Kajian Trauma Psikososial Anak Karena Perceraian Orang...

36
i

Transcript of Kajian Trauma Psikososial Anak Karena Perceraian Orang...

Page 1: Kajian Trauma Psikososial Anak Karena Perceraian Orang Tuarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12272/2/T1_ 712007032_Full... · suami istri yang sebelumnya telah disatukan dalam

i

Page 2: Kajian Trauma Psikososial Anak Karena Perceraian Orang Tuarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12272/2/T1_ 712007032_Full... · suami istri yang sebelumnya telah disatukan dalam

ii

Page 3: Kajian Trauma Psikososial Anak Karena Perceraian Orang Tuarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12272/2/T1_ 712007032_Full... · suami istri yang sebelumnya telah disatukan dalam

iii

Page 4: Kajian Trauma Psikososial Anak Karena Perceraian Orang Tuarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12272/2/T1_ 712007032_Full... · suami istri yang sebelumnya telah disatukan dalam

iv

Page 5: Kajian Trauma Psikososial Anak Karena Perceraian Orang Tuarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12272/2/T1_ 712007032_Full... · suami istri yang sebelumnya telah disatukan dalam

v

Page 6: Kajian Trauma Psikososial Anak Karena Perceraian Orang Tuarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12272/2/T1_ 712007032_Full... · suami istri yang sebelumnya telah disatukan dalam

vi

Motto

“Segala perkara dapat kutanggung di dalam

Dia yang memberi kekuatan kepadaku”

Filipi 4:13

“Ketika Tuhan membentukku… sakit, penuh penderitaan dan banyak air

mata tetapiitulah satu-satunya cara bagi-Nya untuk menjadikan kuindah

dan berharga….”

“Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu

yang mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu

bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah”.

(Roma 8:23)

“Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga tetapi

nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan

permohonan dengan ucapan syukur”

( Filipi 4: 6)

GALAU

(God Always Listening And Understanding)

Page 7: Kajian Trauma Psikososial Anak Karena Perceraian Orang Tuarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12272/2/T1_ 712007032_Full... · suami istri yang sebelumnya telah disatukan dalam

vii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, karena dengan hikmat, tuntunandan

penyertaanNya penulis dapat menyelesaikan penulisan Tugas Akhir ini. Banyak tantangan

dan cobaan yang dialami ketika penulis mengerjakan Tugas Akhir ini namun dengan usaha

dan ketekunan serta keyakinan bahwa “Tuhan selalu menyertai dan turut bekerja dalam

proses penulisan ini” sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini dengan baik,

meskipun tidak sempurna di mata manusia namun penulis yakin bahwa sang Maha Sempurna

yaitu Tuhan Yesus Kristus telah menyempurnakannya terlebih dahulu. Dengan menyertakan

Tuhan dalam setiap langkahkehidupanmakasegalasesuatunyaakanmenjadiindah.

Penulisjugaingin mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak yang telah membimbing

dan memungkinkan penulis berproses di Fakultas Teologi UKSW.

1. Papa Marthen L. Tanaem & Mama Jetie S. E. Tanaem-Benyamin Lola, terimakasih

untukdoa, cinta dan kasih sayang serta segala hal yang telah diberikan untuk nona,

maaf kalau sering buat papa dan mama kecewa. Nona tidak bisa membalas semuanya

nona hanya bisa berusaha semampu nona untuk membahagiakan papa dan mama.

Untuk kak Dedie, kak Lyly, Kak Engky, Nona Seky, Nona Marlisa, Conis, Marco,

dan Aul terimakasih untuk dukungannya. Terimakasih juga untuk seluruh keluarga

Besar Tanaem di Surabaya (bapa El dan keluarga, bapa Yos dan keluarga, bapa Nedi

dan Keluarga, bapa Theos dan Keluarga), bapa Des di Sumba, Ma Tua “Alm.

NenekOci” terimakasih karena selalu mendoakan nona semasa hidup ma tua sampai

akhir hidup ma tua 3 Januari 2015 kemarin. Ma tua adalah teladan untu knona…

Kel.Besar Tanaem di Soe (Tante Lin, tante Neta, dan tante Eky sekeluarga), bapa

Nidas, bapa Eben, Bapa Gito dan Kel.Besar Benyamin Lola, berkat doa dari

semuanya nona bisa menyelesaikan Tugas Akhir ini

2. Pdt. Dr. Retnowati Terimakasih untuk ibu selaku Pembimbing 1 yang sudah bersedia

membantu dan meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan masukan-

masukan yang bermanfaat dalam proses penulisan Tugas Akhir ini. Juga Pdt. Totok S.

Wiryasaputra, Terimakasih untuk segala ketulusan dan kebaikan selaku Pembimbing

2 dalam memberikan bimbingan dan sumbangsih-sumbangsih yang sangat bermanfaat

Page 8: Kajian Trauma Psikososial Anak Karena Perceraian Orang Tuarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12272/2/T1_ 712007032_Full... · suami istri yang sebelumnya telah disatukan dalam

viii

dalam penulisan Tugas Akhir ini. Terimakasih KiranyaTuhanYesusKristus yang

akanmembalassegalakebaikan ibu dan bapak.

3. Seluruh dosen Fakultas Teologi UKSW yang telah membantu penulis selama

menjalankan pendidikan di UKSW. Banyak hal positif dan ilmu pengetahuan yang

penulis dapatkan selama berada di Fakultas Teologi UKSW berkat bimbingan dari

bapak ibu dosen terkasih. Kiranya Tuhan Yesus selalu memberkati dalam

melaksanakan segala tugas dan pelayanan bapak dan ibu.

4. Pegawai TU. Ibu Budi dan mas Eko. Terimakasih untuk setiap bantuan yang telah

diberikan guna mempermudah segala penyelesaian hal-hal yang berkaitan dengan

administrasi. TuhanYesus selalu memberkati.

5. Terimakasih untuk saudaraku S yang bersedia membagikan pengalaman hidupnya

untuk diangkat sebagai contoh dalam Tugas Akhir ini.

6. Teman-teman Fakultas Teologi UKSW angkatan 2007.Terimakasih untuk setiap

kebersamaan serta dukungan yang selalu diberikan kepada penulis, meskipun

berjauhan namun kasih Tuhan selalu mempersatukan kita semua.. PEACE IN

RAIBOW…!!!!

7. K Cicak, Dudul, dan Jojo yang selalu marah-marah kalau diriku mulai malas.

Makasih buat perhatian dan doanya yaaaa!!!. Kalian adalah sahabat terbaik.

8. Wenank (YB) terimakasih mamen untuk dukungan, doa dan motivasinya. Semoga

semua yang menjadi impian dan harapan kita bisa diberkati dan dibukakan jalan oleh

Tuhan.

Akhirnya untuk semua pihak yang terlibat, bapak-mama, saudara-saudari, seluruh

keluarga dan sahabat, dan beberapa pihak yang tidak sempat saya sebutkan namanya yang

telah mendoakan dan mendukung saya, terimakasih banyak. Kiranya tulisan yang jauh

daripada sempurna dapat berguna bagi kita semua. Tuhan Yesus Kristus yang akan membalas

segala kebaikan hati yang telah diberikan kepada saya. Tuhan Yesus memberkati kita selalu.

Salatiga, Januari 2015

LeniYunitaTanaem

Page 9: Kajian Trauma Psikososial Anak Karena Perceraian Orang Tuarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12272/2/T1_ 712007032_Full... · suami istri yang sebelumnya telah disatukan dalam

ix

DAFTAR ISI

Halaman Judul i

Lembar Pengesahan ii

Pernyataan Tidak Plagiat iii

Pernyataan Persetujuan Publikasi iv

Pernyataan Persetujuan Akses v

Motto vi

Kata Pengantar vii

Daftar Isi ix

Abstrak x

Pendahuluan 1-4

Landasan Teori 4-16

Metode Penelitian 16-17

Pembahasan 17-24

Penutup 24-25

Daftar Pustaka 26

Page 10: Kajian Trauma Psikososial Anak Karena Perceraian Orang Tuarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12272/2/T1_ 712007032_Full... · suami istri yang sebelumnya telah disatukan dalam

x

KAJIAN TRAUMA PSIKOSOSIAL ANAK KARENA PERCERAIAN ORANG TUA

Abstrak

Perceraian orang tua merupakan sebuah permasalahan yang terjadi dalam sebuah keluarga

baik itu pada keluarga yang telah membangun kehidupan rumah tangga dalam waktu yamg

lama maupun pada keluarga-keluarga yang baru memulai kehidupan berumahtangga.

Permasalahan yang melandasi timbulnya perceraian pada dasarnya berawal dari interaksi

yang kurang baik antar aggota keluarga terutama pasangan suami istri. Ketika terjadi

perceraian dalam sebuah keluarga maka anak adalah korban utama yang paling banyak

merasakan dampak buruk dari perceraian tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai perceraian dan dampak trauma

psikososial terhadap anak. Teori yang digunakan dalam penelitian ini berkaitan dengan teori

perkembangan anak usia 6-12 tahun, teori keluarga, trauma dan psiko-sosial. Dalam tulisan

ini penulis menggunakan metode penelitian pustaka dengan jenis penelitian deskriptif dan

pendekatan konsep. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa perceraian merupakan

sebuah fenomena perubahan sosial yang marak terjadi dalam masyarakat saat ini, perceraian

mengakibatkan rusaknya relasi antar anggota keluarga yang menjadi pendukung

pertumbuhan dan perkembangan anak, perceraian mengakibatkan disfungsi keluarga,

perceraian menciptakan jarak emosional antara anak dan orang tua, perceraian juga dapat

mengakibatkan permusuhan antara orang tua dengan anak, dan perceraian menimbulkan

jurang pemisah antara masyarakat dan keluarga yang bercerai karena pandangan masyarakat

mengenai perceraian sebagai aib sehingga berdampak pada trauma psikososial anak.

Kata Kunci: Anak, Trauma, Psikososial, Perceraian, keluarga, orang tua

Page 11: Kajian Trauma Psikososial Anak Karena Perceraian Orang Tuarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12272/2/T1_ 712007032_Full... · suami istri yang sebelumnya telah disatukan dalam

1

1. PENDAHULUAN DAN PERMASALAHAN

1.1. Latar belakang

Perceraian merupakan sebuah permasalahan sosial dalam masyarakat yang terus

menerus terjadi hingga saat ini. Perceraian adalah perpisahan yang terjadi antara sepasang

suami istri yang sebelumnya telah disatukan dalam sebuah pernikahan secara hukum dan

seharusnya berdasarkan ikatan cinta kasih. Pada dasarnya perceraian merupakan sebuah

keputusan yang diambil bersama oleh pasangan suami istri. Permasalahan umum yang

biasanya mendasari sebuah perceraian adalah ketidak-sepakatan mengenai hal-hal tertentu

dalam menjalani kehidupan berumah tangga, tidak menghargai satu sama lain sehingga

menimbulkan pertengkaran terus menerus, dan adanya perselingkuhan. Interaksi yang

kurang baik antara pasangan suami istri sering menimbulkan ketidak-sepakatan dalam

menanggapi permasalahan yang terjadi dalam rumah tangga mereka.

Berdasarkan data yang penulis dapatkan dari media online republika menunjukan

bahwa angka perceraian di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya. Terhitung

sejak tahun 2009 angka perceraian sebanyak 216.286 peristiwa dari 2.162.286 peristiwa

pernikahan. Pada tahun 2010 angka perceraian sebanyak 285.184 peristiwa dari 2.207.364

pernikahan. Pada tahun 2011 angka perceraian sebanyak 158.119 dari 2.319.821

pernikahan. Pada tahun 2012 angka perceraian sebanyak 372.577 dari 2.291.265

pernikahan. Pada tahun 2013 angka perceraian sebanyak 324.527 dari 2.218.130

pernikahan.1 Dari data tersebut dapat terlihat dengan jelas bahwa tingkat perceraian di

Indonesia mengalami peningkatan, pada pendataan terakhir tahun 2013 mencapai 14,6 %

dan ini menunjukan bahwa perceraian di Indonesia telah melewati angka 10% dari setiap

jumlah peristiwa pernikahan yang terjadi. Berdasarkan data perceraian tersebut maka

penulis menyimpulkan bahwa meningkatnya jumlah perceraian maka meningkat pula

jumlah anak yang menjadi korban dari perceraian tersebut.

Perceraian yang terjadi antara pasangan suami istri yang telah memiliki anak akan

menimbulkan permasalahan yang serius menyangkut tumbuh kembang anak. Anak adalah

orang yang paling menderita ketika orang tuanya bercerai. Karena pada hakikatnya setiap

anak akan bertumbuh dan berkembang dengan baik jika didukung oleh lingkungan sosial

keluarga yang harmonis. Keluarga adalah lingkungan sosial yang paling utama bagi setiap

orang, dimana didalam lingkungan inilah seorang anak diharapkan mengalami

1 http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/11/14/nf0ij7-tingkat-perceraian-indonesia-

meningkat-setiap-tahun-ini-datanya di akses pada tanggal 16 November 2014; pukul 15.24 WIB (data

tersebut di dapatkan dari data Kementerian Agama (Kemenag) yang disampaikan oleh Kepala Subdit

Kepenghuluan Anwar Saadi, kepada surat kabar online Republika, Jumat 14-11-2014)

Page 12: Kajian Trauma Psikososial Anak Karena Perceraian Orang Tuarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12272/2/T1_ 712007032_Full... · suami istri yang sebelumnya telah disatukan dalam

2

pertumbuhan dan perkembangan yang baik secara fisik, mental, sosial dan spiritual.

Orang tua memiliki peran yang sangat penting untuk membantu anak dalam berhubungan

dengan lingkungan sosial disekitarnya. Hubungan sosial yang baik dalam keluarga

merupakan hal yang penting karena pada dasarnya setiap manusia adalah mahkluk sosial

yang saling membutuhkan dan saling mendukung satu dengan lainnya.

Wuryani (2005) mengemukakan pula bahwa ketika sebuah kesatuan keluarga

terpecah maka anak akan selalu menderita karena kekurangan dukungan dalam

perkembangan dan pertumbuhan yang sehat dan anak juga akan mengalami perasaan

kehilangan yang mendalam.2 Pada umumnya anak yang mengalami pengalaman

kehilangan orang tua karena perceraian pada masa kanak-kanaknya akan mengalami luka

psikologis yang disebut trauma. Trauma tersebut akan mempengaruhi kehidupan sosial

anak dalam masyarakat.

Reaksi anak terhadap perceraian sangat bergantung pada usia, tingkat perkembangan

dan sifat pribadi mereka. Masa sekolah yang mencakup usia 6-12 merupakan masa yang

penting bagi anak karena anak mulai keluar dari lingkungan keluarga dan bermasyarakat.

Pada usia ini anak sangat bergantung pada lingkungannya baik itu masyarakat umum

maupun teman sebaya. Perceraian orang tua yang terjadi ketika anak berada pada masa

ini sangat berpengaruh pada kehidupan selanjutnya. Anak yang tidak memperoleh kasih

sayang dan kepuasan dari apa yang menjadi kebutuhan mereka dalam masa awal

kehidupannya akan sulit untuk mengembangkan kepercayaan terhadap orang lain

sehingga terganggulah hubungan sosial dikemudian hari3.

Perceraian dianggap sebagai dosa yang melanggar hukum perkawinan yang berlaku

baik dalam Negara, agama maupun dalam adat. Oleh karena itu baik dalam lingkungan

masyarakat maupun gereja perceraian di anggap sebagai aib dalam keluarga. Sekalipun

perceraian diijinkan tetapi tetap saja hal tersebut memiliki dampak yang tidak baik bagi

kehidupan sseseorang terutama anak.

Di sekitar kita sesungguhnya banyak anak yang mengalami pengalaman berupa

perceraian orang tua. Ada beberapa anak yang penulis kenal dan temui, memiliki

pengalaman traumatis karena perceraian yang terjadi pada masa kanak-kanaknya, hal ini

mengakibatkan anak mengalami gangguan secara psikis maupun sosial sehingga

kehidupannya tidak berjalan sewajarnya. Salah satuya adalah S (21th) seorang anak yang

2 Sri esti Wuryani Djiwandono. Konseling dan Terapi dengan Anak dan Orang Tua. (Jakarta, PT Grasindo,

2005) , hal 122 3 Singgih D. Gunarsa. Dasar dan Teori Perkembangan Anak. (Jakarta, Gunung Mulia, Cet IX, 2008), hal 62

Page 13: Kajian Trauma Psikososial Anak Karena Perceraian Orang Tuarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12272/2/T1_ 712007032_Full... · suami istri yang sebelumnya telah disatukan dalam

3

penulis temui beberapa waktu yang lalu. Ia adalah seorang mahasiswa yang berasal dari

Nusa Tenggara Timur. Ia terpaksa harus tinggal bersama ibunya sejak orang tuanya

bercerai saat ia berusia ±6 tahun. Dengan adanya pengalaman traumatis berupa perceraian

orang tua yang dialami pada masa kanak-kanaknya maka ia cenderung menutup diri

dengan lingkungan sosialnya sehingga ketika ia melanjutkan studinya di sebuah

perguruan tinggi di Pulau Jawa banyak kendala yang ia hadapi.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian

ilmiah dengan mengangkat judul: Kajian Trauma Psikososial Anak Karena

Perceraian Orang Tua

1.2. Rumusan masalah dan Tujuan penelitian:

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah dari

penelitian ini adalah:

1. Bagaimana perceraian dapat merusak relasi antar anggota keluarga yang menjadi

pendukung pertumbuhan dan perkembangan anak?

2. Bagaimana dampak trauma psikososial anak karena perceraian orang tua?

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menjelaskan dan mendeskripsikan tentang rusaknya relasi antar anggota keluarga

karena perceraian.

2. Menjelaskan dan mendeskripsikan dampak perceraian orang tua terhadap kehidupan

psikososial anak.

1.3. Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data:

Untuk mencapai tujuan penulisan tersebut penulis menggunakan metode penelitian

kepustakaan, di mana data akan di ambil dari sumber-sumber yang relevan seperti buku,

dokumen, artikel, dan sumber data online yang berhubungan dengan masalah yang

diteliti. Berdasarkan data yang dikumpulkan akan diolah dan dianalisis dengan

menggunakan analisis deskriptif dengan membangun korelasi antara data-data tersebut

dengan teori-teori yang digunakan.

Page 14: Kajian Trauma Psikososial Anak Karena Perceraian Orang Tuarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12272/2/T1_ 712007032_Full... · suami istri yang sebelumnya telah disatukan dalam

4

1.4. Manfaat Penelitian:

Berdasarkan tujuan penelitian tersebut diatas, maka manfaat dari penelitian ini ialah

sebagai berikut: menyumbangkan pemahaman bagi masyarakat, gereja, orang tua serta

secara khusus bagi fakultas Teologi mengenai dampak perceraian orang tua terhadap

kehidupan sosial anak dengan tujuan agar memberikan perhatian terhadap anak-anak

tersebut sehingga mereka juga dapat merasakan kehidupan yang lebih baik.

1.5. Sistematika Penulisan :

Penelitian ini akan dituliskan dalam lima bagian yaitu: Bagian pertama berisikan

latara belakang, rumusan masalah, tujuan pennelitian, metode penelitian, manfaat

penelitian dan sistematika penulisan. Bagian kedua penulis akan mendeskripsikan teori-

teori yang berkaitan dengan perceraian orang tua, anak dan trauma psikososial. Bagian

ketiga penulis akan memaparkan metode penelitian yang dipakai dalam penelitian terkait

perceraian orang tua yang memberi dampak trauma psikososial pada anak. Bagian

keempat penulis akan menganalisa permasalahan dengan teori dan rumusan masalah yang

diteliti. Bagian kelima penulis akan menuliskan kesimpulan dan saran terhadap

permasalahan yang diteliti.

2. LANDASAN TEORI

Pada bagian ini penulis memaparkan tentang teori-teori yang berkaitan dengan trauma

psikosoial anak akibat perceraian, seperti teori keluarga, teori perkembangan anak, dan

trauma psikososial.

2.1. Keluarga

Pada umumnya keluarga merupakan kumpulan orang-orang yang memiliki hubungan

darah, artinya ada keterikatan antara anggota keluarga yang satu dengan lainnya. Robert

Bellah (1989:22) mendefinisikan keluarga dari segi sosial dan etis sebagai suami, istri dan

anak-anak4. Berbicara mengenai keluarga, ada banyak ahli yang berpendapat tentang

konsep keluarga, Penulis memilih pendapat beberapa tokoh tersebut untuk menjelaskan

keluarga. pendapat tersebut diantaranya:

George Murdock (1965)

4 Marjorie L. Thompson, Family: The Forming Center. (Upper Room Books, Nashville-USA 1989)

diterjemahkan oleh Ny. Oloria Silaen-Situmorang. Keluarga sebagai Pusat Pembentukan. (Jakarta: BPK

Gunung Mulia, Cet III, 2001), hal 28.

Page 15: Kajian Trauma Psikososial Anak Karena Perceraian Orang Tuarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12272/2/T1_ 712007032_Full... · suami istri yang sebelumnya telah disatukan dalam

5

Keluarga merupakan kelompok sosial yang memiliki karakteristik tinggal bersama,

terdapat kerja sama ekonomi dan terjadi proses reproduksi. Melalui surveinya terhadap

250 perwakilan masyarakat sejak tahun 1973, Murdock menemukan tiga tipe keluarga,

yaitu keluarga inti (nuclear family), keluarga pilogami (polygamous family), dan keluarga

batih (extended family). Berdasarkan survei tersebut Murdock menyatakan bahwa

keluarga inti merupakan kelompok sosial yang bersifat universal. Baginya para anggota

dari keluarga inti bukan hanya membentuk kelompok sosial, melainkan juga menjalankan

empat fungsi universal dari keluarga, yaitu seksual, reproduksi, pendidikan dan ekonomi.5

Ascan F Koerner dan Mary Anne Fitzpatrick (2004)

Menurut Koerner dan Fitzpatrick keluarga dapat ditinjau berdasarkan tiga sudut

pandang, yaitu keluarga struktural, fungsional dan intersaksional. Keluarga struktural

dilihat berdasarkan kehadiran atau ketidakhadiran anggota keluarga, seperti orang tua,

anak, dan kerabat lainnya. Pendapat tersebut difokuskan pada siapa yang menjadi bagian

dari keluarga. Mereka menyebut keluarga sebagai asal usul (families of origin), keluarga

sebagai wahana melahirkan keturunan (families of procreation), dan keluarga batih

(extended family). Keluarga fungsional mereka menekankan pada terpenuhinya tugas-

tugas dan fungsi-fungsi psikososial yang dilakukan oleh keluarga. hal tersebut mencakup

perawatan, sosialisasi pada anak, dukungan emosi dan materi, dan pemenuhan-

pemenuhan peran. Keluarga transaksional, keluarga merupakan kelompok yang

mengembangkan keintiman melalui perilaku-perilaku yang memunculkan rasa identitas

sebagai keluarga (family identity), berupa ikatan emosi, pengalaman historis, maupun

cita-cita masa depan. Mereka memfokuskan pada bagaimana keluarga melaksanakan

fungsi-fungsinya.6

Donna Wong (2001)

Wong mengemukakan bahwa keluarga merupakan sebuah sistem yang memiliki

interaksi yang kontinu dengan anggota keluarga dan lingkungannya. Wong menekankan

bahwa interaksi merupakan suatu hal yang penting sehingga perubahan pada salah satu

anggota keluarga akan menimbulkan perubahan pada anggota lainnya. Baginya masalah

atau disfungsi bukan disebabkan oleh salah seorang dari anggota keluarga tetapi pada

jenis interaksi yang digunakan oleh keluarga. Menurut teori ini masalah bukan semata-

5 Sri Lestari, Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam Keluarga, (Jakarta:

Penerbit Kencana, 2012), hal 3-4. 6 Ibid., hal 5

Page 16: Kajian Trauma Psikososial Anak Karena Perceraian Orang Tuarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12272/2/T1_ 712007032_Full... · suami istri yang sebelumnya telah disatukan dalam

6

mata terletak pada orang tua atau anak melainkan pada interaksi antara orang tua dan

anak serta pada faktor lain yang mempengaruhi hubungan mereka.7

Minuchin (1974)

Minuchin mengajukan skema konsep yang memandang keluarga sebagai sebuah

sistem yang bekerja dalam konteks sosial yang memiliki tiga komponen. Pertama,

struktur keluarga berupa sistem sosiokultural yang terbuka dalam transformasi. Kedua,

keluarga senantiasa berkembang melalui sejumlah tahap yang mensyaratkan

penstrukturan. Ketiga, keluarga beradaptasi dengan perubahan situasi kondisi dalam

usaha untuk mempertahankan kontinuitas dan meningkatkan pertumbuhan psikososial

tiap anggotanya.8

Berdasarkan teori Koerner-Fitzpatrick, Donna Wong dan Minuchin mengenai sistem

keluarga maka penulis menyimpulkan bahwa sebagai sebuah sistem yang di dalamnya

terdapat fungsi-fungsi psikososial maka keluarga memiliki peran yang sangat bagi

pertumbuhan dan perkembangan anak. Untuk menjalankan fungsi-fungsi psikososial ini

maka perlu adanya interaksi yang berkelanjutan dengan anak. Oleh karena itu perceraian

menimbulkan disfungsi keluarga sehingga anak mengalami trauma psikososial.

Dalam setiap sistem keluarga terdapat struktur keluarga yang merupakan serangkaian

tuntutan fungsional tidak terlihat yang mengorganisasi cara-cara anggota keluarga dalam

berinteraksi.9

Ditinjau dari segi keberadaan anggota keluarga, Lee (1982) menyatakan bahwa

keluarga dapat dibagi menjadi dua srtruktur keluarga yaitu10

:

1. Keluarga inti (nuclear family). Keluarga inti adalah keluarga yang di dalamnya

terdiri dari tiga posisi sosial, yaitu: suami-ayah, istri-ibu, dan anak-sibling.

2. Keluarga batih (extended family). Keluarga batih adalah keluarga yang di

dalamnya terdapat posisi lain selain ketiga posisi tersebut di atas. Keluarga batih

terdiri dari tiga bentuk antara lain: pertama keluarga bercabang, kedua keluarga

berumpun, ketiga keluarga beranting.

Bagi Lee kompleksitas struktur keluarga tidak diotentukan oleh jumlah individu di

dalamnya tetapi oleh jumlah posisi sosial didalamnya.

7 Donna L. Wong, dkk., Wong’s Essential Of Pediatric Nursing, (Mosby, 2001), hal 36

8 Sri Lestari, Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam Keluarga, (Jakarta:

Penerbit Kencana, 2012), hal 26 9 Ibid., hal 27

10 Ibid., hal 6-7

Page 17: Kajian Trauma Psikososial Anak Karena Perceraian Orang Tuarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12272/2/T1_ 712007032_Full... · suami istri yang sebelumnya telah disatukan dalam

7

Ditinjau dari segi pemegang wewenang, Berns (2004) menyatakan bahwa struktur

keluarga dibagi menjadi tiga bagian yaitu11

: Matriarki, Patriarki, Egaliter. Ia juga

menambahkan variasi struktur keluarga lainnya yaitu: keluarga dengan orang tua tunggal

baik karena perceraian maupun kematian, keluarga dengan salah satu orang tua jarang

berada di rumah karena bekerja di luar daerah, keluarga tiri dan keluarga dengan anak

angkat.

Struktur keluarga sangat berpengaruh terhadap kualitas keluarga. Skaggs dan Jodl

(1999) mengemukakan bahwa anak yang tinggal bukan pada keluarga tiri lebih kompeten,

secara sosial lebih bertanggung jawab, dan kurang mengalami masalah perilaku daripada

anak yang tinggal pada keluarga tiri yang kompleks. Jablonska dan Lindber (2007)

menyatakan pula bahwa anak yang tinggal dengan orang tua tunggal memiliki resiko

yang lebih tinggi terhadap perilaku beresiko, menjadi korban dan mengalami distres

mental jika dibandingkan dengan anak yang tinggal bersama keluarga lengkap.12

Keluarga merupakan tempat yang penting bagi perkembangan anak secara fisik,

emosi, spiritual dan sosial. Karena keluarga adalah sumber kasih sayang, perlindungan

dan identitas bagi anggotanya. Dari kajian lintas budaya Minuchin (1974) menyatakan

dua fungsi utama keluarga yaitu: pertama, fungsi internal artinya keluarga memberikan

perlindungan psikososial bagi anggotanya; kedua, fungsi eksternal artinya keluarga

mentransmisikan nilai-nilai budaya pada generasi selanjutnya.13

Berns (2004) menyatakan bahwa keluarga memiliki lima fungsi dasar yaitu14

:

1. Reproduksi yaitu keluarga bertugas untuk mempertahankan populasi yang ada

dalam masyarakat.

2. Sosialisasi/edukasi yaitu keluarga menjadi ssarana untuk transmisi nilai,

keyakinan, sikap, pengetahuan, ketrampilan dan teknik dari generasi sebelumnya

ke generasi yang lebih muda.

3. Penugasan peran sosial yaitu keluarga memberikan identitas pada para anggotanya

seperti ras, etnik, religi, sosial ekonomi, dan peran gender.

4. Dukungan ekonomi yaitu keluarga menyediakan tempat berlindung, makanan dan

jaminan kehidupan.

11

Ibid., hal 8 12

Ibid., hal 8-9 13

Ibid., hal 22 14

Ibid.

Page 18: Kajian Trauma Psikososial Anak Karena Perceraian Orang Tuarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12272/2/T1_ 712007032_Full... · suami istri yang sebelumnya telah disatukan dalam

8

5. Dukungan emosi dan pemeliharaan yaitu keluarga memberikan pengalaman

interaksi sosial yang pertama bagi anak. interaksi tersebut bersifat mendalam,

mengasuh, dan berdaya tahan sehingga memberikan rasa aman pada anak.

2.2. Anak (Usia Sekolah: 6-12 tahun)

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia anak dipahami sebagai keturunan kedua

setelah ayah dan ibu15

. Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan Nasional, UU

No.23/Tahun 2002 tentang perlindungan anak “anak adalah seseorang yang belum

berusia 18 tahun termasuk yang masih berada dalam kandungan16

. Dengan demikian

maka dapat disimpulkan bahwa anak adalah manusia yang belum dewasa atau dengan

kata lain manusia yang masih berusia dibawah 18 tahun, yang merupakan generasi

penerus bagi orang tua.

Berbicara mengenai anak maka ada beberapa teori perkembangan yang penulis

gunakan sebagai dasar untuk memahami anak sesuai dengan definisi anak yang telah

disebutkan di atas. Pada tulisan ini penulis memberi batasan usia anak yaitu 6-12 tahun

dimana pada usia ini anak sudah mulai memasuki masa dimana ia akan terjun ke dalam

masyarakat di luar keluarganya. Untuk itu penulis akan memakai pendapat ahli psikologi

anak yaitu Gunarsah Singgih dan Kartini Kartono untuk menjelaskan tentang anak.

Gunarsah & Yulia (2008)

Memaparkan bahwa masa kanak-kanak di bagi menjadi dua bagian, yaitu: Pertama

masa kanak-kanak awal dimulai pada usia 2-6 tahun yang biasanya disebut sebagai masa

pra-sekolah. Masa ini detandai dengan adanya perkembangan motorik, perkembangan

bahasa dan berpikir, serta perkembangan sosial, pada masa ini anak diperhadapkan

dengan tuntutan sosial dan susunan emosi baru. Kedua, masa kanak-kanak akhir yang

dimulai pada usia 6-12 tahun atau masa sekolah, masa ini merupakan masa latent atau

masa tenang dimana apa yang terjadi dan dipupuk pada masa-masa sebelumnya akan

berlangsung terus menerus sampai masa selanjutnya.17

Kartini Kartono (1979)

Kartini Kartono menyatakan bahwa ada dua proses yang mendasari kehidupannya

anak secara berkelanjutan yaitu pertumbuhan dan perkembangan. Kedua proses ini saling

15

WJS. Purdarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), hal 38-39 16

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 1 ayat 1 17

Singgih D. Gunarsa. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. (Jakarta, Gunung Mulia, Cet 13, 2008),

hal 11-13

Page 19: Kajian Trauma Psikososial Anak Karena Perceraian Orang Tuarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12272/2/T1_ 712007032_Full... · suami istri yang sebelumnya telah disatukan dalam

9

berkaitan satu dengan yang lainnya. Pertumbuhan dapat diartikan sebagai proses

transmisi dari konstitusi fisik (resam tubuh, keadaan jasmaniah) yang herediter atau

warisan, dalam bentuk proses aktif yang kontinu. Perkembangan diartikan sebagai

perubahan secara fisiologis sebagai hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi fisik, yang

berlangsung secara normal pada diri anak yang sehat, dalam peredaran waktu tertentu18

.

Perkembangan anak bergantung pada beberapa faktor yaitu : pertama, faktor herediter

atau warisan sejak lahir; kedua, faktor lingkungan; ketiga, pematangan fungsi-fungsi

organis dan fungsi-fungsi psiksis; keempat, aktifitas anak sebagai subyek bebas yang

berkemauan. Dengan demikian perkembangan dapat diartikan pula sebagai perubahan

psiko-fisis yang dihasilkan dari proses pematangan fungsi-fungsi psikis dan fisis pada

anak yang didukung oleh faktor lingkungan dan proses belajar dalam peredaran waktu

tertentu menuju dewasa19

.

Usia 6-12 tahun merupakan usia sekolah dimana pada usia ini sikap hidup anak yang

sebelumnya egosentris diganti dengan sikap yang obyektif dan empiris berdasarkan

pengalaman. Emosionalitas anak makin berkurang sehingga unsur intelek dan akal

budinya semakin menonjol. Ia mengatakan bahwa usia sekolah ini merupakan periode

intelektuil bagi seorang anak. ia juga menambahkan bahwa dalam periode ini anaka tidak

begitu dikuasai oleh dorongan-dorongan endogen atau impuls-impuls intern dalam

perbuatan dan pikirannya melainkan lebih banyak dirangsang oleh stimulus-stimulus dari

luar. Anak mulai belajar untuk menjadi seorang realis-kecil, yang berhasrat untuk

mempelajari dunia secara obyektif. Oleh karena itu anak usia ini membutuhakn

bimbingan dan pengajaran baik dari keluarga, sekolah maupun lingkungan sekitarnya.20

Kartini (1979;136-138) juga menuliskan lima hal yang berkaitan dengan

perkembangan anak usia sekolah (6-12 tahun) yaitu21

:

1. Memasuki masyarakat diluar keluarga. Pada usia ini anak keluar dari lingkungan

keluarga dan mulai memasuki lingkungan sekolah yang lebih luas.

2. Pengamatan anak. Pada usia ini anak memandang semua peristiwa dengan

obyektif.

3. Fikiran, ingatan dan fantasi anak. Pada usia ini fikiran anak berkembang secara

berangsur-angsur dan tenang. Ingatan pada usia 8-12 tahun mencapai intensitas

18

Dra. Kartini Kartono,. Psikologi Anak. (Bandung, Penerbit Alumni, 1979), hal 29 19

Ibid,. hal 32-33 20

Ibid., hal 137 21

Ibid., hal 136-147

Page 20: Kajian Trauma Psikososial Anak Karena Perceraian Orang Tuarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12272/2/T1_ 712007032_Full... · suami istri yang sebelumnya telah disatukan dalam

10

paling besar dan paling kuat. Fantasi anak usia 8-9 tahun mengalami perubahan

penting, ia mulai menyukai cerita-cerita dongeng.

4. Kehidupan perasaan anak - rasa takut. Perasaan takut dan cemas merupakan unsur

utama dari kehidupan perasaan yang latent pada anak usia ini. Anak usia ini

seringkali merasa cemas, kecemasannya berkaitan dengan kehilangan kasih

sayang, perhatian dan dukungan dari orang tuanya.

5. Kehidupan volutif anak (konatif, kemauan). Kemauan pada masa ini belum

berkembang secara penuh karena anak belum mempunyai kekuasaan atas dirinya

sendiri. Oleh karena itu diperlukan tuntutan yang bijaksana dan kewibawaan

untuk memupuk disiplin pada anak, jika hal tersebut tidak dilakukan maka anak

mukadah terpengaruh dengan hal-hal yang buruk.

Eksistensi diri anak ditentukan oleh kualitas herediter yang dimilikinya, pengalaman

masa lampau dan masa sekarang dalam satu lingkungan sosial tertentu sebagai proses

belajar secara kontinu dan tujuan yang ingi dicapainya.22

Dari kedua teori

perkembangan anak yang dipaparkan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pada usia

6-12 tahun anak mulai bersekolah dan mulai bersosialisasi dengan lingkungan sosial

yang lebih luas. Pada masa ini anak mengalami perkembangan intelektual dan

perkembangan sosial sehingga lingkungan sosial baik ini masyarakat maupun sekolah

memiliki peran penting di dalamnya.

2.3. Perceraian

Secara umum perceraian merupakan sebuah perpisahan yang terjadi antara suami dan

istri yang sebelumnya telah disatukan dalam sebuah pernikahan. Perceraian biasanya

terjadi karena adanya konflik antara suami dan istri yang diakibatkan oleh ketidak-

sepakatan mengenai banyak hal yang terjadi dalam rumah tangga. Ira & Linda (2005:14)

mengatakan bahwa perceraian adalah proses legislatif yang dibuat dan dikelola secara

hukum untuk mengakhiri pernikahan. Perceraian juga dikenal sebagai pemutusan ikatan

perkawinan. Secara tradisional perceraian terjadi berdasarkan kesalahan, yang berarti

salah satu pasangan bersalah sehingga terjadilah perceraian.23

Perceraian adalah putusnya hubungan pernikahan antara seorang laki-laki dengan

seorang perempuan yang telah hidup bersama sebagai suami isteri. Istilah perceraian

memiliki dua pengertian yang digunakan dalam keadaan yang berbeda. Pertama,

22

Ibid,. hal 36 23

Ira Distenfield, Linda Distenfield, We The People’s Guide To Divorce. (New Jersey, Published by John

Wiley & Sons, Inc,. 2005), hal 14

Page 21: Kajian Trauma Psikososial Anak Karena Perceraian Orang Tuarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12272/2/T1_ 712007032_Full... · suami istri yang sebelumnya telah disatukan dalam

11

perceraian dengan istilah “a mensa et thoro” dari meja dan tempat tidur, lebih tepat lagi

didefinisikan sebagai pemisahan. Dalam hal ini, pasangan suami isteri tersebut hidup

terpisah dan berhenti untuk tinggal bersama sebagai suami isteri atau pisah ranjang, tetapi

masih terikat dengan perkawinan dan tidak ada kebebasan untuk menikah lagi dengan

orang lain ketika pasangannya masih hidup. Keadaan seperti ini diakui oleh hukum dan

diijinkan oleh tradisi Kristen di dalam pernikahan. Kedua, istilah “a Vinculo” yang

berarti putusnya hubungan dari ikatan perkawinan secara resmi. Mereka sudah tidak

terikat satu dengan lainnya dan keduanya bebas menikah lagi dengan orang lain.24

Murdock (1950) berpendapat bahwa perceraian merupakan suatu proses yang tidak

jauh berbeda dengan perkawinan karena dalam perkawinan maupun perceraian terdapat

aspek emosi, ekonomi, sosial dan pengakuan secara resmi oleh masyarakat melalui

hukum yang berlaku. Sedangkan Goode (dalam Ihromi, 1999) berpendapat bahwa

perceraian sebagai sebuah “kegagalan” adalah bias, karena semata-mata mendasarkan

perkawinan pada cinta yang romantis. Ia juga menambahkan bahwa semua sistem

perkawinan paling sedikit terdiri dari dua orang yang hidup dan tinggal bersama dimana

masing-masing memiliki keinginan, kebutuhan, nafsu serta latar belakang dan nilai sosial

yang bisa saja berbeda satu sama lain. Dengan adanya sistem seperti ini bisa

memunculkan ketegangan-ketegangan dan ketidak-bahagiaan yang dirasakan oleh semua

anggota keluarga.25

Mel Krantzel (1973) berpendapat bahwa perceraian adalah berakhirnya hubungan

antara dua orang yang pernah hidup bersama sebagai pasangan suami istri. Perceraian

merupakan masa transisi yang penuh dengan kesedihan. Masa transisi ini merupakan

masa-masa sulit bila dikaitkan dengan harapan masyarakat tentang perceraian sebagai

sesuatu yang “tidak patut” sehingga setiap orang yang terkait dalam perceraian tersebut

baik suami istri maupun anak akan menghadapi tantangan yang berat dalam proses

penyesuaian diri terhadap perubahan tersebut.26

Sesuai dengan pemaparan mengenai

perceraian tersebut diatas maka perceraian dalam hal ini merupakan proses cerai hidup

antara suami istri akibat dari kegagalan mereka dalam menjalankan peran masing-masing.

Scanzoni & Scanzoni (1981) menggambarkan situasi yang biasanya terjadi menjelang

perceraian yaitu diawali dengan “mandeknya” proses negosiasi antara pasangan suami

istri sehingga mengakibatkan mereka tidak lagi memiliki kesepakatan yang dapat

24

Dr. Endang Sumiarti., Problematika Hukum Perceraian Kristen dan Katolik (Yogyakarta, Wonderful

Publishing Company, 2005), hal 85 25

T.O. Ihromi,. Bunga rampai Sosiologi Keluarga. (Jakarta, Yayasan obor, 1999), hal 135-136 26

Ibid., hal 157

Page 22: Kajian Trauma Psikososial Anak Karena Perceraian Orang Tuarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12272/2/T1_ 712007032_Full... · suami istri yang sebelumnya telah disatukan dalam

12

memuaskan masing-masing pihak. Diantara mereka muncul perasaan-perasaan bahwa

pasangannya mulai memaksakan kehendak, mencari kesalahan pasangan, lebih

mengupayakan konflik dari pada mencari jalan keluar dan mencoba untuk menunjukan

kekuasaannya. Perasaan tersebut kemudian menumbuhkan rasa permusuhan dan

kebencian dari keduanya.27

Dari konsep perceraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa perceraian merupakan

sebuah perpisahan antara suami istri secara resmi baik ini dilakukan berdasarkan hukum

Negara, agama maupun hukum adat dengan melihat faktor penyebab yang mendukung.

2.4. Trauma Psikososial

2.4.1. Trauma

Trauma berasal dari kata Yunani yang artinya luka, sebuah istilah yang digunakan

bebas entah bagi luka fisik yang disebabkan oleh beberapa kekuatan eksternal langsung

atau luka psikologis yang disebabkan oleh emosi yang ekstrim berupa tekanan batin.28

Trauma dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah keadaan jiwa atau tingkah laku yang

tidak normal sebagai akibat dari tekanan jiwa atau cedera jasmani. Dalam kamus

kesehatan trauma adalah cedera fisik atau emosional. Secara medis, “trauma” mengacu

pada cedera serius atau kritis, luka, atau syok. Dalam psikiatri, “trauma” memiliki makna

yang berbeda dan mengacu pada pengalaman emosional yang menyakitkan,

menyedihkan, atau mengejutkan, yang sering menghasilkan efek mental dan fisik

berkelanjutan.29

Supratiknya (1999;27) mendeskripsikan trauma sebagai perasaan yang

menghancurkan rasa aman, rasa mampu dan harga diri sehingga mengakibatkan luka

psikologis yang susah disembuhkan sepenuhnya. Trauma psikologis yang dialami pada

masa kanak-kanak cenderung terbawa hingga dewasa. Dari sudut pandang psikologis

keadaan trauma merupakan suatu keadaan yang abnormal.30

(Coleman dalam Winkel 1991) memaparkan bahwa abnormalitas dapat ditentukan

dari beberapa keriteria berikut: penyimpangan norma-norma statistik, penyimpangan

norma-norma sosial, geala maladjustment, tekanan batin dan ketidakmatangan.31

27

Ibid., hal 137-138 28

Arthur S. Reber & Emily S. Reber, Kamus Psikologi. (Yogyakarta, Pustaka pelajar, cet I, 2010), hal 999 29

http://kamuskesehatan.com/arti/trauma diakses pada 12 November 2014; pukul 14:24 WIB 30

Dr. A Supratiknya, Mengenal perilaku abnormal. (Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1999), hal 27 31

Ibid., hal 11

Page 23: Kajian Trauma Psikososial Anak Karena Perceraian Orang Tuarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12272/2/T1_ 712007032_Full... · suami istri yang sebelumnya telah disatukan dalam

13

Supratiknya (1999;12-14) penyimpangan norma-norma statistik berpatokan pada

setiap hal yang luar biasa, tidak lazim atau secara harafiah menyimpang dari norma;

penyimpangan norma-norma sosial ditandai dengan adanya penyimpangan atau ketidak-

patuhan terhadap norma-norma sosial; gejala maladjustment ditandai dengan

ketidakefektifan individu dalam menghadapi, menanggapi, atau melaksanakan tuntutan-

tuntutan dari lingkungan fisik dan sosialnya maupun yang bersumber dari dirinya sendiri;

tekanan batin merupakan wujud dari perasaan-perasaan cemas, depresi atau kesedihan

atau rasa bersalah yang mendalam; ketidakmatangan biasanya terlihat dari perilaku yang

tidak sesuai dengan tingkat usianya dan juga yang tidak selaras dengan situasi yang

dihadapi.32

Trauma juga dapat dikatakan sebagai gangguan dalam hal ini gangguang terhadap

fungsi perasaan atau dapat disebut sebagai gangguan perasaan. Terkait dengan hal

tersebut Kartini Kartono (1981) mengatakan bahwa perasaan (hati) dapat disebut juga

sebagai rencana, hal ini merupakan gejala fisik yang memiliki sifat khas yaitu: dihayati

secara subyektif, umumnya berkaitan dengan fungsi pengenalan atau fungsi gnostis dan

individu mengalami hal ini dengan rasa suka atau tidak suka, duka atau gembira dalam

macam-macam gradasi atau derajat tingkatan. Singkatnya perasaan merupakan raksi-

reaksi diri dari segenap organisme psiko-fisik manusia.33

Unsur senang atau tidak senang menentukan kualitas perasaan seseorang. Kualitas

perasaan seseorang bergantung pada tiga faktor utama yaitu: kondisi fisik, pembawaan

dan stemming atau suasana hati. Perasaan juga memiliki tiga dimensi yang mendasar

yaitu: kekuatan atau intensitas, kelincahan atau kecepatan, dan kualitas. Intensitas dari

perasaan bergantung pada kondisi psikis maupun fisik seseorang. Kelincahan atau

kecepatan perasaan dapat timbul secara cepat atau lambat dalam hati seseorang.

Sedangkan kualitas perasaan ditentukan oleh senang atau tidak senang, hal ini terwujud

melalui kegembiraan, kesenangan, duka derita, kesedihan, keseganan, kejemuan, indah,

buruk dan sebagainya.34

Perasaan juga dapat digolongkan dalam beberapa kategori antara lain perasaan

indriawi dan perasaan psikis. Perasaan indriawi dihayati melalui indera dan organism

lain yang terkait dengan perangsang-perangsang fisis. Perasaan psikis dapat ditimbulkan

oleh motif-motif tertentu yang mempengaruhi kejiwaan seseorang sehingga menimbulkan

32

Ibid., hal 12-14 33

Dra. Kartini Kartono,. Gangguan-gangguan psikhis. (Bandung, Penerbit Sinar Baru,1981 ), hal 107 34

Ibid., hal 107-108

Page 24: Kajian Trauma Psikososial Anak Karena Perceraian Orang Tuarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12272/2/T1_ 712007032_Full... · suami istri yang sebelumnya telah disatukan dalam

14

perasaan suka, benci, gembira, susah, kecewa, bingung dan sebagainya. Perasaan psikis

dapat digolongkan pula dalam beberapa bagian yaitu: Perasaan intelektual, perasaan

moril, perasaan estetis, perasaan sosial, perasaan individual dan perasaan religius.

Semua perasaan tersebut memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap pikiran, kemauan

dan perbuatan manusia.35

2.4.2. Psikososial

Dalam Kamus Lengkap Psikologi istilah psikosial berarti relasi sosial yang mencakup

faktor-faktor psikologis.36

Psikologi sosial merupakan suatu usaha untuk memahami

masalah pembentukan kesan, konformitas perubahan sikap, agresi, kepatuhan dan

perilaku menolong. Psikologi sosisal berkaitan dengan bagaiamana seseorang

mempresepsi orang lain, bagaimana ia mengartikan perilaku orang lain, dan bagaimana ia

membentuk dan mengubah sikapnya. Hal tersebut berupa bentuk interaksi antara orang

yang satu dengan yang lain, kasih sayang dan afiliasi, rasa suka dan hubungan yang erat,

agresi dan altruisme, konformitas dan pengaruh. Dengan adanya psikologi sosial kita

dapat memahami bagaimana orang saling mempengaruhi dan bagaimana mereka

berperilaku dalam situasi sosial.37

Oleh karena itu perubahan sosial yang terjadi dalam

suatu lingkungan akan mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang.

Untuk memahami tentang psikososial maka ada empat pendekatan teoritis yang akan

penulis gunakan dalam tulisan ini anatara lain pendekatan biologis, pendekatan belajar,

pendekatan insentif dan pendekatan kognitif.

Pendekatan biologis. Manusia dilahirkan dengan berbagai karakteristik biologis yang

membedakannya dengan hewan dan sesamanya. Karakteristik ini berperan dalam

menentukan perilaku manusia. Dua hal yang mendasar dalam pendekatan ini ialah naluri

dan perbedaan genetik. Manusia memiliki naluri untuk menjadi agresif. Menurut Konrad

Lorenz (dalam David O. Sears, dkk; 1999) dorongan agresif ada dalam diri manusia sejak

lahir dan tidak dapat diubah. Selain itu perbedaan genetic, hal ini menimbulkan

perbedaan perilaku. Penyebab semua perilaku manusia termasuk didalamnya perilaku

sosial, dapat diketahui dari sifat biologis seseorang, susunan genetik, karakteristik

bawaan, karakteristik fisik yang berkembang sejak lahir atau pertumbuhan fisik

sementara.38

35

Ibid., 109-111 36

J.P. Chaplin,. Kamus Lengkap Psikologi. (Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 2011), hal 407 37

David O. Sears, dkk. Psikologi Sosial. (Jakarta, Penerbit Erlangga, 1999), hal 7 38

Ibid., hal 11-12

Page 25: Kajian Trauma Psikososial Anak Karena Perceraian Orang Tuarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12272/2/T1_ 712007032_Full... · suami istri yang sebelumnya telah disatukan dalam

15

Pendekatan belajar. Pemikiran pokok dalam pendekatan ini iaalah perilaku

ditentukan oleh apa yang telah dipelajari sebelumnya. Dua hal yang terdapat dalam

pendekatan belajar ialah mekanisme belajar dan ciri-ciri khusus. Ada tiga mekanisme

umum yang biasanya terjadi dalam belajar antara lain asosiasi, reinforcement dan imitasi.

Pendekatan belajar mempunyai tiga ciri khusus yaitu pertama, sebab-sebab perilaku

berasal dari pengalaman belajar individu di masa lampau. Kedua, penyebab perilaku

terutama ada pada lingkungan eksternal. Ketiga, pendekatan belajar diarahkan untuk

menjelaskan perilaku yang nyata dan bukan keadaan subjektif atau psikologis.39

Pendekatan insentif. Pendekatan ini memandang perilaku sebagai sesuatu yang

ditentukan oleh insentif yang tersedia bagi bermacam-macam tindakan. Tindakan

seseorang didasarkan pada keuntungan dan kerugian yang mereka peroleh. Dalam

pendekatan ini ada tiga versi teori insentif yang umumnya dipakai dalam psikologi sosial

yaitu: pertama, pilihan rasional (rational decision making theory) teori ini

mengemukakan bahwa orang memperhitungkan kerugian dan keutungan berbagai

tindakan dan secara rasonal mengambil tindakan yang paling baik. Kedua, theory

expectancy value (Edward, 1954) teori ini menyatakan bahwa keputusan diambil atas

dasar nilai dari berbagai akibat keputusan yang mungkin dan derajat ekspektasi atau

dugaan tentang akibat yang akan ditimbulkan oleh setiap keputusan. Ketiga, teori

pertukaran dimana teori ini menganalisis interaksi interpersonal sebagai rangkaian

keputusan rasional yang dibuat orang. Dalam hal ini perilaku seseorang terhadap orang

lain dianggap berdasarkan pertimbangan untung rugi setiap pihakyang timbul dari

berbagai kemungkinan akibat interaksi.40

Pendekatan kognitif. Dalam pendekatan ini perilaku seseorang tergantung pada

caranya mengamati situasi sosial. Teori ini mencari sebab-sebab perilaku pada persepsi

atau interpretasi individu terhadap situasi dan tidak pada realitas situasinya sendiri.

Hukum mengenai persepsi sosial sama dengan hukum persepsi objek dimana secara

spontan dan otomatis orang mengorganisasikan persepsi, pikiran dan keyakinannya

tentang situasi sosial kedalam bentuk yang sederhana dan bermakna tidak peduli

bagaimana kacau atau rancunya situasi tersebut, orang akan selalu mengadakan

pengaturan. Ada dua teori yang penting dalam psikologi sosial yaitu: Pertama,

Attribution theory (teori attribusi) teori ini dikembangkan oleh Harold Kelley, teori ini

berkaitan dengan bagaimana orang menginterpretasikan kausalitas. Kedua, teori cognitive

39

Ibid., hal 12-14 40

Ibid., hal 14-16

Page 26: Kajian Trauma Psikososial Anak Karena Perceraian Orang Tuarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12272/2/T1_ 712007032_Full... · suami istri yang sebelumnya telah disatukan dalam

16

dissonance yang dikembangkan oleh Leon Festinger, teori ini membahas bagaimana

orang mengubah dan menyusun kembali pandangan-pandangannya mengenai dunia

sehingga nampak konsisten.41

Dengan demikian trauma psikososial dapat diartikan sebagai suatu keadaan emosional

maupun tingkah laku yang tidak normal atau terganggu akibat dari perubahan sosial yang

terjadi dilingkungan sehingga mengakibatkan seseorang mengalami gangguan dalam

bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Berkaiatan dengan perceraian maka trauma

psikososial dapat diartikan sebagai suatu kondisi sosio emosional yang tidak normal

akibat perubahan status sosial dalam keluarga. Oleh karena itu orang tersebut tidak dapat

bersosialisasi dengan lingkungan sosial disekitarnya secara normal. Penjelasan lebih

lanjut akan penulis sajikan analisa permasalahan.

3. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan ialah metode penelitian kepustakaan. Penelitian

pustaka adalah penelitian yang sumber data dan kancah penelitiannya berada di

perpustakaan. Perpustakaan disini tidak harus diartikan perpustakaan formal, tetapi segala

referensi dan dokumen yang dijadikan sumber data dalam penelitian42

. Jenis penelitian

yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif noninteraktif dengan

pendekatan penelitian konsep. Musfiqon (2012:80) Pendekatan penelitian ini digunakan

untuk melakukan penelitian tentang konsep-konsep yang perlu diinterpretasikan dan

dijelaskan melalui pengumpulan data-data secara sistematis dan holistik43

.

Data dan Sumber data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data ini diperoleh

dari perpustakaan berupa buku dan internet berupa artikel dan berita tertulis yang

berkaitan dengan masalah perceraian.

Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dalam penulisan tugas akhir ini adalah perpustakaan.

Perpustakaan disini tidak hanya perpustakaan formal tetapi segala referensi dan dokumen-

dokumen yang menjadi sumber data dalam penelitian ini.

Teknik Analisis

41

Ibid., hal 16-19 42

Dr. H. M. Musfiqon, M. Pd. Metodologi Penelitian Pendidikan. (Jakarta, Prestasi Pustaka 2012), hal 56 43

Ibid., hal 80

Page 27: Kajian Trauma Psikososial Anak Karena Perceraian Orang Tuarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12272/2/T1_ 712007032_Full... · suami istri yang sebelumnya telah disatukan dalam

17

Setelah data terkumpul melalui metode pengumpulan data tersebut diatas, maka data

tersebut diolah dan dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif dengan mengaitkan

data-data tersebut dengan teori-teori yang dipakai.

4. PEMBAHASAN

Dalam bagian ini penulis akan memaparkan pembahasan permasalahan yang diteliti

berdasarkan permasalahan dan teori yang dipakai dalam penelitian ini.

4.1. Perceraian

Pada dasarnya sebuah keluarga terbentuk atas satuan sosial yang terbatas yaitu antara

dua orang yang berlainan jenis melalui sebuah ikatan perkawinan dan secara berangsur-

angsur keluarga tersebut akan meluas dengan adanya kelahiran anak atau adopsi.

Menurut Undang-Undang Perkawinan No.1 Pasal 1 Tahun 1974 perkawinan adalah

ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan

tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa.44

Menurut seorang teolog bernama Bonaventura perkawinan atau pernikahan adalah

penggabungan laki-laki dan perempuan sebagai suami istri. Perkawinan ini mencakup hak

dan kewajiban timbal balik untuk hidup bersama sebagai suami istri dan tetap setia satu

sama lain sampai akhir hidup.45

Berdasarkan proses terbentuknya keluarga yang telah disebutkan di atas maka dapat

disimpulkan bahwa keluarga merupakan sebuah penyatuan dua individu yang berbeda

yaitu laki-laki dan perempuan melalui perkawinan yang didasarkan oleh ikatan cinta

kasih. Keluarga sering disebut sebagai institusi terkecil yang ada dalam masyarakat.

Berdasarkan teori yang penulis dapatkan para ahli psikologi keluarga mengatakan

bahwa keluarga merupakan sebuah sistem. Dimana dalam sistem keluarga ini terbentuk

melalui perkawinan antara laki-laki dan perempuan. Dari perkawinan tersebut maka akan

mereka akan menjalankan fungsi reproduksinya kemudian memiliki anak. Oleh karena itu

sistem keluarga tersebut terdiri dari orang tua dan anak yang saling mempengaruhi satu

dengan lainnya. Sistem keluarga ini sewaktu-waktu akan mengalami kerusakan yang

diakibatkan oleh permasalahan-permasalahan yang ada di dalamnya. Salah satu bentuk

kerusakan sistem keluarga adalah dengan adanya perceraian antara suami istri atau orang

tua.

44

Drs. Taufiq Rohman Dohiri, dkk., Sosiologi: suatu kajian kehidupan masyarakat, (Penerbit Ghalia

Indonesia, 2007), hal 44 45

Dr. C. Groenen OFM, Perkawinan Sakramental, (Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1993), hal 224

Page 28: Kajian Trauma Psikososial Anak Karena Perceraian Orang Tuarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12272/2/T1_ 712007032_Full... · suami istri yang sebelumnya telah disatukan dalam

18

Berdasarkan definisinya perceraian dapat disebut sebagai perpisahan, perceraian yang

terjadi dalam keluarga antara suami dan istri biasanya berlangsung secara legal atau

sesuai dengan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Pada umumnya perceraian terjadi

karena adanya konflik antara suami dan istri. Konflik yang terjadi antara suami istri

dalam rumah tangga bisa terjadi karena banyak hal, diantaranya: adanya perselingkuhan

salah satu pasangan atau bisa juga karena masalah menjalankan peran masing-masing

pasangan dalam keluarga.

Banyak hal yang dapat memicu terjadinya perceraian antara suami istri, penyebab

utama perceraian ialah interaksi yang kurang baik antara pasangan suami istri. Dalam

tulisan ini penulis memakai hasil penelitian George Levinger yang dilakukan pada tahun

1966 pada 600 pasangan suami istri yang memiliki anak paling sedikit satu orang yang

berusia dibawah 14 tahun. Faktor penyebab perceraian yang diajukan dalam penelitian ini

ialah sebagai berikut46

:

1. Pasangannya sering mengabaikan kewajiban rumah tangga dan anak, seperti

jarang pulang ke rumah, tidak ada kepastian waktu berada di rumah, serta tidak

adanya kedekatan emosional dengan anak dan pasangan;

2. Masalah keuangan (tidak cukupnya penghasilan yang diterima untuk menghidupi

keluarga dan kebutuhan rumah tangga);

3. Adanya penyiksaan fisik terhadap pasangan;

4. Pasangannya sering berteriak dan mengeluarkan kata-kata kasar serta

menyakitkan;

5. Tidak setia, seperti punya kekasih lain dan sering berzina dengan orang lain;

6. Sering mabuk dan judi;

7. Ketidakcocokan dalam melaksanakan hubungan seksual;

8. Keterlibatan/ campur tangan dan tekanan sosial dari pihak kerabat pasangannya;

9. Kecurigaan, kecemburuan serta ketidakpercayaan dari pasangannya;

10. Berkurangnya perasaan cinta sehingga jarang berkomunikasi, kurangnya perhatian

dan kebersamaan di antara pasangan;

11. Tuntutan yang dianggap berlebihan sehingga pasangannya sering menjadi tidak

sabar, tidak ada toleransi dan dirasakan terlalu “menguasai”.

46

T.O. Ihromi,. Bunga rampai Sosiologi Keluarga. (Jakarta, Yayasan obor, 1999), hal 153;155

Page 29: Kajian Trauma Psikososial Anak Karena Perceraian Orang Tuarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12272/2/T1_ 712007032_Full... · suami istri yang sebelumnya telah disatukan dalam

19

Apapun alasan dari setiap perceraian yang terjadi dalam sebuah pernikahan anak akan

selalu menjadi korban dan anaklah yang paling banyak merasakan dampak buruk dari

perceraian tersebut.

4.2. Dampak Perceraian bagi anak

Jika dilihat dari data statistic Republika47

, Indonesia merupakan salah satu Negara

dengan angka perceraian tertinggi di dunia. Dengan adanya kenyataan seperti ini maka

peran dan fungsi keluarga tidak lagi berjalan dengan baik sehingga memberi dampak

buruk bagi setiap individu yang terkait di dalamnya. Keluarga merupakan sebuah sistem

yang terdiri dari orang tua yaitu ayah dan ibu serta anak-anak. orang tua merupakan sub-

sistem pendukung dalam keluarga yang mempunyai peran penting dalam pertumbuhan

dan perkembangan anak. Oleh karena itu ketika orang tua bercerai maka sistem keluarga

tersebut akan hancur karena tidak ada lagi sub-sistem pendukung bagi anak sehingga ia

akan mengalami gangguan dalam pertumbuhan dan perkembangannya.

Perceraian yang terjadi saat anak memasuki usia kanak-kanak akan memberi dampak

buruk terhadap kehidupan sosialnya. Menurut Kartono Kartini, masa kanak-kanak

dimulai dari usia 6-12 tahun dimana pada usia ini anak mulai keluar dan bersosialisasi

dengan lingkungan sekitarnya. Pada usia ini anak mulai memasuki masa sekolah dan

mulai ikut serta dalam segala kegiatan sosial masyarakat. Karena itu anak disebut sebagai

makhluk sosial yang tidak bisa dipisahkan dari lingkungan sosial masyarakat. Tanpa

bantuan orang dewasa anak tidak akan dapat mencapai pertumbuhan dan perkembangan

yang normal.

Dalam keadaan normal pikiran anak usia sekolah dasar ini berkembang secara

berangsur-angsur dan secara tenang. Anak betul-betul berada dalam stadium-belajar.

Disamping keluarga, sekolah memberikan pengaruh yang sistematis terhadap

pembentukan akal budi anak sehingga pengetahuannya bertambah secara pesat. Pada usia

kanak-kanak ingatan seorang anak mencapai intensitas paling tinggi dan paling kuat.

Anak juga mudah cemas karena merasa takut kehilangan kasih sayang, perhatian dan

dukungan orang tuanya. Karena cinta kasih dan dorongan orang tua akan menambah

kepercayaan diri anak48

.

Sebagai makhluk sosial relasi dan komunikasi dengan orang lain sangat diperlukan

oleh anak untuk memanusiakan dirinya. Anak ingin dicintai, diakui dan dihargai dalam

47

www.republika.co.id diakses pada tanggal 16 November 2014; pukul 15.24 WIB 48

Dra. Kartini Kartono. Gangguan-gangguan Psikhis, (Bandung, Penerbit Sinar Baru, 1981), hal 140-143

Page 30: Kajian Trauma Psikososial Anak Karena Perceraian Orang Tuarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12272/2/T1_ 712007032_Full... · suami istri yang sebelumnya telah disatukan dalam

20

lingkungannya. Hanya dengan relasi dan komunikasi inilah anak bisa berkembang

menuju kedewasaan. Keluarga merupakan lingkungan sosial yang utama bagi anak yang

berfungsi sebagai agen sosialisasi.

Anak yang bertumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga yang bermasalah

cenderung mengalami gangguan dalam kehidupan baik secara psikis maupun sosial.

Karena dalam keluarga yang bermasalah akan terjadi perubahan sosial yang berhubungan

dengan perubahan struktur keluarga sehingga mengakibatkan rusaknya sistem keluarga

dan fungsi-fungsi keluarga tidak berjalan dengan baik. Perceraian orang tua merupakan

salah satu bentuk perubahan sosial dalam masyarakat. Perubahan tersebut sangat

berpengaruh pada proses perkembangan anak. Dampak buruk dari perceraian paling

sering dirasakan oleh anak, hal ini dikarenakan anak sangat membutuhkan kehadiran

kedua orang tuanya dalam setiap proses perkembangannya.

Berikut ini adalah beberapa dampak perceraian terhadap anak yang dikemukakan oleh

beberapa ahli:

Menurut Leslie (1967) mengemukakan bahwa anak-anak yang orang tuanya bercerai

sering hidup menderita, khususnya dalam hal keuangan serta secara emosional kehilangan

rasa aman. Salah satu dampak yang dapat dilihat menurut pandangan Bumpass dan

Rindfuss (1979) juga menyatakan bahwa anak-anak dari orang tua yang bercerai

cenderung mengalami pencapaian tingkat pendidikan dan kondisi ekonomi yang rendah

serta mengalami ketidakstabilan dalam perkawinan mereka sendiri49

.

Sejalan dengan itu Landis (1960) menambahkan dampak perceraian lainnya berupa

meningkatnya “perasaan dekat” anak dengan ibu serta menurunnya jarak emosional

terhadap ayah. Hal ini terjadi bila anak ada di bawah pengasuhan ibu. Selain itu anak juga

merasa malu dengan perceraian tersebut. Oleh karena itu anak menjadi inferior (merasa

rendah diri) terhadap anak lain.50

Gardner (1977) menyatakan bahwa perceraian membuat anak merasakan kepedihan

yang mendalam. Kepedihan yang dirasakan anak antara lain terluka, bingung, marah dan

tidak aman.51

Menurutnya kepedihan yang dirasakan oleh anak seringkali membuat anak

menyalahkan diri sendiri serta menganggap bahwa mereka adalah penyebab perceraian

kedua orang tua mereka. Selain itu anak juga akan merasa bahwa orang tua tidak

menyayangi mereka sehingga pergi meninggalkan mereka

49

T.O. Ihromi,. Bunga rampai Sosiologi Keluarga. (Jakarta, Yayasan obor, 1999), hal 161 50

Ibid. 51

Ibid.

Page 31: Kajian Trauma Psikososial Anak Karena Perceraian Orang Tuarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12272/2/T1_ 712007032_Full... · suami istri yang sebelumnya telah disatukan dalam

21

Menurut Leslie (1967) reaksi anak terhadap perceraian tergantung pada penilaian

anak terhadap perkawinan orang tua mereka serta rasa aman di dalam keluarga. Leslie

juga menambahkan bahwa trauma yang dialami anak karena perceraian sangat

bergantung pada kualitas hubungan dalam keluarga sebelum terjadi perceraian. 52

Secara psikis perceraian mengakibatkan gangguan pada anak, hal ini berhubungan

dengan perasaan anak. Anak dari keluarga yang bercerai akan sulit untuk menaruh

kepercayaan terhadap orang lain. Hal ini bisa terjadi karena anak merasakan kekurangan

kasih sayang dari orang tuanya. Kasih sayang orang tua merupakan hal yang penting bagi

anak, karena kasih sayang tersebut yang mampu mananamkan rasa percaya pada diri

anak.

Jika dilihat dari sudut pandang sosiologis perubahan struktur keluarga karena

perceraian akan menimbulkan kegagalan sosialisasi yang merupakan akibat dari ketidak-

hadiran salah satu orang tua yang seharusnya menjadi model atau contoh bagi anak.53

Jika dilihat dari segi psikososial, perilaku seorang anak dapat terlihat melalui beberapa

pendekatan yang telah dikemukakan sebelumnya pada bagian kedua dari tulisan ini yaitu :

Pendekatan biologis, pendekatan belajar, pendekatan insentif dan pendekatan kognitif.

Dalam kasus perceraian perilaku seseorang dapat terlihat melalui pendekatan belajar.

Perilaku anak dapat terbentuk melalui apa yang diamatinya, jika anak melihat orang

tuanya bertengkar untuk menyelesaikan masalah, maka ia akan menanamkan dalam

dirinya bahwa pertengkaran merupakan salah satu cara untuk menyelesaiakan suatu

masalah. Selain itu anak juga akan menanamkan dalam dirinya bahwa perceraian adalah

jalan keluar yang baik jika terjadi konflik antara orang tau, jika pertengkaran tersebut

berakhir pada perceraian. Hal tersebut akan menjadi modal yang buruk bagi seorang anak

dalam proses pendewasaan dirinya.

Relasi sosial antara orang tua dan anak terputus baik itu antara ayah dan anak maupun

ibu dan anak, hal ini tergantung dengan siapa anak akan tinggal dan hidup bersama.

Menurut Donna Wong interaksi merupakan hal yang penting dalam membangun relasi

yang baik antara anak dan orang tua. Pada umumnya anak yang orang tuanya bercerai

tinggal bersama ibunya, sekalipun anak tinggal bersama ayah pada awal perceraian

namun pada akhirnya anak akan memilih untuk tinggal dengan ibunya. Hal ini

dikarenakan adanya ikatan emosional yang kuat antara ibu dan anak. Ketika anak tinggal

bersama ibunya maka akan ada jarak antara anak dengan ayahnya bahkan ada anak yang

52

Ibid., hal 160 53

William J. Goode, Sosiologi Keluarga. (Jakarta, Penerbit Bina Aksara, 1983), hal 205

Page 32: Kajian Trauma Psikososial Anak Karena Perceraian Orang Tuarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12272/2/T1_ 712007032_Full... · suami istri yang sebelumnya telah disatukan dalam

22

menjadikan ayahnya sebagai musuh demikian juga sebaliknya. Perceraian merupakan

penyebab yang mendasari munculnya trauma pada anak. Trauma tersebut berkaitan

dengan proses perkembangan anak yang tidak mendapat dukungan dari orang tua.

Trauma dapat dikatakan sebagai suatu keadaan yang abnormal, yang berhubungan

dengan hati dan pikiran seseorang yang terus-menerus dihantui oleh pengalaman tidak

menyenangkan atau menyakitkan yang pernah dialaminya. Trauma psikososial

merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami tekanan karena perubahan sosial

dalam dirinya sehingga ia tidak dapat diterima dengan baik dalam masyarakat dan

membuat anak tersebut tidak dapat bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Trauma

psikososial yang dialami oleh anak korban perceraian akan mengakibatkan gangguan

pada perasaan sosialnya sehingga ia menjadi lebih tetutup dan tidak komunikatif . Dengan

perubahan tersebut maka aka nada jurang pemisah antara anak dan lingkungannya. Jurang

pemisah tersebut tercipta karena adanya pandangan bahwa perceraian merupakan aib

karena perceraian adalah dosa.

Trauma tersebut membuat anak mengalami kesulitan untuk menjadi manusia yang

seutuhnya. Artinya ia tidak dapat mengalami dirinya sendiri sebagai makhluk sosial yang

seharusnya berbaur dalam masyarakat, karena perceraian tersebut membuat ia menjadi

orang yang sangat tertutup. Selain itu trauma psikososial juga mengakibatkan

penyimpangan-penyimpangan perilaku anak. Anak yang mengalami trauma psikososial

cenderung memiliki perilaku yang abnormal dan menyimpang dari norma dan nilai-nilai

yang berlaku dalam masyarakat. Meskipun demikian tidak semua anak dari keluarga yang

bercerai mengalami hal tesebut namun tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar anak

korban perceraian menunjukan perilaku seperti itu.

Dalam tulisan ini penulis mengambil sebuah contoh dari pengalaman S yang

sebelumnya sudah penulis tuliskan dalam bagian pendahuluan. Orang tua S bercerai

ketika ia mulai memasuki usia sekolah yaitu 6 tahun. Sebelumnya ia tidak mengetahui

adanya konflik antara orang tuanya sehingga ia begitu terkejut akan hal tersebut. Ketika

perceraian itu terjadi S harus tinggal bersama ibunya. Sejak itu ibunya harus bekerja

untuk memenuhi kebutuhan mereka termasuk kebutuhan S mengingat ia sudah mulai

bersekolah sehingga ia terpaksa dititipkan ke salah satu kerabatnya. Hal ini membuat S

benar-benar kehilangan dukungan dari orang tuanya dalam hal kasih sayang, meskipun ia

disayangi oleh orang tua asuhnya yang adalah paman dan bibinya namun hal itu sama

sekali tidak memenuhi kebutuhan S dalam hal kasih sayang. Karena pada dasarnya kasih

Page 33: Kajian Trauma Psikososial Anak Karena Perceraian Orang Tuarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12272/2/T1_ 712007032_Full... · suami istri yang sebelumnya telah disatukan dalam

23

sayang yang diperoleh seorang anak adalah dari kedua orang tuanya bukan dari paman

atau bibinya.

S bertumbuh dan berkembang dalam keluarga yang tidak utuh sehingga secara

holistic ia tidak bertumbuh dengan baik. Secara fisik S sangat lemah dan sering sakit-

sakitan, secara mental S terbentuk menjadi anak yang sering mengalami kegelisahan dan

sulit untuk menerima kenyataan yang ada dalam keluarganya, secara spiritual S

menunjukan sikap yang tidak percaya akan adanya Tuhan. Hal ini disebabkan oleh

pemikiran yang terbentuk dalam dirinya yaitu jika Tuhan ada maka Tuhan tidak akan

membiarkan keluarganya hancur sehingga ia tidak mungkin kehilangan kasih sayang

kedua orang tuanya, secara sosial S menunjukan sikap yang tertutup dan cenderung

menarik diri dari lingkungan karena merasa malu dengan keadaanya keluarganya.

Sejak perceraian orang tuanya S tidak pernah bertemu dengan ayahnya, sekalipun

mereka tinggal dalam satu daerah yang sama tetapi ayahnya tidak pernah mengunjungi

mereka. Hal tersebut membuat S merasa bahwa sebenarnya ayahnya tidak menginginkan

kehadirannya. Setelah memasuki usia remaja S sempat bertemu dengan ayahnya namun

pada setiap pertemuan itu ayahnya menunjukan sikap yang tidak jelas, terkadang ayahnya

bersikap baik padanya namun pada kesempatan lain ayahnya menunjukkan sikap

bermusuhan dengannya sehingga menimbulkan kebencian terhadap ayahnya. Sejak itu S

juga mulai menunjukan bermusuhan dengan ayahnya, permusuhan tersebut diakibatkan

oleh kebencian terhadap ayahnya baik karena sikapnya maupun karena ayahnya telah

membuat ia dan ibunya hidup menderita dan harus kehilangan kasih sayang ibunya yang

selalu meninggalkannya untuk bekerja, selain itu ia terus menerus menjadi bahan

pembicaraan oleh teman-teman dan tetangganya.

Trauma tersebut terus menerus ia rasakan sepanjang kehidupannya sampai saat ini

ketika ia sudah dewasa. Kepribadian S terbentuk dari pengalaman traumatisnya akibat

perceraian orang tuanya. Secara sosial pengalaman traumatis mengenai perceraian orang

tua memberikan pengaruh yang cukup besar dalam kehidupannya. Ia sangat sulit untuk

berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungan sosialnya termasuk dengan teman-

temanya. Saat ini ia sudah memasuki usia dewasa namun pengalaman perceraian orang

tuanya masih terus menjadi penghalang baginya untuk dapat menjalani kehidupan yang

normal seperti orang lain. Ia sering mengalami kesulitan dikampus berkaitan dengan

tugas kuliah dan informasi penting lainnya karena kepribadian inferior yang dimilikinya.

Selain itu ia juga memiliki banyak musuh karena ia mudah tersinggung dan marah. Ia

Page 34: Kajian Trauma Psikososial Anak Karena Perceraian Orang Tuarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12272/2/T1_ 712007032_Full... · suami istri yang sebelumnya telah disatukan dalam

24

juga tidak dapat bertahan lama dalam berhubungan dengan lawan jenis karena sikap

kasarnya.

Trauma psikososial anak karena perceraian merupakan hal yang sangat

memprihatinkan karena sesungguhnya setelah memasuki usia sekolah anak sangat

membutuhkan dukungan dari lingkungan sosialnya untuk dapat berkembang. Anak yang

mengalami trauma psikososial sering menghadapi kesulitan-kesulitan dalam perjalanan

kehidupannya baik di sekolah maupun dalam lingkungan masyarakat.

5. Penutup

Bagian ini berisi kesimpulan dan saran berdasarkan hasil penelitian yang telah

didapatkan

5.1. Kesimpulan

Kesimpulan yang didapatkan dalam penelitian ini ialah perceraian mengakibatkan

disfungsi keluarga sehingga anak mengalami gangguan perkembangan dan berdampak

pada trauma psikososial. Hal ini dikarenakan pada usia sekolah anak akan mengalami

perkembangan yang pesat dan anak juga akan lebih banyak berhubungan dengan

lingkungan sosialnya oleh karena itu peran keluarga mulai berkurang sehingga sekolah

dan masyarakatlah yang menjadi pendukung utama perkembangan anak. Anak dari

keluarga yang hancur karena perceraian sering mengalami kegagalan dalam bersosialisasi

dan berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dan sulit untuk membangun hubungan yang

baik dengan orang lain. Anak juga cenderung melakukan hal-hal yang menyimpang. Bagi

anak korban perceraian yang sudah memasuki usia dewasa akan sulit untuk membangun

rumah tangga karena trauma perceraian orang tua yang dialami pada masa kanak-

kanaknya.

Selain itu dengan adanya pandangan mengenai kesucian sebuah perkawinan maka

masyarakat dan juga gereja memandang perceraian sebagai hal yang melanggar norma

sehingga orang-orang yang mengalami perceraian kurang mendapat perhatian. Dampak

dari stigma tersebut juga merupakan salah satu faktor penyebab trauma psikososial pada

anak. Karena anak sering menjadi bahan ejekan dan gunjingan baik dari teman sekolah,

teman bermain maupun dari masyarakat sekitar.

Disini terlihat bahwa keluarga sebagai institusi sosial utama dalam masyarakat tidak

bisa menjalankan perannya dengan baik sebagai agen sosialisasi bagi anak. Dan juga

masyarakat yang seharusnya menjadi pendukung bagi seorang anak untuk menjadikan

Page 35: Kajian Trauma Psikososial Anak Karena Perceraian Orang Tuarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12272/2/T1_ 712007032_Full... · suami istri yang sebelumnya telah disatukan dalam

25

dirinya sebagai makhluk sosial yang seutuhnya justru memberi jarak bahkan sama sekali

tidak peduli.

5.2. Saran

Dalam tulisan ini penulis juga menyumbangkan beberapa saran antara lain:

1. Bagi orang tua: Perlunya kesadaran akan pentingnya peran kasih sayang dan tugas

orang tua untuk membimbing anak dalam masa perkembangannya anak, sehingga

sebisa mungkin orang tua meminimalisir konflik dalam keluarga yang dapat

menimbulkan perceraian.

2. Bagi masyarakat: masyarakat merupakan agen sosialisasi terbesar dalam kehidupan

seseorang hendaknya mengembangkan pemikiran-pemikiran yang positif terhadap

keluarga yang mengalami kehancuran karena perceraian terutama bagi anak-anak

yang menjadi korban perceraian tersebut agar mereka tidak dianggap sebagai aib bagi

masyarakat. Anak-anak tersebut hendaknya dibimbing dan dilindungi karena mereka

memiliki hak yang sama dengan anak-anak lainnya, mereka juga mempunyai masa

depan, dengan demikian mereka tidak merasa tersingkirkan sehingga mereka dapat

menata kehidupan masa depan mereka sebagaimana mestinya tanpa harus terbeban

dengan status mereka sebagai anak dari keluarga yang hancur akibat perceraian orang

tua mereka.

3. Bagi gereja: Gereja sebagai salah satu lembaga keagamaan yang merupakan salah

satu pusat pembentukan rohani sebaiknya memberikan perhatian khusus bagi keluarga

yang mengalami perceraian. Gereja dapat melakukan pendampingan pastoral bagi

keluarga yang menjadi korban perceraian terutama bagi anak yang menjadi korban

perceraian agar anak tidak terus-menerus mengalami trauma akibat perceraian orang

tuanya sehingga anak dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik secara holistik.

Page 36: Kajian Trauma Psikososial Anak Karena Perceraian Orang Tuarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12272/2/T1_ 712007032_Full... · suami istri yang sebelumnya telah disatukan dalam

26

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Anshor. Maria U., & Ghalib. Abdullah., Parenting with love. Penerbit Mizania, Bandung, 2010

Chaplin,. J.P. Kamus Lengkap Psikologi. PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011

Distenfield, Ira,. & Distenfield, Linda,. We The People’s Guide To Divorce. Published by John

Wiley & Sons, Inc, New Jersey, 2005

Djiwandono. Sri Esti Wuryani, Konseling dan Terapi dengan anak dan orang tua. Penerbit PT

Grasindo, Jakarta, 2005

Dohiri, Drs. Taufiq Rohman, dkk., Sosiologi: suatu kajian kehidupan masyarakat. Penerbit

Ghalia Indonesia, 2007

Goode. William J., Sosiologi Keluarga. Penerbit PT Bina Aksara, Jakarta, 1983

Groenen OFM, Dr. C., Perkawinan Sakramental. Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993

Gunarsa, Singgih D., Dasar dan Teori Perkembangan Anak. BPK Gunung Mulia, Jakarta,Cet IX,

2008

Gunarsa, Singgih D., Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. BPK Gunung Mulia, Jakarta,

Cet 13, 2008

Ihromi, T.O. Bunga rampai Sosiologi Keluarga. Yayasan obor, Jakarta, 2004

Kartono, Dra. Kartini, Psikologi Anak. Penerbit Alumni, Bandung, 1979

Kartono, Dra. Kartini, Gangguan-gangguan Psikhis. Penerbit Sinar Baru, Bandung, 1981

Lestari, Sri, Psikologi Keluarga. Penerbit Kencana, Jakarta, 2012

Musfiqon, H.M., Metodologi Penelitian Pendidikan. Penerbit Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta,

2012.

Purdarminta, WJS., Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta, 1992

Reber, Arthur S., & Reber, Emily S., Kamus Psikologi. Pustaka pelajar, Yogyakarta, cet I, 2010

Rezky. Bunda, Be a smart parent. Galangpress, Yogyakarta,cet I, 2010

Sears, David O.,dkk., Psikologi Sosial. Penerbit Erlangga, Jakarta, 1999

Sunarto, Kamanto., Pengantar Sosiologi (edisi revisi). Lembaga Penertbit Fakultas Ekonomi

Universitas Indonesia, Jakarta, 2004

Sumiarti, Dr. Endang,. Problematika Hukum Perceraian Kristen dan Katolik . Wonderful

Publishing Company, Yogyakarta, 2005

Switzer, David K. Pastoral Care Emergencies. Fortress Press, Minneapolis, 2000

Thompson, Marjorie L. Keluarga Sebagai Pusat Pembentukan (Judul asli: Family: the Forming

Center, (Upper Room Books,Nashville-USA 1989) diterjemahkan oleh Ny. Oloria Silaen

Situmorang. Keluarga sebagai Pusat Pembentukan., BPK Gunung Mulia, Jakarta 2001

UU Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 1 ayat 1

Wong, Donna L., dkk., Wong’s Essentials Of Pediatric Nursing. Mosby, 2001

Internet:

http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/11/14/nf0ij7-tingkat-perceraian-indonesia-

meningkat-setiap-tahun-ini-datanya di akses pada tanggal 16 November 2014; pukul 15.24 WIB

http://kamuskesehatan.com/arti/trauma diakses pada 12 November 2014; pukul 14:24 WIB