SLE Vhandru

42
REFERAT LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikui Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD CIAMIS Disusun oleh : ENDRO SUSILO PUTRO EVA APRILIA Diajukan Kepada : dr. Setyo Raharjo, Sp.PD

description

kedsokteran

Transcript of SLE Vhandru

REFERAT

LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat MengikuiKepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam

RSUD CIAMIS

Disusun oleh :

ENDRO SUSILO PUTRO

EVA APRILIA

Diajukan Kepada :

dr. Setyo Raharjo, Sp.PD

ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD CIAMIS

FAKULTAS KEDOKTERAN UMUM

UNIVERSITAS MALAHAYATI

2013

BAB I

PENDAHULUAN

Lupus eritematosus sistemik atau lebih dikenal dengan nama systemic lupus

erythematosus (SLE) merupakan penyakit kronik inflamatif autoimun yang belum

diketahui etiologinya dengan manifestasi klinis beragam serta berbagai perjalanan klinis

dan prognosisnya. Penyakit ini ditandai oleh adanya periode remisi dan episode serangan

akut dengan gambaran klinis yang beragam berkaitan dengan berbagai organ yang

terlibat. SLE merupakan penyakit yang kompleks dan terutama menyerang wanita usia

reproduksi. Faktor genetik, imunologik, dan hormonal serta lingkungan berperan dalam

proses patofisiologi. 1,5,6,7

Prevalensi SLE di Amerika adalah 1:1000 dengan rasio wanita : laki-laki antara

9-14 : 1. Data tahun 2002 di RSUP Cipto mangunkusumo Jakarta, didapatkan 1,4% kasus

SLE dari total kunjungan pasien poliklinik Reumatologi. Belum terdapat data

epidemiologi yang mencakup semua wilayah Indonesia, namun insidensi SLE dilaporkan

cukup tinggi di Palembang.1,5

Survival rate SLE berkisar antara 85% dalam 10 tahun pertama dan 65% setelah

20 tahun menderita SLE. Mortalitas akibat penyakit SLE ini 3 kali lebih tinggi

dibandingkan populasi umum. Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE berkaitan

dengan aktivitas penyakit dan infeksi, sedangkan dalam jangka panjang berkaitan dengan

penyakit vascular aterosklerotik.5,6

2

BAB II

PEMBAHASAN

I. DEFINISI

Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang

terjadi karena produksi antibodi terhadap komponen inti sel tubuh sendiri

yang berkaitan dengan manifestasi klinik yang sangat luas pada satu atau

beberapa organ tubuh, dan ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah

dan jaringan ikat, bersifat episodik diselangi episode remisi. Berdasarkan

sumber lain, sistemik lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit multisistem

yang disebabkan oleh kerusakan jaringan akibat deposisi immune kompleks.

Terdapat spektrum manifestasi klinis yang luas dengan remisi dan eksaserbasi.

Respons imun patogenik mungkin berasal dari pencetus lingkungan serta

adanya gen tertentu yang rentan.2,3

II. ETIOLOGI 2,3,4

1. Autoimun ( kegagalan toleransi diri)

2. Cahaya matahari ( UV)

3. Stress

4. Agen infeksius seperti virus, bakteri (virus Epstein Barr, Streptokokus,

klebsiella)

5. Obat – obatan : Procainamid, Hidralazin, Antipsikotik, Chlorpromazine,

Isoniazid

6. Zat kimia : merkuri dan silikon

7. Perubahan hormon

III. EPIDEMIOLOGI

3

Dalam 30 tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu penyakit reumatik

utama di dunia. Prevalensi SLE di berbagai negara sangat bervariasi. Prevalensi

pada berbagai populasi yang berbeda-beda bervariasi antara 2,9/100.000 -

400/100.000. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa

negro, Cina dan mungkin juga Filipina. Faktor ekonomi dan geografik tidak

mempengaruhi distribusi penyakit. Penyakit ini dapat ditemukan pada semua

usia, tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi

pada wanita dibandingkan dengan frekuensi pada pria berkisar antara

(5,5-9) : 1. 1

Beberapa data yang ada di Indonesia diperoleh dari pasien yang dirawat di

rumah sakit. Dari 3 peneliti di Departemen Ilmu Penyakit dalam Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia / RS. Dr. Cipto Mangunkusumo, yang

melakukan penelitian pada periode yang berbeda diperoleh data sebagai

berikut : 1969-1970 ditemukan 5 kasus SLE (Ismail Ali); 1972-1976 ditemukan

1 kasus SLE dari setiap 666 kasus yang dirawat; 1988-1990 insidensi rata-rata

ialah sebesar 37,7 per 10.000 perawatan.1

Insidensi di Yogyakarta antara tahun 1983-1986 ialah 10,1 per 10.000

perawatan (Purwanto, dkk). Di medan antara tahun 1984-1986 didapatkan

insidensi sebesar 1,4 per 10.000 perawatan (Tarigan).1 sementara di RS Hasan

Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5% dari total pasien yang

berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010

IV. PATOFISIOLOGI 3,4,5,6

Tidak diketahui etiologi pasti. Ada faktor keluarga yang kuat terutama

pada keluarga dekat. Resiko meningkat 25–50% pada kembar identik dan 5%

pada kembar dizygotic, menunjukkan kaitannya dengan faktor genetik. Fakta

bahwa sebagian kasus bersifat sporadis tanpa diketahui faktor predisposisi

genetiknya, menunjukkan faktor lingkungan juga berpengaruh. Infeksi dapat

4

menginduksi respon imun spesifik berupa molecular mimicry yang mengacau

regulasi sistem imun. Faktor lingkungan yang mencetuskan SLE, bisa dilihat pada

tabel berikut :

Tabel 1.  Faktor Lingkungan yang mungkin berperan dalam patogenesis Lupus

Eritematous Sistemik (dikutip dari Ruddy: Kelley's Textbook of

Rheumatology, 6th ed 2001)

         Definite

Ultraviolet B light

         Probable

Hormon sex

rasio penderita wanita : pria = 9:1; rasio penderita menarche : menopause = 3:1

         Possible

Faktor diet

Alfalfa sprouts dan sprouting foods  yang mengandung L-canavanine; Pristane

atau bahan yang sama; Diet tinggi saturated fats

Faktor Infeksi

DNA bakteri; Human retroviruses; Endotoksin, lipopolisakarida bakteri

Faktor paparan dengan obat tertentu :

Hidralazin; Prokainamid; Isoniazid; Hidantoin; Klorpromazin; Methyldopa; D-

Penicillamine; Minoksiklin; Antibodi anti-TNF; Interferon-

5

Terjadinya SLE dimulai dengan interaksi antara gen yang rentan serta faktor

lingkungan yang menyebabkan terjadinya respons imun yang abnormal. Respon tersebut

terdiri dari pertolongan sel T hiperaktif pada sel B yang hiperaktif pula, dengan aktivasi

poliklonal stimulasi antigenik spesifik pada kedua sel tersebut. Pada penderita SLE

mekanisme yang menekan respon hiperaktif seperti itu, mengalami gangguan. Hasil dari

respon imun abnormal tersebut adalah produksi autoantibodi dan pembentukan imun

kompleks. Subset patogen autoantibodi dan deposit imun kompleks di jaringan serta

kerusakan awal yang ditimbulkannya merupakan karakteristik SLE.

Antigen dari luar yang akan di proses makrofag akan menyebabkan berbagai

keadaan seperti : apoptosis, aktivasi atau kematian sel tubuh, sedangkan beberapa antigen

tubuh tidak dikenal (self antigen) contoh: nucleosomes, U1RP, Ro/SS-A. Antigen

tersebut diproses seperti umumnya antigen lain oleh makrofag dan sel B. Peptida ini akan

menstimulasi sel T dan akan diikat sel B pada reseptornya sehingga menghasilkan suatu

antibodi yang merugikan tubuh. Antibodi yang dibentuk peptida ini dan antibodi yang

terbentuk oleh antigen external akan merusak target organ (glomerulus, sel endotel,

trombosit). Di sisi lain antibodi juga berikatan dengan antigennya sehingga terbentuk

imun kompleks yang merusak berbagai organ bila mengendap.

Perubahan abnormal dalam sistem imun tersebut dapat mempresentasikan protein

RNA, DNA dan phospolipid dalam sistem imun tubuh. Beberapa autoantibodi dapat

meliputi trombosit dan eritrosit karena antibodi tersebut dapat berikatan dengan

glikoprotein II dan III di dinding trombosit dan eritrosit. Pada sisi lain antibodi dapat

bereaksi dengan antigen cytoplasmic trombosit dan eritrosit yang menyebabkan proses

apoptosis.

Peningkatan imun kompleks sering ditemukan pada SLE dan ini menyebabkan

kerusakan jaringan bila mengendap. Imun kompleks juga berkaitan dengan komplemen

yang akhirnya menimbulkan hemolisis karena ikatannya pada receptor C3b pada eritrosit.

Kerusakan pada endotel pembuluh darah terjadi akibat deposit imun kompleks

yang melibatkan berbagai aktivasi komplemen , PMN dan berbagai mediator inflamasi.

6

Keadaan-keadaan yang terjadi pada cytokine pada penderita SLE adalah

ketidakseimbangan jumlah dari jenis-jenis cytokine. Keadaan ini dapat meningkatkan

aktivasi sel B untuk membentuk antibodi.

Berbagai keadaan pada sel T dan sel B yang terjadi pada SLE :

Sel T  :

-Lymphopenia

-Penurunan sel T supressor

-Peningkatan sel T helper

-Penurunan memori dan CD4

-Penurunan aktivasi sel T supressor

-Peningkatan aktivasi sel T helper

Sel B :

-Aktivasi sel B

-Peningkatan respon terhadap cytokine.

Bagian  terpenting dari patogenesis ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang

dalam keadaan normal mencegah autoimunitas.

 

7

8

V. GEJALA KLINIK 6,7,8

Onset penyakit dapat spontan atau didahului faktor presipitasi seperti

kontak dengan sinar matahari, infeksi, obat, penghentian kehamilan, trauma

fisik/psikis. Setiap serangan biasanya didahului gejala umum seperti demam,

malaise, kelemahan, anorexia, berat badan menurun, iritabilitas. Demam ialah

manifestasi yang paling menonjol kadang-kadang dengan menggigil.

Manifestasi kulit berupa butterfly appearance. Manifestasi kulit yang lain

berupa lesi discoid, erythema palmaris,periungual erythema, alopesia. Mucous

membran lession cenderung muncul pada periode eksaserbasi pada 20% penderita

juga didapatkan fenomena Raynaud.

Manifestasi gastrointestinal berupa nausea, diare, GIT discomfort. Gejala

menghilang dengan cepat bila manifestasi sistemiknya diobati dengan adekuat.

Nyeri GIT mungkin disebabkan peritonitis steril dan arteritis pembuluh darah

kecil mesenterium dan usus yang mengakibatkan ulserasi usus. Arteritis juga

dapat menimbulkan pankreatitis.

Manifestasi muskuloskeletal berupa athralgia, myalgia, myopathi. Joint

symptoms dengan atau tanpa aktif sinovitis ada pada 90% penderita. Atritis

cenderung menjadi deformasi, dan gambaran ini hampir selalu tidak didapatkan

pada pemeriksaan radiografi.

Manifestasi ocular, termasuk conjungtivitis, fotofobia, transient atau

permanent monoocular blindness dan pandangan kabur. Pada pemeriksaan fundus

dapat juga ditemukan cotton-wool spots pada retina (cytoid bodies).

Pleurisi, pleural effusion, bronkopneumonia, pneumonitis sering dijumpai.

Pleural effusion unilateral ringan lebih sering dijumpai daripada bilateral.

Mungkin didapatkan sel LE pada cairan pleura. Pleural effusion menghilang

dengan terapi yang adekuat. Restriktif pulmonary disease juga mungkin dijumpai.

9

Manifestasi di jantung dapat berupa cardiac failure akibat dari micarditis

dan hipertensi. Cardiac aritmia juga sering dijumpai. Valvular incompetence yang

sering dijumpai adalah mitral regurgitasi.

Vasculitis pada percabangan mesenterica sering muncul dan dihubungkan

dengan polyarteritis nodusa, termasuk ditemukan adanya aneurysma pada

percabangannya. Abdominal pain (setelah makan), ileus, peritonitis, perforasi

dapat terjadi.

Adenopati menyeluruh dapat ditemukan, terutama pada anak-anak,

dewasa muda, dan kulit hitam. Splenomegali terjadi pada 10% penderita. Secara

histologis lien menunjukan fibrosis periarterial (onion skin lesion).

Hepatomegali mungkin juga dapat ditemukan, tetapi jarang disertai

ikterus. Kelenjar parotis dapat membesar pada 6% kasus SLE.

Pada Drug Induce Lupus Erythematosus kelainan pada ginjal dan SSP

jarang ditemukan. Anti Ds-DNA, hipocomplementemia serta kompleks imun juga

jarang ditemukan.

Derajat Berat Ringannya Penyakit SLE

Penyakit SLE dapat ringan atau berat sampai mengancam nyawa .

Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah : 10

1. Diagnosis SLE telah ditegakkan atau sangat dicurigai

2. Secara klinis tenang

3. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa

4. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung,

gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit

5. Tidak ditemukan tanda efek samping atau toksisitas pengobatan

10

Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan

sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu: 10

a. Jantung : vaskulitis arteri koronaria, miokarditis, tamponade jantung,

hipertensi maligna

b. Paru-paru : hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli

paru, infark paru, fibrosis interstitial

c. Gastrointestinal : pankreatitis, vaskulitis mesenterika

d. Ginjal : nefritis persisten, RPGN (rapidly progressive glomerulonephritis),

sindroma nefrotik

e. Kulit : vaskulitis, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister)

f. Neurologi : kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati

transversa, mononeuritis, polyneuritis, neuritis optic, psikosis, sindroma

demielinisasi

g. Otot : miositis

h. Hematologi : anemia hemolitik, netropenia (leukosit < 1.000/mm3 ),

trombositopenia < 50.000/mm3 , purpura trombotik trombositopenia,

trombosis vena atau arteri

i. Konstitusional : demam tinggi yang persiten tanpa bukti infeksi

VI. PEMERIKSAAN LABORATORIUM 6

Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan :

1. Hematologi

Ditemukan anemia, leukopenia, trombocytopenia.

2. Kelainan imunologi

Ditemukan ANA, Anti-Ds-DNA, rheumatoid factor, STS false positive,

dan lain-lain. ANA sensitive tapi tidak spesifik untuk SLE. Antibody double-

stranded DNA (Anti-Ds DNA) dan anti-Sm spesifik tapi tidak sensitive.

Depresi pada serum complement (didapatkan pada fase aktif) dapat berubah

11

menjadi normal pada remisi. Anti-Ds DNA juga berhubungan dengan

aktivitas dari perjalanan penyakit SLE , tetapi anti-Sm tidak.

Suatu varietas antibody antinuclear lain dan juga anticytoplasmic

(Ro,La,Sm,RNP,Jo-1) berguna secara diagnostik pada penyakit jaringan ikat

dan kadang ditemukan pada SLE dengan negatif ANA.

Serologi Tes Siphillis false positive dapat ditemukan 5-10% penderita.

Mereka disertai antikoagulan lupus,yang manifestasi sebagai perpanjangan

Partial Thrombiplastin (PTT).

Kadar complemen serum menurun pada fase aktif dan paling rendah

kadarnya pada SLE dengan nefritis aktif. Urinalisis dapat normal walaupun

telah terjadi proses pada ginjal. Untuk menilai perjalanan SLE pada ginjal

dilakukan biopsy ginjal dengan ulangan biopsy tiap 4-6 bulan. Adanya

silinder eritrosit dan silinder granuler menandakan adanya nefritis yang aktif.

Berikut tabel dibawah, jenis autoantibody yang berperan dalam SLE dan

prevalensinya.

Tabel 2. Autoantibody pada penderita SLE. 4,5,6

Incidence %

Antigen detected

Clinical importance

Antinuclear antibodies

98 Multiple nuclearSubstrat sel manusia lebih sensitive dari murine. Pemeriksaan negatif yang berturut-turut menyingkirkan SLE.

Anti-DNA 70 DNA(ds) Spesifik untuk SLE;Anti-ssDNA tidak.Titer yang tinggi berkorelasi dengan nephritis dan tingkat aktivitas SLE.

Anti-Sm 30 Protein complexed to 6 species or small nuclear RNA

Spesifik untuk SLE.

Anti-RNP 40 Protein complexed to U1RNA

Titer tinggi pada sindrom dengan manifestasi polimyositis,scleroderma,lupus dan mixed connective tissue disease.Jika + tanpa anti-DNA,resiko untuk nephritis

12

rendah.

Anti-Ro(SS-A) 30 Protein complexed to y1-y5 RNA.

Berhubungan dengan Sjorgen’s Syndrome,subacute cutaneus lupus,inherited C’ deficiencies,ANA-negative lupus,lupus in eldery,neonatal lupus,congenital heart block.Dapat menyebabkan nephritis.

Anti-La(SS-B) 10 Phosphoprotein Selalu berhubungan dengan anti-Ro.Resiko nephritis rendah bila +.Berhubungan dengan Sjorgen’s Synd.

Antihistone 70 Histones Lebih banyak pada drug induced lupus(95%) daripada spontaneous lupus.

Antiphospholipid 50 Phospholipid 3 tipe- lupus anticoagulan(LA),anticardiolipin(aCL),dan false-positive test for syphilis(BFP).LA dan aCL berhubungan dengan clotting,fetal loss,thrombocytopenia,valvular heart disease.Antibodi pada β2-glycoprotein I bagian dari grup ini.

Antierythrocyte 60 Erythrocyte Jumlah sedikit dari antibody ini dapat mrnnyebabkan hemolisis.

Antiplatelet 30 Platelet surface + cytoplasma

Berhubungan dengan thrombocytopenia pada 15% penderita.

Antilymphocyte 70 Lymphocyte surface

Kemungkinan berhubungan dengan leukopenia dan abnormal fungsi sel T.

Antiribosomal 20 Ribosomal P protein

Berhubungan dengan psikosis atau depresi dengan CNS SLE.

ANA Anti-Native DNA

Rheumatoid Factor

Anti-Sm

Ani-SS-A

Anti-SS-B

Anti SCL-70

Anti Centromere

Anti-Jo-1

ANCA

Rheumatoid Arthritis 30-60 0-5 72-85 0 0-5 0-2 0 0 0 0

SLE 95-10060 20 10-25 15-20 5-20 0 0 0 0-1

Sjorgen Syndrome 95 0 75 0 60-70 60-70 0 0 0 0

Diffuse scleroderma 80-95 0 25-33 0 0 0 33 1 0 0

Limited scleroderma(CREST syndrome)

80-95 0 33 0 0 0 20 50 0 0

Polymiositis 80-95 0 33 0 0 0 0 0 20-30 0

Wegener’s granulomatosis

0-15 0 50 0 0 0 0 0 0 93-96

ANA = Antinuclear antibody , ANCA = Anticytoplasmic antibody

13

Semua angka diatas menunjukan frekwansi dalam %.

Frekwensi pemeriksaan abnormal yang didapatkan pada pemeriksaan laboratorium pada

SLE :

1. Anemia 60%

2. Leukopenia 45%

3. Trombocytopenia 30%

4. False test for syphilis 25%

5. Lupus anticoagulant 7%

6. Anti-cardiolipin antibody 25%

7. Direct coomb test positive 30%

8. Proteinuria 30%

9. Hematuria 30%

10. Hypocomplementemia 60%

11. ANA 95-100%

12. Anti-native DNA 50%

13. Anti-Sm 20%

Beberapa obat dapat menyebabkan ANA tes positf dan kadang-kadang sindroma mirip

lupus.Gejala menghilang jika obat dihentikan segera.

14

Obat-obat yang dapat memicu timbulnya SLE  terhadap orang dengan predisposisi

genetik :

Definite ascociation

Chlorpromazine                     Methyldopa

Hydralazine                            Procainamide

Isoniazid                                 Quinidine

Possible ascociation

Beta-blocker                          Methimazole

Captopril                                Nitrofurantion

Carbamazepine                    Penicillinamine

Cimetidine                             Phenitoin

Ethosuximide             Propylthiouracil

Hydrazine                              Sulfasalazine

Levodopa                               Sulfonamide

Lithium                                  Trimethadione

Unlikely ascociation

Allopurinol                              Penicillin

Chlortalidone                         Phenylbutazone

Gold salt                                 Reserpine

15

Griseofulvin                            Streptomycin

Methysergide             Tetracycline

Oral contraceptive

16

17

VII. DIAGNOSIS

Diagnosis SLE harus dipikirkan pada :

1. Wanita muda

2. Didapatkan lesi pada area yang terekspose matahari

3. Manifestasi sendi

4. Depresi dari hemoglobin, sel darah putih, sel darah merah,trombosit

5. Tes serologi yang positif (ANA, anti-native DNA, serum komplemen yang rendah)

Diagnosis mengacu pada kriteria yang dibuat oleh the American College

of Rheumatology revisi tahun 1997.7,9

Interpretasi:

Bila 4 kriteria atau lebih didapatkan, diagnosa SLE bisa ditegakkan dengan

spesifitas 98% dan sensitivitas  97%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah

satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosa bergantung pada

pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE.

Apabila hanya tes ANA positif dan gejala lain tidak ada, maka bukan SLE.

18

19

VIII. DIAGNOSIS BANDING

Beberapa penyakit atau kondisi di bawah ini seringkali mengacaukan

diagnosis akibat gambaran klinis yang mirip aau beberapa tes laboratorium yang

serupa, yaitu : 10,14

a. Undifferentiated connective tissue disease

b. Sindroma Sjogren

c. Sindroma antibody antifosfolipid (APS)

d. Fibromialgia (ANA positif)

e. Purpura trombositopenik idiopatik

f. Lupus imbas obat

g. Artritis reumatoid

h. Vaskulitis

i. Rheumatoid arthritis dan penyakit jaringan konektif lainnya.

j. Endokarditis bacterial subacute

k. Septikemia oleh Gonococcus/Meningococcus disertai dengan arthritis ,lesi

kulit.

l. Drug eruption.

m. Limfoma.

n. Leukemia.

o. Trombotik trombositopeni purpura.

20

IX. PENGELOLAAN

Tujuan

Meningkatkan kualitas hidup pasien dengan pengenalan dini dan

pengobatan paripurna. Tujuan khusus : a) mendapatkan masa remisi yang

panjang, b) menurunkan aktifitas penyakit seringan mungkin, c) mengurangi rasa

nyeri dan memelihara fungsi organ agar aktifitas hidup keseharian baik

Pilar Pengobatan

I. Edukasi dan konseling

Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan

dukungan sekitar agar dapat hidup mandiri. Pasien memrlukan edukasi

mengenai cara mencegah kekambuhan antara lain dengan melindungi kulit

dari paparan sinar matahari (ultra violet) dengan memakai tabir surya,

payung, atau topi, melakukan latihan secara teratur, pengaturan diet agar

tidak kelebihan berat badan, osteoporosis, atau dislipidemia. Diperlukan

informasi akan pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan

aktifitas penyakit ataupun akibat pemakaian obat-obatan.

II. Latihan/program rehabilitasi

a. Istirahat

b. Terapi fisik

c. Terapi dengan modalitas

III. A) Pengobatan SLE Ringan 10

a. Edukasi

Pasien diberikan harapan yang realistic sesuai keadaannya,

hindari paparan ultra violet berlebihan, hindari kelelahan, berikan

pengetahuan akan gejala dan tanda kekambuhan, anjurkan agar

pasien mematuhi jenis pengobatan dan melakukan konsultasi

teratur.

b. Obat-obatan

- Anti analgetik

- Anti inflamasi non steroidal (OAINS)

21

- Glukokortikoid topikal potensi ringan (untuk mengatasi

ruam)

- Klorokuin basa 4mg/kg BB/hari

- Kortikosteroid dosis rendah < 10 mg/hari prednisone

c. Tabir surya : topikal minimum sun protection factor 15 (SPF 15)

d. Istirahat

B) Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa

a. Glukokortikoid dosis tinggi 1,6,7,8

Lupus nefritis, serebritis atau trombositopenia : 40-60 mg/hari

(1mg/kg BB) Prednisone atau metilprednisolon intravena sampai

1 g/hari selama 3 hari berturut-turut. Selanjutnya diberikan oral.

b. Obat imunosupresan atau sitotoksik

Azatioprin, siklofosfamid, metotreksat, klorambusil, siklosporin

dan nitrogen mustard. Tergantung dari berat ringannya penyakit

serta organ yang terlibat, misalnya pada lupus nefritis diberikan

siklofosfamid (oral/intravena) azatioprin; arthritis berat

diberikan metotreksat (MTX).

Penderita SLE tidak dapat sembuh sempurna(sangat jarang didapatkan remisi

yang sempurna). Meskipun begitu dokter  bertugas untuk memanage dan mengkontrol

supaya fase akut tidak terjadi. Tujuan pengobatan selain untuk menghilangkan gejala,

juga memberi pengertian dan semangat kepada penderita untuk dapat bekerja dan

melakukan kegiatan sehari-hari. Terapi terdiri dari terapi suportif yaitu diit tinggi kalori

tinggi protein dan pemberian vitamin.

Beberapa prinsip dasar tindakan pencegahan eksaserbasi pada SLE, yaitu:11,12

1. Monitoring teratur

2. Penghematan energi dengan istirahat terjadwal dan tidur cukup

22

3. Fotoproteksi dengan menghindari kontak sinar matahari atau dengan pemberian

sunscreen lotion untuk mengurangi kontak dengan sinar matahari

4. Atasi infeksi dengan terapi pencegahan pemberian vaksin dan antibiotik yang

adekuat.

5. Rencanakan kehamilan / hindari kehamilan .

Berikut adalah beberapa terapi medikamentosa pada penderita SLE :11,12

1. NonSteroid Anti-Inflamatory Drug (NSAID):

NSAID berguna karena kemampuannya sebagai analgesik, antipiretik dan

antiinflamasi. Obat ini berguna untuk mengatasi SLE dengan demam dan

arthralgia/arthritis. Aspirin adalah salah satu yang paling banyak diteliti

kegunaannya. Ibuprofen dan indometasin cukup efektif untuk mengobati SLE

dengan arthritis dan pleurisi, dalam kombinasi dengan steroid dan antimalaria.

Keterbatasan obat ini adalah efek samping pada saluran pencernaan terutama

pendarahan dan ulserasi. Cox2 dengan efek samping yang lebih sedikit

diharapkan dapat mengatasi hal ini, tetapi belum ada penelitian mengenai

efektivitasnya pada SLE. Efek samping lain dari OAINS adalah : reaksi

hipersensitivitas, gangguan renal, retensi cairan, meningitis aseptik.

2. Antimalaria

Efektivitas antimalaria terhadap SLE yang mengenai kulit dan sendi telah

lama diketahui, dan obat ini telah dianggap sebagai obat pilihan pertama untuk

SLE kulit terutama LE diskoid dan LE kutaneus subakut. Obat ini bekerja

dengan cara mengganggu pemrosesan antigen di makrofag dan sel penyaji

antigen yang lain dengan meningkatkan pH di dalam vakuola lisosomal. Juga

menghambat fagositosis, migrasi netrofil, dam metabolisme membran

fosfolipid. Antimalaria dideposit didalam kulit dan mengabsorbsi sinar UV.

23

Hidrosiklorokuin menghambat reaksi kulit karena sinar UV. Beberapa

penelitian melaporkan bahwa antimalaria dapat menurunkan kolesterol total,

HDL dan LDL, pada penderita SLE yang menerima steroid maupun yang

tidak.

Terdapat 3 obat antimalaria yang tersedia : hidroksiklorokuin (dosis 200-

400mg/hari), klorokuin (250mg/hari), kuinarkrin (100mg/hari).

Hidroksiklorokuin lebih efektif daripada klorokuin, dan efek sampingnya

lebih ringan. Efek samping antimalaria yang paling sering adalah efek pada

saluran pencernaan, kembung, mual, dan muntah; efek samping lain adalah

timbulnya ruam, toksisitas retin, dan neurologis (jarang).

3. Kortikosteroid

Cara kerja steroid pada SLE adalah melalui mekanisme antiinflamasi dan.

Dari berbagai jenis steroid, yang paling sering digunakan adalah prednison

dan metilprednisolon.

Pada SLE yang ringan (kutaneus, arthritis/arthralgia) yang tidak dapat

dikontrol oleh NSAID dan antimalaria, diberikan prednisone 2,5 mg sampai 5

mg perhari. Dosis ditingkatkan 20% tiap 1 sampai 2 minggu tergantung dari

respon klinis. Pada SLE yang akut dan mengancam jiwa langsung diberikan

steroid, NSAID dan antimalaria tidak efektif pada keadaan itu. Manifestasi

serius SLE yang membaik dengan steroid antara lain : vaskulitis, dermatitis

berat, poliarthritis, poliserosistis, myokarditis, lupus pneumonitis,

glomeruloneftritis (bentuk proliferatif), anemia hemolitik, neuropati perifer

dan krisis lupus.

Pada SLE aktif dan berat, terdapat beberapa regimen pemberian steroid:

1. Regimen I : daily oral short acting (prednison, prednisolon,

metilprednisolon), dosis: 1-2 mg/kg BB/hari dimulai dalam dosis terbagi,

lalu diturunkaan secara bertahap (tapering) sesuai dengan perbaikan klinis

24

dan laboratoris. Regimen ini sangat cepat mengontrol penyakit ini, 5-10

hari untuk manifestasi hematologis atau saraf, serositis, atau vaskulitas; 3-

10 minggu untuk glomerulonephritis.

2. Regimen II : methylprednisolone intravena, dosis: 500-1000 mg/hari,

selama 3-5 hari atau 30 mg/kg BB/hari selam 3 hari. Regimen ini mungkin

dapat mengontrol penyakit lebih cepat daripada terapi oral setiaap hari,

tetapi efek yang menguntungkan ini hanya bersifat sementara, sehingga

tidak digunakan untuk terapi SLE jangka lama.

3. Regimen III : kombinasi regimen 1 atau 2 dengan obat sitostatik

azayhioprine atau cyclophosphamide.

Setelah kelainan klinis menjadi tenang dosis diturunkan dengan

kecepatan 2,5-5 mg/minggu sampai dicapai maintenance dose.

4. Methoreksat

Methoreksat adaalah antagonis folat yang jika diberikan dalam dosis

untuk penyakit rematik efek imunosupresifnya lebih lemah daripada obat

alkilating atau azathrioprin. Methorekxate dosis rendah mingguan, 7,5-15

mg, efektif sebagai “steroid spring agent” dan dapat diterima baik oleh

penderita, terutama pada manifestsi kulit dan mukulosketetal. Gansarge

dkk. melakukan percobaan dengan memberikan Mtx 15 mg/minggu pada

kegagalan steroid dan antimalaria.

Efek samping Mtx yang paling sering dipakai adalah: lekopenia, ulkus

oral, toksisitas gastrointestinal, hepatotoksisitas.untuk pemantauan efek

samping diperlukan pemeriksaan darah lengkap, tes fungsi ginjal dan

hepar. Pada penderita dengan efek samping gastrointestinal, pemberian

asam folat 5 mg tiap minggu akan mengurangi efek tersebut.

25

5. Imunosupresan atau sitostatik yang lain.

Azathhioprine (Imuran AZA)

Cylophosphamide (chitokxan, CTX)

Chlorambucil (leukeran, CHL)

Cyclosporine A

Tacrolimus (FK506)

Fludarabine

Cladribine

Mycophenolate mofetil

6. Terapi hormonal

Dehidroxyepiandrosterone Sulfate (DHEAS)

Danazol

7. Pengobatan Lain

Dapsone

Dapsone, atau 4.4’- diaminophenylsulphone, bekerja dengan cara

mengganggu metabolisme folat dan menghambat asam para

aminobenzoat, dan menghambat jalur alternative komplemen serta

sitotoksisitas netrofil. Tersedia sejak lebih dari 50 tahun  yang lalu untuk

pengobatan lepra. Dapson ternyata efektif untuk pengobatan Lupus

eritematosus kutaneus. Leukopenia, dan trombositopenia pada SLE,

dengan  dosis 50-150 mg/hr. hampir semua penderita yang menerima

26

dapsone akan mengalami anemia hemolitik ringan yang biasanya

berhubungan dengan dosis.

Clofazimine (Lamprene)

Clofazimine adalah anti leprosi juga yang telah terbukti untuk LE

kutaneus yang refrakter. Digunakan dengan dosis antara 100 sampai 200

mg/hr. efek samping yang terutama adalah warna kulit yang berubah

menjadi pink atau coklat gelap, dan menjadi kering.

Thalidomide

Thalidomide dengan dosis 50 sampai 100 mg/hr serta dosis

pemeliharaan 25 sampai 5o mg/hr, efektif untuk LE kutaneus refrakter.

Obat ini bekerja dengan menghambat TNF alfa. Obat ini

dikontraindikasikan pada kehamilan karena banyak laporan mengenai

terjadinya malformasi janin (fokomelia). 11,12

Immunoglobulin intravena

Immunoglobulin intravena (IVIg) bekerja dengan menghambat

reseptor Fc reikuloendotelial. Terapi ini berguna untuk mengatasi

trombositopenia, dan pada keadaan mengamcam jiwa, dengan dosis 2

k/kgBB/hari. 5 hari berturut-turut setiap bulan. IVIg sangat mahal, oleh

karena itu hanya digunakan pada SLE yang resisten terhadap terapi

standar, atau pada keadaan SLE yang berat. 11,12

27

External Device

Terdapat beberapa teknik eksternal  yang kegunaannya pada SLE

agak terbatas, yaitu: plasmapheresis, photopheresis, immunoabsorption,

UVA1light (panjang gelombang: 340-400nm), and iradiasi limfoid total.

8. Transplantasi Sumsum Tulang11,12

Hanya diberikan pada kasus SLE yang paling agresif dan rekfrakter.

Terapi ini masih merupakan eksperimental untuk saat ini.

Pengobatan Terhadap Komplikasi

Pada komplikasi gagal ginjal dipertimbangkan pemberian diuretic, anti hipertensi,

mungkin juga dilakukan dialysis serta transplantasi ginjal. Terhadap kejang-

kejang dapat diberikan antikonvulsan.

X. KOMPLIKASI 9,10

Komplikasi neurologis bermanifestasi sebagai perifer dan central berupa

psikosis, epilepsi, sindroma otak organik, periferal dan cranial neuropati,

transverse myelitis, stroke. Depresi dan psikosis dapat juga akibat induksi dari

obat kortikosteroid. Perbedaan antara keduanya dapat diketahui dengan

menurunkan atau menaikkan dosis steroid. Psikosis lupus membaik bila dosis

steroid dinaikkan, dan pada psikosis steroid membaik bila dosisnya diturunkan.

Komplikasi  renal berupa glomerulonefritis dan gagal ginjal kronik.

Manifestasi yang paling sering berupa proteinuria. Histopatologi lesi renal

bervariasi mulai glomerulonefritis fokal sampai glomerulonfritis

membranoploriferatif difus. Keterlibatan renal pada SLE mungkin ringan dan

asimtomatik sampai progresif dan mematikan. Karena kasus yang ringan semakin

sering dideteksi, insidens yang bermakna semakin menurun. Ada 2 macam

28

kelainan patologis pada renal berupa nefritis lupus difus dan nefritis lupus

membranosa. Nefritis lupus difus merupakan manifestasi terberat. Klinis berupa

sebagai sindroma nefrotik, hipertensi, gagal ginjal kronik.

XI. PROGNOSIS 9,10

Bervariasi ,tergantung dari komplikasi dan keparahan keradangan.Perjalanan SLE

kronis dan kambuh-kambuhan seringkali dengan periode remisi yang lama.

Dengan pengendalian yang baik pada fase akut awal prognosis dapat baik.

29

DAFTAR PUSTAKA

1. Isbagio Harry, Albar Zuljasri, Yoga, Bambang. Lupus Eritematosus

Sistemik. Dalam Sudoyo Aru, dkk (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Balai

Penerbit FK UI Jakarta; 2006. h.1214.

2. Symposium National Immunology Week 2004, Surabaya 9-10 Oktober 2004;

hal201-213.

3. Current Medical Diagnosis and Treatment 2004; Chapter 20; Arthritis and

Musculosceletal disorder ; page 805-807.

4.  Harrisson’s Principle of Internal Medicine 15th Edition; Volume 2; page 1922-

1928.

5. Medical Journal : Cermin Dunia Kedokteran no.142,2004 ; hal.27-30.

6. Klippel JH, ed. Primer on the rheumatis disease. 12th ed. Atlanta: Arthritis

Foundation. 2001: 329-334

7. Hochberg Mc. Updating the Ameican College of Rheumatology revised criteria for

the classification of systemic lupus erythematosus [letter]. Arthritis Rheum 1997;

40: 1725

8. American college of rheumatology Ad Hoc Committee on systemic lupus

erythematosus guidelines. Arthritis Rheum 1999; 42(9): 1785-96

9. Kelley WN, Harris ED, Ruddy S, Sledge CB, editors. Textbook of rheumatology.

5th ed. Philadelphia: WB Saunders. 1997

10. Boumpas DT, Austin HA, Fessler BJ. Systemic lupus erythematosus : Renal,

neuropsychiatric, cardiovascular, pulmonary and hematologic disease. Ann Intern

Med 1995; 122 : 940–50.

30

11.      Wallace DJ. Antilamarial agents and lupus. Rheum Dis Clin North Am 1994; 20

: 243-263.

12.     Bansal VK, Beto JA. Treatment of lupus nephritis: a meta-analysis of clinical

trials. Am J Kidney Dis 1997; 29 : 193-199

31