Teori Perubahan Sosial Karl Marx Dan Max

35
Teori Perubahan Sosial Karl Marx dan Max Weber { November 18, 2008 @ 2:18 pm } · { Actions } Teori perubahan social dan budaya Karl Marx yang merumuskan bahwa perubahan social dan budaya sebagai produk dari sebuah produksi (materialism), sedangkan Max weber lebih pada system gagasan, system pengetahuan, system kepercayaan yang justru menjadi sebab perubahan. Jika dua pandangan itu digunakan sebagai asas dalam pengembangan program Pendidikan Nonformal, akan memberikan dampak untung dan rugi, secara literature hal tersebut disebabkan oleh: Menurut Douglas (1973), mikrososiologi mempelajari situasi sedangkan makrososiologi mempelajari struktur. George C. Homans yang mempelajari mikrososiologi mengaitkan struktur dengan perilaku sosial elementer dalam hubungan sosial sehari-hari, sedangkan Gerhard Lenski lebih menekankan pada struktur masyarakat yang diarahkan oleh kecenderungan jangka panjang yang menandai sejarah. Talcott Parsons yang bekerja pada ranah makrososiologi menilai struktur sebagai kesalingterkaitan antar manusia dalam suatu sistem sosial. Coleman melihat struktur sebagai pola hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia atau masyarakat. Kornblum (1988) menyatakan struktur merupakan pola perilaku berulang yang menciptakan hubungan antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat. Mengacu pada pengertian struktur sosial menurut Kornblum yang menekankan pada pola perilaku yang berulang, maka konsep dasar

Transcript of Teori Perubahan Sosial Karl Marx Dan Max

Page 1: Teori Perubahan Sosial Karl Marx Dan Max

Teori Perubahan Sosial Karl Marx dan Max Weber

{ November 18, 2008 @ 2:18 pm } · { Actions }

Teori perubahan social dan budaya Karl Marx yang merumuskan bahwa perubahan social dan budaya sebagai produk dari sebuah produksi (materialism), sedangkan Max weber lebih pada system gagasan, system pengetahuan, system kepercayaan yang justru menjadi sebab perubahan.

Jika dua pandangan itu digunakan sebagai asas dalam pengembangan program Pendidikan Nonformal, akan memberikan dampak untung dan rugi, secara literature hal tersebut disebabkan oleh:

Menurut Douglas (1973), mikrososiologi mempelajari situasi sedangkan makrososiologi

mempelajari struktur. George C. Homans yang mempelajari mikrososiologi mengaitkan struktur

dengan perilaku sosial elementer dalam hubungan sosial sehari-hari, sedangkan Gerhard Lenski

lebih menekankan pada struktur masyarakat yang diarahkan oleh kecenderungan jangka panjang

yang menandai sejarah. Talcott Parsons yang bekerja pada ranah makrososiologi menilai struktur

sebagai kesalingterkaitan antar manusia dalam suatu sistem sosial. Coleman melihat struktur

sebagai pola hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia atau masyarakat. Kornblum

(1988) menyatakan struktur merupakan pola perilaku berulang yang menciptakan hubungan

antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat.

Mengacu pada pengertian struktur sosial menurut Kornblum yang menekankan pada pola

perilaku yang berulang, maka konsep dasar dalam pembahasan struktur adalah adanya perilaku

individu atau kelompok. Perilaku sendiri merupakan hasil interaksi individu dengan

lingkungannya yang didalamnya terdapat proses komunikasi ide dan negosiasi.

Pembahasan mengenai struktur sosial oleh Ralph Linton dikenal adanya dua konsep yaitu status

dan peran. Status merupakan suatu kumpulan hak dan kewajiban, sedangkan peran adalah aspek

dinamis dari sebuah status. Menurut Linton (1967), seseorang menjalankan peran ketika ia

menjalankan hak dan kewajiban yang merupakan statusnya. Tipologi lain yang dikenalkan oleh

Linton adalah pembagian status menjadi status yang diperoleh (ascribed status) dan status yang

diraih (achieved status).

Status yang diperoleh adalah status yang diberikan kepada individu tanpa memandang

kemampuan atau perbedaan antar individu yang dibawa sejak lahir. Sedangkan status yang diraih

Page 2: Teori Perubahan Sosial Karl Marx Dan Max

didefinisikan sebagai status yang memerlukan kualitas tertentu. Status seperti ini tidak diberikan

pada individu sejak ia lahir, melainkan harus diraih melalui persaingan atau usaha pribadi.

Social inequality merupakan konsep dasar yang menyusun pembagian suatu struktur

sosial menjadi beberapa bagian atau lapisan yang saling berkait. Konsep ini memberikan

gambaran bahwa dalam suatu struktur sosial ada ketidaksamaan posisi sosial antar individu di

dalamnya. Terdapat tiga dimensi dimana suatu masyarakat terbagi dalam suatu susunan atau

stratifikasi, yaitu kelas, status dan kekuasaan. Konsep kelas, status dan kekuasaan merupakan

pandangan yang disampaikan oleh Max Weber (Beteille, 1970).

Kelas dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang menempati

kedudukan yang sama dalam proses produksi, distribusi maupun perdagangan. Pandangan Weber

melengkapi pandangan Marx yang menyatakan kelas hanya didasarkan pada penguasaan modal,

namun juga meliputi kesempatan dalam meraih keuntungan dalam pasar komoditas dan tenaga

kerja. Keduanya menyatakan kelas sebagai kedudukan seseorang dalam hierarkhi ekonomi.

Sedangkan status oleh Weber lebih ditekankan pada gaya hidup atau pola konsumsi. Namun

demikian status juga dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti ras, usia dan agama (Beteille,

1970).

Berbagai kasus yang disajikan oleh beberapa penulis di depan dapat kita pahami sebagai bentuk

adanya peluang mobilitas sosial dalam masyarakat. Kemunculan kelas-kelas sosial baru dapat

terjadi dengan adanya dukungan perubahan moda produksi sehingga menimbulkan pembagian

dan spesialisasi kerja serta hadirnya organisasi modern yang bersifat kompleks. Perubahan

tatanan masyarakat dari yang semula tradisional agraris bercirikan feodal menuju masyarakat

industri modern memungkinkan timbulnya kelas-kelas baru. Kelas merupakan perwujudan

sekelompok individu dengan persamaan status. Status sosial pada masyarakat tradisional

seringkali hanya berupa ascribed status seperti gelar kebangsawanan atau penguasaan tanah

secara turun temurun. Seiring dengan lahirnya industri modern, pembagian kerja dan organisasi

modern turut menyumbangkan adanya achieved status, seperti pekerjaan, pendapatan hingga

pendidikan.

Page 3: Teori Perubahan Sosial Karl Marx Dan Max

Teori inkonsistensi status telah mencoba menelaah tentang adanya inkonsistensi dalam individu

sebagai akibat berbagai status yang diperolehnya. Konsep ini memberikan gambaran bagaimana

tentang proses kemunculan kelas-kelas baru dalam masyarakat sehingga menimbulkan

perubahan stratifikasi sosial yang tentu saja mempengaruhi struktur sosial yang telah ada.

Apabila dilihat lebih jauh, kemunculan kelas baru ini akan menyebabkan semakin ketatnya

kompetisi antar individu dalam masyarakat baik dalam perebutan kekuasaan atau upaya

melanggengkan status yang telah diraih. Fenomena kompetisi dan konflik yang muncul dapat

dipahami sebagai sebuah mekanisme interaksional yang memunculkan perubahan sosial dalam

masyarakat.

Max Weber (1864-1920), pemikir sosial Jerman, mungkin adalah orang yang di

zamannya paling merasa tertantang oleh determinisme ekonomi Marx yang memandang segala

sesuatu dari sisi politik ekonomi. Berbeda dengan Marx, Weber dalam karya-karyanya

menyentuh secara luas ekonomi, sosiologi, politik, dan sejarah teori sosial. Weber

menggabungkan berbagai spektrum daerah penelitiannya tersebut untuk membuktikan bahwa

sebab-akibat dalam sejarah tak selamanya didasarkan atas motif-motif ekonomi belaka. Weber

berhasil menunjukkan bahwa ide-ide religius dan etis justru memiliki pengaruh yang sangat

besar dalam proses pematangan kapitalisme di tengah masyarakat Eropa, sementara kapitalisme

agak sulit mematangkan diri di dunia bagian timur oleh karena perbedaan religi dan filosofi

hidup dengan yang di barat lebih dari pada sekadar faktor-faktor kegelisahan ekonomi atas

penguasaan modal sekelompok orang yang lebih kaya. Kegelisahan teoretis yang sama, bahwa

marxisme klasik terlalu naif dengan mendasarkan segala motif tindakan atas kelas-kelas ekonomi

memiliki dampak besar yang melahirkan teori kritis dan marxisme baru. Aliran ini dikenal

sebagai Mazhab Frankfurt, sebuah kumpulan teori sosial yang dikembangkan di Institute for

Social Research, yang didirikan di Frankfurt, Jerman pada tahun 1923. Mazhab ini terinspirasi

dari pandangan-pandangan Marx, namun tidak lagi menjelaskan dominasi atas dasar perbedaan

kelas ekonomi semata, melainkan atas otoritas penguasa yang menghalangi kebebasan manusia.

Jika fokus marxisme klasik adalah struktur ekonomi politik, maka marxisme baru bersandar pada

budaya dan ideologi. Kritisismenya terasa pada kritik-kritik yang dilontarkan atas ideologi-

ideologi yang bersandar pada pendekatan psikolog klasik Austria, psikoanalisisme Sigmund

Page 4: Teori Perubahan Sosial Karl Marx Dan Max

Freud (1856-1939); tentang kesadaran, cara berfikir, penjajahan budaya, dan keinginan untuk

membebaskan masyarakat dari kebohongan publik atas produk-produk budaya.

Sosiolog Mazhab Frankfurt Max Horkheimer (1895–1973) dan Theodor Adorno (1903-

1969) membuat landasan instrumental agenda-agenda teoretis mazhab ini. Analisisnya berkenaan

dengan pembedaan antara peradaban barat dan timur, dan bagaimana peradaban barat telah

menyimpang dengan konsep rasionalitas yang bertujuan untuk menaklukkan dan mengatur alam

semesta. Studi-studi yang mereka lakukan berlandaskan pada hal ini, diikuti oleh sosiolog

Jerman-Amerika, Herbert Marcuse (1898-1979). Dalam perkembangannya, sosiolog Frankfurt

termuda, Juergen Habermas, mengubah agenda Mazhab Frankfurt menjadi upaya emanisipatoris

atas rasionalisme pencerahan.

Belakangan, pemikiran Mazhab Frankfurt ini telah mempengaruhi banyak sekali teoretisi

sosial yang memfokuskan kritik pada obyek budaya seperti hiburan, musik, mode, dan

sebagainya yang dinyatakan sebagai industri budaya. Dalam teori kritis atau neo-marxisme ini,

sudah tidak ada lagi determinisme ekonomi dan tak lagi meyakini bahwa kaum miskin (proletar)

akan menjadi agen perubahan sosial, namun bergerak ke kelompok sosial lain, seperti kaum

radikal di kampus-kampus, dan sebagainya. Ini menjadi keyakinan mereka merupakan agen-agen

untuk melakukan transformasi sosial di kemudian hari.

Hingga hari ini, neo-marxisme masih terus berkembang namun tidak banyak menuai

perkembangan teoretis. Tradisinya hidup di studi-studi budaya, namun masih memiliki motif

yang sama yaitu upaya pembukaan tabir dan motif-motif kapitalisme di tengah-tengah

masyarakat.

Selain kemunculan teoretisi neo-marxis, pergulatan antar kelas ekonomi menjadi inspirasi

pula bagi lahirnya teori konflik. Sosiolog Jerman, Ralf Dahrendorf, menerangkan konflik kelas

dalam masyarakat industrial pada tahun 1959. Teori ini sangat berbeda dari teori Marx karena ia

menganalisis konflik tanpa memperhitungkan politik ekonomi yang ada (apakah kapitalisme atau

sosialisme). Jika Marx bersandar pada PEMILIKAN alat produksi, maka Dahrendorf bersandar

pada KONTROL atas alat produksi. Dalam terminologi Dahrendorf, pada masa pos-kapitalisme,

kepemilikan akan alat produksi (baik sosialis atau kapitalis) tidak menjamin adanya kontrol atas

Page 5: Teori Perubahan Sosial Karl Marx Dan Max

alat produksi. Jadi, di luar Marxisme, ia mengembangkan beberapa terminologi dari Max Weber,

antara lain bahwa sistem sosial itu dikoordinasi secara imperatif melalui otoritas/kekuasaan.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa teori Dahrendorf melakukan kombinasi antara

fungsionalisme (tentang struktur dan fungsi masyarakat) dengan teori (konflik) antar kelas sosial.

Teori sosial Dahrendorf berfokus pada kelompok kepentingan konflik yang berkenaan dengan

kepemimpinan, ideologi, dan komunikasi di samping tentu saja berusaha melakukan berbagai

usaha untuk menstrukturkan konflik itu sendiri, mulai dari proses terjadinya hingga intensitasnya

dan kaitannya dengan kekerasan. Jadi bedanya dengan fungsionalisme jelas, bahwa ia tidak

memandang masyarakat sebagai sebuah hal yang tetap/statis, namun senantiasa berubah oleh

terjadinya konflik dalam masyarakat. Dalam menelaah konflik antara kelas bawah dan kelas atas

misalnya, Dahrendorf menunjukkan bahwa kepentingan kelas bawah menantang legitimasi

struktur otoritas yang ada. Kepentingan antara dua kelas yang berlawanan ditentukan oleh sifat

struktur otoritas dan bukan oleh orientasi individu pribadi yang terlibat di dalamnya. Individu

tidak harus sadar akan kelasnya untuk kemudian menantang kelas sosial lainnya.

Sebelumnya, Georg Simmel (1858–1918), sosiolog fungsionalis Jerman juga telah

mencoba mendekati teori konflik dengan menunjukkan bahwa konflik merupakan salah satu

bentuk interaksi sosial yang mendasar; berkaitan dengan sikap bekerja sama dalam masyarakat.

Dalam hal ini Simmel mungkin salah seorang sosiolog pertama yang berusaha keras untuk

mengkonstruksi sistem formal dalam sosiologi yang diabstraksikan dari sejarah dan detil

pengalaman manusia. Analisisnya tentang efek ekonomi uang dalam perilaku manusia

merupakan salah satu pekerjaannya yang penting.

Jika Simmel membedah teori sosial berdasarkan konfliknya, maka sosiolog konflik

Amerika Serikat, Lewis Coser (1913-2003), bertitik berat pada konsekuensi-konsekuensi

terjadinya konflik pada sebuah sistem sosial secara keseluruhan. Teorinya menunjukkan

kekeliruan jika memandang konflik sebagai hal yang melulu merusak sistem sosial, karena

konflik juga dapat memberikan keuntungan pada masyarakat luas di mana konflik tersebut

terjadi. Konflik justru dapat membuka peluang integrasi antar kelompok.

Page 6: Teori Perubahan Sosial Karl Marx Dan Max

Di Amerika Serikat, teori konflik muncul menjadi sebuah cabang teoretis oleh karena

ketidaksukaan pada sosiologi fungsionalisme yang berkembang saat itu. C. Wright Mills,

sosiolog Amerika 1960-an mengecam fungsionalisme melalui kritiknya tentang elit kekuasaan di

Amerika saat itu. Perdebatan Mills dan fungsionalisme ini pada dasarnya menunjukkan

bagaimana sosiologi telah berkarib dengan ideologi. Tuduhan yang paling besar adalah

uraiannya tentang karya Parsons yang bermuatan ideologis dan menurutnya sebagian besar

isinya kosong/hampa. Secara metodologi, Mills lebih mirip dengan mazhab Frankfurt atas

kritiknya pada media massa, pemerintahan, dan militer. Salah satu contoh proposisinya yang

kontroversial adalah bahwa menurutnya di Amerika terjadi paradoks demokrasi: bentuk

pemerintahannya adalah demokrasi namun seluruh struktur organisasinya cenderung diubah ke

bentuk oligarkhi, hanya sedikit yang memiliki kekuasaan politik.

Dalam sosiologi, teori konflik berdasar pada asumsi dasar bahwa masyarakat atau

organisasi berfungsi sedemikian di mana individu dan kelompoknya berjuang untuk

memaksimumkan keuntungan yang diperolehnya; secara tak langsung dan tak mungkin dihindari

adalah perubahan sosial yang besar seperti revolusi dan perubahan tatanan politik. Teori konflik

ini secara umum berusaha memberikan kritiknya pada fungsionalisme yang

meyakini bahwa masyarakat dan organisasi memainkan peran masing-masing sedemikian

seperti halnya organ-organ dalam tubuh makhluk hidup.

Ringkasnya, ada sedikitnya empat hal yang penting dalam memahami teori konfilk sosial, antara

lain:

1. kompetisi (atas kelangkaan sumber daya seperti makanan, kesenangan, partner seksual, dan

sebagainya. Yang menjadi dasar interaksi manusia bukanlah KONSENSUS seperi yang

ditawarkan fungsionalisme, namun lebih kepada KOMPETISI.

2. Ketaksamaan struktural. Ketaksamaan dalam hal kuasa, perolehan yang ada dalam struktur

sosial.

3. Individu dan kelompok yang ingin mendapatkan keuntungan dan berjuang untuk mencapai

revolusi.

Page 7: Teori Perubahan Sosial Karl Marx Dan Max

4. Perubahan sosial terjadi sebagai hasil dari konflik antara keinginan (interes) yang saling

berkompetisi dan bukan sekadar adaptasi. Perubahan sosial sering terjadi secara cepat dan

revolusioner daripada evolusioner.

Dalam perkembangannya, teori konflik Mills, Dahrendorf, dan Coser berusaha disusun

sintesisnya oleh sosiolog Amerika lain, Randall Collins, yang berusaha menunjukkan dinamika

konflik interaksional. Menurut Collins, struktur sosial tidak mempunyai EKSISTENSI

OBYEKTIF yang terpisah dari pola-pola interaksi yang selalu berulang-ulang dalam sistem

sosial; struktur sosial memiliki EKSISTENSI SUBYEKTIF dalam pikiran individu yang

menyusun masyarakat. Dalam hal ini, Collins mulai membagi apa yang MIKRO dan apa yang

MAKRO. Mikrososial berarti hubungan interaksi antar individu dalam masyarakat, sementara

makrososial berarti hasil dari interaksi antar individu dalam masyarakat tersebut.

Collins sangat dipengaruhi tak hanya pendahulunya dalam teori konflik, namun juga

pemikiran teori kritis dan fungsionalisme dan teori pertukaran sosial. Salah satu contoh yang

menarik adalah pendapatnya tentang alat produksi mental, misalnya pendidikan dan media massa

serta alat produksi emosional seperti tradisi dan ritualisme sosial. Semakin besar kepercayaan

akan senjata-senjata mahal yang dipegang oleh suatu kelompok, semakin besar pula tentara

mengambil bentuk hirarki komando. Di sisi lain, semakin besar persamaan dalam kelompok

disatukan secara seremonial, semakin besar pula kenderungan agama menekankan ritus-ritus

partisipasi massa dan ideal persaudaraan kelompok. Demikian seterusnya, seolah tercapai

pertemuan antara teori struktur-fungsionalisme, teori konflik, dan interaksionisme symbol.

Jika seluruh teori dan pandangan Karl Marx dan Max Weber tersebut diterapkan dalam

Asas pendidikan Nonformal maka akan memerikan keuntungan yang signifikan dimana setiap

satuan pendidikan luar sekolah akan dimudahkan pandangannya secara social budaya, tanpa

harus di pusingkan dengan alasan dan peredaan, tetapi ruginya akan terasa manakala program

atau satuan pendidikan nonformal ini tidak dapat menjangkau dan meraih semua sasaran yang

diharapkan karena perbedaan system yang berlaku.

Dimana dan bagaimana perbedaan antara teori-teori sosiologi dan antropologi dalam kurun waktu Klasik, dan Kontemprer? Mengenai perkembangan teori-teori sosiologi dan antropologi dalam konteks perkembangan dunia keilmuan maupun dalam konteks penggunaan praktis!

Page 8: Teori Perubahan Sosial Karl Marx Dan Max

Max Weber adalah seorang sosiolog besar yang ahli kebudayaan, politik, hukum, dan

ekonomi. Ia dikenal sebagai seorang ilmuwan yang sangat produktif. Makalah-makalahnya

dimuat di berbagai majalah, bahkan ia menulis beberapa buku. The Protestant Ethic and the

Spirit of Capitalism (1904) merupakan salah satu bukunya yang terkenal. Dalam buku tersebut

dikemukakan tesisnya yang sangat terkenal, yaitu mengenai kaitan antara Etika Protestan dengan

munculnya Kapitalisme di Eropa Barat.

Sejak Weber memperkenalkannya pada tahun 1905 tesis yang memperlihatkan

kemungkinan adanya hubungan antara ajaran agama dengan perilaku ekonomi, sampai sekarang

masih merangsang berbagai perdebatan dan penelitian empiris. Tesisnya dipertentangkan dengan

teori Karl Marx tentang kapitalisme, demikian pula dasar asumsinya dipersoalkan, kemudian

ketepatan interpretasi sejarahnya juga digugat. Samuelson, ahli sejarah ekonomi Swedia, tanpa

segan-segan menolak dengan keras keseluruhan tesis Weber. Dikatakannya dari penelitian

sejarah tak bisa ditemukan dukungan untuk teori Weber tentang kesejajaran doktrin

Protestanisme dengan kapitalisme dan konsep tentang korelasi antara agama dan tingkah laku

ekonomis. Hampir semua bukti membantahnya.

Weber sebenarnya hidup tatkala Eropa Barat sedang menjurus ke arah pertumbuhan

kapitalisme modern. Situasi sedemikian ini barangkali yang mendorongnya untuk mencari

sebab-sebab hubungan antar tingkah laku agama dan ekonomi, terutama di masyarakat Eropa

Barat yang mayoritas memeluk agama Protestan. Apa yang menjadi bahan perhatian Weber

dalam hal ini sesungguhnya juga sudah menjadi perhatian Karl Marx, di mana pertumbuhan

kapitalisme modern pada masa itu telah menimbulkan keguncangan-keguncangan hebat di

lapangan kehidupan sosial masyarakat Eropa Barat. Marx dalam persoalan ini mengkhususkan

perhatiannya terhadap sistem produksi dan perkembangan teknologi, yang menurut beliau akibat

perkembangan itu telah menimbulkan dua kelas masyarakat, yaitu kelas yang terdiri dari

sejumlah kecil orang-orang yang memiliki modal dan yang dengan modal yang sedemikian itu

lalu menguasai alat-alat produksi, di satu pihak dan orang-orang yang tidak memiliki modal/alat-

alat produksi di pihak lain. Golongan pertama, yang disebutnya kaum borjuis itu, secara terus

menerus berusaha untuk memperoleh untung yang lebih besar yang tidak di gunakan untuk

konsumsi, melainkan untuk mengembangkan modal yang sudah mereka miliki.

Page 9: Teori Perubahan Sosial Karl Marx Dan Max

Muncul dan berkembangnya Kapitalisme di Eropa Barat berlangsung secara bersamaan

dengan perkembangan Sekte Calvinisme dalam agama Protestan. Argumennya adalah ajaran

Calvinisme mengharuskan umatnya untuk menjadikan dunia tempat yang makmur. Hal itu hanya

dapat dicapai dengan usaha dan kerja keras dari individu itu sendiri.

Ajaran Calvinisme mewajibkan umatnya hidup sederhana dan melarang segala bentuk

kemewahan, apalagi digunakan untuk berpoya-poya. Akibat ajaran Kalvinisme, para penganut

agama ini menjadi semakin makmur karena keuntungan yang mereka perolehnya dari hasil usaha

tidak dikonsumsikan, melainkan ditanamkan kembali dalam usaha mereka. Melalui cara seperti

itulah, kapitalisme di Eropa Barat berkembang. Demikian menurut Weber.

Tindakan, Kelas, dan Status Sosial

Sosiologi menurut Weber adalah suatu ilmu yang mempelajari tindakan sosial. Tidak

semua tindakan manusia dapat dianggap sebagai tindakan sosial. Suatu tindakan hanya dapat

disebut tindakan sosial apabila tindakan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku

orang lain dan berorientasi pada perilaku orang lain.

Suatu tindakan adalah perilaku manusia yang mempunyai makna subjektif bagi pelakunya.

Sosiologi bertujuan untuk memahami (verstehen) mengapa tindakan sosial mempunyai arah dan

akibat tertentu, sedangkan tiap tindakan mempunyai makna subjektif bagi pelakunya, maka ahli

sosiologi yang hendak melakukan penafsiran bermakna, yang hendak memahami makna

subjektif suatu tindakan sosial harus dapat membayangkan dirinya di tempat pelaku untuk dapat

ikut menghayati pengalamannya. Hanya dengan menempatkan diri di tempat seorang pekerja

seks atau mucikari misalnya, seorang ahli sosiologi dapat memahami makna subjektif tindakan

sosial mereka, memahami mengapa tindakan sosial tersebut dilakukan serta dampak dari

tindakan tersebut.

Weber mendefinisikan kelas sebagai sekelompok orang. Pandangan lain menyatakan

bahwa kelas tidak hanya menyangkut orang-orang tertentu yang terlibat langsung dalam kegiatan

ekonomi, tetapi mencakup pula keluarga mereka. Hal ini mencerminkan pandangan bahwa

kedudukan seorang anggota keluarga dalam suatu kelas terkait dengan kedudukan anggota

keluarga lain. Kadang-kadang seorang anggota keluarga dapat memperoleh status yang sama

Page 10: Teori Perubahan Sosial Karl Marx Dan Max

atau bahkan melebihi status yang semula diduduki kepala keluarga. Karena adanya keterkaitan

status seorang anggota keluarga dengan status anggota yang lain maka bilamana status kepala

keluarga naik, status keluarga akan ikut naik. Sebaliknya penurunan status kepala keluarga akan

menurunkan pula status keluarganya.

Secara ideal sistem kelas merupakan suatu sistem stratifikasi terbuka karena status di dalamnya

dapat diraih melalui usaha pribadi. Dalam kenyataan sering terlihat bahwa sistem kelas

mempunyai ciri sistem tertutup, seperti misalnya endogami kelas. Pergaulan dan pernikahan,

misalnya lebih sering terjadi antara orang-orang yang kelasnya sama dari pada dengan orang dan

kelas lebih rendah atau lebih tinggi

Simmel dan Konsep Sosiologinya

Simmel, yang mengawali studinya di Universitas Berlin pada tahun 1876, lulus doktor

filsafat tahun 1881 dengan disertasi yang berjudul The Nature of Matter According to Kant’s

Physical Monadology. Ia tidak pernah menjadi dosen tetap di universitas di Jerman, namun

berbagai tulisannya yang brilian sangat mempengaruhi perkembangan sosiologi. Di Jerman,

Simmel berupaya menanamkan dasar-dasar sosiologinya di mana ia berhadapan dengan konsep

sosiologi yang positivistik yang dikembangkan oleh Comte, serta teori evolusi yang

dikembangkan oleh Spencer. Dalam mengembangkan konsep sosiologinya, Simmel merujuk

kepada doktrin-doktrin atomisme logis yang dikemukakan oleh Fechner di mana masyarakat

lebih merupakan sebuah interaksi individu-individu dan bukan merupakan sebuah interaksi

substansial. Dengan demikian, sosiologi memfokuskan pada atom-atom empirik, dengan

berbagai konsep dan individu-individu di dalamnya, serta kelompok-kelompok yang kesemuanya

berfungsi sebagai suatu kesatuan. Masyarakat, dalam skala yang paling luas, justru ditemukan di

dalam individu-individu yang melakukan interaksi. Bagi Simmel, sosiologi haruslah diarahkan

untuk merujuk kepada konsep utamanya yang mencakup bentuk-bentuk sosiasi dari yang paling

umum sampai yang paling spesifik. Bila kita dapat menunjukkan totalitas berbagai bentuk

hubungan sosial dalam berbagai tingkatan dan keragaman, maka kita akan memiliki pengetahuan

yang lengkap mengenai ‘masyarakat’. Simmel yang berupaya keras untuk memisahkan sosiologi

dari psikologi menganggap bahwa perlakuan ilmiah atas data psikis, tidak secara otomatis

Page 11: Teori Perubahan Sosial Karl Marx Dan Max

menjadi data psikologis manakala suatu realitas dari studi ilmiah ilmu-ilmu sosial dianggap

sebagai konsep yang berbeda. Di sini, struktur-struktur yang spesifik di dalam kehidupan sosio-

kultural yang sangat kompleks harus dihubungkan kembali, tidak saja dengan berbagai interaksi

sosial tetapi juga dengan berbagai pernyataan psikologis. Jadi, sosiologi harus membatasi diri

dari hal-hal yang bermakna psikologis. Sosiologi harus jauh melampui pemikiran-pemikiran

yang bermakna psikologis dengan melakukan abstraksi-abstraksinya sendiri.

Interaksi sebagai Konsep Dasar Sosiologi Simmel

Teori yang dikemukakan Simmel mengenai realitas sosial terlihat dari konsepnya yang

menggambarkan adanya empat tingkatan yang sangat mendasar. Pertama, asumsi-asumsinya

yang merujuk kepada konsep-konsep yang sifatnya makro dan menyangkut komponen-

komponen psikologis dari kehidupan sosial. Kedua, dalam skala luas, mengungkap masalah-

masalah yang menyangkut berbagai elemen sosiologis terkait dengan hubungan yang bersifat

inter-personal. Ketiga, adalah konsep-konsepnya mengenai berbagai struktur dan perubahan-

perubahan yang terjadi dan terkait dengan apa yang dinamakannya sebagai spirit (jiwa, ruh,

substansi), yaitu suatu esensi dari konsep sosio-kultural. Keempat, yaitu penyatuan dari ketiga

unsur di atas yang melibatkan prinsip-prinsip kehidupan metafisis individu maupun kelompok.

Menurut Simmel, ada tiga elemen yang masing-masing ‘menempati’ wilayahnya sendiri

di dalam sosiologi yang terkait dengan tingkatan-tingkatan realitas sosial. Elemen pertama

adalah apa yang dijelaskannya sebagai sosiologi murni (pure sociology), di mana variabel-

variabel psikologis dikombinasikan dengan bentuk-bentuk interaksi. Konsepnya yang dianggap

bersifat mikro adalah yang menyangkut bentuk-bentuk (forms) di mana interaksi yang terjadi di

dalamnya melibatkan berbagai tipe (types) dan ini menyangkut individu yang terlibat di dalam

interaksi itu. Elemen kedua adalah sosiologinya yang bersifat umum dan terkait dengan produk-

produk sosio-kultural dari sejarah manusia.

Sedangkan elemen ketiga adalah konsepnya mengenai sosiologi filsafat yang terkait

dengan pandangan-pandangannya menyangkut konsepsi dasariah (hukum) alam serta takdir

manusia. Untuk mengatasi masalah-masalah interrelasi di antara tiga tingkatan dari realitas sosial

itu, Simmel melakukan pendekatan dialektik seperti yang terdapat di dalam ajarannya Marx,

Page 12: Teori Perubahan Sosial Karl Marx Dan Max

meskipun tujuannya berbeda. Dengan pendekatan ini, Simmel berupaya menyatukan fakta dan

nilai, menolak ide-ide yang memisahkan antara berbagai fenomena sosial, memfokuskan pada

kurun waktu masa lalu dan masa yang akan datang, serta sangat memperhatikan konflik dan

kontradiksi. Simmel mewujudkan komitmen atas konsep-konsepnya melalui cara (berpikir)

dialektis, dengan selalu mengkaji berbagai hubungan yang ada, dan selalu merujuk kepada

konsep dualisme yang menggambarkan konflik dan kontradiksi.

Kebanyakan karya yang membicarakan sejarah teori antropologi terjebak dalam dua hal.

Pertama, logika bahwasanya sejarah selalu melekat pada tokoh, sehingga tokoh-tokoh ini secara

disadari atau tidak menjadi sosok yang lebih menonjol daripada unsur-unsur pemikiran

teoritisnya sendiri. Narasi riwayat pemikiran teori lebih menonjol daripada pemikiran teori itu

sendiri. Sebagai contoh, tulisan-tulisan dengan ciri intrinsik semacam itu

antara lain adalah Honigmann (1976), Bohannan dan Glazer (1976), Garbarino (1980), dan untuk

Indonesia, Koentjaraningrat (1990). Kedua, para penulis sejarah teori berupaya lebih

menampilkan pemikiran teori ketimbang sosok tokoh, namun tak mampu mengendalikan diri

untuk tidak berpihak pada suatu arus pemikiran tertentu. Maka, sebagai contoh, pemikiran yang

diwarnai materialisme kebudayaan kental dalam Harris (1976), atau pemikiran Marx yang anti

evolusionisme begitu kentara dalam buku Layton (1997) sendiri.

Seperti dikemukakan di atas, tulisan Layton (1997) ini dapat dimasukkan ke dalam

kecenderungan yang kedua, meski ada upaya yang keras dari penulis ini untuk tidak terlibat

dalam bias perspektif itu. Barangkali secara tidak disadari, ia justru beberapa kali menyebutkan

‘pentingnya bersikap netral’ dalam menanggapi teori (lihat misalnya, hal. 18, 46, 156, 209),

suatu sikap yang ternyata tidak secara konsisten ia jalankan. Namun, ulasan sejarah teori dari

Layton termasuk langka karena kemauan dan kesungguhannya untuk menempatkan setiap teori

dan tokoh yang membangun dan mengembangkannya dalam konteks individual tokoh yang

bersangkutan. Agar terhindar dari penonjolan sosok tokoh, Layton memberi judul bukunya An

Introduction to Theory in Anthropology, ketimbang ‘Sejarah Teori Antropologi’

sebagaimanakita temukan dalam buku-buku lain.

Page 13: Teori Perubahan Sosial Karl Marx Dan Max

Mengenai kegandrungannya menempatkan setiap teori dalam konteks jelas tergambar

dalam contoh ketika membicarakan pemikiran Thomas Hobbes, antara lain: [‘Hobbes yang

pernah menjadi penasehat calon Raja Charles II, mengalami sendiri kekacauan akibat Perang

Sipil Inggris dan mempertanyakan apa sebenarnya yang mengikat suatu masyarakat sehingga

tetap bersatu. Bertentangan dengan komunalisme primitif dari Levellers, Hobbes mengemukakan

kondisi yang berlawanan terhadap kehidupan sosial sebagai suatu ketidakteraturan yang bersifat

random, di mana orang berusaha menyelamatkan diri sendiri dengan cara mengontrol orang lain.

Kondisi semacam itu barangkali adalah perang antara setiap orang (every man war)’, hal. 4-5].

Hal yang sama juga dilakukannya ketika membahas Herbert Spencer (evolusionisme) yang

dipertentangkan dengan Karl Marx (revolusionisme) yang dipandangnya sebagai dua tokoh yang

memiliki lingkungan personal berbeda dalam melihat gejala social

Meski Layton berusaha bersikap netral dalam memandang teori, tak urung—

sekurangkurangnya secara implisit—ia sangat mengapresiasi antropologi sosial. Tak jelas apakah

apresiasi itu diwariskan oleh tradisi British Anthropologist, atau pengaruh Marx yang demikian

kuat. Selain itu, ia juga sangat concern dengan perkembangan penuh perdebatan dan kendala

metodologis yang muncul dalam dekade terakhir mengenai kebudayaan, yakni suatu persoalan

yang ramai dibicarakan para ahli antropologi secara intern dalam konteks yang dinamai arus

postmodernisme itu (misalnya, Clifford dan Marcus 1986; Tyler 1986; Marcus dan Fischer 1986;

Derrida 1978; Foucault 1978; Bourdieu 1977; Crapanzano 1986; Geertz 1988; Rosaldo 1986).

Untuk itu, Layton menulis satu bab khusus (Bab 7) mengenai Postmodernisme dan antropologi

dengan sikap metodologis yang banyak dipengaruhi Derrida (1978), dan (tentu saja) Marx.

Dalam buku ini, meski nama-nama tetap melekat pada pemikiran (dan memang seharusnya

demikian), ada upaya maksimum untuk menempatkan analisis pada posisi yang lebih penting.

Seperti dikemukakan di atas, Layton menempatkan setiap teori dalam konteksnya—

bahwa teori selalu terikat dengan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat yang

bersangkutan. Akan tetapi, Layton tak selalu konsisten. Karena apabila di satu pihak ia berupaya

netral dalam menganalisis setiap teori, di pihak lain ia nampak kurang setuju dengan alur

pemikiran evolusionisme dan difusionisme, sehingga tema ini kurang memperoleh perhatian

sebagaimana seharusnya. Padahal, bukankah pemikiran teoritis evolusionisme ini pernah

dominan dalam sejarah antropologi, khususnya pada abad lalu? Sebagai sebuah buku pengantar

Page 14: Teori Perubahan Sosial Karl Marx Dan Max

teori antropologi, Layton semestinya memberikan porsi perhatian yang cukup besar pada

persoalan teoritis evolusionisme itu. Apalagi arus pemikiran struktural-fungsionalisme, sebagai

suatu pemikiran teoritis besar dalam antropologi hingga tahun 1960an, banyak berhutang budi

pada pemikiranpemikiran

evolusionisme Herbert Spencer dan Darwin, dua tokoh yang membangun aliran pemikiran

tersebut

Tak demikian halnya perlakuan Layton terhadap pemikiran Marx. Ia berpendapat bahwa

pemikiran Marx menjadi penting dan berpengaruh dalam antropologi tatkala para antropolog

bergeser dari kajian struktur sosial Durkheim dan Radcliffe-Brown ke proses sosial. Konsekuensi

logis dari proses sosial adalah menempatkan kekuasaan sebagai konsep kunci, dan pada saat

yang sama menyingkirkan konsep evolusi sosial dan struktur sosial yang statis. Dalam hal ini

Layton nampaknya cukup kuat dipengaruhi oleh trend antropologi masa kini yang

mempertanyakan dan mengevaluasi kembali beberapa persoalan mendasar dalam teori dan

metodologi, seperti misalnya, representativitas kebudayaan, etnografi, model versus deskripsi,

polemik dan etik dalam kajian antropologi.

Karena itu, jelaslah keberpihakan Layton pada pemikiran yang berorientasi pada

perubahan sosial (khususnya, perubahan yang cepat, yang tak lain adalah implikasi Marx). Selain

itu, apresiasi terhadap Marx juga analog dengan orientasi kuat pada dinamika hubungan-

hubungan sosial, baik dalam bentuk kelompok maupun jaringan sosial yang secara metodologis

dapat diterjemahkan sebagai konkretisasi poststrukturalis, suatu ciri yang oleh Layton sendiri

disebut paradigma baru antropologi sosial.

Pembahasan mengenai Fungsionalisme, Strukturalisme, Teori Interaksionis, Antropologi

Marxis, dan Sosioekologi adalah pengulangan-pengulangan linear yang lazim kita temukan

dalam kebanyakan buku sejarah teori antropologi lainnya (lihatlah misalnya, Applebaum 1987;

Barrett 1986; Bohannan 1988; Lett 1994). Dalam uraian mengenai Fungsionalisme, pembahasan

dengan contoh-contoh kekerabatan dan organisasi sosial sebagaimana lazim ditemukan dalam

buku sejarah teori antropologi lain masih ditemukan secara menonjol. Sebuah tambahan yang

berarti adalah semakin pentingnya kedudukan cara pandang yang relatif baru dalam antropologi

Page 15: Teori Perubahan Sosial Karl Marx Dan Max

mengenai hubungan-hubungan sosial, yakni jaringan sosial, baik dalam konteks

strukturalfungsionalisme, analisis struktural, maupun poststrukturalisme.

Seperti halnya evolusionisme, teori-teori simbolisme dan kognisi juga hilang dalam

pembahasan Layton dengan alasan yang tidak jelas. Tersirat, ia mereduksi kedua arus pemikiran

teori yang penting ini dalam pembahasan mengenai Strukturalisme (Bab 3) tanpa argumentasi

metodologi yang seharusnya ada. Layton menyebut bukunya sebuah pengantar teori antropologi

agar terhindar dari konsekuensi narasi berdasarkan urutan kesejarahan, dan sebaliknya lebih

mementingkan pemikiran teori. Di berbagai tempat kita menemukan upaya yang kuat untuk

menjelaskan etiologi dan epistemologi teori; pembentukan, diferensiasi, divergensi, dan

konvergensinya. Metode pembahasan seperti ini masih langka dalam uraian-uraian mengenai

sejarah teori antropologi terdahulu. Kelebihan inilah yang membuat buku ini menjadi penting

bagi para pengkaji antropologi.

Pengaruh sosiologi Eropa memang juga menggali dan dari pemikir-pemikir falsafah a.l.

Bapak Sosiologi August Comte (1798-1857). Pendekatan yang agak ethno-Antropologis

tercermin juga dalam buku E. Durkheim tentang agama, tetapi buku-buku lain seperti mengenai

“Pembagian Kerja” (1966) dan “Bunuh Diri” sudah jelas dikarang dalam konteks makro

sosiologi. Memang penyebaran theori-theori klasik Sosiologi di Indonesia tidak terlalu luas,

nama-nama seperti P. Sorokin, M. Weber, Znaniecki, Marx, Von Wiese, G. Simmel, T. Shanin

dan banyak lagi kurang mengisi bahan kuliah para dosen.

Sejak pertengahan 1950-an Indonesia mulai mengirimkan mahasiswa untuk berbagai

ilmu sosial keluar negeri, tetapi ada kecenderungan lebih banyak  ke Amerika Serikat daripada

ke Eropa. Antara lain Soedjito Djojohardjo dikirim ke Inggris, tetapi lebih banyak lagi yang

belajar di Amerika dan menghasilkan thesis Ph.D. seperti Prof. Selo Soemardjan, Mely Tan

APU, Prof. Hasyah Bachtiar (hanya sebentar di Universitas Amsterdam sebelum ke Harvad) dan

lain-lain.

Perlu dipahami bahwa pengembangan dan perkembangan theori yang digubah pakar

Sosiologi tidak terlepas dari kejadian-kejadian besar dalam masyarakat dan pengaruh-

pengaruhnya kepada pemikir / ilmuwan yang kemudian menerima sejumlah assumsi yang

Page 16: Teori Perubahan Sosial Karl Marx Dan Max

mendasari theori. Demikian keperluan pemerintah jajahan di Hindia Belanda mendorong

ilmuwan menelusuri adat kebiasaan suku-suku bangsa di Nusantara. Pengertian yang diperoleh

mengarahkan kebijaksanaan sedemikian rupa sehingga mereka yang dijajah tidak menimbulkan

penolakan atau pembangkangan yang terlalu kuat.

Dalam masa 1800-1825, dibawah pengaruh tumbuhnya kaum borjuis di Eropa dan awal

industrialisasi yang menimbulkan / menyuburkan “budaya utilitarianisme” sosiologi seakan-akan

hanya mempelajari gejala-gejala yang tersisa (unfinished business) dalam perjalanan revolusi

industri. A. Gouldner (1973:92) mendeskripsikannya dalam kalimat “Sociology made the

residual, Social, Element its sphere”. Jadi ranah sosiologi seakan-akan dipisah dari

perkembangan ekonomi dan teknologi.

Baru sekitar pertengahan abad ke-19 sosiologi, ekonomi dan politik (Marx, 1848) mulai

difahami sebagai bidang-bidang ilmu yang saling terjalin.

“Sociology thus remains concerned with society as a “whole” as some kind of totality, but it now

regards itself as responsible only for one dimension of this totality. Society has been parceled out

analytically (Tj. Only) among the various social sciences. From this analytic standpoint,

sociology is indeed, concerned with social systems or society as a “whole”, but only as it is a

social whole”. (Gouldner, 1973:94)

Theori dalam ilmu sosial pun mencari keteraturan perilaku manusia serta pemahaman dan

sikap yang mendasarinya. Karena keadaan masyarakat yang berubah-ubah, pemahaman, sikap

dan perilaku warga / pelaku social pun dapat berubah. Memang perubahaan sosial bisa bersifat

makro, tetapi juga bisa lebih mikro mencakup kelompok-kelompok masyarakat yang relatif lebih

kecil dari satu bangsa, atau kumpulan bangsa-bangsa. Theori juga mengandung sifat

universalitas, artinya dapat berlaku di lain masyarakat yang mana saja, walaupun sering

dibedakan atara Grand Theory dan theori yang cakupannya tidak seluas itu.

Theori August Comte, Karl Marx dan beberapa theory Max Weber dapat digolongkan ke

Grand Theory, sedangkan theori Parson relatif mikro karena melepaskan diri dari kerangka

sejarah dan memfokuskan analisnya pada sistem sosial dan struktur, lebih khusus dalam

masyarakat Amerika Serikat.

Page 17: Teori Perubahan Sosial Karl Marx Dan Max

Seorang ahli Sosiologi Alwin Gouldner (1971) yang bersifat kritis dan menulis buku

berjudul “The Coming Crisis of Western Sociology” mengungkapkan bahwa Talcott Parsons

menghasilkan “Academic Sosiology” dimasa Amerika Serikat mengalami krisis ekonomi yang

dahsyat (1930), bahkan aliran tersebut kemudian mempengaruhi di luar A.S.

Parsons juga mencoba mencari penyelesaian lebih prgamatis dalam zamannya yang

pemikirannya membuahkan theori “Social System”. Ini sebanya theori tesebut juga

mempengaruhi pengajaran dan pemahaman sosiologi, yang waktu tahun 1930-an menarik

banyak penganut pakar Sosiolog di luar AS. Bahkan sedemikian rupa sehingga menggusur

theori-theori sosiologi dalam tradisi Eropa, seperti Max Weber, Karl Mannheim dan lain-lain

yang tidak mengesampingkan dimensi falsafah dan sejarah. Jadi boleh dikatakan sosiologi Meso

timbul dengan theori Parsons, tetapi dengan mengorbankan faktor “dinamika” (perubahan sosial

makro yang ciri Sosiologi Eropa) dengan mengunggulkan “Struktur dan Fungsi”.

Akibat pengaruh Amerika Serikat sebagai negara adidaya setelah 1950 yang terus meluas

setelah perang dunia kedua, theori Sosiologi dinegara berkembang pun terpengaruhi, karena

menekuni masalah yang tidak melampaui batas “nation state”. Negara-negara baru dengan

kesadaran nasional yang tinggi ingin mengatur struktur kelembagaan dalam masyarakat masing-

masing.

Sekarang di Indonesia mulai terasa adanya dilemma, karena “nation state” belum mantap sudah

timbul Globalisasi yang pasti merubah pengelompokan dan perilaku-perilaku sosial yang lebih

universal.

REORIENTASI SOSIOLOGI INDONESIA

Baik lahirnya “nation state” Indonesia di pertengahan abad ke-20 dan pembangunan

nasional yang digalakkan selama periode pemerintahan Orde Baru merangsang tumbuhnya theori

struktur dan fungsi Parsons. Bukan saja pragmatik (non-dinamika) yang dipentingkan karena

tujuannya adalah pertumbuhan ekonomi, tetapi juga kurang mengulas perubahan sosial dan

konflik. Perubahan struktur sosial yang sebenarnya di Indonesia akan dimulai tahun 1960 dengan

mengatur agraria, berhenti tetapi itu (1965) dan kemudian andalannya adalah menumbuhkan klas

Page 18: Teori Perubahan Sosial Karl Marx Dan Max

menengah. Sering dikatakan bahwa klas menengah merupakan prasyarat untuk pertumbuhan

demokrasi maupun ekonomi.

Dialektika dalam masyarakat yang mengandung potensi konflik , antara sentralisme

politik dan arus kebebasan generasi muda yang tertekan, meletus waktu krisis 1997 dan

Reformasi 1998 sampai menggoncangkan sendi-sendi masyarakat.

Gejala-gejala yang sebelumnya latent, sekarang menjadi perhatian Rakyat, dan aneka

elite menjadi faktor yang penting dalam usaha mecapai konsensus nasional baru.

Mengingat hal-hal tersebut diatas, terasa bahwa buku P. Sorokin (1928) “Contemporary

Sociological Theories” sudah diperluas dengan theori-theori yang sudah lebih mengintegrasikan

beberapa cabang ilmu-ilmu sosial.

Pertautan antara aspek-aspek psikologi misalnya dapat ditemukan dalam buku R. Presthus (1962)

dan D. Riesman dkk. (1961

Analisa-analisa pakar-pakar tersebut diatas menunjukkan pentingnya dinamika sosial

dalam masyarakat modern yang lebih memperkaya imajinasi sosiologi kita. Jadi di Amerika

Serikat setelah T. Parsons timbul mazhab-mazhab Sosiologi muda yang lebih memahami

pentingnya gejala perubahan dan konflik sosial, yang pada hemat penulis lebih merupakan

warisan dari tradisi Sosiologi Eropa.

Ini dibenarkan oleh a. Gouldner yang menulis dan menyimpulkan bahwa “Academic

Sociology semakin terjalin dengan analisa K. Marx, sehingga di Amerika misalnya menimbulkan

gerakan “New Left” menentang Establishment atau di Eropa (Jerman) “Tentara Merah” dengan

tokoh muda Beader Meinhof. Mungkin P.R.D di Indonesia dapat diketegorikan dalam

pemberontakan generasi muda seperti itu, yang sudah jenuh dengan elite Orde Baru di Jepang

pun ada gerakan-gerakan serupa.

Pemberontakan menentang tradisi dan pemikiran generasi “arrive” yang kolot oleh

generasi muda selalu akan timbul dalam masyarakat manusia sebagai terjadi tahun 1945,

sebentar di tahun 1965 dan dewasa ini sejak tahun 1998. Dalam  arti yang lebih murni memang

Page 19: Teori Perubahan Sosial Karl Marx Dan Max

paradigma yang umum dianut sarjana Sosiologi di Indonesia perlu dirubah. Kalau di Zaman

Orde Baru sukar untuk menganalisa secara terbuka gejala stratifikasi sosial dan konflik antara

Klas, sekarang sudah lebih bisa diterima, karena memang gejalanya sudah ada sejak zaman

penjajahan sekalipun.

Struktur feodal memang berlapis-lapis dan eksploatasi jelas sudah ada. Jadi perlu

reorientasi sosiologi untuk banyak ilmuwan Sosiologi dan cedekiawan yang memperhatikan

perkembangan kebudayaan karena keadaan sudah berubah. Tantangan bukan hanya ada di dalam

negeri, tetapi sekaligus juga dalam hubungan kita dengan negara dan bangsa, bukan saja yang

geografis menjadi tetangga kita, tetapi juga dengan negara-negara sebenua, bahkan di benua lain.

Satuan pelaku sosial bukan saja lagi “nation state” tetapi komunitas negara atau bangsa

yang sudah melintasi batas nation-state. Mazhab-mazhab agama menjadi salah satu ilustrasi

jelas, tetapi juga “pendukung pelestarian alam dan lingkungan, serta perjuangan untuk “Hak

Azasi Manusia” dan “Gender” dapat segera difahami sebagai komunitas besar yang menjadi ciri

pengelompokan Global. Sosiologi tidak dapat lagi bertahan dengan membatasi diri dengan

mempelajari “residual social elements seperti pernah digagas oleh cendekiawan Prancis Saint

Simon di awal abad ke-19.

Inilah sebabnya mengapa perlu ada reorientasi Sosiologi di Indonesia; bukan ekonomi

lagi yang akan bertahan sebagai “The Queen of The Social Sciences”, tetapi sosiologi yang

mengulur tangan kepada cabang-cabang ilmu Sosial lain dan Humaniora untuk menganalisa dan

memecahkan masalah kemasyarakatan secara terpadu

Penggunaan Media dalam Penerapan Teori Sosiologi

R. Kristiawan sangat benar ketika mengkritik konsep hegemoni yang dikembangkan oleh

Antonio Gramsci, karena wacana Gramsci ternyata tidak membantu untuk mengerti

interdependensi (bukan dependensi!) kultural antara dunia Barat dan dunia Timur maupun antara

dunia Utara dan Selatan. Proses globalisasi itu memang jauh lebih kompleks.

Gramsci menyimpulkan bahwa budaya Barat sangat dominan terhadap budaya di negara-negara

berkembang, sehingga negara berkembang terpaksa mengadopsi budaya Barat. Dalam konteks

Page 20: Teori Perubahan Sosial Karl Marx Dan Max

pembangunanisme, konsep Gramsci memang sangat dekat dengan dasar pemikiran teori

dependensi (Cardoso), termasuk imperialisme struktural (Johan Galtung) dan imperialisme

kultural (Herbert Schiller).

Model-model pembangunan tersebut gagal karena empat faktor: pertama , proses

diferensiasi di dunia ketiga sendiri, terutama kesuksesan ekonomi beberapa negara berkembang

dengan menggunakan strategi yang berorientasi pada pasar dunia, justru menentang kesimpulan-

kesimpulan utama teori hegemoni dan dependensi (Rullmann 1996). Kedua , teori-teori tersebut

memanfaatkan sebuah perspektif global dan dengan demikian tidak menyadari adanya

ketidakseimbangan sosial, struktur patrimonial dan eksploitasi di negara-negara berkembang

sendiri (Servaes, 1995). Ketiga , teori hegemoni dan dependensi ternyata gagal dalam

mengusulkan solusi-solusi yang bermanfaat dalam konteks global (ibid). Keempat , referensi

historis yang mengarah kepada masa penjajahan dan hegemoni ekonomi global sebagai sebab

kemacetan perkembangan di sebagian Dunia Ketiga harus dilihat sebagai hal yang sangat

problematis. Perlu kita ingat bahwa Afghanistan misalnya, yang tidak pernah dijajah oleh negara

Barat, sampai sekarang tetap tidak mampu berkembang, dilihat tidak hanya dari perspektif model

demokrasi Barat.

Bahkan James D. Halloran, salah seorang penasehat komisi MacBride 20 tahun yang lalu,

berpendapat bahwa riset terhadap perkembangan di Dunia Ketiga cenderung justru mempertajam

ketergantungan negara-negara berkembang pada Barat. Lalu dia bertanya, apakah imperialisme

kultural dan imperialisme media diikuti imperialisme penelitian? (Halloran, 1998). Saya pikir,

tidak. Apa gunanya?

Persepsi tentang Antonio Gramsci oleh pakar sosiologi di dunia ketiga yang sangat positif

itu barangkali terjadi karena mereka sering dengan mudah dan tidak kritis mengadopsi model

dan teori sosiologi Barat yang sudah ketinggalan jaman seperti modernisme, dependensi dan

hegemoni. Dengan demikian, tanggung jawab atas segala kegagalan di Dunia Ketiga bisa

dilempar ke negara-negara maju.

Persetujuan yang benar-benar tulus dengan apa yang ditulis R. Kristiawan bahwa media

massa tidak merupakan ‘alat penguasa untuk menciptakan reproduksi ketaatan’ ( KUNCI 8,

Page 21: Teori Perubahan Sosial Karl Marx Dan Max

2000). Media massa sebenarnya tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari

masyarakat. Dalam bahasa teori sistem sosial yang terus menerus dikembangkan di Jerman,

fungsi media massa adalah memungkinkan pengamatan diri masyarakat (Marcinkowski 1993).

Fungsi media massa sebenarnya bukan ‘merekonstruksikan realitas sosial’, sebagaimana ditulis

oleh Ana Nadhya Abrar, pakar jurnalistik di Universitas Gadjah Mada (Abrar 1997). Dengan

kata lain, media massa merupakan cermin kebaikan dan keburukan masyarakat, bukan

mencerminkan (dalam arti meng- copy ) keadaan masyarakat. Media di Indonesia maupun di

negara lain sama parahnya dengan keadaan masyarakat.

Tidak ada gunanya kalau kita terus bertanya, kenapa pemberitaan di media massa begitu

parah? Menurut Niklas Luhmann, sosiolog Jerman, seharusnya kita bertanya, seberapa parah

kondisi masyarakat kita sampai kita membutuhkan cermin media seperti itu? (Luhmann, 1996)

Dalam konteks ini, maka tidak sepenuhnya kita harus setuju dengan pengertian Nuraini

Juliastuti terhadap media massa dalam kajiannya terhadap majalah remaja HAI . Dalam

tulisannya “Majalah HAI dan ‘Boyish Culture’” ( KUNCI 8, 2000) ia hendak menjawab

pertanyaan “bagaimana sistem operasi dari konstruksi budaya dan konstruksi sosial itu bekerja

membentuk dominasi ideologi maskulinitas  lewat media massa”.

Pertama , pertanyaan tersebut tetap tidak terjawab. Akhirnya, bagaimana sistem itu

sebenarnya beroperasi? Kedua , pertanyaan Nuraini Juliastuti tampaknya mengandung dua

premis pernyataan yang belum terbukti, yaitu adanya arus informasi yang bersifat satu arah dan

adanya dampak media massa yang cukup berarti terhadap publik.

Sebagian besar pakar cultural studies selama ini masih melihat konsumsi media massa

sebagai proses penciptaan budaya yang berkaitan dengan kuasa (Ang 1999) dan mengandung

bahaya hegemoni Barat (Hepp 1999). Walaupun demikian, suatu perubahan dalam pengertian

cultural studies terhadap media massa sudah terlihat. Douglas Kellner misalnya menuntut

pendekatan metateoretis dan multiperspektifis dalam menganalisis proses penyampaian pesan

media (Kellner 1999).

Demikian juga pakar-pakar sosiologi yang memanfaatkan potensi teori sistem sosial

pasca-Talcott Parsons. Proses penyampaian pesan dalam ilmu komunikasi kini dipandang

Page 22: Teori Perubahan Sosial Karl Marx Dan Max

sebagai proses yang dinamis dan transaksional. Artinya, khalayak juga aktif dalam proses

tersebut. Publik tidak tinggal diam dan menerima pesan-pesan media massa begitu saja,

melainkan paling tidak memilih pesan yang layak diterima. Sebaliknya, media juga sangat

tergantung pada nilai-nilai kultural masyarakat pada umumnya.

Bila kita mau menyalahkan media massa atas perkembangan masyarakat yang tidak

memuaskan itu, seharusnya kita membuktikan bahwa ada kenyataan murni yang bersifat

universal ( the truth out there ), dan kita sebagai individu dapat mengamatinya dengan hasil yang

sama. Akan tetapi, apa yang kita alami sebagai realitas itu hanya merupakan hasil konstruksi atau

kognisi kita sendiri yang berdasarkan pengamatan atas realitas. Tentunya, ‘kenyataan’ Anda

berbeda dengan ‘kenyataan’ saya walaupun kita mengamati realitas murni. Kesimpulan kita

berbeda karena cara pengamatan yang dipakai tidak sama (Luhmann 1990).

Dengan demikian muncul pertanyaan, apakah layak bila kita sebagai ilmuwan menuntut media

massa untuk mengkonstruksi realitas dengan cara pengamatan kita? Tentu tidak! Seorang

peneliti mengamati realitas sosial dengan maksud mendapatkan kebenaran.  Seorang wartawan

mengamati realitas dengan maksud membuat berita yang relevan dan informatif buat

pembacanya.

Walaupun demikian, kita sebagai peneliti tetap dapat meneliti dan terus mengkritik media

massa. Akan tetapi, bila kita memanfaatkan pendekatan ontologis dan normatif dalam analisis

media, maka posisi ilmu komunikasi atau sosiologi pada umumnya akan berada dalam posisi

yang lemah. Kita perlu melihat media massa sebagai bagian dari masyarakat kita. Jangan kita

bertanya seberapa parah pemberitaan di media massa kita masa kini. Melainkan bertanya, faktor-

faktor apa yang memungkinkan penampakan media yang kurang memuaskan.