kasus sle
-
Upload
atria-geeanilla -
Category
Documents
-
view
80 -
download
0
description
Transcript of kasus sle
Immune and Hematologic System – Kasus 2 (SLE)
MAKALAH SGD
SISTEM IMUN DAN HEMATOLOGI 2
(SLE)
DISUSUN OLEH :
TUTOR 8
Vathnawaty Carmila 220110110007 ( Chair )Yunita Persiyawati 220110110052 (Sciber 1 )Lia Aryanti 220110110112 ( Sciber 2 )Maya Hertiningtyas 220110110026Mita Andriyani 220110110098
Anggun 220110110046
Tio Alamsyah 220110110054
Taufik yusdian 220110110016
Sani Oktoriani 220110110030Hertika Apriliani 220110110070Christable Vannia 220110110121Mirza Shofwa 220110110058Dwi Andini 220110110034
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
Immune and Hematologic System – Kasus 2 (SLE)
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb.
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya karena penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah SGD
ini. Makalah SGD ini mengenai kasus “SLE (Sistemik Lupus Erithemathosus)”. Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas dan diajukan untuk memenuhi standar proses
pembelajaran pada mata kuliah Sistem Imun dan Hematologi 2.
Penulis mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak demi perbaikan di hari
kemudian. Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat serta
menambah pengetahuan bagi pembaca. Terima kasih.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Jatinangor, Oktober 2012
Penulis
Immune and Hematologic System – Kasus 2 (SLE)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Systemic Lupus Erytematosus (SLE) atau Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit
radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya karena adanya perubahan sistem imun. SLE
termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem
muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga
diperlukan pengobatan yang kompleks. Etiologi dari beberapa penyakit collagen-vascular sering tidak
diketahui tetapi sistem imun terlibat sebagai mediator terjadinya penyakit tersebut (Delafuente, 2002).
Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan sistem
kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus yang
masuk ke dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah
merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita satu
dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda, misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi
bengkak pada kaki dan perut, anemia berat, dan jumlah trombosit yang sangat rendah.
Perkembangan penyakit lupus meningkat tajam di Indonesia. Menurut hasil penelitian Lembaga
Konsumen Jakarta (LKJ), pada tahun 2009 saja, di RS Hasan Sadikin Bandung sudah terdapat 350 orang
yang terkena SLE (sistemic lupus erythematosus). Hal ini disebabkan oleh manifestasi penyakit yang
sering terlambat diketahui sehingga berakibat pada pemberian terapi yang inadekuat, penurunan kualitas
pelayanan, dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh penderita SLE. Masalah lain yang timbul adalah
belum terpenuhinya kebutuhan penderita SLE dan keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan
dukungan yang terkait dengan SLE. Manifestasi klinis dari SLE bermacam-macam meliputi sistemik,
muskuloskeletal, kulit, hematologik, neurologik, kardiopulmonal, ginjal, saluran cerna, mata, trombosis,
dan kematian janin (Hahn, 2005).
Prevalensi SLE sangat bervariasi, semua suku bangsa dapat terkena tetapi lebih sering pada ras
kulit hitam. Insidensi tidak diketahui, dapat ditemukan pada semua usia. Dua puluh persen kasus SLE
mulai pada masa anak-anak, biasanya anak yang telah berusia lebih dari 8 tahun. Samanta dkk pada
penelitian populasi Asia dan kulit putih di Inggris melaporkan kelainan ginjal lebih sering ditemukan di
populasi Asia. Wanita lebih sering terkena dibanding laki-laki, dengan perbandingan perempuan dan laki-
laki 8:1, dan umumnya pada kelompok usia produktif
Immune and Hematologic System – Kasus 2 (SLE)
2.2 Tujuan Penulisan
Menjelaskan konsep dasar penyakit SLE (Systemic Lupus Erytematosus)
Memahami pengertian SLE
Mamahami tanda dan gejala
Memahami klasifikasi SLE
Memahami penatalaksanaan penyakit SLE
Memahami pengobatan SLE
Memahami asuhan keperawatan pada pasien penderita SLE
Immune and Hematologic System – Kasus 2 (SLE)
BAB II
ANALISA KASUS
2.1 Uraian kasus
Ny M berumur 39 tahun mengeluhkan mata dan muka terasa panas dan gatal disertai dengan nyeri pada
bibir dan mult, timbul bintik-bintik pada muka dan bada. Keluhan gatal tersebut semakin jelas apabia
terkena sinar matahari. Terdapat kotoran pada mata terutama pada pagi hari. Nyeri sendi sudah lama
dirasakan. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan data: Tekanan darah: 100/60mmHg, Nadi 96x/menit,
Suhu 36,3 c Pernapasan =24x/menit, Rambut rontok, mudah dicabut: Wajah Buterfly rush, Mata: nyeri
sekret(+), infeksi konjungtiva(+), konjungtiva anemis, Mulut : Ulser mulut, bibir terasa terbakar, dada dan
perut ditemukan makula eritema. Hasil pemeriksaan lab, darah rutin ditemukan nilai Hb: 7,6g/dl, LED=
62 mm/jam, leukosit 2400/ul
Step 1
1. Makula Eritema(anggun)
2. Ulser ( Taufik )
3. Buterfly rush( Tika )
4. LED ( Dini )
Jawaban
3. Buterfly rush: ruam merah yang bentuknya seperti kupu- kupu ( Lia)
dan biasanya terdapat diwajah dari hidung sampai pipi (mita)
Step 2
1. Kenapa muka dan mata terasa panas? (Taufik)
2. Kenapa keluhan semakin jelas pada saat terkena matahari? (Vania)
3. Mengapa ada kotoran pada mata di pagi hari? ( Maya )
4. Apakah ada hubungan penyakit ini terkait dengan Hb dan TD ? ( Dini )
5. Apa yang menyebabkan rambut rontok dan mudah dicabut ? (Sani)
6. Apak diagnose medisnya? (Tika )
7. Hubungan adanya secret dengan penyakit ini? (Lia )
8. Apa penyebab nyeri sendi?( Mita )
Immune and Hematologic System – Kasus 2 (SLE)
9. Kenapa diperut ditemukan Makula Eritema? ( Fathnawati )
Step 3
1. -Karena leukosit maka terjadi infeksi dan menyebabkan respon inflamasi seperti panas dan
merah merah.( Tika)
-Karena sensitive terhadap cahaya matahari ada beberapa penyakit yang disebabkan karena
terkena cahaya matahari .(Mirza)
2. Karena terkena cahaya matahari/langsung terpapar matahari.( Mirza )
3. Karena Sakit terjadi respon inflamasi Sekret bangun tidur kotoran
menumpuk di mata (Fathnawati)
4. Penyakit lupus antibody menyerang tubuh sendiri termasuk menyerang eritrosit Hb
menjadi turun (Anggun)
5. Sel sel rambut butuh suplay oksigen dan nutrisi pada penyakit ini Hb rendah suplai oksigen
kurang,rambut jadi mudah dicabut karena kurang protein juga. ( Maya )
6. Diagnosa medis: SLE ( Vania )
7. Sekret merupakan mekanisme pertahanan tubuh ( + )
8. Hb rendah O2 rendah metabolism terganggu anaaerob penimbunan asam laktat
Leukosit rendah daya tahan tubuh turun maka terjadi proses inflamasi (Tio)
Immune and Hematologic System – Kasus 2 (SLE)
Step 4
Mindmap
SLE
Definisi
Etiologi Tanda dan gejala
Klasifikasi
Patofisiologi
Penatalaksanan
Askep
Pengkajian Analisa data
diagnosa Intervensi
Anamnesa Pemeriksaan
fisik Pemeriksaan
diagnostik
Immune and Hematologic System – Kasus 2 (SLE)
2.2 Tinjauan Pustaka Kasus
a. Anatomi dan Fisiologi
Sistem kekebalan atau sistem imun adalah sistem perlindungan pengaruh luar biologis yang
dilakukan oleh sel dan organ khusus pada suatu organisme. Jika sistem kekebalan bekerja
dengan benar, sistem ini akan melindungi tubuh terhadap infeksi bakteri dan virus, serta
menghancurkan sel kanker dan zat asing lain dalam tubuh
Fungsi sistem imun:
1. Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan
mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan virus, serta tumor) yang masuk
ke dalam tubuh
2. Menghilangkan jaringan atau sel yg mati atau rusak (debris sel) untuk perbaikan jaringan.
3. Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal
Immune and Hematologic System – Kasus 2 (SLE)
Tipe sistem imun
Secara umum sistem imun manusia terbagi dalam dua, yaitu :
Sistem imun alamiah terentang luas, mulai dari air mata, air liur, keringat (dengan pHnya yang
rendah/asam), bulu hidung, kulit, selaput lendir, laktoferin dan asam neuraminik (pada air susu ibu),
sampai asam lambung termasuk di dalamnya. Secara lebih mendetail di dalam cairan tubuh seperti air
mata atau darah terdapat komponen sistem imun alamiah yang antara lain terdiri dari fasa cair seperti IgA
(Imunoglobulin A), Interferon, Komplemen, Lisozim, ataupun c-reactive protein (CRP). Sementara fasa
seluler terdiri dari sel-sel pemangsa (fagosit) seperti sel darah putih (polymorpho nuclear/PMN), sel-sel
mono nuklear (monosit atau makrofag), sel pembunuh alamiah (Natural Killer), dan sel-sel dendritik.
Sistem imun adaptif terdapat sistem dan struktur fungsi yang lebih kompleks dan beragam. Sistem imun
adaptif terdiri dari sub sistem seluler yaitu keluarga sel limfosit T (T penolong dan T sitotoksik) dan
keluarga sel mono nuklear (berinti tunggal). Sub sistem kedua adalah sub sistem humoral, yang terdiri
dari kelompok protein globulin terlarut yaitu: Imunoglobulin G,A,M,D, dan E. Imunoglobulin dihasilkan
oleh sel limfosit B melalui suatu proses aktivasi khusus, bergantung kepada karakteristik antigen yang
dihadapi. Secara berkesinambunangan dalam jalinan koordinasi yang harmonis, sistem imun baik yang
alamiah maupun adapatif senantiasa bahu-membahu menjaga keselarasan interaksi antara sistem tubuh
manusia dengan media hidupnya (ekosistem).
Mekanisme kerja sistem imun
Keberadaan mikroba patogen dapat menimbulkan dampak-dampak yang tidak diharapkan akan
memicu sistem imun untuk melakukan tindakan dengan urutan mekanisme sebagai berikut : introduksi,
persuasi, dan represi.
Meskipun komplemen dapat diasosiasikan sesuai artinya, yaitu pelengkap, namun sesungguhnya
fungsinya amatlah vital. Faktor komplemen bertugas untuk menganalisa masalah untuk selanjutnya
mengenalkannya kepada imunoglobulin, untuk selanjutnya akan diolah dandipecah-pecah menjadi
bagian-bagian molekul yang tidak berbahaya bagi tubuh. Setelah itu limfosit T bekerja dengan memakan
mikroba patogen. Sel limfosit terdiri dari dua spesies besar, yaitu limfosit T dan B. Bila limfosit B kelak
akan bermetamorfosa menjadi sel plasma dan selanjutnya akan menghasilkan imunoglobulin
(G,A,M,D,E), maka sel T akan menjadi divisi T helper, T sitotoksik, dan T supresor.
Immune and Hematologic System – Kasus 2 (SLE)
Dalam kondisi yang berat akan terjadi beberapa proses berikut : sel limfosit T akan meminimalisasi
efek patogenik dari mikroba patogen dengan cara bekerjasama dengan antibodi untuk mengenali dan
merubah antigen dari mikroba patogen menjadi serpihan asam amino melalui sebuah mekanisme yang
disebut Antibody Dependent Cell Cytotoxicity (ADCC). Selain itu sel limfosit T bersama dengan sel NK
(Natural Killer) dan sel-sel dendritik dapat bertindak langsung secara represif untuk menghentikan
kegiatan mikroba patogen yang destruktif melalui aktivitas kimiawi zat yang disebut perforin. Dalam
beberapa kondisi khusus, sel limfosit T dapat memperoleh bantuan dari sel makrofag yang berperan
sebagai Antigen Presenting Cell (APC) alias sel penyaji antigen.
Sedangkan Sel limfosit B bertugas untuk membangun sistem manajemen komunikasi terpadu di
wilayah cairan tubuh (imunitas humoral). Bila ada antigen dari unsur asing yang masuk, maka sel limfosit
B akan merespon dengan cara membentuk sel plasma yang spesifik untuk menghasilkan molekul
imunoglobulin yang sesuai dengan karakteristik antigen dari unsur asing tersebut.
Antibodi
Jika dirangsang oleh suatu antigen, limfosit B akan mengalami pematangan menjadi sel-
sel yang menghasilkan antibodi. Antibodi merupakan protein yang bereaksi dengan antigen yang
SPESIFIK (adaptif)NONSPESIFIK (alamiah)
FISIK LARUT SELULAR HUMORAL SELULAR
Kulit Saluran pernapasan Saluran cerna Membran mukosa
BIOKIMIA : Lisozim, Sebaseous, Asam lambung, Laktoferin, Asam neuraminik HUMORAL : Komplemen, Inter feron, Crp
FAGOSIT : Sel MN, PMN Sel NK Sel MAST Basofil
SEL B : IgG IgA IgM IgD IgE
SEL T : Th1 Th2 Ts/Tr/Th3 Tdth CTL/Tc
SISTEM IMUN
Immune and Hematologic System – Kasus 2 (SLE)
sebelumnya merangsang limfosit B. Antibodi juga disebut immunoglobulin. Setiap molekul
antibodi memiliki suatu bagian yang unik, yang terikat kepada suatu antigen khusus dan suatu
bagian yang strukturnya menerangkan kelompok antibodi.
Terdapat 5 kelompok antibodi:
a. IgM adalah antibodi yang dihasilkan pada pemaparan awal oleh suatu
antigen. Contohnya, jika seorang anak menerima vaksinasi tetanus I, maka 10-14 hari
kemudian akan terbentuk antibodi antitetanus IgM (respon antibodi primer). IgM banyak
terdapat di dalam darah tetapi dalam keadaan normal tidak ditemukan di dalam organ
maupun jaringan.
b. IgG merupakan jenis antibodi yang paling umum, yang dihasilkan pada pemaparan
antigen berikutnya. Contohnya, setelah mendapatkan suntikan tetanus II (booster), maka
5-7 hari kemudian seorang anak akan membentuk antibodi IgG. Respon antibodi
sekunder ini lebih cepat dan lebih berlimpah dibandingkan dengan respon antibodi
primer. IgG ditemukan di dalam darah dan jaringan. IgG merupakan satu-satunya
antibodi yang dipindahkan melalui plasenta dari ibu ke janin di dalam kandungannya.
IgG ibu melindungi janin dan bayi baru lahir sampai sistem kekebalan bayi bisa
menghasilkan antibodi sendiri.
c. IgA adalah antibodi yang memegang peranan penting pada pertahanan tubuh terhadp
masuknya mikroorganisme melalui permukaan yang dilapisi selaput lendir, yaitu hidung,
mata, paru-paru dan usus. IgA ditemukan di dalam darah dan cairan tubuh (pada saluran
pencernaan, hidung, mata, paru-paru, ASI).
d. IgE adalah antibodi yang menyebabkan reaksi alergi akut (reaksi alergi segera). IgE
penting dalam melawan infeksi parasit (misalnya river blindness dan skistosomiasis),
yang banyak ditemukan di negara berkembang.
e. IgD adalah antibodi yang terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit di dalam darah.
Fungsinya belum sepenuhnya dimengerti.
Pertahanan Sistem Imun
Saat tubuh terserang atau diinfasi oleh bakteri atau virus atau mikro organmisme pathogen lainya maka
ada tiga macam cara yang dilakukan tubuh untuk mempertahankan dirinya sendiri, yaitu :
Immune and Hematologic System – Kasus 2 (SLE)
a. Respon imun fagositik
Meliputi sel darah putih (granulosit dan makrofag) yang dapt memakan partikel-partikel asing. Sel ini kan
bergerak ketempat serangan dan kemudian menelan serta menghancurkan mikroorganism penyerang.
b. Respon humoral (respon anti body)
Respon ini mulai bekerja dengan terbentuknya limfosit yang dapat mengubah dirinya menjadi sel-sel
plasma yang menghasilkan antibody. Antibodi ini merupakan protein yang sangat spesifik diangkut dalam
aliran darah dan memiliki kemampuan untuk melumpuhkan penyerangnya.
c. Respon imun seluler
Respon ini melibatkan limfosit yang mengubah dirinya menjadi sel plasma juga dapat berubah menjadi
sel-sel T sitotoksik khusus yang dapat menyerang mikroorganisme patogen itu sendiri.
Stadium Respon Imun
Ada empat stadium yang batasnya jelas dalam sutu respon imun,yaitu:
a. Stadium pengenalan
Dasar setiap seaksi imun adalah pengenalan dimana kemampuan dari system imunitas untuk
mengenali anti gen sebagai unsure yang asing atau bukan dagian dari dirinya sendiri. Tubuh akan
melaksanakan pengenalan ( recognition) dengan m,engunakan nodus limfatikus dan limfosit
sebagai pengawas (surveilans). Nodus limfatikus atau kelenjar limfe tersebar luas diseluruh tubuh
dan akan melepaskan limfosit berukuran kecil kedalam alira darah. Limfosit ini akan mengawasi
jaringan dan pembuluh limfe yang mengalirkan cairan limfe dari daerah yang dilayani oleh nodus
limfatikus tersebut untuk membentuk system kekebalan. Ketika bahan asing masuk kedalam
tubuh, limfosit yang beredar akan mendekati dan melakukan kontak fisik dengan permukaan
antigen. Begitu terjadi kontak, limfosit dengan bantuan makrofa dapat menghilangkan anti gen
dalam permukaan dengan cara mengambil cetakan stukturnya.
b. Stadium poliferasi
Limfosit yang beredar dan mengandung pesan antigenic akan kembali pada nodus limfatikus
terdekat. Ketika dalam nodus limfatikus, limfosit yang sudah disensitisasi akan menstimulasi
limfosit yang aktif untuk membesar, membelahdiri, mengadakan poliferasi, dan berdeferensiasi
menjadi limfosit T atau B.
Immune and Hematologic System – Kasus 2 (SLE)
c. Stadium respon
Dalam stadium respon, limfosit yang sudah berubah akan berfungsi dengan cara humoral atau
seluler. Respon humoral inisial memproduksi antibodi oleh limfosit B sebagai reaksi terhadap
antigen spesifik. Antibody dilepaskan kedalam aliran darah dan berdiam didalam plasma atau
fraksi darah berupa cairan. Dalam respon seluler inisial limfosit yang sudah disensitisasi dan
kembali kenodus limfatikus akan bermigrasi ke daerah lain untuk mejadi sel-sel Yang akan
menyerang langsung mikroba bukan lewat kerja antibody. Limfosit ini dikenal sebagai sel T
sitotoksit. Respon seluler tampak dengan manivestasi melaui peningkatan jumlah limfosit.
d. Stadium efektor
Dalam stadium efektor, antibody dri respon humoral atau seltis sitotoksit dari respon seluler akan
menjangkau antigen dan terangkai pada permukaan objek yang asing.
2.2.1 Definisi
Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) penyakit autoimun
sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun,
dan disregulasi sistem imun yang menyebabkan kerusakan pada beberapa organ tubuh. Perjalanan
penyakitnya bersifat episodik (berulang) yang diselingi periode sembuh. Sistem imun normal akan
melindungi kita dari serangan penyakit yang diakibatkan kuman, virus, dan lain-lain dari luar tubuh kita.
Tetapi pada penderita lupus, sistem imun menjadi berlebihan, sehingga justru menyerang tubuh sendiri,
oleh karena itu disebut penyakit autoimun. Penyakit ini akan menyebabkan keradangan di berbagai organ
tubuh kita, misalnya: kulit yang akan berwarna kemerahan atau erythema, lalu juga sendi, paru, ginjal,
otak, darah, dan lain-lain. Oleh karena itu penyakit ini dinamakan sistemik karena mengenai hampir
seluruh bagian tubuh kita. Jika Lupus hanya mengenai kulit saja, sedangkan organ lain tidak terkena,
maka disebut LUPUS KULIT (lupus kutaneus) yang tidak terlalu berbahaya dibandingka Lupus yang
sistemik (Sistemik Lupus /SLE).
Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda adalah
penyakit radang atau infamasi. SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok penyakit
yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi
Immune and Hematologic System – Kasus 2 (SLE)
klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks. Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi
terjadi akibat fungsi sel T supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan
kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya merangsang antibodi tambahan
dan siklus tersebut berulang kembali. Penyakit SLE menyerang penderita usia produktif yaitu 15–64
tahun.
2.2.2 Etiologi
Penyebab terjadinya LES belum diketahui. Berbagai faktor dianggap berperan dalam
disregulasi sistem imun. Faktor Resiko terjadinya SLE:
1. Faktor Genetik
· Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering dari pada pria dewasa
· Umur, biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun
2. Faktor Resiko Hormon
Hormon estrogen menambah resiko SLE, sedangkan androgen mengurangi resiko ini.
3. Sinar UV
Sinar Ultra violet mengurangi supresi imun sehingga SLE kambuh atau bertambah berat. Ini
disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di
tempat tersebut maupun secara sistemik melalui peredaran pebuluh darah
4. Imunitas
Pada pasien SLE, terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap sel T
5. Obat
Obat tertentu dalam presentase kecil sekali pada pasien tertentu dan diminum dalam jangka
waktu tertentu dapat mencetuskan lupus obat (Drug Induced Lupus Erythematosus atau
DILE). Jenisobat yang dapat menyebabkan Lupus Obat adalah :
· Obat yang pasti menyebabkan Lupus obat : Kloropromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid, dan isoniazid
· Obat yang mungkin menyebabkan Lupus obat : dilantin, penisilamin, dan kuinidin
6. Infeksi
Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang- kadang penyakit ini kambuh
setelah infeksi
Immune and Hematologic System – Kasus 2 (SLE)
7. Stres
Stres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki kecendrungan akan
penyakit ini.
Manifestasi Klinis
Rambut yang sering rontok
Pada kulit, akan muncul ruam merah yang membentang di kedua pipi, mirip
kupu-kupu(butterfly rash)
Makula eritoma : Kelainan pada kulit berupa kemerahan yang disebabkan oleh
pelebaran pembuluh darah kapiler yang bersifat reversibel.
Kulit yang mudah gosong akibat sinar matahari
Immune and Hematologic System – Kasus 2 (SLE)
a. Sistem Muskuloskeletal
Artralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri
ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari
b. System integument
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang
melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi
atau palatum durum.
c. System kardio
Perikarditis merupakan manifestasi kardio.
d. System pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura
e. System vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,
eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
f. System perkemihan
Glomerulus renal.
g. System syaraf
Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk
penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.
Immune and Hematologic System – Kasus 2 (SLE)
2.2.3 Klasifikasi
1. Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang meninggi, skuama,
sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah, lengan,
punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan
atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap.
2. Systemic Lupus Erythematosus
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak
faktor dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan
sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan
3. Lupus yang diinduksi oleh obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang
mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak
terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein
tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks
antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut.
2.2.4 Penatalaksanaan
Pemeriksaan diagnostik dan lab
Pemeriksaan Autoantibodi
Anti ds-DNA
Batas normal : 70 – 200 IU/mL
Negatif : < 70 IU/mL
Positif : > 200 IU/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65% – 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang pada
penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE
sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit
Immune and Hematologic System – Kasus 2 (SLE)
reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah
antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada
penyebaran penyakit terutama lupus glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif
pada penyakit SLE yang tenang (dorman).
Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua tipe
dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti ds-DNA) dan
yang menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-DNA kurang sensitif dan
spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleks antibodi-
antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan
konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan
menginduksi sistem komplemen yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik lokal
maupun sistemik.
-Antinuclear antibodies (ANA)
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA adalah
sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel. ANA cukup
sensitif untuk mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif terjadi pada 95% penderita
SLE. Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan
penyakit reumatik yang lain. Jumlah ANA yang tinggi berkaitan dengan kemunculan
penyakit dan keaktifan penyakit tersebut.Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak
lagi aktif sehingga jumlah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien
belum tentu negatif terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan tes
laboratorium yang lain, tetapi jika hasil tes positif maka sebaiknya dilakukan tes
serologi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut menderita SLE.
ANA dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm), anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti-
SSA (Ro) atau anti-SSB (La).
Pemeriksaan darah
-Laju Endap Darah: Untuk mengukur peradangan dan tidak berkaitan dengan tingkat
keparahan penyakit
Rontgen dada
Immune and Hematologic System – Kasus 2 (SLE)
Analisa urin menunjukkan adanya darah atau protein
Uji ini dilakukan untuk menentukan adanya komplikasi ginjal dan untuk memantau
perkembangan penyakit ini.
Biopsi ginjal
Pemeriksaan saraf.
Pemeriksaan Serum: Untuk mengetahui anemia yang sedang hingga berat,
trombositopenia, leukositosis dan leukopenia.
Pemeriksaan diagnostik:
a. Pada ginjal : - Pemeriksaan air seni
- Urine yang dikumpulkan selama 24 jam
- Pemeriksaan darah
- X-ray
- Biopsy ginjalb. Pada jantung :
- Pemeriksaan darah
- EKGc. Pada paru :
- Pemeriksaan darah
- Sputum ( ludah/dahak)
- Rontgen
- Bronchoscopy /biopsy parud. Pada syaraf :
- CT-Scan
- MRI
- Gelombang otak EEG
- Pengambilan sumsum tulang belakang
Pengobatan
Terapi Non Farmakologi
1. Edukasi
Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat SLE merupakan penyakit yang
kronis, dapat reda (remisi) dan kambuh (flare up).Penderita perlu dibekali informasi yang
Immune and Hematologic System – Kasus 2 (SLE)
cukup tentang berbagai manifestasi klinis yang mungkin dialami, tingkat keparahan yang
berbeda-beda sehingga penderita dapat memahami dan tidak merasa cemas yang
berlebihan. Pada wanita usia reproduktif sangat penting diberikan pemahaman bahwa bila
merencanakan punya anak, sebaiknya kehamilan terjadi saat remisi, sehingga dapat
mengurangi kemungkinan flare up dan risiko kelainan pada janin maupun penderita
selama hamil. Disamping itu penderita juga akan menggunakan berbagai obat dalam
jangka panjang, termasuk yang berpotensi efek samping bermakna terhadap kondisi
kesehatan seperti steroid dan imunosupresan.
2. Dukungan social dan psikologis
Bisa diberikan oleh perawat,keluarga, teman dan peran peer group.
3. Istirahat
Penderita SLE sering mengalami fatigue sehingga perlu istirahat yang cukup, sambil
dipikirkan kemungkinan penyebab lain seperti hipotiroid, fibromialgia dan depresi.
4. Tabir Surya Sinar matahari
Mengeluarkan radiasi dalam 3 gelombang, yaitu gelombang A, B dan C. Tetapi hanya
gelombang A (UVA/”tanning”) dan B (UVB/”burning”) yang berbahaya bagi pasien
SLE. Efek dari sinar matahari terhadap kulit dipengaruhi oleh kuantitas dan lamanya
terpapar matahari. UVA muncul sepanjang hari, sedangkan UVB (yang lebih berbahaya
bagi pasien SLE) terutama muncul sekitar jam 10 pagi sampai dengan jam 3 sore.
Disarankan untuk pasien SLE agar melakukan aktivitas diluar rumahnya pada pagi hari
(sebelum jam 10 pagi) atau sore hari (setelah jam 3 sore) untuk menghindari periode
puncak UVB. Beberapa obat yang meningkatkan sensitivitas terhadap matahari
diantaranya antibiotik yang mengandung sulfa dan beberapa tetrasiklin. Penggunaan
sunblock/tabirsurya penting bagi penderita SLE. Pada tabir surya terteratulisan SPF (sun
protection factor). Tabir surya dengan SPF 15 artinya ketika memakai tabir surya tersebut
maka kita akan dilindungi 15 kali lebih baik dibandingkan yang tidak memakai tabir
surya.
5. Olah Raga
Olah raga memegang peranan penting dalam penatalaksanaan SLE. Olah raga dapat
meningkatkan kekuatan otot, meningkatkan fleksibilitas, dan mencegah osteoporosis.
Aktivitas berjalan kaki, berenang, dan bersepeda bisa menjadi pilihan. Aktivitas olah raga
Immune and Hematologic System – Kasus 2 (SLE)
bisa dimulai dengan berjalan kaki selama 5 menit 2 kali seminggu, bertahap ditingkatkan
sampai berjalan kaki selama 1 jam setiap 3-5 kali/minggu.
6. Diet
Pasien SLE disarankan untuk mengkonsumsi makanan bernutrisi dan memiliki
kandungan gizi seimbang. Minyak ikan dapat menjadi makanan pengganti, tetapi minyak
ikan dapat menimbulkan efek samping iritasi lambung, dan dibutuhkan 8-10 kapsul/hari
untuk menggantikan 1 ekor ikan.
7. Monitor ketat
Penderita SLE mudah mengalami infeksi sehingga perlu diwaspadai bila terdapat demam
yang tidak jelas penyebabnya. Risiko infeksi juga meningkat sejalan dengan pemberian
obat imunosupresan dan steroid. Risiko kejadian penyakit kardiovaskuler, osteoporosis
dan keganasan juga meningkat pada penderita SLE, sehingga perlu pengendalian faktor
risiko seperti merokok, obesitas, dislipidemia dan hipertensi
TERAPI FARMAKOLOGIS
Terapi biologis
1. Aktivasi sel T, interaksi sel T dan sel B, deplesi sel B
Perkembangan terapi terakhir telah memusatkan perhatian terhadap fungsi sel B dalam
mengambil autoantigen dan mempresenasikannya melalui immunoglobulin spesifik
terhadap sel T di permukaan sel, selanjutnya mempengaruhi respon imun dependen sel T.
2. Anti CD 20 adalah suatu antibodi monoklonal yang melawan reseptor CD 20 yang
dipresentasikan limfosit B. Anti CD 20 Anti CD 20 (Rituximab) memiliki potensi terapi
untuk SLE refrakter.Beberapa penelitian memberikan keberhasilan terapi pada
manifestasi lupus refrakter seperti sistem saraf pusat, vaskulitis dan gangguan
hematologi.
3. LJP 394 LJP 394 (Abetimus sodium) telah dirancang untuk mencegah rekurensi flare
renal pada pasien nefritis dengan cara mengurangi antibodi terhadap ds-DNA melalui
toleransi spesifik antigen secara selektif. Substansi ini merupakan suatu senyawa sintetik
yang terdiri dari rangkaan deoksiribonukleotida yang terikat pada rantai trietilen glikol.
Immune and Hematologic System – Kasus 2 (SLE)
4. Anti B lymphocyte stimulator Stimulator limfosit B (BLyS) merupakan bagian dari
sitokin TNF (Tumor Necrosis Factor), yang mempresentasikan sel B. LymphoStatB
merupakan antibodi monoklonal terhadap BLyS.
5. Anti malaria Obat anti malaria yang digunakan pada SLE adalah hidroksiklorokuin,
klorokuin, dan quinakrin.Digunakan untuk manifestasi konstitusional, kulit,
muskuloskeletal dan serositis.Kombinasi obat antimalaria memiliki efek sinergis bila
penggunaan satu macam obat tidak efektif.Hidroksiklorokuin (200-400 mg/hari),
klorokuin (250mg) dan quinakrin (100mg/hari) sebagai steroid sparing agent memiliki
efek samping yang ringan dan reversible, yaitu perubahan warna kulit menjadi
kekuningan.
T.Hormon seks
Bromokriptin yang secara selektif menghambat hipofise anterior untuk mensekresi
prolaktin terbukti bermanfaat mengurangi aktivitas penyakit
Lupus.Dehidroepiandrosteron (DHEA) bermanfaat untuk SLE dengan aktivitas ringan
sampai sedang.Danazole (steroid sintetik) dengan dosis 400-1200 mg/hari bermanfaat
untuk mengotrol sitopenia autoimun terutama trombositopenia dan anemia
hemolitik.Estrogen replacement therapy (ERT) dapat dipertimbangkan pada pasien-
pasien SLE yang mengalami menopause, namun masih terdapat perdebatan mengenai
kemungkinan ERT dalam menimbulkan flare SLE. ERT juga harus ditunda pada pasien
dengan riwayat trombosis.
T. Kortikosteroid
Efektif untuk menangani berbagai manifestasi klinis SLE.Sediaan topikal atau intralesi
digunakan untuk lesi kulit dan arthritis, sedangkan sediaan oral atau parenteral untuk
kelainan sistemik. Dosis per oral bervariasi dari 5-30 mg prednisone (metilprednisolon
dosis setara) per hari secara tunggal pagi hari atau dosis terbagi, efektif untuk mengatasi
manifestasi konstitusional, kulit, arthritis dan serositis. Steroid parenteral biasanya hanya
digunakan pada keadaan yang sangat berat, mengancam jiwa, dengan dosis
metilprednisolon bolus 1000 mg selama 3 hari berturut-turut.
NSAIDs (Non Steroid Anti Inflammatory Drug)
Immune and Hematologic System – Kasus 2 (SLE)
Digunakan untuk mengatasi nyeri musculoskeletal, pleuritis, perikarditis dan nyeri
kepala.Efek samping NSAIDs pada ginjal, hati, sistem syaraf pusat harus dibedakan
dengan aktifitas lupus yang menghebat.Adanya proteinuria yang baru timbul atau
perburukan fungsi ginjal dapat disebabkan oleh aktivitas SLE atau efek
NSAIDs.Gangguangastrointestinal merupakan efek samping paling sering ditimbulkan
oleh inhibitor COX non-selektif.Inhibitor COX-2 selektif lebih sedikit efek sampingnya
pada gastrointestinal. Pada penderita SLE yang mengalami kehamilan golongan ini
sebaiknya dihindarkan karena dapat mengakibatkan kelainan congenital pada duktus
arteriosus dan sedikit diekskresikan dalam air susu.
T. Plasmaferesis
Peranan plasmafaresis pada lupus yang mengancam nyawa masih kontroversi.Indikasinya
adalah kasus lupus disertai krioglobulinemia, sindroma hiperviskositas dan TTP
(Thrombotyc Thrombocytopenic Purpura).
T. Immunoglobulin intravena
Immunoglobulin intravena (IV Ig) adalah imunomodulator dengan mekanisme kerja
luas, meliputi blokade reseptor Fc, regulasi komplemen dan sel T. tidak seperti
imunosupresan, IV Ig tidak mempunyai efek meningkatkan risiko terjadinya infeksi.
Dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut memberikan perbaikan pada
trombositopenia, arthritis, nefritis, demam, manifestasi kulit dan parameter imunologis.
Efek samping yang terjadi adalah demam, mialgia, sakit kepala dan artralgia, serta
kadang meningitis aseptic.Kontraindikasi diberikan pada penderita SLE dengan defisiensi
Ig A.
Immune and Hematologic System – Kasus 2 (SLE)
2.2.6 PATOFISIOLOGI
Faktor presdiposisi Sle(genetic,hormone,obatan dan ras)
Auto antibody
T helper daripada T supresor
Antigen dan antigen plasma
Antibodi berikatan dengan antigen
Mengaktivasi komplemen antigen dan antibody
Kompleks antigen-antibodi Persendian inflamasi arthritis Nyeri
Pada antigen sel darah
Destruksi sel darah Leukopeni
Anemia(Hb<) Infeksi resti perluasan infeksi
Intoleransi aktivitas
Lupus Vaskulitis Katabolisis Protein sel mukosa mudah rusak luka pada mukosa dan mulut
Gg Integritas Kulit Perubahan fisik
Gangguan citra tubuh
Immune and Hematologic System – Kasus 2 (SLE)
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Biodata
Nama : Ny M
Umur : 39 tahun
Jenis kelamin : perempuan
Keluhan utama : Mata dan muka terasa panas dan gatal
Riwayat kesehatan :
1. Sekarang : P: apa yang bisa memperberat timbul mata dan muka panas dan
gatal ?
Q: konsistensi feses ?/ kuantitas gatal?
R: dimana terasa panas dan gatal?
S: -
T: kapan terjadi gatal dan panas teras ?
Pemeriksaan fisik
TTV : TD 100/60, suhu 36,3ᵒ C, respirasi 24x/mnt, nadi 96x/mnt,
Inpeksi :
- Rambut mudah rontok,mudah dicabut
-Wajah: Buterfly rush
-Mata: Nyeri,secret(+),Injeksi Konjuctiva,Konjuctiva anemis
-Mulut: Ulser,bibir terasa terbakar
-Dada dan perut: Makula eritema
Pemeriksaan diagnostik
Darah rutin ditemukan nilai Hb=7,6 gr/dl LED=62 mm/jam, leukosit=2400/ul
Immune and Hematologic System – Kasus 2 (SLE)
B. Analisa Data
No Data yang menyimpang Etiologi masalah
1 Ds : mengeluh bintik – bintik
pada muka dan badan
Do : Buterfly rush
Lupus Vaskulitis
Katabolisis protein
Sel mukosa,kulit mudah rusak
Luka pada mukosa dan bibir +
inflamasi
Ggn Integritas kulit
Gg Integritas kulit
2 Ds : -
Do : -
Antigen pd sel darah
Destruksi sel darah
Leukopeni
Infeksi
Resiko perluasan infeksi
3 Ds : Nyeri
Do : -
Hb rendah
O2 ke jaringan kurang
Metabolisme anaerob
Timbunan asam laktat
Nyeri
Immune and Hematologic System – Kasus 2 (SLE)
Nyeri
4 Ds : nyeri
Do : Hb=7,6
Pada antigen sel darah
Destruksi sel darah
Anemia
Intoleransi Aktivitas
Intoleransi Aktivitas
5 Ds : Buterfly rush,Makula
eritema
Do : -
Manifestasi klinis Sle
Buterflu rush
Tidak efektifnya koping
R gg citra tubuh
Resiko Gg Citra Tubuh
C. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko Perluasan infeksi berhubungan dengan leukopeni yang ditandai dengan leukosit
=2400
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan jumlah energi ditandai dengan Hb
7,6(anemia)
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit yang
ditandai butterfly rush dan bintik bintik dimuka dan badan
4. Nyeri berhubungan dengan efusi sendi yang ditandai klien mengeluh nyeri sendi
5. R. gg citra tubuh berhubungan dengan perubahan fisik yang ditandai dengan butterfly
rush
Immune and Hematologic System – Kasus 2 (SLE)
D. Asuhan Keperawatan
No. Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
1 Gangguan
integritas kulit
berhubungan
dengan
penurunan
integritas jaringan
Setelah diberi
perawatan,
luka di mulut dan
butterfly rush
berkurang
-Kolaborasi pemberian
antibiotik dan antifungal
lokal
-Anjurkan klien
seminimal mungkin
mungkin menyentuh area
luka
-Lakukan perawatan
luka dengan teknik
aseptik
-Bantu klien melakukan
oral higiene
-Berikan suplemen vit C
-Berikan diet tinggi
protein, pilih yang mudah
dicerna di mulut
-mencegah
perluasan luka
akibat infeksi
-mencegah
perluasan luka
akibat infeksi dan
manipulasi tangan
-oral higiene
membantu
membersihkan
mulut dari
mikroorganisme
penyebab infeksi
- meningkatkan
antioksidan dan
memperkuat jar ikat
mukosa
2 Intoleransi Setelah dilakukan 1. Monitor tanda - Penurunan Hb
Immune and Hematologic System – Kasus 2 (SLE)
aktivitas
berhubungan
dengan
penurunan jumlah
energi
perawatan klien
nyaman dengan
pola aktivitas saat
ini, aktivitas sesuai
dengan batas
toleransi klien
vital saat klien
beraktivitas
2. Anjurkan klien
untuk beraktivitas
sesuai
kemampuan dan
anjurkan klien
untuk
memberikan
periode istirahat
3. meminimalisir
penggunaan
energi
4. Anjurkan bed rest
setelah periode
excacerbasi
5. Dorong
penggunaan alat
bantu
6. Dekatkan benda2
yang dibutuhkan
klien dekat
dengan klien
7. Monitor tingkat
Hb klien
8. Jika sangat
dibutuhkan
kolaborasi
pemberian PRC
dapat terjadi
anemia yang
dapat
menunjukkan
klien intoleran
terhadap aktivitas
- meningkatkan
adaptasi klien
terhadap aktivitas
- menghemat energi
untuk aktivitas
yang lebih penting
- Hb dibutuhkan
untuk membawa
oksigen untuk
pembentukan
energi
-pemberian PRC
dapat meningkatkan
Hb
3 Resiko Perluasan
infeksi
Supaya tidak terjadi
infeksi
1. Bantu klien
memenuhi
- oral higiene
membantu
Immune and Hematologic System – Kasus 2 (SLE)
berhubungan
dengan leukopeni
kebutuhan
personal higiene
2. Atasi infeksi yang
telah ada dengan
kolaborasi
pemberian
antibiotik
3. Batasi jumlah
pengunjung untuk
klien
4. Jaga lingkungan
selalu bersih
5. Lakukan
perawatan luka
jika ada secara
aseptik
6. Kaji
kemungkinan
timbulnya
gangguan
integritas kulit
7. Pastikan kuku dan
tangan klien
bersih dan
anjurkan klien
untuk tidak
menggaruk yang
area gatal dengan
kuku
8. Pisahkan klien
dengan klien lain
membersihkan
mulut dari
mikroorganisme
penyebab infeksi
- Untuk
mengurangi rasa
nyeri
- Untuk
mengurangi
resiko infeksi dari
pengunjung yang
dating
- Lingkungan yang
bersih bisa
terhindar dari
bakteri yang dapat
menambah infeksi
- Kuku banyak
terdapat bakteri
dan kuman
Immune and Hematologic System – Kasus 2 (SLE)
yang memiliki
penyakit infeksius
4 Nyeri
berhubungan
dengan efusi
sendi
Setelah dilakukan
perawatan nyeri
dapat teratasi
- Kaji skala nyeri pasien
- Atur posisi imobilisasi
pada daerah nyeri.
-Bantu klien dalam
mengidentifikasi factor
pencetus.
-Jelaskan dan bantu klien
dengan tindakan pereda
nyeri non farmakologi
dan non invasive.
-Ajarkan teknik distraksi
dan relaksasi.
- nyeri merupakan
respon subjektif
yang dapat dikaji
dengan skala nyeri.
-imobilisasi yang
adekuat dapat
mengurangi nyeri.
-nyeri dipengaruhi
oleh kecemasan dan
pergerakan sendi
.pendekatan dengan
menggunakan
relaksasi dan
tindakan non
farmakologi lain
menunjukkan
keefektifan dalam
mengurangi nyeri.
-teknik ini dapat
membantu
mengurangi nyeri.
5 R. gg citra tubuh
berhubungan
Klien tidak sedih
dan mampu
-Sediakan waktu
dengan orang terdekat
- penguat yang ada
dapat
Immune and Hematologic System – Kasus 2 (SLE)
dengan perubahan
fisik
berkomunikasi
dengan orang
terdekatnya
untuk mengekspresikan
perasaan
- Observasi makna
peerubahan yang
dialami klien
- Membantu mengenali
mekanisme koping
efektif
-Dorong verbalisasi
persepsi dan rasa takut
membangkitkan
semangat klien dan
menerima terapi.
- mengekspresikan
perasaan membantu
memudahkan
koping.
mengetahui
perasaan klien
tentang keadaannya
dan kontrol
emosinya.
-dugaan masalah
pada penilaian yang
dapat memerlukan
evaluasi lanjut dan
terapi lebih ketat.
-Jelaskan bahwa
keadaan klien masih
dapat berubah ke
arah yang lebih baik
asalkan klien
menaati
pengobatan.
Immune and Hematologic System – Kasus 2 (SLE)
BAB III
SIMPULAN
1.1Simpulan
Systemic Lupus Erytematosus (SLE) atau Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah
penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya karena adanya perubahan
sistem imun. SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok penyakit yang
melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak
manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks.
Etiologi: Belum diketahui secara pasti tap ada beberpa factor pencetus:
-F. Genetik
-F. Sinar UV
-Hormon
-Imunitas
-Infeksi
-Obat
Tanda dan gejala umum :
- Poliatralgia (nyeri sendi) dan artritis (peradangan sendi)
- Demam akibat peradangan kronik
- Ruam wajah dalam pola malar (seperti kupu-kupu) di pipi dan hidung. Kata lupus berarti serigala dan mengacu pada penampakan topeng seperti serigala
- Lesi dan kebiruan di ujung jari akibat buruknya aliran darah dan hipoksia kronik
- Sklerosis (pengencangan atau pengerasan) kulit jari tangan
- Luka di selaput lendir atau faring (sariawan)
- Lesi berskuama di leher, dan punggung
- Edema mata dan kaki mungkin mencerminkan keterlinbatan ginjal dan hipertensi
- Anemia, kelemahan kronik, infeksi berulang, dan perdarahan sering terjadi karena seranan terhadap sel darah merah dan putih serta trombosit
Klasifikasi lupus ada 3 yaitu
Immune and Hematologic System – Kasus 2 (SLE)
1.Diskoid lupus(kulit)
2.SLE: Lupus sistemik mengenai semua organ di tubuh
3.Lupus karena obat- obatan
Pengobatan dibagi atas nonfarmakologi dan farmakologi:
Nonfarmakologi:
-Memakai tabir surya untuk menghindari terpapar sinar matahari
-Edukasi tentang penjelasan pnyakit dengan keluaga juga
-Olahraga
-Diet
Farmakologi
-Terapi Kortikosteroid
-Obat Anti malaria
-NSAIDs
Diagnosa keperawatan yang dapat diambil dari kasus :
Intoleransi aktivitas
Gangguan integritas kulit
Resti perluasan infeksi
Nyeri
Resiko gangguan citra tubuh
DAFTAR PUSTAKA
Immune and Hematologic System – Kasus 2 (SLE)
Anna MQ, Peter VR, et al. Diagnosis of Systemic Lupus Eritematosus. Last update: 1
Desember 2003. Available at: http://www.aafp.org
Anonim. Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak. Last update : 16 Mei, 2009. Available
at htttp://www.childrenclinic.wordpress.com.
Callen JP. Lupus Eritematosus, Discoid. Last update : February, 2007. Available at
htttp://www.emedicine.com.
Crowin, Elizabeth J., 2009, Buku Saku Patofisiologi, Ed.3, Jakarta : EGC
E,Soekrawati.2006. Systemic Lupus Erithematosus In : Dexa Media Jurnal Kedokteran dan Farmasi.vol 19. Denpasar: SMF Kulit dan Kelamin RSUD Wangaya
Harsono A, Endaryanto A. Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak. Last update : 14 Februari, 2010. Available at http://www.pediatrik.com
Imboden J, Hellmann D, Stone J. Current Diagnosis & Treatment Rheumatology. Edisi ke-2. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2007.
Kasper,DL et all. Systemic Lupus Erithematosus (SLE) In : Harrison’s Manual of Medicine. Ed 16. New York :McGraw Hill Medical Publishing Division.2006
Marisa S. Klein-Gitelman, Michael L. Miller, Chapter 148.Systemic Lupus
Erythematosus : Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition. W.B Saunders, Philadelphia.
2003. p810-813.
Rubenstein,D.,David ,W dan John,dalam Rahmalia,A.2005.Kedokteran Klinis:
Jakarta:Erlangga
Suddart & Brunner. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC
Tonam, Yuda T, Fachrida LM. Manifestasi Neurologik pada Lupus Eritematosus
Sistemik. Bagian Neurologi FKUI/RSUPN-CM. 2007.