Kajian sekaligus notulensi keterkaitan akreditasi, exit exam dan kuota mahasiswa baru

10
Mengakar di tatanan lokal, kokoh di tatanan nasional, bersuara di tatanan internasional KETERKAITAN ANTARA AKREDITASI, EXIT EXAM DAN KUOTA PENERIMAAN MAHASISWA BARU (sekaligus dalam rangka notulensi Komisi 4 Muktamar AIPKI VII- Manado, 26-28 September 2013) Muhammad Vardian Mahardika, Hernina Oktaviani, Afifan Ghalib Haryawan, et al Ketika Republik Indonesia berdiri, negara ini memiliki janji kemerdekaan yakni akan melindungi, mensejahterakan, mencerdaskan, dan menjadi bagian dari dunia. Salah satu komponen disini adalah Pendidikan yang merupakan ranah yang selalu dinamis dengan segala kompleksitasnya. Kekayaan bangsa Indonesia terletak pada sumber daya manusia, dan dalam hal ini adalah SDM yang berpendidikan. Sehingga pendidikan merupakan landasan fundamental dan ujung tombak akan permasalahan bangsa. Tak terkecuali Pendidikan Kedokteran. Jumlah fakultas kedokteran di Indonesia semakin lama semakin menjamur. Akan tetapi, tidak sedikit pihak yang mempertanyakan kualitas penyelenggaraan fakultas kedokteran tersebut. Hanya 17 fakultas kedokteran memiliki akreditasi A dan 21 fakultas kedokteran memiliki akreditasi B. Sisanya, lebih dari setengah, memiliki akreditasi C ke bawah (Data 2013). Selain itu, regulasi pembentukan fakultas kedokteran masih tidak ketat. Sebaga buktinya, jumlah fakultas kedokteran berkembang pesat dari 52 fakultas kedokteran pada tahun 2008 menjadi 74 fakultas kedokteran pada tahun 2013. Sehingga tak ayal banyak permasalahan yang menyeruak akibat menjamurnya fakultas kedokteran di Indonesia. Beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan adalah kaitan antara Akreditasi, exit exam, dan Kuota penerimaan mahasiswa baru. UU Dikdok yang disahkan pada tahun ini (Kamis 11 Juli 2013) oleh Prof dr. Akmal Taher SpU(K) dengan segala percepatan yang ada, berkeinginan untuk memperbaiki kualitas penyelenggaraan pendidikan kedokteran. Cakupan dari UU tersebut sangatlah luas dengan target sasaran berbagai element penyelenggara pendidikan kedokteran, mulai dari pemerintah,

description

Muktamar AIPKI VII, Manado

Transcript of Kajian sekaligus notulensi keterkaitan akreditasi, exit exam dan kuota mahasiswa baru

Page 1: Kajian sekaligus notulensi keterkaitan akreditasi, exit exam dan kuota mahasiswa baru

Mengakar di tatanan lokal, kokoh di tatanan nasional, bersuara di tatanan internasional

KETERKAITAN ANTARA AKREDITASI, EXIT EXAM DAN KUOTA

PENERIMAAN MAHASISWA BARU

(sekaligus dalam rangka notulensi Komisi 4 Muktamar AIPKI VII-

Manado, 26-28 September 2013)

Muhammad Vardian Mahardika, Hernina Oktaviani, Afifan Ghalib Haryawan, et al

Ketika Republik Indonesia berdiri, negara ini memiliki janji kemerdekaan yakni akan

melindungi, mensejahterakan, mencerdaskan, dan menjadi bagian dari dunia. Salah satu

komponen disini adalah Pendidikan yang merupakan ranah yang selalu dinamis dengan segala

kompleksitasnya. Kekayaan bangsa Indonesia terletak pada sumber daya manusia, dan dalam hal

ini adalah SDM yang berpendidikan. Sehingga pendidikan merupakan landasan fundamental dan

ujung tombak akan permasalahan bangsa. Tak terkecuali Pendidikan Kedokteran.

Jumlah fakultas kedokteran di Indonesia semakin lama semakin menjamur. Akan tetapi,

tidak sedikit pihak yang mempertanyakan kualitas penyelenggaraan fakultas kedokteran tersebut.

Hanya 17 fakultas kedokteran memiliki akreditasi A dan 21 fakultas kedokteran memiliki

akreditasi B. Sisanya, lebih dari setengah, memiliki akreditasi C ke bawah (Data 2013). Selain

itu, regulasi pembentukan fakultas kedokteran masih tidak ketat. Sebaga buktinya, jumlah

fakultas kedokteran berkembang pesat dari 52 fakultas kedokteran pada tahun 2008 menjadi 74

fakultas kedokteran pada tahun 2013. Sehingga tak ayal banyak permasalahan yang menyeruak

akibat menjamurnya fakultas kedokteran di Indonesia. Beberapa hal yang menjadi pokok

permasalahan adalah kaitan antara Akreditasi, exit exam, dan Kuota penerimaan mahasiswa

baru.

UU Dikdok yang disahkan pada tahun ini (Kamis 11 Juli 2013) oleh Prof dr. Akmal Taher

SpU(K) dengan segala percepatan yang ada, berkeinginan untuk memperbaiki kualitas

penyelenggaraan pendidikan kedokteran. Cakupan dari UU tersebut sangatlah luas dengan target

sasaran berbagai element penyelenggara pendidikan kedokteran, mulai dari pemerintah,

Page 2: Kajian sekaligus notulensi keterkaitan akreditasi, exit exam dan kuota mahasiswa baru

Mengakar di tatanan lokal, kokoh di tatanan nasional, bersuara di tatanan internasional

mahasiswa, dosen, rumah sakit pendidikan hingga ujian kompetensi. Dan dalam UU ini agaknya

pemerintah mengambil porsi yang cukup besar/andil lebih dalam penyelenggaraan pendidikan

kedokteran.

Rasio dosen dan mahasiswa

Dalam UU tersebut tercantum bahwa hanya universitas yang memiliki rasio dosen yang

cukup, gedung, laboratorium dan rumah sakit pendidikan yang dapat memperoleh izin

mendirikan fakultas kedokteran.

Pembentukan Fakultas Kedokterandan/atau Fakultas Kedokteran Gigi sebagaimana

dimaksud pada Pasal 6 ayat 3 UU Dikdok menyatakan paling sedikit harus memenuhi syarat dan

ketentuan sebagai berikut:

a. memiliki Dosen dan Tenaga Kependidikan sesuai dengan ketentuan Peraturan

Perundang-undangan;

b. memiliki gedung untuk penyelenggaraan pendidikan;

c. memiliki laboratorium biomedis, laboratorium kedokteran klinis, laboratorium

bioetika/humaniora kesehatan, serta laboratorium kedokteran komunitas dan kesehatan

masyarakat; dan

d. memiliki Rumah Sakit Pendidikan atau memiliki rumah sakit yang bekerja sama dengan

Rumah Sakit Pendidikan dan Wahana

Sedangkan bila kita mengacu pada standar pendidikan dokter Indonesia 2012 yang telah

ditetapkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia, rasio seluruh mahasiswa dan dosen ekuivalen

waktu mengajar penuh untuk tahap akademik maksimal 10:1 dan tahap profesi maksimal 5:1

sesuai dengan disiplin ilmu terkait. Namun pada kenyataannya hal tersebut masih belum

terealisasikan secara optimal. Tak sedikit pula fakultas maupun program studi pendidikan

kedokteran yang sangat kekurangan dosen, bahkan ada yang hanya memiliki 1 dokter spesialis.

Salah satu pihak yang terugikan disini adalah mahasiswa. Akibatnya jadwal akademik baik

preklinik maupun klinik tidak menentu dikarenakan dokter yang mengajar harus didatangkan

Page 3: Kajian sekaligus notulensi keterkaitan akreditasi, exit exam dan kuota mahasiswa baru

Mengakar di tatanan lokal, kokoh di tatanan nasional, bersuara di tatanan internasional

atau bahkan diterbangkan dari universitas lain. Ironinya banyak univeritas yang tetap melakukan

penerimaan mahasiswa baru dengan angka yang menggembung. Sehingga rasio ini semakin jauh

dari kata pantas dan layak.

Penerimaan mahasiswa baru

Sedangkan untuk penerimaan calon mahasiswa juga akan mengalami perubahan yang

besar setelah UU Dikdok berlaku.

Pada pasal 9 menyebutkan bahwa

1) Program studi kedokteran dan program studi kedokteran gigi hanya dapat menerima

Mahasiswa sesuai dengan kuota nasional.

2) Ketentuan mengenai kuota nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan

peraturan menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan

pemerintahan dibidang Kesehatan.

Bila kita mengacu pada Surat Edaran DIKTI No:576/E/HK/2013 terkait kuota

penerimaan mahasiswa FK didasarkan pada 2 hal penting yakni akreditasi dan jumlah mahasiswa

yang lulus Uji Kompetensi.

AKREDITASI

HASIL UJI KOMPETENSI DOKTER INDONESIA

<50% 50% < X

< 60%

60% < X

< 70%

70% < X

< 80%

80% < X

< 90%

90% < X

< 100%

A 150 170 190 210 230 250

B 100 120 140 160 180 200

C 50 60 70 80 90 100

x adalah jumlah presentase mahasiswa yang lulus UKDI pada tahun tersebut.

Dikti juga secara tegas memperingatkan bagi perguruan tinggi yang tidak memenuhi

ketentuan sebagaimana tersebut diatas maka akan mendapatkan sanksi dari Direktur Jenderal

Perguruan Tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Page 4: Kajian sekaligus notulensi keterkaitan akreditasi, exit exam dan kuota mahasiswa baru

Mengakar di tatanan lokal, kokoh di tatanan nasional, bersuara di tatanan internasional

Namun perlu diingat kembali bahwa hanya 17 fakultas kedokteran memiliki akreditasi A

dan 21 fakultas kedokteran memiliki akreditasi B. Sisanya, lebih dari setengah, memiliki

akreditasi C atau bahkan belum terakreditasi (Data 2013). Hal ini dapat bermakna positif jika

terlaksana sesuai harapan. Tidak ada lagi fakultas yang menerima mahasiswa secara besar-

besaran hanya untuk kepentingan beberapa kalangan.

Tes seleksi masuk mahasiswa kedokteran juga akan mengalami perubahan besar. Tes

seleksi tidak lagi hanya melihat kemampuan akademik calon mahasiswa. Melainkan juga melihat

tes bakat dan tes kepribadian yang sudah tertuang pada pasal 27 UU Dikdok 2013

(1) Calon mahasiswa harus lulus seleksi penerimaan sesuai dengan ketentuan Peraturan

Perundang-undangan.

(2) Selain lulus seleksi penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon mahasiswa

harus lulus tes bakat dan tes kepribadian.

Namun model pelaksanaannya belum diatur dengan detailnya. Usul yang sekarang beredar

adalah setelah lolos tes kemampuan akademik, calon mahasiswa akan di tes bakat dan

kepribadian. Ketika semuanya lolos baru dia dapat dimenyandang predikat mahasiswa

kedokteran.

UKDI / Exit Exam

Ketika kita kembali membahas kuota penerimaan mahasiswa maka salah satu tolak ukur

yang akan digunakan adalah tingkat kelulusan UKDI. UKDI (uji Kompetensi Dokter Indonesia)

ditujukan untuk 1) menjamin lulusan pendidikan tinggi kedokteran yang kompeten dan

terstandar secara nasional, 2) menguji sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai dasar untuk

praktik kedokteran dan dalam jangka panjang, 3) mendorong pembelajaran sepanjang hayat, dan

4) sebagai metode asesmen untuk memastikan pengelolaan pasien yang aman dan efektif di

Indonesia. Proses ini harus ditempuh sebagai syarat untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi

dari KKI. Sudah sejak tahun 2007 UKDI dilaksanakan namun program ini masih memiliki

banyak kekurangan. Data terakhir pada bulan mei 2013 menyebutkan bahwa masih terdapat

Page 5: Kajian sekaligus notulensi keterkaitan akreditasi, exit exam dan kuota mahasiswa baru

Mengakar di tatanan lokal, kokoh di tatanan nasional, bersuara di tatanan internasional

lebih dari 1700 retaker (dokter yang belum lulus UKDI). Hal tersebut mengakibatkan

banyaknya lulusan dokter yang menganggur karena belum bisa melakukan praktik

kedokteran. Dari sisi lain, nasib beberapa retaker tersebut kurang diperhatikan oleh institusi

pendidikannya karena dianggap sudah lulus dari institusi pendidikannya. Maka dari itu pada

UU Dikdok 2013 pasal 36 dipertegaslah permasalahan ini

(1) Untuk menyelesaikan program profesi dokter atau dokter gigi, Mahasiswa harus lulus

uji kompetensi yang bersifat nasional sebelum mengangkat sumpah sebagai Dokter

atau Dokter Gigi

(2) Mahasiswa yang lulus uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

memperoleh sertifikat profesi yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi.

(3) Uji kompetensi Dokter atau Dokter Gigi sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dilaksanakan oleh Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi bekerja

sama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan

berkoordinasi dengan Organisasi Profesi.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan uji kompetensi

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.

Hal ini selaras dengan kebijakan DITJEN DIKTI : UKDI sebagai Exit Exam (SE No.

88/E/DT/2013, 1 Februari 2013)

(1) Bidang Kedokteran memerlukan uji kompetensi dengan standar nasional sebagai bagian

dari sistem penjaminan mutu yang bertujuan pada penjaminan keselamatan pasien

(2) Untuk itu, uji kompetensi memerlukan metode yang tepat dalam menguji knowledge,

skills dan attitude, melalui CBT dan OSCE

(3) Uji kompetensi dilaksanakan pada tahap akhir pendidikan profesi sebagai exit exam,

dengan mempertimbangkan :

Pentingnya academic professional environment

Peran uji kompetensi sebagai feedback mutu proses pembelajaran

Mendukung integrasi sistem pendidikan-pelayanan

Page 6: Kajian sekaligus notulensi keterkaitan akreditasi, exit exam dan kuota mahasiswa baru

Mengakar di tatanan lokal, kokoh di tatanan nasional, bersuara di tatanan internasional

(4) Oleh karena itu, pembiayaan uji kompetensi masuk dalam pembiayaan pendidikan

Sehingga dapat disimpulkan bahwa UKDI tetap diselenggarakan oleh lembaga nasional dibawah

Lembaga Penyelenggara Uji Kompetensi (LPUK), dan ujian ini dianggap sebagai exit exam dari

masing-masing institusi pendidikan dokter dalam artian dilaksanakan setelah periode pendidikan

klinik (profesi) dan sebelum disumpah dokter dengan tujuan untuk tetap terstandar secara

nasional dengan tetap dalam payung tanggung jawab masing-masing fakultas

kedokteran/institusi.

ISMKI lewat Muktamar VII AIPKI juga mengajukan beberapa usulan terkait UKDI yaitu

untuk diadakannya bimbingan UKDI baik CBT maupun OSCE secara Nasional oleh setiap

institusi, dan juga meminta institusi untuk mengadakan Try Out UKDI secara berkala dan

berjenjang (selain Try Out Nasional oleh pemerintah). Dan hal tersebut sudah dimasukkan dalam

rekomendasi Muktamar VII AIPKI.

Satu hal yang menarik disini adalah keterkaitan mahasiswa asing yang menempuh

pendidikan kedokteran di Indonesia, apakah mereka juga harus mengikuti exit exam?. Beberapa

dekan yang di universitasnya menerima mahasiswa asing menyatakan bahwa mahasiswa asing

tetap mengikuti exit exam, sehingga mereka akan mendapatkan sertifikat profesi yang

dikeluarkan oleh institusi, namun terkait dengan STR bagi mahasiswa asing yang berencana

untuk bekerja di Indonesia, mereka diharuskan untuk mengikuti persyaratan layaknya dokter

asing yang akan bekerja di Indonesia. ini merupakan salah satu filter bagi tenaga asing terutama

dokter untuk bekerja di Indonesia, mengingat AFTA 2015 sudah semakin dekat, dengan

konsekuensi banjir tenaga asing yang masuk ke Indonesia. Data tenaga kerja asing di Indonesia

(5 negara tertinggi 1 januari-31 Agustus 2013, data kementrian tenaga kerja dan transmigrasi) :

Negara Jumlah

RRC 10.291

Jepang 9.788

Korea Selatan 6.013

Page 7: Kajian sekaligus notulensi keterkaitan akreditasi, exit exam dan kuota mahasiswa baru

Mengakar di tatanan lokal, kokoh di tatanan nasional, bersuara di tatanan internasional

India 3.888

Malaysia 3.425

Maka dari itu tugas kita bersama sebagai calon dokter Indonesia untuk dapat meningkatkan daya

jual dan daya saing (kompetensi) agar tidak kalah dengan para dokter lulusan luar negeri.

Akreditasi FK di Indonesia

Berdasarkan peraturan perundang-undangan, akreditasi dilakukan untuk menentukan

kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan nonformal pada

setiap jenjang dan jenis pendidikan, sebagai bentuk akuntabilitas publik. Akreditasi dilakukan

oleh Pemerintah atau lembaga mandiri yang diberi kewenangan oleh Pemerintah untuk

melakukan akreditasi secara obyektif, adil, transparan, dan komprehensif dengan menggunakan

instrumen dan kriteria yang mengacu kepada Standar Nasional Pendidikan. Untuk program

dan/satuan pendidikan pada jenjang perguruan tinggi, ditetapkan bahwa akreditasi dilakukan

oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) (UU No.20/2003 Pasal 60 dan PP

No.19/2005 Pasal 86,87 dan 88)

Seperti sudah dipaparkan sebelumnya,terkait jumlah fakultas kedokteran atau program

studi kedokteran yang sudah berstatus terakreditasi, dan juga akreditasi kedepan memiliki porsi

yang penting dalam penentuan banyak hal.

Seperti halnya keterkaitan antara akreditasi dan juga tantangan dokter Primer kedepan pada era

SJSN. Pada UU Dikdok pasal 1 ayat 9 menyebutkan :

(9) Dokter adalah dokter, dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis lulusan

pendidikan dokter, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diakui oleh Pemerintah.

Ditambahkan pada Pasal 8

(1) Program dokter layanan primer, dokter spesialis- subspesialis, dan dokter gigi

spesialis-subspesialis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5) huruf b hanya

dapat diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi yang

memiliki akreditasi kategori tertinggi untuk program studi kedokteran dan program

Page 8: Kajian sekaligus notulensi keterkaitan akreditasi, exit exam dan kuota mahasiswa baru

Mengakar di tatanan lokal, kokoh di tatanan nasional, bersuara di tatanan internasional

studi kedokteran gigi.

(2) Dalam hal mempercepat terpenuhinya kebutuhan dokter layanan primer, Fakultas

Kedokteran dengan akreditas kategori tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dapat bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran yang akreditasinya setingkat lebih

rendah dalam menjalankan program dokter layanan primer.

(3) Program dokter layanan primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan

kelanjutan dari program profesi dokter dan program internsip yang setara dengan

program dokter spesialis.

Sehingga ketika kita lulus menjadi dokter dengan lama studi kurang lebih 5 tahun dan

berkeinginan bekerjasama dengan pemerintah untuk era SJSN maka kita dituntut untuk

menambah lagi 2 tahun dalam rangka menempuh pendidikan formal menjadi dokter layanan

primer yang dianggap setara dengan dokter spesialis. Dokter layanan primer memiliki

kompetensi lebih daripada dokter umum dalam hal manajemen komunitas dan kemampuan

menangani penyakit pada layanan primer. Peningkatan kompetensi dan penyetaraan jenjang

dengan dokter spesialis diharapkan mampu menarik dokter umum dikarenakan akan

mendapatkan penghargaan finansial dan akademik yang lebih tinggi.

Namun ketika kita menilik kembali ayat 1, dikatakan bahwa yang dapat

menyelenggarakan program dokter layanan primer adalah FK dengan akreditasi A ( tertinggi )

ditambahkan pada ayat 2 dapat dibantu oleh FK yang akreditasinya setingkat lebih rendah atau

dalam artian FK dengan akreditasi B. Kembali mengingatkan FK dengan akreditasi A hanya 17

dan B hanya 21 institusi. Katakanlah semua FK tersebut menampung jumlah maksimal sesuai

dengan ketentuan penerimaan mahasiswa baru ((Ax250)+(Bx150)=(17x250)+(21x150)=7.400

mahasiswa) hanya 7.400 dokter yang bisa menempuh pendidikan dokter layanan primer, lalu

bagaimana dengan beribu lulusan dokter lainnya? sedangkan pada era SJSN tuntutan untuk

menjadi dokter layanan primer sangatlah dibutuhkan, dikarenakan masyarakat akan lebih

memilih berobat gratis dengan JKN dibandingkan harus membayar ke praktik dokter umum

ataupun ke RS swasta yang tidak bekerjasama dengan JKN.( Terkait dengan pembahasan dokter

layanan primer akan dibahas dikajian yang terpisah).

Page 9: Kajian sekaligus notulensi keterkaitan akreditasi, exit exam dan kuota mahasiswa baru

Mengakar di tatanan lokal, kokoh di tatanan nasional, bersuara di tatanan internasional

Pada forum Muktamar AIPKI VII 2013 juga disampaikan bahwa ada tuntutan untuk FK

yang belum diakreditasi agar menyelesaikan proses akreditasinya maksimal pada tahun ajaran

2014 mendatang. Ditambahkan bahwa 5 tahun kedepan bagi yang masih berstatus program studi

pendidikan dokter di dorong untuk lebih cepat menjadi bentuk Fakultas Kedokteran.

Permasalahan yang timbul adalah ketidakjelasan dan sering berubahnya instrument

akreditasi dari BAN-PT untuk program studi kedokteran. Bahkan di web BAN-PT,

pemberitahuan tanggal 10 September 2013 yang menyatakan bahwa “Untuk sementara

Instrumen Akreditasi program studi : (i) Kedokteran Gigi, (ii) Kedokteran, (iii) Kedokteran

Hewan, dan (iv) Magister PTJJ kami off-kan dulu dari web BAN-PT untuk dilakukan

penyempurnaan. Segera setelah dilakukan penyempurnaan, Instrumen Akreditasi tersebut akan

kami upload kembali di web BAN-PT “ . Disampaikan oleh WD3 FK UMI bahwa beberapa kali

sudah FK UMI mengajukan Borang akreditasi namun beberapa kali pula dikembalikan karena

perubahan instrument yang terkesan dadakan. Instrument akreditasi yang telah disempurnakan

juga belum jelas kapan akan dipublish. Padahal tuntutan akreditasi semakin mendesak. Dalam

tantangan ini mahasiswa juga memiliki peran yang penting.(Terkait dengan peran mahasiswa

dalam proses akreditasi akan dibahas dalam kajian terpisah)

Akreditasi mendatang bukan hanya dilaksanakan oleh BAN-PT, namun dari sisi external

juga akan dibantu dengan LAMPT-KES (Lembaga Akreditasi Mandiri Perguruan Tinggi

Kesehatan). Namun sampai saat ini terkait LAMPT-KES belum juga disosialisasikan, hal ini

juga didasarkan pada kenyataan akan status badan hukum LAMPT-KES sendiri. Namun

diharapkan pada tahun 2014 lembaga ini sudah mulai beroperasi. (info terkait dapat dibuka di

http://lamptkes.org)

Kedepan akreditasi juga hanya dilaksanakan 1 kali untuk 2 jenjang yakni

preklinik/akademik dan juga klinik/profesi. Tidak menutup kemungkinan bahwa akreditasi

preklinik/akademik A namun akreditasi klinik/profesi B.

Dalam forum tersebut para dekanat juga menyatakan bahwa mereka mengharapkan

adanya peningkatan mutu dan kualitas (akreditasi) FK yang sudah berdiri, bukan menyelesaikan

Page 10: Kajian sekaligus notulensi keterkaitan akreditasi, exit exam dan kuota mahasiswa baru

Mengakar di tatanan lokal, kokoh di tatanan nasional, bersuara di tatanan internasional

masalah kuota mahasiswa calon dokter dengan membuka FK yang baru lagi. Hal ini rasanya

sindiran akan Surat Edaran DIKTI No:576/E/HK/2013 poin 7 yang menyatakan “Sebagai

konsekuensi dari ketentuan kuota penerimaan mahasiswa baru sebagaimana dimaksud pada

angka 4 maka jumlah mahasiswa yang diterima masuk ke Program studi Kedokteran akan

menurun, sehingga dapat dibuka beberapa program studi baru di beberapa perguruan tinggi

yang telah mengusulkan dan memenuhi syarat”