Kata Pengantar · Palembang, Sumatera Selatan 26 ... royong, serta mengoptimalkan pemanfaatan...
Transcript of Kata Pengantar · Palembang, Sumatera Selatan 26 ... royong, serta mengoptimalkan pemanfaatan...
Kata Pengantar Upaya pembangunan akan selalu menghadapi tantangan inklusivitas. Dalam implementasi sebuah program pembangunan manusia misalnya, akan selalu menyisakan mereka yang sebenarnya berhak menerima manfaat, namun tidak tercakup di lapangan. Penyebabnya tentunya karena berbagai macam faktor, baik dari sisi ketercakupan pendataan, bahkan hingga marginalisasi aktif baik dari masyarakat setempat maupun aparatur. Ini adalah tantangan yang wajib dijawab. Sebuah tantangan yang bukan hanya menjadi tugas pemerintah, namun merupakan tugas bersama dalam sebuah kolaborasi lintas pelaku. Buku ini merupakan sebuah catatan atas upaya pembangunan manusia yang inklusif melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat. Didalamnya terdapat kesaksian-kesaksian atas proses perubahan menuju cita-cita Revolusi Mental yang berasal langsung dari lapangan. Semoga buku ini bermanfaat untuk menambah wawasan, Bapak/Ibu/Saudara. Selamat membaca! Deputi Koordinasi Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Desa dan Kawasan.
Nyoman Shuida
1
Daftar Isi
Bab 1. Menggagas Inklusi Sosial 3 Pemberdayaan Masyarakat
Menuju Gerakan Inklusi Sosial 3 Bab 2. Pembangunan Manusia Inklusif
dan Gerakan Revolusi Mental 9 Gerakan Indonesia Melayani 12 Gerakan Indonesia Tertib 13 Gerakan Indonesia Mandiri 14 Gerakan Indonesia Bersatu 15
Bab 3. Cerita Perubahan Signifikan 16 Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK)
Aceh Utara, Aceh 16 Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW)
Tangerang, Banten 19 Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA)
Banjarmasin, Kalimantan Selatan 21 Yayasan Tunas Alam Indonesia (SANTAI)
Mataram, Nusa Tenggara Barat 23 Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia
Palembang, Sumatera Selatan 26 Lembaga Kajian dan Pengembangan SDM Nahdatul Ulama Mataram, Nusa Tenggara Barat 29
Bab 4. Penutup 33
2
1
Menggagas Inklusi Sosial Pemberdayaan Masyarakat Menuju Gerakan Inklusi Sosial Penanggulangan kemiskinan merupakan salah satu upaya
yang terus dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berbagai
program dengan pendekatan yang berbeda telah
dilakukan dalam upaya untuk menurunkan jumlah
penduduk miskin. Walaupun dalam satu dekade, jumlah
penduduk miskin terus menunjukkan penurunan, namun
masih terdapat beberapa kelompok miskin dan marjinal
yang belum tersentuh dengan program pembangunan atau
mendapatkan layanan dasar. Misalnya kelompok
masyarakat adat dan kelompok difabel.
3
Belum meratanya akses layanan dasar dan keterlibatan
kelompok marjinal untuk berpartisipasi dalam
pembangunan disebabkan oleh berbagai aspek sebagai
berikut : a. Dinamika politik dan pergantian rezim pemerintahan
di Indonesia yang mempengaruhi keberlanjutan dari
program pembangunan. b. Paradigma program penanggulangan kemiskinan
yang belum menempatkan kelompok miskin sebagai
subjek pembangunan. Sehingga menyebabkan
masyarakat miskin kurang memiliki kemandirian
untuk keluar dari perangkap kemiskinan. c. Pendekatan pembangunan yang seragam dan belum
memperhatikan kebutuhan kelompok miskin dan
marjinal yang cukup beragam.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam
penanggulangan kemiskinan secara intensif dalam satu
dekade terakhir adalah menggunakan pendekatan
pemberdayaan. Pendekatan pemberdayaan memiliki
keunggulan dibandingkan dengan pendekatan lainnya,
terutama pada aspek memberdayakan kelompok miskin
sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki.
Selain itu, pemerintah lebih banyak berperan untuk
memfasilitasi dan mengawal proses perubahan yang
diinginkan oleh masyarakat. Kegiatan pemberdayaan pada
kelompok miskin yang pertama kali dilakukan oleh
pemerintah adalah melalui Program Inpres Desa
Tertinggal (IDT). Program IDT sebenarnya merupakan
4
koreksi terhadap karakter pendekatan program
penanggulangan kemiskinan yang dijalankan sebelumnya
oleh pemerintah yang bersifat karitatif. Setidaknya ada
dua pertimbangan yang mendasari pelaksanaan Program
IDT yaitu :
a. Memberikan kepercayaan kepada rakyat untuk dapat
mengelola dana yang dititipkan kepada mereka untuk
digunakan sesuai dengan keinginannya. Jumlah dana
yang diberikan oleh pemerintah untuk dikelola
masyarakat miskin secara berkelompok sebesar Rp.
20.000.000 pada 18.321 desa tertinggal di Indonesia. b. Mengurangi campur tangan pemerintah dalam
pelaksanaan program yang ditujukan untuk
masyarakat miskin. Pengalaman menunjukkan
semakin banyak campur tangan pemeritah akan
memperpanjang rantai birokrasi yang berujung pada
peningkatan biaya pembangunan. Selain itu,
meningkatnya campur tangan pemerintah dalam
suatu program, terkadang kurang memberikan ruang
untuk menumbuhkan kreatifitas masyarakat, serta
kurangnya rasa kepemilikan terhadap program
penanggulangan kemiskinan.
Inpres Desa Tertinggal tersebut merupakan tonggak
sejarah dimana untuk pertama kali Pemerintah/negara
memberikan kepercayaan kepada rakyatnya untuk
merencanakan, melaksanakan dan mengawasi program
5
yang disusun oleh masyarakat sendiri. Pemberdayaan
masyarakat memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut1 : a) Meningkatkan potensi atau daya yang ada di
masyarakat untuk bisa bersaing dengan kelompok
yang lebih maju dalam aturan dan lingkungan yang
lebih adil. Masyarakat pasti memiliki daya atau
kemampuan karena apabila masyarakat sudah tidak
memiliki daya, maka masyarakat itu sudah lama
musnah karena kalah dalam seleksi alam dan
persaingan dalam memperebutkan sumber daya
dengan kelompok lainnya; b) Pemerintah harus berpihak kepada kelompok yang
paling lemah, agar kelompok ini mampu bertahan di
dalam persaingan memperebutkan sumber daya
dengan kelompok-kelompok yang lebih mampu atau
lebih kuat; c) Pemerintah harus menciptakan suasana dan
lingkungan yang kondusif agar persaingan dalam
memperebutkan sumber daya berlaku dengan adil
dan menumbuhkembangkan kemitraan dan sinergi di
antara kelompok, sehingga yang lemah dapat
terangkat oleh kelompok yang lebih mampu.
Pada era 1990-2000, pendekatan Program IDT kemudian
diperluas pada program lain yang dimiliki pemerintah
seperti Program Pembangunan Sarana & Prasarana Dasar
Pedesaan, Program Pengembangan Kecamatan, serta
Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan. Pada
1
Ginandjar Kartasasmita et.al, Bappenas, 1992
6
kontek ini, Intervensi program penanggulangan
kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah sudah mulai
memperhatikan karakteristik kewilayahan (desa dan
kota), mengoptimalkan peran kelompok masyarakat
sebagai salah satu ciri khas budaya indonesia yaitu gotong
royong, serta mengoptimalkan pemanfaatan tenaga
pendamping/ fasilitator ditingkat masyarakat.
Walaupun program penanggulangan kemiskinan ditingkat
pedesaan dan perkotaan cukup berhasil dalam
meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana dasar
dan menurunkan jumlah penduduk miskin, namun belum
dapat menjawab beberapa karakteristik persoalan yang
dihadapi oleh masyarakat miskin dalam berbagai aspek
kehidupan. Misalnya dalam peningkatan layanan
kesehatan maupun dalam pengembangan penghidupan
masyarakat. Pada kontek itu, pada tahun 2007 kemudian
diinisasi program nasional pemberdayaan masyarakat
yang tidak hanya berorientasi pada pembangunan
infrastruktur semata, akan tetapi juga mulai
memperhatikan pembangunan manusia, pengembangan
sektor, serta secara khusus mulai memberdayakan
kelompok perempuan. Bahkan 25% dari dana bantuan
digunakan untuk mendorong kegiatan usaha ekonomi
produktif dikelola oleh perempuan. Walaupun implementasi program nasional pemberdayaan
masyarakat menuai kesuksesan dalam perbaikan
infrastruktur dasar dan penurunan jumlah penduduk
miskin, namun masih menyisakan sejumlah persoalan
yang terkait dengan kelompok rentan dan marjinal yang
7
belum dapat mengakses layanan dasar, karena berbagai
sebab. Misalnya karena mengalami penolakan dari
kelompok masyarakat, mendapatkan stigma, atau berada
pada daerah yang terisolir. Pada kontek itu, kebutuhan
untuk mendorong inklusi sosial menjadi suatu kebutuhan
untuk menjangkau kelompok rentan dan marjinal yang
sulit dalam mengakses layanan dasar dan program
pembangunan. Pada tahun 2011, pemerintah mulai
menginisiasi program inklusi sosial yang saat ini dikenal
sebagai Program Peduli yang menyasar pada sejumlah
kelompok target seperti kelompok difabel, masyarakat
adat, perempuan dan anak, maupun sejumlah kelompok
minoritas lainnya. Program Peduli memiliki tujuan untuk
mengembalikan harkat dan martabat dari kelompok
marjinal serta untuk mencegah mereka dari perlakuan
yang tidak adil ditingkat masyarakat ataupun pemerintah
untuk berpartisipasi dalam pembangunan ataupun dalam
mengakses layanan dasar.
Upaya ini sejalan dengan visi nawacita yang dimiliki oleh
pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla yaitu
menghadirkan kembali negara untuk melindungi senegap
bangsa Indonesia dan memberikan rasa aman bagi seluruh
warga negara, serta gerakan revolusi mental yaitu gerakan
Indonesia Melayani dan Indonesia Bersatu yang
mengedepankan peran pemerintah dalam pelayanan
tanpa membeda-bedakan seseorang berdasarkan suku,
agama, maupun ras, serta memperteguh kebhinekaan
sebagai kekayaan sebuah bangsa. Di masa yang akan
datang, pemerintah dapat mendorong paradigma
8
pembangunan yang inklusif, khususnya pada gerakan
inklusi sosial yang mencakup beberapa aspek sebagai
berikut : a. Memberikan kesempatan kepada kelompok marjinal
untuk dapat berperan dan terlibat dalam
pembangunan. Khususnya dalam upaya
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. b. Menggunakan potensi yang dimiliki oleh kelompok
marjinal melalui proses pendampingan dan
pemberdayaan yang memungkinkannya untuk
berpartisipasi dalam pembangunan secara setara dan
berkeadilan. c. Memastikan agar aparatur negara dan kelompok
masyarakat dapat menjamin dan menumbuhkan
lingkungan yang kondusif dan tidak diskriminatif,
sehingga memungkinkan kelompok marjinal untuk
dapat mengakses haknya sebagai warga negara.
9
2
Pembangunan Manusia Inklusi dan Gerakan Revolusi Mental Gerakan Revolusi Mental adalah gerakan nasional yang
dicetuskan oleh Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden
Jusuf Kalla sebagai respons terhadap kondisi bangsa
terkini, dimana terjadi perubahan-perubahan
institusional, namun belum menyentuh perubahan
paradigma, budaya, maupun perilaku untuk memastikan
perbaikan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat.
Hingga hari ini, kita masih dihadapkan pada berbagai
persoalan terkait dengan perilaku koruptif, intoleransi,
diskriminasi, serta perilaku pelanggaran hukum. Dalam
konteks tersebut, maka diperlukan suatu gerakan nasional
untuk melakukan revolusi terhadap karakter bangsa
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
10
Penggunaan istilah revolusi sendiri dalam gerakan
revolusi mental ini bermaksud untuk mendasarkan diri
pada upaya membangun terobosan penyelesaian
persoalan negara dan bangsa. Oleh sebab itu, gerakan
revolusi mental tidak hanya berlaku bagi birokrasi dan
aparatur sipil negara ditingkat pusat dan daerah, namun
juga berlaku bagi seluruh pemangku kepentingan.
Presiden Joko Widodo dalam tulisannya pada Harian Kompas menyebutkan bahwa; “Indonesia memerlukan
suatu terobosan budaya politik untuk memberantas
setuntas tuntasnya segala praktik praktik buruk yang
sudah terlalu lama dibiarkan tumbuh kembang sejak era
Orde Baru hingga saat ini. Revolusi mental berbeda dengan
revolusi fisik karena ia tidak memerlukan pertumpahan
darah. Namun usaha ini tetap memerlukan dukungan moril,
spiritual, serta komitmen dalam diri seorang pemimpin, dan
selayaknya setiap revolusi diperlukan pengorbanan oleh
masyarakat. Kita juga memerlukan birokrasi yang bersih,
andal, dan kapabel, yang benar-benar bekerja melayani
kepentingan rakyat dan mendukung pekerjaan pemerintah
yang terpilih. Demikian juga dengan penegakan hukum,
yang penting demi menegakkan wibawa pemerintah dan
negara, menjadikan Indonesia sebagai negara yang
berdasarkan hukum.”
Instruksi Presiden Nomor 12 Tahun 2016 tentang Gerakan
Nasional Revolusi Mental adalah landasan kebijakan
gerakan revolusi mental ini, yang menetapkan 5 agenda
beserta fokus perubahan ditingkat nasional dan daerah.
Kelima agenda perubahan yang ditetapkan
11
tersebut adalah Gerakan Indonesia melayani; Indonesia
Bersih; Indonesia Tertib; Indonesia Mandiri; serta
Indonesia Bersatu. Program Peduli yang telah berjalan sangat selaras dengan
spirit revolusi mental tersebut, khususnya terkait dengan
kepentingan kelompok marjinal yang mengalami eksklusi
sosial. Program Peduli menggunakan pendekatan inklusi
dengan mendorong proses menjalin hubungan
kesetiakawanan dalam masyarakat, yang tidak hanya
melibatkan kelompok marjinal saja, namun juga
masyarakat luas dan para pihak. Pendekatan inklusi sosial
berupaya membangun hubungan sosial harmonis
berdasarkan nilai-nilai kesetaraan, partisipatif,
multikultural, kewarganegaraan, non deskriminatif dan
non eksploitatif. Dalam konteks gerakan revolusi mental,
setidaknya ada 4 agenda revolusi mental terkait dengan
pelaksanaan Program Peduli tersebut, yaitu agenda
Indonesia Melayani; Indonesia Tertib; Indonesia Mandiri;
serta Indonesia Bersatu. Gerakan Indonesia Melayani. Sinergi Program Peduli dengan Agenda Indonesia
Melayani terlihat dari upaya berbagai mitra di tingkat
daerah dalam mendorong penyediaan dan akses
pelayanan publik yang responsif kebutuhan kelompok
marjinal. Misalnya layanan pengurusan administrasi
kependudukan, layanan kesehatan, maupun layanan
pendidikan. Selama ini, komunitas marjinal kurang
mendapatkan atau tidak dapat mengakakses pelayanan
publik karena berbagai sebab, terutama karena isolasi
12
geografis, agama dan kepercayaan yang berbeda, maupun
akibat perlakuan deskriminatif. Saat ini, pemerintah
daerah mitra Program Peduli telah memfasilitasi proses
perekaman data maupun penerbitan dokumen
kependudukan bagi kelompok marjinal. Selain itu,
beberapa pemerintah daerah juga menyediakan layanan
publik pada kelompok marjinal yang sulit dijangkau akibat
isolasi geografis, seperti halnya yang dilakukan oleh
Pemerintah Kabupaten Sigi yang membangun sekolah
SMA pada komunitas adat Topo Uma di dataran tinggi
Pipikoro.
Gerakan Indonesia Tertib Ada dua fokus gerakan Indonesia Tertib yang beririsan
dengan implementasi Program Peduli, yaitu tertib
administrasi kependudukan dan menumbuhkan
lingkungan keluarga, satuan pendidikan, satuan kerja, dan
komunitas yang bebas kekerasan. Persoalan yang banyak
ditemui pada kelompok marjinal adalah minimnya akses
dan kepemilikan dokumen kependudukan. Beberapa
komunitas marjinal yang didampingi Program Peduli
memiliki kekhususan, sehingga memerlukan respons
birokrasi pemerintahan dalam melakukan pelayanan.
Misalnya pada orang dengan disabilitas, komunitas
masyarakat adat yang belum menetap, maupun komunitas
anak yang mengalami kerentanan. Untuk menghadapi hal
tersebut, beberapa Pemerintah Daerah membangun unit
pelaksana teknis dinas untuk secara khusus
memperhatikan kelompok marjinal tersebut. Misalnya;
Pertama, UPTD Dinas Sosial Kabupaten Merangin
13
melayani secara khusus pengurusan pelayanan publik,
pendataan, dan pembarian bantuan bagi Suku Anak
Dalam. Kedua, Pemerintah Desa Sendang Tirto di
Kabupaten Sleman membangun akses yang memudahkan
kelompok difabel dalam menerima layanan publik. Ketiga,
upaya menumbuh kembangkan lingkungan keluarga yang
bebas dari kekerasan dengan meningkatkan kapasitas
orang tua melalui Pendidikan pengasuhan dalam
menangani komunitas anak yang dilacurkan, anak buruh
migran, serta anak yang menjalani pidana penjara.
Gerakan Indonesia Mandiri Selain pendampingan komunitas marjinal untuk
mendapatkan hak-hak kewarganegaraan, Program Peduli
juga meningkatkan kapasitas kelompok marjinal,
khususnya terkait dengan penghidupan layak dari
pemanfaatan potensi dan sumberdaya yang dimiliki.
Misalnya kelompok masyarakat adat Baduy dan
Bulukumba memanfaatkan sumberdaya hutan untuk
berbagai kebutuhan, dan memastikan hutannya tetap
lestari. Ada 3 fokus implementasi Program Peduli terkait
dengan gerakan Indonesia Mandiri ini yaitu; peningkatan
perilaku yang mendorong tercapainya kemandirian
bangsa dalam berbagai sektor kehidupan; pengembangan
potensi daerah tertinggal; serta peningkatan kapasitas dan
kompetensi tenaga kerja. Upaya yang dilakukan adalah
melakukan pelatihan dan pengembangan keterampilan
kelompok marjinal dan menyediakan kegiatan promosi
produk yang dihasilkan oleh kelompok marjinal. Misalnya,
14
Yakkum bersama mitranya di Kabupaten Sumba Barat dan
Timur mendorong pengembangan industri rumahan yang
mempekerjakan kelompok difabel. Selain itu, Yakkum
bekerjasama dengan Dinas Sosial setempat untuk
menyusun perencanaan pembangunan yang berpihak
pada kelompok difabel, seperti penyediaan bantuan
permodalan dan peralatan kerja yang sesuai dengan
kelompok difabel.
Gerakan Indonesia Bersatu Agenda gerakan Indonesia Bersatu memiliki banyak
keterkaitan dengan implementasi Program Peduli.
Setidaknya terlihat dari Peningkatan perilaku toleran dan
kerukunan inter dan antar umat beragama; Peningkatan
perilaku yang memberikan pengakuan dan perlindungan
terhadap kaum minoritas, marjinal, dan berkebutuhan
khusus; Peningkatan perilaku kerjasama inter dan antar
lembaga, kompenen masyarakat, dan lintas sektor; serta
Peningkatan peran lembaga agama, keluarga, media publik
dalam persemaian nilai-nilai budi pekerti, toleransi, dan
hidup rukun. Toleransi, persatuan, keberagaman, dan
kerjasama antar pemangku kepentingan tersebut
merupakan spirit penting gerakan Indonesia Bersatu.
15
3
Cerita Perubahan Signifikan
Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK), Aceh Utara
Penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU)
tentang Isbath Nikah menjadi salah satu capaian penting
untuk mewujudkan akses layanan publik yang lebih baik
dan mendorong inklusi sosial bagi masyarakat korban
konflik Aceh, terutama bagi kelompok perempuan.
Perjanjian ini ditandatangani pada 8 Mei 2017 yang lalu di
Kantor Gubernur Aceh, Zaini Abdullah, dan ditandatangani
bersama Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama,
Kepala Dinas Syariat Islam, Ketua Mahkamah Syariah, dan
Kepala Dinas Registrasi Kependudukan Aceh.
Dalam kesempatan tersebut, Zaini Abdullah
menyampaikan bahwa kerjasama ini dilakukan untuk
memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat yang
belum memiliki akta atau buku nikah karena situasi
16
konflik dan bencana tsunami. Empat lembaga yang ikut
menandatangani MoU tersebut selanjutnya akan
menyediakan layanan dalam bentuk proses sidang Isbath
Nikah oleh Mahkamah Syariah, penerbitan buku nikah
yang dilakukan oleh Kementerian Agama, dan penerbitan
akta kelahiran oleh Dinas Registrasi Kependudukan.
Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK) sebagai
salah satu CSO pilar HAM dan Restorasi Sosial bekerja
bersama dengan jaringan di tingkat provinsi untuk
mendorong kebijakan ini. Kebijakan mengenai Isbath
Nikah ini, meski ditandatangani di tingkat provinsi, secara
otomatis juga akan berlaku di tingkatan
Kabupaten/Kotamadya termasuk di Aceh Utara, daerah
kerja RPuK untuk program Peduli. Pencapaian ini sejalan
dengan fokus kerja RPuK dalam memperkuat kelompok
perempuan korban
17
pelanggaran HAM masa lalu, yang salah satunya termasuk
membantu perempuan memperoleh akses terhadap
administrasi kependudukan (surat nikah).
Adapun manfaat langsung dari sidang Isbath Nikah yang
disediakan oleh pemerintah Aceh ini baru akan dirasakan
paling cepat di tahun depan. Virlian Nurkristi dari
Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) berpendapat bahwa
meski pengalokasian anggaran di dalam APBD untuk
kebijakan ini bisa memakan waktu, adanya kebijakan ini
sendiri sudah menjadi suatu capaian penting yang akan
menjadi pijakan bagi penyusunan anggaran tersebut.
18
Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW) Jakarta – Tangerang
Komunitas Cina Benteng merupakan komunitas adat Etnis Tionghoa berada di Kampung Sewan Lebakwangi, Kota Tangerang. Mereka tinggal di wilayah tersebut sejak tahun 1740 setelah tragedi perang di Batavia. Atas kebijakan jajahan mereka diisolasi di daerah yang menyulitkan mereka untuk berasimilasi. Komunitas ini sudah beratus-ratus tahun menempati lahan disepanjang sungai Cisadane. Sejak tahun 2015, Program Peduli bekerja untuk memingkat akses terhadap layanan publik, terutama untuk perempuan China Benteng, dan meningkatkan penerimaan sosial masyarakat Etnis Tionghoa tradisional.
Sebelum Program Peduli masuk ke Kelurahan Mekarsari,
ibu-ibu Cina Benteng tidak memiliki aktivitas apapun
selain mengurus rumah tangga. Peristiwa bentrokan
antara warga dengan Pemerintah Kota Tangerang terkait
relokasi paksa warga cina benteng disepanjang sungai
19
cisadane untuk kepentingan pembangunan jalur hijau
sungai cisadane pada tahun 2009, membuat mereka
khawatir dengan ‘orang baru’ yang masuk ke dalam
lingkungannya, situasi ini membuat komunitas sedikit
tertutup terhadap orang luar.
Sampai Juni 2017, Program Peduli telah berhasil membuka akses dan kemudahan bagi perempuan Cina Benteng dalam memperoleh Adminduk sebanyak 290 berkas (130 Kartu Keluarga, 30 Kartu Identitas, 144 Akta Kelahiran, 2 surat nikah), memperoleh akses kesehatan reproduksi tes iva, akses bantuan sosial dari Pemerintah (Kartu BPJS PBI, bedah rumah, Program Keluarga Harapan), dan akses berbagai pelatihan untuk peningkatan kapasitas dari pemerintah.
Perempuan Cina Benteng berhasil membangun kekuatan kolektif untuk mampu menyuarakan kepentingan dan gagasannya. Program Peduli telah berhasil memfasilitasi ibu-ibu Cina Benteng membentuk Koperasi Wanita Pengembang Sumberdaya (KWPS) Lentera Benteng Jaya beranggotakan 260 orang dengan asset Rp 165.849.337,-.
20
Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA)- Banjarmasin
Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Banjarmasin adalah salah satu organisasi penyandang disabilitas (OPD) yang didampingi oleh Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) dalam kerja-kerja yang mereka lakukan untuk mewujudkan Kota Inklusi melalui Program Peduli. Menurut Umi dari SAPDA, sebelumnya OPD belum pernah berpartisipasi sama sekali dalam perencanaan kota. Namun, setelah ada pendampingan dan peningkatan kapasitas, OPD dapat terlibat dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di tingkat kecamatan dan kota, bahkan diundang untuk menghadiri Musrenbang di tingkat provinsi.
21
Dalam Musrenbang tingkat Kota, Pak Slamet, Ketua Cabang PPDI Banjarmasin, menyampaikan aspirasi perihal lokasi Puskesmas yang berada di gang-gang kecil yang susah diakses oleh difabel. Berkat partisipasi PPDI dalam Musrenbang ini, Pemerintah Kota Banjarmasin berjanji untuk memindahkan lokasi-lokasi Puskesmas yang sulit diakses difabel pada tahun 2018. Selain terlibat dalam Musrenbang Kota, PPDI juga mulai dilibatkan dalam perencanaan bantuan dari Dinas Sosial untuk program pemberdayaan ekonomi bagi disabilitas tuli yang direncanakan oleh Walikota Banjarmasin. Terkait dengan rencana ini, Dinas Sosial mengadakan pertemuan dengan PPDI untuk meminta data difabel tuli di Kota Banjarmasin dan mendiskusikan konsep program bantuan yang akan dijalankan.
Meski bantuan SAPDA dalam pengembangan kapasitas,
terutama tentang bagaimana menjalankan organisasi dan
melakukan advokasi, dinilai sangat membantu kerja-kerja
PPDI, Pak Slamet berharap mereka dapat semakin proaktif
dalam melakukan advokasi secara mandiri, dan tidak
semata-mata mengandalkan dampingan dari SAPDA. Pak
Slamet juga berharap ke depannya tidak hanya ketua dan
pengurus PPDI saja yang bisa ikut dalam Musrenbang,
tetapi juga anggota-anggota PPDI dan organisasi
penyandang disabilitas lainnya di Banjarmasin.
22
Yayasan Tunas Alam Indonesia (SANTAI) – Mataram Program Peduli 2015-2016 di NTB telah berhasil mendorong terbitnya Surat edaran Gubernur NTB Nomor 400/10/BP3AKB tanggal 18 Januari 2017 tentang perlindungan Anak Buruh Migran. SE ini ditujukan bagi Bupati/Walikota se NTB dan Kepala SKPD/Unit Pelaksana Kerja Pemerintah Provinsi NTB. SE diterbitkan dalam rangka menjamin pemenuhan hak-hak dasar anak buruh migran dalam mengakses layanan (pendidikan, kesehatan, dan hak sipil serta bantuan social lainnya) dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak dan non diskriminasi. Tiga hal yang tertera dalam SE tersebut adalah (1) koordinasi untuk membangun sinergi para pihak baik pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota bersama menuntaskan persoalan anak buruh mingran, memberikan layanan social dasar berupa bantuan siswa miskin (BSM), Kartu Indonesia Pintar (KIP), BPJS Kesehatan/Kartu Indonesia
23
Sehat (KIS), Program Keluarga Harapan (PKH), akte kelahiran gratis; (2) Bupati/Walikota membuat dan mengimplementasikan kebijakan, perencanaan penganggaran yang responsive terhadap perlindungan anak buruh migran termasuk terakomodir dalam penggunaan Dana Desa; (3) Meningkatkan dana memperkuat partisipasi masyarakat dan lembaga multipihak lainnya yang peduli anak melalui forum-forum warga dan forum multipihak yang sudah ada secara berjenjang dari tingkat dusun, desa, hingga provinsi.
Pengawalan terhadap implementasi Surat Edaran tersebut mulai dilakukan pada Program Phase 2017-2018. Upaya – upaya yang dilakukan oleh mitra pelaksana program peduli (CSO) SANTAI Mataram dalam mengawal proses implementasi Surat Edaran Gubernur NTB adalah:
Memastikan bahwa surat edaran tersebut
tersosialisasi dan terimplementasikan sampai ke tingkat pemerintah desa.
Membangun koordinasi mulai dari tingkat Propinsi hingga tingkat desa
Melakukan penguatan pada kader – kader desa untuk terus melakukan advokasi di tingkat desa dalam mendorong alokasi dana desa
Melakukan pendampingan dan assistensi kepada anak, orangtua, pengasuh dan masyarakat dalam gerakan inklusi social bagi seluruh anak buruh migrant.
Upaya – upaya ini bukan saja dilakukan untuk wilayah
dampingan lama program peduli di Lombok Timur akan
tetapi juga dalam rangka memperluas wilayah dampingan
yang baru di Kabupaten Lombok Tengah. Pemerintah
24
Kabupaten Lombok Tengah merespon baik dan positif
terkait implementasi SE ini dan memberikan dukungan
atas rencana pelaksanaan program peduli di wilayah ini
tepatnya di Desa Jago dan Desa Sukaraja yang mendapat
sambutan baik dari pihak kepala desa wilayah tersebut.
Selain itu, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan
Tokoh agama sangat mendukung kegiatan yang dilakukan
dan sudah terpetakan tokoh pemuda dan kader yang akan
mendukung gerakan inklusi anak buruh migran di tingkat
desa hingga kecamatan.
25
Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) – Palembang
Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas I di Kota Palembang, Provinsi Sumatra Selatan yang lebih dikenal sebagai LPKA Pakjo adalah LPKA yang sebelumnya lebih menekankan pada pengawasan dan
pengamanan. Berbekal Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA)
Nomor.11 tahun 2012, LPKA sempat kebingungan dalam melakukan implementasi UU SPPA tersebut. Akirnya pada tahun 2014 bersama dengan PKBI melalui dukungan Program Peduli melakukan perubahan perspektif pada kepala dan seluruh staff LPKA yang mulanya menekankan pada perinsip pengawasan dan pengamanan, berganti menjadi pembinaan dan pendampingan. Hal ini menjadi awal perubahan mendasar yang mendorong pada perubahan-perubahan lainnya di lingkungan LPKA Pakjo yang lebih ramah terhadap anak. “Capaian yang diperoleh LPKA Pakjo saat ini adalah kontribusi berbagai pihak salah satunya adalah PKBI melalui program Peduli” –Endang Lintang Hardiman (Kepala LPKA Pakjo).
26
PKBI melalui Program Peduli mendorong dan memfasilitasi pihak LPKA Pakjo untuk mengajak pihak lain baik itu institusi pemerintah maupun non pemerintah berpartisipasi melalui forum peduli anak yang menjalani pembinaan khusus di LPKA. Melalui forum tersebut telah berhasil dikembangkan pemberian akses layanan, yaitu: Layanan Pendidikan Sekolah Filial (SD, SMP, SMA/SMK) , Pendidikan Alternatif (Las, menjahit, mekanik, dan komputer), Pembinaan minat dan bakat anak, maupun pembinaan keagamaan. “Forum peduli anak memudahkan LPKA untuk berdialog terkait identifikasi kemungkinan program yang dapat dilakukan di LPKA dalam rangka pemenuhan kebutuhan anak” - Fahriyuddin Jusep (Staf LPKA Pakjo).
Berbagai perubahan yang terjadi di lingkungan LPKA Pakjo dalam rangka pemenuhan 4 hak dasar anak (hidup layak, tumbuh kembang, perlindungan dan partisipasi) yang dilakukan melalui perubahan fasilitas fisik gedung, keterlibatan keluarga, keterlibatan pihak lain (pemerintah dan non pemerintah), petugas yang mulai memiliki perspektif terhadap anak, serta adanya dukungan komunitas dan teman sebaya anak di luar LPKA menjadi pesona dan titik terang di tengah-tengah mandeknya implementasi UU SPPA no.11 tahun 2012. Perjuangan LPKA Pakjo dalam pemenuhan hak dasar anak yang sedang menjalani pembinaan khusus mendapatkan perhatian dari Direktur Bimbingan Kemasyarakatan dan pengentasan Anak – Joko Setiono,Bc IP, SH, MM (Ditjen KUMHAM) dan jajarannya. Kunjungan pun dilakukan oleh Pak Joko dan jajarannya ke LPKA Pakjo, dimana beliau sangat terkesan terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan LPKA. Kesan yang didapatkan ini menjadi
27
dasar beliau untuk merekomendasikan LPKA Pakjo kepada KKP dan PA untuk mendapatkan penghargaan.
Pada tanggal 22 Juli 2017, LPKA Pakjo mendapatkan apresiasi dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak berupa penghargaan “LPKA terbaik layak anak berbasis budi pekerti dan responsif hak anak”. Penghargaan tersebut diberikan kepada Kepala LPKA
Palembang oleh Menteri KPP & PA di Pekan Baru Riau.
Penghargaan yang diperoleh oleh LPKA Palembang
tersebut, telah menambah semangat perubahan untuk
terus melakukan peningkatan dan perbaikan layanan
dalam rangka pemenuhan hak dasar anak yang menjalani
pembinaan khusus di LPKA. Penghargaan dari KPP dan PA
memberikan harapan kepada LPKA yang lain untuk dapat
memberikan perhatian dan pelayanan yang terbaik bagi
anak melalui kerja sama multi pihak.
28
Lakpesdam Nahdatul Ulama – Mataram Lakpesdam NU adalah sebuah lembaga khusus dari
Nahdatul Ulama (NU), lembaga keagamaan terbesar di
Indonesia yang terkenal karena upayanya dalam
menggiatkan nilai-nilai demokrasi, pluralism dan
multiculturalism. Lakpesdam NU melakukan penelitian
dan program mengenai transformasi sosial, keadilan dan
kemanusiaan, dan telah menjadi mitra Peduli sejak tahun
2010.
Upaya Lakpesdam dalam mendorong inklusi sosial yang
lebih luas bagi komunitas Ahmadiyah di Lombok
dirancang dengan keinginan untuk membangun
perdamaian dan memfasilitasi rekonsiliasi merupakan
prasyarat bagi perubahan sosial.
Di tingkat daerah pemerintah telah mengambil langkah-
langkah antisipatif guna mencegah konflik antara
kelompok mayoritas dengan kelompok minoritas. Sebagai
contoh, untuk mengurangi perlawanan politik dan resiko
dituding bersimpati pada kelompok Ahmadiyah,
pemerintah kota Mataram menunda pemberian bantuan
kepada keluarga penganut Ahmadiyah pada saat mereka
pertama tiba di Transito. Lakpesdam bekerja untuk
menuntut komitmen lebih dari pemerintah daerah untuk
memberikan bantuan dan merealisasikan hak-hak
penganut Ahmadiyah. Dengan melakukan dialog melalui
pelatihan mengenai hak-hak warganegara dengan
penyedia layanan terdepan, Lurah dan Walikota. Di level
pemerintah provinsi dengan memberikan informasi
29
mengenai program yang dijalankan dan berusaha untuk
membangun dukungan, mengingat adanya pandangan
negative dari pemerintah provinsi terhadap jemaat
Ahmadiyah. Upaya advokasi ini juga berlanjut ke tingkat
nasional. Lakpesdam bekerjasama dengan Kementerian
Agama telah melakukan pembahasan mengenai toleransi
beragama.
Lakpesdam juga bekerja erat dengan komunitas untuk
menciptakan ruang interaksi, dialog dan pertukaran sosial.
Dengan cara memfasilitasi kegiatan-kegiatan sosial yang
membuka ruang bagi keluarga pengikut Ahmdiyah dan
warga setempat berkumpul mengerjakan kepentingan
bersama dan membangun relasi orang ke orang.
Pada tahun 2014 terjadi sebuah terobosan pada saat
pemerintah Kota Mataram menyetujui keluarga pengikut
Ahmadiyah boleh mendaftarkan diri untuk mendapatkan
kartu kependudukan, buku nikah dan akta kelahiran.
Seluruh Biaya penerbitan dokumen kependudukan bagi
semua pasangan suami istri dan anak-anak di Transito
ditanggung oleh pemerintah daerah. “Ini adalah kewajiban
kami untuk warga kami,” kata Ibu Baiq Baktiyanti, Lurah
Pejanggik. “Ini soal kependudukaan, bukan soal agama,”
ditambahkan Ibu Baktiyanti, beliau percaya bahwa
masyarakat tidak boleh diabaikan hanya karena agama
yang mereka anut. Dengan kepemilikan kartu tanda
penduduk (KTP) ini, komunitas Ahmadiyah kini memiliki
hak yang sama terhadap akses layanan dan program
perlindungan sosial seperti halnya warga lain.
30
Mengingat kompleksitas dari diskriminasi sosial dan
struktural yang dialami oleh komunitas Ahmadiyah di
Lombok, besarnya perubahan yang telah dicapai dalam
dua tahun terakhir adalah hal yang sangat berkesan.
Beberapa faktor kunci yang mendukung perubahan ini
antara lain: Kepemimpinan lokal – Tokoh Pemerintah Daerah : Lompatan besar ini dapat terjadi karena adanya komitmen pejabat Kota Mataram yang memperlakukan isu ini sebagai isu kewarganegaraan dan yang berkomitmen dalam menjalankan tanggungjawab mereka untuk memberikan layanan dan melindungi hak-hak semua warga negara. Kepemimpinan Ibu Baiq Baktiyanti yang menunjukkan dedikasinya sebagai seorang pegawai negeri dan komitmennya dalam mendorong nilai-nilai inklusi di antara pegawainya telah menjadi hal yang sangat penting dalam keberhasilan inklusi. Beliau memisahkan isu ini dari isu keagamaan dan berfokus pada kewajiban pemerintah terhadap warganya. Relasi antar kelompok: Lakpesdam mampu mengindetifikasi tokoh-tokoh moderat, tokoh-tokoh ini mampu menggunakan peran mereka dalam masyarakat untuk mendorong inklusi. Fokus pada Kesamaan dan Hak: Dengan menggunakan pendekatan sosial budaya yang berusaha untuk berfokus pada persamaan antar kelompok dan bukan perbedaan antar agama. Lakpesdam dapat menghindari argument filosofis dengan pihak pemerintah daerah dan terus berfokus terhadap kewarganegaraan sebagai isu utama.
31
Direktorat Jenderal (Ditjen) Bimas Islam mengambil pengalaman Lakpesdam dan Program Peduli untuk dijadikan model penanganan konflik. Model pendekatan humanis yang digunakan di Transito akan di gunakan oleh Kementerian Agama di daerah lain di Indonesia. Resolusi konflik antar umat beragama adalah bidang baru di Ditjen Bimas Islam, dan saat ini sedang mencari model penanganan konflik yang tepat. Setelah selama ini mendapat banyak masukan dari MUI, dan melihat sendiri praktik penanganan konflik di Sampang dan Mataram.
32
4
Penutup
Membuka akses sebesar-besarnya pada pembangunan,
pelayanan dan pelaksanaan pemberdayaan bagi
kelompok-kelompok marjinal tereksklusi menjadi penting
untuk mewujudkan pembangunan yang inklusif.
Pendekatan inklusif berupaya membangun hubungan
sosial harmonis berdasarkan nilai-nilai kesetaraan,
partisipatif, multikultural, kewarganegaraan, non
deskriminatif dan non eksploitatif. Dengan pendekatan ini,
kelompok-kelompok marjinal mampu menjadi aktor
pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan. Pembangunan inklusif sendiri selaras dengan spirit
gerakan Revolusi Mental yang dicanangkan Pemerintah,
yaitu suatu gerakan nasional berlatar belakang kesadaran
33
untuk mengatasi persoalan-persoalan kebangsaan, seperti
maraknya perilaku koruptif, intoleransi, diskriminasi,
serta prilaku melanggar hukum. Gerakan revolusi mental
adalah gerakan yang tidak hanya bertujuan untuk
mengubah tatanan kelembagaan, namun juga tatanan
sosial-budaya yang lebih baik. Oleh sebab itu, gerakan
revolusi mental meliputi semua elemen bangsa, bukan
hanya bagi Aparat Sipil Negara, namun juga masyarakat. Ulasan cerita-cerita perubahan atau praktik baik dalam
buku ini menjelaskan bahwa pendekatan inklusif dalam
pembangunan dan layanan dasar sepadan dengan tujuan
gerakan revolusi mental, misalnya, pertama ; Gerakan
Indonesia Melayani dan Gerakan Indonesia Tertib
terlaksana dalam praktik baik di Aceh Utara, yaitu
Pemerintah Daerah setempat dan Instansi terkait
membuka akses seluas-luasnya terhadap perempuan
korban pelanggaran HAM untuk mendapatkan dokumen –
dokumen identitas legal (kependudukan dan pernikahan).
Selain itu, praktik baik pelaksanaan Gerakan Indonesia
Melayani dan Indonesia Tertib juga terlihat di Provinsi
Nusa Tenggara Barat, Kota Palembang Provinsi Sumatera
Selatan dan Kota Banjarmasin Provinsi Kalimantan
Selatan, dengan melahirkan kebijakan untuk memastikan
pemantapan kelembagaan, mekanisme dan akses
pelayanan dan melaksanakan model layanan inklusif
berbasis pemberdayaan bagi kelompok marjinal anak
yang bermasalah hukum, anak buruh migran dan
penyandang disabilitas.
34
Kedua, Gerakan Indonesia Mandiri terlihat dari praktik
baik pemberdayaan perempuan-perempuan komunitas
cina benteng di Kota Tangerang Provinsi Provinsi Banten
melalui gerakan ekonomi koperasi yang di dukung
Pemerintah setempat. Pemberdayaan ini telah berhasil
mencairkan isolasi sosial dan membangun kemandirian
perempuan warga komunitas cina benteng. Ketiga,
Gerakan Indonesia Bersatu terlihat dari praktik baik
membangun perdamaian pasca konflik di Kota Mataram
Provinsi Nusa Tenggara Barat yang menimpa kelompok
minoritas Ahmadiyah dengan pendekatan inklusif.
Pembelajaran praktik-praktik baik diatas dapat kita petik
bahwa pondasi keberhasilan pelaksanaan gerakan
revolusi mental bermula dari perubahan paradigma
pengambil kebijakan, pelaksana kebijakan dan para pihak
yang menggunakan nilai-nilai inklusif dalam mengatasi
persoalan-persoalan konkrit yang kompleks. Perubahan
paradigma tersebut melahirkan gerakan pemberdayaan,
kolaborasi multipihak, dan inisiatif kebijakan untuk
membangun kelembagaan dan mekanisme inklusif untuk
memastikan kelompok-kelompok marjinal terlibat aktif
dalam pembangunan.
Dalam rangka memperluas skala dampak Gerakan
Revolusi Mental ini setidaknya kita merekomendasikan
dua hal, yaitu; pertama; koordinasi efektif lintas sektor
berbasis pada pengurusan kelompok-kelompok marjinal.
Koordinasi ini dibutuhkan untuk mengatasi persoalan-
persoalan kelompok marjinal yang pada kenyataannya
melingkupi berbagai sektor-sektor Pemerintahan. Kedua,
35
memperkuat kolaborasi multipihak antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah dan Kelompok Masyarakat Sipil
sehingga mampu mengatasi persoalan kelompok marjinal
yang multi dimensi dan kompleks.
------------------------------------0----------------------------------
36