Kearifan Lokal dalam Kehidupan Berkelanjutan dan Pengelolaan Bencana

23
KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT SUNDA TERKAIT KEHIDUPAN BERKELANJUTAN DAN PENGELOLAAN BENCANA Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah ”Aspek Sosial Budaya Lokal dalam Pendidikan Luar Sekolah” Kandi Sekarwulan (0809210)

Transcript of Kearifan Lokal dalam Kehidupan Berkelanjutan dan Pengelolaan Bencana

Page 1: Kearifan Lokal dalam Kehidupan Berkelanjutan dan Pengelolaan Bencana

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT SUNDATERKAIT KEHIDUPAN BERKELANJUTAN

DAN PENGELOLAAN BENCANA

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah”Aspek Sosial Budaya Lokal dalam Pendidikan Luar Sekolah”

Kandi Sekarwulan(0809210)

Program Studi Pendidikan Luar SekolahSekolah Pasca Sarjana

Universitas Pendidikan Indonesia2009

Page 2: Kearifan Lokal dalam Kehidupan Berkelanjutan dan Pengelolaan Bencana

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kerusakan lingkungan akibat aktivitas manusia telah menjadi permasalahan sejak waktu

yang sangat lama. Keprihatinan mengenai kerusakan lingkungan diketahui telah ada di Timur

Tengah dalam tulisan-tulisan cendekiawan muslim seperti Ibnu Sina, Al Kindi, dan lain

sebagainya. Di dunia barat, berbagai permasalahan lingkungan tercatat telah ada sejak abad

ketujuh, sedangkan aturan hukum lingkungan modern pertama yang berskala besar adalah

British Alkali Act yang disahkan pada 1863 (wikipedia.org/wiki/environmentalism).

Berbagai permasalahan tersebut mendorong kemunculan gerakan-gerakan lingkungan di

seluruh dunia. Gerakan pro-lingkungan modern memperoleh pengaruh besar dari fabel

lingkungan “Silent Spring” yang ditulis oleh Rachel Carson pada 1962. Pada tahun 1972,

Persatuan Bangsa-bangsa mengesahkan Deklarasi Stockholm yang berisikan prinsip-prinsip

untuk menumbuhkan kesadaran lingkungan pada umat manusia di seluruh dunia.

Walaupun gerakan-gerakan lingkungan semakin banyak dan beragam bentuk gerakannya

(lihat wikipedia.org/wiki/list_of_environmental_organizations), permasalahan lingkungan

terus terjadi bahkan dalam tingkatan yang semakin kompleks serta mendunia. Isu lingkungan

terbesar yang menjadi perhatian seluruh dunia saat ini adalah global warming (pemanasan

global). Fenomena global warming telah diteliti dan dianalisis oleh ahli dari berbagai bidang

ilmu sejak 1970-an, dan hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan beberapa penemuan

mengejutkan yang disarikan oleh Al Gore dalam film The Inconvenient Truth (Guggenheim,

2006):

1. Global warming disebabkan oleh banyaknya gas rumah kaca yang memerangkap

panas matahari di atmosfer bumi, dan dalam beberapa dekade terakhir jumlah gas

rumah kaca di atmosfer bumi meningkat sangat tajam.

2. Salah satu penyebab utama tingginya jumlah gas rumah kaca di atmosfer adalah

aktivitas sosial-ekonomi manusia.

3. Dampak global warming terhadap berbagai aspek kehidupan dunia ternyata sangat

kompleks dan mengancam kelanjutan kehidupan sosial, ekonomi serta kesejahteraan

manusia.

Penemuan terkait global warming menggugah kesadaran dunia; segala hal ternyata saling

terhubung dalam sistem yang kompleks dan saling mempengaruhi, dan aktivitas manusia

Page 3: Kearifan Lokal dalam Kehidupan Berkelanjutan dan Pengelolaan Bencana

tidak lepas dari pengaruhnya terhadap kelangsungan kehidupan di bumi (lihat Capra, 1997).

Capra menyatakan, untuk menyelesaikan permasalahan yang bersifat sistemik, penyelesaian

secara parsial tidak dapat lagi dilakukan. Manusia perlu mengarahkan usaha-usahanya untuk

mengembangkan sistem yang meliputi segala aspek kehidupan, untuk mencapai cara hidup

yang selaras dengan hukum alam serta terus lestari hingga waktu tak terbatas; dengan kata

lain “kehidupan yang berkelanjutan”.

Pengelolaan bencana merupakan bentuk respon yang penting dalam menghadapi

perubahan iklim, karena perubahan iklim menyebabkan frekuensi serta intensitas bencana

alam seperti banjir, puting beliung, angin topan, dan kebakaran hutan meningkat

(Miththapala, 2008). Bencana alam memiliki jangkauan dampak global yang mendalam

namun tidak seimbang, khususnya di Asia. Asia merupakan kawasan paling rawan terhadap

bencana, dengan separuh bencana dunia terjadi di Asia dalam 50 tahun terakhir, 67% korban

jiwa dan 28% kerugian ekonomi dunia (Reid & Simms, 2007, dalam Miththapala, 2008),

namun ironisnya sangat sedikit kerugian tersebut yang ditanggung oleh asuransi, karena

sebagian besar orang yang terkena dampak tersebut adalah kaum marginal serta miskin.

Dalam menemukan strategi yang efektif untuk mewujudkan kehidupan berkelanjutan dan

pengelolaan bencana, kita dapat menengok kembali kearifan lokal yang ada di masyarakat.

Komunitas-komunitas adat yang mampu mempertahankan cara hidupnya selama ribuan

tahun, merupakan bukti empirik yang kuat bahwa cara hidup berkelanjutan dapat dan telah

dipraktekkan. Bukti kearifan lokal mengenai pengelolaan bencana juga tampak pada berbagai

pemberitaan terkait gempa di Indonesia, seperti bangunan tradisional yang ternyata tahan

gempa (lihat artikel berita di http://berita.liputan6.com/daerah/200909).

Masyarakat Sunda termasuk masyarakat yang melestarikan kebudayaannya dengan cukup

baik, bahkan beberapa praktek kebudayaan paling awal pun masih dipertahankan hingga saat

ini dalam kampung-kampung adat. Sangatlah penting untuk menggali, mendokumentasikan

dan melestarikan berbagai kearifan lokal dari masyarakat Sunda sebelum punah tergilas

jaman. Makalah ini merupakan usaha untuk mendokumentasikan beberapa kearifan lokal

masyarakat Sunda, khususnya yang terkait dengan kehidupan berkelanjutan dan pengelolaan

bencana.

Page 4: Kearifan Lokal dalam Kehidupan Berkelanjutan dan Pengelolaan Bencana

1.2 Rumusan Masalah

Permasalahan yang akan diselidiki dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Apa sajakah kearifan lokal masyarakat Sunda yang mendukung kehidupan

berkelanjutan?

2. Apa sajakah kearifan lokal masyarakat Sunda yang sesuai dengan prinsip-prinsip

pengelolaan bencana?

1.3 Tujuan

Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui kearifan lokal masyarakat Sunda yang mendukung kehidupan

berkelanjutan.

2. Mengetahui kearifan lokal masyarakat Sunda yang sesuai dengan prinsip-prinsip

pengelolaan bencana.

Page 5: Kearifan Lokal dalam Kehidupan Berkelanjutan dan Pengelolaan Bencana

BAB II

TEORI DASAR

2.1 Sunda: Masyarakat dan Kebudayaan

“Sunda” pada awalnya merupakan istilah dari India yang merujuk pada dataran di barat

laut India Timur yang terbentang dari India sampai Arakan Yoma. Bukti tertua dari

penggunaan kata tersebut adalah prasasti Kebon Kopi dari abad 9 M. Etimologi kata Sunda

kemungkinan berasal dari “Sudda”, bahasa Hindi yang berarti daerah mandala, daerah suci

(Ekadjati, 2005); atau dari bahasa Sansekerta yang berarti cahaya, air (id.wikipedia.or/sunda).

Istilah “orang Sunda” sendiri memiliki dua makna. Makna pertama merujuk pada

kelompok etnis yang merupakan keturunan orang-orang Sundapura, ibukota kerajaan

Tarumanegara (id.wikipedia.org/sunda). Makna kedua mewakili cara pikir dan spiritualitas

Sunda, di mana “orang Sunda” merujuk pada kelompok orang yang mengaku dirinya dan

diakui orang lain sebagai orang Sunda (Warnaen dkk, 1987, dalam Ekadjati, 2005). Ini

berarti, seseorang yang sangat memahami budaya Sunda serta bertingkah laku sesuai tata cara

Sunda dapat dianggap sebagai orang Sunda, walaupun ia tidak memiliki darah keturunan

Sunda—cerminan sikap inklusif dan terbuka dalam budaya Sunda.

Kebudayaan Sunda berkembang dari kondisi geografis dan pengaruh budaya luar.

Kondisi geografis tatar Sunda, yaitu daerah berbukit/bergunung-gunung dengan banyak

badan air berupa sungai dan danau, melahirkan kebudayaan Sunda Barat dalam bentuk

kebudayaan agraris (Ekadjati, 2005). Contoh cara hidup Sunda Barat yang masih lestari

hingga saat ini dapat dilihat pada masyarakat Kanekes, atau lebih dikenal sebagai Badui.

Mereka hidup dalam kelompok-kelompok kecil dan bercocok tanam dengan sistem huma

serta ladang berpindah.

Kerajaan-kerajaan Sunda tumbuh seiring makin luasnya penggunaan sistem sawah basah

dengan sistem irigasi, yang merupakan pengaruh dari budaya Jawa. Pada awalnya

penggunaan sistem sawah basah hanya berupa anjuran dari raja, bukti-buktinya tercatat dalam

Kitab Sanghiyang Siksa Kanda Ng Karesian (Ekadjati, 2005), dan semakin tampak nyata

pada jaman kerajaan Islam. Dari sistem sawah basah ini berkembanglah budaya Sunda

Priangan di daerah kerajaan Galuh dan Pajajaran, yaitu masyarakat daerah perairan dengan

kearifan tinggi dalam memanfaatkan dan melestarikan sumber air (Wittfogel, 1936, dalam

Kunto, 1986). Jejak kebudayaan Sunda Priangan tampak pada nama-nama tempat berawalan

Ci- yang berasal dari kata “cai” atau air, juga “situ” (danau), dan “balong” (kolam).

Page 6: Kearifan Lokal dalam Kehidupan Berkelanjutan dan Pengelolaan Bencana

2.2 Pembangunan Berkelanjutan

Istilah Sustainable Development atau Pembangunan Berkelanjutan muncul pertama kali

dalam laporan World Commission on Environment and Development (1987), yang juga

dikenal sebagai Brundtland Commission, sebagai respon terhadap permasalahan lingkungan

yang semakin tampak nyata dan bersifat global, seperti pemanasan global, perubahan iklim,

penurunan kualitas lingkungan di seluruh dunia, serta penyusutan sumber daya alam.

Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai (WCED, 1987):

“Pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan kehidupan generasi di masa depan.”

Inti dari pembangunan berkelanjutan adalah “manusia yang berkelanjutan” (Steele, 2007),

yaitu individu-individu berdaya dan sejahtera dengan etika yang mendukung keberlanjutan.

Sepanjang hasil riset yang telah dilakukan penulis, terdapat dua model yang

menggambarkan konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu model ekonomi ekologis Daly

(dalam YPBB, 2008) dan model kompas keberlanjutan Atkisson (www.atkisson.com).

Model ekonomi ekologis Daly menyatakan bahwa alam adalah ultimate means atau dasar

utama bagi pembangunan, dan kualitas hidup manusia sebagai ultimate end atau tujuan utama

pembangunan. Sistem sosial dan ekonomi adalah intermediary, yaitu sarana/perantara untuk

mencapai tujuan utama, dan sistem-sistem tersebut haruslah berdasar pada alam sebagai

sumber satu-satunya kesejahteraan manusia. Konsekuensinya, semua sistem manusia harus

melestarikan alam, karena tanpa alam kehidupan manusia mustahil ada (Miththapala, 2008).

Model kompas keberlanjutan AtKisson merupakan alat untuk mengelola indikator dan

pengkajian untuk menuju pembangunan berkelanjutan. Kompas keberlanjutan AtKisson

menggunakan aspek-aspek serupa dengan Daly, yaitu alam, sistem sosial, sistem ekonomi

dan kualitas hidup, yang ditempatkan dalam empat arah mata angin dalam kompas

keberlanjutan. Dalam model AtKisson, pembangunan berkelanjutan berarti menjaga dan

memantau terus-menerus keseimbangan dalam perkembangan empat aspek tersebut. Kedua

model tersebut tampak pada gambar berikut.

Model ekonomi ekologis (kiri), model kompas keberlanjutan (kanan)

Nature

Wellbeing

EconomySociety

Ultimate means

Ultimate ends

Intermediary means

Intermediary ends

Page 7: Kearifan Lokal dalam Kehidupan Berkelanjutan dan Pengelolaan Bencana

2.4 Pengelolaan Bencana

Dalam pengelolaan bencana, perlu dibedakan antara “fenomena alam” dan “bencana

alam”. Fenomena alam adalah kondisi alamiah yang membahayakan manusia dan berpotensi

menyebabkan kerusakan. Contoh dari fenomena alam adalah kekeringan, kebakaran hutan,

puting beling, topan, gempa bumi dan tsunami. Fenomena alam seperti ini tidak bisa dicegah

tapi dapat diperkirakan (Miththapala, 2008). “Bencana alam” terjadi ketika fenomena alam

tersebut menyebabkan kematian dalam jumlah besar, bergeser atau rusaknya kehidupan

manusia dan ekosistem. Penerapan berbagai langkah perlindungan dapat mencegah atau

mengurangi dampak dari bencana, karena itu bencana dapat dikurangi atau dicegah.

Bahaya atau resiko adalah potensi suatu fenomena alam untuk menyebabkan kerusakan.

Resiko tidak sama di antara masyarakat atau individu; sebagian orang memiliki resiko yang

lebih tinggi terhadap bencana dibandingkan dengan yang lainnya. Dampaknya juga berbeda

bagi setiap orang, karena sebagian dapat menanggulanginya lebih baik dari pada yang

lainnya. Perbedaan dalam kemampuan menanggulangi ini disebut kerawanan/kerentanan.

Berbagai elemen seperti faktor sosial, lingkungan, ekonomi dan infrastruktur mempengaruhi

kemampuan masyarakat dalam menanggulangi bencana (Kasperson & Kasperson, 2001,

dalam Miththapala, 2007). Sebagai contoh, sebuah rumah dibangun pada lereng bukit. Resiko

kerusakanya adalah dari tanah longsor. Orang miskin dan terpinggirkan lebih rentan terhadap

musibah alam karena kekurangan akan kebutuhan dasar hidupnya, mereka ini rentan secara

sosial. Masyarakat yang menentang perubahan dan negatif dalam pendekatan hidupnya

rentan secara perilaku. Orang yang tinggal dekat dengan ekosistem yang rusak dan

kekurangan fungsi dasar ekisostem rentan secara lingkungan. Diagram di bawah ini

menggambarkan aspek-aspek yang mempengaruhi resiko. Kekuatan merusak dari suatu

fenomena alam adalah tetap, artinya manusia tidak dapat mengontrol fenomena alam. Karena

itu, pengurangan resiko hanya dapat dilakukan dengan mengurangi komponen kerentanan.

Page 8: Kearifan Lokal dalam Kehidupan Berkelanjutan dan Pengelolaan Bencana

Siklus pengelolaan bencana memiliki beberapa tahap yaitu (Teknik Geofisika ITB, 2009):

1. Pencegahan, yaitu usaha-usaha yang dilakukan untuk mengurangi atau meniadakan

bahaya. Pencegahan meliputi pelestarian hutan, pengerukan sungai untuk mencegah

banjir, dan lain sebagainya.

2. Mitigasi, yaitu semua usaha untuk mengurangi resiko melalui pengurangan kerentanan.

Mitigasi dapat dilakukan secara infrastruktur, misalnya membuat bangunan tahan gempa

dan tanggul penahan banjir, maupun secara non-infrastruktur misalnya dengan

mengedukasi masyarakat atau memindahkan penduduk yang tinggal di daerah rawan.

3. Persiapan atau kesiapsiagaan, meliputi pengorganisasian dan pembuatan sistem yang

cepat merespon ketika bencana terjadi. Contoh kesiapsiagaan adalah membuat

mekanisme alarm/peringatan dan mekanisme kordinasi tanggap darurat, seperti Bakornas.

4. Respon atau tanggap darurat, yaitu tindakan cepat yang dilakukan segera setelah terjadi

bencana. Kegiatan tanggap darurat meliputi evakuasi dan perawatan korban,

penggalangan dan pendistribusian bantuan, serta pencegahan dampak sampingan bencana

seperti trafficking.

5. Pemulihan yang mencakup penyembuhan mental dan pembangunan kembali

infrastruktur.

Semua tahap ini saling terkait dalam sebuah siklus sehingga satu tahap tidak akan efektif

tanpa kehadiaran yang lainnya (Miththapala, 2008). Dengan kata lain, tahapan sebelum

terjadi bencana yaitu pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan sama pentingnya dengan respon

dan pemulihan.

Page 9: Kearifan Lokal dalam Kehidupan Berkelanjutan dan Pengelolaan Bencana

BAB III

HASIL TEMUAN

3.1 Kearifan Lokal Masyarakat Sunda Terkait Kehidupan Berkelanjutan

Sisa-sisa kebudayaan masyarakat Sunda tradisional masih dapat dilihat pada kampung-

kampung adat yang tersebar di berbagai pelosok Jawa Barat. Kampung-kampung tersebut

melestarikan cara hidup yang telah berlanjut secara turun-temurun dan hampir tidak berubah

selama ribuan tahun, seperti kampung Naga, kampung Dukuh dan masyarakat Kanekes. Cara

hidup yang telah berhasil bertahan hingga ribuan tahun mengisyaratkan adanya praktek-

praktek kehidupan berkelanjutan dalam komunitas kampung adat tersebut.

Salah satu praktek hidup berkelanjutan yang tampak paling signifikan terdapat pada pola

dan pendekatan yang diterapkan dalam usaha-usaha untuk menghasilkan pangan. Pada

masyarakat Kanekes, produksi pangan dilakukan dengan cara berhuma dengan sistem ladang

berpindah yang berpola “dua taon katilu cul”, atau menggarap suatu petak lahan selama dua

tahun kemudian meninggalkannya pada tahun ketiga untuk berpindah ke lahan lain (Ekadjati,

2005). Siklus perpindahan lahan yang berulang setiap 7-9 tahun ini menunjukkan kesadaran

masyarakat Kanekes mengenai siklus pemulihan alam. Dalam ilmu ekologi, diketahui bahwa

sistem pertanian monokultur akan menghabiskan zat-zat hara dalam tanah sehingga jika

dilakukan terus-menerus, hasil pertanian akan menurun baik secara kualitas maupun

kuantitas. Meninggalkan lahan yang telah dipakai berarti bahwa tanah akan memulihkan

kesuburannya melalui proses suksesi ekologi (lihat gambar), sehingga praktek ladang

berpindah ini melestarikan kesuburan tanah sekaligus keanekaragaman hayati pada lahan

mereka.

Proses suksesi ekologi

Page 10: Kearifan Lokal dalam Kehidupan Berkelanjutan dan Pengelolaan Bencana

Dalam praktek penggarapan lahan untuk tanaman pangan, pelestarian alam juga menjadi

pusat perhatian dan diatur secata ketat. Sebagai contoh, dalam adat masyarakat Kanekes

pembukaan ladang harus dilakukan dengan kujang (golok yang kecil), ketika membuka lahan

tidak diperbolehkan menebang pohon, dan ladang tidak dicangkul sehingga mencegah erosi.

Pembasmian hama dilakukan secara alami dan ramah lingkungan, yaitu dengan

menggunakan pestisida alami campuran empat macam daun. Diketahui pula bahwa salah satu

alat musik khas Sunda, yaitu karinding, memiliki frekuensi suara yang dapat mengusir hama

padi. Fakta tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan Sunda tradisional sebenarnya sangatlah

maju dengan adanya teknologi yang ramah lingkungan.

Selain berhuma, produksi pangan pada masyarakat Sunda tradisional juga meliputi

berburu dan menangkap ikan. Dalam berburu dan menangkap ikan, masyarakat Sunda

memiliki aturan ketat yang dikaitkan dengan segi mistis/spiritualitas, misalnya masa berburu

hanya diperbolehkan tiga kali dalam setahun, juga ada pembatasan jenis serta jumlah buruan

yang boleh ditangkap (Ekadjati, 2005).

Konsekuensi dari pengelolaan produksi pangan adalah: jumlah pangan yang dihasilkan

tidak dapat menyokong populasi besar. Karena itu beberapa kampung adat memiliki aturan

pembatasan jumlah penduduk seperti 40 umpi (keluarga) pada suku Baduy Dalam atau 108

rumah di kampung Naga. Pengaturan ini menunjukkan pemahaman yang mendalam

mengenai keterbatasan carrying capacity (daya dukung) alam; cara ini juga memastikan

setiap individu dalam komunitas dapat memperoleh kesejahteraan secara merata, karena tidak

perlu ada kompetisi atas sumber daya. Dengan demikian praktek kehidupan berkelanjutan

tidak hanya mencakup aspek kelestarian alam, tetapi juga berdampak positif pada aspek

sosial-ekonomi penduduk kampung adat.

Daya dukung alam yang terbatas

Page 11: Kearifan Lokal dalam Kehidupan Berkelanjutan dan Pengelolaan Bencana

Etika lingkungan pada masyarakat Sunda serupa dengan masyarakat tradisional pada

umumnya, yaitu terintegrasi dalam bentuk kontrol sosial dan praktek spiritual. Sebagai

contoh, beberapa kampung adat (Kanekes, Dukuh) memiliki wilayah suci atau terlarang

berupa hutan atau sumber air. Pada dasarnya, tabu terhadap wilayah hutan adalah bentuk

konservasi intuitif terhadap sumber daya yang bernilai ekologi tinggi, karena umumnya hutan

yang dilindungi merupakan hutan inti yang berfungsi menyerap air serta memiliki

keanekaragaman hayati paling tinggi. Bentuk kontrol sosial lain misalnya “pacaduan” atau

larangan yang dikatakan sebagai “amanat karuhun” atau nasihat dari nenek moyang

(Kampung Dukuh). Selain itu ada pula ajaran Sunda Wiwitan yang menganjurkan untuk

“jaga rang hees tamba tunduh, nginum twak tamba hanaang, nyatu tamba ponyo, ulah urang

kajongjonan” (tidur sekadar tidak mengantuk, minum sekadar tidak haus, makan sekadar

tidak lapar, jangan berlebihan) yang tercantum dalam kitab Kanjeng Siksa Kanda Ng

Karesian.

Dalam kehidupan sehari-hari, praktek kehidupan berkelanjutan yang penting untuk dicatat

adalah pengoptimalan bahan-bahan lokal sebagai sumber sandang, pangan dan papan. Pada

masyarakat Sunda dikenal istilah “dari lahir sampai tua hidup dengan bambu", yang

mencerminkan nilai penting bahan lokal ini dalam kehidupan masyarakat Sunda. Dalam

kehidupan sehari-hari orang Sunda tradisional, kegunaan bambu sangat beraneka ragam

mulai dari pemotong ari-ari bayi, alat permainan, alat masak dan makan, bahan pembangun

rumah, perabotan, pembungkus makanan, bahkan untuk dimakan (Adhi, 2009). Demikian

pula bahan-bahan alami lokal digunakan dalam pengobatan, kesenian, serta ritual-ritual yang

terkait dengan kepercayaan masyarakat Sunda.

Selain tercermin pada kehidupan sehari-hari, produk-produk budaya dan seni masyarakat

Sunda tradisional juga menunjukkan jejak pola pikir yang berkelanjutan. Pemahaman tentang

siklus alam serta penghormatan yang tinggi terhadap alam tampak pada legenda Sangkuriang

(salah satu tafsir legenda ini adalah cerita tentang siklus air seperti dalam Kunto, 1981),

pantun Sulanjana (kisah tentang asal-usul padi), juga berbagai ritual untuk memuja padi dan

merawat ladang seperti upacara Kawalu di Kanekes yang tampak pada gambar di bawah ini.

Page 12: Kearifan Lokal dalam Kehidupan Berkelanjutan dan Pengelolaan Bencana

3.2 Kearifan Lokal Masyarakat Sunda Terkait Pengelolaan Bencana

Kearifan lokal masyarakat Sunda terkait pengelolaan bencana mulai mendapatkan

perhatian pada peristiwa gempa Jawa Barat pada tanggal 2 September 2009 (lihat

http://www.iwanfals.co.id/news, http://berita.liputan6.com/daerah/200909/), karena dalam

gempa tersebut kerusakan pada rumah-rumah modern sangat besar dan parah, sedangkan

rumah di kampung-kampung adat (Kanekes, Kampung Naga, Kampung Dukuh) relatif tidak

terkena dampak. Hal tersebut dikarenakan konstruksi rumah adat pada umumnya berbahan

kayu/bambu yang lebih lentur dan ringan daripada bata/beton, sambungan antar kolomnya

hanya diikat/dipasak (sistem paseuk), begitu pula antara fondasi dan bagian atas rumah

terpisah, atau rumah dibangun sebagai rumah panggung. Karakteristik struktur semacam ini

ternyata memberikan kelenturan pada seluruh bangunan sehingga dapat bertahan pada saat

gempa. Kearifan tersebut merupakan kontribusi penting untuk pengelolaan bencana,

khususnya dalam hal mitigasi infrastruktur atau pembangunan rumah tahan gempa yang

berbiaya rendah.

Analisis terhadap tata ruang kampung adat menunjukkan, bentuk pengaturan rumah dan

jalan mempermudah proses evakuasi ketika terjadi bencana. Sebagai contoh di kampung

Naga, rumah-rumah dibangun berjejer searah menghadap jalan utama, yang salah satu

ujungnya menuju ke lapangan balai desa dan ujung lainnya menuju keluar desa. Dengan tata

ruang seperti ini, jika terjadi bencana seperti kebakaran atau gempa, evakuasi penduduk dapat

dilakukan dengan cepat dan tempat yang aman lebih mudah dicapai. Bentuk tata ruang ini

pun merupakan kearifan yang dapat diadaptasi dalam mitigasi untuk merancang tata ruang

tanggap bencana.

Dalam hal kesiapsiagaan bencana, dunia modern juga dapat belajar dari kearifan

masyarakat Sunda tradisional. Dalam komunitas-komunitas masyarakat Sunda dikenal

mekanisme alarm yang sederhana namun efektif dalam bentuk bunyi-bunyian. Berbagai jenis

sumber bunyi dan kode suara mewakili pesan-pesan yang berbeda, misalnya bunyi alat musik

“bareng” dan “goong” merupakan pertanda untuk berkumpul. Sedangkan bunyi kentongan

memiliki berbagai makna dari pemberitahuan kematian, memanggil pamong desa, hingga

peringatan tentang adanya musibah, tergantung cara memukul kentongan tersebut (Ekadjati,

2005). Dengan demikian ketika terjadi bencana, proses pengorganisasian penduduk dapat

segera dilakukan. Dalam komunitas-komunitas modern, sistem komunikasi semacam ini

semakin berkurang, atau digantikan dengan peralatan elektronik yang tak berfungsi di saat

bencana. Mekanisme komunikasi tradisional ini dapat kembali diperkenalkan di dunia

modern untuk peningkatan kesiapsiagaan terhadap bencana.

Page 13: Kearifan Lokal dalam Kehidupan Berkelanjutan dan Pengelolaan Bencana

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan teori dan hasil temuan, diperoleh kesimpulan dan saran sebagai berikut:

1. Praktek kehidupan berkelanjutan pada masyarakat Sunda merupakan suatu tata cara

hidup holistik yang meliputi aspek kognitif (pemahaman mengenai sistem dan cara

kerja alam), afektif (rasa hormat dan apresiasi yang tinggi terhadap alam), dan

psikomotorik (keterampilan untuk hidup selaras dengan alam).

2. Kehidupan berkelanjutan juga menjadi bagian dari spiritualitas masyarakat, tergambar

dalam bentuk kepercayaan serta ritual adat.

3. Aspek-aspek kehidupan berkelanjutan pada masyarakat Sunda telah terintegrasi dalam

pola pengelolaan sumber daya alam, gaya hidup, etika sosial dan berbagai produk

budaya mereka. Kearifan ini dapat menjadi acuan penting bagi dunia modern untuk

mengembangkan strategi hidup yang lebih berkelanjutan.

4. Praktek pengelolaan bencana telah dilakukan oleh masyarakat Sunda secara intuitif,

mencakup segi pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan dalam tingkatan komunitas.

5. Mekanisme alarm, tata ruang dan infrastruktur bangunan tradisional Sunda

merupakan masukan penting untuk dipelajari serta dikembangkan dalam pengelolaan

bencana di dunia modern.

Page 14: Kearifan Lokal dalam Kehidupan Berkelanjutan dan Pengelolaan Bencana

DAFTAR PUSTAKA ACUAN

Acuan Buku dan Artikel

Capra, F. (1997) Jaring-jaring Kehidupan. Yogyakarta: Penerbit Bentang.

Ekadjati, E.S. (2005) Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah. Jakarta: Pustaka Jaya.

Kunto, H. (1986) Semerbak Bunga di Bandung Raya. Bandung: PT Granesia.

Miththapala, S. (2008) Pengintegrasian Perlindungan Lingkungan dalam Pengelolaan

Bencana. Colombo: International Union for Conservation of Nature and Natural

Resources.

WCED – World Commission of Environment and Development (1987) Our Common

Future: Report of World Commission in Environment and Development.

Acuan Lain-lain

Film: An Inconvenient Truth (Guggenheim, 2006)

Slide: ESD Brief Overview (Steele, 2007)

Slide: Kompas Keberlanjutan (YPBB, 2008)

Slide: Pengelolaan Bencana (Teknik Geofisika ITB, 2009)

Website: berita.liputan6.com/daerah/200909

Website: id.wikipedia.org/sunda

Website: wikipedia.org/wiki/environmentalism

Website: wikipedia.org/wiki/list_of_environmental_organizations

Website: www.atkisson.com

Website: http://www.iwanfals.co.id/news