REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

of 90 /90
0 MAKALAH POSISI REGULASI KEARIFAN LOKAL: PANDUAN PENYUSUNAN PERATURAN GUBERNUR BERMUATAN KEARIFAN LOKAL Dr. GEDE MARHAENDRA WIJA ATMAJA KOORDINASI PENYUSUNAN BUKU PINTAR SUNCANG PERGUB BERMUATAN KEARIFAN LOKAL PADA KANTOR GUBERNUR BALI DENPASAR 2017

Embed Size (px)

Transcript of REGULASI KEARIFAN LOKAL - UNUD

REGULASI KEARIFAN LOKAL:KOORDINASI PENYUSUNAN BUKU PINTAR
SUNCANG PERGUB BERMUATAN KEARIFAN
DENPASAR 2017
Kelompok Ahli Bidang Hukum Pemerintah Provinsi Bali
MAKALAH POSISI
PADA KANTOR GUBERNUR BALI
Panduan Penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan Kearifan
Masyarakat Setempat disusun sebagai masukan dan bahan diskusi
dalam penyusunan Buku Pintar Suncang Pergub bermuatan Kearifan
Lokal.
kearifan lokal, dan c. isi Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal
yang hendak disusun. Pembahasan dilakukan dengan metode ilmu
hukum, dan diperoleh hasil pembahasan sebagai berikut:
Pertama, dasar hukum penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan
kearifan lokal adalah berdasarkan ketentuan mengenai:
a. Peraturan Gubernur untuk melaksanakan Perda (Pasal 246 ayat
(1) UU 23/2014), bersumber kewenangan delegasi perundang-
undangan, baik pendelegasian eksplisit maupun pendelegasian
implisit.
(Pasal 246 ayat (1) UU 23/2014), bersumber kewenangan
delegasi perundang-undangan, dengan karakter pendelegasian
eksplisit.
Perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 8 ayat (1) UU
12/2011, bersumber kewenangan delegasi perundang-
undangan, baik pendelegasian eksplisit maupun pendelegasian
implisit.
ayat (1) UU 12/2011), bersumber kewenangan delegasi
perundang-undangan, dengan karakter pendelegasian implisit.
e. Peraturan Gubernur untuk menyelenggarakan Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah (Pasal 17 ayat
(1) UU 23/2014), bersumber kewenangan delegasi perundang-
undanga, dengan karakter pendelegasian implisit.
Kedua, proses penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan
lokal melalui tahapan:
gubernur bermuatan kearifan lokal dalam perencanaan
penyusunan Pergub;
menyusun rancangan peraturan gubernur bermuatan kearifan
lokal;
tim pembahasan yang dipimpin oleh pimpinan perangkat daerah
pemrakarsa;
pembahasan menjadi peraturan gubernur bermuatan kearifan
lokal, dan
peraturan gubernur bermuatan kearifan lokal dalam berita
daerah.
hendak disusun meliputi:
kearifan lokal, termasuk di dalamnya penghormatan,
perlindungan, dan pemenuhan hak-hak pengampu kearifan lokal;
b. pokok pengaturan tentang bentuk-bentuk kearifan lokal, yakni
pengakuan bentuk-bentuk kearifan lokal, seperti pengakuan hak
ulayat atau pengakuan hukum adat beserta pengampunya yaitu
kesatuan masyarakat hukum adat; dan
c. asas pengaturan, yakni asas kearifan lokal terlingkup dalam asas
bhinneka tunggal ika yang merupakan asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik, yang bersifat materiil,
yang harus terkandung dalam peraturan gubernur mengenai suatu
materi muatan tertentu.
Panduan Penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan Kearifan
Masyarakat Setempat disusun sebagai masukan dan bahan diskusi
dalam acara Koordinasi Penyusunan Buku Pintar Suncang Peraturan
Gubernur bermuatan Kearifan Lokal.
Sesuai Surat Sekretaris Daerah Provinsi Bali Nomor
005/563/Bag.I/B.KUMHAM, antara lain ditujukan kepada Kelompok Ahli
Bidang Hukum Pemerintah Provinsi Bali, Rapat Koordinasi
diselenggarakan pada hari Jumat 7 April 2017 di Ruang Rapat Biro
Hukum dan HAM Setda Provinsi Bali, Unit V Lantai II Kantor Gubernur
Bali, di Denpasar.
(Penyusunan Rancangan) Peraturan Gubernur bermuatan Kearifan
Lokal. Posisi penyusunan Rancangan Peraturan Gubernur dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menurut Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 adalah dalam fase
“penyusunan”, yakni di antara fase “perencanaan” dan fase
“pembahasan”. Makalah Posisi ini mengambil posisi pada proses
pembuatan Peraturan Gubernur, dimulai dari perencanaan, penyusunan,
v
digunakan frasa “Penyusunan Rancangan Peraturan Gubernur”
melainkan menggunakan frasa “Penyusunan Peraturan Gubernur”,
sebagaimana tampak dalam judul Makalah Posisi ini.
Seturut dengan itu, Makalah Posisi ini membahas dan menempatkan
sudut pandang mengenai: a. dasar hukum penyusunan Peraturan
Gubernur bermuatan kearifan lokal, b. proses penyusunan Peraturan
Gubernur bermuatan kearifan lokal, dan c. isi Peraturan Gubernur
bermuatan kearifan lokal yang hendak disusun.
Om Santi Santi Santi Om,
Denpasar, 7 April 2017
Gede Marhaendra Wija Atmaja
Tabel 1: Dasar hukum penyusunan Peraturan Gubernur menurut UU 12/2011
9
Tabel 2: Dasar hukum penyusunan Peraturan Gubernur menurut UU 23/2014
10
12
Tabel 4: Isi Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal merujuk UU 32/2009
19
Tabel 5: Isi Pergub bermuatan kearifan lokal merujuk UU 23/2014.
22
Tabel 6: Isi Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal merujuk PP 68/2010
24
Tabel 7: Isi Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal merujuk PMLHK P.34/Menlhk/Setjen/ Kum.1/5/2017
25
Tabel 8: Penjelasan Pasal 12 dan Pasal 13 UU 12/2011 40
Tabel 9: Pendapat Bagir Manan dan Rosjidi Ranggawijaya mengenai makna “atas kuasa”
44
45
54
vii
1.2. Identifikasi Masalah .............................................................................................................. 2
2.1. Kearifan Lokal ........................................................................................................................ 4
3.1. Pengantar .............................................................................................................................. 9
3.2. Dasar Hukum Penyusunan Peraturan Gubernur Bermuatan Kearifan Lokal ......................... 9
3.3. Proses Penyusunan Peraturan Gubernur Bermuatan Kearifan Lokal .................................... 9
3.4. Isi Peraturan Gubernur Bermuatan Kearifan Lokal Yang Hendak Disusun........................... 11
BAB IV ANALISIS PENYUSUNAN PERATURAN GUBERNUR BERMUATAN KEARIFAN LOKAL ................. 34
4.1. Dasar Hukum Penyusunan Peraturan Gubernur Bermuatan Kearifan Lokal ....................... 34
4.2. Proses Penyusunan Peraturan Gubernur Bermuatan Kearifan Lokal .................................. 53
4.3. Isi Peraturan Gubernur Bermuatan Kearifan Lokal Yang Hndak Disusun ............................ 57
BAB V PENUTUP .................................................................................................................................. 75
1
Sekretaris Daerah Provinsi Bali Nomor 005/563/Bag.I/B.KUMHAM. Tema
itu memuat unsur-unsur:
(Suncang) Peraturan Gubernur.
Tema itu fokus pada penyusunan Rancangan Peraturan Gubernur,
yang posisinya berada di antara fase perencanaan dan fase pembahasan
menurut pengertian Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sesuai
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Makalah ini mengambil
posisi pada Penyusunan Peraturan Gubernur, artinya dimulai dari fase
perencanaan, penyusunan (-rancangan), pembahasan (terhadap
rancangan), penetapan, dan pengundangan.
kearifan lokal, ada perspektif lainnya antara lain Peraturan Daerah dan
Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal. Makalah Posisi ini
membahas penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal,
2
kearifan lokal
pembahasan dipandu oleh pertanyaan:
memiliki dasar hukum?
kearifan lokal?
hendak disusun?
1.3. Metode
yang ditempuh untuk sampai pada pemahaman penyusunan Peraturan
Gubernur bermuatan kearifan lokal, adalah menginvetarisasi,
menginterpretasi, mengsistematisasi, dan mengevaluasi, yang pada
dasarnya merupakan kegiatan ilmiah ilmu hukum (B. Arief Sidharta 2016).
Menginvetarisasi aturan hukum adalah menemukenali dan
memaparkan selengkap mungkin aturan hukum mengenai penyusunan
3
hukum, yakni upaya menemukan makna dari aturan hukum itu;
mengsistematisasi aturan hukum, yakni menempatkan hasil interpretasi
terhadap aturan hukum itu ke dalam tata hukum yang sudah ada; dan
mengevaluasi aturan hukum itu berdasarkan dan bersasaran nilai-nilai
dasar tata hukum.
makna serta implikasinya (Sulistyowati Irianto 2009). Termasuk yang
dianalisis adalah Putusan Mahkamah Agung berkenaan dengan
pertimbangan hukum yang melandasi amar putusannya, dan
keterkaitannya dengan pasal-pasal dalam peraturan perundang-
undangan.
(interpretasi) hukum yang dikenal dalam ilmu hukum (C.F.G. Sunaryati
Hartono 1994), dalam hal ini interpretasi gramatikal, yakni berdasarkan
makna kata dalam konteks kalimatnya, interpretasi sistematikal, yakni
dalam konteks hubungannya dengan kaidah-kaidah hukum positif lainnya
(B. Arief Sidharta 201. Bagir Manan 2004), dan interpretasi autentik
(C.F.G. Sunaryati Hartono 1994), yakni menyandarkan pada penjelasan
peraturan perundang-undangan.
perangkat pengetahuan pada suatu komunitas, baik yang berasal dari
generasi-generasi sebelumnya maupun dari pengalamannya berhubungan
dengan lingkungan dan masyarakat lainnya, untuk menyelesaikan secara
baik dan benar berbagai persoalan dan/atau kesulitan yang dihadapi
(dalam Nur Berlian VA, & Mursalim, Ed, 2015).
Jadi, kearifan lokal, menurut Heddy Shri Ahimsa-Putra, meliputi
kearifan tradisional atau kearifan lama (yang berasal dari generasi-
generasi sebelumnya) dan kearifan kontemporer atau kearifan kini
(berasal dari pengalamannya berhubungan dengan lingkungan dan
masyarakat lainnya).
(2011) memaknai kearifan tradisional (lama) sebagai perangkat
pengetahuan pada suatu komunitas untuk menyelesaikan secara baik dan
benar persoalan dan/atau kesulitan yang dihadapi, serta diperoleh dari
generasi-generasi sebelumnya secara lisan atau melalui contoh tindakan,
yang memiliki kekuatan seperti hukum maupun tidak. Sedangkan, kearifan
kontemporer (kini) adalah perangkat pengetahuan yang baru saja muncul
dalam suatu komunitas.
adalah hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
bersangkutan, dapat berupa hukum adat, yang di Bali dituangkan dalam
awig-awig atau pararem.
2.2. Delegasi Perundang-undangan
membentuk peraturan perundang-undangan. Pendapat-pendapat berikut
menegskan hal tersebut:
pelimpahan, atau pengalihan kewenangan oleh suatu organ
pemerintahan kepada pihak lain untuk mengambil keputusan atas
tanggung jawab sendiri. Jika yang dilimpahkan itu adalah
kewenangan membentuk suatu peraturan perundang-undangan,
maka terjadi peralihan kewenangan untuk membentuk peraturan
perundang-undangan sebagaimana mestinya.
perundang-undangan adalah pemindahan/penyerahan
kewenangan asal yang memberi delegasi (delegans) kepada yang
menerima delegasi (delegataris) dengan tanggung jawab
pelaksanaan kewenangan tersebut pada delegataris sendiri,
sedangkan tanggung jawab delegans terbatas sekali.
6
badan (organ) yang mempunyai wewenang secara mandiri
membuat peraturan perundang-undangan (wewenang atributif)
menyerahkan kepada suatu badan untuk atas kekuasaan dan
tanggung jawab sendiri membuat/membentuk peraturan
perundang-undangan.
4. I.C. van der Vlies (2005), bahwa delegasi suatu kewenangan
adalah pelimpahan suatu kewenangan dan pihak yang mendapat
kewenangan (delegataris) akan melaksanakannya berdasarkan
tanggung jawabnya sendiri.
5. E. Utrecht (t.t.), bahwa delegasi tidak memuat inisiatif membuat
peraturan mengenai pokok-pokok yang baru, inisiatif untuk
membuat peraturan mengenai pokok-pokok semacam tadi tetap
dalam tangan yang mendelegasi: delegasi, yaitu
“menyelenggarakan”, tidak lain dari pada mengatur lebih lanjut.
Berdasarkan atas pandangan-pandangan tersebut, pengertian
delegasi kewenangan perundang-undangan memuat unsur-unsur sebagai
berikut (Gede Marhaendra Wija Atmaja 2016):
1. Penyerahan kewenangan untuk membuat peraturan perundang-
undangan.
peraturan perundang-undangan mengenai pokok-pokok yang
baru.
7
(delegans) kepada lembaga lainnya (delegataris).
4. Lembaga yang menerima kewenangan (delegataris) bertanggung
jawab atas pelaksanaan kewenangan yang diterimanya.
Mencermati UU 12/2011 diperoleh pemahaman, delegasi
perundang-undangan merupakan pendelegasian kewenangan mengatur
dari suatu peraturan perundang-undangan kepada peraturan perundang-
undangan lainnya, baik secara horizontal maupun vertikal. Selain itu,
dalam praktiknya delegasi perundang-undangan juga berupa
pendelegasian kewenangan mengatur dari suatu peraturan perundang-
undangan kepada pejabat negara atau pejabat tata usaha negara,
misalnya kepada Presiden. Jika hal ini terjadi, maka Presiden memiliki
pilihan bentuk penyelenggaraan pengaturan itu, dalam bentuk Peraturan
Pemerintah atau Peraturan Presiden (bandingkan dengan Bagir Manan
1992).
sebagai suatu peraturan perundang-undangan yang menyerahka
kewenangan mengatur, sedangkan delegataris mesti dipahami sebagai
peraturan perundang-undangan lainnya yang menerima kewenangan
mengatur. Hanya dalam kasus tertentu, delegataris itu adalah pejabat
negara atau pejabat tata usaha negara, seperti Presiden.
Delegasi perundang-undangan memiliki dua karakter. Pertama,
pendelegasian eksplisit, yakni peraturan perundang-undangan yang
8
pendelegasian implisit yakni peraturan perundang-undangan yang
mendelegasikan tidak tegas menentukan sesuatu materi muatan harus
diatur dengan atau dalam peraturan perundang-undangan lainnya, namun
masih ada keterkaitan dengan pokok materi yang memerlukan
penyelengaraan pengaturan.
3.1. Pengantar
peraturan perundang-undangan tingkat pusat. Pemaparan pada spek-
aspek identifikasi masalah, yakni dasar hukum penyusunan Peraturan
Gubernur bermuatan kearifan lokal, proses menyusun Peraturan Gubernur
bermuatan kearifan lokal, dan isi Peraturan Gubernur bermuatan kearifan
lokal yang hendak disusun.
Kearifan Lokal
lokal merujuk pada dasar hukum penyusunan Peraturan Gubernur pada
umumnya. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU 12/2011)
memuat dasar hukum penyusunan Peraturan Gubernur.
Tabel 1: dasar hukum penyusunan Peraturan Gubernur menurut UU 12/2011
PASAL ISI PASAL PENJELASAN PASAL
Pasal 6
ayat (1)
(1) mencakup peraturan yang
keberadaannya dan
Daerah, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(selanjutnya disebut UU 23/2014) memuat dasar hukum penyusunan
Peraturan Gubernur.
Tabel 2: dasar hukum penyusunan Peraturan Gubernur menurut UU 23/2014
PASAL ISI PASAL
kepala daerah berwenang: ... c.
menetapkan Perkada dan keputusan
atas kuasa peraturan perundang-
mutandis terhadap asas
Proses penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan
merujuk Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang
12
80/2015.
PASAL ISI PASAL
(4) Perencanaan penyusunan peraturan
yang telah ditetapkan dengan
atas kuasa peraturan perundang-
disampaikan kepada perangkat
ayat (2), terdiri dari: a. Ketua:
pimpinan perangkat daerah
Anggota: Sesuai kebutuhan.
lain yang ditunjuk, pimpinan
perangkat daerah pemrakarsa tetap
ayat (3) ditetapkan dengan
pada ayat (3) melaporkan
Pasal 79 ayat (3) memberikan paraf
koordinasi pada tiap halaman
peraturan gubernur dan/atau
rancangan peraturan bersama
koordinasi sebagaimana dimaksud
melalui sekretaris daerah.
perubahan dan/atau
penyempurnaan terhadap
(2) Perubahan dan/atau
tim.
untuk ditetapkan.
Pasal 88
terhadap rancangan perkada,
peraturan DPRD sebelum
terhadap rancangan perkada yang
rancangan peraturan DPRD
kepada Menteri Dalam Negeri
melalui Direktur Jenderal Otonomi
bagi kabupaten/kota.
Pasal 89
Menteri Dalam Negeri melalui
Direktur Jenderal Otonomi Daerah
kabupaten/kota sebagaimana
rancangan perda, rancangan
rancangan peraturan DPRD.
sebagaimana dimaksud pada ayat
Direktur Jenderal Otonomi Daerah
memberikan fasilitasi, maka
rancangan peraturan DPRD
dilanjutkan tahapan penetapan
Peraturan DPRD.
Pasal 90
provinsi dibuat dalam bentuk surat
Direktur Jenderal Otonomi Daerah
tentang fasilitasi rancangan perda
ayat (1) dan ayat (2) ditindaklanjuti
oleh pemerintah daerah untuk
dilakukan pembahasan disampaikan
sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) berhalangan sementara atau
dilakukan oleh pelaksana tugas,
pelaksana harian atau penjabat
daerah; b. perangkat daerah yang
membidangi hukum provinsi atau
daerah pemrakarsa.
dilakukan oleh pimpinan perangkat
daerah yang membidangi hukum
kabupaten/kota; dan b. peraturan
DPRD, keputusan DPRD, keputusan
pimpinan DPRD dan keputusan
badan kehormatan DPRD dilakukan
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) yang berupa pengaturan
sebagaimana dimaksud pada ayat
DPRD yang telah ditetapkan
diundangkan dalam berita daerah.
peraturan DPRD sebagaimana
berlaku dan mempunyai kekuatan
mengikat pada tanggal diundangkan
peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan.
Peraturan DPRD provinsi yang telah
diundangkan sebagaimana
kepada Menteri Dalam Negeri.
peraturan DPRD kabupaten/kota
yang telah diundangkan
peraturan DPRD.
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berhalangan sementara atau
peraturan DPRD dilakukan oleh
pelaksana tugas atau pelaksana
ditandatangani dan diberi
penomoran selanjutnya dilakukan
yang membidangi hukum provinsi
atau kepala bagian hukum
DPRD untuk peraturan DPRD,
pemerintah daerah dilakukan oleh
Disusun
Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (UU 32/2009).
Tabel 4: Isi Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal merujuk UU 32/2009
PASAL ISI
PASAL PENJELASAN
Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain
20
Pasal 2
Huruf h Yang dimaksud dengan “asas ekoregion” adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan karakteristik sumber daya alam, ekosistem, kondisi geografis, budaya masyarakat setempat, dan kearifan lokal. Huruf l Yang dimaksud dengan “asas kearifan lokal” adalah bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.
Pasal 10 ayat (2)
... .
Huruf d Kearifan lokal dalam ayat ini termasuk hak ulayat yang diakui oleh DPRD.
Pasal 62 ayat (1)
Sistem informasi lingkungan hidup memuat, antara lain, keragaman karakter ekologis, sebaran
21
Pasal 63 ayat (2) huruf n
Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah provinsi bertugas dan berwenang menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat provinsi;
Pasal 69 (1) Setiap orang dilarang: ... h. melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh- sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing.
Ayat (2) Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.
Pasal 70 ayat ayat (3)
Peran masyarakat dilakukan untuk: ... e. mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Penjelasan Umum angka 2 alinia 4
Oleh karena itu, lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas
22
Isi Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal yang hendak
disusun merujuk UU 23/2014.
Tabel 5: Isi Pergub bermuatan kearifan lokal merujuk UU 23/2014.
PASAL ISI
PASAL PENJELASAN
Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi: ... d. pertanahan; e. lingkungan hidup; ....
Pasal 15 ayat (1)
Lampiran J
23
Penetapan tanah ulayat yang lokasinya lintas Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi.
Lampiran K
PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP a. Penetapan pengakuan MHA,
kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dan hak kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dan hak MHA terkait dengan PPLH yang berada di dua atau lebih Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi.
b. Peningkatan kapasitas MHA, kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dan hak kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dan hak MHA terkait dengan PPLH yang berada di dua atau lebih Daerah kabupaten/kota.
Penjelasan Umum angka 1 alinia 5: Daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai otonomi berwenang mengatur dan mengurus Daerahnya sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakatnya sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan hukum nasional dan kepentingan umum. Dalam rangka memberikan ruang yang lebih luas kepada Daerah untuk mengatur dan mengurus kehidupan warganya maka Pemerintah
24
Pusat dalam membentuk kebijakan harus memperhatikan kearifan lokal dan sebaliknya Daerah ketika membentuk kebijakan Daerah baik dalam bentuk Perda maupun kebijakan lainnya hendaknya juga memperhatikan kepentingan nasional. Dengan demikian akan tercipta keseimbangan antara kepentingan nasional yang sinergis dan tetap memperhatikan kondisi, kekhasan, dan kearifan lokal dalam penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan.
Berikutnya, isi Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal yang
hendak disusun merujuk Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat Dalam
Penataan Ruang (PP 68/2010).
Tabel 6: Isi Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal merujuk PP 68/2010
PASAL ISI PASAL PENJELASAN PASAL
Pasal 8
Bentuk peran masyarakat dalam pemanfaatan ruang dapat berupa: ... c. kegiatan memanfaatkan ruang
yang sesuai dengan kearifan lokal dan rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
d. peningkatan efisiensi, efektivitas, dan keserasian dalam pemanfaatan ruang darat, ruang laut, ruang udara, dan ruang di dalam bumi dengan
Huruf c Yang dimaksud dengan "kearifan lokal" adalah nilai-nilai luhur yang masih berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.
25
... .
P.34/Menlhk/Setjen/Kum.1/5/2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan
Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Hidup (selanjutnya disebut PMLHK P.34/Menlhk/Setjen/Kum.1/5/2017).
Tabel 7: Isi Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal merujuk PMLHK P.34/Menlhk/Setjen/Kum.1/5/2017
PASAL ISI
PASAL PENJELASAN
Kearifan Lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat setempat antara lain untuk
-
-
Pasal 1 angka 7
-
-
26
dan/atau memanfaatkan Kearifan Lokal yang diampu oleh Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat setempat.
Pasal 1 angka 9.
-
-
-
-
Ruang lingkup pengaturan Kearifan Lokal, meliputi: a. lingkup, sifat, wilayah, dan kriteria
Kearifan Lokal; b. tata cara pengakuan dan perlindungan
Kearifan Lokal;
27
c. hak dan kewajiban Pengampu dan Pengakses Kearifan Lokal; dan d. pembiayaan.
Pasal 4
Lingkup Kearifan Lokal paling sedikit mencakup: a. pengetahuan tradisional di bidang
Sumber Daya Genetik, air, tanah, dan energi;
b. pengetahuan tradisional termasuk namun tidak terbatas pada mata pencaharian berkelanjutan, kesehatan, dan lainnya, di bidang wilayah Kearifan Lokal yang dijaga kelestariannya;
c. peralatan dan teknologi tradisional di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam;
d. ekspresi budaya tradisional, tradisi dan upacara tradisional di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam termasuk folklor terkait Sumber Daya Genetik;
e. pembelajaran tradisional di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam; dan/atau
f. warisan budaya benda dan tak benda.
-
(1) Sifat Kearifan Lokal terdiri atas: a.
Kearifan Lokal yang dapat diakses publik; dan b. Kearifan Lokal yang bersifat rahasia, sakral dan dipegang teguh.
-
-
28
a. Kearifan Lokal dalam satu wilayah ulayat;
b. Kearifan Lokal yang ada di dalam dan di luar wilayah ulayat; atau
c. Kearifan Lokal bersama yang tersebar di beberapa wilayah ulayat.
(2) Kearifan Lokal dalam satu wilayah ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan Kearifan Lokal yang diampu oleh satu komunitas Masyarakat Hukum Adat dalam satu Wilayah Kearifan Lokal.
(3) Kearifan Lokal yang ada di dalam dan di luar wilayah ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, merupakan Kearifan Lokal yang diampu oleh satu Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat setempat baik dalam satu atau lebih Wilayah Kearifan Lokal.
(4) Kearifan Lokal bersama yang tersebar di beberapa wilayah ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan Kearifan Lokal yang diampu oleh beberapa kelompok Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat setempat baik dalam satu atau lebih Wilayah Kearifan Lokal.
Pasal 7
Kriteria Kearifan Lokal di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam, terdiri atas: a. nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata
kehidupan Masyarakat Hukum Adat dan masyarakat setempat; dan
-
Pasal 8
(1) Indikator kriteria Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a, terdiri atas: a. terpelihara praktik pengetahuan dan
keterampilan tradisional yang nyata secara terus menerus dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam;
b. terpelihara kualitas lingkungan hidup dan sumber daya hutan sebagai pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. terpelihara ingatan kolektif
masyarakat tentang Kearifan Lokal yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya hutan termasuk ekspresi budaya tradisional; dan
d. terwariskan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang direpresentasikan antar generasi.
(2) Indikator kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b berupa surat pernyataan, pernyataan sikap, dan/atau bentuk pengakuan lainnya tentang kebenaran Kearifan Lokal dan pengampunya yang diberikan oleh masyarakat sekitar melalui proses musyawarah mufakat.
Pasal 9
(2) Inventarisasi dilaksanakan oleh Pengampu Kearifan Lokal.
-
dan/atau kota dilaksanakan oleh gubernur; dan
c. dalam satu wilayah daerah kabupaten/kota dilaksanakan oleh bupati/walikota.
-
(1) Pengampu Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dalam melakukan inventarisasi dapat melibatkan lembaga swadaya masyarakat, lembaga adat, perguruan tinggi, lembaga penelitian, dan dunia usaha.
(2) Dalam hal inventarisasi dilakukan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) dapat melibatkan lembaga swadaya masyarakat, lembaga adat, perguruan tinggi, lembaga penelitian, dan dunia usaha.
-
Masyarakat Pengampu Kearifan Lokal yang melakukan inventarisasinya sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), mendaftarkan data Kearifan Lokal dan pengampunya kepada: a. Menteri untuk Kearifan Lokal yang
diampu oleh 1 (satu) atau lebih komunitas yang tersebar di wilayah lintas provinsi;
b. Gubernur untuk Kearifan Lokal yang diampu oleh 1 (satu) atau lebih komunitas yang tersebar di wilayah lintas daerah kabupaten dan/atau kota; atau
c. Bupati/walikota untuk Kearifan Lokal yang diampu oleh komunitas dalam satu wilayah daerah kabupaten/kota untuk selanjutnya diteruskan kepada gubernur.
Pasal 13
(1) Inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11dilakukan melalui kegiatan: a. studi pustaka; b. in situ atau kunjungan lapangan; c. identifikasi dan pembuatan daftar
kearifan lokal dan pengampunya; dan d. dokumentasi hasil inventarisasi.
(2) Dalam melakukan inventarisasi wajib: a. mentaati hukum adat dan kode etik
yang berlaku; b. menghormati kesakralan dan
-
c. dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Inventarisasi paling sedikit memuat data atau informasi mengenai: a. nama Masyarakat Hukum Adat dan
masyarakat setempat Pengampu Kearifan Lokal;
b. sejarah perkembangan masyarakat; c. adat-istiadat atau norma adat yang
masih berlaku; d. keberadaan dan fungsi kelembagaan
adat, serta sistem kekerabatan; e. protokol komunitas dan sistem
pengambilan keputusan; f. pengetahuan tentang Sumber Daya
Genetik atau sumber daya hayati; g. pengetahuan tentang tata ruang dan
Wilayah Kearifan Lokal; h. pengetahuan tentang tanah dan air; i. pengetahuan tentang hal-hal tabu dan
sakral dalam pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya
j. alam; k. teknologi dan peralatan tradisional
pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam;
l. tradisi tentang pelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumber daya alam ;
m. pola pengawasan lingkungan hidup dan penyelesaian konflik; dan/atau
n. pengetahuan tentang suksesi, seleksi, dan adaptasi.
(4) Dokumentasi hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan setelah mendapatkan PADIA dari kelompok masyarakat pengampunya.
(5) Dokumentasi Kearifan Lokal yang bersifat sakral dan rahasia hanya dilakukan terhadap jenis Kearifan Lokal dan pengampunya dengan tetap menjaga kesakralan dan kerahasiaannya.
Pasal 19
-
(2) Penetapan pengakuan dan perlindungan Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat: a. nama komunitas pengampu Kearifan
Lokal; b. wilayah Kearifan Lokal yang
dilindungi; c. jenis Sumber Daya Genetik yang
dilindungi; d. jenis Kearifan Lokal yang dilindungi; e. skema pemanfaatan Kearifan Lokal;
dan f. hak, kewajiban Pengampu, tugas dan
tanggung jawab Pengakses, dan pemerintah.
(3) Gubernur atau bupati/walikota yang telah menerbitkan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaporkan kepada Menteri.
Pasal 20
(1) Keputusan penetapan Kearifan Lokal oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota, disimpan pada Balai Kliring Kearifan Lokal.
(2) Balai Kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengelola: a. data naratif, numerik, visual dan/atau
spasial; b. daftar pengampu; c. daftar pengakses; dan d. daftar kesepakatan bersama dan
perubahannya. (3) Pengelolaan Balai Kliring sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh Direktur Jenderal untuk mencegah penyalahgunaan dan pemanfaatan yang tidak sah oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
(4) Data yang menyangkut Sumber Daya Genetik dan pengetahuan tradisional yang terkait dengan Sumber Daya Genetik hanya dapat diakses berupa resume data/abstrak/metadata.
-
-
4.1. Dasar Hukum Penyusunan Peraturan Gubernur Bermuatan Kearifan Lokal
Mencermati Dasar Hukum Penyusunan Peraturan Gubernur terdapat
tiga pola status hukum Peraturan Gubernur, yakni:
1. Peraturan Gubernur untuk melaksanakan Perda atau atas kuasa
peraturan perundang-undangan (Pasal 246 ayat (1) UU 23/2014).
2. Peraturan Gubernur sebagaimana diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan (Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011).
3. Peraturan Gubernur Daerah untuk menyelenggarakan Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah (Pasal 17 ayat
(1) UU 23/2014).
lima macam status Peraturan Gubernur, yakni:
a. Peraturan Gubernur untuk melaksanakan Perda (Pasal 246 ayat
(1) UU 23/2014).
(Pasal 246 ayat (1) UU 23/2014).
35
Perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 8 ayat (1) UU
12/2011).
ayat (1) UU 12/2011).
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah (Pasal 17 ayat
(1) UU 23/2014).
yakni Peraturan Gubernur itu baru dapat dibentuk pada saat adanya
delegasian perundang-undangan atau pendelegasian kewenangan
mengatur atau pelimpahan kewenangan mengatur kepada Peraturan
Gubernur. Masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Peraturan Gubernur untuk melaksanakan Perda (Pasal 246 ayat
(1) UU 23/2014); baru dapat dibentuk dengan terlebih dahulu
ada Perda yang akan dilaksanakan.
2. Peraturan Gubernur atas kuasa peraturan perundang-undangan
(Pasal 246 ayat (1) UU 23/2014); baru dapat dibentuk dengan
terlebih dahulu ada Peraturan Perundang-undangan yang
memberikan kuasa.
Perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 8 ayat (1) UU
36
Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan.
ayat (1) UU 12/2011); baru dapat dibentuk dengan terlebih
dahulu ada kewenangan, yakni penyelenggaraan urusan tertentu
pemerintahan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-
undangan, artinya terlebih dahulu ada Peraturan Perundang-
undangan berkenaan dengan penyelenggaraan urusan tertentu
pemerintahan.
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah (Pasal 17 ayat
(1) UU 23/2014); baru dapat dibentuk dengan terlebih dahulu
ada Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah
untuk diselenggarakan, artinya UU 23/2014 menentukan adanya
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
Persoalan yang muncul kemudian adalah karakter delegasi
perundang-undangan yang dianut; delegasi eksplisit atau delegasi implisit.
Delegasi perundang-undangan bersifat eksplisit terjadi jika peraturan
perundang-undangan yang mendelegasikan menyebutkan secara
eksplisit, misalnya dirumuskan “...diatur dengan ...” atau “...diatur dalam
...” (Rosjidi Ranggawijaya 1998: 64). Dengan perkataan lain, delegasi
perundang-undangan bersifat eksplisit bermakna penyelenggaraan
pengaturan hal-hal yang secara tegas-tegas disebutkan dalam suatu
37
perundang-undangan yang lainnya.
undangan (TP3) sebagaimana tercantum dalam Lampiran II UU 12/2011
menganut delegasi perundang-undangan bersifat eksplisit, yang
menggunakan penanda-penanda sebagai berikut:
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai … diatur dengan atau
berdasarkan … (TP3 202).
4. Ketentuan mengenai … diatur dengan atau berdasarkan … (TP3
204).
Sebaliknya, delegasi perundang-undangan bersifat implisit bermakna
penyelenggaraan pengaturan hal-hal yang tidak tegas disebutkan dalam
suatu peraturan perundang-undangan harus diatur dalam atau dengan
peraturan perundang-undangan lainnya, namun masih dalam lingkup
permasalahan yang hendak diatur. Dengan perkataan lain, delegasi
perundang-undangan bersifat implisit terjadi, jika suatu peraturan
perundang-undangan tidak tegas menentukan sesuatu hal harus diatur
dalam atau dengan peraturan perundang-undangan lainnya, namun masih
dalam lingkup permasalahan yang hendak diatur, yang memerlukan
penyelenggaraan pengaturan.
bersifat eksplisit implisit berikut diuraikan karakter delegasian dari kelima
macam Peraturan Gubernur tersebut.
ayat (1) UU 23/2014).
melaksanakan Perda. Oleh karena itu perlu dilakukan interpretasi
sistematikal dengan pasal-pasal tentang materi muatan dalam UU
12/2011.
1. Pasal 12 Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk
menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang,
materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah.
3. Pasal 14 menentukan antara lain, materi muatan Peraturan Daerah
Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi
muatan penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan
yang lebih tinggi.
4. Pasal 246 ayat (1) UU 23/2014, “Untuk melaksanakan Perda ...
kepala daerah menetapkan Perkada.”
“menjalankan”, “menjabarkan”, dan “melaksanakan” sebagai berikut:
39
atau pekerjaan. Menjalankan berarti juga membuat
(menggerakkan) supaya jalan. Dikaitkan dengan Pasal 12 UU
12/2011, maka Peraturan Pemerintah berisi materi muatan supaya
UU dapat dijalankan. Dengan perkataan lain fungsi Peraturan
Pemerintah adalah membuat UU dapat dijalankan.
2. Menjabarkan, secara harfiah berarti menerangkan (menguraikan)
secara terperinci, dan penjabaran adalah proses, perbuatan, cara
menjabarkan (menguraikan atau menerangkan secara terperinci).
Dikaitkan dengan rumusan “penjabaran lebih lanjut Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi”, maka berarti Perda berisi
materi yang menguraikan secara terperinci materi Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi, yang secara umum atau
garis besar telah dituangkan dalam Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi tersebut.
3. Melaksanakan, secara harfiah berarti melakukan, menjalankan,
mengerjakan (rancangan, keputusan, dan sebagainya) (Gede
Marhaendra Wija Atmaja 2012).
melaksanakan Perda ... kepala daerah menetapkan Perkada”, maka
“melaksanakan Perda” sama maknanya dengan “materi untuk menjalan
Peraturan Pemerintah”, agar Perda dapat dijalankan sebagaimana
mestinya, maka dibuat Perkada.
pendelegasian eksplisit atau pendelegasian implisit. Penjelasan Pasal 12
dan Pasal 13 menjelaskan:
Tabel 8: Penjelasan Pasal 12 dan Pasal 13 UU 12/2011
Pasal UU 12/2011
Yang dimaksud dengan “menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya” adalah penetapan Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan perintah Undang-Undang atau untuk menjalankan Undang-Undang sepanjang diperlukan dengan tidak menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang-Undang yang bersangkutan (Penjelasan Pasal 12).
Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang- Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan (Pasal 13)
Peraturan Presiden dibentuk untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut perintah Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan
pembentukannya (Penjelasan Pasal 13).
Pasal 13 UU 12/2011 diperoleh pemahaman:
1. menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya dimaknai:
a. melaksanakan perintah;
dari materi yang diatur.
lanjut perintah.
diperintahkan pembentukannya.
diperintahkan.
Jadi, “melaksanakan Perda” dalam Pasal 246 ayat (1) UU 23/2014
dapat dimaknai Gubernur menetapkan Peraturan Gubernur untuk
melaksanakan perintah baik secara tegas maupun tidak tegas
diperintahkan pembentukannya oleh Perda. Dengan demikian,
“melaksanakan Perda” bermakna pendelegasian, baik pendelegasian
eksplisit (delegasi perundang-undangan bersifat eksplisit) maupun
pendelegasian implisit (delegasian perundang-undangan bersifat implisit).
Hal tersebut berkesesuaian dengan pendangan A. Hamid S.
Attamimi. Menurutnya:
nyata atas sebuah norma hukum yang law creating yang sudah
ada terlebih dahulu, melainkan cukup bersumber pada norma
hukum yang lebih tinggi yang secara tidak langsung dapat
menjadi dasar bagi lahirnya norma hukum yang lebih rendah.
42
meskipun norma hukum yang lebih tinggi tidak tegas-tegas
menyatakan, atau sebuah peraturan dapat dibentuk meskipun
peraturan yang lebih tinggi tidak tegas-tegas dan tidak langsung
menyebutkannya. Semua itu asal saja masih dalam lingkup
permasalahannya (A. Hamid S.A. 1984).
Beranjak dari pendapat tersebut, maka ada dua pola pembuatan
peraturan perundang-undangan pelaksanaan (law applying), yakni:
1. Penyelenggaraan pengaturan hal-hal yang secara tegas-tegas
disebutkan suatu peraturan perundang-undangan harus diatur
dalam atau dengan peraturan perundang-undangan lainnya.
Dengan perkataan lain, harus berdasarkan pada ketentuan dalam
suatu peraturan perundang-undangan yang secara tegas
menyatakan hal bersangkutan harus diatur dalam atau dengan
peraturan perundang-undangan lainnya.
dalam suatu peraturan perundang-undangan harus diatur dalam
atau dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Dengan
perkataan lain, cukup bersumber pada suatu peraturan
perundang-undangan yang masih dalam lingkup permasalahan
yang hendak diatur dalam atau dengan peraturan perundang-
undangan lainnya (bandingkan dengan Gede Marhaendra Wija
Atmaja 2016).
pelaksanaan yang pertama itu dapat disebut pendelegasian eksplisit atau
pendeledasian kewenangan mengatur secara eksplisit. Pola pembuatan
peraturan perundang-undangan pelaksanaan yang kedua itu dapat
disebut pendelegasian implisit atau pendeledasian kewenangan mengatur
secara secara implisit.
melaksanakan Perda dalam konteks penyusunan Peraturan Gubernur
bermuatan kearifan lokal bermakna:
Gubernur; atau
muatan kearifan lokal harus diatur dengan atau dalam Peraturan
Gubernur, sepanjang masih dalam lingkup permasalahannya.
Kedua, Peraturan Gubernur atas kuasa peraturan perundang-
undangan (Pasal 246 ayat (1) UU 23/2014).1 Ketentuan ini tidak
1 Sebelumnya sejumlah undang-undang mengaturnya sebagai berikut: a.
UU 32/2004, Pasa1 146 ayat (1) menetukan, “Untuk melaksanakan Perda dan atas kuasa peraturan perundang-undangan, kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah”; dan b. UU 22/1999, Pasal 72 ayat (1) menentukan, “Untuk melaksanakan Peraturan Daerah
44
perundang-undangan, juga di dalam peraturan perundang-undangan
lainnya tidak ditemukan makna atas kuasa tersebut. Oleh karena itu perlu
menyandarkan pemahaman pada pendapat sarjana.
Bagir Manan (1992) memberikan pengertian “kuasa dari undang-
undang” dan Rosjidi Ranggawijaya (1998) dan memberikan komentarnya,
dikemukakan dalam tabel berikut:
Tabel 9: Pendapat Bagir Manan dan Rosjidi Ranggawijaya mengenai makna “atas kuasa”
Bagir Manan Rosjidi Ranggawijaya
Pengaturan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah hanya dilakukan apabila ada kuasa dari undang-undang.
Dalam hal ini apakah harus ada kuasa dari Undang-undang bahwa materi tersebut dapat diatur dengan Peraturan Pemerintah?
Artinya harus ada dasarnya dalam undang-undang yang membolehkan diatur oleh peraturan perundang- undangan tingkat lebih rendah.
Dengan perkataan lain, untuk membentuk Peraturan Pemerintah, apakah perlu ada “pendelegasian secara khusus ...?
Undang-undang “mendelegasikan” kepada peraturan perundang- undangan tingkat lebih rendah.
Sehungan dengan hal ini Bagir Manan menulis:
Pengaturan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah hanya dilakukan apabila ada kuasa dari undang-undang. Artinya harus ada dasarnya dalam undang- undang yang membolehkan diatur oleh peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah. Undang-undang “mendelegasikan” kepada peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah.
dan atas kuasa peraturan perundang-undangan lain yang berlaku, Kepala Daerah menetapkan keputusan Kepala Daerah.”
45
dirumuskan makna “atas kuasa peraturan perundang-undangan”. Frasa
“atas kuasa peraturan perundang-undangan” dimaknai sebagai delegasi
perundang-undangan bersifat eksplisit, yakni penyelenggaraan
pengaturan hal-hal yang secara tegas-tegas disebutkan suatu peraturan
perundang-undangan harus diatur dalam atau dengan peraturan
perundang-undangan lainnya. Dengan perkataan lain, harus berdasarkan
pada ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang secara
tegas menyatakan hal bersangkutan harus diatur dengan atau dalam
peraturan perundang-undangan lainnya.
direfleksikan ke dalam frasa “atas kuasa peraturan perundang-undangan”
dalam Pasal 246 ayat (1) UU 23/2014 bermakna Gubernur menetapkan
Peraturan Gubernur atas kuasa peraturan perundang-undangan jika
peraturan perundang-undangan memberikan kuasa atau secara tegas
menyebutkan suatu materi muatan harus diatur dalam atau dengan
Peraturan Gubernur. Oleh karena itu harus tunduk pada ketentuan
pendelegasian dalam Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-
undangan (TP3), sebagaimana tercantum dalam Lampiran II UU 12/2011,
yakni:
NO. PENANDA PETANDA CATATAN
Jika materi muatan yang didelegasikan sebagian sudah diatur pokok-pokoknya di dalam
TP3 201
TP3 202.
Jika materi muatan yang didelegasikan sama sekali belum diatur pokok-pokoknya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan dan materi muatan itu harus diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan yang diberi delegasi dan tidak boleh didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan Perundang- undangan yang lebih rendah (subdelegasi)
TP3 203.
Jika materi muatan yang didelegasikan sama sekali belum diatur pokok-pokoknya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan dan boleh didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah (subdelegasi)
TP3 204
Jika terdapat beberapa materi muatan yang didelegasikan dan materi muatan tersebut tercantum dalam beberapa pasal atau ayat tetapi akan didelegasikan dalam suatu Peraturan Perundang- undangan.
TP3 205
kearifan lokal, maka Peraturan Gubernur itu hanya boleh disusun jika
suatu peraturan perundang-undangan menentukan secara tegas materi
muatan kearifan lokal harus diatur dengan atau dalam Peraturan
Gubernur, dengan penanda-penanda sebagaimana disebutkan di atas
(dalam tabel).
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 8 ayat (1) UU
12/2011). Mengenai makna “diperintahkan” pada uraian sebelumnya telah
dilakukan interpretasi sistematikal terhadap Pasal 12 dan Pasal 13 UU
12/2011 dan interpretasi otentik terhadap Penjelasan Pasal 12 dan Pasal
13 UU 12/2011, pemahaman diperoleh, sekedar diulang, adalah:
1. menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya dimaknai:
c. melaksanakan perintah;
dari materi yang diatur.
lanjut perintah.
diperintahkan pembentukannya.
diperintahkan.
48
secara tidak tegas. Artinya, memuat delegasi perundang-undangan
bersifat eksplisit maupun delegasi perundang-undangan bersifat implisit.
Direfleksikan pada Peraturan Gubernur sebagaimana diperintahkan
oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi bermakna
Peraturan Gubernur dapat ditetapkan baik karena diperintahkan secara
tegas maupun diperintahkan secara tidak tegas. Jadi, Peraturan Gubernur
ini berkarakter delegasi perundang-undangan bersifat eksplisit maupun
delegasi perundang-undangan bersifat implisit. Dari sisi delegasi vertikal
dan delasi horizontal, pendelegasian kewenangan mengatur kepada
Peraturan Gubernur dalam Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011 menganut pola
delegasi perundang-undangan yang vertikal.
sebagaimana diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi dalam konteks penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan
kearifan lokal bermakna:
dilakukan jika Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi
secara tegas menentukan materi muatan kearifan lokal harus
diatur dengan atau dalam Peraturan Gubernur; atau
2. Penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal dapat
dilakukan sekalipun Peraturan Perundang-undangan yang lebih
49
sepanjang masih dalam lingkup permasalahannya.
Keempat, Peraturan Gubernur dibentuk berdasarkan kewenangan
(Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011). Dimaksud dengan “berdasarkan
kewenangan” adalah penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan (Pasal 8 ayat
(1) UU 12/2011).
penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan. Dalam pengertian ini,
tidak ada ketegasan mengenai penyelenggaraan urusan tertentu
pemerintahan itu merupakan materi muatan yang harus diatur dengan aau
dalam Peraturan Gubernur. Akan tetapi pembentuk UU 12/2011
memberikan kewenangan kepada Gubernur untuk menetapkan Peraturan
Gubernur sebagai bentuk pengaturan penyelenggaraan urusan tertentu
pemerintahan, sepanjang sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-
undangan.
sebagai perintah atau diperintahkan secara tegas maupun secara tidak
tegas, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka Peraturan
Gubernur dibentuk berdasarkan kewenangan (Pasal 8 ayat (1) UU
12/2011) termasuk dalam kategori perintah atau diperintahkan secara
50
implisit.
dibentuk berdasarkan kewenangan (Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011) dalam
konteks penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal
bermakna penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal
dapat dilakukan sekalipun Peraturan Perundang-undangan tidak secara
tegas menentukan materi muatan kearifan lokal harus diatur dengan atau
dalam Peraturan Gubernur, sepanjang materi muatan kearifan lokal itu
merupakan penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan yang
merupakan wewenang Gubernur.
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah (Pasal 17 ayat (1) UU
23/2014). Dimaksud dengan “kebijakan Daerah” dalam ketentuan ini
adalah Perda, Perkada, dan keputusan kepala daerah (Penjelasan Pasal
17 ayat (1) UU 23/2014).
Frasa “menyelenggarakan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah” merujuk pada Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1) UU
23/2014, yang menentukan pembagian urusan pemerintahan konkuren
antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi serta Daerah
kabupaten/kota tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari UndangUndang ini.
51
yang menjadi kewenangan Daerah, Gubernur dapat menetapkan
Peraturan Gubernur. Selain Peraturan Gubernur, produk hukum daerah
lainnya yang dapat digunakan untuk menyelenggarakan Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah adalah Peraturan
Daerah Provinsi atau Keputusan Gubernur (untuk Daerah Provinsi). Akan
tetapi, fokus Makalah ini adalah Peraturan Gubernur.
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah
sebagaimana tercantum dalam Lampiran UU 23/2014, diantaranya
adalah:
BIDANG PERTANAHAN, menetukan: Penetapan tanah ulayat
yang lokasinya lintas Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu)
Daerah provinsi.
BIDANG LINGKUNGAN HIDUP, menentukan:
a. Penetapan pengakuan MHA, kearifan lokal atau pengetahuan
tradisional dan hak kearifan lokal atau pengetahuan tradisional
dan hak MHA terkait dengan PPLH yang berada di dua atau
lebih Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi.
b. Peningkatan kapasitas MHA, kearifan lokal atau pengetahuan
tradisional dan hak kearifan lokal atau pengetahuan tradisional
52
dan hak MHA terkait dengan PPLH yang berada di dua atau
lebih Daerah kabupaten/kota.
diatur dengan atau dalam Peraturan Gubernur. Sesuai dengan Pasal 17
ayat (1) UU 23/2014, maka pilihan diantara Peraturan Daerah Provinsi,
Peraturan Gubernur, dan Keputusan Gubernur sebagai instrumen
pengaturan dari urusan pemerintahan tersebut merupakan ranah
instepretasi dari Pemerintah Daerah untuk menggunakan salah satunya
atau ketiganya sesuai keperluan.
sebagai perintah atau diperintahkan secara tegas maupun secara tidak
tegas, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka Peraturan
Gubernur untuk menyelenggarakan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah (Pasal 17 ayat (1) UU 23/2014) termasuk dalam
kategori perintah atau diperintahkan secara tidak tegas. Ini artinya, dianut
delegasi perundang-undangan bersifat implisit.
untuk menyelenggarakan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah (Pasal 17 ayat (1) UU 23/2014) dalam konteks
penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal bermakna
penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal dapat
dilakukan sekalipun UU 23/2014 tidak secara tegas menentukan materi
53
Gubernur, sepanjang materi muatan kearifan lokal itu merupakan
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Daerah.
Mencermati deskripsi pengaturan kearifan lokal, maka berkenaan
dengan proses penyusunan Peraturan Gubernur meliputi tahapan
perencanaan, penyusunan, pembahasan, penetapan, dan pengundangan.
Secara khusus belum ditemukan proses penyusunan Peraturan
Gubernur bermuatan kearifan lokal, oleh karenanya proses penyusunan
Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal merujuk pada proses
tersebut, dalam pengertian kebermuatan kearifan lokal dintegrasikan ke
dalam proses penyusunan Peraturan Gubernur itu. Artinya, sejak dari
perencanaan telah dicantumkan judul rancangan Peraturan Gubernur
bermuatan kearifan lokal di dalam Program Pembentukan Peraturan
Gubernur, berikut dalam tahapan penyusunan dilakukan penyusunan
Rancangan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal, selanjutnya di
dalam proses pembahasan dilakukan pengawalan agar Rancangan
Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal lolos dari tahapan
pembahasan, lebih lanjut pada tahapan penetapan dan pengundangan
dilakukan pengawalan, sehingga dapat ditetapkan dan diundangkan
54
berikut.
No. Tahapan Rincian Kebermuatan
pemrakarsa menyusun
rancangan Pergub.
dilakukan oleh gubernur bersama
pimpinan perangkat daerah
kebutuhan.
pejabat lain yang ditunjuk,
dilakukan pembahasan
membidangi hukum provinsi
daerah pemrakarsa.
diundangkan dalam berita
Pergub yang bersangkutan.
4.3. Isi Peraturan Gubernur Bermuatan Kearifan Lokal yang Hendak Disusun
Mencermati deskripsi pengaturan kearifan lokal diperoleh
pemahaman, Pergub bermuatan kearifan lokal dapat berisi:
58
kearifan lokal, termasuk di dalamnya penghormatan dan
perlindungan terhadap kearifan lokal.
yakni kesatuan masyarakat hukum adat.
3. asas pengaturan, yakni kearifan lokal sebagai asas
pembentukan peraturan peraturan perundang-undangan yang
baik yang bersifat materiil.
terhadap kearifan lokal. Pengaturan kearifan lokal pada berbagai bidang,
contohnya pengaturan kearifan lokal di bidang pengelolaan sumber daya
alam dan lingkungan hidup.
pengaturan Kearifan Lokal:
mewujudkan keadilan, kesejahteraan masyarakat, dan pelestarian
fungsi lingkungan hidup dan sumber daya alam (Pasal 2 ayat (1)
PMLHK P.34/Menlhk/Setjen/Kum.1/5/2017); dan
perlindungan, dan memperoleh pembagian keuntungan yang adil
dan seimbang dari pemanfaatan Kearifan Lokal dalam relevansi
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup (Pasal 2
ayat (2) PMLHK P.34/Menlhk/Setjen/Kum.1/5/2017).
dan pemenuhan hak-hak pengampu kearifan lokal. Dari sisi tanggung
jawab negara, terutama pemerintah, dalam doktrin hak asasi manusia,
mencakup pula penghormatan, yakni tanggung jawab negara untuk tidak
mencampuri hak asasi warga negaranya yang menyebabkan warga
negaranya tidak dapat mengenyam hak-haknya. Dalam konteks kearifan
lokal, negara tidak boleh melakukan tindakan yang dapat menyebabkan
pengampu kearifan lokal tidak dapat menikmati hak-haknya.
Dari sisi tanggung jawab negara itu, seyogyanya pengaturan kearifan
lokal mencakup pengakuan, penghormatan, perlindungan, pemenuhan
hak-hak pengampu kearifan lokal.
P.34/Menlhk/Setjen/Kum.1/5/2017, dikemukakan dalam tabel berikut:
Tabel 11: Pemahaman tentang konsep-konsep Kearifan Lokal
No. Konsep Isi Konsep
1 kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang masih berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.
2 Wilayah Kearifan Lokal
adalah suatu wilayah tertentu berupa daratan dan/atau perairan beserta sumber daya alam yang ada di atasnya, dengan batas-batas tertentu di mana pemanfaatan Kearifan Lokal dan pengetahuan tradisional dilaksanakan secara turun termurun dan berkelanjutan.
60
3 Pengampu Kearifan Lokal
adalah Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat setempat yang memegang hak ulayat atau hak tradisional dan memperoleh manfaat dari hak ulayat atau pengelolaan dalam bentuk tanggung jawab moral, ekonomi, dan budaya.
4 Pengakses Kearifan Lokal
adalah orang perseorangan, kelompok masyarakat, organisasi masyarakat, organisasi profesi, dan/atau badan usaha, baik dari dalam maupun luar negeri, yang mengakses dan/atau memanfaatkan Kearifan Lokal yang diampu oleh Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat setempat.
5 Pengakuan Kearifan Lokal
adalah pernyataan Negara sebagai penerimaan dan penghormatan atas Kearifan Lokal yang diampu Masyarakat Hukum Adat dan/atau masyarakat setempat.
6 Perlindungan Kearifan Lokal
adalah suatu bentuk pelayanan Negara kepada Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat setempat dalam rangka menjamin kelangsungan Kearifan Lokal dan keberadaan masyarakat pengampunya, serta terpenuhinya hak dan kewajiban dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, agar dapat hidup, tumbuh, dan berkembang sebagai satu kelompok masyarakat yang madani, berpartisipasi sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaannya.
7 Ruang lingkup pengaturan Kearifan Lokal,
meliputi:
c. hak dan kewajiban Pengampu dan Pengakses Kearifan Lokal; dan
d. pembiayaan.
paling sedikit mencakup:
a. pengetahuan tradisional di bidang Sumber Daya Genetik, air, tanah, dan energi;
b. pengetahuan tradisional termasuk namun tidak terbatas pada mata pencaharian berkelanjutan, kesehatan, dan lainnya, di bidang wilayah Kearifan Lokal yang dijaga kelestariannya;
c. peralatan dan teknologi tradisional di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam;
d. ekspresi budaya tradisional, tradisi dan upacara tradisional di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam termasuk folklor terkait Sumber
61
f. warisan budaya benda dan tak benda.
9 Sifat Kearifan Lokal
terdiri atas: a. Kearifan Lokal yang dapat diakses publik; dan b. Kearifan Lokal yang bersifat rahasia, sakral dan dipegang teguh.
10 Kearifan Lokal yang dapat diakses publik
merupakan Kearifan Lokal yang oleh pengampunya dapat diakses oleh pengakses atau kelompok lain.
11 Kearifan Lokal yang bersifat rahasia, sakral, dan dipegang teguh
merupakan Kearifan Lokal yang karena sifatnya oleh pengampunya dirahasiakan dan/atau disakralkan sehingga tidak dapat diakses oleh pihak lain atau tidak boleh dipublikasi secara luas kepada masyarakat.
12 Wilayah Kearifan Lokal
a. Kearifan Lokal dalam satu wilayah ulayat;
b. Kearifan Lokal yang ada di dalam dan di luar wilayah ulayat; atau
c. Kearifan Lokal bersama yang tersebar di beberapa wilayah ulayat.
13 Kearifan Lokal dalam satu wilayah ulayat
merupakan Kearifan Lokal yang diampu oleh satu komunitas Masyarakat Hukum Adat dalam satu Wilayah Kearifan Lokal.
14 Kearifan Lokal yang ada di dalam dan di luar wilayah ulayat
merupakan Kearifan Lokal yang diampu oleh satu Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat setempat baik dalam satu atau lebih Wilayah Kearifan Lokal.
15 Kearifan Lokal bersama yang tersebar di beberapa wilayah ulayat
merupakan Kearifan Lokal yang diampu oleh beberapa kelompok Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat setempat baik dalam satu atau lebih Wilayah Kearifan Lokal.
16 Kriteria Kearifan Lokal di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam,
terdiri atas:
a. nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan Masyarakat Hukum Adat dan masyarakat setempat; dan
b. pernyataan pengakuan masyarakat sekitar yang berbeda adat dan budaya.
17 Indikator kriteria Kearifan Lokal
terdiri atas:
62
(nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan Masyarakat Hukum Adat dan masyarakat setempat)
keterampilan tradisional yang nyata secara terus menerus dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam;
b. terpelihara kualitas lingkungan hidup dan sumber daya hutan sebagai pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. terpelihara ingatan kolektif masyarakat tentang Kearifan Lokal yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya hutan termasuk ekspresi budaya tradisional; dan
d. terwariskan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang direpresentasikan antar generasi.
18 Indikator kriteria pernyataan pengakuan masyarakat sekitar yang berbeda adat dan budaya
berupa surat pernyataan, pernyataan sikap, dan/atau bentuk pengakuan lainnya tentang kebenaran Kearifan Lokal dan pengampunya yang diberikan oleh masyarakat sekitar melalui proses musyawarah mufakat.
Secara teoritik diperoleh pemahaman bahwa kearifan lokal meliputi
kearifan tradisional atau kearifan lama (yang berasal dari generasi-
generasi sebelumnya) dan kearifan kontemporer atau kearifan kini
(berasal dari pengalamannya berhubungan dengan lingkungan dan
masyarakat lainnya), sebagaimana dikemukakan oleh Heddy Shri Ahimsa-
Putra yang mendefinisikan kearifan lokal sebagai perangkat pengetahuan
pada suatu komunitas, baik yang berasal dari generasi-generasi
sebelumnya maupun dari pengalamannya berhubungan dengan
lingkungan dan masyarakat lainnya, untuk menyelesaikan secara baik dan
benar berbagai persoalan dan/atau kesulitan yang dihadapi (dalam Nur
Berlian VA, & Mursalim, Ed, 2015).
63
nampaknya merujuk pada pendapat Heddy Shri Ahimsa-Putra, yakni:
1. Kearifan lokal merupakan kebijaksanaan setempat, yaitu
kebijaksanaan yang dimiliki oleh masyarakat pendukungnya.
Dalam masyarakat yang multikultur, masing masing kelompok
mempunyai kebenaran masing-masing. Karena itu, kearifan
lokal itu akan bersifat relatif terhadap kearifan lokal lainnya
(Mikka Wildha Nurrochsyam 2011).
identitas kebudayaan (Ade M. Kartawinata 2011).
3. Disebut kearifan lokal karena perangkat pengetahuan itu pada
awalnya hanya dimiliki oleh komunitas tertentu dan pada
lokalitas tertentu pula (Hurip Danu Ismadi 2013).
Mengacu pula pada pandangan Heddy Shri Ahimsa-Putra, Sugih
Biantoro (2011) memaknai kearifan tradisional (lama) sebagai perangkat
pengetahuan pada suatu komunitas untuk menyelesaikan secara baik dan
benar persoalan dan/atau kesulitan yang dihadapi, serta diperoleh dari
generasi-generasi sebelumnya secara lisan atau melalui contoh tindakan,
yang memiliki kekuatan seperti hukum maupun tidak. Sedangkan, kearifan
kontemporer (kini) adalah perangkat pengetahuan yang baru saja muncul
dalam suatu komunitas.
adalah hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
bersangkutan, dapat berupa hukum adat, yang di Bali dituangkan dalam
awig-awig atau pararem.
dapat berbentuk hukum adat, yakni hukum yang tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat hukum adat. Sehingga mendiskusikan tentang
penghormatan kearifan lokal pada dasarnya mendiskusikan tentang
pluralisme hukum, yakni pengakuan terhadap kemajemukan tatanan
hukum yang berlaku beserta komunitas pengembannya, termasuk dalam
pemahaman ini adalah pengakuan kemajemukan tatanan hukum adat dan
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat sebagai pengembannya
beserta hak-hak tradisionalnya (Gede Marhaendra Wija Atmaja 2016.
Gede Marhaendra Wija Atmaja 2012).
Kedua, pokok pengaturan tentang bentuk-bentuk kearifan lokal,
pengakuan bentuk-bentuk kearifan lokal, seperti pengakuan hak ulayat
atau pengakuan hukum adat beserta pengembannya yakni kesatuan
masyarakat hukum adat.
Adat pasca Putusan MK 35” mengalami peningkatan. Pada tahun 2013,
setelah keluar Putusan MK 35 (Arizona, Yance; Malik; dan Irena Lucy
Ishimora, 2017):
hukum, tahun 2015 sebanyak 27 produk hukum daerah, dan
tahun 2016 terdapat 13 produk hukum daerah.
2. Sifat dan Bentuk Produk Hukum Daerah Mengenai
Masyarakat Adat Dari segi sifatnya, produk hukum daerah
dikelompokkan menjadi tiga, yakni pengaturan, penetapan
dan kombinasi, yakni pengaturan dan penetapan dalam satu
produk hukum daerah.
3. Dari 69 produk hukum daerah yang terbit pasca Putusan MK
35, sebanyak 34 produk hukum daerah bersifat pengaturan,
34 bersifat penetapan dan satu bersifat kombinasi. Produk
hukum yang bersifat kombinasi ini adalah Perda Lebak No. 8
Tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan dan
Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan
selanjutnya disebut Perda Lebak. Selain menetapkan
sejumlah Kasepuhan sebagai masyarakat hukum adat
beserta menetapkan beberapa peta wilayah adatnya,
peraturan ini juga mengatur mengenai tata cara penetapan
wilayah adat di kemudian hari, khususnya untuk wilayah adat
yang belum ditetapkan dalam Perda tersebut.
4. Produk hukum pengaturan memiliki substansi yang sifatnya
mengatur masyarakat adat dan hak tradisionalnya secara
66
adat tertentu, seperti Perda Peraturan Daerah Kabupaten
Enrekang No. 1 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengakuan
dan Perlindungan terhadap Masyarakat Hukum Adat di
Kabupaten Enrekang. Produk hukum daerah ini
membutuhkan tindak lanjut untuk menetapkan keberadaan
masyarakat adat.
konkret, misalnya menetapkan suatu masyarakat menjadi
masyarakat hukum adat melalui Perda Kabupaten Merangin
No. 8 Tahun 2016 tentang Pengakuan dan Perlindungan
Masyarakat Hukum Adat Marga Serampas.
6. Selain berdasarkan sifat, klasifikasi produk hukum daerah
mengenai masyarakat adat dapat juga berdasarkan bentuk
produk hukum. Produk hukum daerah tersebut
dikelompokkan ke dalam lima bentuk, yaitu; (1) Perda yang
bersifat pengaturan; (2) Perda yang bersifat penetapan; (3)
Perda kombinasi pengaturan dan penetapan; (4) Peraturan
kepala daerah (gubernur atau bupati) yang bersifat
pengaturan; dan (5) Keputusan kepala daerah (cetak tebal
dari penulis).
7. Dari sisi bentuk hukumnya, produk hukum daerah yang paling
banyak setelah Putusan MK 35 adalah Perda yang bersifat
67
mana 19 di antaranya adalah Perda Kabupaten/Kota dan 8
Perda Provinsi. Sementara itu peraturan daerah yang bersifat
penetapan sebanyak 33 produk hukum daerah, terdiri dari 9
Perda Kabupaten dan 24 SK Bupati/Walikota.
8. Materi muatan produk hukum daerah mengenai masyarakat
adat dikelompokkan menjadi lima yaitu: (1) Lembaga adat,
peradilan adat dan hukum adat; (2) Keberadaan masyarakat
adat; (3) Wilayah adat dan hutan adat; (4) Desa adat; dan (5)
Lembaga pelaksana.
hukum adat, yaitu: 1) Perda Kabupaten Buton No. 4 Tahun
2015 tentang Lembaga Adat, 2) Peraturan Gubernur
Sulawesi Tengah No. 42 Tahun 2013 tentang Pedoman
Peradilan Adat di Sulawesi Tengah, dan 3) Peraturan
Daerah Kabupaten Seluma No. 4 Tahun 2014 tentang
Pemberlakuan Kompilasi Hukum Adat Kabupaten Seluma
(cetak tebal dari penulis).
2015 Tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan
Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Kalimantan Timur dan
Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba No. 9 Tahun 2015
68
11. Produk hukum mengenai wilayah dan hutan adat yaitu
Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Barat No. 9 Tahun 2014
tentang Penetapan Kawasan, Hemaq Beniung, Hutan Adat
Kekau dan Hemaq Pasoq sebagai hutan adat, dan
Keputusan Bupati Surolangun No. 357/Bunhut/2014 tentang
Pengukuhan Kawasan Hutan Adat Dusun Mengkadai Desa
Temenggung Kecamatan Limun.
Peraturan Daerah Kabupaten Rokan Hulu No. 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Desa dan Desa Adat, dan Keputusan
Bupati Jayapura No. 320 tahun 2014 tentang Pembentukan
36 Kampung Adat di Kabupaten Jayapura.
Menyimak perkembangan pengaturan kesatuan masyarakat hukum
adat tersebut menunjukkan Peraturan Gubernur merupakan instrumen
pengaturan kesatua masyarakat hukum adat. Peraturan Gubernur
Sulawesi Tengah No. 42 Tahun 2013 tentang Pedoman Peradilan Adat di
Sulawesi Tengah, merupakan contohnya.
Contoh lainnya adalah Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah
Nomor 13 Tahun 2009 tentang Tanah Adat dan Hak-hak Adat Di Atas
Tanah. Peraturan Gubernur ini diteapkan untuk melaksanakan Pasal 36
69
dan Pasal 44 Peraturan Daerah Provinsi Kaliman Tengah Nomor 16
Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kaliman Tengah.
Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 13 Tahun 2009
tersebut diubah dengan Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 4
Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Nomor 13 Tahun
2009 tentang Tanah Adat dan Hak-Hak Adat Di Atas Tanah Di Provinsi
Kalimantan Tengah (selanjutnya disebut Pergub Kalteng 13/2009).
Pergub Kalteng 13/2009 mengatur antara lain Kerapatan Mantir
Perdamaian Adat dan ketetapannya sebagai ketentuan hukum. Pasal 9
Pergub Kalteng 13/2009:
(1) Kerapatan Mantir Perdamaian Adat dan Desa/Kelurahan merupakan Lembaga Permusyawaratan Adat yang mengatur tentang kepemilikan, pengelolaan, penguasaan, pemanfaatan maupun pengalihan kepemilikan Tanah Adat dan Hak-Hak Adat Di Atas Tanah.
(2) Berita Acara Hasil Kerapatan Mantir Perdamaian Adat desa/kelurahan dan kecamatan, merupakan hasil kesepakatan musyawarah bersama seluruh anggota kerapatan yang wajib disahkan oleh Damang Kepala Adat.
(3) Ketetapan kerapatan Mantir Perdamaian Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan ketentuan hukum yang mengikat bagi setiap warga masyarakat adat Dayak.
Ketentuan lainnya mengenai Surat Keterangan Tanah Adat. Pasal 10
Pergub Kalteng 13/2009 menentukan:
(1) Pengajuan permohonan untuk memperoleh Surat Keterangan Tanah (SKT) Adat dan Hak-Hak Adat Di Atas Tanah kepada Kerapatan Mantir Perdamaian Adat.
(2) Fungsionaris Lembaga Kedamangan melakukan Inventarisasi, Pengukuran, Pematokan dan Pemetaan terhadap Tanah Adat dan Hak-Hak Adat Di Atas Tanah.
(3) Damang Kepala Adat wilayah bersangkutan menerbitkan Surat Keterangan Tanah (SKT) Adat dan Hak-Hak Adat Di Atas Tanah.
70
(4) Damang Kepala Adat dalam menetapkan Surat Keterangan Tanah (SKT) Adat dan Hak-Hak Adat Di Atas Tanah wajib mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: a. bukti tertulis dahulu (kalau ada); b. bukti penguatan fisik; c. bukti saksi; d. bukti pengakuan yang bersangkutan/Surat Pernyataan Berita
Acara Hasil Kerapatan Mantir Perdamaian Adat. (5) Setelah kesepakatan Mantir Perdamaian Adat memutuskan
bahwa pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah terpenuhi, maka Damang Kepala Adat wajib mengumumkan secara tertulis selama 21 (dua puluh satu) hari.
(6) Setelah selesai masa pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan tidak ada sanggahan/keberatan dari pihak lain, maka Damang Kepala Adat dapat menetapkan Surat Keterangan Tanah (SKT) Adat dan Hak-Hak Adat Di Atas Tanah.
Peraturan Gubernur tersebut merupakan pengaturan terhadap hak
masyarakat hukum adat atas tanah adat atau tanah ulayat yang
merupakan lingkup penghormatan kearifan lokal.
Ketiga, asas pengaturan, yakni kearifan lokal, sebagai asas
pembentukan peraturan peraturan perundang-undangan yang baik, harus
terkandung dalam suatu Peraturan Gubernur.
Secara teoritik dikenal dua jenis asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang, yang bersifat formal dan yang bersifat materiil
(I.C. van der Vlies 2005. A. Hamid S. Attamimi 1990). Asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik yang telah dipositipkan dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Asas yang berifat formal diatur
dalam Pasal 5 dan asas yang bersifat materiil diatur dalam Pasal 6.
Salah satu dari asas pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik yang bersifat materiil adalah asas bhinneka tunggal ika (Pasal 6
71
ayat (1) huruf f UU 12/2011). Asas bhinneka tunggal ika berarti materi
muatan Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan
keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah
serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
P/HUM/2013 perihal Keberatan Hak Uji Materiil Peraturan Daerah Provinsi
Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata uang Wilayah Provinsi Bali
Tahun 2009-2029:
bahwa materi muatan Peraturan Daerah dapat memuat karakteristik daerah (vide Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan) in casu mengatur tentang kawasan tempat suci, sebagai salah satu kawasan lindung setempat, yang merupakan penghormatan terhadap kearifan lokal, yang secara konstitusional diamanatkan Pasal 18 B ayat (2) juncto Pasal 28 I ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945;
Frasa “menampung kondisi khusus daerah” dalam Pasal 14 UU
12/2011 dijadikan pertimbangan hukum oleh Mahkamah Agung bahwa
Peraturan Daerah harus mengandung penghormatan terhadap kearifan
lokal. Jadi, kearifan lokal merupakan asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik, yang bersifat materiil, yakni asas
bhinneka tunggal ika. Tepatnya, asas kearifan lokal merupakan isi dari
asas bhinneka tunggal ika, dan asas bhinneka tunggal ika merupakan
bentuk dari dari asas kearifan lokal.
Telah pula dikemukakan, menurut Pasal 2 huruf l UU 32/2009 dan
penjelasannya, kearifan lokal merupakan asas dalam perlindungan dan
72
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan
nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.
Secara teoritik telah beberapa kali diungkapkan, bahwa kearifan
lokal adalah kebijaksanaan atau pengertahuan masyarakat setempat
(lokal), baik yang berasal dari generasi-generasi sebelumnya maupun dari
pengalamannya pada masa sekarang, yang dapat berbeda-beda dengan
kebijaksanaan yang dimiliki oleh masyarat di tempat lain. Jadi, kearifan
lokal pada tiap-tiap masyarakat di suatu tempat memiliki kekhasan yang
membedakan satu dengan lainnya.
dalam asas bhinneka tunggal ika yang merupakan asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik, yang bersifat materiil.
Dikaitkan dengan penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan
kearifan lokal bermakna asas kearifan lokal harus terkandung dalam
peraturan gubernur mengenai suatu materi muatan tertentu. Peraturan
Gubernur berikut merupakan contohnya.
Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial.
1. Hibah dapat diberikan kepada: a. Pemerintah Pusat; b.
Pemerintah daerah lain; c. Badan Usaha Milik Negara atau Badan
Usaha Milik Daerah; dan/atau d. Badan, Lembaga dan Organisasi
Kemasyarakatan yang berbadan Hukum Indonesia (Pasal 5).
73
dalam Pasal 5 huruf d diberikan kepada Badan dan Lembaga: ...
c. yang bersifat nirlaba, sukarela bersifat sosial kemasyarakatan
berupa kelompok masyarakat/kesatuan-kesatuan masyarakat
perkembangan masyarakat, dan keberadaannya diakui oleh
pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah melalui
pengesahan atau penetapan dari pimpinan instansi vertikal atau
pimpinanPerangkat Daerah terkait sesuai dengan kewenangannya
(Pasal 6 ayat (5) Pergub).
3. Gubernur dapat memberikan bansoskepada anggota/kelompok
masyarakat sesuai kemampuan keuangan daerah (Pasal 26 ayat
(1) Pergub).
Pasal 26 ayat (1) meliputi: a. individu, keluarga, dan/atau
masyarakat/kelompok masyarakat/masyarakat adat yang
memenuhi kebutuhan hidup minimum; dan b. Perguruan Tinggi
Negeri dan swasta yang langka peminatnya, dan bidang lain yang
berperan untuk melindungi individu, kelompok, dan/atau
masyarakat dari kemungkinan terjadinya resiko sosial.
74
pengampu kearifan lokal. Menurut Pasal 1 angka 7 PMLHK
P.34/Menlhk/Setjen/Kum.1/5/2017, Pengampu Kearifan Lokal adalah
Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat setempat yang memegang hak
ulayat atau hak tradisional dan memperoleh manfaat dari hak ulayat atau
pengelolaan dalam bentuk tanggung jawab moral, ekonomi, dan budaya.
Peraturan Gubernur Bali Nomor 2 Tahun 2017, tidak mengatur
mengenai kearifan lokal, melainkan mengatur tentang Pedoman
Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial. Namun, asas kearifan lokal
terkandung di dalamnya, yakni dalam ketentuan pemberian hibah kepada
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan pemberian bantuan sosial
(bansos) kepada masyarakat adat, yang merupakan pengampu kearifan
lokal.
Ditinjau dari sisi tanggung jawab negara dalam doktrin hak asasi
manusia, hal tersebut termasuk dalam tanggung jawab pemenuhan hak-
hak pengampu kearifan lokal.
kesimpulan:
kearifan lokal adalah berdasarkan ketentuan mengenai:
f. Peraturan Gubernur untuk melaksanakan Perda (Pasal 246 ayat
(1) UU 23/2014), bersumber kewenangan delegasi perundang-
undangan, baik pendelegasian eksplisit maupun pendelegasian
implisit.
(Pasal 246 ayat (1) UU 23/2014), bersumber kewenangan
delegasi perundang-undangan, dengan karakter pendelegasian
eksplisit.
Perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 8 ayat (1) UU
12/2011, bersumber kewenangan delegasi perundang-
undangan, baik pendelegasian eksplisit maupun pendelegasian
implisit.
ayat (1) UU 12/2011), bersumber kewenangan delegasi
perundang-undangan, dengan karakter pendelegasian implisit.
76
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah (Pasal 17 ayat
(1) UU 23/2014), bersumber kewenangan delegasi perundang-
undanga, dengan karakter pendelegasian implisit.
Kedua, proses penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan
lokal melalui tahapan:
gubernur bermuatan kearifan lokal dalam perencanaan
penyusunan Pergub;
menyusun rancangan peraturan gubernur bermuatan kearifan
lokal;
tim pembahasan yang dipimpin oleh pimpinan perangkat daerah
pemrakarsa;
pembahasan menjadi peraturan gubernur bermuatan kearifan
lokal, dan
peraturan gubernur bermuatan kearifan lokal dalam berita
daerah.
hendak disusun meliputi:
kearifan lokal, termasuk di dalamnya penghormatan,
perlindungan, dan pemenuhan hak-hak pengampu kearifan lokal;
e. pokok pengaturan tentang bentuk-bentuk kearifan lokal, yakni
pengakuan bentuk-bentuk kearifan lokal, seperti pengakuan hak
ulayat atau pengakuan hukum adat beserta pengampunya yaitu
kesatuan masyarakat hukum adat; dan
f. asas pengaturan, yakni asas kearifan lokal terlingkup dalam asas
bhinneka tunggal ika yang merupakan asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik, yang bersifat materiil,
yang harus terkandung dalam peraturan gubernur mengenai suatu
materi muatan tertentu.
mendalam perihal penyusunan peraturan gubernur bermuatan kearifan
lokal, terutama menyangkut studi praktik penyusunan penyusunan
78
yang disebutkan dalam kesimpulan.
penyusunan peraturan gubernur harus mencerminkan asas kearifan lokal,
dan lebih dari itu agar melakukan kajian dalam rangka menyusun
peraturan gubernur bermuatan kearifan lokal.
79
DAFTAR PUSTAKA
Arizona, Yance; Malik; dan Irena Lucy Ishimora, 2017, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat : Tren Produk Hukum Daerah dan Nasional Pasca Putusan MK 35/PUU-X/2012, Outlook Epistema 2017, Jakarta: Epistema Institute.
Asshiddiqie, Jimly, 2006, Perihal Undang-Undang, Jakarta: Konstitusi Press.
Attamimi, A. Hamid S., 1990, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara”, Disertasi Doktor, Jakarta: Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia.
Atmaja, Gede Marhaendra Wija 2012, “Politik Pluralisme Hukum dalam Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dengan Peraturan Daerah”, Disertasi Doktor, Malang: Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
, 2016, Politik Pluralisme Hukum: Arah Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dengan Peraturan Daerah, Denpasar: Penerbit PT Percetakan Bali.
Berlian VA, Nur & Mursalim, (Ed), 2015, Pelestarian Lingkungan Berbasis Kearifan Lokal, Jakarta: Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan KebudayaaBalitbang Kemendikbud Hartono, C.F.G. Sunaryati, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Bandung: Penerbit Alumni.
Biantoro, Sugih, 2011, “Kearifan Lokal dan Politik Identitas: Menjawab Tantangan Global? Strategi Masyarakat Adat dalam Kasus Pembalakan Hutan Di Kalimantan Barat”, dalam Ade Makmur, (Ed), 2011, Kearifan Lokal Di Tengah Modernisasi, Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.
Hamid. S.A., A, 1984, “UUD NRI 1945 – TAP MPR – Undang-undang: Kaitan Norma Hulum Ketiganya”, dalam Padmo Wahjono, ed., Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Irianto, Sulistyowati, 2009, “Memperkenalkan Studi Sosiolegal dan Implikasi Metodologisnya”, dalam Sulistyowati Irianto dan Shidarta, eds., Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ismadi, Hurip Danu, 2013, Kata Pengantar, dalam Emmed J. M. Prioharyono, (Ed), 2013, Kearifan Lokal dan Lingkungan, Jakarta,: Penerbit PT Gading Inti Prima dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
80
Kartawinata, Ade M., 2011, “Pengantar Editor Merentas Kearifan Lokal Di Tengah Modernisasi dan Tantangan Pelestarian”, dalam Ade Makmur, (Ed), 2011, Kearifan Lokal Di Tengah Modernisasi, Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.
Manan, Bagir, 1992, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Jakarta: Ind-Hill.Co.
, 2004, Hukum Positif Indonesia (Satu Kajian Teoritik), Yogyakarta: FH UII Press.
Nurrochsyam, Mikka Wildha, 2011, “Tradisi Pasola Antara Kekerasan dan Kearifan Lokal”, dalam Ade Makmur, (Ed), Kearifan Lokal Di Tengah Modernisasi, Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.
Ranggawija, Rosjidi,1998, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, Bandung: Penerbit Mandar Maju.
Sidharta, B. Arief, Ilmu Hukum Indonesia: Upaya Pengembangan Ilmu Hukum Sistematik yang Responsif terhadap Perubahan Masyarakat, Bandung: Unpar Press.
Utrecht, E., Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Edisi Fotografi
Vlies, I.C. van der, 2005, Buku Pegangan Perancang Peraturan Perundang-undangan, terjemahan, Jakarta: Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.
81