KAJIAN PRAGMATIK KONTEKS EKSTRALINGUISTIK ...cuplikan pertuturan antara dokter dengan pasien yang...

269
i KAJIAN PRAGMATIK KONTEKS EKSTRALINGUISTIK DALAM PERTUTURAN ANTARA DOKTER DENGAN PASIEN: STUDI KASUS SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia Oleh: Anastasia Wilis Novita 151224035 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2019 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Transcript of KAJIAN PRAGMATIK KONTEKS EKSTRALINGUISTIK ...cuplikan pertuturan antara dokter dengan pasien yang...

  • i

    KAJIAN PRAGMATIK KONTEKS EKSTRALINGUISTIK

    DALAM PERTUTURAN ANTARA DOKTER DENGAN PASIEN: STUDI KASUS

    SKRIPSI

    Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

    Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia

    Oleh:

    Anastasia Wilis Novita

    151224035

    PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA

    JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

    FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

    UNIVERSITAS SANATA DHARMA

    YOGYAKARTA

    2019

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • iv

    HALAMAN PERSEMBAHAN

    Dengan penuh rasa syukur, saya mempersembahkan karya tulis ini kepada:

    Kedua orang tua, bapak Antonius Sudaryatno dan ibu Fransisca Ida Mardiyati yang kasih dan

    pengorbanannya tidak pernah cukup saya balas dengan apapun.

    Kepada diri saya sendiri, Anastasia Wilis Novita, terima kasih sudah mau berjuang

    menyelesaikan skripsi ini. Pendekar juarakkkk :*

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • v

    MOTTO

    “Sek penting semangat karo yakin. Mlaku wae terus, aja ndelok mburi.

    Wes, Gusti mberkahi, ndhuk!”

    -Bapak-

    “Pokoke yakin, Tuhan mesthi memberi kemudahan dan kelancaran untuk semuanya. Semangat,

    ndhuk!”

    -Ibuk-

    “Iki koe meh neng Yoja meneh? Tugasmu i kok ra rampung-rampung ta?

    Isih kurang apa ta?”

    -Simbah-

    “Skripsi ini pantas diperjuangkan. Menuju wilis jadi obat luar dalam. Yo gas yo.”

    -Wilis-

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • viii

    ABSTRAK

    Novita, Wilis Anastasia. Kajian Pragmatik Konteks Ekstralinguistik dalam Pertuturan

    antara Dokter dengan Pasien: Studi Kasus. Skripsi. Yogyakarta: PBSI, JPBS,

    FKIP, USD.

    Pragmatik menurut Parker (1986) adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur

    bahasa secara eksternal. Definisi pragmatik dalam bahasa lain dapat disimpulkan bahwa

    pragmatik adalah ilmu bahasa yang mempelajari bahasa dan kaitannya dengan unsur-unsur di

    luar kebahasaan. Salah satu unsur di luar kebahasaan tersebut adalah konteks. Konteks hadir

    melatarbelakangi kegiatan pertuturan. Terdapat empat konteks yang dibahas dalam penelitian ini,

    di antaranya konteks sosial, konteks sosietal, konteks kultural dan konteks situasional.

    Penelitian ini membahas kajian pragmatik konteks ekstralinguistik dalam pertuturan

    antara dokter dengan pasien. Tujuan dari penelitian ini yaitu, (1) mendeskripsikan elemen

    konteks ekstralinguistik dalam pertuturan antara dokter dengan pasien, (2) mendeskripsikan

    fungsi elemen konteks ekstralinguistik dalam pertuturanantara dokter dengan pasien. Jenis

    penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini adalah

    dokter dengan pasien di Bidan Praktik Mandiri Leny Indrawati. Data dari penelitian ini berupa

    cuplikan pertuturan antara dokter dengan pasien yang mengandung konteks ekstralinguistik.

    Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode simak dengan teknik Simak Libat

    Cakap (SLC) reseptif, rekam dan catat. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan

    teknik analisis deskripstif.

    Hasil dari penelitian ini mengarah pada dua hal yaitu elemen konteks dan fungsi konteks.

    Berdasarkan data yang didapat oleh peneliti, terdapat 12 cuplikan pertuturan dengan elemen

    konteks sosietal (OOEMAUBICARA), 5 cuplikan pertuturan dengan elemen konteks sosial

    (OOEMAUBICARA), 8 cuplikan pertuturan dengan elemen konteks kultural (SPEAKING) dan

    5 cuplikan pertuturan dengan elemen konteks situasional (penutur dan lawan tutur, konteks

    tuturan, tujuan tuturan, tuturan sebagai bentuk tindakan dan tuturan sebagai produk tindak

    verbal) Pada poin fungsi elemen konteks, peneliti menemukan 4 fungsi elemen konteks yaitu

    memberikan informasi kondisi mitra tutur, memberi informasi rinci, memberi informasi

    tambahan dan memberi informasi sebab terjadinya pertuturan.

    Kunci: elemen konteks, fungsi konteks, sosial, sosietal, kultural, situasional

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • ix

    ABSTRACT

    Novita, Wilis Anastasia. Pragmatics Study In Extralinguistic Context Of Speech Between

    Doctors and Patients: Case Study. Thesis. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP,

    USD.

    According to Parker (1986), pragmatics is a branch of language science which study

    external language structure. The definition of pragmatics in other languages can be concluded

    that pragmatics is a language science of language that studies language and its relation to

    external elements of language. One of the external elements of language is context. Context

    presents behind the activities of speech. There are four contexts discussed in this study, they are

    social context, societal context, cultural context and situational context.

    This study discusses pragmatics study in extralinguistic context of speech between

    doctors and patients. The purpose of this study are, (1) to describe the elements of the

    extralinguistic context in the conversation between doctors and patients, (2) to describe the

    function of the elements of the extralinguistic context in the conversation between doctors and

    patients. The type of this research is a descriptive qualitative research. The data were obtained

    from the conversation between a doctor and the patients in Bidan Praktik Mandiri Leny

    Indrawati. The data of this study were audio recording of a conversation between a doctor and

    patients containing an extralinguistic context. To collect the data, the researcher used referral

    method with the reseptive Simak Libat Cakap (SLC), audio recording and writting as the

    technique. Then, the data were analysed using descriptive analysis techniques.

    The result of this study led to two things, namely context element and context function.

    Based on the data gathered by the researcher, there were 12 speech snippets with societal

    context element (OOEMAUBICARA), 5 speech snippets with social context element

    (OOEMAUBICARA), 8 speech snippets with cultural context element (SPEAKING), and 5

    speech snippets with situational context with situational context element (speaker and listener,

    speech context, speech purpose, speech as an action, and speech as a product of verbal act). In

    the context element function, the researcher found 4 context element functions, they were giving

    information about speaking partner’s condition, giving detailed information, giving additional

    information, and giving the reason of a speech.

    Keywords: context elemetn, context function, social, societal, cultural, situational

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • x

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa berkat karunia-Nya, penulis dapat

    menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kajian Pragmatik Konteks Ekstralinguistik Pertuturan

    antara Dokter dengan Pasien: Studi Kasus” dengan baik dan lancar. Penyusunan skripsi ini

    sebagai wujud pemenuhan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan

    Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia pada Fakultas Keguruan dan Ilmu

    Pendidikan Universitas Sanata Dharma.

    Penulis menyadari bahwa proses penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai

    pihak sehingga penulis dapat menyelesaikan dengan lancar. Oleh karena itu, pada kesempatan ini

    penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan,

    bimbingan, motivasi, dan kerja sama dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini. Sehubungan

    dengan hal tersebut, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

    1. Dr. Yohanes Harsoyo, S. Pd., M. Si., selaku dekan FKIP Universitas Sanata Dharma

    Yogyakarta.

    2. Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum., selaku Kaprodi PBSI yang telah memberikan

    motivasi kepada penulis selama menyelesaikan skripsi.

    3. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum., selaku dosen pembimbing yang dengan sabar selalu

    membimbing, mengarahkan, memotivasi dan mendukung proses pengerjaan skripsi.

    4. Dr. Yuliana Setyaningsih, M.Pd., selaku triangulator yang turut membantu penulis

    menyelesaikan skripsi.

    5. Seluruh dosen PBSI yang telah mendidik dengan sabar, berbagi ilmu dan pengalaman

    selama penulis menempuh pendidikan di PBSI Universitas Sanata Dharma.

    6. Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang telah menyediakan buku-buku sebagai

    penunjang penulis menyelesaikan skripsi.

    7. Bidan Praktik Mandiri Leny Indrawati yang telah mengijinkan penulis melakukan

    pencarian data yang mendukung proses penulisan skripsi.

    8. Theresia Rusmiyati, selaku karyawati sekretariat PBSI yang telah membantu penulis

    dalam hal administrasi yang mendukung proses pengerjaan skripsi.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • xii

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i

    HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................... ii

    HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iii

    HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................................... iv

    HALAMAN MOTTO ......................................................................................... v

    PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ............................................................. vi

    PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA UNTUK

    KEPENTINGAN AKADEMIS .......................................................................... vii

    ABSTRAK ........................................................................................................... viii

    ABSTRACT .......................................................................................................... ix

    KATA PENGANTAR ......................................................................................... x

    DAFTAR ISI........................................................................................................ xi

    BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

    1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................................. 1

    1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................... 5

    1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................................ 6

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • xiii

    1.4 Manfaat Penelitian .......................................................................................... 6

    1.5 Batasan Istilah ................................................................................................. 7

    BAB II STUDI KEPUSTAKAAN .............................................................. 11

    2.1 Penelitian yang Relevan ........................................................................... 11

    2.2 Landasan Teori ........................................................................................ 14

    2.2.1 Pragmatik .............................................................................................. 14

    2.2.2 Konteks ................................................................................................. 17

    2.2.3 Elemen dan Fungsi Konteks Kultural ................................................... 19

    2.2.4 Elemen dan Fungsi Konteks Sosial ...................................................... 24

    2.2.5 Elemen dan Fungsi Konteks Sosietal.................................................... 35

    2.2.6 Elemen dan Fungsi Konteks Situasional .............................................. 46

    2.3 Kerangka Berpikir .................................................................................... 52

    BAB III METODOLOGI PENELITIAN .................................................. 55

    3.1 Jenis Penelitian ........................................................................................ 55

    3.2 Sumber Data dan Data ............................................................................. 55

    3.3 Objek Penelitian ....................................................................................... 56

    3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ................................................... 56

    3.5 Metode dan Teknik Analisis Data ........................................................... 59

    3.6 Trianggulasi Data ..................................................................................... 61

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • xiv

    BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ........................... 62

    4.1 Deskripsi Data .......................................................................................... 62

    4.1.1 Konteks Kultural ............................................................................. 64

    4.1.1.1 Elemen Konteks Kultural .................................................... 64

    4.1.2 Konteks Sosial ................................................................................ 67

    4.1.2.1 Elemen Konteks Sosial ........................................................ 67

    4.1.3 Konteks Sosietal ............................................................................. 72

    4.1.3.1 Elemen Konteks Sosietal ..................................................... 72

    4.1.4 Konteks Situasional ........................................................................ 76

    4.1.4.1 Elemen Konteks Situasional ................................................. 77

    4.1.5 Fungsi Konteks Kultural ................................................................ 81

    4.1.6 Fungsi Konteks Situasional ............................................................ 83

    4.1.7 Fungsi Konteks Sosial ................................................................... 85

    4.1.8 Fungsi Konteks Sosietal ................................................................ 87

    4.2 Analisis Data ............................................................................................ 89

    4.2.1 Elemen Konteks Kultural................................................................ 89

    4.2.1.1 Elemen Konteks SPEAKING .............................................. 90

    4.2.2 Elemen Konteks Situasional ........................................................... 100

    4.2.2.1 Elemen Konteks Situasional yang Hadir secara

    Konsisten ................................................................................ 101

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • xv

    4.2.2.2 Elemen Konteks Situasional yang Hadir secara Tidak

    Konsisten .............................................................................. 109

    4.2.3 Elemen Konteks Sosial ................................................................... 111

    4.2.3.1 Unsur Elemen yang Hadir Secara Konsisten ....................... 112

    4.2.3.2 Unsur Elemen yang Hadir Secara Tidak Konsisten ............. 131

    4.2.4 Elemen Konteks Sosietal ................................................................. 133

    4.2.4.1 Unsur Elemen yang Hadir Secara Konsisten ....................... 133

    4.2.4.2 Unsur Elemen yang Hadir Secara Tidak Konsisten ............. 151

    4.2.5 Fungsi Konteks Kultural ................................................................. 153

    4.2.5.1 Fungsi Memberi Informasi Kondisi Peserta Tutur ............... 153

    4.2.5.2 Fungsi Memberi Informasi Rinci ......................................... 155

    4.2.6 Fungsi Konteks Situasional ............................................................. 156

    4.2.6.1 Fungsi Memberi Informasi Kondisi Peserta Tutur .............. 156

    4.2.6.2 Fungsi Memberi Informasi Rinci ........................................ 158

    4.2.6.3 Fungsi Memberi Informasi Tambahan ................................ 160

    4.2.7 Fungsi Konteks Sosial ..................................................................... 162

    4.2.7.1 Fungsi Memberi Informasi Kondisi Peserta Tutur ............... 162

    4.2.7.2 Fungsi Memberi Informasi Rinci ......................................... 164

    4.2.8 Fungsi Konteks Sosietal .................................................................... 165

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • xvi

    4.2.8.1 Fungsi Memberi Informasi Kondisi Peserta Tutur ............... 166

    4.2.8.2 Fungsi Memberi Informasi Rinci ......................................... 167

    4.2.8.3 Fungsi Memberi Informasi Sebab Terjadinya

    Tuturan ............................................................................... 169

    4.2.8.3 Fungsi Memberi Informasi Tambahan ................................. 171

    4.3 Pembahasan ............................................................................................. 173

    BAB V PENUTUP ....................................................................................... 177

    5.1 Simpulan .................................................................................................. 177

    5.2 Saran ........................................................................................................ 179

    DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 180

    LAMPIRAN

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Bahasa adalah alat interaksi sosial atau alat komunikasi. Meskipun banyak

    alat komunikasi lain, nampaknya bahasa menjadi alat yang paling efektif untuk

    digunakan. Dalam poses memahami maksud berkomunikasi, partisipan pertuturan

    tidak cukup hanya memperhatikan tuturan kebahasaannya saja, tetapi juga

    memperhatikan segala aspek di luar kebahasaan yang berkaitan dan

    melatarbelakangi sebuah pertuturan. Menurut Abdul Chaer (2010) peristiwa tutur

    adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk

    ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur,

    dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat dan situasi tertentu. Salah satu

    contohnya dapat dilihat dari pertuturan antara dokter dengan pasien yang terjadi

    dalam sebuah ruang periksa, pada waktu pasien memiliki keluhan terkait dengan

    kesehatan tubuhnya, dengan situasi yang cukup tenang, peristiwa tersebut dapat

    disebut sebagai peristiwa tutur.

    Dalam setiap peristiwa tutur, penutur akan menyampaikan maksud dari

    pertuturannya dan mitra tutur akan memaknai informasi tuturan yang diujarkan

    oleh penutur melalui tafsirannya. Dalam ilmu kebahasaan, hal tersebut dipelajari

    dalam ilmu pragmatik. Menurut Kridalaksana (2003) pragmatik adalah aspek-

    aspek pemakaian bahasa atau konteks luar bahasa yang memberikan sumbangan

    pada makna ujaran dan syarat-syarat yang mengakibatkan serasi atau tidaknya

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 2

    pemakaian bahasa dalam komunikasi. Hal-hal di luar unsur kebahasaan tersebut

    disebut ekstralinguistik yang salah satu penandanya adalah konteks. Terdapat

    beberapa macam konteks, yaitu: konteks sosial, konteks sosietal, konteks kultural,

    dan situasional. Setiap konteks memiliki faktor atau elemen penanda yang khas

    pada setiap pertuturan.

    Konteks terdiri dari 4 macam, yaitu konteks sosial, konteks sosietal,

    konteks situasi dan konteks kultural. Mey dalam Rahardi (2003: 15)

    mengungkapkan konteks sosial merupakan konteks kebahasaan yang timbul

    sebagai akibat dari munculnya komunikasi dan interaksi antaranggota masyarakat

    dengan latar belakang sosial budaya yang sangat tertentu sifatnya.

    Mey dalam Rahardi (2003: 15) menyebutkan konteks sosietal adalah

    konteks yang faktor penentunya adalah kedudukan (rank) anggota masyarakat

    dalam institusi-institusi yang ada di dalam masyarakat sosial dan budaya tertentu.

    Konteks sosietal dalam kehidupan sehari-hari dapat dilihat pada pertuturan antara

    dosen dengan mahasiswa, guru dengan murid, maupun dokter dengan pasien.

    Sebagai salah satu contoh, seorang dokter yang melakukan diagnosa pada pasien

    pasti akan memberikan berbagai pertanyaan yang sesuai dengan keluhan yang

    disebutkan. Pada konteks ini, pasien tidak akan merasa terinterogasi akibat dari

    pertanyaan yang disampaikan oleh dokter. Penutur menggunakan wewenangnya

    sebagai seorang dokter yang harus mendiagnosa penyakit pasien (mitra tutur)

    dengan cara menanyainya, sedangkan pasien juga tidak akan merasa keberatan

    memberi tahu keluhannya karena pasien membutuhkan bantuan dokter.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 3

    Selain kedua konteks tersebut, penelitian ini juga menggunakan dua

    konteks lain yaitu konteks situasi dan konteks kultural. Halliday dan Hassan

    dalam Baryadi (2015: 22) menyebutkan konteks situasi adalah lingkungan

    langsung tempat teks itu berfungsi. Apabila dikaitkan dengan penelitian ini, yang

    dimaksud dengan teks adalah pertuturan antara dokter dan pasien, lingkungan

    pertuturan terjadi di dalam ruang periksa sebuah klinik dengan pokok pembahasan

    bersifat memaparkan, mendengarkan dan menjelaskan. Konteks yang keempat,

    penelitian ini menggunakan konteks kultural, dimana Halliday (1898)

    menyebutkan bahwa konteks kultural adalah the institusional and ideological

    background that give value to the text and contrains its interpretation. Pernyataan

    tersebut peneliti simpulkan bahwa konteks kultural berperan sebagai latar

    belakang institusional dan ideologikal yang memberi nilai pada sebuah teks,

    termasuk dengan interpretasinya. Pengertian teks pada penelitian ini merujuk pada

    pertuturan.

    Hymes (1974: 53-62) mengemukakan pendapatnya bahwa dalam sebuah

    pertuturan terdapat komponen yang kemudian dimemoteknik dan berbunyi

    “SPEAKING”. Berbeda dengan Hymes, Poedjosoedarmo (1985: 79-99)

    mengemukakan pendapatnya bahwa elemen atau faktor penanda sebuah

    pertuturan memiliki 12 elemen yang kemudian dimemoteknik yang berbunyi “O,

    O, E MAU BICARA”. Beberapa pakar lain juga turut menyumbangkan

    gagasannya terkait dengan elemen konteks dalam pertuturan. Dalam penelitian

    yang peneliti lakukan, elemen-elemen konteks tersebut akan menjadi piranti

    analisis dari data (pertuturan) yang didapat selama proses pengambilan data.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 4

    Peneliti beberapa kali mengamati pertuturan antara dokter dengan

    pasiennya. Kepentingan bertutur antara dokter dengan pasien juga beragam.

    Beberapa pasien datang sebagai pasien awal dan beberapa lainnya datang

    melanjutkan konsul kesehatan yang sudah berjalan. Sebagian besar pasien berasal

    dari daerah. Rata-rata rumah para pasien tidak terlalu jauh dari klinik. Peneliti

    mengamati bahwa pertuturan mereka satu dengan yang lainnya memiliki maksud

    dan tujuan yang berbeda. Peneliti beranggapan bahwa konteks menjadi hal utama

    yang melatarbelakanginya. Dalam kegiatan bertutur, apabila partisipan (penutur

    dan mitra tutur) memperhatikan konteks, maka pertuturan akan berjalan dan

    sampai pada maksud yang dituju. Dokter yang memahami konteks pembicaraan

    akan memahami apa yang dibicarakan oleh pasien, begitu pula sebaliknya. Pasien

    akan mencoba memahami maksud dari tuturan yang diujarkan oleh dokter. Salah

    satu contoh konkret pertuturan antara dokter dengan pasiennya terjadi pada

    pertuturan berikut:

    Data tuturan 21:

    Dokter : pripun, mbah? Napa ingkang diraoske?

    Pasien : niki lho, bu, riki, riki, kalih riki kula tengsrenut nika.

    (sambil menepuk bagian tubuh tengkuk, pundak dan paha)

    Wah jan, rasane racetha nika.

    Dokter : oh lha pripun, bu?? Cobi sarean rumiyin dipuntensi.

    Berdasarkan cuplikan pertuturan di atas, tertulis bahwa pasien hanya

    menyebut istilah dalam bahasa Jawa “riki, riki, kalih riki kula tengsrenut nika”

    untuk menunjukkan bagian dari tubuhnya yang sakit. Apabila kita hanya melihat

    bagian dari teks pertuturan, maka kita akan kebingungan untuk mengetahui

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 5

    maksud yang ingin disampaikan oleh pasien, namun dalam cuplikan pertuturan

    tersebut mengandung konteks yang membantu dokter memahami maksud pasien.

    Berawal dari beberapa fakta dalam contoh petikan pertuturan antara dokter

    dan pasien tersebut, kentalnya konteks (dalam hal ini konteks situasi)

    melatarbelakangi pertuturan dan hal ini menarik perhatian peneliti sehingga

    peneliti tertarik untuk mengamati konteks dengan objek penelitian dokter dengan

    pasien. Mengapa memilih dokter dan pasien sebagai objek penelitian? Karena

    peneliti menganggap pertuturan dokter dengan pasien memili ciri khas tersendiri

    yang pasti akan sangat berbeda jika dibandingkan dengan pertuturan antara guru

    dengan siswa, dosen dengan mahasiswa maupun pedagang dengan pembeli.

    Peneliti berharap bahwa penelitian ini kedepannya akan menambah wawasan

    banyak orang terkait dengan pertuturan dokter dengan pasien. Peneliti ingin

    mengetahui lebih dalam lagi elemen konteks apa saja yang mempengaruhi

    terjadinya pertuturan antara dokter dengan pasiennya.

    1.2 Rumusan Masalah

    Berdasarkan uraian latar belakang di atas, masalah utama penelitian ini adalah

    “Bagaimanakah kajian pragmatik konteks ekstralinguistik dalam pertuturan antara

    dokter dengan pasien: studi kasus?” Atas dasar rumusan masalah tersebut,

    kemudian dijabarkan sub masalah sebagai berikut:

    1. Apa sajakah elemen konteks ekstralinguistik dalam pertuturan antara

    dokter dengan pasien?

    2. Apa sajakah fungsi konteks ekstralinguistik dalam pertuturan antara

    dokter dengan pasien?

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 6

    1.3 Tujuan Penelitian

    Berdasarkan rumusan masalah penelitian tersebut, peneliti merumuskan tujuan

    penelitian sebagai berikut:

    1. Mendeskripsikan elemen kajian pragmatik konteks ekstralinguistik

    dalam pertuturan antara dokter dengan pasien.

    2. Mendeskripsikan fungsi kajian pragmatik konteks ekstralinguistik

    dalam pertuturan antara dokter dengan pasien.

    1.4 Manfaat Penelitian

    Penelitian tentang kajian pragmatik konteks ekstralinguistik dalam

    pertuturan antara dokter dengan pasien ini diharapkan dapat memberi manfaat

    bagi beberapa pihak. Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini sebagai

    berikut:

    1. Manfaat Teoretis

    Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian sebelumnya

    yang lebih menjelaskan secara mendalam terkait dengan fungsi dan

    elemen konteks ekstralinguistik. Penelitian ini diharapkan dapat

    memberikan sumbangan refrensi perkembangan ilmu pragmatik,

    khususnya pada ilmu mengenai elemen dan fungsi konteks ekstralinguistik

    dengan melihat dari teori dan hasil analisis yang berhasil disimpulkan dan

    ditemukan oleh peneliti.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 7

    2. Manfaat Praktis

    a. Bagi peneliti

    Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan,

    pengalaman dan sarana dalam menerapkan pengetahuan tentang

    pemahaman konteks dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam

    dunia pendidikan secara nyata.

    b. Bagi jurusan

    Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak

    jurusan dalam upaya meningkatkan kemampuan dan kompetensi

    dalam proses pembelajaran di Program Studi Pendidikan Bahasa

    Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas

    Sanata Dharma Yogyakarta.

    c. Bagi Masyarakat

    Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pengetahuan baru bahwa

    dokter dalam melakukan tugasnya memiliki kode etik yang resmi

    ditetapkan oleh IDI (Ikatan Dokter Indonesia) sehingga pasien tidak

    perlu ragu maupun takut untuk berkonsultasi dan bertutur kepada

    dokter.

    1.5 Batasan Istilah

    Penulis memberikan batasan istilah agar memiliki konsep yang digunakan

    dalam penelitian ini. Batasan istilah yang digunakan sebagai berikut:

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 8

    1. Pragmatik

    Parker (1986) di dalam buku yang berjudul Linguistic for Non-Linguis, secara

    tegas telah menyatakan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang

    mempelajari struktur bahasa secara eksternal. Adapun yang dimaksud dengan

    pernyataan Parker itu sesungguhnya adalah bagaimana satuan lingual tertentu

    dapat digunakan dalam praktik komunikasi dan interaksi yang sebenaranya

    pada suatu masyarakat. Pakar linguistik ini dengan tegas membedakan antara

    studi ilmiah bahasa pragmatik dengan studi tata bahasa atau gramatika bahasa

    yang dianggapnya sebagai studi ihwal seluk beluk bahasa secara internal,

    terlepas dari konteks situasi pemakainya di dalam masyarakat yang

    sesungguhnya.

    2. Konteks

    Tarigan (1987: 35) menyatakan bahwa konteks adalah latar belakang

    pengetahuan yang diperkirakan dimiliki dan disetujui bersama oleh pembicara

    atau penulis dan penyimak atau pembaca serta yang menunjang interpretasi

    penyimak atau pembaca terhadap apa yang dimaksud pembicara atau penulis

    dengan suatu ucapan tertentu.

    3. Konteks Ekstralinguistik

    Rahardi (2016: 3) menjelaskan bahwa konteks ekstralinguistik merupakan hal-

    hal di luar kebahasaan yang melatarbelakangi dalam sebuah pertuturan. Setiap

    pertuturan terjadi dengan latar belakang yang muncul dari luar aspek

    kebahasaan. Latar belakang inilah yang disebut dengan konteks

    ekstralinguistik. Partisipan dalam sebuah pertuturan akan dapat mentransfer

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 9

    dan menerima makna setiap pesan dengan didukung konteks ekstralinguistik

    yang melatarbelakanginya.

    4. Konteks Sosial

    Mey dalam (Rahardi, 2003: 15) mengungkapkan konteks sosial merupakan

    konteks kebahasaan yang timbul sebagai akibat dari munculnya komunikasi

    dan interaksi antaranggota masyarakat dengan latar belakang sosial budaya

    yang sangat tertentu sifatnya.

    5. Konteks Sosietal

    Mey (Rahardi, 2003: 15) mengungkapkan konteks sosietal merupakan konteks

    yang faktor penentunya adalah kedudukan sosial relatif (relative sosial rank)

    setiap anggota masyarakat di dalam institusi-institusi yang ada pada

    masyarakat dan lingkungan sosial tertentu. Konteks sosietal muncul karena

    adanya kekuasaan (power) antarpartisipan dalam sebuah pertuturan.

    6. Konteks Situasional

    Menurut Leech dalam (Rahardi, 2003: 18) memaparkan bahwa konteks

    situasi tuturan adalah aneka macam kemungkinan latar belakang

    pengetahuan (background knowledge) yang muncul dan dimiliki bersama-

    sama baik oleh penutur maupun oleh mitra tutur, serta aspek-aspek non-

    kebahasaan lainnya yang menyertai, mewadahi serta melatarbelakangi

    hadirnya sebuah pertuturan tertentu.

    7. Konteks Kultural

    Halliday (1989) menyebutkan “Cultural context is the institusional and

    ideological backgound that give value to the text and constrain its

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 10

    interpretation.” Yang artinya kultural sebagai latar belakang institusional dan

    ideologis yang memberikan nilai pada tuturan yang harus diinterpretasikan

    karena menggambarkan kebudayaan.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 11

    BAB II

    STUDI KEPUSTAKAAN

    2.1 Penelitian yang Relevan

    Peneliti menemukan beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan

    penelitian yang akan dilakukan. Penelitian tersebut diantaranya adalah penelitian

    oleh Kristiana Jayanti Andang (2018), Pilipus Wai Lawet (2018), Lastri

    Rindiyantika (2018), Priscila Felicia Elu (2018). Keempat penelitian tersebut

    merupakan penelitian dengan topik yang sama, yakni sama-sama membahas

    tentang elemen dan fungsi konteks dalam menentukan maksud berkomunikasi.

    Penelitian dari saudari Kristiana Jayanti Andang berjudul “Kajian

    Elemen dan Fungsi Konteks Situasi dalam Menentukan Maksud Berbahasa

    Mahasiswa dan Dosen di Prodi PBSI Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

    Tahun Akademik 2017/2018”. Pada penelitian tersebut, saudari Kristiana Jayanti

    Andang mendeskripsikan apa saja elemen dan fungsi konteks situasi yang

    menentukan maksud berbahasa dengan objek mahasiswa dengan dosen di prodi

    PBSI Universitas Sanata Dharma. Adapun kesamaan dan perbedaan antara

    penelitian saya dengan penelitian tersebut adalah sama-sama meneliti elemen dan

    fungsi konteks, sedangkan perbedaannya terletak pada objek penelitiannya.

    Penelitian yang relevan berikutnya adalah penelitian dari saudara

    Pilipus Wai Lawet yang berjudul “Kajian Elemen dan Fungsi Konteks Sosial

    dalam Menentukan Maksud Berkomunikasi Antarmahasiswa dan Dosen Non-

    FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Tahun Akademik 2017/ 2018”.

    Pada penelitian tersebut, saudara Pilipus Wai Lawet meneliti mendeskripsikan

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 12

    tentang apa saja elemen dan bagaimana fungsi konteks sosial dalam menentukan

    maksud berkomunikasi antarmahasiswa dan dosen non-FKIP. Persamaan

    penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah sama-sama meneliti tentang

    elemen dan fungsi konteks, sedangkan perbedaannya terletak pada piranti analisis

    dan objeknya, dimana saudara Pilipus Wai Lawet menggunakan konteks sosial

    sebagai piranti analisisnya sedangkan saya konteks dan berbagai macamnya.

    Objek yang digunakan saudara Pilipus Wai Lawet pada penelitiannya juga

    berbeda dengan penelitian ini.

    Penelitian yang relevan berikutnya adalah penelitian dari saudari Lastri

    Rindiyantika yang berjudul “Kajian Elemen dan Fungsi Konteks Sosietal dalam

    Menentukan Maksud Berkomunikasi antara Mahasiswa dan Dosen FKIP

    Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Tahun Akademik 2017/ 2018”. Pada

    penelitian tersebut, saudari Lastri Rindiyantika meneliti mendeskripsikan tentang

    apa saja elemen dan bagaimana fungsi konteks sosietal dalam menentukan

    maksud berkomunikasi antarmahasiswa dan dosen FKIP. Persamaan penelitian ini

    dengan penelitian tersebut adalah sama-sama meneliti tentang elemen dan fungsi

    konteks, sedangkan perbedaannya terletak pada piranti analisis dan objeknya,

    dimana saudari Lastri Rindiyantika menggunakan konteks sosietal sebagai piranti

    analisisnya sedangkan peneliti pada penelitian ini menggunakan piranti analisis

    konteks dan berbagai macamnya. Objek yang digunakan saudari Lastri

    Rindiyantika pada penelitiannya juga berbeda dengan penelitian ini.

    Penelitian yang relevan selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan

    oleh saudari Priscila Felicia Elu yang berjudul “Kajian Elemen dan Fungsi

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 13

    Konteks Sosio-Kultural dalam Menentukan Maksud Berbahasa Para Mahasiswa

    Berlatar Belakang Kultur Jawa Prodi PBSI Universitas Sanata Dharma

    Yogyakarta pada Semester Gasal Tahun Akademik 2017/ 2018”. Pada penelitian

    tersebut, saudari Priscila Felicia Elu meneliti mendeskripsikan tentang apa saja

    elemen dan bagaimana fungsi konteks sosio-kultural dalam menentukan maksud

    berbahasa para mahasiswa berlatar belakang kultur Jawa Prodi PBSI Universitas

    Sanata Dharma Yogyakarta pada Semester Gasal Tahun Akademik 2017/ 2018”.

    Persamaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah sama-sama meneliti

    tentang elemen dan fungsi konteks, sedangkan perbedaannya terletak pada piranti

    analisis dan objeknya, dimana saudari Priscila Felicia Elu menggunakan konteks

    sosio-kultural sebagai piranti analisisnya sedangkan peneliti pada penelitian ini

    menggunakan piranti analisis konteks dan berbagai macamnya. Objek yang

    digunakan saudari Lastri Rindiyantika pada penelitiannya juga berbeda dengan

    penelitian ini.

    Secara keseluruhan, persamaan penelitian ini dengan keempat

    penelitian tersebut adalah sama-sama menganalisis konteks ekstralinguistik pada

    suatu tuturan, namun yang membedakan, keempat penelitian tersebut hanya

    menganalisis satu konteks pada setiap tuturan, sedangkan penelitian ini

    menganalisis empat konteks pada pertuturan dengan objek yang berbeda, yaitu

    pertuturan antara dokter dengan pasiennya.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 14

    2.2 Landasan Teori

    2.2.1 Pragmatik

    Pragmatik secara singkat dapat disebut sebagai ilmu dalam bidang

    bahasa yang berkaitan erat dengan unsur-unsur ekstralingual kebahasaan

    dalam penentuan maksud tuturan. Yule (1996: 3) mengklasifikasikan

    pengertian pragmatik ke dalam empat area yaitu:

    1) Pragmatics is the study of speaker meaning 2) Pragmatics is the study of contextual meaning 3) Pragmatics is the study of how more gets communicated than is

    said

    4) Pragmatics is the study of expression of relative distance

    Pengertian bahwa pragmatics is the study of speaker meaning mengarah

    pada makna yang dikomunikasikan oleh penutur dan ditafsirkan oleh

    pendengar atau mitra tutur. Dalam penelitian ini, penutur adalah seorang

    pasien dan mitra tutur adalah seorang dokter. Dalam pertuturan, pasien akan

    mengomunikasikan keluhan yang ia rasakan kepada dokter, sedangkan dokter

    akan mendengarkan dan menafsirkan (diagnosa) keluhan pasien tersebut

    untuk kemudian dilakukan tindakan lebih lanjut.

    Pada area kedua yaitu pragmatics is the study of contextual meaning

    mengarah pada interpretasi tentang apa yang penutur maksudkan dalam

    konteks tertentu dan bagaimana konteks tersebut mempengaruhi apa yang

    dikatakan. Dalam hal ini, konteks menjadi pertimbangan utama dalam sebuah

    pertuturan. Hal penting yang perlu dipertimbangkan adalah bagaimana

    pembicara mengatur apa yang ingin dia katakan sesuai dengan siapa yang

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 15

    mereka ajak bicara, di mana mereka berbicara, kapan mereka berbicara, dan

    dalam keadaan seperti apa mereka berbicara.

    Area berikutnya yaitu pragmatics is the study of how more gets

    communicated than is said yang mengarah pada bagaimana pendengar atau

    mitra tutur dapat membuat kesimpulan tentang apa yang dikatakan oleh

    penutur sesuai dengan interpretasi makna yang dimaksudkan. Pada pengertian

    ini, Yule menyakini bahwa pragmatik menjelaskan bahwa apa yang tidak

    dituturkan diakui sebagai bagian dari apa yang dikomunikasikan. Pada

    penelitian ini, situasi seperti ini dapat tercermin dalam komunikasi non verbal

    antara dokter dengan pasien. Beberapa pasien lanjut usia yang kesulitan

    menjelaskan keluhannya hanya akan menunjukkan dengan cara menepuk

    bagian tubuh mana yang dirasanya sakit supaya dokter dapat memahami

    maksud dari pasien.

    Area pragmatik menurut Yule yang terakhir bahwa pragmatics is the study

    of expression of relative. Pengertian ini merujuk pada kedekatan, baik secara

    fisik, sosial ataupun konseptual yang menyiratkan seberapa dekat atau jauh

    hubungan antara penutur dengan mitra tutur, sehingga penutur dapat

    menentukan hal apa saja yang perlu dibicarakan. Hal seperti ini banyak

    peneliti temukan dalam pertuturan antara pasien dengan dokter di klinik yang

    telah peneliti tunjuk menjadi objek penelitian. Beberapa pasien yang sudah

    cocok dengan pengobatan yang dilakukan oleh dokter pada klinik tersebut,

    memiliki sugesti bahwa mereka akan sembuh apabila sudah berobat dengan

    dokter di klinik tersebut. Bahkan beberapa pasien akan menyalami dan

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 16

    menepuk lengan dokter sebagai ekspresi rasa terima kasihnya. Sugesti yang

    dimiliki oleh pasien, dalam hal ini penutur, sangat mempengaruhi pertuturan

    yang terjadi.

    Geoffrey N. Leech (1983) mengemukakan bahwa pragmatik berbeda

    dengan semantik. Semantik secara tradisional berkaitan dengan makna

    sebagai hubungan diadik, sedangkan pragmatik berkaitan dengan makna

    sebagai hubungan triadik. Pragmatik berhubungan dengan penutur dan

    makna, sedangkan semantik hanya murni sebagai properti ucapan dalam

    pertuturan, terlepas dari situasi penutur dan mitra tutur.

    Parker (1986) di dalam bukunya yang berjudul Linguistic for Non-Linguis,

    secara tegas telah menyatakan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa

    yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal. Adapun yang dimaksud

    dengan pernyataan Parker itu sesungguhnya adalah bagaimana satuan lingual

    tertentu dapat digunakan dalam praktik komunikasi dan interaksi yang

    sebenaranya pada suatu masyarakat. Pakar linguistik ini dengan tegas

    membedakan antara studi ilmiah bahasa pragmatik dengan studi tata bahasa

    atau gramatika bahasa yang disebutkan terakhir itu semata-mata dianggapnya

    sebagai studi ihwal seluk beluk bahasa secara internal, terlepas dari konteks

    situasi pemakainya didalam masyarakat yang sesungguhnya.

    Menyimpulkan dari berbagai definisi pragmatik menurut pakar-pakar

    diatas, peneliti menarik kesimpulan bahwa pragmatik adalah ilmu bahasa

    yang mempelajari bahasa dan kaitannya dengan unsur-unsur diluar

    kebahasaan. Berkaitan dengan penelitian yang dilakukan, teori pragmatik

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 17

    digunakan sebagai ilmu kajian dasar dalam penelitian. Memperhatikan

    kaitannya dengan penelitian yang akan dilakukan, peneliti melihat pertuturan

    antara dokter dengan pasien yang memiliki berbagai unsur di luar kebahasaan

    yang berbeda untuk dapat menentukan fungsi dari tiap elemen konteks yang

    melatarbelakanginya.

    2.2.2 Konteks

    Dalam pembahasan pada bagian pragmatik telah disebutkan bahwa

    pragmatik merupakan ilmu bahasa yang berkaitan erat dengan unsur-unsur

    ekstralingual. Salah satu unsur tersebut adalah konteks. Menurut Leech

    (1983: 19) konteks adalah aspek-aspek yang berhubungan dengan lingkungan

    fisik dan sosial sebuah tuturan. Terdapat lima aspek diantaranya; penutur dan

    mitra tutur, konteks tuturan, tujuan tuturan, tuturan sebagai bentuk tindak

    tutur dan tuturan sebagai tindakan verbal. Aspek yang pertama adalah penutur

    dan mitra tutur. Penutur adalah orang yang bertutur menyatakan pesan

    melalui alat komunikasi, sedangkan mitra tutur adalah lawan bicara penutur

    dalam pertuturan. Peran penutur dan mitra tutur pada sebuah pertuturan

    seimbang, terjadi secara silih berganti. Penutur yang awalnya melakukan

    tindakan pertuturan, akan bergantian posisi dengan mitra tutur yang awalnya

    hanya mendengarkan pertuturan akan menjadi penutur menanggapi ujaran

    yang disampaikan penutur. Aspek-aspek yang mempengaruhi komponen

    penutur dan mitra tutur antara lain: usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan

    dan keakraban.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 18

    Konteks tuturan mencangkup semua aspek fisik yang berhubungan dengan

    pertuturan yang dilakukan. Dalam ilmu pragmatik, konteks adalah segala

    pengetahuan yang dimiliki oleh penutur dan mitra tuturnya. Konteks dapat

    membantu mitra tutur menginterpretasi maksud penutur.

    Tujuan tuturan merupakan hal yang ingin dicapai oleh penutur dan juga

    mitra tutur dalam pertuturan. setiap pertuturan memiliki tujuan yang berbeda

    dengan tuturan yang lainnya. Seperti misalnya dengan tujuan pertuturan

    antara seorang pembeli dengan pedagang pasti akan berbeda dengan tujuan

    pertuturan antara seorang dokter dengan pasien.

    Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, maksudnya di sini

    pertuturan merupakan sebuah tindakan yang dilakukan oleh alat ucap yaitu

    bibir dan mulut, sedangkan tindakan sebagai bentuk tindak verbal maksudnya

    pertuturan dilakukan dengan mengucap atau berkata/kata. Ada dua macam

    tindakan yaitu verba dan non-verba. Tindakan non-verba adalah kegiatan

    yang tidak menggunakan alat ucap bibir dan mulut pada tiap pertuturan,

    sedangkan tindakan verba adalah tindakan bertutur atau berbicara yang

    menggunakan alat ucap.

    Cutting dalam Baryadi (2015: 32) menyatakan bahwa konteks merupakan

    pengetahuan yang dimiliki pembicara yang mempengaruhi komunikasi, yaitu

    pengetahuan tentang dunia fisik dan dunia sosial, faktor-faktor sosial

    psikologis, dan pengetahuan tentang waktu dan tempat yang terdapat dalam

    perkataan yang mereka tuturkan atau tuliskan, latar belakang pengetahuan

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 19

    yang dimiliki bersama, baik oleh penutur maupun mitra tutur memegang

    peranan penting dalam pemaknaan tuturan.

    Membahas pengertian yang telah disampaikan oleh beberapa pakar di atas,

    peneliti menyimpulkan bahwa konteks adalah hal-hal diluar kebahasaan

    yang turut mempengaruhi pertuturan. Terdapat beberapa macam konteks

    yang dapat melatarbelakangi sebuah teks dan pertuturan. Konteks hadir

    melatarbelakangi pertuturan yang terjadi antara penutur dan mitra tutur.

    Dalam pertuturan antara dokter dengan pasien, konteks menjadi “jembatan”

    bertemunya maksud yang disampaikan oleh pasien dengan pemaknaan yang

    diterima oleh dokter. Pemahaman dokter terhadap keluhan yang disampaikan

    oleh pasien akan mempermudah tercapainya tujuan pertuturan.

    2.2.3 Elemen dan Fungsi Konteks Kultural

    Terdapat beberapa jenis konteks dalam pragmatik. Halliday (1989)

    menyebutkan bahwa

    “Cultural context is the institusional and ideological background

    that give value to the text and constrain its interpretation.”

    Pengertian konteks kultural sebagai latar belakang institusional dan

    ideologis yang memberikan nilai pada tuturan dan menahan interpretasi.

    Nilai yang dimaksud dalam pernyataan tersebut meliputi segala sesuatu yang

    diyakini benar atau salah, baik atau buruk, begitu juga didalamnya terdapat

    ideologi yang menjadi dasar keteraturan sosial yang berlaku di dalam

    kebudayaan masyarakat umum. Dalam sebuah pertuturuan, merupakan hal

    penting untuk memahami konteks kultural yang melatarbelakanginya.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 20

    Dell Hymes dalam Mulyana (2005: 23-24) merumuskan ihwal faktor-

    faktor penentu peristiwa tutur melalui akronim SPEAKING, dimana setiap

    fonem dijelaskan demikian:

    S= Setting and scene. Setting merujuk pada waktu dan tempat pertuturan

    berlangsung, sedangkan scene merujuk pada situasi psikologis pertuturan.

    Waktu, tempat dan situasi tuturan yang berbeda menyebabkan penggunaan

    variasi bahasa. Salah satu contohnya adalah memeriksa pasien di ruang

    periksa akan menjadi berbeda dengan memeriksa pasien di lapangan yang

    ramai orang berlalu lalang di sekitarnya. Dokter akan lebih seksama

    mendengarkan keluhan pasien apabila memeriksa di ruang periksa. Contoh

    lain yang dapat menggambarkan scene adalah pasien yang datang dengan

    keluhan yang harus diberi pertolongan pertama juga akan berbeda dengan

    pasien yang datang dengan rasa sakit yang bisa ditahan (pusing, mual,

    demam).

    P= Participants. Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam sebuah

    pertuturan. Pertuturan selalu melibatkan dua atau lebih participants.

    Participants dalam pertuturan umumnya disebut penutur dan mitra tutur atau

    pembicara dan pendengar atau pengirim dan penerima. Dalam pertuturan, ada

    pertuturan dua arah, di mana peran kedua pihak dapat berubah secara

    bergantian dan pertuturan satu arah, di mana peran dari masing-masing pihak

    tidak dapat digantikan. Pertuturan antara dokter dengan pasien umumnya

    bersifat dua arah. Apabila pasien berperan sebagai penutur, maka dokter akan

    berperan sebagai mitra tutur, begitu pula sebaliknya. Status sosial partisipan

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 21

    juga sangat mempengaruhi ragam bahasa yang digunakan. Sebagai contoh,

    dokter akan menggunakan ragam bahasa yang lebih halus ketika pasien yang

    berobat berumur 85 tahun.

    E= Ends. Ends merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Dalam

    pertuturan, perlu adanya keselarasan maksud dan tujuan antarpartisipan. Hal

    apa saja yang akan dibicarakan oleh penutur sebaiknya selaras dengan

    kedaulatan mitra tutur pada situasi tersebut. Sebagai salah satu contoh,

    berikut adalah contoh cuplikan pertuturan dengan unsur elemen ends

    Data tuturan 17

    Dokter : ibuke sakit napa?

    Pasien : nggregesi niki, ngethok-ngethoki. Rasane teng griming nika

    lho.

    Dokter : oh nggih nggih nggih. Mangga sarean rumiyin, bu. Kula

    tensi rumiyin.

    A= Act sequence. Act sequence merujuk pada bentuk ujaran yang

    berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya,

    dan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan selama

    pertuturan berlangsung. Hal ini dapat dibandingkan dengan bentuk ujaran

    dan kata-kata pertuturan pihak lain seperti pedagang dengan pembeli,

    pengacara dengan clientnya dan dokter dengan pasiennya juga akan berbeda.

    K= Key. Key merujuk pada nada, cara dan semangat di mana suatu pesan

    disampaikan. Penutur menyampaikan pesan dengan hati bergembira atau

    serius, sedih, semangat, mengejek atau memohon. Selain dapat ditunjukkan

    pada ekspresi, key dapat ditunjukkan melalui gerak gerik. Secara umum,

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 22

    pasien datang dengan wajah lesu karena kondisinya yang kurang sehat,

    namun tidak jarang juga pasien yang datang dengan wajah penuh harap

    karena ia sudah bersugesti bahwa setelah diperiksa dengan dokter, dia akan

    sembuh.

    I= Instrumentalities. Instrumentalities mengacu pada jalur dan kode

    bahasa yang digunakan. Jalur-jalur tersebut antara lain lisan, tertulis atau

    melalui media tertentu, sedangkan kode mengaju pada bahasa, dialek, fragam

    atau register. Sebagai salah satu contoh, pasien yang datang berobat akan

    bertutur secara lisan dan menggunakan bahasa Jawa, entah ngoko atau krama.

    Memang ada sebagian pasien yang menggunakan bahasa Indonesia, namun

    lebih banyak pasien yang bertutur menggunakan bahasa Jawa. Dokter yang

    pada situasi ini berperan sebagai mitra tutur juga akan menyesuaikan dengan

    bahasa yang digunakan pasien.

    N= Norm of Interaction an Interpretation. Norm of Interaction an

    Interpretation merujuk pada morma dalam pertuturan dan norma penafsiran

    terhadap ujaran dari mitra tutur. Dalam pertuturan antara dokter dengan

    pasien, hal ini sangat tercermin pada penafsiran dokter terhadap pertuturan

    yang disampaikan oleh pasien. Penafsiran dokter dalam bahasa medis disebut

    diagnosis. Dokter selalu menyimak keluhan pasien sekaligus mendiagnosa

    penyakit yang menyerang pasien melalui gejala-gejala yang dirasakan.

    Setelah dokter berhasil mendiagnosa, dokter akan segera mengambil

    keputusan untuk melakukan tindakan lebih lanjut.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 23

    G= Genre. Genre mengacu pada jenis bentuk penyampaian. Apakah

    pertuturan itu disampaikan dengan bentuk narasi, doa, puisi atau pidato.

    Pemilihan jenis bentuk penyampaian ini jelas memperhatikan tujuan dan

    maksud pertuturan. melihat dari poin genre, dokter maupun pasien akan

    menyampaikan maksudnya dengan bentuk yang wajar sesuai dengan

    kebutuhan. Namun perlu menjadi pengecualian apabila partisipan yang

    bersangkutan adalah dokter dengan pasien dengan gangguan jiwa yang emosi

    dan akalnya tidak dapat bekerja dengan baik.

    Penelitian elemen konteks ekstralinguistik ini menggunakan teori elemen

    “SPEAKING” yang menjadi alat analisis pada pertuturan antara dokter

    dengan pasiennya. Peneliti akan mengetahui elemen yang melatarbelakangi

    pertuturan yang terjadi berdasarkan kedelapan unsur elemen SPEAKING.

    Konteks kultural merupakan salah satu konteks yang melatarbelakangi

    terjadinya pertuturan dan merupakan alat bantu penutur dan mitra tutur untuk

    dapat memahami maksud tuturan. Konteks dalam penelitian ini didapat dari

    data tuturan dokter dengan pasien. Adapun dalam penelitian ini fungsi

    konteks menurut Elu (2018) yang ditemukan antara lain:

    1. Memberi keterangan situasi dan kondisi peserta tutur

    2. Memberi informasi atau keterangan pengetahuan peserta tutur

    3. Memberikan keterangan atau informasi sebab terjadinya pertuturan dan

    pengetahuan peserta tutur

    4. Memberikan keterangan kronologi tuturan

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 24

    5. Memberi keterangan atau informasi sebab tuturan terjadi atau sebelum

    peristiwa tutur terjadi

    6. Memberi informasi tambahan mengenai peserta tutur

    Berdasarkan uraian teori tentang fungsi konteks kultural tersebut,

    beberapa pertuturan antara dokter dengan pasien dilatarbelakangi oleh

    konteks kultural. Baik dokter maupun pasien akan memiliki latar belakang

    kultur yang berbeda, maka dari itu, konteks kultural akan menjadi jembatan

    pertuturan antara dokter dengan pasien yang memiliki latar belakang kultur

    yang berbeda.

    2.2.4 Elemen dan Fungsi Konteks Sosial

    Mey dalam Rahardi (2003: 15) mengungkapkan konteks sosial

    merupakan konteks kebahasaan yang timbul sebagai akibat dari munculnya

    komunikasi dan interaksi antaranggota masyarakat dengan latar belakang

    sosial budaya dengan sifat-sifat tertentu manusia di mana rasa solidaritas dan

    kedekatan atau keakraban partisipan tutur mendominasi munculnya konteks

    sosial dalam sebuah pertuturan. Antarpartisipan tutur dalam sebuah

    pertuturan yang berlatar belakang konteks sosial memiliki hubungan yang

    horizontal (sejajar). Dalam hal ini tidak terlalu nampak perbedaan status

    sosial yang muncul dari kedua partisipan tutur. Dalam pertuturan antara

    dokter dengan pasien, dijumpai beberapa cuplikan pertuturan dengan latar

    belakang konteks sosial.

    Poedjosoedarmo (1985) menyatakan tentang konsep komponen tutur

    merupakan pengembangan dari ide konsep yang disampaikan Dell Hymes.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 25

    Menurutnya, faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan bahasa disebut

    sebagai konsep memoteknik OOEMAUBICARA, yaitu (1) O1= orang ke

    satu atau penutur, (2) O2= orang ke-dua atau mitra tutur, (3) E= emosi, (4)

    M= maksud dan tujuan percakapan, (5) A= adanya O3 dan barang-barang

    lain di sekeliling adegan percakapan, (6) U= urutan tutur, (7) B= bab yang

    dipercakapkan; pokok pembicaraan, (8) I= instrumen tutur atau sarana tutur,

    (9) C= citarasa tutur, (10) A= adegan tutur, (11) R= register tutur/ genre, (12)

    A= aturan atau norma kebahasaan.

    Keseluruh komponen tersebut dibahas dalam pembahasan berikut:

    (1) O1= orang ke satu atau penutur.

    Latar belakang penutur menjadi hal yang sangat penting dan

    mempengaruhi pertuturan yang terjadi. Hal-hal penting yang perlu diketahui

    dari penutur adalah jenis kelamin, asal daerah, status pendidikan, profesi,

    bagaimana keadaan fisik dan mental serta kemahirannya dalam berbahasa.

    Aspek-aspek tersebut akan mencerminkan cara pandang, cara berfikir dan

    pilihan kata yang ia gunakan saat melakukan pertuturan. Dalam pertuturan

    antara dokter dengan pasien, keduanya memiliki peran yang sama. Secara

    bergantian, dokter dan pasien akan menjadi penutur maupun mitra tutur. Saat

    dokter berperan sebagai penutur, dengan pasien yang belum ia ketahui

    bagaimana latar belakangnya, dokter harus mampu bersikap profesional

    namun penuh empati.

    Data Tuturan 26

    Dokter : gerahipun napa?

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 26

    Pasien : kula niku seket (50) tahun, bu, ning mboten mens

    kalih (2) wulan. Gek niki kula sakniki mens

    Dokter : kathah, bu?

    Pasien : nggih lumayan.

    Dokter : lha sing diraoske napa?

    Pasien : nggliyer-nggliyer nika

    Dokter : sempat panas mboten?

    Pasien : nggih namung anget-anget nika

    Dokter : nggih mangga sarean, dipuntensi rumiyin

    Pada cuplikan pertuturan tersebut, penutur adalah seorang dokter

    berusia 60 tahun dan berjenis kelamin perempuan. Dokter tersebut sudah

    menggeluti profesinya sebagai dokter sejak 30 tahun yang lalu sehingga

    beliau sudah sangat mudah dalam memahami berbagai maksud kedatangan

    pasien.

    (2) O2= orang ke-dua atau mitra tutur.

    Hampir sama dengan O1, dalam sebuah pertuturan, penutur perlu

    mengetahui latar belakang orang kedua atau mitra tutur. Dengan

    mengetahui latar belakang dari mitra tutur, penutur akan dapat

    menentukan bentuk tuturan yang akan digunakan selama pertuturan

    berlangsung. Mengenal latar belakang mitra O2 akan membantu O1

    mengetahui tingkat sosial O2. Jika O2 memiliki tingkat sosial yang lebih

    tinggi dari O1, maka O1 sebaiknya menggunakan corak ujaran tertentu

    sebagai bentuk rasa hormat, namun sebaliknya apabila ternyata tingkat

    sosial O2 lebih rendah dari O1, maka O1 tidak perlu menggunakan corak

    ujaran tertentu dalam pertuturan. Selain tingkatan sosial, O1 juga perlu

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 27

    mengetahui kedekatan antara O1 dengan O2. Hal ini akan menentukan

    kelegaan dan banyak sedikitnya hal yang perlu dibicarakan. Dalam

    konteks pertuturan antara dokter dengan pasien, apabila dokter berperan

    sebagai O1 dan pasien sebagai O2, maka dokter perlu memperhatikan

    tingkatan sosial pasien.

    (3) E= emosi.

    Emosi O1 akan sangat mempengaruhi bentuk tuturannya. O1 yang

    bertutur pada saat ia gugup, maka akan menyebabkan perkataannya

    muncul tidak teratur. O1 dengan emosi sedang gelisah juga akan

    menyebabkan ujaran yang disampaikannya terlalu dibawa perasaan. O1

    yang bertutur dengan malu-malu juga akan menghambat proses pertuturan

    karena ia cenderung enggan untuk menyampaikan maksud yang ia

    pikirkan dalam pertuturan. O1 dengan watak yang sok pintar atau dalam

    bahasa Jawa “keminter” justru cenderung akan banyak berbicara namun

    hal yang ia bicarakan belum dapat dipastikan kebenarannya dan cenderung

    menggurui mitra tutur atau O2. Hal ini terjadi pula sebaliknya pada O2.

    (4) M= maksud dan tujuan percakapan.

    Maksud dan kehendak O1 dalam pertuturan akan mempengaruhi

    bentuk tuturan yang diujarkan, pemilihan bahasa, tingkat tutur, ragam,

    dialek, idiolek, ungkapan-ungkapan tertentu dan pemilihan unsur

    suprasegmental tertentu. membicarakan maksud dan tujuan percakapan,

    O1 dan O2 harus memiliki maksud dan tujuan yang selaras supaya sampai

    pada hasil yang diinginkan. Dalam praktik pertuturan antara dokter dengan

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 28

    pasien, keduanya harus memiliki maksud dan tujuan yang searah. Salah

    satu contoh dapat dilihat dari contoh situasi pertuturan antara dokter dan

    pasien, di mana pasien merupakan seorang istri yang sudah lama

    menginginkan untuk hamil. Pasien tersebut datang ke klinik untuk

    berkonsultasi dengan dokter supaya ia dapat segera hamil. Setelah dokter

    mendengarkan keluhan yang selama ini dialami oleh pasien, dokter segera

    memberi beberapa saran yang merupakan pilihan upaya program

    kehamilan. Mendengar saran dari dokter, pasien sangat antusias dan sangat

    berterima kasih dengan dokter dan menyalaminya. Dari situasi pertuturan

    tersebut, pasien selaku O1 selama pertuturan berlangsung sangat antusias

    sehingga tidak jarang ia mengungkapkan kelegaannya dengan beberapa

    kali berkata “alhamdulillah”.

    (5) A= adanya O3 dan barang-barang lain di sekeliling adegan percakapan.

    Dalam sebuah pertuturan, hadirnya O3 merupakan hal yang sangat

    wajar. O3 dalam pertuturan ada yang terlibat aktif dan ada pula yang

    hanya menyimak. Kehadiran O3 ini akan menyebabkan bergantinya

    bentuk ujaran dan pengubahan kode bahasa dalam pertuturan tergantung

    dari fungsi kehadiran O3 tersebut. Dalam pertuturan antara dokter dengan

    pasien, hampir dalam semua pertuturan terdapat O3, entah dia hanya

    sebagai penyimak ataupun turut aktif dalam pertuturan. O3 dalam

    pertuturan antara dokter dengan pasien kadang seorang perawat yang

    membantu dokter dan bisa jadi keluarga dari pihak pasien. Dalam

    beberapa kasus, dokter justru membutuhkan hadirnya O3 untuk dapat

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 29

    mengambil tindakan tertentu, namun kadang dokter juga membutuhkan

    privasi dengan pasien pada ujaran-ujaran tertentu. Berikut ini adalah salah

    satu cuplikan pertuturan yang melibatkan orang ketiga dalam peristiwa

    tutur

    Data tuturan 5

    Dokter : halo kenapa, adek?

    Pengantar : niki demam

    Dokter : oh sini coba, sudah minum obat sebelumnya? Tolong,

    mbak, dianu termometer dulu. Sudah sejak kapan ini

    demam tinggi gini?

    Pengantar : dua malam ini, bu.

    Dokter : mual nggak, adek? Perutnya sakit nggak?

    Pasien : *menggelengkan kepala*

    Pada cuplikan pertuturan tersebut, dapat dilihat bahwa dokter lebih

    dominan bertutur dengan pengantar yang merupakan pengantar pasien.

    Pasien yang masih anak-anak dengan kondisi yang kurang sehat cenderung

    malu untuk menjawab pertanyaan yang diberikan oleh dokter, maka

    pengantar yang merupakan ibunya membantu menjawab oertanyaan dari

    dokter. Pengantar pasien yang merupakan ibu dari pasien ini dalam

    pertuturan dapat dikatakan sebagai orang ketiga dalam pertuturan.

    (6) U= urutan bicara.

    Urutan berbicara mengarah pada siapa yang seharusnya berbicara

    lebih dulu dan siapa yang harus berbicara kemudian. Misalnya pada

    sebuah pertuturan, partisipannya merupakan anak muda dan orang tua,

    maka umumnya orang yang lebih tua atau dituakan itulah yang mendapat

    kesempatan untuk berbicara terlebih dahulu. Status sosial juga sering

    menjadi penentu urutan berbicara. Dalam beberapa peristiwa tutur banyak

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 30

    ditemukan pihak yang tingkat status sosialnya tinggi maka akan dihormati

    dan mendapat kesempatan untuk berbicara terlebih dahulu. Penggunaan

    bahasa juga kerap menjadi faktor penentu urutan berbicara. Apabila

    penutur memulai pembicaraan dengan bahasa Indonesia, besar

    kemungkinan mitra tutur juga akan bertutur menggunakan bahasa

    Indonesia. Namun, penggunaan bahasa ini tetap memperhatikan faktor

    perbedaan usia dan letak status sosial.

    (7) B= bab yang dipercakapkan; pokok pembicaraan.

    Bab yang dibicarakan pasti akan mempengaruhi warna bicara.

    Meskipun demikian, partisipan tidak diharuskan menggunakan ragam

    bahasa yang sama. Dalam topik topik tertentu, penutur dan mitra tutur

    harus menggunakan warna bicara yang lain. Salah satu contoh dapat terjdi

    pada pertuturan antara dokter dengan pasien. Dokter sebagai penutur (O1)

    memiliki kewajiban untuk menyampaikan hasil analisis diagnosis yang

    telah dilakukannya. Apapun hasilnya, baik buruk maupun baik. Dalam

    situasi-situasi tertentu, misalnya pada hasil yang buruk, dokter akan

    menyampaikannya pada pasien tang merupakan mitra tutur (O2) tidak

    dengan nada bercanda.

    (8) I= instrumen tutur atau sarana tutur.

    Sarana tutur dalam sebuah pertuturan akan berdampak pada bentuk

    ujaran. Pertuturan dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung.

    Bertutur secara langsung berarti O1 dan O2 bertemu secara fisik, namun

    bertutur secara tidak langsung dapat melalui telepon. Berbicara tentang

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 31

    bahasa, terdapat bahasa lisan dan bahasa tulis. Penggunaan bahasa lisan

    berarti menggunakan alat ucap mulut dan bibir, sedangkan bahasa tulis

    dapat melalui pesan atau surat. Pertuturan dengan bahasa lisan menjadi

    lebih gamblang dan jelas, sedangkan dalam bahasa tulis, partisipan akan

    terbatas pada ragam bahasa tertentu.

    Pada pertuturan antara dokter dengan papsien akan menjadi lebih

    mudiah dilakukan diagnosis apabila pasien bertemu secara langsung

    dengan dokter dari pada hanya konsultasi melalui telepon atau bahkan

    bahasa tulis. Dokter akan dapat langsung memeriksa kondisi fisik pasien

    sembari menyimak keluhan yang dirasakan.

    (9) C= citarasa tutur.

    Nada suara bicara akan mempengaruhi ragam tutur dalam sebuah

    pertuturan terutama pada O1. Ragam yang dimaksud diantaranya ragam

    bahasa santai, ragam bahasa formal dan ragam bahasa indah. Penggunaan

    ragam bahasa santai terjadi apabila O1 dan O2 merupakan orang dengan

    kedekatan tertentu, jarak usia yang tidak terlalu jauh atau bahkan mungkin

    seumuran dan dilakukan pada tempat-tempat santai seperti rumah makan,

    mall dan taman kota. Penggunaan ragam bahasa formal biasanya

    dilakukan pada situasi-situasi tertentu misalnya pada saat rapat atau

    presentasi di depan kelas, sedangkan ragam bahasa indah ini bisa

    ditemukan pada situasi seperti misalnya di gereja. Seorang romo dalam

    menyampaikan homili pasti akan mengemas kata-katanya dengan indah

    melalui perumpamaan-perumpamaan alkitab.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 32

    Dalam penelitian ini, dokter dengan pasien cenderung menggunakan

    ragam bahasa formal dan santai. Pasien sebagai mitra tutur akan

    menyampaikan keluhan yang ia rasakan dengan bahasa yang santai namun

    jelas, begitu juga dengan dokter, ia akan menjelaskan hasil diagnosanya

    sesuai aturan.

    (10) A= adegan tutur.

    Adegan tutur dalam pertuturan merupakan hal yang berkaitan dengan

    waktu, tempat dan peristiwa tutur. Adegan tutur turut mempengaruhi

    penutur dalam menentukan bentuk-bentuk ujaran. Pertuturan yang terjadi

    di pinggir jalan raya dengan pertuturan yang terjadi di perpustakaan pasti

    akan berbeda. Pertuturan yang terjadi di pinggir jalan raya dengan situasi

    yang ramai menuntut pelibat tutur untuk berbicara dengan keras,

    sedangkan apabila pertuturan terjadi di perpustakaan, maka pelibat tutur

    cukup berbicara bisik-bisik selain karena suasana di perpustakaan lebih

    tenang, berbicara terlalu keras di perpustakaan juga akan mengganggu

    pengunjung yang lainnya.

    Sama halnya dengan kedua contoh di atas, pertuturan antara dokter

    dengan pasien juga terjadi di dalam ruangan yang cukup tenang. Pasien

    yang datang dan memeriksakan kesehatannya cukup berbicara dengan

    volume yang cukup didengar oleh dokter, tidak perlu dengan berteriak-

    teriak karena akan mengganggu pasien yang sedang rawat inap.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 33

    (11) R= register tutur atau bentuk wacana.

    Wacana yang umum dikenal dalam masyarakat diantaranya ada surat-

    surat dinas, perundang-undangan, percakapan dengan telepon, telegram,

    pidato, seminar, konferensi, atur-atur kenduri, ujub dan doa, tajuk rencana

    surat kabar, di mana kesemuanya itu memiliki struktur yang telah pakem

    dan diketahui masyarakat umum. Apabila ada seseorang yang melakukan

    semuanya itu dengan struktur yang berbeda, maka masyarakat umum akan

    menganggapnya telah melakukan hal yang salah, sekalipun sebenarnya

    tidak salah, hanya melakukan pembaruan.

    Soeparno (2002) dalam bukunya yang berjudul Dasar Linguistik

    Umum menyebutkan bahwa pemakaian bahasa dengan pokok pembicaraan

    khusus disebut register. Adapun macam-macam register antara lain

    register bahasa kotbah, register pelawak, register pedagang, register

    dokter, register SMS, register media sosial dan lain-lain. Menyimpulkan

    definisi register bahasa menurut pakar di atas, penulis menyimpulkan

    bahwa register bahasa adalah variasi bahasa yang erat kaitannya dengan

    pemakaian pada bidang-bidang tertentu.

    Hal seperti itu juga tercermin pada pertuturan antara dokter dengan

    pasien, di mana dokter sudah mempunyai aturan struktur yang paten mulai

    dari menyapa, anamnesi, pemeriksaan, diagnosis hingga tindakan. Dalam

    dunia medis atau kedokteran, dokter dan pasien memiliki ragam atau

    variasi bahasa yang karakteristik sesuai dengan kebutuhan partisipan tutur.

    Beberapa contoh register bahasa dokter tercermin dalam istilah berikut;

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 34

    infus, suntik, antibiotik, obat, pasien, tensi, dokter, sakit, demam, mual,

    dan lain-lain. Apabila seorang dokter melakukan kegiatan pemeriksaan

    tidak sesuai dengan aturan struktur yang sudah ada, maka dokter tersebut

    akan dianggap melanggar aturan.

    (12) A= aturan atau norma kebahasaan.

    Aturan-aturan dan norma kebahasaan dapat mempengaruhi O1 dalam

    menentukan bentuk tuturannya. Aturan-aturan tersebut contohnya

    kejelasan dalam berbicara, topik yang dibicarakan harus menarik, tidak

    menanyakan hal-hal yang bersifat pribadi, menghindari kata-kata yang

    dianggap tabu, dan sebagainya. Aturan-aturan tersebut jelas sekali

    diterapkan dalam ilmu kedokteran, di mana seorang dokter sudah

    mempunyai porsi-porsi tertentu yang dapat dilakukan sebagai seorang

    dokter. Dokter sebagai O1 tidak diperkenankan menanyakan hal-hal diluar

    kepentingan pengobatan. Selain itu, kejelasan dalam memeriksa dan

    mendiagnosis juga harus jelas, supaya pasien mengetahui betul sebenarnya

    penyakit apa yang sedang ia derita.

    Berdasarkan teori elemen konteks sosial tersebut, terdapat 12 elemen

    yang dirumuskan dapat digunakan sebagai acuan penentuan konteks sosial

    dalam pertuturan antara dokter dengan pasien. Konteks sosial selalu

    berkaitan dengan kelas sosial. Mengacu pada golongan masyarakat yang

    mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan seperti

    ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta dan lain sebagainya.

    Setiap tuturan yang terjadi antara penutur dan mitra tutur selain untuk

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 35

    menjalin komunikasi tetapi juga untuk menyampaikan maksud tertentu.

    fungsi konteks dalam tuturan didasarkan pada latar belakang pemahaman

    yang sama. Dasar pemahaman yang sama dalam artian pertuturan

    memiliki persepdi yang sama terkait dengan hal yang dibicarakan

    sehingga tidak menghambat proses komunikasi.

    Fungsi konteks sosial menurut (Lawet, 2018) golongan masyarakat atau

    kelas sosial yang mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang

    kemasyarakatan seperti ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta

    dan lain sebagainya. Pertuturan yang terjadi tentunya memiliki maksud

    dan tujuan tersendiri sesuai dengan kebutuhan penutur dan mitra tutur.

    Fungsi konteks dalam tuturan didasarkan pada latar belakang pemahaman

    yang sama. Pemahaman yang sama dalam pertuturan akan memperjelas

    maksud pertuturan dan pesan yang disampaikan dapat tersampaikan

    dengan baik sesuai dengan harapan penutur. Berdasarkan paparan fungsi

    tersebut, fungsi konteks sosial dalam pertuturan antara dokter dengan

    pasien yakni memahami maksud pada pertuturan dokter dengan pasien

    dengan memahami kesetaraan kedudukan yang melekat pada penutur,

    sehingga pertuturan dapat dipahami dengan baik.

    2.2.5 Elemen dan Fungsi Konteks Sosietal

    Konteks sosietal adalah konteks yang turut melatarbelakangi pertuturan

    tertentu yang ditandai dengan adanya perbedaan status sosial antarpartisipan

    tutur secara vertikal. Mey dalam Rahardi (2003: 15) mengungkapkan

    konteks sosietal adalah konteks di mana faktor penentu kehadirannya adalah

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 36

    kedudukan sosial relatif (relative social rank) setiap anggota masyarakat di

    dalam institusi-institusi yang ada pada masyarakat dan lingkungan sosial

    tertentu. Perbedaan status sosial maupun kedudukan antarpartisipan tutur

    akan mempengaruhi suasana tutur, pilihan kata, variasi bahasa dan urutan

    tutur dalam pertuturan.

    Poedjosoedarmo (1985) menyatakan tentang konsep komponen tutur

    merupakan pengembangan dari ide konsep yang disampaikan Dell Hymes.

    Menurutnya, faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan bahasa disebut

    sebagai konsep memoteknik OOEMAUBICARA, yaitu (1) O1= orang ke

    satu atau penutur, (2) O2= orang ke-dua atau mitra tutur, (3) E= emosi, (4)

    M= maksud dan tujuan percakapan, (5) A= adanya O3 dan barang-barang

    lain di sekeliling adegan percakapan, (6) U= urutan tutur, (7) B= bab yang

    dipercakapkan; pokok pembicaraan, (8) I= instrumen tutur atau sarana tutur,

    (9) C= citarasa tutur, (10) A= adegan tutur, (11) R= register tutur/ genre, (12)

    A= aturan atau norma kebahasaan.

    Keseluruh komponen tersebut dibahas dalam pembahasan berikut:

    (1) O1= orang ke satu atau penutur.

    Mengetahui latar belakang penutur menjadi hal sangat penting yang jelas

    mempengaruhi sebuah pertuturan. Beberapa hal penting yang perlu diketahui

    dari penutur adalah jenis kelamin, asal daerah, status pendidikan, profesi,

    bagaimana keadaan fisik dan mental serta kemahirannya dalam berbahasa.

    Aspek-aspek tersebut akan mencerminkan cara pandang, cara berfikir dan

    pilihan kata yang ia gunakan saat melakukan pertuturan. Dalam pertuturan

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 37

    antara dokter dengan pasien, keduanya memiliki peran yang sama. Secara

    bergantian, dokter dan pasien akan menjadi penutur maupun mitra tutur. Saat

    dokter berperan sebagai penutur, dengan pasien yang belum ia ketahui

    bagaimana latar belakangnya, dokter harus mampu bersikap profesional

    (2) O2= orang ke-dua atau mitra tutur.

    Hal yang sama dengan uraian pada poin “O1” juga berlaku pada orang

    kedua atau mitra tutur. Mitra tutur perlu mengetahui latar belakang dari

    penutur. Latar belakang tersebut meliputi jenis kelamin, usia, pekerjaan,

    status sosial, asal daerah dan lain sebagainya sebagai pengetahuan penutur

    supaya dapat menentukan bentuk tuturan yang akan digunakan selama

    pertuturan berlangsung. Di antara semua latar belakang pengetahuan yang

    harus diketahui oleh penutur terkait mitra tutur, hal yang paling mendasar

    pada konteks sosietal adalah status/ tingkat sosial. Mengenal latar

    belakang O2 akan membantu O1 mengetahui tingkat sosial O2. Jika O2

    memiliki tingkat sosial yang lebih tinggi dari O1, maka O1 sebaiknya

    menggunakan corak ujaran tertentu sebagai bentuk rasa hormat, namun

    sebaliknya apabila ternyata tingkat sosial O2 lebih rendah dari O1, maka

    O1 tidak perlu menggunakan corak ujaran tertentu dalam pertuturan.

    Selain tingkatan sosial, O1 juga perlu mengetahui kedekatan antara O1

    dengan O2. Hal ini akan menentukan kelegaan dan banyak sedikitnya hal

    yang perlu dibicarakan. Dalam konteks pertuturan antara dokter dengan

    pasien, apabila dokter berperan sebagai O1 dan pasien sebagai O2, maka

    dokter perlu memperhatikan tingkatan sosial pasien.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 38

    (3) E= emosi.

    Emosi O1 akan sangat mempengaruhi bentuk tuturannya. O1 yang

    bertutur pada saat ia gugup, maka akan menyebabkan perkataannya

    muncul tidak teratur. Kegugupan sering kali muncul karena adanya latar

    belakang sosial yang berbeda antara penutur dan mitra tutur. Tidak jarang

    dijumpai sebuah pertuturan yang apabila partisipan tutur berasal dari status

    atau tingkat sosial yang berbeda, maka kecenderungan penutur yang

    dengan status sosial lebih rendah dibandingkan dengan mitra tuturnya

    akan merasa segan dan grogi. O1 dengan emosi sedang gelisah juga akan

    menyebabkan ujaran yang disampaikannya terlalu dibawa perasaan. O1

    yang bertutur dengan malu-malu juga akan menghambat proses pertuturan

    karena ia cenderung enggan untuk menyampaikan maksud yang ia

    pikirkan dalam pertuturan. O1 dengan watak yang sok pintar atau dalam

    bahasa Jawa “keminter” justru cenderung akan banyak berbicara namun

    hal yang ia bicarakan belum dapat dipastikan kebenarannya dan cenderung

    menggurui mitra tutur atau O2. Hal ini terjadi pula sebaliknya pada O2.

    Dalam pertuturan antara dokter dengan pasien, apabila O1 diperankan

    oleh pasien, maka memang banyak ditemui pasien dengan warna emosi

    yang berbeda-beda.

    (4) M= maksud dan tujuan percakapan.

    Maksud dan kehendak O1 dalam pertuturan akan mempengaruhi

    bentuk tuturan yang diujarkan, pemilihan bahasa, tingkat tutur, ragam,

    dialek, idiolek, ungkapan-ungkapan tertentu dan pemilihan unsur

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 39

    suprasegmental tertentu. Apabila membicarakan maksud dan tujuan

    percakapan, O1 dan O2 harus memiliki maksud dan tujuan yang selaras

    supaya sampai pada hasil yang diinginkan. Dalam praktik pertuturan

    antara dokter dengan pasien, keduanya harus memiliki maksud dan tujuan

    yang searah. Salah satu contoh dapat dilihat dari contoh situasi pertuturan

    antara dokter dan pasien, di mana pasien merupakan seorang istri yang

    sudah lama menginginkan untuk hamil. Pasien tersebut datang ke klinik

    untuk berkonsultasi dengan dokter supaya ia dapat segera hamil. Setelah

    dokter mendengarkan keluhan yang selama ini dialami oleh pasien, dokter

    segera memberi beberapa saran yang merupakan pilihan upaya program

    kehamilan. Mendengar saran dari dokter, pasien sangat antusias dan sangat

    berterima kasih dengan dokter dan menyalaminya. Dari situasi pertuturan

    tersebut, pasien selaku O1 selama pertuturan berlangsung sangat antusias

    sehingga tidak jarang ia mengungkapkan kelegaannya dengan beberapa

    kali berkata “alhamdulillah”.

    (5) A= adanya O3 dan barang-barang lain di sekeliling adegan percakapan.

    Hadirnya O3 dalam sebuah pertuturan merupakan hal yang sangat

    wajar. O3 dalam sebuah pertuturan ada yang terlibat secara aktif dan ada

    pula yang hanya menyimak. Kehadiran O3 ini akan menyebabkan

    bergantinya bentuk ujaran dan pengubahan kode bahasa dalam pertuturan

    tergantung dari fungsi kehadiran O3 tersebut. Dalam pertuturan antara

    dokter dengan pasien, hampir dalam semua pertuturan terdapat O3, entah

    dia hanya sebagai penyimak ataupun turut aktif dalam pertuturan. O3

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 40

    dalam pertuturan antara dokter dengan pasien kadang seorang perawat

    yang membantu dokter dan bisa jadi keluarga dari pihak pasien. Dalam

    beberapa kasus, dokter justru membutuhkan hadirnya O3 untuk dapat

    mengambil tindakan tertentu, namun kadang dokter juga membutuhkan

    privasi dengan pasien pada ujaran-ujaran tertentu.

    (6) U= urutan bicara.

    Urutan berbicara mengarah pada siapa yang seharusnya berbicara

    lebih dulu dan siapa yang harus berbicara kemudian. Beberapa daerah atau

    kelompok masyarakat tertentu memiliki “aturan” yang sudah melekat

    berkenaan dengan urutan berbicara dalam suatu pertuturan. Beberapa

    beranggapan bahwa orang yang lebih tua harus berbicara terlebih dahulu,

    namun ada pula yang beranggapan bahwa orang yang memiliki status

    sosial tertentu yang harus berbicara terlebih dahulu. Dalam beberapa

    peristiwa tutur, banyak ditemukan pihak yang tingkat status sosialnya

    tinggi maka akan dihormati dan mendapat kesempatan untuk berbicara

    terlebih dahulu. Penggunaan bahasa juga kerap menjadi faktor penentu

    urutan berbicara. Apabila penutur memulai pembicaraan dengan bahasa

    Indonesia, besar kemungkinan mitra tutur juga akan bertutur

    menggunakan bahasa Indonesia. Namun, penggunaan bahasa ini tetap

    memperhatikan faktor perbedaan usia dan posisi status sosial.

    (7) B= bab yang dipercakapkan; pokok pembicaraan.

    Bab yang dibicarakandalam sebuah pertuturan pasti akan

    mempengaruhi warna bicara. Meskipun demikian, partisipan tidak

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 41

    diharuskan menggunakan ragam bahasa yang sama. Dalam topik topik

    tertentu, penutur dan mitra tutur harus menggunakan warna bicara yang

    lain. Salah satu contoh dapat terjdi pada pertuturan antara dokter dengan

    pasien. Dokter sebagai penutur (O1) memiliki kewajiban untuk

    menyampaikan hasil analisis diagnosis yang telah dilakukannya. Apapun

    hasilnya, baik buruk maupun baik. Dalam situasi-situasi tertentu, misalnya

    pada hasil yang buruk, dokter akan menyampaikannya pada pasien tang

    merupakan mitra tutur (O2) tidak dengan nada bercanda.

    (8) I= instrumen tutur atau sarana tutur.

    Sarana tutur dalam sebuah pertuturan merujuk pada sarana atau alat

    yang dipakai untuk menyampaikan tuturan antarpartisipan tutur. Suatu

    sarana tutur dalam sebuah pertuturan akan berdampak pada bentuk ujaran.

    Pertuturan yang terjadi secara langsung berarti O1 dan O2 bertemu secara

    fisik, namun bertutur secara tidak langsung dapat melalui telepon, email

    maupun aplikasi telewicara lainnya tanpa harus ada pertemuan fisik antara

    penutur dan mitra tutur. Berbicara tentang bahasa, terdapat bahasa lisan

    dan bahasa tulis. Penggunaan bahasa lisan berarti menggunakan alat ucap

    mulut dan bibir, sedangkan bahasa tulis dapat melalui pesan atau surat.

    Pertuturan dengan bahasa lisan menjadi lebih gamblang dan jelas,

    sedangkan dalam bahasa tulis, partisipan akan terbatas pada ragam bahasa

    tertentu.

    Pada pertuturan antara dokter dengan papsien akan menjadi lebih

    mudiah dilakukan diagnosis apabila pasien bertemu secara langsung

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 42

    dengan dokter dari pada hanya konsultasi melalui telepon atau bahkan

    bahasa tulis. Dokter akan dapat langsung memeriksa kondisi fisik pasien

    sembari menyimak keluhan yang dirasakan.

    (9) C= citarasa tutur.

    Nada suara bicara akan mempengaruhi ragam tutur dalam sebuah

    pertuturan terutama pada O1. Ragam yang dimaksud diantaranya ragam

    bahasa santai, ragam bahasa formal dan ragam bahasa indah. Penggunaan

    ragam bahasa santai terjadi apabila O1 dan O2 merupakan orang dengan

    kedekatan tertentu, jarak usia yang tidak terlalu jauh atau bahkan mungkin

    seumuran dan dilakukan pada tempat-tempat santai seperti rumah makan,

    mall dan taman kota. Penggunaan ragam bahasa formal biasanya

    dilakukan pada situasi-situasi tertentu misalnya pada saat rapat atau

    presentasi di depan kelas, sedangkan ragam bahasa indah ini bisa

    ditemukan pada situasi seperti misalnya di gereja. Seorang romo dalam

    menyampaikan homili pasti akan mengemas kata-katanya dengan indah

    melalui perumpamaan-perumpamaan alkitab.

    Dalam penelitian ini, dokter dengan pasien cenderung menggunakan

    ragam bahasa formal dan santai. Apabila pasien dengan dokter memiliki

    hubungan kedekatan yang lebih dari sekedar hubungan antara dokter

    dengan pasien, maka pertuturan akan menggunakan ragam santai. Berbeda

    dengan pasien dan dokter yang tidak memiliki kedekatan khusus satu sama

    lain, maka pertuturan akan menggunakan bahasa formal.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 43

    (10) A= adegan tutur.

    Adegan tutur dalam sebuah pertuturan merujuk pada hal-hal yang

    berkaitan dengan waktu, tempat dan peristiwa tutur. Selain ketiga hal

    tersebut, seluruh kegiatan non-verbal yang berkaitan dengan pertuturan

    juga turut menjadi perhatian dalam adegan tutur. Adegan tutur turut

    mempengaruhi penutur dalam menentukan bentuk-bentuk ujaran.

    Pertuturan yang terjadi di pinggir jalan raya dengan pertuturan yang terjadi

    di perpustakaan pasti akan berbeda. Pertuturan yang terjadi di pinggir jalan

    raya dengan situasi yang ramai menuntut pelibat tutur untuk berbicara

    dengan keras, sedangkan apabila pertuturan terjadi di perpustakaan, maka

    pelibat tutur cukup berbicara bisik-bisik selain karena suasana di

    perpustakaan lebih tenang, berbicara terlalu keras di perpustakaan juga

    akan mengganggu pengunjung yang lainnya.

    Sama halnya dengan kedua contoh di atas, pertuturan antara dokter

    dengan pasien juga terjadi di dalam ruangan yang cukup tenang. Pasien

    yang datang dan memeriksakan kesehatannya cukup berbicara dengan

    volume yang cukup didengar oleh dokter, tidak perlu dengan berteriak-

    teriak karena akan mengganggu pasien yang sedang rawat