Kaum Marginal Tetap Marginal20040610

24
1 Kaum Marginal Tetap Marginal Dalam Agenda Pemilu 2004 Draft Hasil Survei Terhadap Kaum Marjinal di Enam Kota (Jakarta, Semarang, Surabaya, Bandung, Makassar dan Medan) Dipresentasikan pada: Lokakarya Hasil Penelitian “Kebutuhan Media dan Publik dalam Pemilu 2004” Koalisi Media Untuk Pemilu 2004 Hotel Graha Santika Jakarta Kamis, 16 Oktober 2003 Tim Peneliti: Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta Lembaga Studi Pers Indonesia (LéSPI) Semarang Lembaga Studi Perubahan Sosial (LSPS) Surabaya Kajian Informasi Pendidikan dan Penerbitan Sumatera (KIPPAS) Medan Lembaga Studi Informasi dan Media Massa (ëLSIM) Makassar Radio Maraghita Bandung

description

bacaan buat aktivis LSm

Transcript of Kaum Marginal Tetap Marginal20040610

Page 1: Kaum Marginal Tetap Marginal20040610

1

Kaum Marginal Tetap Marginal Dalam Agenda Pemilu 2004

Draft Hasil Survei Terhadap Kaum Marjinal di Enam Kota

(Jakarta, Semarang, Surabaya, Bandung, Makassar dan Medan)

Dipresentasikan pada: Lokakarya Hasil Penelitian

“Kebutuhan Media dan Publik dalam Pemilu 2004”

Koalisi Media Untuk Pemilu 2004

Hotel Graha Santika Jakarta Kamis, 16 Oktober 2003

Tim Peneliti: Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta

Lembaga Studi Pers Indonesia (LéSPI) Semarang Lembaga Studi Perubahan Sosial (LSPS) Surabaya

Kajian Informasi Pendidikan dan Penerbitan Sumatera (KIPPAS) Medan Lembaga Studi Informasi dan Media Massa (ëLSIM) Makassar

Radio Maraghita Bandung

Page 2: Kaum Marginal Tetap Marginal20040610

2

KAUM MARGINAL TETAP MARGINAL DALAM AGENDA PEMILU 2004

(Hasil Survey Terhadap Kaum Marjinal di Enam Kota)

Berbicara tentang kelompok marginal dalam kehidupan politik di Indonesia.

sesungguhnya sang dilematis. Persoalannya adalah siapakah kelompok marginal itu? Dalam

sistem dan iklim politik yang masih berkarakter elitis. patriarkhis dan feodal, sulit untuk

mengidentifikasi kelompok mana yang bisa disebut Sebagai kelompok marginal. Beberapa

analisis melihat. kultur dan struktur politik warisan Orde Baru menyebabkan marginalisasi

terhadap masyarakat bawah secara keseluruhan dalam beherapa dekade terakhir. Maka dari

itu, dalam sistem politik yang represif dan top down. bisa dikatakan bahwa mayoritas

bangsa Indonesia secara politik sesungguhnya adalah mayoritas yang marginal.

Bagaimana kondisi-kondisi kelompok marginal itu menjelang Pemilu 2004? Secara

umum, kelompok marginat itu dapat dibedakan dalam beberapa kategori: kelompok

pemilih pemula. kelompok buruh, kelompok petani, eks tapol, perempuan, lanjut usia dan

lain-lain. Sebagai kelompok marginal, mereka mempunyai problem sendiri-sendiri

berkaitan dengan hak-hak politik sebagai warga negara. Namun ada juga problem-problem

umum yang ada pada setiap kelompok. Menjelang Pemilu 2004, menarik untuk diamati

problem-problem apa saja yang mereka hadapi sebagai pemegang hak pilih dan hak untuk

memilih. Apakah telah terjadi pergeseran-pergeseran yang positip dibandingkan dengan

pemilu-pemilu sebelumnya? Apakah terjadi perbaikan perbaikan berkaitan dengan akses

dan kapabilitas mereka dalam pemilu? Apakah ada upaya-upaya pemberdayaan terhadap

kelompok yang secara politik selama ini cukup terpinggirkan itu? Apakah ada perhatian

memadai dan kalangan pemerintah dan unsur- unsur civil society terhadap nasib mereka?

Koalisi NGO Media Untuk Pemilu 2004 mengadakan need assessment untuk

menjawah pertanyaan-pertanyaan tersebut. Need Assessment mengambil sampel tiga

kelompok: buruh, perempuan dan penyandang cacat. Assessment dilakukan di 6 kota:

Medan, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya dan Makassar, pada pertengahan September

hingga awal Okiober 2003.

Page 3: Kaum Marginal Tetap Marginal20040610

3

I. Metodologi

Metode yang digunakan adalab Focus Group Discussion (FGD) dan Wawancara

Mendalam (Indepth Interview) terhadap sumber-sumber kunci untuk masing-masing

kelompok. FGD diselenggarakan dengan mengundang pihak-pihak terkait, sementara

Wawancata Mendalam dilakukan untuk mengklarisfikasi dan melengkapi kesimpulan-

kesimpulan FGD. Waktu, tempat dan narasumber FGD dan Wawancara Mendalam ada

dalam lampiran.

II. Temuan Umum:

Hingga satu tahun menjelang pelaksanaan Pemilu 2004, tidak terjadi perubahan-

perubahan signifikan dalam hal akses dan kapasitas politik kelompok marginal. Belum ada

upaya-upaya serius untuk memberikan pendidikan politik terhadap mereka. Tidak ada good

will dan pemerintah dan Parpol dalam hal ini. Sementara advokasi dan pemberdayaan yang

dilakukan unsur-unsur NGO lebih pada isu-isu sektoral non politik. Misalnya saja pada isu

perlindungan HAM pada buruh migran, pembentukan serikat pekerja, kenaikan upah

minimum untuk isu-isu buruh lokal. Pada isu-isu perempuan, dimensi-dimensi politik

memang cukup terangkat, misalnya dengan munculnya prinsip kuota perempuan dalam UU

Pemilu yang baru. Namun secara keseluruhan pendidikan dan pemberdayaan politik

terhadap perempuan masib kurang. Fokus advokasi NGO masih berkutat pada isu-isu

eksistensi dalam arti yang sangat umum.

Dan sisi pemerintah, relatif tidak ada kebijakan dan langkah-langkah yang

beremphati terhadap nasib kaum marginal. Tidak ada perubahan-perubahan yang secara

signifikans menguntungkan posisi politik kelompok marginal. Akibatnya, kelompok

marginal tidak begitu antusias menghadapi Pemilu 2004. Mereka bahkan cenderung apatis

dan antipati. Belajar dan pengalaman yang sudah-sudah, mereka menjadi sadar bahwa

pemilu tidak akan berpengaruh apapun terhadap nasib mereka. Mereka tidak mempunyai

sense of belonging dalam hal ni.

Page 4: Kaum Marginal Tetap Marginal20040610

4

Bagaimana dengan peran media? Praktik jurnalistik day to day tidak cukup

memberikan kontribusi yang signifikan terhadap eksistensi politik kelompok marginal.

Kelompok-kelompok marginal, media pertama-tama lebih berperan sebagai konsumen dan

dinamika isu dan peristiwa yang terjadi pada diri mereka. Media tak pernah menunjukkan

agenda yang jelas untuk membantu kelompok marginal untuk menegakkan eksistensinya.

Kepentingan dan prioritas utama media berkaitan dengan posisi kelompok marginal adalah

pada isu dan peristiwa yang punya magnitude besar dan mempunyai nilai berita. Bukan

pada aspek-aspek pemberdayaan.

III. Hasil Assessment Kelompok Buruk:

Kelompok buruh boleh dikata merupakan kelompok mayoritas dalam struktur sosial

di Indonesia, khususnya di kalangan masyarakat urban perkotaan. Namun mereka adalah

mayoritas yang tertindas dan tak berdaya.

Secara umum, kondisi kelompok pekerja di Indonesia masih memprihatinkan.

Dengan upah yang kurang menunjang untuk hidup sehari-hari, maka orientasi hidup

mereka adalah bagaimana bisa bertahan hidup. Pada titik inilah muncul sikap yang

cenderung anti-politik. Politik dianggap sebagat urusan, atau mainan kelompok elit

terpelajar. Kelompok buruh hanya memahami pemilu sebagai pesta, hura-hura limatahunan.

Inilah problem internal pada diri kelompok buruh.

a. Kendala-Kendala Pada Pemilu Sebelumnya

Problem eksternal ada beberapa macam. Pertama, tidak ada proses pemberdayaan

terhadap mereka. Pemerintah boleh dikata hampir sama sekali tidak melakukan pendidikan

politik terhadap ,mereka. Mereka adalah representasi paling kuat dan korban politik “massa

mengmbang”. Pasca 1998, pendidikan politik diperoleh secara tak langsung melalui media

massa. Akan tetapi, tidak memadai untuk proses pemberdayaan terhadap suatu kelompok

yang selama berpuluh-puluh tahun mengalami berbagai kekerasan struktural Orde Baru.

Page 5: Kaum Marginal Tetap Marginal20040610

5

Media Massa berperan dalam menumbuhkan kesadaran politik kelompok buruh, namun

dibutuhkan agenda yang jelas untuk meningkatkannya menjadi sebuah pemberdayaan yang

lebih signifikan.

Faktor eksternal yang lain adalah, secara struktural kelompok buruh adalah

kelompok yang tak berdaya. Mereka dihadapkan pada gaji yang rendah, fasilitas yang

tidak memadai, peraturan perusahaan yang cenderung tidak manusiawi dan sikap

manajemen yang tidak mengenal kompromi. Manajemen perusahaan tidak memberikan

keleluasaan untuk mendirikan serikat buruh. apalagi untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan

sosial atau politik. Dalani wawancara mendalam dengan aktivis pendamping buruh di

Semarang juga terungkap titik rentan kaum buruh. Mereka tidak saja lemah dan segi

kualitas SDM, namun juga rendah tingkat solidaritasnya dengan sesama buruh.

Belajar dari pengalaman 1997 dan 1999, banyak perusahaan melakukan sinergi

partai tertentu. Karena jajaran manajemen dekat dengan Golkar, maka karyawan-

karyawan juga dimobilisasi untuk ikul kampaye. Untuk ikut kampanye Golkar. jika perlu

karyawan diliburkan. Tapi untuk ikut kampanye Parpol lain, misalnya seperti PDI,

karyawan dipersulit dengan harus mengurus izin yang berbelit-belit. Di Makassar

ditemukan kasus pengumpulan fotocopy KTP dan tandatangan buruh oleh pihak

manajemen salah satu perusahaan makanan ringan untuk mendukung partai politik dan

kandidat politik tertentu menjelang Pemilu 2004.

Pada Pemilu 1997, pelaksanaan coblosan banyak dilakukan pada hari kerja di

perusahaan masing-masing. Terjadilah berbagai bentuk rekayasa untuk memobilisasi suara

untuk mendukung Golkar. Di bilik suara, proses pencoblosan diatur sedemikian rupa

sehingga memaksa karyawan untuk memilih Golkar. Jika ada yang memilih partai lain,

akan ketahuan dan diberi peringatan keras, bahkan sanksi pemecatan.

Pelaksanaan Pemilu 1999 relatif lebih baik. Paksaan-paksaan untuk memilih Golkar

di perusahaan-perusahaan berkurang drastis. Kalangan bunuh mendapatkan kebebasan

untuk memilih 48 Parpol kontestan pemilu. Namun pola pilihan kalangan buruh pada

umumnya adalah bersifat primordial. Jika mereka dan kalangan NU, maka mereka akan

cenderung memilih PKB. jika dari kalangan Muhammadiyah akan cenderung memilih

PAN. jika abangan akan memilih PDIP.

Page 6: Kaum Marginal Tetap Marginal20040610

6

Realitas yang belum banyak dibicarakan dalam hal ini adalah bagaimana nasib hak

pilih para buruh migran di berbagai negara. Hal ini sekali lagi menunjukkan betapa

buruknya kinerja pemerintah dalam melindungi warga negaranya. Pemeintah sejak

beberapa tahun lalu melegalisasi dan bahkan mendukung proyek pengiriman tenaga kerja,

khususnya wanita ke berhagai negara. Belakangan bahkan ini menjadi program resmi

pemerintah. Namun pemerintah kurang memikirkan benar bagaimana perlindungan

terhadap nasib para buruh migran itu. Tidak terkecuali adalah bagaimana melindungi hak-

hak politiknya berkaitan dengan momentum pemilu.

Pengalaman Pemilu 1997 dan 1999 menunjukkan bahwa partai-partai melakukan

praktek “jemput bola” untuk memperebutkan suara para buruh migran. Praktek politik

uang dilakukan untuk menjaring suara mereka. Seperti yang terjadi pada Pemilu 1999, di

Malaysia. Khususnya di negara bagian Johor, terjadi mobilisasi massa oleh PDIP dengan

membagi-bagikan uang. Satu suara dihargai 50 ringgit Malaysia. Pada Pemilu 1997. Golkar

melakukan mobilisasi suara buruh migran di Singapura. Caranya dengan membagi-bagi

hadiah (baju, buku, uang saku) kepada buruh migran. Pihak KBRI turut berperan dalam hal

ini. dengan memaksa para majikan untuk mengijinkan para buruh migran mengikiiti proses

kampanye dan pencoblosan. Bisa keluar rumah adalah sesuatu yang mahal bagi buruh

migran. Namun pada masa pemilu, justru sebaliknya, majikan memberi ijin kepada mereka

untuk libur, bahkan menyerahkan paspor yang biasanya dipegang majikan.

Pihak KBRI melakukan berbagai cara agar para buruh migran memberikan

suaranya ke Golkar. Dari usaha-usaha persuasi hingga paksaan-paksaan diserati ancaman.

Misalnya saja jika ada buruh migran yang terbukti memilih Parpol lain, maka KBRI

mengancam akan mempersulit mereka jika berurusan dengan KBRI. Proses pemulangan

akan dipersulit, dan tidak akan mendapat perlindungan jika terjadi masalah dengan

majikan. Dan ketika saat pencoblosan tiba, rekayasa di bilik suara juga terjadi. Bukan

hanya KBRI Singapura yang melakukan hal ini.namun juga KBRI di Taiwan, Hongkong

dan Malaysia pada Pemilu 1997. Untuk TKW di Arab Saudi, aksi jemput bola dilakukan

oleh PPP.

Bukan hanya KBRI yang herperan merenggut kebebasan para buruh migran

sebagai pemegang hak suara. Namun juga pihak departemen tenaga kerja dan imigrasi.

Page 7: Kaum Marginal Tetap Marginal20040610

7

Ketika calon buruh migran mengurus paspor dan perijinan yang lain sebelum berangkat ke

luar negeri, tekanan-tekanan untuk memilih Golkar sudah dilakukan. Para calon buruh

migran dipaksa untuk menandatangai “surat kesetiaan” terhdap Golkar. Jika tidak, mereka

akan dipersulit dalam mengurus paspor dan lain-lain.

Pendek kata. sejak dan proses pemberangkatan. para buruh migran menjadi korban

proses pemasungan hak-hak politik. Dan anehnya. pemerintah menjadi bagian dan

rekayasa-rekayasa yang terjadi. Alih-alih memberikan pendidikan politik yang memadai

bagi para buruh migran.

Sejak Pemilu 1999, para buruh migran menjadi rebutan antar Parpol. Hal ini

menimbulkan sejumlah dampak buruk. Misalnya saja yang terjadi Hongkong hingga saat

ini. TKW dan TKI terbagi-bagi menurut daerah asal yang juga menunjukkan afiliasi

politik. Mereka yang berasal dan daerah berhasis PDIP seperti Madiun Jawa Timur.

menggabungkna diri dalam satu blok. Mereka mempunyai tempat berkumpul sendiri.

Demikian juga dengan mereka yang berasal dan daerah berhasis NU/PKB atau Golkar.

Perkubuan ini adalah berkat ulah tidak bertanggung jawab kalangan Parpol pada Pemilu

1999. Hingga saat ini perkubuan ini sering meningkat menjadi perseteruan fisik.

b. Harapan Dan Proyeksi Menjelang Pemilu 2004

Bagaimana kondisi menjelang Pemilu 2004? Kalangan buruh lokal, sudah banyak

didekati kalangan Parpol. Misalnya yang terjadi di kantong buruh di wilayah Bogor, sentul

dan sekitarnya, unsur-unsur PKB secara intensif melakukan pendekatan. PAN, PDIP,

Golkar dan PKS juga aktif menjalin pendekatan di wilayah Jabotabek. Ngadina, seorang

buruh di Tangerang yang menjadi menjadi simbol perlawanan buruh terhadap majikan,

pernah hendak dicalonkan sebagai calon anggota DPR oleh unsur-unsur PAN. Ketua

Umum PAN Amien Rais, pernah melakukan kunjungan ke sekretariat FOBMI. Pendek

kata, begitu muncul kasus buruh yang menjadi besar karena pemberitaan media. simpati

dan kalangan Parpol akan segera berdatangan. Kalangan Parpol juga berlomba lomba

menunjukkan perhatiannya kepada nasib para buruh migran, sebagaimana diberitakan

media.

Page 8: Kaum Marginal Tetap Marginal20040610

8

Namun bagaimana dengan sikap kalangan buruh sendiri? Suatu hal yang menarik

adalah, di kalangan buruh sendiri sudah mulai berkembang resistensi terhadap Parpol dan

pemilu. Paling tidak hal ini terlihat di kalangan buruh yang mengorganisir diri dalam

wadah-wadah tertentu, dan yang mempunyai akses ke komunitas NGO.

Muncul kesadaran, kalangan Parpol sebenannya tidak mempunyai perhatian yang

signifikan tehadap nasib buruh terutama yang dikaitkan dengan aspirasi politiknya.

Kalangan buruh merasa bahwa selama ini mereka telah dimanfaatkan oleh Parpol.

Kekecewaan terbesar adalah terhadap Golkar, karena partai inilah yang selama orde baru

terus-menerus memobilisasi suara kaum buruh. Untuk mengangkat harkat dan nasib

mereka, pada awalnya kalangan buruh banyak berharap pada Golkar, karena janji-janji

kampanye selalu dipenuhi dengan janj untuk memperbaiki kesejahteraan kelompok buruh.

Namun ke depan mereka tidak akan berharap kepada siapapun, kecuali pada diri mereka

sendiri. Demikian juga dengan Pemilu 2004, kelompok-kelompok buruh di Jabotabek

melihat tidak ada Parpol yang benar-benar bisa diharapkan dapat mengangkat aspirasi

kelompok buruh.

Kekecewaan besar juga terjadi terhadap PDIP. Pada Pemilu 1999, banyak

kalangan buruh yang menyalurkan suaranya kepada PDIP karena mereka percaya benar

bahwa Parpol ini adalah partainya “wong cilik”. Mereka terbuai oleh janji-janji kampanye

PDIP yang serba mengundang harapan bagi kaum miskin. tanpa terkecuali kaum buruh.

Namun komunitas buruh pada akhirnya merasa dikhianati. Tidak ada janji-janji kampanye

yang direalisasikan. Lebih mengecewakan lagi, sikap-sikap politik Megawati sangat tidak

aspiratif terhadap kelompok buruh. Kekecewaan itu mencapai puncaknya ketika

pemerintahan Megawati menandatangani UU PBHI yang bukan hanya merugikan. namun

juga sangat berbahaya bagi posisi kelompok buruh. sekali buat buruh. Dengan munculnya

undang-udang tersebut. semakin menipislah perlindungan hukum terhadap hak-hak dan

nasib kelompok buruh.

Dihadapkan pada tekanan demi tekanan, kekecewaan demi kekecewaan, pada

akhirnya muncul resistensi di kalangan kelompok buruh. Bahkan, beberapa komunitas

buruh berhasil merumuskan dalam bentuk seperti apakah resistensi itu akan dilakukan.

Dalam diskusi yang berlangsung, beberapa aktivis buruh melihat. Pemilu 2004 adalah

Page 9: Kaum Marginal Tetap Marginal20040610

9

momen yang tepat bagi buruh lokal maupun buruh migran untuk melakukan bargain

terhadap kekuatan-kekualan Parpol dan pemerintah. Di kalangan buruh migran di

Hongkong misalnya, mereka akan menerima saja jika ada Parpol yang bagi-bagi uang atau

hadiah. Mereka juga akan hadir jika Parpol-Parpol melakukan kampanye dengan

menghadirkan artis-artis terkenal. Namun mereka sepakat bahwa pada saat nanti di bilik

suara. mereka akan memiIih Parpol sesuai dengan garis ideologi atau latar-belakang

masing-masing. Jika yang NU, maka dia akan memilih PKB, jika abangan akan memilih

PDIP atau Golkar dan seterusnya. Mereka juga sepakat akan memboikot pemilu jika ada

unsur-unsur paksaan dari KBRI. Keberadaan LSM buruh di sana, memudahkan kalangan

buruh migran untuk bergerak secara terorganisir. Aksi Boikot pemilu paling tidak telah

dideklarasikan oleh FOBMI (Federasi Organisasi Buruh Migran Indonesia).

Aksi boikot pemilu (baca Golput) yang lebih besar dan terorganisir tampaknya akan

terjadi di kalangan buruh lokal. Ini dianggap sebagai pilihan terbaik untuk mengeskpresikan

kekecewaan mereka terhadap Parpol dan pemerintah, serta ketidakpercayaan mereka

terhadap pemilu. KOBUMI. salah-satu organisasi buruh ternama. telah mempertimbangkan

untuk mengikuti jejak FOBMI untuk memboikot pemilu.

Mengapa harus memboikot pemilu? FOBMI menyadari bahwa golput adalah

pilihan yang bagi beberapa kalangan sangat tidak populer. Dari media massa, mereka juga

mendapatkan pemikiran bahwa boikot pemilu tidak menyelesaikan persoalan. Namun

mereka juga berpikir sebaliknya, apakah dengan ikut pemilu juga akan menyelesaikan

persoalan kaum buruh? FOBMI telah sampai pada tahap dimana tidak percaya sama sekali

terhadap institusi pemitu.

c. Persepsi dan Harapan Tentang Peran Media Massa

Dari FGD yang dilakukan di beberapa kota, ditemukan hasil bahwa komunitas

buruh tidak terlalu berharap banyak kepada media. dalam memperjuangkan dan

menyuarakan aspirasi-aspirasi mereka. Pada awalnya, kelompok buruh merasa terbantu

oleh pemberitaan-pemberitaan media terhadap kasus-kasus perburuhan. Namun pada

akhirnya mereka sadar bahwa media tidak mempunyai keseriusan untuk benar-benar

Page 10: Kaum Marginal Tetap Marginal20040610

10

memperjuangkan nasib kelompok buruh. Kelompok- kelompok buruh. khususnya di Jakarta

merasa dieksploitasi oleh pemberitaan media. Menurut mereka, minat pers semata-mata

muncul jika memang ada kasus besar dan layak untuk diberitakan. Misalnya saja jika

terjadi demonstrasi buruh. ketika terjadi konflik antara manajemen dan karyawan di

perusahaan-perusahaan besar, jika terjadi kasus kekerasan terhadap buruh dan kasus-kasus

yang dianggap “seksi” oleh media. Pendek kata, terhadap kelompok buruh, media

mengedepankan prinsip “bad news is good news”

Di Medan, kaum buruh juga mengeluhkan tentang profesionalisme pers ketika

memberitakan tentang demonstrasi yang tengah diperjuangkan kaum buruh. Jurnalis

umumnya hanya memuat peristiwa demonstrasi mereka. menulis tuntutan-tuntutan

kenaikan upah yang dituntut kaum buruh. namun tidak pernah menggali latar belakang

kenapa kaum buruh sampai menuntut kenaikan upah. Bahkan terkadang para jurnalis sering

hanya meminta pernyataan sikap yang dibuat kaum buruh. dan menjadikannya sebagai

bahan berita mereka. Sementara jurnalis televisi hanya mau mengekspose aksi demonstrasi

buruh jika massanya lebih dari 100 orang.

Oleh karena itu kaum buruh di Medan Iebih banyak berharap dengan pemberitaan

radio. Lewat radio, selain bisa mengikuti perdebatan diantara narasumber, mereka juga bisa

ikut berinteraksi lewat pesawat telpon. Sikap skeptis memang diperlihatkan kaum buruh

terhadap peran media massa. Namun demikian kaum buruh di Medan misalnya masih

berharap agar media massa melakukan kegiatan untuk mengkritisi terhadap aktivis-aktivis

Parpol, terutama calon legislatif Termasuk mengulas visi dan misi Parpol.

Persoalan posisi media dalam Pemilu juga menjadi perhatian FGD Buruh di

Semarang. Bagi kalangan buruh di kota ini. menonton TV atau mendengar radio bukanlah

untuk mendapatkan informasi, tetapi sekadar mendapatkan hiburan pelepas lelah. Informasi

tentang Pemilu biasanya mereka dapatkan melalui pola komunikasi “dari mulut ke mulut”

di antara sesama buruh. Artinya. kalau sumber informasinya salah. persepsi mereka tentang

Pemilu juga cenderung keliru.

Dari FGD itu .juga muncul kritik terhadap kebiasaan media yang orientasi

tulisannya pada kalangan menengah atas. Bahasa media tidak diarahkan pada kaum buruh,

sehingga sulit dipahami.

Page 11: Kaum Marginal Tetap Marginal20040610

11

IV. Hasil Assessment Kelompok Perempuan:

Kelompok perempuan, secara komparatif adalah kelompok mayoritas dalam

struktur sosial kita. Jumlah perempuan di Indonesia lebih besar dari laki-laki. Namun dalam

berhagai bidang terjadi kesenjangan antara peran dan eksistensi kelompok perempuan dan

kelompok laki-laki. Kelompok perempuan boleh dikata menjadi korban dan penindasan

dalam struktur dan kultur yang sangat patriakhis hingga kini. Pasca reformasi 1998,

memang upaya-upaya untuk memberdayakan kelompok perempuan semakin intensif.

Puncaknya barangkali ketika kuota 30 % terakomodasi dalam UU Pemilu yang baru.

a. Kendala-Kendala Pada Pemilu Sebelumnya:

Menurut para peserta diskusi, sejak Pemilu tahun 1955 hingga menjelang Pemilu

2004, bisa dikatakan bahwa perempuan perannya masih tetap marginal. Banyak kendala

yang membuat perempuan tidak punya ruang gerak yang memadai. salah satu kendala yang

paling penting itu adalah kultur di negeri ini yang tidak menguntungkan buat perempuan,

dalam hal ini adalah kultur patriakhis. Dalam kultur ini, perempuan ditempatkan sebagai

kalangan yang mengurusi hal-hal domestik saja, adapun peran politik dianggap wilayah

dari laki-laki, akibatnya banyak hal yang tidak menguntungkan buat perempuan. Hasil FGD

di Semarang menunjukkan bahwa keikutsertaan kaum perempuan perempuan dalam

Pemilu di wilayah Jawa Tengah sangat dipengaruhi suami atau orang tua. Hal ini tidak

lepas dan kultur Jawa yang masih menempatkan perempuan dalam hierarkhi bawah dalam

keluarga. Masyarakat secara umum juga masih kurang tertarik terhadap isu perempuan.

Pengalaman KPI (Koalisi Perempuan Indonesia) di Semarang saat mengadakan Talkshow

di radio tidak mendapat respon dan pendengar.

Di sisi lain, problem-problem di tingkat kultur juga masih bertahan. Sebagai

contoh, upaya-upaya sebagian kelompok dalam parlemen untuk mengegolkan peraturan-

peraturan yang membatasi peran perempuan dalam perempuan atas nama agama masih

terus terjadi. Selain itu, nilai-nilai budaya lokal yang bersifat patrakhis juga masih melekat

Page 12: Kaum Marginal Tetap Marginal20040610

12

dalam kehidupan masyarakat di berbagai daerah, dan benar-benar menjadi kendala bagi

gerakan emansipasi.

Akibatnya. perempuan tetap berada dalam struktur yang rendah dalam kehidupan

sosial. Perempuan tetap ditempatkan sebagai “warga kelas dua”, kecuali pada komunitas-

komunitas modern well educated tertentu. Perempuan secara umum masih terbelenggu oleh

persoalan-persoalan domestik-rumah tangga. Akibat lebih jauh. kesadaran politik wanita

masih eiidah. Sulit mengharapkan keterlibatan mereka pada kegiatan-kegiatan politik.

Hingga saat ini masih berkembang dalam masyarakat konstruksi sosial yang melihat bahwa

Pemilu, sebagaimana urusan politik yang lain, adalah urusan kaum laki-laki.

Khususnya dalam proses pemilihan umum, perempuan menghadapi berbagai

kendala, mulai dan masa kampanye sampai ke pemberian suara di TPS. Misalnya saat

pemberian suara di TPS, entah mengapa penyelenggara Pemilu tidak menyadari perempuan

itu membutuhkan keperluan tertentu yang berbeda sekali dengan kebutuhan Laki-laki.

Misalnya tidak pernah dibayangkan bahwa di antara sekian banyak perempuan itu ada yang

mengandung, ada yang menyusui, membawa bayi, dan lain-lain. Bagaimana mengantisipasi

perempuan yang sedang menyusui, sementara dia harus antri di depan bilik suara.

Bagaimana dengan perempuan yang sedang hamil, apakah dia juga harus berdiri antri

seperti yang lain? Bagaimana dengan ibu-ibu yang punya anak kecil dan tidak bisa di

tinggal di rumah, apakah ia juga harus antre?

Persoalan lain yang ditemukan adalah masih kuatnya stigmatisasi terhadap kaum

perempuan yang terjun ke politik praktis. Misalnya yang terjadi terhadap kaum perempuan

di wilayah Sumatra Utara, yang aktif menjadi pengurus partai politik, atau aktif melakukan

pendidikan-pendidikan politik. Mereka kerap dituduh sebagai Gerwani. Oleh karena itu

beberapa aktivis yang melakukan pendidikan politik sering mengalami hambatan. Misalnya

di Medan ada satu kelompok perempuan yang diusir oleh kepling (kepala lingkungan,

semacam Ketua RT di Jawa) gara-gara rumah kostnya dijadikan tempat pendidikan politik

untuk kaum buruh. Bahkan ada juga seorang aktivis perempuan yang bergabung dengan

sebuah Parpol mengalami perlakuan kekerasan (dipukul oleh suaminya sendiri). Selain

hambatan kultural. ada juga hambatan struktural, khususnya yang terjadi pada sebuah

organisasi wanita yang berafiliasi dengan agama Katholik. Pada tahun 1999, organisasi

Page 13: Kaum Marginal Tetap Marginal20040610

13

Wanita Katholik misalnya melarang keterlibatan pengurusnya untuk terjun ke partal politik.

Mereka yang hendak menjadi caleg harus keluar dan organisasi. Namun peraturan tersebut

sekarang sudah berhasil direevisi karena adanya perlawanan dan sejumlah pengurus dan

organisasi tersebut.

Persoalan-persoalan di atas membuat kaum perempuan tidak bisa secara optimal

menyalurkan suaranya. Problem politik perempuan sangat kompleks. Dari problem sebagai

pemegang hak pilih hingga problem sebagai pemegang hak untuk dipilih. Lalu bagaimana

kondisi-kondisi menjelang Pemilu 2004? Benarkah kelompok perempuan secara politik

telah berada pada posisi yang lebih baik menjelang Pemitu 2004? Hasil Assessment Koalisi

NGO Media Untuk Pemilu 2004 menunjukkan, bahwa sesungguhnya belum terjadi

perubahan-perubahan signifikans dalam posisi perempuan menjelang Pemilu 2004.

b. Harapan dan Proyeksi Menjelang Pemilu 2004:

Pasca Pemilu l999 hingga menjelang 2004, praktis tidak ada pendidikan politik

terhadap perempuan yang memadai dari pemerintah. Pemerintah tidak menunjukkan

agenda atau strategi yang jelas untuk memberdayakan perempuan secara politik. Peran-

peran pemberdayaan telah secara serius dilakukan oleh unsur-unsur NGO. Namun ini hanya

menjangkau kalangan yang terbatas. Secara umum, struktur kekuasaan juga masih sangat

patriarkhis. Ketimpangan gender masih terjadi di seluruh level dan lini pemerintahan.

Memang. muncul pemimpin-pemimpin wanita baru, namun ia bisa dianggap sebagal

sesuatu yang fenomenal.

Bagaimana dengan kuota 30% perempuan dalam UU Pemilu yang baru? Banyak

kaum perempuan yang tidak memahami apa makna kuota perempuan itu bagi mereka.

Pemahaman dan diskursus tentang kouta itu hanya muncul pada kelompok spesifik tertentu,

para aktivis dan intelektual perempuan. Dan kenyataannya. kuota 30% itu sesungguhnya

juga belum tentu akan bermakna banyak bagi emansipasi perempuan. Ada banyak

kemungkinan tafsir hukum atas klausul tersebut. Apakah itu berarti 30% dari anggota

parlemen harus perempuan. atau 30% calon anggora parlemen harus perempuan?

Page 14: Kaum Marginal Tetap Marginal20040610

14

Hasil diskusi di sejumlah kota menunjukkan. kuota 30% perempuan itu bukan

otomatis menggambarkan bahwa posisi perempuan mulai dihargai sehingga juga

mendapatkan porsi yang sama dengan laki-laki. Yang dikhawatirkan adalah kuota 30%

tersebul hanya menjadi media untuk “memperdagangkan” perempuan saja. Apakah

dengan kuota 30% ini mampu merepresentasikan tuntutan politik perempuan ataukah kuota

ini hanya sekedar menempatkan perempuan di parlemen saja? Partai-partai besar bukannya

tak mungkin asal-asalan saja dalam memenuhi kuota tersebut. tanpa memperhatikan soal

kualitas dan komitmen. Apakah ada jaminan bahwa perempuan- perempuan itu setelah

menjadi pemimpin akan menjadi peduli terhadap nasib perempuan? Jangan-jangan mereka

pada akhirnya menjadi perempuan yang berideologi laki-laki?

Komunitas aktivis perempuan, misalnya kecewa terhadap figur Megawati. Sebagai

pemimpin perempuan, dia dianggap tidak punya sifat dan kepedulian sebagai perempuan.

Megawati dianggap gagal dalam memperjuangkan hak-hak perempuan, dan tidak layak

untuk dijadikan medium kampanye bagi kaum perempuan. FGD di Jakarta melihat bahwa

unsur-unsur perempuan yang kini berada di parlemen juga tidak berdaya. Mereka tidak bisa

melakukan affirmative action karena berbagai keterbatasan yang ada. Apakah kuota

perempuan 30% akan bisa mengubah hal ini? Para peserta diskusi pesimis. Kecuali jika

kuota itu dilengkapi dengan infrastruktur yang memadai. Tanpa adanya infrastruktur

pendukung, kuota itu bisa-bisa justru menjadi pukulan balik bagi kaum perempuan.

Hal ini paralel dengan hasil FGD di Semarang. Sebagai sebuah gerakan, kaum

perempuan masih terkotak-kotak. Pengamatan peserta FGD atas kaum perempuan yang

mencalonkandiri sebagai anggota DPD di KPUD Jateng, sejumlah kaum perempuan ini

tidak mencoha melakukan koordinasi untuk kepentingan perempuan, tapi lebih berpikir

kelompoknya. 60% anggota KPUD Jawa Tengah adalah kaum perempuan. Namun mereka

belum secara optimal berhasil menyuarakan kepentingan kaum perempuan menjelang

Pemilu 2004.

c. Persepsi dan Harapan Tentang Peran Media Massa

Page 15: Kaum Marginal Tetap Marginal20040610

15

Bagaimana dengan peran media dalam memperjuangkan aspirasi kaum perempuan,

khususnya menjelang Pemilu 2004? Kesan dominan yang muncul tentang hal ini adalah.

peran media selama ini adalah lebih banyak mengeksploitasi perempuan daripada

memberdayakannya. Khususnya media televisi, lebih banyak menampilkan perempuan

sebagai obyek “eksploitasi” untuk menarik perhatian khalayak permirsa. yang celakanya

oleh media televisi notabene juga dikonstruksi sebagai kaum laki-laki. Dunia televisi

dikonstruksi sebagai dunianya laki-laki untuk melihat perempuan yang dikemas dan

disajikan.

Aneka rupa tayangan hiburan, iklan dan informasi benar-benar mengandung bias

gender. Perempuan lebih banyak ditampilkan sebagai obyek, dan laki-laki adalah

subyeknya. Dalam layar kaca televisi, perempuan pertama-tama dan terutama adalah soal

“sensualitas”. Media tak banyak dilihat dan sisi lain, meskipun pada diri perempuan ada

banyak potensi dan aspek, bukan sekedar daya tarik fisik. Para narasumber FGD dan

wawancara mendalam mengeluh, tidak banyak media yang benar-henar secara sengaja

mempunyai kepedulian terhadap persoalan gender. Dari yang sedikit itu, dan terlepas dari

soal kualitas, Kompas adalah media yang secara rutin menampilkan laporan dan tulisan

soal perempuan.

Dalam kaitan dengan media, media pun sampai sekarang belum memberi porsi

yang cukup memadai untuk pensosialisasian agenda-agenda politik buat kaum perempuan.

Belajar dan pengalaman 1999, yang dilakukan media hanya melaporkan jalannya

kampanye. Siapa saja caleg dari partai itu, apa ada perempuannya tidak diperhatikan. Tidak

pernah diberitakan misalnya apakah partai itu punya agenda yang berperpesktif perempuan,

apakah mereka memberi tempat buat caleg perempuan dan seterusnya ?

Ketika anggota dewan memutuskan untuk menolak kuota 30% untuk anggota

parlemen perempuan, misalnya, media massa kurang menjadikan masalah tersebut sebagai

bahan diskusi publik. Apalagi media massa di daerah. Wacana tentang pentingnya

affirmative action bagi kaum perempuan. sama sekali tidak memperoleh perhatian dalam

pemberitaan mereka. Nasib yang sama dirasakan peserta FGD kaum perempuan di Medan

ketika pentas politik diramaikan oleh bursa pencalonan anggota DPD (Dewan Perwakilan

Daerah). Ada sekitar 4 calon anggola DPD yang berasal dari kalangan aktivis perempuan di

Page 16: Kaum Marginal Tetap Marginal20040610

16

Sumut dari 53 calon. Namun menurut mereka, media massa seperti tak menganggap

keikutsertaan mereka. Jarang sekali aktivitas sosial dan politik serta gagasan-gagasan

mereka muncul dalam pemberitaan media massa.

Media massa lebih banyak menampilkan wawancara dengan para calon DPD yang

berasal dari kaum laki-laki. Terkait dengan harapan tentang peran yang dilakukan media

massa, muncul harapan agar media massa mampu mensosialisasikan Parpol-Parpol yang

bersikap akomodatif terhadap pemenuhan kuota perempuan. Di sisi lain media massa juga

diharapkan mampu mensosialsasikan kontrak politik-kontrak politik yang tengah dirintis

sejumlah aktivis perempuan dengan Parpol yang akomodatif terhadap persoalan afirmatif

action.

Menarik untuk disimak yang terjadi di Semarang. Informasi tentang Pemilu lebih

banyak diterima dari kegiatan PKK atau kelurahan. Peserta FGD mengakui, iklan layanan

masyarakat di TV cukup membantu pengetahuan perempuan tentang Pemilu. Sejumlah

media massa juga memang sudah memberi porsi besar terhadap pemberitaan Pemilu.

Namun. yang dimuat media itu tidak terlalu menarik bagi kaum perempuan kebanyakan.

Persoalan perempuan yang diangkat di media massa cenderung bersifat akademis dan

kurang memenuhi persoalan perempuan di tiingkat grassroot. Acara-acara talk.show di TV

cuma menghadirkan perempuan dan kalangan akademis. Pikiran mereka sangat jauh

berbeda dan sulit dicerna oleh kaum perempuan kebanyakan, terutama di daerah-daerrah.

Berpijak pada pengalaman Pemilu 1999. iklan layanan masyarakat di TV sangat

membantu. Pada Pemilu mendatang iklan-iklan layanan semacam itu sebaiknya

diperbanyak frekuensinya. Informasi Pemilu di media massa sebaiknya memperhatikan

persoalan perempuan di tingkat grassroot ini.

Unsur NGO Perempuan ini di sisi lain dihadapkan pada problem betapa mahalnya

tarif iklan dan airtime di media. Akibatnya. sulit untuk mengampanyekan pesan-pesan

gender ke kalangan lebih luas. Sementara kalangan pengelola media sendiri tidak melihat

kampanye gender sebagai prioritas. sehingga mereka tidak memberikan peluang-peluang

tertentu. Memang banyak ditemukan media-media khusus perempuan seperti Femina dan

Nova. Namun onientasi mereka lebih pada life style dan mode. Masih dibutuhkan waktu

Page 17: Kaum Marginal Tetap Marginal20040610

17

lebih panjang untuk meyakinkan para pengelola media perempuan itu untuk juga

memperhatikan aspek-aspek pemberdayaan kaum perempuan dalam media mereka

V. Hasil Assessment Kelompok Diffable:

a. Kendala-Kendala Pada Pemilu Sebelumnya

Para penyandang cacat boleh dibilang sebagai kelompok yang paling

termarginalkan dalam pelaksanaan PemiIu yang sudah-sudah. Hasil FGD di Semarang

menyimpulkan, pada level kultural, ada kendala di mana sebagian masyarakat masih

menganggap kaum diffable sebagai kaum yang tidak sehat secara jasmaniah. Padahal

kaum ini tetap sehat, hanya memiliki anggola tubuh dan kemampuan yang berbeda

(different abilities) dari warga masyarakat pada umumnya. Di masyarakat juga masih

muncul persepsi tentang kaum diffable sebagai “kaum yang bisanya meminta-minta” dan

butuh belas kasihan.

Kendala yang dialami kelompok penyandang cacat (diffable) juga terkait jenis

kecacatan seperti tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa. dan tunalaras. Secara

kultural, kelompok diffable mengalami kendala psikologis berupa rasa minder dari diri

sendiri dan/atau keluarga mereka untuk bergaul dengan orang “normal” saat di tempat

pemungutan suara. Akibatnya akses yang diperoleh juga terbatas. Sementara kendala-

kendala kultural antara lain masih adanya budaya minder di kalangan penyandang cacat

untuk menggunakan hak pilihnya. Hasil FGD di Makassar menemukan, perasaan minder

ini umumnya banyak dijumpai penyandang cacat yang ada di luar panti dan di daerah-

daerah luar kota Makassar. Mereka lebih cenderung memilih tinggal di rumah daripada

harus menanggung malu karena menjadi pusat perhatian orang banyak. Para orang tua

penyandang juga merasa malu kalau anaknya yang cacat itu dilihat orang banyak. Oleh

sebab itu para oraing tua lebih menginginkan kalau anaknya tinggal saja di rumah biar

orangtuanya saja yang wakili memilih daripada harus repot-repot datang ke TPS.

Dengan kata lain, bagi kaum diffable, datang ke tempat bilik pencoblosan saja sudah

merupakan beban tersendiri. Untuk menyalurkan suaranya, mereka butuh bantuan orang

lain, terutama keluarga. Bagi mereka yang tidak punya keluarga. akan mengalami kesulitan.

Page 18: Kaum Marginal Tetap Marginal20040610

18

Bagi kebanyakan kaum tuna netra, kerahasiaan memilih pada akhirnya menjadi sesuatu

yang hampir mustahil. Di sisi lain. kesulitan teknis dan rasa minder yang dihadapi kaum

diffable, membuat tingkat golput di kalangan ini menjadi cukup besar pada Pemilu 1999.

Hal ini paling tidak terungkap pada FGD di Semarang.

Persoalan lain, secara umum memang tidak terlihat komitmen pemerintah untuk

melindungi hak-hak penyandang cacat sebagai warga negara. Bisa dilihat misalnya, sulit

sekali menemukan sarana-sarana khusus untuk kelompok penyandang cacat. Sebagai

bagian dari publik secara keseluruhan, tampaknya eksistensi mereka tidak cukup

diperhatikan. Inilah yang membedakan Indonesia dengan negara-negara maju. Di negara-

negara maju, fasilitas-fasilitas untuk penyandang cacat bisa ditemukan di tempat-tempat

umum, semisal di trotoar, di pusat perbelanjaan dan lain-lain.

Paralel dengan kondisi umum tersebut adalah minimnya sarana bagi para

penyandang cacat untuk menampilkan aspirasi politiknya. Dari pemilu ke Pemilu, selalu

muncul kendala-kendala teknis yang itu-itu juga. Misalnya saja kendala teknis saat

pendaftaran. Dalam FGD Surabaya teridentifikasi bahwa Petugas P4B (Panitia Pendaftaran

Peserta Pemilu Berkelanjutan) ternyata jarang sekali yang mempunyai inisiatif untuk

menanyakan dengan rinci jenis kecacatan kelompok diffable yang di data. Akibatnya, tidak

teridentifikasi dengan jelas, apakah kebutaan yang dialami calon pemilih bersifat total atau

hanya low vision (masih bisa melihat tapi samar). Hal ini akan mempengaruhi data tentang

jumlah dan jenis kelompok diffable yang ada di tiap-tiap tempat pemungutan suara (TPS).

Selain itu. terjadi generalisasi pada pemilih kaum diffable, tanpa memperhatikan kondisi

spesifik masing-masing.

Dan FGD dan wawancara mendalam kelompok diffable di Semarang, juga

ditemukan beberapa kendala-kendala teknis kaum penyandang cacat pada Pemilu-Pemilu

yang lalu:

o Tidak adanya aksesbilitas di TPS, seperti TPS yang berbatu, berumput tebal, di

gedung/taman yang bertangga, bilik dan pintunya yang terlalu sempit, tidak adanya

ran atau landaian, peletakan kotak suara yang terlalu tinggi bagi pengguna kursi

roda, dll.

Page 19: Kaum Marginal Tetap Marginal20040610

19

o Tidak adanya informasi Pemilu yang dapat diakses sesuai dengan kecacatan seperti

tuna netra dalam bentuk Braille atau kaset.

o Tidak adanya akses untuk didaftar guna memberikan suara dikarenakan

eksistensinya yang tidak diakui seperti adanya isolasi, marjinalisasi, dan penolakan

sebagai akibat stigma dan budaya.

Pertanyaan yang relevans untuk diajukan dalam konteks ini adalah, apakah pemerintah dan

kalangan Parpol cukup memikirkan akses kaum penyandang cacat terhadap momentum

kampanye politik Parpol menjelang Pemilu? Apakah pemerintah dan kalangan Parpol telah

cukup memikirkan format kampanye politik yang bisa diakses oleh penyandang tuna netra

misalnya? Model-model kampanye dengan pengerahan seperti yang lazim dilakukan

parpol selama ini, sangat tidak familier bagi para penyandang cacat.

Pemerintah semestinya mempunyai kepedulian terhadap hal ini. Namun

kenyataannya, bukan hanya pemerintah yang tidak peduli, namun juga kalangan civil

society. Kalangan pers misalnya. tidak cukup memberi perhatian terhadap nasib dan

aspirasi kelompok penyandang cacat. Kelemahan media kita memang. membiarkan

pemberitaan mengalir sesuai dengan perkembangan isu dan situasi, tanpa ada desain atau

agenda untuk mengangkat dan memersoalkan sisi-sisi tertentu dari sebuah penyelenggaraan

Pemilu.

Hasil FGD di Semarang mengungkap satu fakta yang cukup menjegutkan.

Pemerintah tidak mempunyai data pasti tentang jumlah, kondisi dan tempat tinggal

penyandang cacat. Tidak pastinya data ini membuat pelaksanaan Pemilu sering

mengabaikan keberadaan mereka. Pada tingkat selanjutnya, tidak cukup terlihat kebijakan-

kebijakan untuk memberikan fasilitas memadai bagi kaum diffable untuk mengakses tahap-

tahap Pemilu. Tidak pastinya data tentang jumlah kaum diffable sering diipakai pejabat

untuk mengabaikan kepentingan mereka dalam Pemilu. Akibatnya, kebutuhan

prasarana/alat bantu Pemilu bagi kaum diffable juga terabaikan.

Bukan hanya itu, pemerintah dan pihak-pihak lain sering beranggapan bahwa

keberadaan kaum diffable hanya di panti-panti penyandang Cacat atau YPAC. Bagaimana

dengan kaum diffable di luar panti-panti tersebut. Bisa jadi mereka lebih besar, jauh lebih

Page 20: Kaum Marginal Tetap Marginal20040610

20

termarginalkan, namun tidak mendapatkan pemberdayaan sebagaimana yang diterima

rekan-rekannya di panti-panti penyandang cacat.

Hasil Assessment di Makkasar menunjukkan, pengetahuan dan kesadaran yang

cukup tentang sistem, tahapan dan mekanisme Pemilu di kalangan penyandang cacat yang

berada di luar panti, yang tinggal di wilayah pedesaan jauh lebih memprihatinkan. Mereka

umumnya hanya tahu bahwa pemilihan presiden pada Pemilu 2004 akan bersifat langsung

memilih orangnya. Hal in tentu berbeda dengan penyandang cacat yang tinggal di panti

umumnya sudah menyadari betul hak-hak politik mereka khususnya menyangkut hak

mereka Sebagai pemilih dalam Pemilu. Bahkan ada sejumlah penyandang cacat yang

tinggal di panti tersebut sudah pernah mengikuti simulasi Pemilu yang diadakan CETRO.

Meskipun mereka telah mengikuti simulasi Pemilu 2004 yang diadakan CETRO toh

mereka mengaku masih bingung karena banyaknya partai peserta Pemilu serta rumitnya

sistem dan mekanisime Pemilu itu sendiri.

Pada titik ini, sekali lagi perlu dipertanyakan sikap dan kebijakan pemerintah untuk

terhadap kaum diffable. Adalah tanggung jawab pemerintah untuk memberdayakan kaum

diffiable sebagai warga negara. Mungkin BPS bisa memulainya dengan melakukan

pendataan ulang terhadap keberadaan kaum diffable di Indonesia. Pendataan ulang ini

sangat menentukan bagi aspirasi kaum diffable pada Pemilu 2004. Terbentuknya PPUA,

sebagaimana yang terjadi di Jawa Tengah 9 Januari 2003. merupakan harapan bagi kaum

diffable di Jawa Tengah untuk mewujudkan hak pilihnya dalam Pemilu mendatang.

MelaIui PPUA diharapkan kaum diffable mendapat kesempalan mendapatkan voter

education.

Rendahnya pengetahuan dan kesadaran para penyandang cacat terhadap sistem,

tahapan dan mekanisme Pemilu antara lain disebabkan kurangnya sosialisasi tentang

sistem, tahapan dan mekanisme Pemilu yang menerpa mereka. Pemerintah dan lembaga

lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga yang memang bertanggungjawab melakukan

sosialisasi justru belum pernah secara langsung melakukan sosialisasi kepada kelompok-

kelompok penyandang cacat. Sementara pihak LSM/NGO yang melakukan sosialisasi

kepada kelompok cacat juga masih sangat terbatas yaitu baru dilakukan oleh CETRO.

Page 21: Kaum Marginal Tetap Marginal20040610

21

Itupun hanya terhatas pada penyandang cacal tertentu dalam panti dan materi hanya hanya

menyangkut prosedur memilih secara umum.

Rendahnya pengetahuan tentang Pemilu akibat kurangnya sosialisasi baik dan

instansi pemerintah/LSM maupun dan media massa sebagaimana diuraikan di atas makin

diperparah oleh kendala-kendala yang sifatnya teknis dan kultural. Kendala-kendala teknis

tersebut umumnya berdasarkan pengalaman mereka pada Pemilu-Pemilu sebelunya antara

lain: sempitnya pintu TPS sehingga sulit diakses oleh mereka yang menggunakan kursi

roda, penempatan TPS yang jauh dari lokasi tinggal/panti mereka serta tidak tersedianya

fasilitas kertas suara atau template yang khusus bagi tunanetra (seperti terjadi di Kabupaten

Maros Sulawesi Selatan).

Hasil Assessment di Medan menyimpulkan, melihat marginalisasirealitas politik

kaum diffable (tuna rungu, daksa dan wicara) dari sudut pandang yang lain. Berkaca pada

pengalaman-pengalaman Pemilu sebelum tahun 1999, mereka adalah sekedar angka

statistik yang dibutuhkan Parpol untuk kepentingan menamhah jumlah suara. Ketika rezim

Orde Baru Soeharto berkuasa, situasi represi politik dan pola hubungan paternalistik yang

terjadi pada panti-panti atau institusi pan penyandang cacat, membuat mereka harus

mematuhi pilihan politik yang digariskan pihak pengurus, dalam hal ini mereka harus

mencoblos Golkar.

Pada saat itu, khususnya yang terjadi di Sumatra Utara, hak berpolitik dipahami

semata sebagai dukungan terhadap Golkar. Dan itu artinya. ketika pemilihan berlangsung,

mencoblos tanda gambar Golkar. Realitas politik seperti itu tampaknya belum beranjak

ketika rezim Orde Baru Soeharto dilengserkan oleh kekuatan reformasi. Pada Pemilu 1999,

kaum diffable tanpa sempat memperoleh bekal pendidikan politik tentang arti penting

Pemilu, kembali memperoleh gerilya politik ala Orde Baru, namun dengan aktor-aktor yang

berbeda. Namun intinya sebenarnya sama: Pemilu = memberikan suara bagi Megawati.

Tujuan = Megawati menjadi presiden, alasan = Megawati pernah datang ke panti mereka

dan memberikan sumbangan.

b. Harapan dan Proyeksi Menjelang Pemilu 2004:

Page 22: Kaum Marginal Tetap Marginal20040610

22

Belajar dan fakta-fakta di atas, dapat dilihat betapa masih mininmnnya persiapan

don proyeksi-proyeksi buat kaum diffable mcnghadapi Pemilu 2004. Di tingkat pemahaman

tentang seluk-beluk Pemilu, kesadaran politik sebagai pemegang hak pilih (dan apalagi hak

untuk dipilih), hingga aspek-aspek teknis pelaksanaan Pemilu itu sendiri. Bagaimana

kemungkinan-kemungkinan pada Pemilu 2004? Dari hasil FGD di Medan misalnya

ditemukan bahwa sejumlah partai politik sudah mulai melakukan gerilya politik dengan

membawa mereka ke acana-acara perayaan yang diadakan partai politik. Mereka diberi

janji-janji politik jika memilih Parpol bersangkutan. Selain itu, mereka juga diberi cindera

mata berupa kaos dan uang transportasi.

Parpol-parpol yang aktif melakukan gerilya politik terhadap kaum diffable, kembali

mengulang politik gaya Orde Baru, menjadikan mereka hanya mesin pendukung suara.

Sementara pendidikan politik tentang arti Pemilu, sistem Pemilu 2004, prosedur pemilihan,

tidak disentuh sama sekali. Pemerintah, dalam hal ini KPU juga setali tiga uang.

Sosialisasi tentang Sisitem Pemilu 2004 masih dipandang kebutuhan mewah.

Sejumlah harapan memang dialamatkan ke penyelenggara Pemilu. KPU misalnya

diharapkan dapat membuat berbagai brosur tentang sistem Pemilu 2004 yang memudahkan

kaum diffable untuk memahaminya. Pada tingkat teknis pelaksanaan hari pencoblosan,

sebuah TPS (Tempat Pemungutan Suara) untuk kaum diffable diharapkan juga dapat

difasilitasi KPU. Dengan adanya TPS khusus, yang memang disediakan untuk mereka,

diharapkan berbagai perlakuan diskriminatif yang mereka terima selama ini bisa dihindari.

Misalnya bagi kaum tuna netra yang sudah lama ikut antri melakukan pencoblosan, tiba

giliran mereka, panitia tiba-tiba mengalihkan giliran tersebut kepada calon lainnya yang

normal. Sedangkan tuna wicara mengharapkan agar panitia menyediakan seorang

penterjemah yang dapat memberikan keterangan tentang mekanisme pencoblosan. Hal ini

penting. terutama bagi kaum tuna wicara yang tidak targebung dalam organisasi, tapi

hendak menggunakan hak pilihnya. Tentu saja mereka membutuhkan penjelasan dan

panitia.

Para peserta FGD di Semarang menyampaikan harapan-harapan tentang Pemilu

2004 berkaitan dengan kondisi kaum diffable sebagai berikut:

Page 23: Kaum Marginal Tetap Marginal20040610

23

Pada tiap bilik suara perlu diberi alat bantu yang memudahkan kaum Diffable

atau kalau perlu disediakan bilik akses bagi kaum Diffable.

Perlunya ketepatan dalam mendata jumlah kaum Diffable.

Pihak BPBI (Balai Penerbit Braile Indonesia) sebaiknya menerbitkan Buku UU

Pemilu yang ditulis dalam huruf Braile, walaupun dengan jumlah yang terbatas.

Mengingat jumlah kontestan Pemilu banyak, diperlukan simulasi pencoblosan

bagi kaum Diffable.

c. Persepsi dan Harapan Tentang Peran Media

Para peserta FGD dan narasumber wawancara mendalam di Medan mempunyai

pandangan yang sama bahwa Media massa tidak banyak berperan dalam sekali

memberikan informasi tentang Pemilu sesuai dengan karakteristik kecacatan fisik mereka.

Misalnya bagi kaum tuna wicara, media televisi sebagai satu-satunya media yang

diharapkan dapat memberikan informasi tentan Pemilu, kurang memperhatikan soal runing

teks. Acara-acara dialog interaktif tentang politik dan Pemilu menurut mereka mestinya

disertai dengan runing teks (dengan huruf yang cukup besar) terhadap setiap ucapan

narasumber. Mereka juga berharap, media elektronik menyediakan jasa penterjemah bahasa

isyarat. Untuk media cetak, ada harapan agar dapat memuat informasi tentang Pemilu

dalam bentuk karikatur dan komik yang mudah dipahami kaum tuna wicara yang umumnya

memiliki keterbatasan intelektual tersebut.

Kesimpulan Assessment di Medan di atas, paralel dengan hasil FGD dan

wawancara mendalam di Semarang dan Makasar. Bagi kaum diffable di Semarang,

infomasi tentang Pemilu di media massa yang dapat akseskaum diffable terasa sangat

minim. Media elektronik lebih banyak menyajikan konflik para politikus ketimbang

informasi yang berguna bagi kaum diffable. Ada slogan di kalangan kaum diffable:

“semakin membaca koran semakin bingung & semakin dengar/nonton TV semakin

bingung.” Sulit memastikan mana yang benar dan mana yang cuma gosip. Pemberitaan

tentang perlu atau tidaknya wakil Kaum Diffable di badan legislatif belum muncul di media

Page 24: Kaum Marginal Tetap Marginal20040610

24

massaKecenderungan media massa menyiarkan konflik internal partai dewasa ini justru

membingungkan Kaum Diffable untuk memilih partai. Media massa mestinya juga

memperhatikan kebutuhan informasi Kaum Diffable agar memiliki pemahaman yang benar

tentang Pemilu mendatang.

Narasumber Assesment di Makkasar mengeluhkan. media massa lebih cenderung

memberitakan masalah pertikaian dan konflik antar partai dan elit politik ketimbang sistem

dan mekanisme Pemilu itu sendiri. Kendala cacat fisik khususnya kelompok tunanetra juga

menjadi salah satu faktor yang mcnghambat mereka mengakses informasi Pemilu yang

disajikan melalui media massa cetak. Oleh karena itu kelompok tunanetra ini lebih

mengandalkan radio dan tv sebagai sumber informasi utama bagi mereka. Meskipun

demikian bukan berarti bahwa mereka tak dapat sama sekali mengakses media cetak. Di

kalangan kelompok tunanetra khususnya yang ada di panti sebenarnya ada juga media cetak

yang khsusus bagi tunanetra yaitu majalah Gema Braile. Sayangnya media ini hanya bisa

dibaca oleh mereka yang sudah bisa baca huruf Braile dan informasinya pun bersifat umum

dan nasional. Padahal mereka sangat membutuhkan informasi-informasi politik yang

bersifat lokal khususnya informasi tentang kandidat parati lokal dan DPD dari Sul-Sel.