 20 kecamatan.

Pita bertuliskan angka Jawa yang mengikat dua pangkal sayap mewujudkan angka 937 M, yang merupakan ditetapkannya tahun hari jadi Nganjuk.

Page 3: Kearifan lokal kabupaten nganjuk

Secara keseluruhan, lambang daerah ini mengandung makna sebagai berikut :

“Dengan semangat dan jiwa proklamasi 17-8-45 rakyat Nganjuk yang telah tumbuh dan berkembang sejak tahun 937 M, bersama Pemerintah Daerah yang berwibawa bertekad bulat untuk berjuang terus dengan segala potensi daerahnya, sehingga tercapai cita-cita luhur, masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.”

Kearifan Lokal Seni Dan Tradisi Daerah Nganjuk

1. Seni Wayang KrucilWayang Krucil dibuat dari kayu Mentaos berbentuk pipih. Mula-mula, kayu

dipotong dan dibuat papan agak tebal. Setelah itu, papan kayu diberi gambar, diukir dan diberi cat sesuai tokoh wayang yang akan dibuat. Wayang Krucil berbeda dengan Wayang Kulit. Pada Wayang Krucil, memiliki ketebalan 2 -3 Centimeter, sedang Wayang Kulit sekitar 3 milimeter. Boleh dikatakan, bentuk Wayang Krucil mengarah tiga demensi. Karena itu, karakter tokoh Wayang Krucil terkesan lebih bernyawa dibanding Wayang Kulit. Pada Wayang Kulit (purwa), satu wayang mewakili satu tokoh atau satu karakter dan memiliki satu nama. Sedangkan, pada Wayang Krucil Sri Guwak ini satu wayang bisa berganti-ganti memerankan beberapa tokoh dan karakter. Untuk mementaskan kesenian itu, diringi perangkat gamelan Mardi Laras dengan 20-an pemusik (penabuh) dan 5 pesinden (penyanyi).

Wayang Krucil semakin tergusur dan sulit dijumpai. Kecuali, dalam acara-acara ritual yang berkait dengan bersih desa dan nadar. Pada puncak kejayaannya, Wayang Krucil tersebar hampir di seluruh daerah (desa dan kecamatan) di Nganjuk, bahkan sampai di kawasan Kabupaten Kediri. Tetapi kini tinggal tersisa beberapa saja. Salah satunya, Wayang Krucil milik Paguyuban Mardi Laras di Desa Garu Kecamatan Baron, sekitar 15 km sebelah timur Kota Nganjuk. Wayang Krucil satu-satunya yang tertinggal di Nganjuk itu dikenal sebagai Wayang Krucil Garu, karena tinggal dan berkembang di Desa Garu. Wayang Krucil dianggap sebagai bagian dari keberadaan desa sehingga berlangsung turun-temurun, dianggap sakral, sehingga harus selalu dipentaskan dalam upacara bersih desa setahun sekali. Kesakralan dan malati Wayang Krucil Garu terwujud dalam bentuk pagelaran yang harus disertai sesajen khusus.

Cerita Wayang Garu Nganjuk mengambil beberapa sumber, diantaranya cerita yang berkaitan dengan Kerajaan Kediri, cerita rakyat tentang pemberontakan kepada Belanda, cerita dari Serat Menak yang diadaptasi dari Persia yang berkaitan dengan perkembangan agama Islam, sumber cerita dari Mahabarata, hingga cerita yang dibuat dalang sendiri atau dikenal sebagai lakon carangan. Yang membanggakan adalah Wayang Krucil Nganjuk sudah dikenal sampai di Jerman.

Seni tradisi Wayang Krucil ini mempunyai nilai-nilai budaya yang tinggi. Kesenian ini tak hanya mengangkat cerita-cerita sejarah, tetapi juga memuat aspek moral dan etika. Sekaligus berperan sebagai media hiburan rakyat.

2. Seni Wayang TimplongBentuk wayang ini terbuat dari bahan kayu waru, sementara tangannya terbuat

dari kulit. Wayang timplong tidak melibatkan pesinden (waranggana). Wayang Nganjuk ini tetap berjalan pada koridor pakem wayang itu sendiri. Artinya,

Page 4: Kearifan lokal kabupaten nganjuk

dalangnya sebagai generasi pewaris, tidak berniat mengubah eksistensi wayang timplong. Untuk memainkannya, sang dalang hanya dibantu oleh lima orang panjak yang mengiringi ilustrasi musik gamelan yang terdiri dari kendang, dua kenong, gambang, dan gong kecil. Gending-gending yang menyertai cerita lakon juga tidak terlampau njlimet, karena wayang ini hanya mengenal gending prahab (keluarnya wayang), grendel (jejeran), ngrangsang (peperangan), sendonan (sulukan), dan andek-andek (Onto Kencono).

Spesifikasi dari cerita berkisar pada cerita rakyat, khususnya cerita Kediren atau asal usul daerah Kediri. "Cerita-cerita lakon Babat Kediri, Asmoro Bangun, dan Panji Laras Miring itu sudah pakem wayang timplong. Tampilan wayang itu patut mendapat perhatian, terlebih kajian-kajian sosiologis-antropologis dari para pakar seni tradisi di daerah ini, karena karakter wayang itu sendiri mengenal tokoh jahat maupun tokoh baik. Prabu Djoko Klono Sewandoro adalah tokoh jahat, sementara Panji Asmoro adalah tokoh baik.

Wayang timplong masih bernapas, walaupun eksistensinya terbatas pada komunitas pedesaan yang masih menghargai ritualitas. Wayang ini masih sering ditanggap untuk ruwatan desa/bersih desa, untuk mengusir balak ataupun bencana. Seni tradisi wayang timplong telah membuka apresiasi terhadap aneka ragam seni wayang itu sendiri. Ruang untuk wayang langka ini masih perlu dibuka lebar, karena seni tradisi yang konon cuma hidup dan berkembang di daerah Nganjuk itu bisa jadi sebuah kekuatan untuk pencerahan-pencerahan hidup.

3. Seni TayubTari Tayub atau acara Tayuban. Merupakan salah satu kesenian Jawa yang

mengandung unsur keindahan dan keserasian gerak. Tarian ini mirip dengan tari Jaipong dari Jawa Barat. Unsur keindahan diiikuti dengan kemampuan penari dalam melakonkan tari yang dibawakan. Tari tayub mirip dengan tari Gambyong yang lebih populer dari Jawa Tengah.

Tarian ini biasa digelar pada acara pernikahan, khitan serta acara kebesaran misalnya hari kemerdekaan Republik Indonesia. Perayaan kemenangan dalam pemilihan kepala desa, serta acara bersih desa. Anggota yang ikut dalam kesenian ini terdiri dari sinden, penata gamelan serta penari khususnya wanita yang disebut dengan “ledhek”. Penari tari tayub bisa dilakukan sendiri atau bersama, biasanya penyelenggara acara (pria). Pelaksanaan acara dilaksanakan pada tengah malam antara jam 9.00-03.00 pagi. Tari tayub merupakan tarian pergaulan yang disajikan untuk menjalin hubungan sosial masyarakat.

Mulai redupnya kesenian tayub banyak disebabkan karena, citranya yang dikenal identik dengan keburukan akibat para penikmat seni tayub yang menikmatinya dengan cara yang kurang sopan disertai dengan minum minuman keras. Untuk memperbaiki citra tayub, didirikan organisasi yang dapat memayungi kesenian tayub di Nganjuk. Didalamnya, selain diberikan pelajaran beragam gerak tari, para waranggono diberi pembinaan untuk mengikis tindakan tercela dari para penikmat seni tayub yang biasanya menyertai setiap pertunjukan tayub.

4. Seni Tari Mung-Dhe

Page 5: Kearifan lokal kabupaten nganjuk

Tari Mung Dhe adalah tari tradisional yang berasal dari Desa Garu, kecamatan Baron, Nganjuk. Dalam tari ini bertemakan kepahlawanan dan cinta tanah air, heroik, patriotisme. Selain itu tari ini berkaitan erat dengan kalahnya prajurit Diponegoro yang dipimpin oleh Sentot Prawirodirdjo).

Dalam tari ini menggambarkan beberapa prajurit yang sedang berlatih perang yang lengkap dengan orang yang membantu dan memberi semangat kepada kedua belah pihak yang sedang latihan. Pihak yang membantu dan memberi semangat, di sebut botoh. Botohnya ada dua yaitu penthul untuk pihak yang menang dan tembem untuk pihak yang kalah. Sikap dan tingkah laku kedua botoh ini gecul atau lucu, sehingga membuat orang lain yang menyaksikan tari Mung Dhe, terkesan tegang dan kadang merasa geli, karena yang berlatih perang memakai pedang, sedangkan botohnya lucu .Secara keseluruhan, tari Mung Dhe melibatkan 14 pemain dengan masing-masing peran pada awalnya, yaitu :• 2 orang berperan sebagi penari /prajurit.• 2 orang berperan sebagi pembawa bendera.• 2 orang berperan sebagai botoh• 8 orang berperan sebagai penabuh /pengiring.Pada perkembanganya sekarang hanya melibatkan 12 orang, yaitu 6 alat untuk 6 orang pemain. Di dalam pengaturan organisasi tari Mung Dhe untuk penarinya adalah laki-laki serta perempuandan dalam tingkatan usia dewasa [baik yang menikah atau yang belum]. Pada perkembangan sekarang ini, tari Mung Dhe sering ditampilkan pada acara-acara yang dilaksanakan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Daerah Kabupaten Nganjuk, seperti Pemilihan Duta Wisata, maupun Grebeg Suro, maupun Jamasan Pusaka, serta saat Upacara Wisuda (gembyangan-red)Waranggono.

5. Tradisi Wiwid PadiSelain dikenal sebagai kota angin, juga terkenal dengan tanah yang lumayan

subur. Sekitar 80% warga menggantungkan hidup sebagai petani. Tradisi ini dilakukan sebagai wujud syukur kepada yang maha kuasa, atas melimpahnya hasil panen tahun ini dan melestarikan tradisi nenek moyang, serta agar terhindar dari malapetak. Ritual bercampur Islam dan bernuansa adat jawa, dilakukan dengan membawa sesaji dan tumpeng di sawah sebelum panen raya padi, setiap setahun sekali. Ritual dimulai dengan arak-arakan makanan dan sesajian, serta peralatan memanen padi berupa ani. Diarak di tengah persawahan yang dikeramatkan, sesepuh memulai ritual dengan meletakkan sesaji, membakar batang padi dan membaca doa. Secara simbolis sesepuh memotong beberapa batang pohon padi dengan ani-ani dan potongannya diletakkan di atas buah pisang dan selanjutnya di bawa pulang ke rumah. Terakhir, sesepuh membaca doa, menyantap makanan yang dibawa tadi bersama-sama. Tradisi ini juga dilakukan untuk menjaga kelestarian alam serta kearifan lokal.

6. Upacara Tradisional NyadranRitual ini merupakan ritual sedekah bumi dan disebut juga dengan sadran. Kata

Nyadran maupun Sadran keduanya berasal dari bahasa Sansekerta dari kata Sadra

Page 6: Kearifan lokal kabupaten nganjuk

yang kemudian karena perjalanan zaman mengalami perubahan lisan Nyadran atau Sadran. Kata Sadran mempunyai arti ziarah kubur, suatu tradisi masyarakat jawa sejak zaman Hindu-budha di negeri ini. Itu sebabnya dalam acara Nyadran hampir semua warga masyarakat ikut melaksanakan tanpa memandang perbedaan status dan agama yang dianutnya. Ritual itu juga dilakukan untuk meminta selamat dan kemakmuran. Acara tersebut merupakan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena telah diberi panen yang melimpah, dan puluhan dayang-dayang beriringan mengantar sesaji berupa hasil bumi ke makam tokoh yang konon menurut cerita adalah orang pertama yang babat desa, setelah sesepuh desa membacakan doa dengan disertai bakar kemenyan didepan makam. Ratusan warga yang hadir dipemakaman desa tersebut, berebut sesaji berupa hasil bumi. Ratusan menyakini, makanan maupun barang-barang yang sudah dikarak oleh dayang-dayang mulai dari balai desa sampai ke punden memiliki manfaat tersendiri.