Karl Raimund Popper

26
Epistemologi Konjektur dan Falsifikasionisme Popper dan Relevansinya bagi Ilmu-ilmu Keagamaan oleh Sholahuddin Ashani, S. Fil.I A. Latar Belakang, Permasalahan dan Tujuan Permasalahan epistemologi tidak pernah berhenti sampai kapan pun, dikarenakan manusia hidup senantiasa berhajat kepada ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan memberikan kita kemudahan dalam menghadapi semua tantangan di alam semesta, dan sampai hari ini telah banyak penemuan dalam berbagai bidang ilmu yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sebut saja di bidang ilmu-ilmu social, kedokteran, biologi, farmasi, psikologi dan lain sebagainya. Penemuan dan lahirnya displin ilmu diperuntukkan bagi kelangsungan hidup manusia. 1 Akan tetapi sadarkah manusia bagaimana rancang bangun dari pemikiran dan ilmu pengetahuan tersebut. Bagaimana kesinambungan satu teori dengan teori lainnya sehingga menjadikan pengetahuan yang lebih utuh. Setidaknya persoalan ini telah mengilhami dan mewarnai kajian filsafat baik di dunia Barat mau pun di dunia Islam sendiri. Pemikiran-pemikiran epitemologis telah 1 Mohamad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, cet. Ke-2 (Yogyakarta: Belukar, 2005), h. 15 1

description

Membangun epistemologi kritis

Transcript of Karl Raimund Popper

Page 1: Karl Raimund Popper

Epistemologi Konjektur dan Falsifikasionisme Popper

dan Relevansinya bagi Ilmu-ilmu Keagamaan

oleh Sholahuddin Ashani, S. Fil.I

A. Latar Belakang, Permasalahan dan Tujuan

Permasalahan epistemologi tidak pernah berhenti sampai kapan pun,

dikarenakan manusia hidup senantiasa berhajat kepada ilmu pengetahuan. Ilmu

pengetahuan memberikan kita kemudahan dalam menghadapi semua tantangan di

alam semesta, dan sampai hari ini telah banyak penemuan dalam berbagai bidang

ilmu yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sebut saja di bidang

ilmu-ilmu social, kedokteran, biologi, farmasi, psikologi dan lain sebagainya.

Penemuan dan lahirnya displin ilmu diperuntukkan bagi kelangsungan hidup

manusia.1

Akan tetapi sadarkah manusia bagaimana rancang bangun dari pemikiran

dan ilmu pengetahuan tersebut. Bagaimana kesinambungan satu teori dengan teori

lainnya sehingga menjadikan pengetahuan yang lebih utuh. Setidaknya persoalan

ini telah mengilhami dan mewarnai kajian filsafat baik di dunia Barat mau pun di

dunia Islam sendiri. Pemikiran-pemikiran epitemologis telah membentuk tata cara

berpikir dan melahirkan ilmu pengetahuan. Sehingga epistemology yang menjadi

titik tolak maju mundurnya laju ilmu pengetahuan.

Pada abad ke-20, pengaruh positivisme dan neo-positivisme telah

mempengaruhi secara luas metode ilmu pengetahuan (epistemology). Sehingga

menjadikan ilmu objek pragmatis, berorientasi pada manfaat semu semata dan

mengabaikan tingkatan-tingkatan yang dicapai oleh daya imajinatif dan rasio

manusia (metafisika, bahkan agama).

Cara pandang manusia diarahkan kepada manfaat praktis dan sesaat saja,

budaya konsumsi menjadikan manusia hanya mengutamakan diri sendiri.

Menempatkan manusia sebagai satu-satunya makhluk yang hanya memiliki hak

untuk hidup. Ringkasnya semua makhluk hanya diperuntukkan bagi kelansungan

1 Mohamad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, cet. Ke-2 (Yogyakarta: Belukar, 2005), h. 15

1

Page 2: Karl Raimund Popper

hidup manusia, sehingga menafikan eksistensi dari makhluk lainnya. lihat saja

misalnya dalam perkembangan ilmu-ilmu alam, bagaimana eksploitasi terhadap

alam dilakukan tanpa mengindahkan stabilitas dan susunan alam itu sendiri. Lihat

juga dalam perkembangan ilmu-ilmu social, bagaiman prinsip-prinsip hidup

bersama hanya untuk menaikkan satu golongan dan mendeskreditkan golongan

lainnya. Pada dasarnya ini berawal dari persoalan epistemology yang mendasar

wujud bangun dan rancang dari ilmu pengetahuan.

Akan tetapi di awal abad ini muncul seorang Filosof, Karl Raimund

Popper yang mengajukan kritik terhadap arus neo-positivisme yang bercorak

deduktif-verifikatif. Dia mengemukakan solusi ilmu dengan epistemology yang

dikenal dengan Konjektur dan Falsifikasi. Penulisan ini bertujuan untuk

menjawab: (a) Bagaimanakah pandangan Popper terhadap pembentukan

pengetahuan manusia (b) Bagaimanakah teori Konjektur dan Falsifikasi

mengkritisi budaya induksi dan neo-positivisme dan (c) Bagaimana relevansi

epistemology Konjektur dan Falsifkasi terhadap ilmu-ilmu keagamaan.

B. Biografi Popper

Popper memiliki nama lengkap Karl Raimund Popper. Seorang filosof

sains keturunan Inggris-Austria. Ia dilahirkan di Wina pada tanggal Juli 1902 dan

kemudian meninggal pada Agustus 1994. Dia anak ketiga dan kedua kakaknya

adalah perempuan, Bapaknya Simon Sigmund Carl Popper, adalah seorang doktor

hukum dari University of Vienna, yang beragama yahudi. Ibunya Jenny Schiff

adalah seorang ahli musik.2 Dalam bidang pendidikan, Popper memiliki latar

belakang keilmuan yang cukup variatif dan terkesan menjadi seorang yang anti

terhadap kemapanan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikasi yaitu; Pertama,

pada usia 16 tahun Popper meninggalkan sekolahnya (Realgumnasium) karena

pelajaran-pelajaran yang disajikan sangat membosankan. Kedua, menjadi

pendengar bebas pada universitas Wina dan empat tahun kemudian ia diterima

sebagai mahasiswa di universitas tersebut. Ketiga, Popper memilih mata kuliah

2Sumedi, Ibn Taymiyah (1262-1328) dan Karl Raimund Popper (1902-1994): Analisis Perbandingan Epistimologi dan Implikasinya pada Pendidikan Islam, Disertasi, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2007), h.43-44 (tidak diterbitkan)

2

Page 3: Karl Raimund Popper

matematika dan fisika teoritis. Dalam pandangannya dengan matematika ia akan

dapat mengetahui standar-standar kebenaran3.

Ketika menjadi mahasiswa, Popper bukan saja mempelajari paham-paham

sosialisme, tetapi juga komunisme, bahkan pernah mengidentikkan dirinya

sebagai pengikut paham komunis. Tepatnya di saat ia berusia 17 tahun.

Sebagaimana dijelaskan oleh Popper dalam autobiografinya, pada awalnya ia

sangat tertarik pada Marxisme. Namun, kemudian ia menyadari betapa bahayanya

paham tersebut bahkan dipandang sangat tidak bertanggung jawab terhadap

kebaikan massa4. Hal ini menyebabkan ia kecewa dan menjadi seorang yang anti

komunis dan marxisme. Dalam kemajuan semacam itu, Popper terinspirasi oleh

ucapan Socrates “Saya tahu bahwa saya tidak tahu”. Inspirasi inilah yang

kemudian membangkitkan obsesi untuk membangun pengetahuan ilmiah yang

kritis. Dengan semangat keilmuannya itu, maka Popper bukan saja berhasil

memiliki ijazah untuk mengajar matematika, fisika, dan kimia, tetapi berhasil pula

memperoleh gelar “doctor filsafat” (Ph.D) pada tahun 1928 dengan disertasi

tentang Zur Methodenfrage der Denpsychologie (Masalah metodologi dalam

psikologi pemikiran)5.

Setelah masa itu, perkenalannya Popper dengan Albert Einstein dan Karl

Buhler mampu membuka cakrawala baru bagi dirinya untuk membangun teori

kritis. Tema-tema sentral yang menjadi bahan diskusi diantaranya masalah

indeterminisme, problem-problem operasionalisme, positivisme dengan induksi

dan verifikasinya. Bersamaan dengan itu, Popper berusaha merumuskan teori-

teori kritisnya baik mengenai deduksi dengan objektifismenya, maupun demarkasi

dengan falsifikasinya. Upayanya itu bukan saja dikumandangkan di Wina, tetapi

juga di Inggris antara tahun 1935-1936, kemudian di Selandia Baru (tahun 1936-

1945), dan di Amerika, yaitu mulai tahun 1950 ketika Popper memberikan

serangkaian kuliah di Harvard.

3Diunduh dari Priyanto, Falsificationism Karl Popper, http://insancita.4t.com pada 17/04/2009.

4Wiliam Berkson & Jhon Wettersten, Psikologi Belajar dan Filsafat Ilmu Karl Popper, terj. Ali Noer Zaman (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2003), h. 30.

5Muslih, Filsafat Ilmu…, h, 105.

3

Page 4: Karl Raimund Popper

Meski pun berada di Wina akan tetapi Popper tidak tergolong bagian dari

anggota mazhab Filsafat Wina atau dikenal juga dengan Lingkaran Wina (Vienna

Circle)6. Bukan saja ia terlepas dari keanggotaan dari gerakan tersebut, ia bahkan

tidak pernah menghadiri pertemuan-pertemuan yang mereka adakan. Meski pun ia

banyak kenal dan sering melakukan kontak dengan aktifis mereka, seperti Viktor

Kraft dan Herbert. Popper sendiri menyebut dirinya sebagai kritikus paling tajam

terhadap kelompok lingkaran Wina, dimana kritikan yang ia kemukan akan kita

lihat selanjutnya.

Dalam dan melalui dunia keilmuan yang digelutinya, Popper banyak

menghasilkan karya-karya ilmiah yang menjadi wacana bagi para ilmuwan dunia.

Di antara karya tulisnya yang terpenting antara lain : Logic der Forschung (logika

penelitian) yang terbit tahun 1934. Buku ini baru diterbitkan dalam Bahasa Inggris

pada tahun 1972 dengan judul The Logic of Scientific Discovery. Ketika di

Selandia Baru Popper menulis The Poverty of Historicism diterbitkan pada tahun

1957, dan The Open Society of Enemies yang diterbitkan dalam bentuk buku pada

tahun 1966. Karya Popper dalam bentuk kumpulan karangan yaitu Conjectures

and Refutation; The Growth of Scientific Knowledge (1972). Buku ini berisi

tentang problematika pertumbuhan pengetahuan ilmiah dan metodologi yang

menyertainya. Kemudian buku lain yang juga berisi kumpulan karangan yaitu

Objective Knowledge; An Evolutionary Approach terbit pada tahun 1972. Dalam

buku ini dijabarkan pula teorinya tentang “Dunia 3”, dunia ojektif, yaitu dunia

yang secara historis merupakan asal ilmu pengetahuan7. 

C. Induksi dan Verifikasi

Sebelum masuk kepada memahami teori falsifikasi yang dikembangkan

oleh Karl Popper, hendaknya terlebih dahulu membahas mengenai induksi dan

verifikasi. Pada dasarnya teori falsifikasi yang dibangun oleh Popper merupakan

6Lingkaran Wina adalah suatu kelompok diskusi yang terdiri dari para sarjana ilmu pasti dan alam yang berkedudukan di kota Wina, Austria. Didirikan oleh Moritz Schlick (1882-1936) pada tahun 1974, dengan anggota antara lain Hans Hahn (1880-1934), Otto Neurath (1882-1945), Viktor Kraft (1880-1975), Harbert Feigl (1902-?) dan Rudolf Carnap (1891-1970). Mereka merupakan penganut positivisme yang dikembangkan oleh August Comte, sehingga mereka diaku juga dengan neo-positivisme.

7Lihat Anthony O'Hear (ed.), Karl Popper: Philosophy and Problems, (Cambridge: Press Syndicate of The University of Cambridge, 1995), h. 289-290.

4

Page 5: Karl Raimund Popper

bantahan dan sanggahan dari induksi dan verifikasi yang banyak dikembangkan

oleh para filsuf sebelumnya. Sebut saja Francis Bacon (1561-1626), yang disebut

sebagai Bapak Ilmu Pengetahuan, sangat mengandalkan metode induksi dalam

menerima kebenaran sebuah teori, kemudian metode ini dikemas ulang oleh Jhon

Stuart Mill (1806-1873). Teori apa saja akan dianggap benar dengan cara

penarikan kesimpulan berdasarkan kepada metode induksi. Metode induksi berarti

juga metode 'proses generalisasi'. Induksi dipahami dengan metode pengetahuan

yang bertitik pangkal pada pemeriksaan (eksperimen) yang teliti dan telaten

mengenai data-data partikular, selanjutnya rasio bergerak menuju suatu penafsiran

atas alam.

Kemudian metode induksi terus menjadi asas oleh para ilmuan dan hampir

tidak pernah diperdebatkan. Metode ini menjadi karakter dalam ilmu-ilmu

pengetahuan dengan melakukan generalisasi dari hal-hal yang partikular, atau

dikatakan juga metode induksi berangkat dari beberapa kasus partikular kemudian

dipakai untuk menciptakan hukum umum dan mutlak perlu. Misalnya berdasarkan

pengamatan terhadap beberapa angsa yang ternyata berwarna putih, maka dengan

melakukan induksi dapat dibuat teori yang lebih umum bahwa semua angsa

berwarna putih. Metode induksi ini terus mengalami perkuatan oleh para filsuf

diantaranya Jhon. S. Mill yang lebih khusus menyusun kerangka berpikir induktif

sebagai metode ilmiah yang valid8.

Selanjutnya Popper juga dihadapkan oleh metode verifikasi, baik yang

dikembangkan oleh Filsuf dalam lingkaran Wina mau pun di luar Wina sendiri.

Verifikasi telah memproklamirkan diri sebagai satu-satunya metode untuk

menguji ilmiah atau tidaknya sebuah teori. Atau dikatakan juga apakah sesuatu itu

meaningfull (memiliki arti) atau bersifat meaningless (tidak berarti). juga untuk

menilai apakah suatu ilmu dapat disebut dengan ilmu sejati (true science) atau

ilmu semu (pseudo science). Artinya jika suatu pernyataan atau dugaan dapat

diverifikasi, maka ia berarti bermakna, sebaliknya apabila tidak dapat diverifikasi

maka berarti ia tidak bermakna.

8Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu: Positivisme, Post Positivisme dan Post Modernisme (Yogyakarta: Rakesarasin, 2001), h. 174.

5

Page 6: Karl Raimund Popper

Prinsip verifikasi menyatakan bahwa suatu proposisi adalah bermakna jika

ia dapat diuji dengan pengalaman dan dapat diverifikasi dengan pengamatan

(observasi). Sebagai akibat dari prinsip tersebut maka filsafat tradisional, seperti

pembahasan mengenai 'ada yang absolute', haruslah ditolak. Karena ungkapan-

ungkapannya melampaui pengalaman dan tidak dapat untuk diamati terlebih lagi

untuk diuji, termasuk juga hal-hal yang berkenaan dengan teologi mau pun

metafisika.

Bisa jadi prinsip yang dibangun dengan metode verifikasi telah

mengantarkan ilmu pengetahuan sampai pada kemajuannya saat ini. Ilmu

pengetahuan telah mencapai kemajuan yang sangat pesat, bahkan dengan metode

verifikasi memudahkan manusia untuk memperoleh jawaban dan solusi terhadap

persoalan yang dihadapi dalam kehidupan manusia. Sehingga posisi ilmu dengan

verifikasinya telah menjadi komponen terpenting dalam menjaga kehidupan

manusia di alam. Ilmu yang telah melalui verifikasi dipandang sebagai kebenaran

yang absolute, sedangkan selainnya hanyalah dianggap sebagai pernyataan-

pernyataan semu yang menipu.

D. Konjektur: Membangun Hipotesis untuk Objektifitas

Konjektur secara bahasa berarti berarti dugaan, pra-konsepsi atau dapat

juga disebut dengan asumsi. Konjektur dipandang oleh Popper sesuatu yang harus

ada sebelum seseorang melakukan analisa terhadap suatu objek permasalahan.

Dalam memberikan melakukan penelitian atau mencari jawaban terhadap satu

masalah, seseorang mesti memiliki konjektur (dugaan) dalam hipotesanya

(sebelum penelitian dilakukan). Sehingga Popper menyusun dua asas dalam

teorinya. Pertama, penyelidikan tidak boleh dimulai dengan usaha observasi yang

tidak memihak, tetapi justru harus fokus terhadap satu persoalan. Peneliti harus

bertanya: apa masalahnya? Apa solusi alternatifnya? Bagaimana kekuatan dan

kelemahannya? Kedua, usaha untuk menemukan sebuah solusi tidak boleh

merupakan usaha yang menghindari dari fakta yang ada - hanya memilah fakta

yang mendukung teori yang diyakini – akan tetapi mestilah berpegang pada

6

Page 7: Karl Raimund Popper

prinsip penggabungan antara dugaan yang berani dengan kritisisme yang tajam

(bold conjecture and severe critic)9.

Bahkan perkembangan ilmu pengetahuan pada dasarnya berlandaskan

kepada konjektur yang dimiliki oleh para peneliti. Menurut Popper perkembangan

ilmu dimulai dari usulan hipotesis yang imajinatif, yang merupakan insight

individual dan terprediksikan apakah akan menjadi teori. Hipotesis imajinasi

tersebut lebih berupa grand theory yang nantinya akan diuji untuk menentukan

layak atau tidaknya ia dijadikan teori yang ilmiah10.

Teori pra-konsepsi tentunya menimbulkan pertanyaan bahwa seorang

peneliti akan terlepas dari sikap objektifitasnya. Dikarenka dia telah terikat oleh

teori yang ia yakini, tentunya hal ini akan mempengaruhi proses dan hasil

penelitian yang ia hadapi. Berkenaan dengan hal ini, Karl Popper mengatakan

bahwa objektifitas seorang peneliti tidak harus terbebas dari pra-konsepsi. Malah

sebaliknya objektifitas justru diperoleh dengan membuat jelas pra-konsepsi dan

secara kritis membandingkan dengan teori lain.

Pra-konsepsi (konjektur) memiliki peran penting dalam penelitian yaitu

sebagai upaya artikulasi terhadap persoalan yang diteliti. Dengan mengartikulasi

persolaan kita memiliki peluang untuk membandingkan dengan teori, mengkritisi

dan membangun kemapanan teori baru.

Ringkasnya, manusia pada dasarnya melakukan proses belajar dengan cara

menduga dan melakukan penolakan. Proses menduga adalah upaya untuk

memunculkan jawanban sementara (konjektur), selanjutnya melakukan usaha

penolakan terhadap pra-konsepsi/dugaan (konjektur). Apa bila dugaan tersebut

tidak tertolak maka ia diyakini dapat dipandang sebagai teori sementara yang

tentunya masih membuka peluang untuk terus diuji dan dibantah dalam upaya

menuju kesempurnaan pengetahuan dan kebenaran11.

9Berkson & Wettersten, Psikologi Belajar …, h. 33. 10Muhadjir, Filsafat Ilmu…, h. 136. 11Berkson & Wettersten, Psikologi Belajar…, h. 34.

7

Page 8: Karl Raimund Popper

E. Demarkasi antara Ilmu Sejati (True Science) dan Ilmu Semu (Pseudo

Scince)

Seperti telah disinggung di atas, Karl Popper bereaksi terhadap metode-

metode filsafat ilmu yang telah lama berkembang sebelumnya. Disatu pihak ia

bereaksi terhadap metode induksi yang 'mempatenkan' dirinya sebagai metode

ilmiah yang valid, dan di lain pihak ia juga berhadapan dengan metode verifikasi

yang dikembangkan oleh filsuf-filsuf positivisme, khususnya pengaruh yang

ditebar oleh para filsuf di linkaran Wina.

Untuk membantah kedua metode tersebut, Karl Popper mengangkat focus

bahasan dalam membedakan/memisahkan antara pernyataan yang mengandung

makna (meaningful) dan pernyataan yang tidak bermakna (meaningless), atau

antara sains sejati (true science) dan sains semu (pseudo sains). Dalam pandangan

tradisional tentang perbedaan antara sains sejati dan sains semu adalah, bahwa

sains sejati berisikan hukum-hukum yang kebenarannya bisa dibuktikan melalui

observasi (pengamatan) dan eksprimen (percobaan). Sebaliknya sains semu hanya

berisikan fantasi yang tidak terbukti dengan fakta12.

Pemisahan antara kedua macam sains di atas dikenal dengan istilah

demarkasi atau dapat juga diartikan dengan garis batas, dalam hal ini dipahami

dengan ungkapan ilmiah dan tidak ilmiah sebuah pengetahuan. (Muslih, 108).

Persoalan demarkasi merupakan titik tolak Popper untuk membangun metodologi

pengetahuannya. Ia menolak pandangan tradisional mengenai demarkasi yang

dikembangkan oleh kalangan tradisional, dikarenakan Popper memandang bahwa

ungkapan yang tidak bersifat ilmiah – tidak dapat dibukitkan dengan observasi

dan eksprimen – memiliki kemungkinan sangat bermakna (meaningful). Berapa

banyak munculnya teori-teori dalam ilmu pengetahuan, baik dalam ilmu alam mau

pun sosial, diawali oleh ungkapan-ungkapan yang imajinatif tanpa dapat diajukan

eksprimen terhadapnya.

Hal ini disebabkan bahwa ungkapan imajinatif atau disebut juga insight

individual bukan berasal dari pengamatan partikular (observasi) yang kemudian

berujung kepada proses generalisasi – induksi. Sebagai contoh, kemampuan

12 Berkson & Wettersten, Psikologi Belajar…, h. 30.

8

Page 9: Karl Raimund Popper

manusia untuk membangun peradaban dan teknologi banyak lahir dari

kemampuan atau ilham yang tidak diperoleh dengan metode induksi, akan tetapi

muncul dalam tataran umum terlebih dahulu kemudian menjelma secara lebih

nyata dalam hal-hal yang partikular. Dengan demikian, Popper lebih menyetujui

metode deduksi yang sejatinya merupakan metode dalam mendapatkan ilmu

pengetahuan.

Dengan diketengahkannya metode deduksi maka membuka kembali

makna ilmiah terhadap kajian-kajian yang selama ini disingkirkan oleh metode

induksi-verifikasi. Kajian dalam teologi dan metafisika dapat dihadirkan kembali

dalam kerangka ilmu pengetahuan. Maka tidak serta merta seorang peneliti

menjustifikasi bahwa suatu teori tidak ilmiah atau pun ilmiah hanya dengan

berpatokan pada memiliki arti atau tidak memiliki arti, dikarenakan sejatinya

segala sesuatu memiliki arti karena ia dapat dipahami.

Lebih mendasar, Popper mengungkapkan kelemahan dalam metode

induksi dan verifikasi, antara lain:

1. Prinsip verifikasi tidak pernah mungkin digunakan untuk

menyatakan kebenaran hukum-hukum umum. hukum-hukum umum dalam

ilmu pengetahuan tidak pernah dapat diverifikasi. Karena, seperti halnya

metafisika, harus diakui seluruh ilmu pengetahuan alam (yang sebagian

besar terdiri dari hukum-hukum umum) adalah tidak bermakna.

2. Berdasarkan prinsip verifikasi, metafisika disebut tidak

bermakna, tetapi dalam sejarah dapat disaksikan bahwa acap kali ilmu

pengetahuan lahir dari pandangan-pandangan metafisis atau bahkan mistis

tentang dunia. Suatu ungkapan metafisis bukan saja dapat bermakna tetapi

bisa juga benar, meski pun baru menjadi ilmiah kalau sudah diuji dan

dites.

3. Untuk menyelidiki bermakna tidaknya suatu ungkapan atau

teori, lebih dulu harus bisa dimengerti. Sehingga bagaimana bisa

dimengerti jika tidak bermakna, lantas apa yang disebut teori?13

13Muslih, Filsafat Ilmu…, h, 108.

9

Page 10: Karl Raimund Popper

Ketiga hal di atas menjadi landasan oleh Popper untuk melakukan

sanggahan terhadap verifikasi yang diklaim sebagai ciri utama teori ilmiah.

Verifikasi hanya berupaya untuk menunjukkan kelebihan dari satu teori sehingga

mengkaburkan sisi keburukan dan kesalahan yang dikandungnya, sebagai contoh

tes atau uji terhadap teori hanya diberlakukan untuk membuktikan benarnya suatu

teori dengan mengedepankan contoh-contoh yang mendukung kebenaran teori

tersebut (proses ini berlangsung dengan metode induksi-generalisasi terhadap

particular yang ada). Metode ini tentunya hanya menampilkan sisi baik dari

sebuah teori berdasarkan akumulasi kebenaran yang sudah terencana.

Sikap seperti ini merupakan karakter dari verifikasi-induktif, di satu sisi

yang paling terlihat akan menunjukkan kebenaran suatu teori. Sebagai ilustrasi

sederhana, seorang peneliti menyampaikan hasil penelitiannya bahwa seluruh

angsa berwarna putih, kemudian ia memperlihatkan 100 ekor angsa yang

berwarna putih dan mengabaikan angsa-angsa lain yang tidak berwarna putih.

Sehingga dengan demikian diakui secara ilmiah bahwa semua angsa berwarna

putih. Hasil seperti ini tentunya merupakan kebenaran semu dan palsu.

Melihat hal ini, Popper mengemukakan solusi baru terhadap masalah

demarkasi (pemisahan antara ilmu sejati dan ilmu semu) dan ciri utama kebenaran

ilmiah. Popper menaikkan ke permukaan metode deduksi dan teori falsifikasi

yang sejatinya merupakan karakter ilmiah suatu teori.

F. Falsifikasi: Dugaan dan Penolakan (Conjectures & Refutations)

Baik secara morfologis maupun semantik, perlu diuraikan bagaimana kata

falsifikasi. Falsifikasi secara otomatis terkandung pada falsibilitas. Kata falsify itu

sendiri adalah kata kerja jadian yang terbentuk dari kata sifat false yang berarti

salah dan ditambahkan kepadanya akhiran ify yang berarti menyebabkan

'menjadi'. Adapun falsification adalah bentuk kata benda dari kata kerja falsify.

Dengan demikian jelaslah bahwa kata sifat false diubah menjadi kata kerja dengan

menambahkan akhiran ify sehingga menjadi falsify dan dibendakan dengan

10

Page 11: Karl Raimund Popper

menambahkan akhiran action sehingga ia berubah menjadi falsification yang

dindonesiakan menjadi falsifikasi yang berarti 'hal pembuktian salah'.14

Facere merumuskan beberapa pengertian diantaranya:

1. Cara memverifikasikan asumsi teoritis (hipotesis, teori) dengan

menggunakan pelawannya, ini dilakukan dengan membandingkan asumsi

bersangkutan dengan data yang diperoleh melalui eksperimen, falsifikasi

didasarkan pada postulat (dalil) logika formal, postulat itu berbunyi bahwa

proposisi teoritis tidak terbukti bila pendapat sebaliknya turun dari aneka

pernyataan yang cocok satu sama lain, kendatipun pernyataan-pernyataan

yang digunakan itu didasarkan pada observasi.

2. Berdasarkan postulat logis ini Popper melawan prinsip verifikasi kaum

neo-positivisme dengan prinsip falsifikasi, Popper menafsirkan prinsip

falsifikasi bukan sebagai cara untuk menentukan komprehensibilitas dari

suatu pernyataan ilmiah, tetapi sebagai suatu metode yang membedakan

antara ilmiah dan tidak ilmiah, Popper menyatakan bahwa hanya

pernyataan-pernyataan yang dapat dibuktikan dengan prinsip falsifikasi

adalah ilmiah sedangkan yang tidak dapat dibuktikan dengan prinsip

falsifikasi tidak ilmiah.15.

Falsifikasi adalah lawan dari verifikasi. Istilah verifikasi dipakai oleh para

ilmuwan dan filosof yang menjadi anggota Lingkaran Wina yang memegang

teguh metode induksi dan yang semisal dengan mereka. Sebaliknya, Popper tidak

percaya pada induksi sama sekali meskipun dia benar-benar mempercayai

empirisme.

Sebelum lebih jauh, maka akan diperlihatkan bagaimana Popper

menjawab persoalan demarkasi dan mengangkat falsifikasi dalam ranah filsafat

ilmu. Dalam hal ini, akan dikemukakan bagaimana seorang memperoleh

pengetahuan dan selanjutnya pengetahauan tersebut dapat diputuskan ilmiah atau

tidak ilmiah, atau bagian dari true sciences atau bagian dari pseudo scinces.

14Diunduh dari Ulum Bondowoso, Karl Popper, http://ulumbondowoso.blogspot.com Pada 17/04/2009

15Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta:PT Gramedia pustaka utama 1996), h.227

11

Page 12: Karl Raimund Popper

Menurut Popper, Manusia dalam memperoleh pengetahuan berdasarkan

rasio yang ia miliki. Pandangan ini sesuai dengan pandangan kaum rasionalis

yang mengakui bahwa ada prinsip-prinsip dasar dunia tertentu yang diakui benar

oleh manusia. Dari prinsip-prinsip ini diperoleh pengetahuan deduksi yang ketat

tentang dunia. Prinsip-prinsip pertama ini bersumber dalam budi manusia dan

tidak dijabarkan pengalaman, bahkan apa yang dialami dalam pengalaman

emprisis bergantung pada prinsip-prinsip ini.16

Dengan demikian, pengetahuan muncul dalam diri seseorang atau dari

insight individual (pengetahuan terdalam seseorang). Sehingga dengan demikian

pengetahauan dalam tataran teologis, metafisis bahkan mistis sekalipun dapat

dianggap sebagai ungkapan (pengetahuan) yang bermakna (meaningful).

Persoalan selanjutnya adalah bagaimana untuk membuktikan pengetahuan

tersebut, apakah ia merupakan teori ilmiah atau ilmu sejati, atau ia tidak ilmiah

dan hanya merupakan pengetahuan semu belaka. Untuk ini Popper mengajukan

criteria ilmiah tidaknya pengetahuan adalah kemampuannya atau kualitasnya

untuk diuji dalam lingkup; bias diuji (testability), bisa disalahkan (falsibility) dan

bisa disangkal (refutability). Maka dengan konsep keterujian dan penolakan ia

menjawab persoalan demarkasi, apabila teori dapat diuji dan memenuhi

kompenen untuk disangakl maka ia telah memenuhi syarat keilmuan.

Perlu ditekankan bahwa tes terhadap teori bukan berorientasi mencari

pendukung kebenaran suatu teori akan tetapi tes dilakukan dengan prinsip

falsifikasi, yaitu upaya untuk membantah, menyangkal dan menolak teori tersebut.

Maka rangkaian tes berisi komponen-komponen penolakan terhadap teori

tersebut, maka Popper lebih memilih hipotesa untuk menyebut teori yang diuji,

dikarenakan ia akan selamanya hanya berupa hipotesa (dugaan sementara) yang

akan terus menerus diuji. Inilah prinsip ilmu sejati, dan tentunya seorang ilmuwan

sejati tidak akan takut untuk menghadapi penolakan, bantahan, kritik, terhadap

hipotesa yang dikemukakannya. Bahkan sebaliknya, ia akan terus mengharapkan

sanggahan untuk tercapai kebenaran sejati.

16Prinsip-prinsip ini diikenalkan dengan istilah substansi, Rene Descartes menyebutnya dengan ide bawaan (innate ideas), Leibniz menyebutnya dengan pusat-pusat kesadaran (monade).

12

Page 13: Karl Raimund Popper

Karakter berpikir Popper banyak dilandaskan oleh pengamatannya

khususnya dalam bidang ilmu alam, dimana pada masanya kemapanan fisika

Newton akhirnya dapat digugurkan oleh teori relativitas Einstein. Maka dengan

demikian ilmu mencapai hasil yang terus mendekati kebenaran. Dan secara sadar

diakui bahwa hal ini berawal dari pengetahuan terdalam manusia yang menjelma

menjadi suatu hipotesa, kemudian mengalami kritikan terus-menerus sepanjang

masa sehingga memunculkan hipotesa baru yang nantinya juga terbuka untuk

terus dikritisi.

Pandangan ini menunjukkan bahwa proses pengembangan ilmu bukanlah

diawali dengan membantah setiap pengetahuan sebelum diuji, dan juga bukan

dengan proses akumulasi, dalam arti mengumpulkan bukti-bukti positif untuk

mendukung suatu teori, sebagaimana pandangan neo-positivisme. Bagi Popper,

proses pengembangan ilmu adalah dengan jalan eliminasi terhadap kemungkinan

kekeliruan dan kesalahan (error elimination). Semakin sebuah teori dapat

bertahan dari penyangkalan dan penolakan maka ia akan semakin kokoh dalam

keilmuan, ini juga disebut Popper sebagai teori pengokohan (theory of

corroboration)17. Teori inilah yang kemudian mengantarkan Popper sehingga

dipandang sebagai Filsuf sekaligus Epitemolog Rasional-Kritis.

G. Falsifikasionisme dan Relevansinya terhadap Ilmu-ilmu Keagamaan

Ilmu-ilmu keagamaan khususnya dalam Islam telah berkembang dengan

sangat pesat, dalam Islam telah terbentuk beragama bidang keilmuan sebut saja,

Ulu>m al-Qur'an, Ulu>m al-Hadis, ilmu kalam, ilmu fiqh, ilmu

filsafat, ilmu kebahasaan (nahwu, sharaf, balagah, uslubiyah). Dalam masing-

masing khazanah keilmuan tersebut telah banyak melahirkan penemuan-

penemuan ilmiah dari para ulama islam.

Dibidang fiqh misalnya memunculkan banyak tokoh, yang paling utama

para Imam mazhab. Dalam bidang filsafat kita akan dibuat kagum oleh para

filosof, misalnya Suhrawardi dengan teori iluminasi, Mulla Shadra dengan

H{ikmah Muta'a>liyyah, Ibn Sinna dengan pandangan filosofisnya terhadap

Tuhan, alam dan manusia, dan kedokteran. Dalam bidang teknologi; ar-Razi

17 Berkson & Wettersten, Psikologi Belajar…, h. 70.

13

Page 14: Karl Raimund Popper

dalam bidang kedokteran, al-Khawarizmi dengan teori aljabar, dan lainnya. Juga

dalam bidang tasauf, memunculkan tokoh yang akan terus harum dalam sejarah,

seperti Rabi'ah al-Adawiyah dengan konsep mah}abbah, al-Ghazali dengan

wih}dah as-syuh}u>d, Ibn ‘Arabi dengan wih}dah al-wuju>d, al-

Busthami dengan al-Ittih}a>d, al-Hallaj dengan al-H{ulu>l, dan lainnya18.

Akan tetapi, secara perlahan seiring berjalannya putaran sejarah dunia

Islam terjadi kekakuan dan berhentinya perkembangan ilmu pengetahuan.

Setidaknya kemacetan ini berawal dari hilangnya semangat kritis dalam

menyikapi ilmu pengetahua. Sehingga terbangun taqdi>s (menanggap sesuatu

suci) terhadap ilmu pengetahuan. Paradigma dan mainsheet umat telah

menganggap bahwa ilmu tersebut telah sempurna dan tindakan yang bodoh dan

gila apabila melakukan kritikan dan perubahan terhadapnya.

Sikap seperti ini tentunya mengakibatkan ilmu bukan hanya terhenti

mendadak akan tetapi membuat jurang pemisah dari kebenaran sejati. Sehingga

kajian fiqh terbelenggu dalam fiqh oriented, pendekatan kalam menjadi kalam

minded, pendekatan sufistik menjadi tasauf oriented, dan seterusnya. Sebagai

akibat lebih jauh mengarah pada terjadinya disintegrasi di dalam tubuh umat Islam

itu sendiri, karena masing-masing membawa isu mainstream atau standar hidup

keislaman masing-masing19.

Keadaan ini didasari oleh persoalan epistemology dalam tubuh khazanah

pengetahuan Islam. Setidaknya semangat epistemology Popper, Konjektur dan

Falsfikasi dapat dijadikan langkah awal untuk menyadarkan dan membangkitkan

kembali gairah dan semangat ilmiah pada umat Islam. Keberanian untuk

melahirkan hipotesa (konjektur) harus dibangkitkan. Serta kemauan untuk

melakukan kritik bahkan penyanggahan terhadap teori-teori terdahulu juga harus

dilakukan.

Disadari atau tidak, keengganan dan ketakutan untuk mengkritisi

pandangan-pandangan ulama terdahulu dengan dalih 'takut kualat' atau bahwa

18Lihat Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono, dkk, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 339-470. lihat juga A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 90-96. lihat juga Simuh, Tasauf dan Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1997), h. 80-88.

19 Muslih, Filsafat Ilmu…, h, 19.

14

Page 15: Karl Raimund Popper

pandangan tersebut sudah benar, menjadi penyebab enggannya generasi ilmu

dalam umat untuk mengkaji ilmu-ilmu keagamaan. Bukan saja menjadikan

kekakuan dalam memandang persoalan dunia dan kehidupannya akan tetai lebih

buruk menjadi factor utama digudangkannya warisan inteletual Islam tersebut.

Pandangan Konjektur dan Falsifikasionis Popper, setidaknya mengusung

konsep ijtihad yang hari ini telah tercabut dalam epistemology Islam.

H. Penutup

Dari tulisan di atas dapat dsimpulkan hal-hal berikut:

1. Konjektur merupakan langkah memunculkan ide imajinatif yang menjadi

awalsebuah hipotesa dalam ilmu pengetahuan.

2. Persoalan demarkasi dijawab oleh Popper dengan mengetengahkan criteria

demarkasi yaitu: kebisaujian (testability), kebisasanggahan (refutability)

dan kebisakeliruan (falsibility)

3. Metode falsifikasi berorientasi menguji suatu hipotesa dengan

membantahnya, sehingga terbukti bahwa teori tersebut benar. Apabila

lulus dalam falsifikasi maka ia kembali menjadi hipotesa yang dikokohkan

(corroborated) dan masih membuka peluang untuk terus difalsifikasi.

4. Falsifikasi merupakan langlah penting untuk merekonstruksi epistemology

keilmuan Islam, sehingga terhindar dari kemacetan dan pengkultusan teori.

15

Page 16: Karl Raimund Popper

Daftar Pustaka

Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, (Jakarta:PT Gramedia pustaka utama 1996).

Berkson, Wiliam & Wettersten, Jhon, Psikologi Belajar dan Filsafat Ilmu Karl Popper, terj. Ali Noer Zaman (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2003).

Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1991)

Muhadjir, Noeng, Filsafat Ilmu: Positivisme, Post Positivisme dan Post Modernisme (Yogyakarta: Rakesarasin, 2001).

Muslih, Mohamad, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, cet. Ke-2 (Yogyakarta: Belukar, 2005)

O'Hear, Anthony (ed.), Karl Popper: Philosophy and Problems, (Cambridge: Press Syndicate of The University of Cambridge, 1995).

Schimmel, Anemarie, Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono, dkk, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000).

Simuh, Tasauf dan Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Press,

1997

Sumedi, Ibn Taymiyah (1262-1328) dan Karl Raimund Popper (1902-1994): Analisis Perbandingan Epistimologi dan Implikasinya pada Pendidikan Islam, Disertasi, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2007) (tidak diterbitkan).

http://ulumbondowoso.blogspot.com Pada 17/04/2009http://insancita.4t.com pada 17/04/2009.

16