Cuplikan The Silkworm

17

description

The Silkworm merupakan buku kedua dari seri Cormoran Strike, karya Robert Galbraith. Buku pertamanya; The Cuckoo's Calling, sudah terbit di Indonesia sejak bulan Desember lalu. Rencananya terjemahan The Silkworm akan terbit pada Oktober 2014.

Transcript of Cuplikan The Silkworm

Page 1: Cuplikan The Silkworm
Page 2: Cuplikan The Silkworm
Page 3: Cuplikan The Silkworm

© 2014 Robert Galbraith Limited

The Silkworm Robert Galbraith

(Cuplikan Dua Bab)

Page 4: Cuplikan The Silkworm
Page 5: Cuplikan The Silkworm

1

PERTANYAAN

Apa gerangan yang engkau santap?

JAWABAN

Tidur yang tiada lelap.

Thomas Dekker, The Noble Spanish Soldier

“Awas saja,” kata suara serak di ujung sambungan telepon, “kalau ini bukan soal

orang terkenal yang mati, Strike.”

Pria bertubuh besar tak bercukur yang sedang mondar-mandir dalam

kegelapan menjelang fajar itu menyeringai.

“Kira-kira begitulah.”

“Ini baru jam enam pagi, bangsat!”

“Ini sudah setengah tujuh, tapi kalau kau mau mendapatkannya, kau

harus datang untuk mengambilnya,” kata Cormoran Strike. “Aku tidak jauh dari

tempatmu berada. Ada---”

“Bagaimana kau tahu di mana aku tinggal?” suara itu menuntut.

“Kau sendiri yang memberitahuku,” kata Strike sambil menahan kuap.

“Kau bilang akan menjual flatmu.”

“Oh,” ucap pria yang lain, lebih tenang. “Ingatanmu bagus.”

“Ada kafe dua puluh empat ja---”

“Persetan. Datang saja ke kantor nanti---”

“Culpepper, aku punya klien lain pagi ini, dia membayar lebih banyak

daripada kau, dan aku sudah melek sepanjang malam. Harus sekarang kalau kau

memang berniat menggunakannya.”

Suara erangan. Strike bisa mendengar gemeresik seprai.

“Sebaiknya benar-benar hebat.”

“Smithfield Café di Long Lane,” kata Strike, lalu memutuskan sambungan.

Langkahnya yang tidak seimbang terlihat makin kentara ketika dia

menyusuri jalan yang menurun ke arah Smithfield Market, kuil zaman Victoria

yang persegi dan luas, bagaikan raksasa dalam kegelapan musim dingin. Selama

Page 6: Cuplikan The Silkworm

empat pagi dalam minggu kerja, hewan potong dikirim ke sana, seperti yang

telah dilakukan selama berabad-abad, lalu dikemas dan dijual ke toko-toko

daging serta restoran-restoran di seluruh London. Strike dapat mendengar

suara-suara dari balik keremangan, meneriakkan perintah, serta derum dan

bunyi “bip-bip” lori-lori yang mundur dan menurunkan muatannya. Ketika

memasuki Long Lane, dia hanyalah salah satu di antara pria-pria berpakaian

tebal yang hilir mudik melakukan kegiatan mereka pada hari Senin pagi.

Segerombol kurir mengenakan jaket berwarna manyala menggenggam

cangkir teh masing-masing dengan tangan terbungkus sarung tangan di bawah

patung griffin, hewan mitos berkepala elang dan bertubuh singa, yang berjaga di

sudut bangunan pasar. Di seberang jalan, berpendar-pendar bagai perapian yang

menganga di antara kekelaman sekitarnya, berdirilah Smithfield Café yang buka

dua puluh empat jam, sebuah ceruk persembunyian sempit yang menawarkan

kehangatan dan makanan berminyak.

Kafe itu tidak memiliki kamar kecil, hanya kesepakatan dengan toko

lotere tak jauh dari situ. Ladbrokes baru buka tiga jam lagi, jadi Strike berbelok

dulu ke gang kecil, dan di ambang pintu yang gelap melegakan kandung

kemihnya yang penuh berisi kopi encer yang telah menemaninya bekerja

sepanjang malam. Kelelahan dan kelaparan, dia akhirnya berbalik dengan

kegembiraan yang hanya dapat dirasakan orang yang telah memaksakan diri

melampaui batas fisiknya, masuk ke ruang atmosfer berbau lemak telur goreng

dan bacon.

Dua pria mengenakan wol tebal dan jaket tahan air baru saja berdiri

meninggalkan meja. Strike menyusupkan tubuhnya yang tebal ke ruang sempit

itu, mengenyakkan diri di kursi kayu dan baja sambil menggerung puas. Bahkan

sebelum dia sempat memesan, orang Italia pemilik kafe itu sudah meletakkan

cangkir putih tinggi berisi teh di depannya, yang disajikan bersama roti putih

dipotong-potong segitiga yang sudah diolesi mentega. Dalam lima menit,

hidangan sarapan ala Inggris lengkap sudah tersaji di hadapannya di dalam

piring oval besar.

Strike membaur dengan baik di antara pria-pria perkasa yang keluar-

masuk kafe itu dengan berisik. Dia bertubuh besar, dengan rambut hitam yang

pendek, tebal, dan ikal yang sudah sedikit menipis di kening yang tinggi dan

Page 7: Cuplikan The Silkworm

lebar, di atas hidung lebar ala petinju dan alis yang tebal dan berkerut. Dagunya

ditumbuhi jenggot pendek dan bayang-bayang gelap bak memar melingkari

matanya yang hitam. Dia makan sambil melamun memandang gedung pasar di

seberang jalan. Pintu masuk melengkung yang paling dekat, pintu nomor dua,

mulai menampakkan ciri-cirinya sementara kegelapan menyusut: wajah dari

batu yang keras dan galak, kuno dan berjenggot, balas menatapnya dari atas

ambang pintu. Apakah pernah ada dewa bangkai binatang?

Dia baru mulai melahap sosisnya ketika Dominic Culpepper tiba.

Wartawan itu hampir sama tingginya dengan Strike tapi kurus, tampangnya

seperti anak paduan suara. Asimetri yang ganjil, seolah-olah ada orang yang

memutar wajahnya berlawanan arah jarum jam, mencegahnya menjadi terlalu

rupawan seperti anak perempuan.

“Sebaiknyakau punya sesuatu yang bagus,” kata Culpepper sambil duduk,

menarik lepas sarung tangannya dan melirik curiga ke sekeliling kafe.

“Mau makan?” tanya Strike dengan mulut penuh sosis.

“Tidak,” jawab Culpepper.

“Mau menunggu sampai bisa menemukan croissant?” tanya Strike,

menyeringai.

“Babi kau, Strike.”

Betapa gampangnya memancing emosi bekas murid sekolah negeri ini,

yang memesan teh dengan sengit dan (Strike memperhatikan dengan geli)

memanggil pelayan yang tak acuh dengan sebutan “mate”.

“Jadi?” Culpepper mendesak, tangannya yang panjang dan pucat

menggenggam cangkir panas.

Strike merogoh saku mantelnya, mengeluarkan sepucuk amplop, lalu

mendorongnya di atas meja. Culpepper menarik keluar isinya dan mulai

membaca.

“Edan,” ujarnya pelan, sesaat kemudian. Dia membolak-balik kertas

dengan heboh, beberapa berisi tulisan tangan Strike. “Dari mana kau dapat ini?”

Strike, dengan mulut penuh sosis, mengetukkan jari pada salah satu

kertas itu, yang bertuliskan sebuah alamat kantor.

“Asisten pribadinya yang sangat marah,” kata Strike, sesudah akhirnya

menelan makanannya. “Bosnya meniduri dia, juga dua perempuan lain yang

Page 8: Cuplikan The Silkworm

sudah kauketahui. Asistennya itu baru saja menyadari dia tidak akan pernah

menjadi Lady Parker.”

“Bagaimana kau bisa tahu itu?” tanya Culpepper sambil menatap Strike

dari atas kertas-kertas yang bergetar dalam genggamannya yang terlalu

bersemangat.

“Pekerjaan detektif,” kata Strike dengan suara teredam, seraya menggigit

sosis lagi. “Bukankah orang-orang seperti kau dulu juga sering melakukannya,

sebelum mulai menyewa jasa orang luar seperti aku? Tapi wanita itu harus

memikirkan prospek karier masa depannya, Culpepper, jadi dia tidak ingin

namanya muncul di berita, oke?”

Culpepper mendengus.

“Seharusnya dia memikirkan itu sebelum mencuri---”

Dengan sigap, Strike merebut kertas-kertas itu dari tangan si wartawan.

“Dia tidak mencurinya. Bosnya menyuruh dia mencetak semua ini untuk

nanti sore. Satu-satunya kesalahannya adalah memperlihatkan ini kepadaku.

Tapi kalau kau bermaksud mengumbar kehidupan pribadinya di koran-koran,

Culpepper, aku akan mengambilnya kembali.”

“Ah, persetanlah,” kata Culpepper, berusaha merebut kembali bukti

penghindaran pajakitu dari tangan Strike yang berbulu. “Ya sudah, kami tidak

akan menyebut-nyebut soal dia. Tapi bosnya pasti akan tahu dari mana kami

mendapatkan ini. Dia kan tidak goblok-goblok amat.”

“Memangnya orang itu mau apa, menyeretnya ke pengadilan supaya

wanita itu bisa membocorkan hal-hal mencurigakan lain yang dia saksikan

selama lima tahun terakhir?”

“Yeah, baiklah,” kata Culpepper, mendesah setelah berpikir sejenak.

“Kemarikan. Aku tidak akan membawa-bawa dia, tapi aku perlu bicara

dengannya, bukan? Untuk menilai apakah dia bisa dipercaya.”

“Bukti itu bisa dipercaya. Kau tidak perlu bicara dengan dia,” Strike

berkata tegas.

Wanita yang kasmaran, terguncang, dan dikhianati itu, wanita yang baru

saja dia tinggalkan, tidak akan aman dibiarkan berdua saja dengan Culpepper.

Dalam nafsunya membalas dendam pada laki-laki yang telah menjanjikan

pernikahan dan anak-anak, dia dapat melakukan kerusakan yang tak dapat

Page 9: Cuplikan The Silkworm

diperbaiki lagi atas dirinya sendiri serta prospek masa depannya. Tidak perlu

waktu lama bagi Strike untuk mendapatkan kepercayaannya. Wanita itu hampir

42 tahun, mengira akan melahirkan anak-anak Lord Parker, dan kini hasrat yang

berbeda telah menguasainya. Strike duduk bersamanya selama berjam-jam,

mendengarkan kisah asmaranya, melihatnya berjalan ke sana kemari di ruang

duduknya sembari beruraian air mata, menimang dirinya sendiri di sofa, dengan

kepalan tangan menjepit pelipis. Akhirnya wanita itu sepakat melakukan ini:

tindak pengkhianatan yang melambangkan matinya seluruh harapannya.

“Kau tidak akan memuat apa pun tentang dia,” kata Strike, menggenggam

kertas-kertas itu dalam kepalannya yang nyaris dua kali lebih besar daripada

tangan Culpepper. “Oke? Tanpa dia pun, berita ini tetap menggemparkan.”

Setelah ragu-ragu sejenak dan meringis, Culpepper menyerah.

“Oke, baiklah. Berikan padaku.”

Wartawan itu menyurukkan bukti-bukti itu ke saku dalam dan meneguk

tehnya, kejengkelan sesaatnya pada Strike sepertinya menyurut seiring semakin

gemilangnya kesempatan untuk merontokkan reputasi seorang bangsawan.

“Lord Parker of Pennywell,” desisnya gembira, “modar kau, bangsat.”

“Kantormu yang akan membayar ini, kan?” tanya Strike ketika bon

mendarat di meja mereka.

“Ya, ya…”

Culpepper menjatuhkan lembaran sepuluh pound di meja, dan kedua pria

itu meninggalkan kafe bersama-sama. Strike langsung menyulut rokok begitu

pintu terayun menutup di belakang mereka.

“Bagaimana kau bisa membuat wanita itu bicara padamu?” tanya

Culpepper sesudah mereka mulai berjalan dalam udara dingin, melewati sepeda-

sepeda motor dan lori-lori yang masih datang ke dan pergi dari pasar.

“Aku mendengarkan dia,” jawab Strike.

Culpepper meliriknya tajam.

“Detektif-detektif partikelir lain yang kusewa menghabiskan waktu

dengan menyadap telepon.”

“Ilegal,” timpal Strike, mengembuskan asap ke keremangan yang mulai

pudar.

“Jadi bagaimana---?”

Page 10: Cuplikan The Silkworm

“Kau melindungi sumber-sumbermu, aku juga begitu.”

Mereka berjalan sejauh lima puluh meter dalam diam, ketimpangan Strike

semakin tampak jelas seiring tiap langkah.

“Ini akan bikin gempar. Gempar besar,” kata Culpepper girang. “Bandot

tua munafik itu berkoar-koar tentang keserakahan korporasi, padahal dia sendiri

menyembunyikan dua puluh juta di Cayman Islands…”

“Senang bisa membuatmu begitu puas,” kata Strike. “Tagihannya akan

kukirim lewat email.”

Culpepper meliriknya lagi.

“Kaulihat anak Tom Jones di koran minggu lalu?” tanya Culpepper.

“Tom Jones?”

“Penyanyi Welsh itu,” kata Culpepper.

“Oh, dia,” Strike berkata datar. “Aku kenal orang bernama Tom Jones di

angkatan.”

“Baca beritanya?”

“Tidak.”

“Dia memberikan wawancara panjang yang bagus. Dia bilang, dia tidak

pernah bertemu dengan bapaknya, tidak pernah bertukar sepatah kata pun

dengannya. Aku yakin dia akan mendapat uang lebih banyak daripada tagihanmu

nanti.”

“Kau belum melihat tagihannya,” timpal Strike.

“Aku cuma bilang. Satu wawancara saja, dan kau boleh libur beberapa

hari dari mewawancarai sekretaris.”

“Sebaiknya kau berhenti memberi saran ini,” ujar Strike, “atau aku akan

berhenti bekerja untukmu, Culpepper.”

“Tentunya,” kata Culpepper, “aku bisa saja menurunkan cerita itu. Putra

seorang bintang rock yang menjadi pahlawan perang, tidak pernah mengenal

ayahnya, bekerja sebagai detektif---”

“Kudengar, menyuruh orang menyadap pembicaraan telepon juga

tindakan yang melanggar hukum.”

Di puncak Long Lane mereka memperlambat langkah dan berdiri

berhadapan. Tawa Culpepper terdengar kecut.

“Aku akan menunggu tagihan darimu.”

Page 11: Cuplikan The Silkworm

“Cocok, kalau begitu.”

Mereka memencar ke arah yang berlawanan, Strike menuju stasiun kereta

bawah tanah.

“Strike!” Suara Culpepper menggema dalam keremangan di belakangnya.

“Kau tidur dengannya?”

“Tak sabar baca beritanya, Culpepper,” Strike balas berteriak dengan

lelah, tanpa menoleh sedikit pun.

Dia pun terpincang-pincang memasuki pintu stasiun yang berbayang-

bayang dan menghilang dari pandangan Culpepper.

Page 12: Cuplikan The Silkworm

2

Sampai kapan kita harus bertempur? karena aku tak bisa tinggal,

Pun aku tak mau tinggal! Aku punya pekerjaan.

Francis Beaumont dan Philip Massinger,

The Little French Lawyer

Kereta Tube sudah mulai penuh. Wajah-wajah hari Senin pagi: murung, letih,

kaku, pasrah. Strike menemukan bangku kosong di depan wanita muda

berambut pirang dan bermata sembap yang kepalanya terus-menerus merosot

ke samping karena kantuk. Berkali-kali dia menyentak paksa tubuhnya agar

tegak kembali, dengan kalut mengamati rambu-rambu yang berkelebat, khawatir

telah melewatkan stasiun perhentiannya.

Kereta berderak dan berdetak, mengantar Strike menuju rumahnya yang

berupa flat dua-setengah ruangan dengan atap yang tak diberi insulasi dengan

baik. Dalam keletihan tiada tara, dikelilingi wajah-wajah hampa dan pasrah

bagaikan domba, Strike mendapati dirinya merenungkan kebetulan-kebetulan

yang telah menjadikan mereka semua ada. Tiap kelahiran, bila dipikirkan dengan

saksama, hanyalah suatu kebetulan. Dengan ratusan juta sperma yang berenang

dengan buta dalam kegelapan, sungguh amat kecil probabilitas seseorang bisa

menjadi apa adanya kini. Dari semua yang berjejalan di kereta ini, berapa banyak

yang memang direncanakan? dia bertanya-tanya, merasa melayang karena

kecapekan. Dan berapa banyak, seperti dirinya, yang hanyalah kecelakaan?

Ada seorang gadis kecil di sekolah dasarnya dulu yang memiliki tanda

lahir sewarna anggur port melintang di wajahnya, dan Strike selalu merasakan

semacam solidaritas terhadapnya, karena mereka sama-sama membawa tanda

permanen yang berbeda sejak lahir, sesuatu yang bukan akibat kesalahan

mereka. Mereka sendiri tidak dapat melihatnya, namun semua orang lain bisa,

dan tak cukup punya sopan santun untuk tidak menyinggungnya. Pada usia lima

tahun, dia menyangka kekaguman orang asing kepadanya disebabkan oleh

Page 13: Cuplikan The Silkworm

keunikan dirinya, namun pada akhirnya dia sadar bahwa mereka melihatnya tak

lebih dari sekadar zygote seorang penyanyi terkenal, bukti tak sengaja dari laku

tidak setia seorang selebritas. Strike baru dua kali bertemu dengan ayah

kandungnya. Diperlukan tes DNA sehingga Jonny Rokeby mau mengakui bahwa

dia memang ayah kandung Strike.

Dominic Culpepper adalah contoh nyata bentuk ketertarikan dan asumsi

yang belakangan ini sudah jarang ditemui Strike, bahwa orang menghubungkan

mantan tentara bertampang murung ini dengan sang rock star yang sudah tua.

Pikiran orang seketika melompat ke dana perwalian dan uang sakuberjumlah

besar, ke pesawat pribadi dan lounge VIP, hingga sumber kekayaan yang tak ada

habisnya. Tercengang melihat kesederhanaan hidup Strike dan jam-jam kerjanya

yang panjang, mereka pun bertanya pada diri sendiri: apa yang telah dilakukan

Strike sehingga mengucilkan ayahnya? Apakah dia pura-pura hidup menderita

demi mengucurkan lebih banyak uang dari Rokeby? Apa yang telah dia lakukan

dengan harta yang tentunya telah diperas ibu Strike dari kekasihnya yang kaya

raya?

Pada saat seperti itu, Strike sering kali merindukan kehidupan angkatan

darat, suatu karier anonim di mana latar belakang dan garis darah nyaris tidak

ada artinya dibandingkan kemampuan melakukan pekerjaan. Dulu di Cabang

Investigasi Khusus, pertanyaan paling pribadi yang diajukan kepadanya saat

perkenalan adalah permintaan untuk mengulang pasangan namanya yang sangat

tidak jamak, nama yang telah dibebankan ibunya kepadanya.

Lalu lintas sudah bergulir sibuk di sepanjang Charing Cross Road ketika

Strike muncul dari stasiun bawah tanah. Fajar bulan November sudah merekah,

kelabu dan setengah hati, meninggalkan banyak bayang-bayang. Dia berbelok ke

Denmark Street dengan perasaan terkuras dan terluka, mengharapkan tidur

singkat yang mungkin sempat dilakukannya sebelum klien berikut datang pada

pukul setengah sepuluh. Seraya melambai pada gadis di toko gitar yang sering

berbagi waktu rehat rokok dengannya, Strike masuk melalui pintu luar bercat

hitam di sebelah 12 Bar Café, lalu mulai mendaki tangga besi yang melingkari lift

sangkar burung yang telah rusak. Melewati si desainer grafis di lantai satu,

melewati kantornya sendiri dengan pintu kaca yang disablon, sampai ke puncak

tangga lantai tiga yang paling sempit, tempat tinggalnya sekarang.

Page 14: Cuplikan The Silkworm

Penghuni sebelumnya, manajer bar di lantai dasar, sudah pindah ke area

yang lebih makmur, dan Strike, yang selama beberapa bulan tidur di kantornya,

langsung menyambar kesempatan menyewa tempat itu, bersyukur mendapat

jalan keluar yang mudah atas kondisinya yang tunawisma. Berdasarkan standar

apa pun, ruang di bawah atap itu sempit, terutama bagi pria yang tingginya 192

sentimeter. Dia hampir tak bisa berputar di bawah pancuran kamar mandi;

dapurnya merangkap ruang duduk, dan hampir seluruh luas kamar tidurnya

disesaki ranjang besar. Sebagian barang milik Strike masih tersimpan dalam

kotak-kotak kardus di puncak tangga, meskipun pemilik gedung sudah

menyatakan keberatan.

Jendela-jendelanya yang kecil menghadap atap bangunan-bangunan lain,

Denmark Street berada jauh di bawah. Dentum bas dari bar di lantai dasar cukup

teredam, bahkan musik yang diputar Strike sering kali berhasil mengatasinya.

Keteraturan Strike yang mendarah daging tampak jelas di seluruh flat itu:

ranjangnya rapi, barang pecah belah bersih, segala sesuatu ada pada tempatnya.

Dia perlu mandi dan bercukur, tapi itu bisa menunggu. Setelah menggantung

mantel, dia menyetel alarm pukul 09.20, lalu merebahkan diri di ranjang tanpa

berganti pakaian.

Dia langsung terlelap dalam hitungan detik, dan beberapa detik

kemudian---atau begitulah sepertinya---dia terjaga lagi. Ada orang yang

mengetuk-ngetuk pintunya.

“Maaf, Cormoran, aku benar-benar minta maaf---”

Asistennya, wanita muda bertubuh tinggi dengan rambut pirang

kemerahan, tampak tidak enak hati ketika dia membuka pintu, namun

ekspresinya langsung berubah heran begitu dia melihat kondisi Strike.

“Kau tidak apa-apa?”

“Ketiduran. Melek semalaman---dua malam.”

“Aduh, maaf,” ulang Robin, “tapi sekarang sudah pukul sembilan empat

puluh dan William Baker sudah datang dan mulai---”

“Sialan,” gumam Strike. “Tidak pernah beres nyetel alarm---kasih waktu

lima men---”

Page 15: Cuplikan The Silkworm

“Bukan itu saja,” sela Robin. “Ada seorang wanita. Dia belum memiliki

janji temu. Aku sudah memberitahu dia bahwa kau tidak punya waktu untuk

klien lain, tapi dia tidak mau pergi.”

Strike menguap, mengucak-ngucak matanya.

“Lima menit. Suguhi teh dulu atau apa.”

Enam menit kemudian, mengenakan kemeja bersih, berbau pasta gigi dan

deodoran tapi belum bercukur, Strike memasuki ruang luar kantornya tempat

Robin duduk di depan komputer.

“Yah, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali,” kata William Baker

sambil menyunggingkan senyum kaku. “Untung saja sekretarismu cantik, kalau

tidak aku pasti sudah pergi karena bosan.”

Strike melihat Robin merona marah sambil memalingkan muka, pura-

pura mengatur surat-surat yang masuk. Ada kesan merendahkan dalam cara

Baker mengucapkan “sekretaris”. Direktur perusahaan yang berpakaian

sempurna dalam jas bergaris-garis halus itu menyewa jasa Strike untuk

menyelidiki dua anggota dewannya.

“Pagi, William,” kata Strike.

“Tidak ada permintaan maaf?” desis Baker, matanya memutar ke langit-

langit.

“Halo, apa kabar?” tanya Strike, mengabaikan Baker dan menyapa wanita

kurus separuh baya yang mengenakan mantel cokelat usang, yang duduk di tepi

sofa.

“Leonora Quine,” jawab wanita itu, dengan aksen---menurut telinga Strike

yang terlatih---berasal dari West Country.

“Aku masih punya banyak kesibukan pagi ini, Strike,” kata Baker.

Pria itu berjalan masuk ke ruang dalam tanpa diundang. Ketika Strike

tidak mengikutinya, dia agak kehilangan kendali sikapnya yang sok elegan.

“Di angkatan darat kau pasti sering dihukum karena tidak pandai

menepati waktu, Mr. Strike. Cepat masuk.”

Strike seperti tidak mendengar dia.

“Apa yang Anda harapkan dari saya, Mrs. Quine?” tanya Strike pada

wanita lusuh yang duduk di sofa.

“Well, suami saya---”

Page 16: Cuplikan The Silkworm

“Mr. Strike, aku punya janji satu jam lagi,” William Baker berkata dengan

suara lebih keras.

“---sekretaris Anda bilang Anda ada pertemuan, tapi saya bilang saya akan

menunggu.”

“Strike!” bentak William Baker, memanggil anjingnya agar mengikuti dia.

“Robin,” geram Strike yang lelah, akhirnya kehabisan kesabaran. “Siapkan

tagihan Mr. Baker dan berikan arsipnya yang sudah diperbarui.”

“Apa?” kata William Baker, terpana. Dia kembali ke ruang luar.

“Dia memecat Anda,” kata Leonora Quine dengan puas.

“Kau belum menyelesaikan pekerjaanmu,” kata Baker pada Strike.

“Kaubilang masih ada---”

“Orang lain bisa menyelesaikan pekerjaan itu. Orang yang tidak keberatan

punya klien kurang ajar.”

Atmosfer dalam kantor itu seolah-olah membeku. Dengan air muka datar,

Robin mengambil arsip Baker dari lemari dan memberikannya pada Strike.

“Berani-beraninya---”

“Ada banyak bahan bagus dalam arsip itu yang dapat digunakan di

pengadilan,” kata Strike, mengangsurkan arsip kepada direktur itu. “Sepadan

dengan uangnya.”

“Kau belum selesai---”

“Dia sudah selesai denganmu,” sela Leonora Quine.

“Tutup mulut, kau wanita bod---” William Baker mulai berkata, tapi tiba-

tiba mundur ketika Strike mengambil setengah langkah ke arahnya. Tak seorang

pun bersuara. Mendadak, tubuh sang mantan tentara seperti membesar dua kali

lipat daripada sebelumnya.

“Silakan duduk di dalam kantor saya, Mrs. Quine,” kata Strike dengan

suara pelan.

Wanita itu menurut.

“Kaupikir dia sanggup membayarmu?”William Baker mencibir sambil

melangkah mundur, tangannya sudah mendarat di pegangan pintu.

“Bayaranku bisa dinegosiasikan,” kata Strike, “kalau aku menyukai

kliennya.”

Page 17: Cuplikan The Silkworm

Dia mengikuti Leonora Quine masuk ke ruang dalam dan menutup pintu

dengan bunyi berdebam.